Perjalanan
Wednesday, January 24, 2024
DALAM NAUNGAN JURUS
DALAM NAUNGAN JURUS
DALAM NAUNGAN JURUS
“Kenangan berlatih saat dalam sebuah Perguruan Pencak Silat”
Tema: Local Wisdom
Oleh
Jusnu Juli Wibowo
KATA PENGANTAR
Novel ini merupakan tulisan dari pengalaman berlatih beladiri Pencak Silat. Peristiwanya mendekati kisah nyata. Bela diri dicoba menjadi fiksi dalam hubungannya dengan bidang kebudayaan dan olah raga.
Mungkin tema yang tepat untuk novel ini adalah Local Wisdom, betapa dalam beladiri ini banyak sekali nilai kehidupan yang bisa digali. Setting novel ini di sebuah kota kecil Purwokerto. Tokohnya Surip seorang penghayat beladiri Pencak Silat yang mendapati pengaruhnya dalam beberapa peristiwa yang dialaminya.
Kenangan manis berlatih dicoba tulis dalam sebuah karya. Pendalaman materi beladiri Pencak Silat sendiri sangat terbatas. Penulis sadar betapa dangkal pengetahuan yang didapat selama ini.
Selamat membaca dan menikmati sajian dari penulis. Semoga bermanfaat bagi semua kalangan. Tak lupa saran dan kritik dari pembaca akan Penulis terima sebagai cambuk semangat untuk berkarya lebih baik.
Wasalam.
BAB 1
Training Pelatih.
“Pukul!” Aba-aba itu terdengar.
“Tangkis kanan! Pukul kiri!” Lagi orang tersebut memberi perintah. Barisan orang-orang di belakangnya masih dalam kuda-kuda kanan, orang itu melanjutkan.
“Sepak, kuda-kuda kiri.” Orang-orang yang berada dalam barisan mengikuti aba-aba pelatih. Pelatih tersebut sudah berumur, mungkin mendekati usia limapuluh tahun. Badannya kecil dengan kumis tebal untuk menambah kewibawaannya. Baju hitam celana hitam berkibar karena seragam beladiri selalu harus longgar. Rambutnya sebagian sudah memutih. Orang-orang memanggilnya Bapak Anwar.
“Tangkis, pukul kanan, Tahan!” Bapak Anwar menoleh ke belakang, diperhatikannya murid-murid yang mengikuti instruksinya dari tadi. Satu persatu diperhatikannya kuda-kuda anak-anak muridnya. Salah satu diantaranya didekatinya kemudian dibetulkannya posisi kuda-kuda dan tangan memukul.
“Pelintir, beset langsung kuda-kuda bangku!” Meluncur lagi kata-katanya.
“Kaki kanan maju selangkah, tangan menyikut!” Dilanjutkannya lagi.
“Pukul atas!” Diperlihatkannya gerakan tangan memandu murid-muridnya.
“Balik, tangkis kiri, pukul-pukul!” Badan orang-orang pun berbalik tetapi tetap dalam posisi kuda-kuda jurus.
“Sepak kaki kanan ke samping!” Teriak orang tua itu lagi.
“Pasangan kuda-kuda, berdiri hormat silat!”
Berakhirlah jurus yang dilatih, orang-orang mengusap keringat di wajah untuk bisa melakukan jurus yang lain. Tapi peragaan belum berakhir. Orang orang masih tetap berada dalam formasi barisan. Pelatih yang bernama Bapak Anwar berdiri di depan barisan memberikan pengarahan.
“Kepriben pada! Mestine nek apal wis kawit ganu latihane, saiki program penyeragaman jurus ben mengko nek nglatih siswa ora beda- beda carane.” Pak Anwar berkata memberi tahu apa arti gerakan-gerakan yang barusan mereka latih.
Pak Anwar masih terus memberi pengarahan,
“Perguruan kita lama tidak aktif. Kita harapkan dengan training pelatih ini siswa-siswa yang sudah lama tidak berlatih akan kembali menghidupkan organisasi.” Kata-katanya ditujukan kepada segenap yang hadir di ruangan latihan.
“Program training ini dijadwalkan setiap hari minggu. Semuanya dikarenakan hari-hari lain masing-masing peserta yang sudah memiliki siswa di cabang-cabang membutuhkan perhatian kalian.” Terus dilanjutkannya keterangan. “Setiap latihan akan dipandu oleh beberapa orang dengan materi yang berbeda. Jadi harap jangan sampai tidak hadir di hari minggu, jangan lupa bawa buku atau kertas untuk mencatat materi latihan.” Orang-orang pun menganggukan kepala tanda mengerti. Bapak Anwar kemudian melihat jam dinding di ruangan latihan, waktu sudah beranjak siang.
“Kita sudahi dulu latihan bersama ini. Beri penghormatan terakhir!” Aba-abanya lagi. Segera seseorang di posisi samping kanan memimpin penghormatan dengan aba-aba. Setelah itu latihan bubar, masing-masing peserta bersalin pakaian biasa. Beberapa orang diantaranya masih berkumpul hanya untuk ngobrol. Ada juga yang ditugasi bergantian membersihkan ruangan yang tak seberapa luas tersebut.
Pak Anwar memandangi murid-muridnya satu persatu,
“Kiye bae sing kudu nyapu, ayo Rip saponi ngantek resik!” Perintahnya ditujukan kepada seorang anak muda yang hadir dalam ruangan latihan.
Mau nggak mau dengan muka terpaksa Surip menyambar sapu ijuk di teras langgar. Ya tempat latihan bersama itu adalah sebuah langgar kecil di areal padat penduduk. Nama kampungnya Jatiwinangun jalan Bima. Langgar atau musholla dinamai Langgar Mangga Sholat, suasananya masih tradisional banget.
Surip itu masih bocah, paling-paling masih kelas dua SMA. Badannya kecil rambut ikal dengan kulit sedikit gelap. Perawakannya lebih menunjukan tingkat yunior. Alhasil Pak Anwar langsung menunjuk Surip untuk menyapu ruangan. Soalnya yang hadir kebanyakan sudah dewasa. Ada beberapa orang yang hadir sebenarnya masih bujangan, tetapi karena sudah bekerja jadi tetap dituakan.
“Huh sebel aku terus nih yang jadi tukang sapu, yang lain langsung pada ganti pakaian aku masih bersih-bersih.” Surip menggerutu tak berdaya.
Langgar kecil dengan jamaah tak lebih hanya satu RT itu tak pernah untuk sholat jumat. Latihan silat nebeng di langgar karena Pak Anwar menjadi pengurus langgar. Hari-hari biasa Pak Anwar bekerja sebagai tukang batu. Pak Anwar hanya salah satu pelatih dari perguruan Pencak Silat di mana Surip bergabung menjadi anggotanya.
Sekretariat perguruan Pencak Silat itu sendiri berada di jalan Jatiwinangun no 55. Nah guru atau pelindungnya bernama Bapak Jamaludin. Pensiunan pegawai negeri sipil staff Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.
Perguruan Pencak Silat Al-Jurus itu namanya. Papan nama terbuat dari seng dicat dasar putih bertulisan hitam. Jalan Jatiwinangun beraspal mulus tapi tidak lebar. Bukan jalan umum karena masuk kampung di kota Purwokerto. Tapi rumah sekaligus sekretariat perguruan itu sepi. Masih lebih ramai dan padat jalan Bima langgar Mangga Sholat. Rumah tersebut menyendiri jauh dari tetangga bahkan di belakangnya masih terbentang bulak sawah luas. Di sanalah awal mula Surip mengenal beladiri Pencak Silat.
Langgar mulai sepi, sekitar lima belas orang yang tadinya hingar bingar memperagakan jurus satu persatu mohon diri pulang. Pak Anwar yang rumahnya tidak jauh karena hanya di samping langgar mengemasi ceret dan gelas dari langgar.
“Bawakan gelas itu Rip, nggak apa-apa kan kamu yang terakhir pulang dibandingkan lainnya.” Pak Anwar masih minta bantuan Surip untuk membawa sisa-sisa gelas air minum ke rumah Pak Anwar.
“Boten napa Pak, kula nggih badhe teng pasar Kebondalem sisan.” Surip tak keberatan membantu.
“Hendak beli apa ke pasar Kebondalem?” Pak Anwar bertanya, sementara mereka sudah meletakan ceret dan gelas kosong di dekat sumur. “Biar nanti aku saja yang mencuci Rip, silahkan kalau hendak pulang sekarang.”
“Aku cuma hendak beli rugos untuk judul kliping, sekalian nyewa komik dipersewaan buku.” Surip berkata sekalian menyambar sepeda yang dari tadi di parkir mepet tembok rumah Pak Anwar.
“Komik komik apa, cerita bergambar ya?” Pak Anwar bertanya sepertinya tak paham komik, mungkin karena jarang membaca.
“Ya ada komik cergam juga ada komik tanpa gambar. Aku lagi membaca serial Pendekar Super Sakti Asmaraman S. Kho Ping Ho.” Surip mencoba memberi gambaran.
“Ya ya ya kena baen, sing penting aja komik sing saru-saru.” Pak Anwar biar tak paham komik larinya jadi menasehati.
“Nggih sampun Pak, kula ajeng wangsul.” Sopan Surip mohon pamit.
Ditinggalkannya langgar Mangga Sholat, dikayuhnya sepeda angin menuju sebuah tempat favoritnya. Pasar Kebondalem dari Jatiwinangun sudah berbeda kampung. Nama-nama kampung di Purwokerto ada Kauman Lama, Jatiwinangun, Mangunjaya, Brobahan, Kebondalem dll. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya barulah Surip meninggalkan kota Purwokerto menuju desanya jauh di pinggiran kota, itulah desa Beji kecamatan Kedungbanteng.
Kota Purwokerto, sejauh memandang dikelilingi pegunungan. Di utara menjulang tinggi gunung Slamet. Karena gagahnya gunung Slamet menjadi lambang kabupaten Banyumas. Setelah itu sungai Serayu dan pegunungannya yang membujur timur barat membuat lembah pertanian subur.
Beji sebuah desa di kaki gunung Slamet. Jaraknya dari kota Purwokerto sekitar enam kilometer. Dari Purwokerto bila mengayuh sepeda terasa sekali jalannya menanjak. Tanjakan naik terus tanpa ada penurunnya membuat nafas tersengal-sengal.
Sebenarnya hari-hari biasa Surip jika berangkat sekolah biasa memakai angkutan kota. Cuma ini hari minggu, jadi disempatkannya mengayuh pedal ke kota Purwokerto. Surip sendiri sekolah di SMA negeri 1 Purwokerto. Letaknya di jalan Gatot Subroto, dulunya sekolah SMP nya di SMP negeri 3 Purwokerto jalan Gereja.
Melihat papan nama perguruan Pencak Silat Al-Jurus, itu berbau Islam banget. Ini perguruan lokal, guru dan murid-muridnya hanya sekitar seratus orang saja. Cabang- cabangnyapun hanya di beberapa desa sekitar kota Purwokerto.
Nun di Kauman Lama terdapat sebuah perguruan Pencak Silat bernama Keluarga Besar Perguruan Pencak Silat Al Husna yang sudah terkenal. Murid-muridnya sudah tersebar di seluruh karesidenan Banyumas. Jadi cabang- cabangnya ada yang di Cilacap, Banjarnegara, Gombong, Purbalingga bahkan Wonosobo. Perguruan tetangga Al-Jurus ini konon berdiri paling lama yaitu tahun-tahun enam puluhan. Kalau perguruan Al-Jurus itu paling-paling baru sepuluh tahun. Cerita ini berlatar belakang tahun delapan puluhan jadi sekitar tahun tujuh puluh lima berdiri.
Surip sendiri tidak tahu kapan berdirinya perguruan Pencak Silat Al- Jurus. Ia tertarik bergabung berlatih gara-gara di desanya Beji ada latihan massal pemuda-pemuda desa di sebuah lapangaan bulutangkis. Surip kecil karena saat itu masih SD kelas empat ikut-ikutan berlatih. Pelatihnya sendiri didatangkan oleh ketua RT di desanya. Kebetulan ketua RT nya kenal dengan Bapak Jamaludin guru besar Al-Jurus.
Sampai di rumahnya yang semi permanen, Surip merasakan kelelahan yang sangat. Berlatih silat mulai pukul delapan selesai pukul dua belas. Setelah itu mengayuh sepeda untuk kembali ke desanya. Rumah Surip kecil saja paling-paling ukuran 4x7m. Berlantai semen dan sebagian dindingnya masih campuran gedeg dan kayu. Halamannya tak luas, cukup untuk beberapa pot tanaman hias. Tapi rumahnya termasuk nyaman karena mendapat akses jalan kabupaten yang dilalui trayek angkutan pedesaan.
Setiap pagi jalan kabupaten tersebut ramai oleh orang-orang dari atas gunung hendak turun ke pasar-pasar sekitar Purwokerto membawa hasil bumi. Juga banyak anak sekolah SMP dan SMA yang berangkat sekolah pagi-pagi buta. Mereka berjubel di angkutan pedesaan sampai-sampai mobil jenis colt angkutan tersebut oleng tak kuat menahan beban penumpang. Sangat rawan tetapi seperti itulah kenyataannya, angkutan pedesaan tahu saja resiko kecelakaan tetapi juga tak akan menolak penumpang anak sekolah karena kejaran setoran juragan pemilik mobil.
Kegemaran Surip itu membaca komik terutama cerita silat Mandarin. Sebenarnya bukan cuma cerita silat yang dibacanya. Ada juga komik cergam Indonesia seperti serial Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu. Dll. Saking senangnya baca komik, terkadang pelajaran sekolah diabaikannya.
Ya seperti hari minggu sore ini, kesibukannya hanya membaca komik serial cersil yang disewanya dari pasar Kebondalem tadi siang. Ia begitu tenggelam terbawa isi cerita komik.
“Han-han bangunlah, bangun, kamu jangan mati dulu. Bagaimana dengan nasibku nanti?” Seorang perempuan muda mencoba membangunkan Suma Han yang tak sadarkan diri.
Han-han yang tak sadarkan diri belum juga siuman. Badannya seperti lumpuh, pertarungan antara dirinya dengan si Iblis Putih saat menyelamatkan seorang wanita menjadi taruhan hidup matinya. Masalahnya sebelum bertarung dengan Iblis Putih ia dalam keadaan terluka dalam. Jadi Iblis Putih memanfaatkan kelemahan Suma Han biarpun sebenarnya kesaktiannya kalah jauh.
Tapi biarpun Han-han dalam keadaan terluka tetap tidak mudah mengalahkannya. Berbagai jurus dan pengerahan tenaga dalam tak mampu merubuhkannya. Bahkan Han-han memiliki kecerdikan untuk mengincar bagian yang lemah dari Iblis Putih, yaitu bertarung dengan cepat, hanya sesekali menyerang seperti Sengat lebah. Itulah jurus andalan Suma Han.
Tak terelakan lagi terjadi pertarungan seru. Beberapa kali Iblis Putih berhasil memukul Han-han di dekat perutnya. Iblis Putih berharap pukulannya tersebut akan menambah parah luka dalam di dada Han-han.
Tapi Iblis Putih sendiri juga merasakan tenaganya sering terkuras. Tenaga dalam yang disalurkannya sepertinya tersedot bila menyentuh tubuh Han Han. Keunggulan Suma Han terletak pada penguasaan ilmu menyedot tenaga lawan untuk mengurangi kerasnya jurus Iblis Putih. Lama-lama habislah tenaga Iblis Putih tersedot, sementara jika serangan Suma Han mengenai dirinya ia seperti tersengat lebah membuatnya harus mundur mengurangi desakannya. Merasa tenaganya berkurang banyak, ketakutan menghinggapi diri Iblis Putih.
“Aku tak mungkin bisa mengalahkannya, Suma Han masih sangat kuat. Luka yang dideritanya sebulan yang lalu saat pertarungan di bukit seribu nisan belum mampu kutebus.” Dalam hati Iblis Putih berkata.
“Ha Ha Ha Suma Han aku ada acara lain, terpaksa aku pergi dari pertarungan kita hari ini. Lain waktu akan kamu saksikan kehebatan ilmu naga halilintarku. Ingat aku belum mengeluarkan ilmu tersebut hingga saat ini sehingga tenaga dalamku selalu tersedot oleh ilmu hisap sarimu.”
Suma han berteriak keras tak terima lawannya hendak pergi ngacir.
“Pengecut! Jangan lari kamu. Ayo kita bertarung hidup mati. Kamu sudah tahu aku terluka dalam, percuma kalau hanya mundur dari pertarungan!” Suma Han biarpun tahu keadaan dirinya sudah sangat parah tetap berkeras untuk menantang.
Iblis Putih sadar ia tak tahu lagi kemampuan Suma Han. Suatu ketika jika pertarungan dilanjutkan yang bakalan rubuh pasti Suma Han. Hanya sayang Suma Han tak terlihat kelemahannya. Wataknya yang keras memperlihatkan kemampuannya sulit diduga.
Dengan teriakan keras mengguntur, Iblis Putih mengakhiri pertarungan. Suaranya yang dilambari tenaga dalam membuat Suma Han terdorong ke belakang satu depa. Kesempatan itu digunakan Iblis Putih untuk mengambil langkah seribu. Terdengar suara tawanya menggema menakutkan sesuai julukannya Iblis Putih.
“Ha Ha Ha Ha………” Lenyaplah Iblis Putih dari pandangan Suma Han.
Suma Han berdiri tegak. Ia mencoba bertahan untuk tetap berdiri agar tidak ketahuan oleh Iblis Putih. Iapun tetap tegak berdiri biarpun Iblis Putih sudah lenyap. Tak tahan gadis yang dari tadi melihat pertarungan tersebut mendekati Suma Han.
Begitu disentuhnya tangan pemuda tersebut, terpekik suaranya menahan kaget.
“Kamu kenapa Han-han, jawablah pertanyaanku?” Dicobanya memegang lagi. “Jangan diam saja Han-han, jawablah?”
Suma Han tak menjawab, giginya menggertak seperti menahan sakit. Ketika ke tiga kalinya gadis tersebut menyentuh badannya, dirinya tersungkur ke tanah tak sadarkan diri.
(bersambung…..)
Surip terus membaca kelanjutannya, ia begitu penasaran pada tokoh Suma Han alias Han-han Pendekar Super Sakti. Cersil karangan Asmaraman S Kho Ping Ho itu dilahapnya terus. Jam dinding sudah menunjukan pukul Sembilan malam.
Seseorang menegurnya,
“Rip wis wengi! Ndang turu ngesuk mangkat sekolah!” Suara ibunya mengejutkan Surip dari kesibukannya membaca. Ibunya perempuan tua dengan kebaya lusuh, sangat sederhana. Wajah tuanya sesuai dengan garis umurnya yang hampir setengah abad.
Di manapun berada ibu Surip ini mengenakan jarit dan kebaya model kuno. Sangat jarang ganti jenis pakaian, maklum keluarga Surip hanya petani biasa. Mereka punya sepetak sawah yang dikerjakan sendiri, sayang tidak luas. Ibunya terpaksa masih mencari kerja sampingan dengan memburuh tanam padi.
“Iya mbok, sebentar komiknya belum habis kubaca.” Surip berkata memberitahu ibunya yang dipanggil si Mbok. Masih ada satu jilid komik yang membikin penasaran dirinya untuk membaca terus. Teguran ibunya diabaikannya, dibacanya lagi tulisan dalam cersil tersebut. Tak terasa menjelang tengah malam, barulah empat jilid buku tersebut habis terbaca. Itupun ceritanya masih bersambung terus, jika rajin membaca kelanjutan ceritanya Surip harus menyewa lagi.
Surip tak bisa tidur, jalan cerita komik judul Pendekar Super Sakti sangat mempengaruhi pikirannya. Di tempat tidurnya yang hanya beralas tikar, Surip susah sekali memejamkan matanya. Khayalannya melambung, ia menjadi seorang pendekar seperti dalam komik. Membela kebenaran dan menegakan keadilan. Sebagai seorang pendekar ia menguasai ilmu silat yang tak tertandingi lawan.
Itukah cita-cita Surip?
“Hei tangi wis awan. Adus nganah Rip, kowe kiye arep sekolah apa ora!” Ibunya mengguncang-guncang tubuh Surip yang masih mendengkur tidur.
Gelagapan Surip bangun, matanya masih mengantuk. Ingin sekali dilanjutkannya tidurnya tadi. Tapi ini hari senin, hari untuk mulai sekolah. Kalau hari senin sebelum masuk kelas semua harus mengadakan upacara bendera.
Ibunya memandang anaknya yang masih sekolah. Beberapa anaknya yang lain sudah berumah tangga, tinggal Surip menemaninya di rumah sederhana tinggalan bapaknya. Mereka sebuah keluarga biasa saja, bagi ibunya anaknya bisa sekolah sudah sangat beruntung.
“Adus nganah, bar kuwe sarapan karo mendoan. Apa anane kowe mangan, wong melu karo si mbok.” Suara si Mbok cukup tegas bahwa sebagai ibu ia bertanggung jawab penuh memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Perkara mereka dari keluarga kekurangan itu adalah tinggal membiasakan diri.
Tak mungkin bagi Surip membantah perkataan ibunya. Ia pun segera mengambil handuk dan menuju kamar di samping rumahnya dekat sumur. Setelah mandi ia pun bergegas bersalin seragam sekolah dan sarapan pagi.
Tak lama kemudian Surip berangkat sekolah dengan naik angkutan kota. Sepeda kayuhnya biasanya dipakai si Mbok untuk berbagai keperluan. Sebuah gedung sekolah dengan pagar dari besi menyambut kedatangannya. Sekolah favorit di kotanya yang kecil Purwokerto. Lambang patung ganesa terpampang di papan nama sekolahnya. Dewa Ganesa merupakan dewa keilmuan. Dengan lambang tersebut diharapkan siswa SMA negeri 1 Purwokerto semuanya berprestasi.
Surip tak peduli dengan lambang Ganesa tersebut, bahkan biarpun saat masa orientasi sekolah ada riwayat berdirinya SMA negeri 1 Purwokerto pun tak terlalu dipermasalahkan. Penting saat ini ia masih mampu sekolah mengingat keluarganya bukan dari keluarga serba ada.
“Dulu aku tak mengira dengan NEM minim, ternyata bisa masuk sekolah ini. Aku menyadari dari NEM yang terseleksipun aku masuk mepet dalam bersaing dengan calon siswa yang lain.” Katanya dalam hati sambil terus melangkah masuk pintu gerbang sekolah.
Pagi hari senin semua siswa mengenakan seragam putih celana abu-abu dan membawa dasi serta topi untuk kelengkapan peserta upacara. Berduyun-duyun siswa-siswa sekolah menengah masuk ke gedung sekolah. Itu sudah rutinitas setiap hari, hari-hari sorepun tetap ada kegiatan ekstra kurikuler.
Surip masuk kelas 2 jurusan A2 alias bidang biologi. Saat kelas satu belum ada pembagian jurusan. Jurusan-jurusan yang ada disebut dengan abjad “A” dari sebuah kurikulum yang berlaku saat itu. A1 jurusan paling favorit eksata bidang fisika, setelah itu A2 biologi, A3 ilmu social dan A4 bidang bahasa. Tapi di SMA negeri 1 ini A4 tidak diberlakukan. Sebenarnya ada saja yang berminat tetapi tak mencukupi satu kelas. Lagi pula jurusan A4 dianggap tidak bergengsi, sekolahpun enggan mengadakannya. Ujar guru-guru di SMA negeri 1,
“Masak sekolah favorit memiliki jurusan yang tak bakalan laku di masyarakat.”
Ya benar, saat itu negara RI lebih mementingkan pendidikan science. Bidang-bidang fisika dan biologi memiliki banyak jalan untuk meneruskan ke jenjang universitas. Sekolah umum seperti SMA negeri 1 jika siswanya lulus tentu sebagian besar akan kuliah di sebuah perguruan tinggi. Sekolah umum hanya jalan tol menuju jenjang universitas. Berbeda dengan STM atau SMK serta SMEA yang siswanya lulus, akan mencari pekerjaan sesuai dengan ketrampilan dan jurusannya. Tahun-tahun delapan puluhan jarang sekolah-sekolah jurusan ketrampilan. Semua sekolah berlomba-lomba mengajukan bentuk sekolah umum untuk mengejar tingkat kelulusan menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Surip menguap ngantuk setelah masuk ruangan kelas dua, upacara baru selesai. SMA negeri 1 Purwokerto tidak memiliki lapangan luas. Sistim upacaranya bergantian, hanya kelas satu dan dua yang diberlakukan upacara. Sedangkan kelas tiga walaupun sebenarnya wajib untuk semua sekolah tak diadakan. Itu semua gara-gara tempat upacara diantara ruang-ruang kelas tak mencukupi.
“Pelajaran bahasa inggris lagi, bosan aku dengan gurunya.” Membatin Surip. Ia mengeluarkan buku paket bahasa inggris dari tas sekolahnya. Eit.. tas sekolah Surip tidak keren, sekedar cukup membawa buku-buku pelajaran. “Entah ada pekerjaan rumah apa nggak ya?” Lagi-lagi batinnya berbicara sendiri. Ah ternyata tidak ada apa-apa, hari itu guru bahasa inggris hanya menyuruh siswa mencatat. Gurunya sendiri hanya duduk di bangku depan dengan setumpuk lembar jawaban soal ulangan.
Beberapa kali Surip mengucak-ucak matanya, jika menguap ia menundukan kepala sangat mengantuk. Teman di sampingnya duduk mencatat dengan serius tulisan di papan tulis yang dilakukan oleh seoraang siswa perempuan. Lumayan siswa perempuan itu terkenal punya ranking sehingga guru bahasa inggris mempercayakan tugas tersebut kepadanya.
“Hei nanti aku pinjam catatanmu ya, aku ngantuk banget.” Surip berbisik kepada Herman yang sedari tadi tak mempedulikannya. Herman hanya memandangnya sekejap, menganggukan kepala. Tak mungkin berbicara keras-keras di dalam ruang kelas. Seharian Surip tak mampu mengikuti pelajaran. Jangan-jangan Surip yang memang bodoh? Tapi seperti itulah Surip, dulu saat kelas satu ternyata nilainya hanya pas-pasan untuk naik kelas. Mungkin gurunya yang tak tega bila tinggal kelas.
Ah nggak kok, Surip boleh tidak pintar tetapi absensinya selalu penuh. Itu mungkin pertimbangan ia naik kelas dua. Mengikuti pelajaran apapun tanpa terkecuali, jadinya sekarang Surip melenggang ke kelas dua sekedar mengikuti tahap-tahap sekolah.
“Thee..tt….thee….tt! Bel tanda pelajaran usai. Siswa-siswa sekolah menutup buku pelajaran dan bersiap-siap pulang. Setelah melakukan doa bersama, berhamburanlah anak-anak itu keluar dari gedung sekolah.
Bergegas Surip bersiap-siap pulang. Sebenarnya dari tadi ia menanti waktu usai sekolah. Wajahnya tambah kuyu karena kecapean akibat hari minggu berlatih silat dan malamnya begadang membaca komik. Sampai di rumah ia berganti pakaian dan celana setelah itu menyambar nasi dan sayur bobor lembayung. Tak terlihat ibunya, mungkin sedang di sawah memburuh tani.
Tak ada lagi yang dikerjakan Surip pun tidur nyenyak sekali. Terbayar sudah rasa capeknya sehari semalam kemarin. Sorenya jam empat baru bangun karena ibunya memanggil.
“Rip aja turu baen, kae bak kamar mandine diisi ben pada bisa adus!” Perintahnya tegas menjadikan Surip bak prajurit di medan perang harus patuh pada panglima perang.
Sorenya Surip berbicara dengan ibunya,
“Mbok buku tulise nyong wis entong, kepriben mengko nggo nyatet pelajaran?” Surip berkata mengharap sebuah permintaan tidak langsung.
“Rip duite si Mbok entong nggo madang ndina-dina, kowe madan sabar semending ngenteni minggu ngarep ya.” Ibunya yang dipanggil si Mbok memberitahu. Nama ibunya Surtinah dulu pendidikannya hanya SD tak lulus. Jaman itu sekolah SD disebut Sekolah Rakyat (SR).
“Iya Mbok.” Surip tak bisa berbuat apa-apa, dalam hati hanya membatin. “Huh bisa-bisa aku dimarahi guru sekolah kalau seperti ini, rasanya amburadul sekolahku ini.”
Setelah itu Surip diam saja, tak berani lagi merajuk ibunya. Rasanya percuma tak akan digubris permintannya walaupun itu sangat penting.
“Rip, Surip!” Terdengar seseorang memanggil namanya di luar rumah. Suara Kasan teman sesama SMP negeri 3 Purwokerto, tetapi sekarang sudah berbeda sekolah setelah SMA. Kasan tetangga lain RTcukup akrab sebagai teman.
“Oh kamu San, ayo masuk ke dalam.” Surip mempersilahkan temannya masuk rumah. Rumah Surip hanya memiliki ruang satu kamar saja yang lebih sering dipakai ibunya. Kalau Surip biasanya tidur di ruang depan, sekaligus ruang makan dll. Pokoknya itu ruang serbaguna. Paling-paling Surip memiliki sebuah lemari bekas berisi pakaian dan tempat buku-buku diletakkan, termasuk bacaan kesukaannya, komik segala jenis walaupun itu buku sewaan saja.
“Aku cuma mau ikut baca komikmu, boleh nggak?” Kasan langsung menyatakan maksud kedatangannya.
“Oh boleh, tapi bacanya di dalam saja ya, aku takut orang lain tahu malah akhirnya dipinjam sana-sini. Itu komik dapat menyewa, kalau sampai hilang terpaksa aku ganti rugi nanti.” Surip berkata membolehkan Kasan membaca dan memberikan komik-komik berukuran kecil serial Pendekar Super Sakti.
Sore itu habislah waktu mereka berdua hanya dengan membaca serial komik yang mengasyikan. Surip tak punya pesawat televisi, yang ada hanya radio transistor. Surip tak terlalu gemar mendengarkan siaran-siaran radio. Paling-paling bila ada lagu-lagu dangdut atau pop saja yang sering didengarkannya. Tapi kalau urusan membaca, apalagi hiburan seperti komik, ini dia jagonya. Biar begadang semalam suntukpun dilakoninya.
Saat membaca bagian jilid komik, mata Kasan jelalatan dan menelan ludah.
“Rip He He He wah ana sarune kiye.” Kasan berkata memberitahu Surip bagian yang dibacanya.
“Hus aja seru-seru ngomong, konangan si Mbok bisa-bisa dilarang membaca seumur hidup inyong!” Surip langsung menegur Kasan agar tidak meneruskan kata-katanya yang tertarik isi bacaan komik. Itu memang bagian tulisan yang membuat syahwat naik gara-gara tokoh komiknya berperan dalam adegan persetubuhan. Biasanya bagian-bagian cerita itu membuat orang-orang yang membacanya seperti Surip dan Kasan terpengaruh. Lari-larinya khayalan melambung tinggi ingin menjadi tokoh yang dibacanya.
Baik nggak sih bacaan seperti itu?
Peduli amat, saat itu persewaan buku adalah modal usaha yang cukup banyak dilakoni orang. Lumayan, uang bisa mengalir dari menyewakan buku-buku komik. Soal isinya kios toko buku penyewaan tidak bertanggung jawab.
Satu dua jam membaca hari semakin gelap, adzan maghrib dari sebuah masjid kecil dengan jarak tiga ratus meter terdengar. Bubarlah acara dua anak yang masih remaja untuk kembali ke dunia nyata.
“Wis dhisik, besok lagilah, nanti kalau kesorean akupun bakalan dicari ibuku.” Kasan berkata mengakhiri acara mereka di sore itu.
“Ya ora papa besok masih bisa dilanjutkan. Komik-komik itu baru kukembalikan hari minggu, masih banyak waktu San.” Surip menghibur temannya yang terlihat masih penasaran dengan bacaan yang belum selesai.
“Ya sudah aku pulang dulu Rip, kesuwun banget ya.” Kasan mohon diri kembali ke rumahnya.
Setelah itu hari makin gelap, lampu listrik pijar menyala membuat ruang dalam rumah Surip terang benderang. Listrik sudah ada jumlah kilo ampernya hanya 450 watt. Cukuplah untuk menerangi rumah dan jalan di depannya, karena diwajibkan memasang lampu setiap rumah di depan jalan kecamatan, agar menerangi orang-orang yang lewat.
Desa Beji kecil, terdiri dari dua dukuh. Disebut Beji Gunung karena letaknya lebih tinggi dari dukuh sebelahnya yang disebut Beji Lebak. Antara kedua dukuh tersebut dipisahkan bulak sawah cukup luas. Sungai Banjaran menjadi batas alam dengan kecamatan Baturraden. Beji sendiri masuk kecamatan Kedungbanteng.
Problem menghadang Surip, begitu malam tiba buku yang dipinjamnya dari Herman teman sebangkunya tak bisa disalin ke buku pelajarannya. Dengan menghela nafas Surip berkata tak berdaya,
“Tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Besok buku pinjaman ini kukembalikan tanpa bisa menyalinnya sama sekali.” Setelah itu buku pinjaman tersebut hanya dibacanya, dibolak balik dan ditimang-timangnya. Buku milik Herman tebal, tak akan habis ditulis sampai satu semester. Dan yang mengagumkan bagi Surip, tulisannya rapi dan sangat berkarakter. Itu yang membuat Surip rendah diri.
Setelah itu tak ada lagi yang dikerjakan Surip. Pikirannya mengkhayal di tikar ruang tengah. Sampai jam Sembilan matanya mengerjap-ngerjap karena kantuk datang. Setelah itu langsung saja tidur lelap.
Suara jangkrik dan tenggoret di kerimbunan rumpun bamboo, membuat denyut kehidupan desa tempat tinggal Surip makin tenggelam ditelan hari malam. Suara kentong ronda terdengar jam sepuluh sebagai tanda adanya pos kamling yang mulai terisi orang-orang giliran ronda.
BAB 2
Dasar Jurus
Bapak Jamaludin orangnya tinggi kurus. Rambutnya lurus kulit sawo matang, profilnya orang Jawa Ngapak karena asli Banyumas. Rumahnya cukup besar dengan pendamping seorang istri bekerja dan anak-anak yang masih kecil.
Di sinilah Bapak Jamaludin mendirikan perguruan Pencak Silat Al-Jurus.
“Aku mendirikan perguruan Pencak Silat, tetapi dalam pelaksanaannya sering kacau dengan pengajaran kuliah. Ini yang sebenarnya sulit dipertemukan. Anak muridku banyak yang tak mampu jika sudah berurusan dengan pendidikan kuliah.” Katanya sambil menghela nafas. “Bagaimana lagi, aku mencoba menerapkan hal-hal yang sulit dimengerti anak muridku, yang terkumpul di sini ternyata hanya masyarakat yang kurang sekali pendidikannya.”
Dilihatnya struktur organisasinya, ternyata sudah tiga angkatan selama sepuluh tahun berdiri.
“Sepertinya perguruan Pencak Silat yang kudirikan ini kurang diminati masyarakat sekitar sini, Atau aku yang kurang beruntung?” Terus beberapa pertanyaan tertuju kepada tujuannya mendirikan perguruan Pencak Silat. “Sekarang ada IPSI yang mewadahi perguruan Pencak Silat, mungkin dengan cara bergabung di dalamnya perguruan ini akan berkembang.” Tercetus sebuah keputusan yang kemungkinan bisa direalisasikannya.
Perguruan Pencak silat dengan berbagai alirannya banyak tersebar di masyarakat. Purwokerto yang kota kecil pun cukup banyak diincar berbagai perguruan yang berdiri dengan ijin maupun tak berijin sama sekali. Biasanya masyarakat di ujung gang pun tidak menyulitkan pendirian sebuah perguruan Pencak Silat. Bahkan jika diadakan latihan oleh sebuah perguruan Pencak Silat akan dengan senang hati menerimanya.
Kenapa orang Indonesia bisa menerima begitu mudah setiap jenis olah raga beladiri?
Mungkin jawabannya adalah, sebagian besar beladiri berunsur hiburan pertunjukan yang membuat masyarakat berpikir tentang dunia kependekaran. Sisi yang lain adalah beladiri merupakan sarana hubungan sosial di masyarakat. Pencak Silat bisa menjadi wadah organisasi sosial di masyarakat dengan menjadi golongan tersendiri yang tidak banyak bertentangan dengan adat, agama dan kesukuan.
Perguruan Pencak Silat merupakan wadah organisasi yang longgar, tidak ada misalnya hukum pidana berlaku di dalamnya. Jadi orang mengenal beladiri sama seperti mengenal dirinya sendiri. Tapi karena longgar peraturannya, beladiri mudah juga dilupakan oleh masyarakat.
Setiap orang terutama di Indonesia, jika ditanya tentang beladiri asli Indonesia bisa menjawab dengan mudah yaitu Pencak Silat. Hal itu dimungkinkan karena Pencak Silat termasuk salah satu unsur budaya seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan karena mudahnya menjawab Pencak Silat juga menjadi barang yang dianggap remeh.
Kenapa bisa begitu?
He He He ingat apa makanan pokoknya orang Indonesia? Pasti semua orang akan menjawab nasi. Nah Pencak Silat itu seperti nasi bagi orang Indonesia. Tahu tetapi tak terlalu dipentingkan. Remeh tetapi selalu harus tersedia (Penulis sedikit mengutip dari buku tentang Pencak silat karangan Oong Maryono). Dan hari-hari tinggal di wilayah NKRI, Pencak Silat adalah beladiri tradisional yang diakui pemerintah. Soal berkembang atau tidaknya sampai saat ini pembaca bisa melihat sendiri fenomenanya di masyarakat.
“Ya aku akan menggabungkan diri dengan IPSI, semoga saja di sana bisa menambah angkatan siswa untuk tetap mampu berdiri.” Itulah tekad Pak Jamaludin.
Sementara di garasi samping rumahnya yang tidak pernah terisi mobil karena memang tidak memiliki, beberapa anak-anak sedang berlatih beberapa jurus dasar oleh pelatih angkatan ke dua. Ada rasa bangga di dada Pak Jamaludin. Beberapa jurus tersebut diajarkan olehnya dan sekarang telah berpindah menjadi milik siswanya.
“Aku melatih mereka supaya jurus tetap lestari. Di dalam jurus itulah sebenarnya tuntunan hidup berlaku. Mungkin jurus yang diperagakan tidak sempurna tetapi selalu mengandung sifat ksatria.” Bergumam Pak Jamaludin, tangan dan kakinya melakukan gerakan-gerakan yang menurut perasaannya sesuai dengan kaidah beladiri.
Sementara itu di langgar Mangga Sholat, training pelatih tetap terus berlangsung. Pak Anwar dan beberapa pelatih senior yang angkatan pertama perguruan memberi materi pelatihan berbeda-beda.
“Pertama yang pasti dilatih oleh siswa adalah dasar jurus. Kenapa harus demikian?” Pak Anwar berkata memberi petunjuk sekaligus mencoba bertanya. Siswa-siswa yang berdiri di belakang dalam sikap kuda-kuda tidak berkata apa-apa, tetapi mereka harus menyimak materi yang terus terlontar dari mulut Pak Anwar. “Sebabnya jurus adalah rangkaian dari dasar jurus yang terdiri dari teknik-teknik beladiri, jadi jurus merupakan rangkaian teknik beladiri dengan kaidah Pencak silat.”
Mereka kemudian memperagakan dasar jurus yang lebih menyerupai gerakan-gerakan sederhana, bahkan mungkin sangat mudah diikuti.
“Kuda-kuda kanan depan, ingat kaki kiri di belakang lurus, kepalkan tangan letakkan di samping kiri badan masing-masing. Eiit.. itu Surip jangan terlalu menunduk. Badan tegap dengan pandangan lurus ke depan.” Pak Anwar memberi petunjuk sekaligus meralat beberapa posisi siswa yang dianggapnya kurang tepat. “Ayo sekarang mulai daari dasar jurus satu sampai sepuluh.” Teriak Pak Anwar.
Langsung seorang siswa di samping kanan berkata tetap dengan gerakan tertentu sebagai aba-aba.
“Pukul! Buka kuda-kuda melangkah kiri pukul kiri!” Terus diulang-ulangnya aba-aba untuk menyeragamkan gerak orang-orang dalam barisan. Ruang langgar terasa sempit sekali, lima belas orang berjajar tiga membuat langkah kaki hanya mencapai lima langkah. Setelah itu mundur lagi ke belakang mulai dari awal. Tapi peragaan jurus berubah bentuk gerakan selanjutnya yaitu dasar jurus ke dua.
Begitulah hari itu materi latihan adalah dasar jurus. Setiap perguruan Pencak Silat memiliki dasar jurus yang berbeda-beda. Terkadang di dasar jurus itulah berkembang sifat jurus yang berbeda-beda untuk setiap perguruan. Teknik-teknik dasar jurus terdiri dari cara memukul yang benar, menangkis, menendang (sepak), melakukan kuda-kuda dan lain sebagainya. Tekniknya dilakukan sederhana, berulang-ulang bahkan terkadang membosankan.
“Materi dasar jurus ini penting, karena tidak mungkin seorang siswa pemula langsung masuk jurus. Mereka akan bergerak sangat tidak teratur bahkan ngawur karena sulit langsung menghafal gerakan jurus.” Pak Anwar terus memberi keterangan tentang materi yang bagi sebagian besar siswa training pelatih semua sudah pernah dilalui. Jadi teknik-teknik yang mereka lakukan hanya pengulangan dan penyeragaman teknik supaya nantinya masing-masing pelatih mengajar tidak keluar dari aturan perguruan.
Masih beberapa materi latihan diberikan, siswa diberi brosur fotokopian tentang seluk beluk perguruan Al-Jurus. Itu semacam sejarah mulai berdirinya sampai siswa-siswa angkatan pemula sampai saat ini. Setelah itu latihan dibubarkan.
Biarpun latihan sudah dibubarkan Surip masih tetap berada di langgar. Ia malah memperagakan gerakan yang keluar dari jalur materi pelatihan.
“Ciaat! Haiit!”
“Cakar naga menggapai mustika!” Teriaknya sambil mengepalkan tangan membentuk cakar di atas kepala, sedangkan tangan kiri lebih rendah sedikit seperti menggenggam sebuah benda. Tapi seteelah bergerak seperti itu kemudian kebingungan.
Tangannya terus digerakkan membentuk cakar, maju mundur berputar-putar tak puas. Rasanya pikirannya tadi bisa membentuk gerakan yang bagus sesuai namanya yaitu naga. Ternyata buntu tak bertambah bagus.
“Gemblung Surip, pelajaran sekang ngendi ana jurus cakar menggapai mustika barang?” Paimo berkata mengikuti gerakan Surip tanpa perlu benar-benar menghayatinya. Kemudian keluar dari mulutnya Ha Ha Ha Ha tetawa karena merasa lucu.
Surip tak peduli matanya, terus menatap ke depan seolah di depannya ada seorang musuh tangguh bertarung dengannya. “Sekarang kukeluarkan jurus andalanku, ekor naga melecut bumi. Pasti hancur tulang-tulang di tubuhmu. Ciaaaaat!!” Surip dari kuda-kuda kanan depan tiba-tiba berbalik badan ke belakang, kaki kirinya digerakan menendang hingga terjadi putaran tubuh.
“Eit aja kaya kuwe Rip, inyong emeh kena kiye!!” Seorang temannya si Bagio mengelak karena sepertinya tendangan Surip ditujukan kepadanya. “Bocah gemblung, nek dolanan nang njaba baen. Nabrak ceret didomeih Pak Anwar mengko!” Bagio memperingatkan Surip yang terus masih berlagak jagoan.
Lama-lama Surip sendiri yang kecapean, nafasnya mendengus-dengus dengan keringat bercucuran. Tak banyak lagi tingkahnya, langsung terjerambab di lantai langgar. Pak Anwar memandanginya, kemudian berkata, “Sudah menang apa belum dadi lakon. Ayo cepat disapu biar bersih!” Itu instruksi yang paling jelas harus dipatuhi oleh Surip.
“Ha Ha Ha “ Orang-orang yang hadir di tempat berlatih mentertawakan Surip yang punya aksi konyol. “Dasar kebanyakan membaca komik.” Pak Anwar berkata menyudahi acara di hari minggu itu.
“Huh kalau saja aku jadi pendekar super sakti. Alangkah hebatnya, jadi pendekar punya kesaktian membela keadilan.” Surip nyerocos sendiri sambil mengayunkan sapu ijuk membersihkan lantai langgar. Kata-katanya tidak ditujukan kepada siapa-siapa, tetapi yang hadir tahu itu sudah watak Surip yang angin-anginan.
“Sekolah sing bener baen Rip, nek pinter tuli bisa dadi wong penting mbesuke.” Bagio berkata menegur Surip, Bagio sedang bercakap-cakap dengan Pak Anwar dan beberapa senior yang tadi memberikan materi latihan. Mereka rupanya sedang membicarakan perguruan di mana mereka bernaung saat ini.
“Aku sebenarnya sulit menerka keadaan Pak Jamaludin, sebenarnya beliau itu hendak memajukan perguruan atau hidup dengan bisnisnya yang berupa kripik INTI itu?” Pak Anwar bicara mengenai guru besar mereka saat ini.
“Iya tampaknya kita seperti tak diperhatikan lagi olehnya, latihan ini saja sekarang jarang dikunjunginya.” Bagio juga merasakan keadaan yang sama.
Bapak Jamaludin seorang pensiunan pegawai negeri sipil IAIN Purwokerto di pasar Wage. Saat mudanya berlatih di sebuah perguruan Pencak Silat yang saat ini berada di Kauman Lama. Beberapa tahun kemudian beliau keluar dari perguruan di kauman Lama tersebut. Kemudian mendirikan perguran sendiri. Dalam menapaki kariernya sebagai PNS beliau menerima pensiun dan mencoba wiraswasta dengan mendirikan usaha makanan kecil khas Purwokerto yaitu kripik tempe. Begitulah Pak Jamaludin berada di dua dunia yang membutuhkan konsentrasinya.
“Aku mengenal Pak Jamaludin itu ketika masih di IAIN, saat itu aku menjadi tukang bangunan rumahnya di Jatiwinangun yang sekarang ini. Nah saat itulah aku ditawari berlatih silat, kalau teringat seperti itu wah semua masih anak muda. Dengan berlatih Pencak Silat banyak gadis-gadis yang menonton kami berlatih. Nah salah satunya nyantol di rumah jadi ibunya anak-anak.” Pak Anwar bercerita keadaan dirinya yang dulunya tidak punya apa-apa, karena kecipratan berkah Pak Jamaludin saja ia sekarang bisa mencukupi kebutuhan hidup dengan nebeng hidup, dan terkadang meminta jasa dari pak Jamaludin jika diperlukan membangun sesuatu. “Kios usaha kripik tempe Pak Jamaludin itu dulu aku yang membangun.” Katanya seperti terkenang waktu tempo dulu.
Bagio dan beberapa orang yang masih berkumpul di langgar hanya mendengarkan saja cerita Pak Anwar. Masing-masing tentu memiliki kenangan tersendiri karena mereka adalah siswa-siswa angkatan pertama dan ke dua perguruan Al-Jurus. Saat itu mereka sangat guyub karena jumlahnya hanya beberapa orang. Bahkan tak ada jarak antara pelatih dengan yang dilatih karena lebih terjalin hubungan sosial. Lagi pula saat itu Pak Jamludin benar-benar turun tangan melatih mereka.
Ini berbeda dengan Surip yang lebih mengenal Pak Anwar dan beberapa senior sebagai pelatihnya. Pemahamannya tentang guru besar perguruan Pencak Silat Al-Jurus sudah lebih banyak dari versi angkatan pertama dan ke dua. Dengan Pak Jamaludin pribadi, Surip tak terlalu mengenal, kecuali bila berkunjung ke rumah di jalan Jatiwinangun saat silaturahmi idul fitri atau bertemu karena kepentingan perguruan.
“Pak Jamaludin itu lebih banyak menerangkan teori dari pada praktek. Itu yang sering aku bingung menerima kata-katanya. Aku kan cuma tukang batu.” Pak Anwar berkata memberikan posisinya bila berhadapan dengan guru besar mereka.
“Akupun merasakan hal sama, aku cuma hafal jurus dan terkadang bila kehabisan materi sengaja siswa melakukan tarung satu lawan satu.” Bagio yang memiliki beberapa siswa di kampungnya, ditambah anak-anaknya sendiri berkata terus terang. “Apa lagi kalau disuruh membuat catatan, wah aku bingung apa sih yang dicatat dari hafalan jurus?”
Semua orang yang saat itu berbincang-bincang tiba-tiba melihat Surip yang diketahui oleh mereka masih sekolah.
“Rip mana catatan materi latihan beberapa minggu ini ayo dikumpulkan!” Pak Anwar berkata memerintah Surip.
Surip terkejut, biarpun ada perintah mencatat materi latihan tapi ia sendiri pun bingung mulai dari mana memulainya.
“Nggak ada pak, aku nggak pernah mencatat apapun.” Katanya menjawab dengan muka mulai ketakutan.
Pak Anwar langsung seperti memiliki pelampiasan,
“Kalau begitu terpaksa kamu dihukum biar kapok. Ayo push up sepuluh kali!” Perintahnya membuat Surip makin bersalah. Dengan terpaksa ia melakukan perintah Pak Anwar. Belum selesai sepuluh kali push up ia sudah tergeletak tak kuat lagi.
“Ya cukuplah, tak apa-apa biar tak sampai sepuluh kali. Minggu besok catatanmu harus segera dikumpulkan. Mengerti!” Pak Anwar berkata untuk kemudian membubarkan acara ngobrol para senior Surip itu.
Sementara Surip yang ketahuan tidak mencatat materi latihan jadinya pulang paling akhir sendiri. Itupun minggu depan harus membuat catatan yang sudah beberapa hari ini tak dikerjakannya.
“Huh mencatat apa sih, latihan cuma keluar tenaga dan hafalan saja ada pelajarannya. Kayak di sekolah saja.” Menggerutu Surip menerima nasib sialnya hari itu.
Minggu ini Surip hanya bisa mengembalikan komik yang disenanginya. Uang saku yang diberikan ibunya hanya cukup untuk ongkos naik angkot pulang pergi ke sekolah. Surip sangat gelisah mendapati keadaaan dirinya yang seperti itu. Setiap kali tanda pelajaran dimulai ia merasaa was-was. Pekerjaan rumah pelajaran apapun tak ada yang dikerjakannya, di dalam kelas pura-pura tekun mengikuti pelajaran. Padahal setiap kali belajar ia tak memiliki buku pegangannya. Andalannya buku paket dari pembagian sekolah, tapi lebih sering guru-guru pelajaran menyuruh murid memiliki sebuah buku terbitan tertentu yang sesuai dengan selera guru mata pelajaran tersebut.
Karena tak ada pemecahan masalah, Surip setiap hari hanya terlihat melamun. Bila berada di rumah, ia memandangi usuk kayu rumah kecilnya. Berbagai khayalan melambung, ia menjadi tokoh berpengaruh memiliki berbagai keahlian. Hidupnya tercukupi tidak seperti keadaannya saat ini yang sekolah saja tidak memiliki alat-alat tulis yang memadai.
Tapi itulah kenyataannya Surip hari-hari mengalami hidup dengan keadaan yang serba terbatas. Yang pasti sebenarrnya ia bersekolah hanya seperti menjalani tahap-tahapan kelas saja. Lagi pula apa prestasinya? Sampai saat ini Surip pun bingung, bila melihat ranking kelasnya ia hanya berada di nomor-nomor buncit. Memang ia bangga saat masih bersekolah di SMP, dengan NEM cukup lumayan ia berada di pertengahan dari sejumlah puluhan siswa di kelasnya.
Sekarang ternyata di sekolah SMA yang kata orang-orang favorit ia jatuh terpuruk. Kelas satu yang belum ada penjurusan ia sudah merasakan sulitnya belajar. Ada perasaan asing terhadap dirinya sendiri. Entah kenapa dia?
Hal itulah yang tidak bisa dijawabnya sendiri.
Di ruang kelas dua A2,
Guru kimia Surip yang cantik berkata,
“Besok praktek di laboratorium, siapkan pakaian praktek dan sekarang setiap siswa membentuk kelompok, masing-masing kelompok berisi enam orang. Praktek ini untuk membuktikan reaksi katalistik untuk menghasilkan senyawa baru di dalam tabung kimia.”
Guru kimia perempuan cantik berumur tiga puluh tahunan. Wajahnya yang bulat telur dengan mata tajam sering membuat siswa lelaki di kelas blingsatan. Cuma guru perempuan ini sudah punya body guard seorang tentara, ya apa boleh buat siswa–siswa di kelas ataupun seluruh sekolah cuma berani memandanginya dari jauh.
Kalaupun usil memangnya ditanggapi?
He He He di mata guru tersebut anak-anak SMA jelas tak masuk benaknya, kecuali pelajarannya yang coba ditransfer ke siswa.
Pelajaran kimia, wah biarpun siswa yang paling pintar sekalipun tetap saja merasakan itu salah satu momok yang mengerikan. Setiap pelajaran diterangkan otak para siswa diperas habis-habisan mengurusi rumus-rumus yang rumit tersebut. Praktikum dilakukan di laboratorium, siswa kelas dua tidak akan menyia-nyiakannya untuk bermain. Dari pada di dalam kelas melulu yang selalu berisi penyelesaian soal.
Surip mengerutkan keningnya, lagi-lagi ia getun.
“Huh praktikum di laboratorium, aku nggak punya seragam praktikum, lagi-lagi harus pinjam kelas sebelah.” Surip menggerutu membayangkan kesulitannya nanti berada di dalam ruang laboratorium. “Paling-paling aku pinjam sama Gunawan bekas teman sebangku di kelas satu.” Diperhatikannya benar ruang kelas, besok ia harus membuat langkah-langkah tepat supaya seragam praktikum bisa diambilnya dari ruang kelas sebelah. Bergegas setelah bunyi bel istirahat berbunyi ia segera mencoba menemui Gunawan. Mudah saja menemui anak tersebut, biasanya pasti jajan di warung sekolah yang berada di pojok belakang dekat masjid.
“Gun besok aku pinjam seragam prktikum mu lah, aku ada praktek besok di jam pelajaran ke empat.” Surip berkata memohon pengertian Gunawan.
“Ya sama saja, aku juga praktek di laboratorium, tetapi jam pelajaran ke dua. Ya sebisa-bisa lah kamu ke kelasku, biar kulempar keluar seragamnya dekat jendela. Harus hati-hati soalnya jam ke empat pelajaran fisika, gurunya killer banget.” Gunawan tak keberatan tapi semuanya harus dengan taktik.
“Iyalah, kalau sampai tak berseragam praktikum aku bisa bolos saja nanti. Repot rasanya harus berseragam putih-putih kaya dokter, padahal sebulan dipakai paling sekali saja.” Surip berkata mengeluh urusan seragam praktek yang dirinya tidak punya.
Tak usah diceritakan, pokoknya Surip sudah berhasil mendapatkan seragam praktikum dan saat ini duduk manis bersama lima teman kelompoknya.
“Perhatikan baik-baik anak-anak, ibu akan mempraktekan lebih dulu sebelum masing-masing kelompok melakukan hal yang sama. Sementara dua orang maju membantu ibu, ya Herman sama Erna.” Guru pelajaran kimia memberi contoh.
Maka praktek contoh pun dilakukan oleh guru kimia teersebut. Lancar sekali tampaknya, mungkin setiap tahun guru kimia ini mempraktekan reaksi kimia tersebut sehingga tak terkendala. Lain dengan beberapa kelompok siswa yang terbentuk.
Dari delapan kelompok tersebut hanya berhasil satu saja. Maka yang belum berhasil pun harus mengulangi. Ini adalah semacam reaksi kimia pembentukan senyawa dari campuran beberapa zat kimia. Campuran tersebut harus dilakukan dalam gelas kimia karena reaksinya terbentuk semacam gas yang menyengat. Nah gas yang dihasilkan inilah yang harus diperlihatkan dengan cara mengikatnya dalam air yang terdapat dalam mangkuk yang tersedia. Gelas kaca yang sudah ada zat kimia tercampur, ditutup dengan kapas atau tisu kemudian diberi selang kecil. Nah campuran tersebut selangnya yang akan mengeluarkan gas diarahkan atau dicelupkan ke air dalam mangkok. Bila berhasil percobaan tersebut air akan menyerap gas dan langsung terbentuk senyawa baru campuran gas dengan air yang mengikat menjadi berwarna merah.
“Ayo ayo sekali lagi anak-anak. Surip gelasnya ditutup jangan terbuka seperti itu, gasnya keluar semua!” Guru kimia berteriak sambil menutup hidung membaui bau menyengat dari gelas yang dilakukan oleh Surip.
Surip gugup otomatis tangannya yang dipakai menutup gelas yang di dalamnya sedang terjadi reaksi kimia.
“Wah Rip jangan pakai tangan, ini cepat pakai gumpalan tisu dan langsung beri selang.” Seorang temannya yang perempuan mencoba membantu Surip. Sayang begitu gumpalan tisu dan selang terpasang, gas yang terbentuk sudah habis.
Gagal deh!
Dengan kecewa kelompok Surip terpaksa memandangi reaksi lain tim yang ternyata kebanyakan sudah berhasil mempraktekannya. Guru pelajaran kimia jelas melihat kegagalan kelompok Surip tersebut.
“Ini sudah yang ke dua, bila kalian gagal lagi terakhir kalinya laporan kelompok kalian pun tidak boleh terisi berhasil.” Peringatan itu mengandung ancaman.
Terpaksa kelompok Surip manggut-manggut saja. Percobaanpun dilakukan lagi. Surip mengambil gelas kosong dan kemudian bersama teman-temannya mencoba untuk cepat menutup dan memasang selang, sebelum kemudian digoyangkan untuk terjadi reaksi kimia antara gas dan air. Benar-benar hanya kelompok Surip yang diberi kesempatan terakhir, kelompok lain biarpun hanya sedikit terjadi reaksi kimia karena kehabisan gas, tetapi sudah terbentuk ikatan air dengan gas menjadi merah.
Nah kali ini Surip benar-benar mencoba. Digoyang-goyangnya gelas yang sudah menghasilkan gas ke air. Rupanyaa teman-teman kelompok lainpun karena sudah berhasil sekarang menjadi penonton.
Alhasil Surip semakin gugup, ada terdengar sorakan teman-teman Surip menyemangati. Sayang seribu sayang Surip malah tambah grogi, goyangannya kuat dan tak berirama. Sampai gas reaksi kimia di gelas habis, tak terbentuk setetespun hasil akhir.
“Ha Ha Ha !” Teman-teman Surip tertawa dan bersorak melihat Surip yang mandi keringat karena kegugupannya.
Gagal sudah dan tak mungkin diulangi, mereka yang berada di kelompok Surip pun hanya menghela nafas kecewa. Laporan pun dibuat tapi saat praktek dinyatakan rusak. Surip hanya mengeluh saja. “Apa dayaku, rasanya semua sudah kulakukan semampuku.”
Nasib, nasib Surip pun kecewa sampai bel berbunyi tanda pulang sekolah tiba. Perasaannya mengatakan dialah penyebab kegagalan percobaan kelompoknya.
Sampai di rumah Beji Surip masih merasakan ketegangan, tapi dalam bentuk lain. Ibunya di rumah sedang bertengkar dengan tetangga sebelah. Terdengar tetangga rumah lain RT itu berteriak,
“Inyong sing disitan dipeseni nandur nang sawahe Pak Liman. Kowe kebangeten Sur, ngrebut langganane inyong!” Itu mbok Jinah rupanya terjadi persaingan dalam memburuh tani.
“Inyong kiye ora ngerti urusanmu, bojone Pak Liman wingi ngeneh ngongkon inyong tandur. Ya jelas inyong mangkat. Aja mung nyalahna nyong baen!” Si Mbok berkata seraya menjelaskan kejadian yang diketahuinya.
“Inyong ora trima! Kowe bener-bener tega ngrebut langgananku. Tak supatani kowe, dasar randha tengik!” Terus meluncur kata-kata kasar dari ibu tetangga sebelah lain RT, menyumpahi ibunya Surip Surtinah.
“Inyong ora urus!” Ibu Surip pun tak kalah gertak.
“Wadon sundel, kurangajar!” Lagi tak terkontrol ibu itu saling bersitegang.
“Ben baen, dudu urusanmu!” Ibu Surip tak peduli, membalas seolah-olah tetap tegar biarpun dicaci maki tetangganya.
Akhirnya ibu tetangga lain RT itupun ngeloyor pergi setelah kehabisan kata-kata umpatan. Mungkin dirasanya sudah puas mencaci maki pesaingnya di sawah.
Setelah perempuan yang memakinya pergi, tak terasa meleleh juga air mata Surtinah. Perlahan-lahan ia masuk ke dalam rumahnya, yang ternyata sudah terdapat anaknya yang baru pulang sekolah. Terpaksa ia mengusap air matanya agar tak terlihat kesedihannya di depan anaknya si Surip.
“Kowe wis bali le, aja dirungokna omongane mbok Jinah ya wonge pancen wateke ala.” Si Mbok berkata seolah-olah mententramkan hati Surip.
Surip tak bisa berkata apa-apa, pertengkaran itu terasa juga menusuk hatinya. Apa boleh buat itulah yang terpampang di depan matanya. Entah ada kejadian apa sebelumnya Surip tak tahu. Dulu saat ia masih SD sering saja ia diajak ke sawah. Hanya itulah mata pencaharian ibunya, jasa tanam padi di petak sawah atau memanen padi, berbarengan dengan tetangga-tetangganya. Terkadang ada jasa lain, memijat atau mengerik tetangga yang merasa sedang masuk angin.
Ibunya kemudian memegang lengan Surip, dibimbingnya menuju lemari yang berisi nasi dan ikan asin goreng.
“Makan dulu Rip, habis itu istirahat ya.” Wah itu naluri keibuan yang muncul bila ibunya tidak ingin permasalahan dirinya ditanyakan oleh Surip.
Apa boleh buat Surip pun makan tanpa bisa mengorek keterangan apa-apa tentang pertengkaran ibunya dengan tetangganya hari itu. Mungkin seperti itulah cara ibunya melindungi anaknya supaya terhibur.
Setelah makan siang Surip pun istirahat. Beberapa masalah telah terjadi terhadap dirinya. Peristiwa konyol di laboratorium kimia dan pertengkaran ibunya tentang pekerjaan di sawah. Terasa sekali dirinya benar-benar tak nyaman, baik hati maupun pikirannya. Ia melarikan dirinya dengan mengkhayal, seperti menjadi tokoh lain yang tidak terbelunggu dengan nasibnya kini.
Bacaan-bacaan komik sangat mempengaruhinya. Menjadi lakon dengan jaman dahulu, misalnya menjadi seorang pendekar yang rasanya, pasti bisa menyelesaikan masalah dengan tanpa hambatan karena sudah dilambari dengan ilmu kesaktian.
Ah benarkah hal seperti itu ada?
Perlahan Surip memejamkan mata, malam itu tidurnya gelisah sekali. Semuanya itu mimpi buruk baginya. Ia merasakan betapa dirinya menjadi asing di lingkungannya. Orang-orang sekitarnya seperti selalu mempermasalahkan keberadaannya. Pelariannya ia sering melamun menjadi sosok orang lain yang dikaguminya.
Hari minggu di langgar Mangga Sholat jalan Bima Jatiwinangun. Kampung Jatiwinangun masuk kelurahan Purwokerto Lor. Dari sebelah selatan ke utara terbentang jalan Jatiwinangun beraspal tapi sempit. Dari selatan ke utara berderet-deret gang bernama tokoh wayang. Hampir semua gang tersebut buntu. Satu-satunya jalan yang memiliki tembusan sampai jalan Gatot Subroto itulah jalan Bima.
Tempat untuk training pelatih dilakukan di jalan Bima supaya kegiatan tidak terpusat hanya di rumah Pak Jamaludin. Ini memang strategi untuk memperluas calon-calon siswa perguruan. Siswa-siswa baru mendaftar dilatih di rumah Pak Jamaludin. Pelatihnya bisa berganti-ganti dengan jadwal. Yang jelas setiap minggu terdapat tiga kali sesi latihan dengan pelatih yang ditunjuk.
Surip biarpun menjadi siswa perguruan Al-Jurus tetapi tak pernah berlatih dibawah bimbingan pak Jamaludin. Awal-awal Surip berlatih Pencak Silat saat masih SD di desanya Beji yang dikelola seorang pelatih hasil bimbingan Pak Anwar. Jadinya Surip lebih sering berhubungan dengan Pak Anwar dan anak didiknya. Sampai pun ada program training pelatih hal tersebut dikelola oleh Pak Anwar yang sudah menjadi orang nomor dua di perguruan Al-Jurus.
Di sanalah sekarang Surip meneruskan program latihannya. Jadilah Surip sekarang kader pelatih baru di perguruan Al-Jurus.
Pak Anwar memberi instruksi,
“Jurus ke dua adalah jurus yang terpanjang dari sepuluh jurus yang wajib dipelajari di Al-Jurus. Pukulannya dobel ditambah dengan cara menangkis pukulan tersebut. Rangkaiannya bersifat pantang mundur. Ingat setiap jurus sebenarnya dilakukan dalam empat arah, tetapi karena panjang jadi sekarang hanya seperempatnya saja dilatih.”
Gerakan jurus pun diperagakan bersama. Kali ini yang hadir hanya sepuluh orang. Tidak setiap sesi latihan di hari minggu itu penuh orang. Ternyata ada saja penghalang untuk berbagai keperluan dari masing-masing peserta. Ini memang bukan pendidikan formal sekolah, tetapi hanya wadah organisasi berbasis beladiri.
“Pukul dobel, tangkis bawah tangkis atas. Pukul-pukul!”
Pak Anwar terus memberi aba-aba peragaan jurus. Biarpun hanya dilakukan seperempatnya saja ternyata orang-orang pun sudah megap-megap harus mengambil nafas. Nah ini dia kelemahan rata-rata orang Indonesia. Staminanya kurang, sering dalam sesi latihan tak diajarkan cara-cara menggenjot stamina. Setahu Surip latihan stamina tidak ada, pelatih seperti Pak Anwar bahkan tak tahu menahu masalah itu. Ya apa boleh buat latihan Pencak silat biarpun itu beladiri lebih banyak hafalan jurus.
Begitu peragaan jurus ke dua selesai, semua orang di ruangan langgar langsung terduduk kecapaian. Beberapa diantaranya bahkan harus membungkukan badan karena tiba-tiba kepalanya terasa pening.
“Huh nafasku tak kuat lagi, mungkin kebanyakan merokok.” Paimo berkata dengan nafas tersengal-sengal. Setelah nafasnya bisa terkontrol, dengan muka dan badan basah keringat sampai menimbulkan aroma tajam, Ia mengambil gelas kosong dan diisinya dengan air dari ceret. Ditenggaknya air minum sampai habis segelas, terasa segar karena kerongkongannya dari tadi mengering.
“Hei habis berlatih jangan jongkok seperti itu Mas Bagio, kakimu nanti banyak varisesnya loh.” Surip memperingatkan Bagio yang duduk jongkok kelelahan.
“Huh tahu apa kamu Rip, capek ya capek mau duduklah mau jongkoklah terserah aku.” Bagio tak peduli omongan Surip.
“Itu pelajaran di sekolah waktu olah raga, lebih baik duduk selonjorkan kaki atau jalan-jalan dulu sampai otot lemas baru terserah kita mau apa.” Surip terpaksa berkata memberitahu hal-hal yang diketahuinya.
“Oh pelajaran sekolah toh. Wah terpaksa kita nurut saja deh sama Pak guru.” Bagio dari jongkok kemudian selonjor menuruti kata-kata Surip biarpun tak mempan dinasehati. Semuanya istirahat dengan gaya masing-masing, sementara Pak Anwar terus memberi keterangan tentang jurus yang diperagakan tadi. Tiba-tiba dari luar langgar sebuah sepeda motor singgah di luar pagar. Langgar kecil berhalaman cukup luas teduh oleh beberapa jenis buah-buahan. Yang paling banyak itu rambutan dan pohon cengkeh.
“Pak Jamaludin datang, ayo kalian berbaris lagi!” Pak Anwar berkata seraya meenyambut kedatangan guru besar perguruan. Serempak calon-calon pelatih berbaris lagi. Mereka jarang berjumpa dengan orang yang selama ini menjadi sumber atau rujukan bila ada masalah perguruan.
“Oh kalau kalian sudah lelah duduk sajalah, duduk melingkar biarpun tempatnya sempit. Aku ingin melihat hasil latihan kalian selama ini.” Pak Jamaludin yang berbadan tinggi kurus berkata memecahkan kesungkanan orang-orang bila berhadapan dengan orang yang dihormati. Orang-orangpun kemudian duduk melingkar, beberapa diantaranya tak mungkin berada di depan sehingga berbaris lagi di belakangnya.
“Kulihat dari jauh pasti kalian tadi sedang memperagakan jurus ke dua, Nah aku kepengin melihat salah satu dari kalian memperagakannya di depanku.” Pak Jamaludin berkata dengan wibawa yang besar, tak ada yang berani membantah apa-apa yang diucapkan. Perintah tinggal dilaksanakan orang-orang yang hadir saling memandang berharap cemas.
Pak Anwar yang kemudian menunjuk seseorang,
“Ayo Rip maju ke depan, lakukan jurus dua dengan empat arah!” Perintahnya sambil mengangkat badan Surip yang terduduk di pojok belakang.
“Ya kamu saja Rip!” Yang lain bersorak senang karena terbebas dari suruhan orang tua yang sering membuat malu bila berhadapan langsung.
Surip pun tak bisa berbuat apa-apa, namanya disuruh orang tua walaupun berat tetap harus dikerjakan. Dilakukannya jurus kedua dari mulai pembukaan jurus.
“Pukul dobel! Tangkis bawah! Tangkis atas! Pukul-pukul!”
“Tendang kiri, diulangi lagi jenis teknik tersebut.
“Beset, sikut pukul, tangkis balik lompat ke belakang angkat kaki kiri!” Terus dilanjutkannya.
“Tangkis kaki melangkah, pasang kuda-kuda kanan. Ganti langkah!” Teknik itupun dilakukannya,
“Kuda-kuda rendah depan, kuda-kuda rendah belakang balikkan badan sepak kanan. Pasang kuda-kuda kanan lagi, ganti langkah.”
Terus……
“Sepak putar. Tendang sekali lagi, pasang kuda-kuda kanan.”
“Kelit!” Jatuhkan kaki langsung kuda-kuda rendah kiri depan.
“Sepak langsung pukul.”
Selesai.
Ah tidak begitu, masih harus dilakukannya lagi dengan menghadap ke seluruh penjuru mata angin. Satu arah selesai ganti lagi kearah lain, utara, barat, timur dan selatan.
Satu arah Surip mampu, dua arah megap-megap, tiga arah kepalanya pening, dan empat arah sudah tak terkontrol lagi gerakannya. Nafasnya memburu gerakannya kacau.
“Ha Ha Ha!” Orang-orangpun tertawa melihat tingkah laku Surip yang gelagapan memperagakan jurus. Staminanya habis ditengah jalan. Untung Pak Anwar saat melihat Surip seperti tak hafal gerakannya segera berteriak memberi instruksi. Selesai peragaan Surip terjongkok dengan nafas memburu seperti babi, dan kepala pening karena peredaran darah masuk ke kepala. Bahkan ia pun cepat menyingkir keluar ruangan langgar tanpa permisi untuk mencari udara segar di bawah naungan pepohonan buah. Entah ada apa lagi di dalam langgar Surip tak mendengar lagi.
Pak Jamaludin berkata kepada yang hadir,
“Saya datang ke sini untuk memberitahukan kepada kalian tentang keadaan perguruan Pencak Silat Al-Jurus. Mulai hari ini perguruan kita sudah masuk dan terdaftar di IPSI Banyumas.” Katanya dengan memperlihatkan tanda dua jari sebagai simbol kemenangan.
“Yuhuuu!” Orang-orang pun berteriak kegirangan.
BAB 3
Kegiatan IPSI
Pulang sekolah Surip berjalan kaki menuju kompleks pasar Kebondalem. Dari sekolahnya SMA negeri 1 ia harus berjalan kaki kurang lebih dua kilometer menuju timur. Di ruas jalan Purwokerto-Baturraden itulah adanya colt angkot jurusan Beji Karangsalam dengan abjad G1 dan G2. Ini tahun-tahun Surip bersekolah yaitu 1988. Saat-saat itu belum banyak jumlah sepeda motor. Angkot masih merajalela di berbagai sudut kota yang tidak luas. Anak-anak sekolah berjalan kakipun masih banyak, setiap pagi berduyun-duyun di sekitar jalan Gatot Subroto. Tentu saja di sepanjang jalan Gatsu itu banyak berdiri kantor pemerintah dan sekolah dari SD sampai SMA. Dari kompleks bekas terminal menuju barat sudah terlihat deretan sekolah SD-SMA Kristen. Terus STM negeri selanjutnya di depan tugu monumen jagung terdapat SMA negeri 1 dan SMA negeri 2. Lebih ke barat SMA Bruderan dan Susteran dengan kompleks gereja katolik di tambah beberapa SD desa dan SPG negeri serta SMP negeri 3 dan SMP negeri 2.
Lumayan kota kecil dengan detak jantung berdenyut oleh aktifitas pendidikan. Pusat keramaiannya tidak banyak, Alun-alun kabupaten, beberapa toko dan plaza di jalan Jendral Soedirman, Kebondalem dan dan kampus Universitas Jendral Soedirman. Sore hari bahkan malam kota Purwokerto sepi, angkutan kota pun kebanyakan sudah pulang di atas jam lima sore.
“Ah aku singgah dulu ke pasar Sarimulyo lihat-lihat komik.” Berkata Surip dalam hati sambil menyeka keringat. Seragamnya tidak banyak sehingga sering hanya berganti dua tiga hari sekali. Beberapa temannya yang memakai sepeda motor menyalipnya lebih dulu dengan bersuit melecehkannya.
Tapi banyak saja anak sekolah yang pulang jalan kaki. Sebagian karena rumahnya dekat dengan sekolah sedangkan yang lain memang terbiasa menumpang angkot. Lumayan murah bayarannya, seratus rupiah jauh dekat sudah sampai tujuan. Ke sebuah kios kecil semacam ruko yang dibikin Pemda setempat itulah Surip mendapati tempat persewaan komik. Namanya toko buku dan alat tulis “SAKURA”, tetapi sayang tampaknya yang masih berjalan usahanya hanya sewa komiknya saja. Alat tulis dan bukunya tidak ada yang terpajang sama sekali, bahkan di sudut belakangnya digunakan seseorang untuk reparasi alat elektronik.
“Oh masuk nak, silahkan pilih komik yang ada di rak.” Seorang penjaga kios, itu hanya seorang yang diupah harian menyapa Surip.
“Ah hari ini aku nggak mengambil komik, hanya lihat-lihat saja boleh kan.” Surip berkata memberitahu.
“Oh silakan saja, baca di sinipun boleh Mas. Tarifnya seratus rupiah setiap jamnya.” Rupanya penjaga kios merasa punya kesempatan mencari tambahan hasil.
“Begitukah, kalau begitu aku teruskan bacaanku yang kemarin ya, aku lagi tanggung nih uang sakuku paling cukup untuk sejam membaca di sini.” Surip berkata senang, tentu ini penghematan dari pada menyewa buku dengan uang jaminan cukup besar.
“Kamu itu sudah cukup lama menyewa buku di sini, jadi aku cukup percaya denganmu.” Penjaga kios berkata tanpa berpaling dari bacannya yang ternyata buku-buku saru banget.
Demikianlah Surip biarpun hanya sejam membaca komik tapi paling tidak bisa menghabiskan dua jilid kecil. Saat membaca perhatiannya tertarik dengan logo di dinding tertutup pintu. Itu sebuah nama perguruan Pencak Silat di Kauman lama dan tertulis KBPS Al-Husna. Sebuah logo atau lambang dengan gambar yang cukup rumit. Paling ciri khas bela diri Pencak Silat nya yang berupa tangan menggenggam trisula merupakan senjata yang tidak dimiliki bela diri lain.
Surip merasakan ternyata KBPS Al-Husna memiliki persamaan dengan perguruan Al-Jurus, hanya saja lambang Al-Jurus lebih sederhana. Hanya trisula dengan tangannya yang menggenggam itu benar-benar persis.
“Adakah hubungan antara Al-Jurus dengan KBPS Al-Husna?” Membatin Surip tanpa bertanya apapun kepada penjaga kios. Diperhatikannya lagi orang yang sedang menyimak bacaan favoritnya di sebuah kursi meja catatan penyewa buku komik. Orangnya sedang saja perawakannya, berambut lurus dengan usia tigapuluh tahunan.
“Setahuku Pak Jamaludin membuka kios juga di kompleks pertokoan Sarimulyo ini, kalau nggak salah jajanan tempe kripik INTI.” Terus Surip mulai menyusuri keinginan tahunya terhadap perguruan Pencak Silat di Purwokerto.
Selesai membaca dua jilid Surip membayar ongkos yang diminta penjaga kios. “Kalau kamu datang ke sini boleh baca langsung di tempat selama ada aku yang jaga. Tapi bila pemiliknya yang datang jangan membaca di sini Oke!” Berkata penjaga kios dengan tambahan hasil kerjanya.
“Baik pak, boleh tahu nama bapak siapa?” Bertanya Surip mencoba mengorek keterangan.
“Sehak, yang punya kios itu yang mirip orang arab Bapak Sudar. Besok datang lagi ke sini ya. Aku jaga siang sampai sore, paginya bapak yang jaga.” Terus orang bernama Sehak berkata.
Sekeluarnya dari kios penyewaan komik Surip memperhatikan sekelilingnya. Deretan ruko terbuat dari semen dengan penutup dari papan kayu. Arahnya utara selatan, kios penyewaan buku termasuk di selatan. Seluruh bangunan kios membentuk kompleks yang disebut ruko Sarimulyo. Nah itu dia kios milik Pak Jamaludin. Terlihat beberapa karyawannya sibuk menggoreng kripik tepat di depan kios. Beberapa etalase terisi bungkusan kripik untuk dijajakan menunggu pembeli.
Surip berjalan melewati kios tersebut dan coba memperhatikan lebih detil lagi. Di dalamnya terdengar seorang perempuan berkata agak keras memerintahkan sesuatu kepada karyawannya. Tentu itu istri Pak Jamaludin. Surip beberapa kali kerumah Pak Jamaludin di jalan Jatiwinangun 55, tetapi biasanya tidak sendirian, boleh dikata tidak kenal, kecuali sebagai guru besarnya di perguruan Al-Jurus.
Tiba-tiba terlihat seorang pengunjung datang ke kios tersebut, ya seorang lelaki berperawakan tinggi tegap. Ia sepertinya bertanya sesuatu kepada karyawan kios tersebut. Tak berapa lama istri Pak Jamaludin menemuinya di depan kios dan berkata,
“Oh Mas Heri, kalau hendak bertemu besok pagi saja di sini. Pasti soal perguruan Silat ya.” Berkata istri Pak Jamaludin saat menyambut tangannya.
“Iya aku kepengin ada kerja sama diantara aku dengan Al-Jurus. Perguruanku saat ini juga nasibnya sama dengan Al-Jurus.” Orang yang dipanggil Mas Heri berkata permasalahan yang membuat Surip berkerut kening. Suara orang-orang di depan kios itu lamat-lamat, tapi pendengarannya saat menyebut Al-Jurus tak mungkin salah.
“Siapa orang itu? Tampaknya punya kepentingan dengan perguruan yang didirikan Pak Jamaludin.” Terus Surip membatin.
Surip tak mungkin berlama-lama berdiri di depan kios, cepat kakinya meninggalkan tempat tersebut untuk pulang. Hari sudah sore ia harus sampai di rumah Beji sebelum kehabisan angkot. Mulailah Surip menyusuri keadaan di Purwokerto sebagai bentuk tambahan pengetahuannya.
Hari minggu kembali Surip berlatih di langgar Mangga sholat. Biasanya yang berlatih sampai mencapai lima belas orang, tapi kali ini hanya ada Sembilan.
“Hanya ini yang hadir! Terpaksa materi training pelatih cukup mengulangi minggu kemarin, ini memang kendala setiap latihan diadakan.” Pak Anwar terlihat kecewa, maunya hari minggu itu materi latihan dilanjutkan berkesinambungan. Tapi karena yang hadir tidak banyak jadi latihan diadakan hanya ulangan saja. Maka hari itupun latihan terasa membosankan. Pak Anwar sendiri terlihat kurang bersemangat, satu dua jam jadi terasa lama. Sampai akhirnya jam sebelas siang latihan disudahi.
“Ini ada pengumuman buat kalian di setiap tempat latihan. Ada undangan dari IPSI Banyumas untuk mengikuti pengukuhan pengurus IPSI setiap periode lima tahun. Harinya minggu jam delapan di markas korem Wijayakusuma jalan Bank. Jadi kalian harus hadir di sana dengan seragam lengkap untuk upacara dan kegiatan lari bersama-sama perguruan lain.” Pak Anwar memeberitahu perguruan lain yang rupanya berkaitan dengan Al-Jurus yang sudah resmi bergabung dengan IPSI Banyumas.
Korem Wijayakusuma jalan Bank.
Sungai Banjaran yang berair jernih menjadi batas antara desa Beji dengan Purwosari. Sungainya penuh dengan batu-batu besar dari gunung Slamet. Sungai tersebut mengalir ke hilir masuk kota Purwokerto. Bobosan, Kober dilaluinya termasuk stasiun raya Purwokerto dan Korem Wijayakusuma.
Hari minggu program training pelatih ditiadakan. Semua siswa perguruan Al-Jurus diwajibkan untuk mengikuti upacara pelantikan pengurus IPSI Banyumas. Lengkap juga siswa-siswa senior Al-Jurus hadir. Pak Anwar, Paimo, Bagio bahkan Pak Jamaludin datang dengan mengendarai motor bebeknya. Lumayan keren juga orangnya, apalagi beliau langsung mengenakan seragam beladiri hitam atas bawah. Ini berbeda dengan Surip bersama Bagio yang dari Beji bersepeda, sampai di korem mengganti seragam bela diri untuk menyembunyikan dirinya dari tatapan heran saat melewati beberapa jalan menuju korem.
Kompleks korem Wijayakusuma menjadi kompleks luas dengan sarana lapangan besar di luarnya. Saingannya yang lebih besar lagi berjarak satu kilometer adalah Alun-alun Purwokerto kota Satria. Status kota Purwokerto setingkat administrasif dipimpin walikota, tetapi bupatinya masih menempati Alun-alun sebagai orang nomor satu di Banyumas.
Orang-orang terus berdatangan dari berbagai perguruan. Sebagian besar sudah memakai seragam bela diri. Beberapa bendera perguruan mulai berkibar menempati barisan-barisan yang akan dipakai upacara. Begitulah pengumuman terdengar dari pengeras suara untuk mulai dilaksanakan. Orang-orangpun harus berbaris di tengah-tengah lapangan yang di depannya terdapat meriam kuno terarah siap menembak, entah siapa musuhnya.
Biarpun berbaris tetapi mulai terlihat betapa lucunya orang-orang kalangan persilatan itu melakukannya. Cara berdirinya banyak salah, tidak tegap bahkan kaki rapatpun tidak bisa dilakukan. Alhasil terlihat barisan kacau balau. He He He ini bukan barisan ala militer walaupun dilakukan di lokasi komando militer daerah. Inspektur upacaranya ketua IPSI yang ternyata menjabat sepertinya harus dari kalangan militer.
Inilah yang membingungkan keberadaan bela diri. Militer dan bela diri apakah sama bidangnya?
Seorang tentara atau polisi selalu diberi pelatihan bela diri. Manakah yang lebih penting pekerjaan atau beladiri, itulah yang nanti dibahas. Yang jelas suasananya terasa beladiri harus di bawah militer bahkan menjadi alat pejabat militer dan polisi meraih suatu pengaruh terhadap perguruan-perguruan Pencak Silat yang ada.
Surip melihat sekeliling lapangan. Lapangan upacara ini luas, lebih setengah hektar. Ratusan orang dari berbagai perguruan di Purwokerto hadir. Yang membuat kagum sekarang Surip seperti baru terbuka matanya. Selama ini Pencak Silat identik dengan seragam hitam-hitam. Tapi di lapangan korem Wijayakusuma terlihat sangat beragam. Semuanya menunjukan identitas dan lambang yang berbeda-beda. Memang dominasi seragam adalah hitam-hitam, tetapi banyak juga yang berbeda. Seragam hitam-hitam adalah seragam resmi Pencak Silat, tetapi setiap perguruan mengembangkan sendiri seragam untuk identitas dan kepentingan perguruan.
Paling mencolok seragam perguruan Tapak Suci Muhammadiyah. Merah menyala membuat barisan perguruan yang banyak hadir memenuhi sepersepuluh luas lapangan. Kemudian perguruan Merpati Putih, seragam putih dan celana hitam mencapai duapuluh persen. Ada juga yang putih seluruhnya bernama Pajajaran tetapi anggotanya tidak sebanyak perguruan Merpati Putih. Ada lagi yang namanya agak aneh yaitu perguruan Pencak Silat Bangau Putih, gaya-gayanya mirip kungfu Cina. Yang enam puluh persen adalah seragam hitam-hitam tetapi jumlah perguruannya banyak dengan nama-nama berbeda. Kalau di bandingkan dengan jumlah anggota Merpati Putih dan Tapak Suci jumlah yang hadir setiap perguruan kalah jauh. Benderanya saja yang berkibar lebih banyak dari pada bendera Merpati Putih dan Tapak Suci.
Nah yang seragamnya hitam-hitam itu banyak perguruan lokal dan tradisional. KBPS Al-Husna menjadi perguruan dengan anggota paling banyak yang hadir. Setelah itu ada Perguruan Maruyung, Sin Lam Ba atau cabang dari Setia Hati Teratai. Yang kecil-kecil yaitu perguruan Al-Jurus cuma duapuluh lima orang dan ternyata di sampingnya terdapat seorang yang segera dikenal Surip sebagai Mas Heri. Berada di barisan paling depan memimpin ada muridnya. Di samping Mas Heri adalah Pak Jamaludin terlihat cukup angker karena berjajar dengan senior-senior perguruan lain terutama dengan anggota KBPS Al-Husna.
Oi ternyata Mas Sehak yang menjaga kios komik yang sering disewa Surip hadir. Ia berdiri sesekali bertatap mata dengan Surip yang menjadi malu. Ternyata Pak Jamaludin mengenal semua orang KBPS Al-Husna tersebut, juga dengan seseorang yang kemudian diketahui bernama Pak Mukto, guru besar perguruan Maruyung. Terlihat benar mereka sudah lama bergaul, juga tak ketinggalan Mas Heri yang suaranya paling lantang diantara orang-orang petinggi perguruan Pencak Silat.
Sebelum berbaris dan melaksanakan upacara orang-orang dari berbagai perguruan itu sudah ngobrol banyak. Surip hanya menjadi penonton saja, terasa ada jarak antara dirinya dengan Pak Jamaludin yang terlihat mengacuhkan kehadirannya. Lebih sering Pak Jamaludin ngobrol dengan Mas Heri dan Pak Mukto serta orang-orang Al-Husna yang hadir.
“Itu Mas Heri katanya hendak kerja sama dengan perguruan kita untuk bisa menambah jumlah anggota, mungkin sementara nanti kita akan bertemu di program training pelatih.” Pak Anwar memandang kagum terhadap Mas Heri, tampaknya Pak Anwar sangat mengaguminya. “Mas Heri orangnya tegas dan yang jelas sangat berbakat dalam olah jurus.” Pak Anwar menambahkan kata-katanya.
“Bapak kenal dengan orang itu?” Surip menunjuk Mas Sehak yang sedang ngobrol dengan anggota-anggota Al-Husna lainnya.
“Oh kenal sekali, itu Sehak, Ndeng, Mas Imam, Rohadi dll. Orang-orang itu anak murid KBPS Al-Husna kauman Lama. Hanya guru besarnya jarang hadir di acara-acara seperti ini. Beliau lebih disegani lagi di daerah Banyumas ini.” Kata-kata Pak Anwar semakin membuat Surip heran. Begitu banyak orang-orang yang memiliki kepandaian tersembunyi diantara orang-orang suatu perguruan yang menjadi tetangga kampung perguruan Al-Jurus.
Beberapa perguruan yang hadir guru besarnya datang untuk mengikuti upacara pelantikaan pengurus IPSI. Hanya KBPS Al-Husna yang mewakilkannya kepada siswanya yang senior. Kalau perguruan-perguruan seperti Tapak Suci dan Merpati Putih itu tidak mengherankan. Mereka mudah memobilisasi siswa-siswa di manapun karena orientassi anggotanya yang lebih sering masuk jalur pendidikan formal.
Ini perbedaan perguruan tradisional lokal dengan yang sudah tingkat nasional. Perguruan tradisional lokal langsung berkecimpung dalam hubungan sosial masyarakat. Sedangkan yang tingkat nasional lebih mengedepankaan prestasi hingga merekrut siswa dalam sekolah. Ada memang perguruan nasional yang masih tradisional yaitu Setia Hati Terate, cabang-cabangnya ada di seluruh Indonesia tetapi terjun di masyarakat sekitar.
Surip merasakan perguruan Al-Jurus ternyata tidak menonjol diantara beberapa perguruan yang beroirentasi sama. KBPS Al-Husna terlihat paling di segani oleh perguruan-perguruan lainnya. Pak Anwar pun menyinggung hal tersebut,
“Orang-orang Al-Husna banyak menguasai sektor-sektor penting di daerah Banyumas ini, mereka memiliki pengaruh besar jika berkaitan dengan keamanan daerah Banyumas.” Surip pun hanya mendengarkan saja.
Sementara orang-orang terus bercakap-cakap, Pak Jamaludin dan Mas Heri rupanya terlibat pembicaraan serius. Hanya mereka berdua yang sepertinya menjadikan ajang upacara undangan IPSI sebagai semacam diskusi. Orang-orang dari perguruan Merpati Putih dan Tapak Suci terlihat sangat resmi. Kedatangan mereka sepertinya untuk menunjukan kekuatan dan pengaruhnya di organisasi IPSI.
Pak Anwar sempat berkata sebelum suara dari pengeras suara memerintahkan orang-orang untuk membentuk barisan upacara.
“Orang-orang berbakat ada di setiap perguruan Pencak Silat, contohnya adalah murid dari perguruan Maruyung itu.” Pak Anwar menunjuk seorang pemuda yang tampaknya berumur likuran tahun. Badannya tegap atletis dan juga ganteng. Tampaknya ia menonjol bak artis di tengah-tengah orang yang menyeramkan karena berseragam hitam semua. “Prestasinya di setiap kejuaraan tingkat kabupaten cukup bagus.”
“Ah bicara tentang prestasi kejuaraan tak mungkin kita menyamai perguruan-perguruan tingkat nasional itu.” Paimo yang tampaknya dari tadi gelisah karena tak biasa berdiri dalam barisan bicara. Tentu perguruan tingkat nasional hampir menguasai seluruh prestasi kejuaraan di manapun bahkan tingkat dunia sekalipun. Tak ada yang membantah kata-kata Paimo.
Setelah itu upaccara diselenggarakan. Tak mungkin lagi orang bercakap-cakap. Segala acara seremonial upacara berbau militer, kecuali pengumuman dari seorang MC yang mengumumkan penghormatan.
“Bahwa untuk penghormatan seluruh perguruan Pencak Silat diwajibkan dengan meletakkan kedua tangan menyembah di dada!”
Itulah penghormatan ala Pencak Silat yang ternyata harus diseragamkan oleh IPSI karena setiap perguruan memiliki penghormatan sendiri bahkan tak pernah mau digantikan karena merasa sudah benar. Nilai falsafah penghormatan diketahui berbeda-bedda untuk setiap perguruan. Masing-masing akan mempertahankannya sebagai identitas perguruan.
Tak diceritakan lagi bagaimana upacara itu berlangsung. Yang tidak bisa dipungkiri, upacara selalu dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Bahkan setiap perguruan diwajibkan menerima dasar negara tersebut sebagai anggaran dasar organisasinya. Orde Baru saat itu berkuasa.
Saat diumumkan nama-nama anggota pengurus IPSI hanya satu dua nama saja yang berasal dari perguruan Pencak Silat tradisional dan lokal. Paling dominan Merpati Putih, SH Terate dan Tapak suci. Pokoknya perguruan-perguruan lokal tersingkir di daerahnya sendiri.
Puncak acaranya, lari maraton.
Begitu selesai upacara setiap barisan dengan bendera perguruan segera bergiliran start lari maraton. Bergemuruhlah orang-orang berseragam bela diri itu menjalani rute maraton yang sudah ditentukan.
Surip pun menghambur lari bersama dua puluh lima anggota perguruan Al-Jurus. Dari korem mereka semuanya berlari maraton ke arah timur menyusuri jalan jendral Soedirman. Terus ke timur menuju Alun-alun. Surip megap-megap saat melanjutkan larinya. Alun-alun Purwokerto dilibasnya, stasiun Timur, sampai pasar Wage. Dari pasar Wage belok kiri menuju jalan Gatot Subroto terus menuju Dukuh Waluh. Surip menyerah begitu kakinya menginjak jembatan kali Pelus.
Terlihat orang-orang yang lain banyak juga yang menyerah, hanya jalan kaki saja. Yang cukup kuat terus berlari belok kiri menuju utara, hanya puluhan orang yang sepertinya cukup kuat menjalani rute tersebut. Sampai di Pabuaran menuju Sumampir, belok kiri tepat di SPN Purwokerto kembali ke selatan hingga perempatan dekat RSUD Purwokerto, barulah setelah itu menuju kembali ke korem Wijayakusuma.
Untung di setiap ruas jalan setiap tiga empat kilometer ada air minum dalam teko yang disediakan masyarakat sekitar. Surip hanya bisa lari maraton sampai jembatan kali Pelus, setelah itu berjalan kaki tanpa alas kaki. Semua orang berseragam beladiri itu nyeker lari maraton. Sangat melelahkan, ditambah lagi aspal terasa panas membuat kulit kaki melepuh. Banyak yang kemudian naik angkota seadanya untuk mengurangi jarak tempuh rute lari maraton bersama itu.
Jika dihitung jarak total lari maraton sekitar dua puluh kilometer. Mungkin orang-orang korem menganggap orang-orang beladiri ini mampu menjalani rute seperti itu karena sudah terbiasa berlatih. Mereka menyamakan dengan dirinya yang berlatih lebih intensif untuk pembentukan badan.
He He He tentara berlatih kan dibayar! Kalau orang-orang bela diri?
Mereka cuma diasosiasikan orang kuat, jago tarung dll. Ada lagi yang lebih keren punya tenaga dalam hingga mampu terbang. Ternyata saat lari maraton, terlihat orang-orang beladiri itu biasa saja. Unsur olahraganya lebih penting dari pada kesaktiannya. Yang bikin sebel Surip ternyata hanya dirinya yang tidak begitu kuat lari maraton. Anggota Al-Jurus yang lain sepertinya meninggalkan begitu jauh jarak dengan dirinya. Entah sudah sampai di mana Paimo, Bagio, Pak Jamaludin dan Pak Anwar. Semuanya terus berlari mengiringi bendera Al-Jurus yang berkibar mencapai finish.
Surip menyerah sudah, hanya berjalan kaki hingga mencapai korem Wijayakusuma. Sampai di korem sudah jam dua siang. Biarpun masih banyak yang belum selesai mencapai rute tersebut, tetap saja Surip termasuk orang terakhir, bila dilakukan dalam lomba lari maraton tidak akan mendapat nomor secuilpun. Tingkatnya hanya sebagai penggembira saja.
Sampai di korem pun jatah snack sudah habis, air minum tak bersisa. Air dan snack merupakan sumbangan mayarakat. Sungguh Surip tak tahan menahan haus, tapi apa daya. Setelah bersalin dengan pakaian biasa, Surip menggenjot sepeda kayuhnya menuju Beji. Ditahannya rasa haus dan lapar di jalan. Ia tak membawa uang saku sama sekali. Bagio yang tadinya bersama berangkat dari Beji sudah pulang lebih dahulu. Hanya sebuah bendera perguruan Al-Jurus di tengah-tengah lapangan berkibar bersama-sama bendera perguruan-perguruan lainnya.
Di kelas dua A2 seorang siswa lain kelas memberikan pengumuman tentang suatu acara. Penyelenggaranya dari perguruan Merpati Putih cabang Banyumas. Demo tenaga dalam untuk pendaftaran siswa perguruan setiap tahunnya.
“Diharapkan kepada seluruh siswa berkumpul di aula sekolah untuk menyaksikan demo dari perguruan kami.” Kata-kata terakhir dari pengumuman tersebut disambut dengan suka cita seluruh siswa SMA negeri 1, lumayan pertunjukan gratis.
Maka saat jam demo diselenggarakan, siswa-siswa SMA tersebut segera berhamburan mengikuti acara pertunjukan. Aula SMA negeri 1 biasanya tertutup papan kayu jati, kali ini dibuka. Biasanya papan-papan kayu penutup aula tersebut setiap kali ada acara besar sekolah memang dibuka. Terutama sekali setiap tahun ajaran baru. Siswa yang baru menginjak kelas satu pasti diwajibkan mengikuti penataran P4 Sekitar dua minggu sebagai masa orientasi sekolah.
Acara demo menempati seluruh luas aula, menggusur seperangkat gamelan yang sementara diungsikan ke ruang ketua OSIS di sudut aula. Banyak sebenarnya kegiatan ekstra kurikuler di sekolah seperti Pramuka, PMR, Tari, Lukis, Musik termasuk Karawitan. Nah beladiri yang menjadi ekstrakurikuler resmi sekolah adalah Karate (BKC), Merpati Putih, Tae Kwon Do dan Judo. Rupanya paling banyak diminati adalah betako Merpati Putih.
Kalau Al-Jurus, ah lupakan saja. Perguruan atau beladiri yang lain berani masuk ke lembaga pendidikan formal tentu harus menyesuaikan dengan kurikulum sekolah. Al-Jurus tidak bakalan laku di sini. Sifatnya tradisional dan hanya dianggap kampungan. Bila seseorang ditanya tentang bela diri yang diketahuinya pasti menjawab Karate, bela diri ini sudah sangat terpatri di masyarakat.
Kalau Pencak Silat?
Komik atau film laga selalu diidentikan dengan dunia ini. Dunia bawah tanah yang melakonkan aktor sebagai pendekar, atau lebih tahu Kung Fu sebagai film laga impor. Kalau film barat sebutannya film action atau spy.
SMA negeri 1 Purwokerto tidak luas, ini bila dibandingkan dengan SMA negeri 2 yang memiliki lapangan sepak bola dan terus menambah ruang pendidikan karena di belakangnya banyak terdapat rumah dinas milik pemerintah kabupaten. Jika dilihat ruang-ruang sekolah SMA negeri 1 termasuk bangunan cagar budaya, apalagi aulanya yang terdiri dari papan-papan dan balok kayu jati tanpa menggunakan paku. Bangunan tersebut hanya boleh dipelihara dan dipakai tanpa merubah strukturnya.
Sudah terlihat persiapan orang-orang perguruan Merpati Putih. Dari sebuah mobil colt bak terbuka terlihat tumpukan buis beton atau plat baja dan balok es batu, genteng serta peralatan demo. Demo dilakukan oleh siswa SMA negeri 1 dan senior-senior perguruan yang jadi inti kedahsyatan demo.
Setelah ada sambutan dari beberapa pejabat sekolah dan perguruan mulailah demo perguruaan dilakukan. Anak murid perguruan Merpati Putih berjumlah sekitar lima puluhan memperagakan jurus milik perguruan tersebut. Terlihat barisan berseragam putih-putih itu dipimpin seseorang hingga teratur sekali. Melihat peragaan jurusnya Surip menduga dilakukan empat arah. Cukup panjang seperempat jurusnya sehingga saat terakhir diperagakan terlihat sebagian kecil peraga kehabisan tenaga. Hanya satu jurus yang diketahui Surip selalu diperagakan oleh perguruan Merpati Putih, seolah-olah itu jurus wajib yang menghimpun seluruh karakter perguruan.
Setelah peragaan jurus selesai, majulah sepuluh orang senior berbaris memperagakan teknik menghimpun tenaga. Teknik-teknik peragaan tidak banyak, selalu berulang-ulang. Yang menjadi fokus teknik ini terlihat pengaturan nafas seperti masuk keluarnya, panjang pendeknya dan pemusatan perhatian di bagian tubuh tertentu. Mungkin di daerah pusar (Surip melihatnya dengan bingung soalnya tak paham tentang tenaga pernafasan). Jika Surip melakukannya, di tanggung terbatuk-batuk karena tenggorokannya tidak terlatih. Teknik-teknik sederhana olah pernafasan akhirnya berakhir.
Puncak acara,
Demo praktek latihan tenaga dalam, penggunaannya di lapangan sekaligus tingkatan-tingkatan ketrampilannya. Sasarannya benda-benda keras semacam buis beton, plat baja, balok es dan genteng atau batu bata. Ini yang ditunggu-tunggu penonton, sangat menakjubkan. Pembawa acara menerangkan setiap tingkat demo tenaga dalam tersebut berdasarkan tingkat-tingkat yang ada di perguruan Merpati Putih.
Tingkat pertama dilakukan dua orang bersama-sama memecah balok es. Surip mengenal peraganya itu teman sebangkunya, si Herman yang baru ikut ekstrakurikuler Merpati Putih paling-paling baru empat bulan.
Tepuk tangan bergemuruh begitu balok es terbelah menjadi dua.
Uh coba ada penjual es keliling di dalam aula sekolah, bisa-bisa diambil sisanya untuk modal jualannya.
Setelah memperagakan ketrampilannya Herman dengan bangga mendekati Surip dan ngobrol,
“Wah baru beberapa bulan sudah bisa membelah balok es, sepuluh tahun rumahku tinggal puing-puing dijadikan ajang latihanmu.” Surip berkomentar dengan kagum, tak disangkanya Herman yang selalu serius belajar dengan prestasi lumayan di kelas akhirnya bergabung dalam perguruan Merpati Putih di sekolah.
"Aku sendiri tak mengira tanganku ini bisa memecahkan balok es itu Rip, tak sia-sia latihanku.” Herman berkata dengan kepercayaan tinggi seusai keberhasilannya melakukan demo tadi.
Sementara demo terus berlangsung, tingkat-tingkat selanjutnya yaitu kemampuan memecah buis beton, plat baja dan genteng. Terlihat peragaan dilakukan oleh senior-senior perguruan. Sepertinya aula sekolah menjadi ajang kekuatan spektakuler perguruan Merpati Putih. Bahkan senior-senior perguruan Merpati Putih itu seperti berlomba-lomba memperagakan demo, bayangkan dengan tendangan kaki sambil melompat tumpukan genting di tangan temannya pecah tak bersisa. Ada lagi yang memperagakan kekuatannya dengan kepala mampu membelah buis beton bertumpuk tiga, dan seterusnya.
Sampah bekas balok es, plat baja, pecahan genteng dan buis beton sampai terpaksa harus cepat-cepat dibersihkan. Tak ada yang mampu menandingi demo tenaga dalam yang konon berasal hanya dari pengaturan nafas saja. Sangat megagumkan, penonton sampai tahan nafas, terbayang jika tangan dan kaki peraga demo itu memukul atau menendang tubuh seseorang. Remuk langsung god bye diantar ke akherat!
Surip yang jelas-jelas bergabung dalam perguruan Al-Jurus geleng-geleng kepala.
“Tak pernah ada pelajaran seperti itu dalam perguruanku. Apa itu tenaga dalam?” Pertanyaan itu ada dalam hatinya.
Surip merasakan banyak perguruan Pencak Silat mengklaim melatih tenaga dalam. Yang bingung itu kategori atau kriteria atau batasan-batasannya sangat kabur. Bahkan konon setiap perguruan tenaga dalam pasti mengklaim sebagai bentuk penyembuhan kesehataan dan spiritual. Tenaga dalam itu ternyata benar-benar terlalu luas untuk dipelajari. Sampai-sampai sebutannya sebagai kekuatan ilahiah.
Demo berakhir murid-murid SMA negeri 1 kembali ke kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran. Bulan-bulan berikutnya pendaftaran ekstrakurikuler betako Merpati Putih berjubel. Semua murid-murid SMA tersebut berkeinginan bisa mempertunjukan kemampuannya untuk memecahkan benda-benda keras. Entah berapa orang yang nantinya berhasil, semoga semuanya deh!
Sudah jam sepuluh pagi. Surip melirik jam tangan teman perempuannya si Renaningtyas. Ini anak perempuan cantik duduk di bangku depannya. Pelajaran matematika al-jabar membuat Surip berharap cepat bubar. Tapi itu dasar Suripnya yang bodoh. Coba lihat Renaningtyas, malah tekun mengotak-atik angka-angka seperti semacam wahana permainan.
“Hu ranking satu terus nih anak, bikin aku minder kalau bicara dengannya.” Surip memandangi wajah Rena, He He He tangannya berbulu halus tapi putih, juga di bibir atasnya semburat bulu-bulu halus seperti kumis, tapi tidak kentara.
“Rip kok baru mengerjakan dua soal, nomor selanjutnya mana?” Suara guru matematika membuat Surip terkejut. Rupanya guru matematika tengah keliling kelas memperhatikan pemecahan soal al-jabar murid-murid yang duduk di bangku kelas.
“Di mana kesulitanmu memecahkan soal ini Rip?” Bertanya guru matematika yang cukup sabar melihat buku soal yang Surip kerjakan. “Oh ayo coba ibu bimbing ya.” Katanya lagi langsung menunjukan sebuah contoh soal hitungan al-jabar yang tidak pernah dikerjakan Surip. Tampaknya guru matematika itu tahu Surip termasuk paling bodohnya di kelas. Padahal ini kelas A2 yang notabene cukup bergengsi di sekolah favorit di Purwokerto.
Surip cuma menganggukan kepala seolah-olah tahu, matanya malah terbelak saat guru matematika menjabarkan hitungan-hitungan yang begitu rumit seolah-olah begitu mudahnya. Sementara Rena yang di bangku depannya menoleh ke belakang memperhatikan buku tulis Surip. Matanya itu seperti tak percaya dengan apa yang dikerjakan Surip, jauh sekali bandingannya dengan dirinya yang begitu mudah melahap materi pelajaran.
“Ayo coba ikuti langkah yang ibu berikan!” Perintah itu jelas harus Surip lakukan. Sampai berkerut kening Surip memutar otak mengerjakan soal mengikuti contoh. “Makanya sering berlatih di rumah Rip.” Bu guru matematika tak memaksa Surip harus segera bisa. Ia kemudian menuju depan kelas memberikan soal lain untuk dikerjakan siswa dengan menunjuk salah satu siswa maju ke depan. Ada Rena memandangnya dengan kasihan terus berkomentar,
“Rip aku lihat kamu itu senang sejarah dan bahasa, coba dulu masuk A3 mungkin di situ cocoknya.” Rena berkata demikian mungkin gara-gara jika ngobrol, Surip sering nyerocos tentang negeri Cina yang hebat dari komik.
Surip tak bisa serius mengerjakan soal, pikirannya malah melayang-layang.
“Di sekolah ini Pencak Silat yang ada sangat menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan. Jauh sekali dengan Al-Jurus yang mendidik anak muridnya dari berbagai kalangan. Tampaknya Pencak Silat tradisional tak akan pernah ada titik temu dengan pendidikan formal.” Entah kenapa Surip berpikir demikian jauh. “Ah ya paling-paling Pencak Silat mendekati bidang budaya, jika begitu masuk jurusan A4.” Batinnya sendiri, sayang jurusan A4 sama sekali tidak diadakan. Tak ada peminatnya, Surip sendiri memilih jurusan A2 gara-gara gengsi saja.
Di sekolah ada kegiatan OSIS, Rohis, Pramuka dan PMR. Tak satupun di ikuti Surip, benar-benar Surip tak punya jiwa berorganisasi. Mungkin lebih tepatnya anak ini apatis tidak peduli lingkungan.
Bagaimana dengan Pencak Silat yang diikutinya?
Ini gara-gara di desanya Beji ada latihan massal diadakan oleh perguruan Al-Jurus. Saat itu Surip masih SD kelas empat. Latihan dilakukan seminggu dua kali oleh pelatih yang didatangkan dari desa Kober. Surip kecil mendapati dirinya yang ndeso mengenal dunia luar selain desa Beji dan sekolah yang sedang dijalaninya.
Inilah dunianya yang berbeda dengan suasana desa dan kesulitannya dalam menjalani masa-masa pendidikan. Surip merasakan sekolah sebagai beban yang berat. Hampir-hampir tak bisa mengikutinya, sebagai pelariannya adalah pada segi hiburan yang ada di masyarakat. Pencak Silat masuk kategori sarana hiburan yang mengurangi kegelisahannya menghadapai tugas-tugas sekolah yang sering tidak mampu diatasinya.
Hiburan lain, Surip suka membaca. Bacaannya lebih banyak masalah populer seperti surat kabar, majalah dan komik atau novel. Kalau sudah ketemu komik atau novel bisa seharian membacanya. Dan sering tingkahnya meniru hasil-hasil bacaan tersebut. Jadi tak mengherankan kadang-kadang sifat Surip angin-anginan.
Kembali ke hari minggu.
Kios persewaan komik SAKURA tutup, Surip yang berkeinginan sekedar membaca setelah berlatih Pencak Silat kecewa. Mungkin Mas Sehak atau pemiliknya hari itu libur. Tahun-tahun delapan puluhan persewaan atau taman bacaan merebak di mana-mana. Buku bacaan di dalam persewaan buku cukup beragam. Paling banyak berupa komik cergam, cersil mandarin atau silat Nusantara. Superhero dari Gundala, Laba-laba Merah, Godam dll. Tak ketinggalan saat itu serial Api di Bukit Menoreh sedang jaya-jayanya. Setiap seminggu terbit pasti dicari dan selalu dinanti penyewa karena tak bisa langsung membelinya.
Sesekali jalan-jalan di kota Purwokerto, itulah acara Surip.
Maka Surip menenteng tas berisi seragam bela diri. Mengayuh sepeda menuju timur pasar Kebondalem. Tujuannya ke pasar Wage lewat jalan kampung. Dari pasar Kebondalem ia melihat toko Rita yang ramai, merupakan salah satu magnet karena dikunjungi warga kota dan daerah sekitarnya. Pertokoan di daerah Purwokerto kata orang selalu menjadi jujugan belanja warga kabupaten-kabupaten sekitarnya. Ada pertigaan dekat toko Rita, Surip belok kiri menuju timur, entah jalan apa itu. Yang jelas masuk daerah kampung Kauman lama. Dihentikannya sepeda ketika melihat papan nama sebuah perguruan Pencak Silat KBPS Al-Husna.
“Oh jadi di sini markasnya perguruan Mas Sehak. Ternyata tidak jauh dari pertokoan Kebondalem.” Surip melongok ke arah dalam halaman yang seperti gang kecil menuju ke dalam. Di depannya terdapat sebuah garasi mobil, kemudian terdapat sebuah pendopo berkayu jati bentuk atap limasan. Tak ada yang menarik kecuali papan nama KBPS Al-Husna tersebut. Entah di mana tempat berlatihnya Surip tak bisa menduga tepat. Mungkin di belakang pendopo tersebut terdapat beberapa ruang luas yang bisa digunakan berlatih.
Surip membandingkan dengan rumah Pak Jamaludin jalan Jatiwinangun. Rumah Pak Jamaludin berhalaman luas dengan garasi yang bisa untuk berlatih terlihat di depannya. Cuma rumah guru besar Al-Jurus itu di kanan kirinya masih bulak sawah luas hingga menyendiri, jika malam hari keadaannya sepi rawan pencurian.
“Eh siapa guru besar KBPS Al-Husna ya? Aku tak pernah mendengar namanya disebut kecuali Ayah itu saja.” Hanya itu pengetahuan Surip. Yang jelas cukup banyak orang hari itu keluar masuk gang kecil di belakang pendopo besar tersebut. Tampaknya beberapa tamu berkunjung menemui guru besar KBPS Al-Husna.
“Biarpun tempatnya sederhana tetapi banyak sekali tamunya, entah orang-orang yang berkunjung itu punya kepentingan apa saja ya?” Surip membatin, lagi-lagi menduga maksud-maksud pengunjung yang pasti berkaitan dengan perguruan tersebut. Jika itu tamu salah satu rumah pastilah tidak berombongan. Empat lima orang bergantian seperti antri.
Selanjutnya Surip mengayuh sepeda terus menuju timur hingga pasar Wage. Pasar induk kota Purwokerto di mana seluruh kebutuhan sayur dan buah disebarkan ke segala penjuru kota Purwokerto dan sekelilingnya. Juga pasar Wage terlihat dari adanya sebuah kelenteng megah di sebelah selatannya. Konon Kauman Lama adalah bekas ibukota Purwokerto sebelum adanya perpindahan ibukota kabupaten, dari Banyumas lama menuju Purwokerto di Kauman Baru sekarang.
Hari-hari selanjutnya Surip selalu menyaksikan aktifitas perguruan KBPS Al-Husna di Purwokerto. Bahkan desa Beji yang banyak anggotanya adalah pedukuhan Beji lebak. Sangat jauh dari perguruan Al-Jurus yang ternyata hanya sekuku hitam pengaruhnya di Purwokerto. Aktifitas itu terlihat dari beberapa cabangnya di berbagai desa di sekitar Purwokerto, kemudian acara lari maraton setiap minggu yang mengibarkan bendera Al-Husna.
BAB 4
Kilas Balik
“Aku mendirikan perguruan Al-Jurus karena bila terus berada di Al-Husna tak mungkin maju lagi. Paling banter hanya menjadi pelatih selamanya.” Bapak Jamaludin berkata saat menjamu tamunya. Ada Mas Heri bertandang ke rumahnya di jalan Jatiwinangun.
“Aku merasakannya juga. Setelah sampeyan keluar gantian aku di dalamnya, tak ada perhatian lagi biarpun aku berkorban banyak ikut memajukan KBPS Al-Husna. Coba bayangkan setiap kali ada kejuaraan tingkat manapun di Banyumas, selalu aku yang menjadi pelatih, penentu siswa yang harus maju bertanding. Tapi pengurusnya tetap saja hanya pilihan orang-orang yang masih dekat dengan Ayah.” Mas Heri berkata juga tentang dirinya yang sama-sama keluar dari KBPS Al-Husna.
“KBPS Al-Husna memang kuat tetapi tak mungkin orang luar bisa ikut berkiprah tanpa ikatan apa-apa dengan guru besarnya.” Pak Jamaludin terus melanjutkan percakapan diantara mereka karena memiliki banyak persamaan tujuan.
Setelah keluar dari perguruan Al-Husna Mas Heri tidak langsung mendirikan perguruan sendiri. Ia malang melintang menambah ilmunya dengan beberapa jenis beladiri lain. Baru tiga tahunan ini ia mencoba mendirikan perguruan sendiri. Karena itulah ia tertarik dengan Bapak Jamaludin yang lebih dulu mendirikan perguruan.
“Struktur organisasi perguruanku kacau, belum lagi aku masih mengajar menjadi guru sekolah menengah.” Mas Heri memberitahu kesulitannya.
Bapak Jamludin manggut-manggut ia kemudian berkata,
“Coba saja Mas Heri ikut melihat program latihan kami. Paling tidak sementara ini Mas Heri bisa menyumbang pengalaman selama berlatih di perguruan yang berbeda.” Katanya dengan suatu harapan.
“Baiklah besok pun bisa mulai.” Mas Heri setuju, selanjutnya ke duanya ngobrol berbagai topik yang berbeda.
Perguruan Pencak Silat tradisional masih sering bertumpu pada guru besarnya, ia menjadi rujukan segala permasalahan dalam organisasi. Kemudian dalam perjalanannya struktur organisasi banyak dikelola keluarganya. Bisa anak-anaknya, saudara dekat atau anak menantunya. Dengan organisasi yang dikelola keluarga sulit untuk orang luar ikut menjadi pengurus. Jika tidak ada anggukan kepala dari guru besarnya, jangan harap orang lain masuk struktur atau bahkan mendapatkan sebagian rahasia ilmu perguruan tersebut.
Sebaliknya di dalam perguruan yang dikelola keluarga tersebut juga sering terjadi intrik. Persaingan untuk mendapatkan kedudukan, persekongkolan untuk mendapatkan keuntungan, atau membuat kubu tersendiri karena kepentingan tertentu. Biarpun tidak kentara faktor like and dislike berlaku.
“Berarti kita berdua termasuk orang yang tersingkir dari perguruan Al-Husna. Tapi aku masih menghormati Ayah, setiap tahun aku masih menyempatkan diri datang untuk silaturrahmi terutama saat lebaran.” Bapak Jamaludin berkata keadaan dirinya.
Kembali ke program training pelatih.
Sudah sekitar empat bulan program training pelatih diadakan. Mulai terlihat peserta yang yang aktif dan tidak aktif mengikutinya. Ternyata tidak mudah membuat program kegiatan massal. Kendalanya banyak terjadi pada peserta itu sendiri.
Padahal program tersebut sudah dibuat proposalnya dan jika membacanya akan berdecak kagum. Sebuah organisasi perguruan seperti Al-Jurus sudah membuat anggaran dasar rumah tangga. Program training pelatih menjadi semacam tahapan kaderisasi anggota perguruan.
Disebutkan di dalam salah satu tujuannya adalah ikut membela Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bidang keamanan melalui jalur beladiri. Kemudian yang paling pokok dan harus selalu tercantum di ADRT adalah penerimaan asaz Pancasila sebagai dasar organisasi.
Saat tahun delapan puluhan seluruh organisasi apapun jenisnya harus menerima Pancasila sebagai dasar negara. Orde Baru saat itu mewajibkan asaz Pancasila sebagai satu-satunya falsafah di Indonesia.
Semuanya baik, hanya saja terasa sangat dipaksakan. Jika tidak mengikuti kewajiban tersebut alamat jatuh vonis makar terhadap negara. Militer akan menciduk anda dan pasal-pasal hukum dijatuhkan untuk menyingkirkan siapapun penentangnya.
“Nama Al-Jurus sengaja kuambil karena cukup mewakili bentuk perguruan. Al-Jurus diambil dari intinya yaitu jurus, itulah yang dipelajari dan dilatih sebagai penghayat beladiri. Juga sedikit menyesuaikan dengan mayoritas penganut agama di Indonesia yaitu agama Islam. Jadi biarpun bisa dipelajari non muslim, sebenarnya dasar-dasar aturan Al-Jurus mengikuti syariat Islam.” Bapak Jamaludin berbicara di depan segenap siswa program training pelatih di sebuah kesempatan.
“Keinginan terbesar saya adalah memajukan Al-Jurus dengan rujukan riset ilmiah. Bidangnya masuk pendidikan kebudayaan. Pencak Silat adalah budaya Nusantara, kita-kitalah pelakunya.” Lagi beliau berkata.
Anggota perguruan Al-Jurus hanya orang-orang kampung. Bapak Jamaludin saat pertama mendirikan Al-Jurus bahkan belum bernama. Beliau hanya memanfaatkan beberapa kegiatan kampung dengan kesediaan beliau mencoba melatih warga di kampung Jatiwinangun. Rumahnya di jalan Jatiwinangun no 55 bahkan sangat terpencil, karena masih berupa bulak sawah. Tapi jalan Jatiwinangun tersebut selalu ramai dilintasi berbagai jenis kendaraan.
Karena itulah Bapak Jamaludin saat pertama melatih siswa beliau langsung ke jalan Bima di langgar Mangga Sholat. Pemilik langgar kecil memberikan kesempatan jamaahnya dilatih sebagai tambahan ibadah dan pengajian. Tak heran orang-orang seperti Pak Anwar yang notabene jamaah langgar Mangga Sholat menjadi siswa-siswa angkatan pertamanya.
Beberapa tahun kemudian barulah rumahnya di jalan Jatiwinangun tersebut menjadi kantor sekretariatnya. Jadi urusan administrasi di rumah Bapak Jamaludin, tetapi asal-usulnya dari sebuah langgar kecil dibilangan jalan Bima Jatiwinangun. Beberapa masjid besar di sekitarnya yang dikelola ormas NU maupun Muhammadiyah justru tidak memiliki program pelatihan Pencak Silat.
Melihat pergerakan perguruannya, Al-Jurus Pencak Silat tradisional dan langsung berinteraksi dengan masyarakat. Yang terjadi adalah hubungan sosial di mana Al-Jurus menjadi kegiatan sampingan warga, terutama jamaah langgar yang paling banyak hanya satu RT.
“Dulunya Pak Jamaludin itu siswa dari KBPS Al-Husna. Sebagian besar jurus-jurusnya sama dengan milik KBPS Al-Husna.” Pak Anwar pernah membicarakan semacam bocoran rahasia kepada Surip. “Tapi beliau sebenarnyaa tidak sempurna menggali Pencak Silat di KBPS Al-Husna, menurut Pak Jamaludin guru besar Al-Husna tidak berkenan memberikan semua ilmu kepada siswa-siswanya.”
“Berarti guru besar KBPS Al-Husnaa itu sangat tinggi ilmunya pak?” Surip polos bertanya.
Pak Anwar tertawa dan berkata kepada Surip,
“Boleh dikata guru besar KBPS Al-Husna itu rujukan siapapun bila menyangkut keamanan di daerah Banyumas ini.” Suaranya menyatakan kekaguman. Ck ck ck luar biasa, Surip kini mulai tahu tentang rahasia-rahasia tersembunyi perguruan-perguruan Pencak Silat di Banyumas.
“Bagaimana dengan perguruan-perguruan lain seperti Maruyung, Pajajaran atau Sin Lam Ba itu?” Surip bertanya lagi.
Pak Anwar menggelengkan kepalanya,
“Setiap perguruan boleh mengklaim kehebatan masing-masing. Tapi nyatanya di Purwokerto ini semua perguruan yang ada menghormati guru besar Al-Husna itu. Dengan beliau aku tidak mengenal, hanya murid-muridnya saja kami akrab.”
Kemudian ada kata-katanya secara pribadi,
“Jika tak ada Bapak Jamaludin, aku ini hanya oraang biasa saja. Sekarang sudah menjadi pelatih kalian saja aku sudah beruntung Rip.” Katanya dengan suka cita.
He He He memangnya ada penghasilannya menjadi pelatih perguruan kecil semacam Al-Jurus?
Jawabnya tegas dalam tanda petik, “Tidak ada.”
Kegiatan ini banyak suka relanya dan merupakan hubungan dalam masyarakat untuk status masing-masing. Menjadi warga masyarakat biasa bisa beladiri Pencak Silat, ah lumayan terpandang. Paling tidak tak ada yang berani menyepelekannya.
“Lumayan Rip biarpun sedikit, ada honor dari iuran siswa yang dijadikan uang kas kegiatan.” Pak Anwar melanjutkan kata-katanya.
Tentu saja biarpun gratis berlatih, organisasi perguruan harus memiliki anggaran keuangan. Sebagian besar didapat dari sumbangan siswa yang besarnya ditentukan misalnya dua ribu rupiah perbulan. Jadi pintar-pintarlah merekrut banyak siswa, mungkin dari sanalah honor menjadi banyak jumlahnya.
“Huh kowe kuwi sering telat mbayar Rip, Inyong mumet melu ngurusi kowe!” Pak Anwar berkata cemberut. Ini gara-gara Surip biarpun dilatih Pak Anwar sering nunggak iuran.
Surip langsung ngibrit lari bila ditegur seperti itu. Sementara masih Pak Jamaludin memberikan orientassi kepada siswa-siswa training pelatih.
“Dari pemilik langgar sudah ada ijin program pengajian rutin setiap malam sabtu. Acara ini khusus panitia kegiatannya dari siswa perguruan Al-Jurus. Komandonya saya dan Pak Anwar. Sebagai penceramah seorang ulama dari desa Kebumen Kiai Haji Jupri.” Katanya dengan perhatian penuh kepada yang hadir di langgar. Ternyata itu adalah kelanjutan program perguruan. Berarti ada perkembangan kegiatan di dalam perguruan Al-Jurus.
“Hari ini ada tamu undangan dari perguruan Al-Jurus yaitu Mas Heri. Dalam latihan nanti beliau akan ikut melatih kalian.” Bapak Jamaludin memperkenalkan seorang yang cukup ganteng dan bertubuh atletis. Itulah Mas Heri, kata orang di dalam perguruan yang didirikannya di mana ia sebagai guru besarnya mendapat julukan Heri Best.
Maka hari itu mulailah latihan ditambah materi yang berbeda oleh Mas Heri. Karena perguruannya berbeda jadi cara mengelola dan pengajarannya berbeda dengan perguruan Al-Jurus.
***
Ini dia materi dari mas Heri,
“Pencak Silat adalah beladiri yang sangat kompleks. Terkadang kita terlalu merujuk pada beladiri lain sebagai perbandingan. Misalnya Pencak Silat itu pukulannya seperti Tinju, sifatnya keras seperti Karate, lunak seperti Judo atau bahkan mendekatkan diri pada konsep-konsep beladiri di Cina yaitu iwekang, gwakang dan ginkang.” Diterangkannya berbagai macam materi yang rasanya seperti pengayaan beladiri.
“Saya akan mencoba memberi pelatihan dasar-dasar beladiri lain seperti Karate dan Judo yang pernah saya ikuti. Saya mulai dengan contoh, dan selanjutnya kita lakukan bersama.” Kata-katanya mengarah pada pelaksanaan teknik latihan. Maka Mas Heri yang sudah berseragam hitam-hitam itu melakukan peragaan berbagai contoh bela diri lain sesuai karakternya. Terlihat sekali kemahirannya.
Surip segera merasakan betapa primitifnya jurus-jurus yang pernah dilatihnya. Mas Heri itu bagaikan lautan yang begitu dalam. Setiap satu jenis bela diri asing sangat tahu detilnya bahkan sangat mengetahui materinya. Seperti siapa penciptanya, alirannya dan juga perkembangannya sekarang. Beliau bak buku ensiklopedia bela diri.
Saat peragaan massal, betapa keras cara melatihnya, terasa oleh setiap siswa perguruan Al-Jurus. Seluruh gerakannya sangat menyita tenaga dan pemusatan perhatian. Yang paling mengagumkan adalah pengajaran beberapa teknik salto, menjatuhkan diri ala Judo dan variasi bantingan. Jenis kuncian yang coba diterapkan Mas Heri lebih menekankan pada kekuatan fisik sebagai dasar latihan.
“Ayo siapa cepat menyerang dialah pemenangnya!” Teriaknya dalam salah satu peragaan teknik serangan.
Atau cara menjatuhkan tubuh,
“Koprol! Jatuhkan punggung lebih dulu menyentuh lantai agar tidak sakit badanmu. Ya lihat seperti ini!” Teriaknya lagi langsung melakukannya kepada Surip yang ditunjuk sebagai contoh peragaan.
Gedabruuug!
Biarpun Surip berhasil melakukan peragaan tetap saja oleng keseimbangannya. Soalnya ini bukan senam yang setiap posisi harus mengikuti aturan senam. Bayangkan dalam kondisi kuda-kuda segera melakukan koprol atau berguling ke depan, tentu berbeda langkahnya dengan senam yang lebih terjamin keamanannya.
“Minggu depan kita memerlukan matras untuk peragaan!” Lagi watak kerasnya terlihat dari cara melatih siswa training pelatih perguruan Al-Jurus. Ternyata minggu depannya matras tidak didapat, siswa-siswa digiring menuju lapangan sepak bola yang berumput. Jadinya cukup empuk berguling-guling di tanah. Sayang panasnya menyengat membuat tubuh cepat sekali lemas kecapean.
“Kehormatan kita adalah segala-galanya, jika ada orang lain menginjak harga diri kita, di sanalah bela diri berlaku!” Ada ceramahnya yang berkaitan dengan sifat-sifat seorang pemaham beladiri.
“Disiplin latihan adalah kunci pemahaman bela diri. Tanpa kedisiplinan sama saja beladiri itu dengan sayur tanpa garam.” Hari itu disiplin benar-benar diterapkan, siswa-siswa Al-Jurus dilatih dengan peragaan yang bila di dalamnya ada kesalahan langsung diberi hukuman seperti push up. Semua siswa jadi merasa terdikte, kesalahan banyak terjadi karena Mas Heri menilainya secara subyektif. Hanya gerakan yang menurut seleranya bagus dianggap benar. Padahal postur setiap orang berbeda-beda.
“Eit nih anak jangan membungkuk seperti itu. Kamu harus berdiri tegak dalam aturan baris berbaris, ayo push up kembali.” Kata- katanya langsung tertuju kepada Surip yang posisi kuda kudanya dianggap jelek.
Meringis Surip jadinya, menurutnya posisi tubuhnya sudah tegak, tapi setegak-tegaknya badannya tetap terlihat bungkuk karena dari asalnya sudah seperti itu. Itu kodrat Surip lahir di dunia. Setelah push up lima kali barulah Mas Heri berkata,
“Kamu tidak cocok hidup di militer, banyak sekali cacatnya.” Komentarnya langsung di depan Surip. Terasa begitu tercengang Surip menerimanya. Di sinilah Surip merasakan betapa hidupnya sangat banyak kekurangannya. Dari segi fisik saja ia selalu diremehkan orang lain.
Masalah seperti ini ternyata berpengaruh juga pada sekolahnya. Ketika kenaikan kelas tiga pada raportnya tidak tertera sama sekali kegiatan ekstrakurikuler. Wali kelasnya yang kebingungan hendak mengisi dengan nilai apa.
“Sebenarnya kegiatan apa yang kamu sukai Rip?” Guru wali kelasnya bertanya juga sekaligus bernada menegur.
Surip yang kebingungan menjawab asal-asalan,
“Pecinta alam pak, dulu saya mendaftar di kegiatan tersebut. Tapi tak pernah aktif jadi dianggap gugur.”
“Ya sudah ini saya isi kegiatan ekstrakurikuler Pecinta Alam, tapi nilainya tetap kosong, paham.” Wali kelasnya tak mau repot mengurusi Surip.
Tapi kok Surip masih tetap naik kelas ya?
Entahlah mungkin gengsi juga guru-gurunya dibilang tak becus mengajar. Sekolah favorit kok siswanya sampai tidak naik kelas. Ya katrol sajalah dengan nilai minimalis yaitu enam dalam setiap mata pelajaran. Itulah keuntungan Surip bersekolah di SMA negeri 1 Purwokerto.
Demikian favoritnya, SMA negeri 1 Purwokerto memiliki siswa-siswa unggulan. Ada siswanya direkrut menjadi anggota paskibraka nasional, ada juga siswanya yang sampai juara Adi Sarira dan Adi Busana. Beberapa atlet renang tahun sembilan puluhan berasal dari angkatan Surip menimba ilmu.
Masih di program training pelatih,
Namanya materi tambahan tidak setiap hari minggu Mas Heri hadir. Latihan terus berlanjut terutama penyeragaman jurus. Ternyata di dalam Al-Jurus sendiri setiap angkatan masing-masing siswa sudah berbeda dalam menafsirkan jurus wajib. Bapak Jamaludin walaupun guru besarnya, sudah jarang turun tangan sendiri membenahi.
Mulai terasa semacam masalah, Bapak Jamaludin ternyata tidak bisa membagi waktu. Pilihannya lebih ke bisnis yaitu keripik tempe. Siswa-siswa perguruaan Al-Jurus mulai tahu mereka ternyata hanya dianggap sebagai urusan nomor dua.
“Bagaimana ini, aku dulu mendapatkan jurus langsung dari Pak Jamaludin. Peragaannya ternyata berbeda dengan jurus yang dipelajari Pak Anwar.” Bagio menyampaikan uneg-unegnya selama mengikuti training pelatih di bawah bimbingan Pak Anwar.
“Wah aku juga bingung Gio, coba kamu peragakan semua jurus yang pernah dipelajari saat dulu dilatih Pak Jamaludin.” Pak Anwar mulai meneliti. Mulailah Bagio memperagakan jurus-jurus yang pernah dilatihnya. Memang berbeda variasi walau dasarnya sama.
Masing-masing akhirnya sama-sama berpikir.
“Tak mudah menyamakannya, rupanya awal-awal aku dilatih Pak Jamaludin jurus-jursnya masih sama dengan milik Al-Husna. Nah setelah mulai angkatanmu, beliau membuat versi sendiri. Aku yang tak mungkin mengikuti kalian, pelajarannya hanya ini yang kudapat.” Pak Anwar berkata tentang dirinya, biarpun sesama anggota Al-Jurus sudah terjadi perbedaan. “Padahal anak-anak seperti Surip itu latihannya mengikuti aku, saat training pelatih tidak kesulitan karena aku yang membinanya.” Lagi Pak Anwar mengupas masalah.
Surip saat itu sedang mencoba mengulang beberapa jurus. Tampaknya ia sedikit mencoba memperagakan sesuai seleranya. Pak Anwar dan Bagio menontonnya tak sengaja. Mereka berdua justru tertarik dengan peragaan yang dilakukan Surip walau gerakannya ringan-ringan saja. Tak tahan Bagio menegur,
“Rip sedang apa kamu itu!” Teriakannya sengaja dikasarkan agar tampak berwibawa.
Surip terkejut gerakannya terhenti dan merasa bersalah. “Aku cuma memperagakan jurus sesederhana mungkin, terutama hanya pada fungsinya saja.” Terpaksa Surip menerangkan.
Kedua orang yang sedang membahas versi jurus yang sedang jadi masalah berpandangan. Keduanya mengangguk-angguk tak menyalahkan Surip.
“Memangnya ada yang lain yang bisa kamu peragakan?” Pak Anwar meneliti lagi. Bocah ini rada-rada nyentrik rupanya.
“Mungkin berdasarkan seni tari dan arti setiap gerak anggota tubuh, tapi aku sendiri belum tahu caranya.” Polos Surip memberitahu.
Orang-orang seperti Pak Anwar dan Bagio terbelak. Ini dia yang mereka cari. Selama ini pembahasan jurus hanya berdasarkan hafalan, itupun ternyata terkendala versi karena berbeda angkatan.
“Ah Pak Anwar lebih baik kita bikin tim tersendiri untuk mengurusi masalah ini. Coba kita kompromikan versi yang ada kemudian kita gunakan jurus yang sederhana dan seefisien mungkin.” Agak berbisik Bagio memberitahu Pak Anwar.
“Betul sekali, ayo dari angkatanku aku dan Paimo. Dan dari angkatanmu ambil salah satu. Sayang Surip ini masih anak-anak lebih baik ia belajar bukan hanya urusan Pencak Silat saja tapi juga ilmu-ilmu yang lain.” Keputusan dibuat terbentuklah sebuah tim yang berdiskusi kecil-kecilan setiap ada kesempatan berlatih bersama.
Berbeda sekali dengan Mas Heri,
“Setiap gerakan itu selalu memiliki kemungkinan berkembang. Ambil dasarnya dan coba larikan ke mana gerakan tersebut mampu dirubah.” Teriaknya memperagakan satu gerakan contoh. Dari satu gerakan tersebut ia merubah-rubah teknik menjadi rangkaian yang berkesinambungan.
Siswa-siswa perguruan Al-Jurus kewalahan mengikuti jalan pikiran Mas Heri. Satu gerakan dasar misalnya kaki, dari kuda-kuda kanan depan digeser sedikit sudah langsung bisa diserang. Begitu kuda-kuda bergeser oleh Mas Heri dipraktekan sebagai serangan kejutan dengan memasukkan kaki ke dengkul seorang siswa. Langsung mati langkah kuda-kuda siswa yang diserang karena terkunci.
Lebih variatif lagi, langkah atau tapak masuk celah langkah lawan kemudian melakukan tendangan ringan ke tempat vital misalnya bagian kemaluan. Jika mampu dilakukan saat bertarung sungguhan benar-benar lawan kalah telak.
Banyak sekali vaariasi-variasi gerakan yang diberikan Mas Heri kepada siswa-siswa Al-Jurus program training pelatih. Beberapa diantaranya merupakan teknik mengambil kesempatan menyerang dengan memanfaatkan bidang matras pertandingan, tempat-tempat sempit bahkan tembok dinding rumah.
“Pencak Silat adalah beladiri yang sangat kompleks. Kekayaan di dalamnya harus kita gali untuk kemajuan bangsa kita!” Mas Heri berkata terakhir kalinya setiap kali selesai berlatih dalam berbagai kesempatan pertemuan.
***
Pencak Silat adalah bela diri yang hidup dalam perguruaan-perguruan. Setiap perguruan yang berciri tradisional mayoritas mengutamakan keislaman sebagai tujuan dasar. Di dalam perguruan Pencak Silat sering campur aduk bidang kerohaniannya. Sangat sulit membedakan kerohanian Islam dengan berbagai jenis kebatinan atau ritual yang dilestarikan dalam perguruan.
Tapi rata-rata orang Indonesia sepakat, Pencak Silat adalah salah satu alat dakwah syiar Islam. Perguruan-perguruan Pencak Silat banyak yang mengklaim dirinya sebagai wadah dakwah mencapai ketaqwaan menurut syariat Islam. Hal seperti itu banyak tertera di anggaran dasar rumah tangga organisasi. Dalam pengajaran rohaniah Islam, perguruan sering mengadopsi bentuk madrasah tasawuf.
Di dalam perguruan Al-Jurus terdapat juga beberapa macam ajaran yang diterapkan dengan ritual tertentu. Dalam perguruan Al-Jurus siswa diberi brosur amalan-amalan berupa ijazah dari guru dalam bentuk wiridan dan laku puasa. Sebenarnya bentuk-bentuk pendidikan madrasah sudah bernaung di pondok pesantren. Di dalamnya siswanya disebut santri untuk mencetak ulama. Madrasah tasawuf bagian dari kurikulum pondok pesantren.
Perguruan Pencak Silat tidak bisa disebut pondok pesantren. Hidupnya di luar bidang kesantrian karena langsung terjun di masyarakat luas dan berbenturan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang berbeda. Sebagian perguruan Pencak Silat menjadikaan Islam sebagai rujukannya, sebagian lagi berupa aliran kebatinan yang banyak sekali modelnya terutama kejawen.
Bagaimana dengan perguruan Al-Jurus?
“Rip Kowe tau di wenehi Pak Jamaludin ijazah khizib Miftah?” Pak Anwar bertanya kepada Surip.
“Sampun pak pas isih SMP, ning bar kuwe inyong malah mandeg latihane.” Surip berkata apa adanya.
“Ya ora papa, diwaca saben sholat maghrib apa ora?” Pak Anwar terus bertanya.
Malu Surip menjawab,
“Sholate inyong isih akeh bolonge pak. Paling-paling isih apal wiridane.” Jujur Surip berkata.
Pak Anwar melatih Surip hanya karena adanya program training pelatih. Sebelumnya ia tahu Surip berlatih di Beji melalui anak didiknya yang datang setiap minggu dua kali di dukuh tersebut. Terkadang ia sendiri yang datang untuk melihat perkembangan siswa-siswa berlatih di ranting perguruan Al-Jurus Beji tersebut. Di sanalah ia menemui salah satu siswanya yaitu Surip yang bila berlatih ternyata cukup penuh absensinya.
Jadilah ia mengenal Surip dan ikut melatihnya biarpun tidak rutin. Itu terjadi saat Surip masih SD sampai SMP. Sayang ternyata program latihan di desa Beji terhenti. Ia tak tahu lagi kemana siswa-siswa Al-Jurus yang terlantar programnya tersebut.
“Nek kaya kuwe kepeksa diulang maning Rip. Mengko tak sampekna disit maring Pak Jamaludin, terserah beliau memutuskan.” Pak Anwar berkata memberi semacam harapan untuk Surip.
Pak Anwar kembali membuat langkah-langkah untuk calon-calon pelatih. Seperti biasanya yang diajak rapat adalah senior-senior Surip. Dari mulai berdiri sampai sekarang sudah ada tiga angkatan kader perguruan Al-Jurus. Program training pelatih adalah kesepakatan bersama senior-senior Al-Jurus setelah guru besarnya jarang turun lapangan langsung.
Beberapa hari kemudian siswa program training pelatih dikumpulkan. Berbeda dengan latihan yang dilakukan di langgar Mangga Sholat, kali ini siswa-siswa program training disuruh datang ke rumah guru besarnya di jalan Jatiwinangun.
Sebuah rumah bergarasi dan bertaman rapi. Ada kolam kecil menghiasi taman dengan air dari got saluran air. Airnya keruh karena berupa limpahan limbah rumah tangga. Beberapa ikan berenang naik turun di kedalaman airnya. Jenisnya mujaer yang tahan banting.
Surip yang tinggal di Beji jelas paham seluk beluk jenis ikan air tawar. Desanya terkenal dengan benih-benih ikan yang dipasarkan ke berbagai daerah. Kolam yang ada di rumah Pak Jamaludin terlalu mini untuk kolam pembesaran. Fungsinya hanya penambah manis taman.
Jam tujuh sore hadir beberapa siswa dan pengurus perguruan Al-Jurus. Acaranya dianggap penting yaitu pemberian ijazah khizib atau wirid kepada siswa program training pelatih. Pengarahan dilakukan oleh Pak Anwar dan Bagio yang dianggap sebagai penggerak organisasi. Struktur organisasi Al-Jurus sangat sederhana. Ada ketua kemudian beberapa seksi dan bendahara. Seseorang dalam kapasitasnya bisa merangkap jabatan karena tidak terlalu banyak yang diurusi. Anggaran rumah tangganya saja yang bagus, pelaksanaan masing-masing seksi sering pasif.
“Hari ini Bapak Jamaludin sudah memberi wewenang kepada Pak Anwar untuk memberikan ijazah amalan. Karena yang hadir cukup banyak tak mungkin dilakukan satu persatu sehingga langsung secara massal.” Bagio yang notabene angkatan kedua memberikan cara pemberian ijazah.
Sebenarnya semua siswa-siswa tersebut sudah pernah mendapatkan ijazah jenis amalan tertentu. Tapi masing-masing berbeda menyesuaikan dengan selera Pak Jamaludin. Contohnya Surip, ia mendapatkan ijazah khizib Miftah tetapi terhenti. Beberapa khizib yang lain seperti Asma empat puluh, khizib Aotad di berikan kepada siswa yang lain karena mendasarkan kepada tingkat kedewasaan seseorang.
Tapi hari itu semua siswa diberikan fotocopian beberapa khizib dan amalan lain bersama-sama. Saat itu ada dua puluh siswa berkumpul, semuanya membentuk lingkaran dan tangan kanan kiri saling berjabat tangan. Pak Anwar lah yang berada paling ujung sebagai pemberi ijazah hanya berada di tengah lingkaran membacakan wirid.
“Ashadu anla illa haillallah, wa as hadu anna Muhammadarrasulullah.” Mulailah Pak Anwar membaca amalan, di mana setiap satu kalimat diulang tiga kali dan ditirukan tiga kali pula oleh yang hadir sampai selesai.
Ritual pemberian ijazah dianggap selesai, masing-masing diberi lembaran fotocopi jenis wiridan. Selanjutnya amalan diserahkan kepada masing-masing siswa untuk dilaksanakan menyesuaikan waktu yang ada.
Bagaimana bentuk amalan di perguruan Al-Jurus?
Surip memperhatikan lembaran fotocopi di depannya. Tertulis di kata pengantarnya “Khusus untuk siswa Al-Jurus”. Jadi latihan ini tertutup hanya untuk kalangan perguruan Al-Jurus. Jika disebarkan dan diamalkan tanpa sepengetahuan atau seijin perguruan Al-Jurus, tidak akan bertanggung jawab.
Ini masalah olah kebatinan, orang yang mengamalkan bisa salah tafsir dan tersesat jika diamalkan tanpa sepengetahuan guru pembimbing. Yang paling diketahui dan dihafal Surip adalah khizib Miftah atau khizib Sirri. Disebut demikian karena menjadi pembuka amalan-amalan lain di Al-Jurus.
Miftah adalah pembuka atau kunci, sirri atau rahasia. Melihat urutannya merupakan pernyataan pengakuan tentang Tuhan dan Rasulnya. Kemudian kalimat istighfar dll. Setelah itu pemberian hidyah surat Al-Fatihah kepada Khulafaurrasidin. Terdiri dari empat khalifah mulai dari Abu Bakar as Sidik Ra, Umar bin Khatab ra, Usman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib Ra. Hidyah Al-Fatihah ini merupakan hadiah doa atas jasa-jasa para Khalifah dalam meengembangkan agama Islam. Melihat tata syariatnya Al-Jurus mendasarkan pada Ahlu Sunnah wal Jamaah. Ini adalah sebuah aliran besar yang mendasarkan pada empat madzhab mayoritas di dunia. Terakhir doa khusus tujuan amalan yaitu kunci rahasia kehidupan di dunia.
Yang menarik cara melakukan amalan tersebut,
Puasa mutih atau makan tak bernyawa tiga hari. Membacanya setiap sholat wajib dan selanjutnya setelah selesai puasa tiga hari diamalkan setiap selesai sholat subuh dan maghrib. Tambahannya menghindari maksiat dan menghormati ke dua orang tua.
Lembaran lainnya ada khizib aotad, amalan Asma empat puluh dan sholawat nariyah. Semuanya masih bisa ditelusuri sebagai bagian amalan umat muslim lainnya. Setelah ittu berupa amalan wirid yang mendekati olah kanuragan Jawa. Yaitu berupa ajian Lembu sekilan dan Pangusap Sari. Ajian Lembu Sekilan diterangkan untuk menghindari serangan musuh sedangkan Pangusap Sari untuk pengobatan luka supaya cepat sembuh.
Di sini Surip jadi teringat komik bacaannya. Komik-komik karya SH. Mintarja sarat dengan olah kanuragan berkonsep kejawen. Sangat banyak jenis ajian misalnya Panca Sona, Braja Musti atau Tameng Waja. Tokoh-tokoh dalam komik seperti Api di Bukit Menoreh, Naga Sasra dan Sabuk Inten selalu menerapkan ajian itu sebagai kedigdayaannya. Ternyata amalan wirid seperti ini beredar luas di masyarakat Jawa. Ini dunia dengan konsep kebudayaan Jawa. Berbagai jenis puasa pun bila ditelusuri biasa diterapkan orang-orang Jawa. Puasa mutih, ngrowot, pati geni dll. Amalan-amalan tersebut terserah hendak dilakukan atau tidak tergantung siswa. Amalan-amalan seperti ini diterangkaan oleh Pak Anwar dilakukan setelah menjalankan syariat Islam sampai tunai. Diterangkan oleh beliau semuanya hanya sebagai pelapis atau pemerah bibir saja.
Dulu saat Surip mengamalkaan Khizib miftah yaitu puasa mutih tiga hari, badannya lemas sampai malas melakukaan kegiatan apa pun. Yang sewot ibunya,
“Rip ngapa baen jane kowe? Esuk kiye ngiseni bak mandi karo nyaponi latar, aja turu baen!” Si mbok marah-marah karena mendapatti Surip beberapa hari ini malas melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan kepada anaknya.
Dengan terpaksa Surip melakukan perintah ibunya,
Lemas sekali badannya, bawaannya ngantuk dengan menguap berkali-kali seharian itu. Tapi kalau dibawa tidur, mata justru terbelak dengan berbagai macam pikiran melintas. Yang paling sering itu menelan ludah membayangkan jenis makanan enak bahkan bila terpikir hal-hal saru tubuhnya jadi gelisah.
Beberapa hari omelan-omelan ibunya terus meluncur walaupun tahu anaknya itu sedang puasa mengamalkan ilmu kebatinan. Setelah selesai tiga hari dan dicoba amalkan setiap sholat wajib, eeeh sholatnya masih sering bolong, jadinya sampai sekarang tak terasa manfaatnya.
Ijazah sudah diberikan akhirnya dicoba juga diamalkaan dengan puasa. Kesulitan tetap menghadang karena ibadah Surip masih sekedarnya saja. Ia hanya mengulang khizib miftah saja, amalan-amalan lain hanya dibacanya sekedar menambaah referensi pengetahuan.
Kalau ditelusuri khizib dan amalan-amalan lain di perguruan Al-Jurus merupakan didikan kesufian. Antara satu perguruan dengan perguruan lain yang beraliran Ahlu Sunnah wal Jamaah pasti memiliki banyak persamaan. Beberapa tambahan seperti hidyah Al-Fatihah ditujukan kepada waliyullah Syaikh Abdul Kadir Al-Jailani adalah kebiasan turun temurun yang jejaknya sampai sekarang sebagai gurunya kaum Sufi.
Kemudian pembawa amalan-amalan ini justru merupakan tokoh-tokoh lokal seperti Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Abu Khair Cimandi Bogor dll. Tentu tokoh-tokoh ini adalah sebagai penghayat Pencak Silat di suatu daerah tertentu.
Jika merujuk pada perguruan Al-Jurus kemungkinan dari jurus hingga kebatinannya sudah bercampur baur. Pencak Silatnya dalam lingkup yang asli tetapi daerah asalnya tidak hanya satu tempat.
Surip pernah diberitahu Pak Anwar,
“Pak Jamaludin itu dulunya berlatih di KBPS Al-Husna, guru besarnya yaitu Ayahe merangkai jurus sebagai hasil kreasinya dari perjalanannya merantau ke beberapa daerah. Kata orang basisnya diambil dari jawara Banten, kemudian ditambah silat Minang, juga ada Kunthow dan silat Madura.”
Jika jurusnya saja sudah campur aduk seperti itu, amalan ijazahnyapun juga ikut-ikutan. Untungnya dzuriatnya berakhir di Syaikh Abdul Kadir Al-Jaelani. Jadi masih bisa dipertanggungjawabkan sebagai aliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Nah kalau dirunut-runut misalnya amalan suatu perguruan akhirnya ketemu dengan nama tokoh Kejawen ya silahkan menjadi kebatinan Jawa. Maklum di tanah Jawa ini muslim dibedakan menjadi dua golongan yaitu Putihan dan Abangan. Dualisme golongan tersebut nyata adanya. Kedua golongan bisa hidup bersama tanpa ada pertikaian tajam.
Yang benar yang mana?
Keduanya silakan mengklaim kebenarannya dengan argumentasi masing-masing.
***
Langgar Mangga Sholat tidak pernah mengadakan sholat jumat. Berbagai pengajian yang ada untuk warga sekitar jalan Bima, mungkin tak lebih satu RT saja. Biasanya pengajian dilakukan maghrib dengan sasaran anak-anak untuk belajar membaca Al-Quran. Imam sholatnya biasa bergantian walaupun masih di pegang keluarga pemilik langgar. Paling ramai jamaah saat bulan puasa untuk sholat tarawih. Di luar itu sholat berjamaah terlihat saat sholat subuh. Untungnya halaman langgar cukup luas dan rindang ditumbuhi pohon-pohon buah. Lumayan anak-anak kecil siang malam biasa bermain petak umpet, sunda manda, kelereng dll.
Malam itu langgar Mangga Sholat semarak, ada pengajian malam sabtu dengan penceramah cukup tenar di Banyumas. Sifatnya resmi dengan undangan ke berbagai kalangan di sekitar Jatiwinangun. Sebenarnya ini pengajian Khusus, diselenggarakan oleh perguruan Al-Jurus. Pihak pemilik langgar saja yang kemudian menambahinya dengan mengundang warga sekitar untuk ikut berpartisipasi.
Maklum nama penceramahnya cukup tenar di sekitar Banyumas. Beliau adalah Kiai Haji Jupri. Pengaruhnya di beberapa kecamatan di Banyumas diakui, dan yang paling penting beliau saat ini menjabat anggota DPR Jawa Tengah.
Kok bisa-bisanya Perguruan Al-Jurus yang kecil itu mengundang tokoh sekaliber itu ya?
Tentu saja Pak Jamaludin itu dulunya orang IAIN Purwokerto. Kiai Haji Jupri ini masih keluarganya. Ikatan-ikatan inilah yang membuat Kiai Haji Jupri bersedia saja menyempatkan waktu memberikan pengajian untuk kalangan perguruan Al-Jurus. Sekaligus beliau menambah pengaruh politis di Banyumas.
Pengunjung berjubel semuanya lelaki, mungkin ada seratusan orang. Pak Jamaludin bertindak langsung sebagai ketua panitia. Sederhana saja, biarpun berjubel pengunjung hanya duduk lesehan di dalam dan luar halaman langgar. Sifatnya tidak resmi hanya pengajian rutin jika itu diselenggarakan oleh masjid besar. Seperti biasa penyelenggaraannya molor seperti jam karet. Undangan jam tujuh sehabis sholat Isya memanjang sampai jam delapan menunggu kedatangan Kiai Haji Jupri yang sangat dihormati.
Datangnya Kiai Haji Jupri dengan mobil bersopir, itu jatah mobil anggota DPR. Orang-orang menyambutnya bak kedatangan artis karena kharismanya. Setelah berbasa basi di dalam ruang langgar barulah acara dimulai. Singkat saja, setelah sambutan dari Pak Jamaludin selaku pengasuh perguruan Al-Jurus, sambutan panitia langsung ke acara inti. Mendengarkan wejangan Kiai Haji Jupri.
“Saudara-saudara sesama muslim, hari ini saya berkunjung ke langgar ini karena undangan dari sebuah perguruan Pencak Silat yang tergabung dalam IPSI Banyumas. Saya ingin saudara-saudara yang tentu ahli bela diri tidak hanya pandai berkelahi tapi juga menjadi manusia yang bertaqwa.”
Kelanjutannya,
“IPSI merupakan induk beladiri tradisi Indonesia. Adalah kehormatan saya menjadi ulama yang bisa diterima di dalam kalangan organisasi ini. Saya bersedia menjadi pengasuh di bidang kerohanian.”
Ternyata Kiai Haji Jupri tidak banyak menyinggung perguruan Al-Jurus. Beliau lebih menunjukan dirinya dalam kapasitas anggota DPR yang turun ke masyarakat kecil sebagai calon konstituennya. Beliau lebih sering menyebut IPSI, posisinya sebagai anggota DPR dari kalangan ulama dan instruksi pusat kepada setiap organisasi untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asaz falsafah negara Republik Indonesia. Kesannya sangat hati-hati di dalam forum ceramah saat itu.
Kenapa ya?
Diam-diam diantara yang hadir dalam pengajian adalah polisi dari pihak intelijen. Pertemuan atau pengajiaan itu dicurigai sebagai semacam rapat rahasia oleh kalangan penentang Orde Baru. Kiai Haji Jupri menjadi anggota DPR dari orpol keagamaan. Biarpun diakui tetapi sangat diawasi ketat oleh Orde Baru karena menjadi ancaman ekstrim kanan.
Padahal beberapa masjid besar di Purwokerto biasa mengadakan pengajian lebih besar dari langgar Mangga Sholat. Tak ada pengawasan terhadap mereka. Pengajian di langgar Mangga Sholat oleh perguruan Al-Jurus mungkin dianggap sebagai gerakan bawah tanah.
Kalau melihat dari umumnya orang-orang seperti Pak Jamaludin, Pak Anwar ataupun paling tingginya Kiai Haji Jupri. Mereka adalah golongan Islam tradisional. Wadah organisasi yang diterima oleh mereka adalah Nahdlatul Ulama turun temurun. Kiprah politiknya terbiasa di sebuah partai keagamaan.
Ya sudah terima saja nasib sebagai oposisi lemah yang mudah divonis subversiv oleh penguassa Orde Baru. Acara pengajian lebih mendalam diberikan oleh pemilik langgar. Biarpun sudah tua tapi beliau jebolan pondok pesantren tenar di Jawa Timur. Isi ceramahnya lebih sering berupa tanya jawab seputar aqidah Islam, syariat dan hal-hal kecil seperti mandi basah, puasa ramadhan dll.
Peran Surip di pengajian tersebut berada di belakang dapur membantu anggota pemilik langgar menyediakan konsumsi minum teh dan snack. Lumayan bila sudah selesai Surip dapat bawaan sisa-sisa jajan untuk dimakan bersama si Mbok di Beji.
Pengajian rutin setiap malam sabtu di langgar Mangga Sholat yang diselenggarakan Perguruan Pencak Silat Al-Jurus ternyata cukup baik terselenggara. Rutinitasnya mampu berjalan sesuai dengan tumbuhnya perguruan Pencak Silat Al-Jurus. Inilah kemajuan perguruan Pencak Silat Al-Jurus setelah bergabung dengan IPSI Banyumas.
BAB 5
Kejuaraan antar Perguruan Pencak Silat tingkat Kabupaten
Di ruang kelas tiga A2.
“Hei kenapa kamu tidak membaca buku bahasa Inggris yang diwajibkan Rip?” Guru bahasa Inggris berkata menegur Surip. Hari itu guru bahasa Inggris memberikan sedikit materi bahasa Inggris kemudian menyuruh membaca materi berdasarkan buku wajib yang dipelajari. Buku wajib yang dipelajari ini bukan buku paket jatah siswa tetapi buku materi pelajaran bahasa Inggris versi penerbit tertentu. Buku paket jatah dari sekolah tak pernah digunakan karena mengikuti selera gurunya.
Surip menundukan kepala, tak perlu menjawab pun guru tersebut tahu ia tak memilikinya. Sebenarnya guru bahasa Inggris ini orangnya saat menerangkan pelajaran tidak diminati muridnya.
“Adakah kalian yang di kelas ini yang belum memiliki buku wajib? Coba tunjuk jari ke atas biar bapak tahu.” Pak Guru itu berkata sepertinya menguji kepatuhan siswa kelas tiga. Wah ternyata cuma Surip yang menunjuk jari ke atas, siswa yang lain sudah jauh-jauh hari memilikinya dengan membeli ke koperasi sekolah.
Bangga juga ternyata guru bahasa Inggris tersebut mendapati siswa kelas tiga sudah memenuhi aturan mainnya, ada kata bijaksana keluar dari mulutnya,
“Buku wajib yang kalian miliki itu merupakan terbitan yang paling mendekati soal-soal ujian EBTANAS yang akan dihadapi kelas tiga tahun ini. Jadi saya sebagai penanggung jawab mata pelajaran bahasa Inggris mengajari kalian agar bisa lulus dengan memuaskan.” Katanya tegas sekali kepada siswa-siswa di dalam kelas.
Guru bahasa Inggris tersebut tetap melanjutkan pelajarannya. Beliau tidak menyinggung apa-apa lagi keadaan Surip. Baginya siswa lain yang lebih cerdas saja banyak, ngapain mengurusi Surip yang hanya seorang diri tidak mengindahkan aturan mainnya. Resiko ditanggung Surip sendiri nantinya.
Jatuh mental Surip menghadapi kendala pada dirinya sendiri. Mata pelajaran bahasa Inggris menjadi momok baginya. Beberapa kali ia hanya meringis karena nilai ulangannya di bawah standar. Sebaliknya kegemarannya membaca serial komik silat mandarin ataupun komik-komik Indonesia makin menjadi-jadi. He He He itulah bentuk pelarian dari stress yang diterimanya. Akhirnya membuat Surip mencari dunia lain yang bentuknya imaginative.
Usai sekolah Surip langsung menuju kompleks kios pasar Sarimulyo Kebondalem. Sakura Store, sedia alat tulis dan buku, sebuah nama toko kecil yang ternyata usaha alat tulisnya kurang maju. Andalannya hanya menyewakan komik dan service barang elektronik.
Dibilang kurang maju nggak apa-apa, sampai sekarang masih eksis walaupun dari pendapatan minim. Soalnya toko-toko di sebelahnya yang berderet-deret juga banyak yang tutup ditinggal pengusahanya. Ini yang kompleks pertokoan, ada pasar tradisionalnya nasibnya masih lebih baik karena menjadi jujugan warga kota Purwokerto membeli sayur mayur. Seperti biasa pasar tradisional hanya ramai di pagi hari, jam sepuluh ke atas tak ada lagi aktifitas.
Surip saat masih SMP tahu jelas ramainya pasar kompleks Kebondalem ini. Posisinya saat itu merupakan pusat keramaian kota. Beberapa toko seperti Rita yang kemudian menjadi swalayan berasal dari sini. Dulunya adalah bekas terminal Purwokerto, kini mulai ada proyek ruko-ruko besar oleh Pemda Banyumas.
Kompleks pertokoan Sarimulyo masuk bagian dari proyek tersebut. Mulailah pertokoan Sarimulyo merasakan dampaknya. Proyek di Kebondalem sebenarnya sangat dinanti warga kota. Soalnya di lahan ini akan dijadikan Taman Hiburan Rakyat. Dan saat ini pembangunan Taman Hiburan Rakyat sedang berlangsung secara bertahap. Karena bertahap maka pembongkaran kompleks Pertokoan Sarimulyo masih lama. Tapi efeknya gairah pengusaha di pertokoan Sarimulyo menurun dan mulai banyak yang banting stir usaha.
Rencana tinggal rencana, ada ganti rugi untuk penghuni kios Pertokoan Sarimulyo dengan mendapat jatah kios kecil di sebelah barat proyek THR. Itu untuk penghuni-penghuni terakhir yang masih bertahan di sana. Tempatnya berhadapan persis dengan hotel Remaja.
Surip yang masih anak ingusan tak sampai berpikir ke sana. Tahunya jika nanti THR sudah jadi tempatnya ramai dengan wahana rekreasi warga Purwokerto, tentu sangat menyenangkan. Salah satu tempat jujugannya di Kebondalem adalah toko Sakura Store. Hobinya membaca komik tersalur dengan membayar sejam dua jam, lumayan irit ongkosnya.
Surip kini tahu penjaga kios penyewaan buku ternyata anak murid dari KBPS Al-Husna. Ini gara-gara perguruan Pencak Silat Al-Jurus bergabung dengan IPSI Banyumas. Di ruang depan kios terpampang etalase beberapa alat tulis seperti buku nota, penghapus, pensil dll. Mas Sehak yang menjaga berada di ruang depan ini menempati meja kecil berisi catatan-catatan penyewa buku. Di belakangnya rak-rak berjajar memperlihatkan deretan buku-buku komik. Pengunjung atau penyewa paasti dipersilahkan masuk ke dalam rak-rak buku komik tersebut. Ada ruangan kecil dibatasi pagar meja, nah isinya benda-benda elektronik yang hendak diservice. Di sini seorang montir selalu sibuk tak kenal waktu melayani perbaikaan barang-barang elektronik. Terkesan kotor karena televisi dan radio atau tape berantakan tak teratur.
“Eh siapa namamu? Aku lupa catatan terakhir menyewa komik.” Mas Sehak bertanya meengobrak-abrik nama-nama yang tertera di potongan kertas penyewa komik.
“Surip mas, kalau nggak salah yang kertas merah itu.” Surip menunjuk sesuatu yang dicari oleh penjaga kios.
Akhirnya ketemu juga, tapi hari itu Surip tidak menyewa komik. Ia hanya menyempatkan diri membaca komik lanjutan serial minggu yang lalu.
“Aku baca lanjutan serial Jaka sembung mas.” Surip segera ke rak-rak buku komik. Selanjutnya di pojok rak buku ia asyik membaca. Sempat Mas Sehak bertanya,
“Kamu itu di perguruaan Pencak Silat Al-Jurus dilatih siapa Rip?” Katanya tetap dalam posisi duduk di meja kerjanya.
“Saya dilatih Pak Anwar saat ini, dulunya hanya berlatih massal di desa. Pelatihnya didatangkan dari Purwokerto.” Surip menjawab, Basa-basi itu menunjukan Mas Sehak memberi perhatian kepadanya. Surip tahu di kios ini di balik pintu luarnya, terdapat logo lambang KBPS Al-Husna sehingga tidak terkejut ditanya oleh Mas Sehak.
“Pak Anwar yang di jalan Bima itu?” Mas Sehak bertanya menegaskan. “Aku tak begitu kenal dengannya, kalau Pak Jamaludin itu angkatan di atasku saat berlatih.” Katanya meluruskan keadaan dirinya yang ternyata lebih kenal dengan guru besar Al-Jurus.
“Eh Rip bulan depan ada pertandingan antar perguruan seleksi tingkat kabupaten. Juaranya akan maju ke tingkat provinsi. Bagaimana dengan perguruan Pencak Silat Al-Jurus, ada pesertanya nggak?” Lagi Mas Sehak bertanya tentang adanya penyelenggaraan kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten.
“Aku belum tahu mas, yang mengurusi paling Pak Jamaludin sendiri.” Surip menjawab. Sekretariat perguruan Pencak Silat Al-Jurus di rumah Pak Jamaludin, jadi ia tak tahu apa-apa.
“Ikut atau nggak tak masalah Rip, nonton saja nanti di gedung Isola jalan Jendral Soedirman.” Mas Sehak tidak mendesak karena Surip bukan pengurus perguruan Al-Jurus.
Gedung Isola itu terletak di jalan Jendral Soedirman, ruas jalan membentang timur barat. Paling baratnya Alun-alun dan kantor bupati, makin ke timur ada balai kota Purwokerto, kompleks Tamara Plaza, gedung Isola dan pasar Wage Kauman Lama. Beberapa gedung bioskop masih ramai ditonton warga kota sebagai salah satu sarana hiburan yang terjangkau kantong masyarakat. Televisi sudah banyak tetapi siarannya monopoli TVRI, belum ada saluran televisi swasta.
Saat masih membaca komik, ada sorang tamu datang ke kios menemui Mas Sehak. Sosok tamu tersebut segera diketahui Surip, itu Mas Heri yang juga melatih dirinya di langgar Mangga Sholat. Orang-orang ini sudah kenal lama, bergaulpun sebenarnya sejak masih anak-anak. Ini terlihat dari cara mereka bergaul yang saling memanggil nama masing-masing tanpa ada tingkatan tua muda.
Itu tidak penting bagi Surip. Justru ada beberapa percakapan Mas Sehak dengan Mas Heri yang menyinggung urusan kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten.
“Aku dengan Pak Jamaludin nanti ikut pertandingan. Kami yang akan memilih pesertanya dari kedua perguruan.” Itu kata-kata yang terdengar oleh Surip, cukup serius rupanya. Setelah itu masih beberapa kalimat terlontar dari mulutnya tapi Surip tak terlalu mendengar. Tidak sampai setengah jam Mas Heri bertamu. Apa lagi setelah ada beberapa pelanggan datang menyewa komik. Mas Sehak jadi sibuk sampai Mas Heri pamitan pulang.
Surip yang sempat mendengar jadi terpikir,
“Siapa nanti yang dikirim dalam kejuaraan di Al-Jurus ya. Sepertinya aku tidak pernah disinggung-singgung oleh Pak Anwar.” He He He Surip justru melamun berandai-andai bila dirinya menjadi peserta seleksi kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten.
Betapa namanya akan terangkat bila mampu menjuarai salah satu pertandingan. Cukup penasaran Surip sehingga saat acaranya selesai, ia mencoba lewat depan kios Pak Jamaludin. Dari dalam kios tersebut terdengar beberapa kali suara pembicaraan. Tentu itulah Pak Jamaludin dan Mas Heri. Tapi tak mungkin Surip tahu apa yang dibicarakan berdua orang tersebut (Surip nggak punya ilmu mendengar dari jarak jauh sih). Tentu saja Surip hidup di alam nyata, komik yang dibacanya itu lebih berunsur hiburan biarpun merangsang dirinya untuk sama memiliki ilmu beladiri tingkat tinggi.
Tadi sebelum meninggalkan kios Sakura Store Mas Sehak berkata kepadanya,
“Si Heri itu orangnya keras kepala dan berangasan. Dulu saat masih di Al-Husna beberapa kali bertentangan dengan Ayah. Padahal Ayah itu masih pak denya sendiri.” Masih ada kelanjutannya,
“Si Heri berambisi menyaingi Ayahe dengan mendirikan perguruan sendiri. Di samping itu juga berguru kepada yang lain, sempat merantau ke beberapa tempat. Orang itu termasuk petualangan jalanan.” Lagi Mas Sehak bicara sendiri.
“Yang kuherankan biarpun bertentangan Ayah tetap memberi bantuan kepada Mas Heri. Pekerjaan pun tetap dicarikan sampai menjadi guru sekolah menengah negeri sekarang.” Mas Sehak berkata seperti memberi informasi seputar sepak terjang Mas Heri.
“Bagaimana dengan Pak Jamaludin, bukankah beliau mendirikan perguruan sendiri?” Surip sempat bertanya.
“Oh Pak Jamaludin itu orangnya mementingkan segi akademis, tidak cocok dengan anak buah Ayahe yang seperti kami ini.” Mas Sehak mencontohkan dirinya yang hidup seperti preman pasar. “Jamaludin dan Mas Heri itu satu angkatan saja dengaan diriku, hanya saja Pak Jamaludin saat berlatih usianya sudah tua.” Mas Sehak memandangi Surip seperti ingat bila anak di depannya ini termasuk dari perguruan saingannya.
Surip mencoba memberi tahu Mas Sehak,
“Aku tidak pernah dilatih Pak Jamaludin, saat di desa hanya tahu Pak Jamaludin itu temannya pak RT, sama-sama bekerja di IAIN Purwokerto.” Coba Surip menjelaskan posisinya.
“Ya kamu dilatih oleh Pak Anwar, orangnya telaten melatih siswa dan setia kepada guru besarnya. Mereka lebih terikat karena saling membutuhkan. Pak Anwar dahulu itulah yang membangun rumah Pak Jamaludin di jalan Jatiwinangun sekarang.”
Cukuplah pemberitahuan dari Mas Sehak, setelah melintasi kios Pak Jamaludin segera Surip beranjak pulang ke Beji.
Langgar Mangga Sholat,
Pak Anwar sedang menemui tamu yang berkunjung hari itu. Seperti biasanya latihan training pelatih masih terselenggara. Karena menemui tamu Paimo yang ditunjuk menggantikan melatih sementara ini.
“Wah kita berlatih tarung jurus saja. Kalau disuruh menerangkan materi aku kurang menguasai.” Paimo garuk-garuk kepala mengusulkan jenis latihan.
“Boleh saja, ayo cari masing-masing lawannya kemudian bergantian memperagakan.” Seorang peserta training setuju.
Orang-orang peserta training pelatih segera mencari lawan sepadan. Kriterianya berdasarkan tinggi badan, kalau orang yang gemuk itu jarang. Orang-orang berlatih silat kebanyakan kerempeng. Jarang orangnya mencapai berat badan kelas berat seperti dalam tinju.
“Ayo Warjo karo Surip, peragakan tarung I lebih dulu.” Paimo segera memerintahkan tampil untuk mengisi acara latihan.
Segera orang-orang memberi tempat di tengah ruangan langgar untuk peragaan tarung. Duduk bersila melingkar di pinggir ruangan. Kedua petarung berhadapan, Surip dengan Warjo. Anggap saja keduanya sudah sesuai kelasnya. Pasangan jurus dilakukan setelah saling menghormat perguruan. Barulah tarung dilakukan,
Surip memukul lebih dahulu, Warjo menangkis kemudian menendang. Surip segera memutar balik badan menangkis sepakan Warjo. Pasang kuda-kuda lagi, Warjo melakukan serangan teknik tarung lain, Surip menendang sedangkan Warjo mengantisipasi diri dengan teknik menangkap kaki Surip.
Trap! Kaki Surip terkunci oleh Warjo.
Surip segera menjatuhkan diri sambil mengangkat kaki memutus kuncian tangan Warjo. Terjadilah semacam trik teknik kunci mengunci. Terus gerakan tarung diperagakan menjadi rangkaian tarung seperti praktek jurus. Teknik-tekniknya sudah diatur sedemikian rupa sehingga berkesinambungan.
Seorang menyerang yang lain mengantisipasi, setiap teknik memiliki cara tersendiri untuk saling patah mematahkaan. Tarung seperti ini merupakan nomor sendiri dalam bagian jurus. Beberapa teknik dirangkai menjadi satu sesuai dengan sifat serangan dengan nama tersendiri. Paling mudahnya diurut sebagai tarung I, II dan seterusnya. Peragaan selesai, pasangan tarung lain maju melakukan tarung II. Bentuk-bentuknya hafalan seperti jurus hanya dilakukan berhadapan seperti menghadapi lawan sungguhan.
Kayak perang dipertunjukan ketoprak saja ya?
Persis seperti itu, bedanya ketoprak bagian dari drama sedangkan tarung ini selalu berkaidah beladiri. Jika diperagakan menjadi nomor tersendiri yang bisa dipertandingkan.
Bagaimana dengan pertunjukan dalam film action?
Nah kalau pertarungan dalam film itu diatur oleh koreografer. Pertunjukannya harus sesuai dengan kemampuan kamera. Kalau tarung yang diperagakaan Surip dan teman-temannya ini aturannya seperti dalam tarung kejuaraan Pencak Silat.
Pencak dan Silat, sebenarnya dua kata itu berbeda.
Pencak merujuk pada estetika atau keindahan gerak yang mengandung bela diri. Sedangkan Silat adalah teknik bertarung untuk mengalahkan lawan bahkan sampai membunuhnya. Perguruan Pencak Silat selalu mengajarkan kedua fungsi beladiri ini. Inilah budaya Nusantara yang menjadi kekayaan intelektual bangsa Indonesiaa. Kita harus bangga dengannya walaupun sifatnya sangat kampungan.
Bagaimana dengan Kung Fu atau kunthow Cina?
Beladiri Cina selalu merujuk pada konsep Konfusianisme, Budha dan Tao. Konsepnya misalnya mengenal Yin Yang, Lima Unsur, Pat Kwaa (Delapan Penjuru Mata angin) dll.
Kalau Pencak Silat rujukannya asli kampung-kampung Melayu, salah satunya kepercayaan Animisme dan Dinamisne. He He He jangan rendah diri, Animisme dan Dinamisme ini termasuk kebudayaan maju di dunia. Dari aslinya Animisme dan Dinamisme, kemudian perkembangannya dipengaruhi agama-agama yang datang dari luar seperti Hindu, Budha dan Islam.
Terakhir diketahui jejaknya Pencak Silat adalah sarana dakwah agama Islam. Inilah yang sekarang masih didengung-dengungkan oleh setiap perguruan Pencak Silat tradisional di manapun di Indonesia.
Sekarang jaman modern, sebagian perguruan Pencak Silat mencoba perubahan jaman ini sebagai jualannya. Banyak perguruan Pencak Silat nasional mengklaim Pencak Silat menerima semua kalangan agama. Larinya Pencak Silat menjadi olah raga, sarana kesehatan dan pendidikan. Yang dikejar prestasi dalam setiap kejuaraan.
Sesi latihan program training selesai. Ternyata Pak Anwar pun sudah kembali ke langgar untuk meninjau.
“Wah sudah siang ya, tak apa berhenti dulu. Itu tadi tamu dari sebuah yayasan. Yang ditemui sebetulnya pemilik langgar, berhubung beliau sedang pergi jadi aku yang menerima.” Pak Anwar bercerita tentang tamu yang dihormatinya. “Orangnya pejabat di pemkab Banyumas, beliau tertarik dengan latihan Pencak Silat di langgar ini.” Katanya dengan muka berseri-seri. “Minggu depan beliau akan datang lagi ke sini dan bersedia melihat langsung program latihan kalian.”
Saat Pak Anwar bercerita tentang kedatangan tamu pemilik langgar, dari luar datang sepeda motor. Pengendaranya Pak Jamaludin dan Mas Heri.
“Assalamualaikum!” Pak Jamaludin menyapa siswa-siswanya di langgar.
“Waalaikum salam.” Serempak yang hadir menjawab.
Orang-orang pun berkerumun kembali tidak jadi membubarkan sesi latihan program training pelatih. Hari sudah siang, waktunya sholat dhuhur membuat orang-orang secepatnya bersalin pakaian, kemudian berlanjut sholat jamaah, setelah itu berkumpul kembali di dalam langgar mendengarkan arahan guru besarnya.
“Ada undangan dari IPSI Banyumas, tahun ini untuk perguruan kita meengikuti kejuaraan seleksi tingkat kabupaten.” Pak Jamaludin mulai membeberkan maksud kedatangannya. “Untuk ini besok ada rapat di sekretariat, tolong semua hadir di sana.”
Siswa-siswa program training pelatih bersuka cita mendengarnya, beberapa tahun sudah perguruan Pencak Silat Al-Jurus berdiri baru sekarang mendapat kesempatan mengikuti kejuaraan.
“Saya tak bisa ikut rapat pak, soalnya paginya sekolah.” Surip berkata masalah pribadinya.
Pak Jamaludin sempat memandangnya, memang ada beberapa anak training pelatih ini masih pelajar biarpun tidak intensif.
“Biar saja nanti diwakilkan Pak Anwar, bukankah kamu itu anak asuh Pak Anwar?” Langsung Pak Jamaludin memberi jalan.
Mas Heri menukas,
“Waktunya sudah mepet, tinggal dua minggu. Untuk seleksi dalam perguruan kami berdua yang akan menentukan.” Katanya seperti sudah menggenggam sebuah rencana.
Orang-orang yang hadir jadi berisik urusan seleksi orang-orang dalam perguruan. Jika diurusi guru besarnya tak mungkin dibantah siswa-siswa. Sampai saat ini sudah ada tiga angkatan, setiap angkatan memiliki senior. Ada Pak Anwar, Pak Slamet dan Bagio. Boleh dikata orang-orang ini nanti yang andil dalam pemilihan peserta kejuaraan.
“Untuk sementara ini perguruanku bergabung atas nama perguruan Al-Jurus. Semoga dengan cara ini kita cukup punya pengaruh dalam kejuaraan di tingkat kabupaten.” Mas Heri melanjutkan kata-katanya.
Sama dengan Al-Jurus perguruan milik Mas Heri ini pasang surut dan strukturnya masih sederhana. Bahkan karena sempat tidak aktif beberapa tahun terjadi kekosongan angkatan siswa. Untungnya perguruan milik Mas Heri sudah lama masuk anggota IPSI, jadi aktif maupun tidak aktif tetap mendapatkan undangan. Ketiadaan angkatan siswa selanjutnya dicoba duet dengan perguruan Al-Jurus.
Pak Anwar yang hadir justru tampaknya tidak antusias dengan arahan dari Pak Jamaludin dan Mas Heri. Sedangkan siswa-siswa lain sangat tertarik dan berbincang-bincang sendiri menduga-duga siapa yang bakalan dikirim menjadi peserta kejuaraan tingkat kabupaten nanti. Akhirnya pertemuan dibubarkan setelah beberapa pengarahan dianggap selesai.
Saat Surip mengambil sepeda, Pak Anwar mencegatnya lebih dulu.
“Rip bapak minta maaf dulu ya, tampaknya sulit sekali nanti memasukkan dirimu dalam peserta kejuaraan. Pak Jamaludin dan Mas Heri sebenarnya sudah memiliki orang-orang yang dipilihnya sesuai selera mereka. Beberapa nama yang kuajukan dari anak asuhanku satupun tak diambil oleh beliau.” Murung kata-katanya seperti menyesal dan tidak puas.
Surip tertegun kemudian bertanya,
“Ada apa sebenarnya pak, sampai-sampai anak asuhan bapak termasuk aku tidak diikutkan?” Surip bingung juga, memangnya seberapa besar kapasitasnya menghadapi masalah ini.
“Rip kuakui biarpun aku senior di perguruan ini, tetapi aku adalah orang yang tidak disukai Pak Jamaludin. Beliau lebih tertuju pada anak asuhnya sendiri yang angkatan ke dua dan dilatih di rumah beliau sendiri di jalan Jatiwinangun sana. Sedangkan aku walaupun menyediakan tempat dan pemula di langgar sebenarnya hanya sebagai batu loncatan kemajuannya, setelah itu dibiarkan bergerak sendiri.” Semacam rahasia terkuak dari mulut Pak Anwar.
Dalam hati Surip berkata, ”Ah ada friksi semacam ini di perguruan kecil ini?” Surip jadi geleng-geleng kepala. “Lantas apa yang akan dilakukan bapak nanti di perguruan ini?” Surip coba bertanya.
“Aku berharap banyak kepadamu Rip, tak apa tersingkir di dalam perguruan tetapi kita tetap memajukan Pencak Silat menurut versi kita sendiri. Cobalah mulai melatih di desamu nanti, aku akan terus membantumu.” Katanya dengan memandang Surip penuh harap.
Rupanya itulah maksud Pak Anwar sebenarnya, berbagai kekecewaan melanda orang tua ini tanpa daya. Sekarang dicobanya keluar dari masalah dengan mengembangkan Pencak Silat betapapun itu semua swadaya sendiri. Ini semacam perjuangan pribadi dan Surip menjadi pendengar keluh kesahnya.
“Pemilik langgar sudah mengakomodasi dan mendukung langkah-langkahku ini. Langgar ini menjadi basisnya nanti.” Pak Anwar terus memberi keterangan. “Tamu yang datang tadi dari sebuah yayasan mungkin akan membantu dalam pergerakan tersendiri.” Terus Pak Anwar memberitahu Surip. Biarpun bingung Surip mulai tahu arahnya pembicaraan Pak Anwar. Tamu yang ditemuinya rupanya menjadi salah satu tumpangannya nanti agar langkah-langkahnya terus berjalan.
“Ini hanya perguruan Pencak Silat kecil. Ternyata banyak intrik di dalamnya.” Itu komentar Surip akhirnya.
“Justru bapak yang tidak peduli Rip, biarpun tetap bergabung dalam Al-Jurus tetapi nyatanya bapak bergerak sendiri. Nanti tetaplah menonton pertandingan di Isola tetapi rencanaku juga harus jalan.” Bapak Anwar berkata seperti terhadap dirinya sendiri, semacam tekad keluar karena beberapa masalah tumpang tindih mengganjal.
Langgar Mangga Sholat dan sekretariat perguruan Pencak Silat Al-Jurus, ternyata ke duanya berbeda satu sama lain. Pak Anwar didukung oleh pemilik langgar sedangkan Pak Jamaludin yang jadi guru besarnya diam-diam kurang menyukainya. Adanya Mas Heri membuat Pak Jamaludin mendapatkan sekutu kuat memajukaan Al-Jurus yang berkantor sekretariat di jalan Jatiwinangun.
Sedangkan Pak Anwar yang jamaah langgar Mangga Sholat menjadi kubu kecil berdiri sendiri dengan dukungan pemilik langgar. Pak Anwar dilatih langsung oleh Pak Jamaludin, ketika itu adalah dua orang yang saling membutuhkan. Pak Anwarlah yang mencoba memberi tempat pertama berlatih saat perguruan belum terbentuk. Sebagai pengurus langgar Pak Anwar memiliki jasa besar awal-awal berdirinya perguruan Pencak Silat Al-Jurus.
Barulah setelah itu Pak Jamaludin melatih siswa-siswanya di rumahnya yang kemudian sekaligus menjadi sekretariat perguruan. Pak Jamaludin bergerak sendiri, Pak Anwar pun menyelenggarakan sendiri. Pak Anwar hanya tukang batu, di sinilah kekurangannya, beliau tidak paham organisasi. Sebagai tumpangannya Pak Anwar mengikuti jamaah dan pemimpin langgar Mangga Sholat di jalan Bima.
Kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten di Banyumas. Ini adalah kejuaraan yang diselenggarakan IPSI untuk tingkat kabupaten. Pesertanya perguruan-perguruan yang bernaung di dalam IPSI. Kejuaraan ini menjadi indikator kejuaraan tingkat selanjutnya, yaitu tingkat provinsi hingga nasional nantinya. Menjadi juara umum di tingkat kabupaten Banyumas pun sudah cukup bila mengingat perguruan Al-Jurus hanya perguruan kecil dan lokal.
Kompleks Isola jalan Jenderal Soedirmaan. Surip sejak lahir berada di Purwokerto, tapi pengetahuannya terhadap daerahnya sendiri sangat minim. Kompleks Isola gedung besar dengan rangkaian gedung lainnya yaitu bioskop Presiden dan Kamandaka.
Bioskop Presiden lebih sering memutar film barat dan mandarin, kelasnya lebih bergengsi. Kalau bioskop Kamandaka itu sering film Indonesia dan India. Tapi dulunya kompleks-kompleks gedung ini adalah sebuah pabrik gula milik swasta. Itulah yang Surip buta saat menginjakan kakinya di dalam ruang besar yang terdiri dari lapangan bulutangkis. Menghadap jalan jendral Soedirmn sebuah toko swalayan Matahari milik Cina Purwokerto. Sedangkan di seberangnya Tamara Plaza berlantai empat dengan supermarket Sri Ratu. Megah dan bersaing dengan swalayan-swalayan dari group Jakarta.
Di kompleks Kebondalem sebagian besar proyek THR sudah selesai. Begitu proyek dinyatakan selesai masyarakat Purwokerto dibuat bingung. Mana fasilitas Taman Hiburan Rakyat yang dijanjikan PEMDA?
Adanya ruko-ruko besar yang kini sudah ditempati pengusaha-pengusaha Cina. Di bagian tempat strategisnya terdapat group Matahari swalayan bersaing dengan toko Rita.
Rencana tinggal rencana, THR dijanjikan akan dibangun di bagian tengah bangunan ruko-ruko yang meraksasa. Sementara ini yang terlihat hanya penyelesaian terminal angkutan kota. Masyarakat masih terus menunggu janji-janji pemerintah daerah.
Gedung Isola, toko Matahari, bioskop Presiden dan Kamandaka. Satu kompleks menyatu dengan kompleks distrik militer Purwokerto. Di bagian belakangnya berupa perumahan dinas tentara berupa barak-barak keluarga kecil.
Kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten, event ini ajang seleksi menuju tingkat provinsi. Pesertanya mudah diduga berbagai perguruan Pencak Silat tingkat nasional cabang daerah sudah mendominasi. Ini terlihat dari seragam-seragam yang terlihat dikenakan peserta kejuaraan. Merpati Putih terlihat paling banyak, kemudian Tapak Suci dengan seragam merah menyala.
Barulah setelah itu seragam rata-rata beberapa perguruan tradisional. Ada ratusan penonton memadati kejuaraan tingkat kabupaten ini. Ini hari pertama, kelas-kelas yang dipertandingkan masih banyak pendaftarnya. Sistim yang berlaku adalah sistim gugur.
Nomor yang dipertandingkan hanya Tarung saja. Nomor-nomor yang lain seperti Seni tak laku. Saat itu Pencak Silat adalah beladiri yang dianggap seperti Tinju, selalu berupa tarung untuk mengalahkan lawan bahkan bila perlu sampai knock out. Bahkan anggapan lain Pencak Silat seperti gabungan beberapa jenis beladiri, pukulannya keras seperti Karate, tendangannya maut seperti Tae kwon do dan bantingannya seperti Judo.
Bayangkan betapa hebatnya seorang penghayat beladiri Pencak Silat. Pameo di atas terjadi karena Pencak Silat diakui siapapun merupakan beladiri yang sangat kompleks. Beladiri-beladiri lain walaupun lebih terkenal tetapi terbatas teknik-tekniknya. Umpanya Tae kwon do itu hanya variasi tendangan saja atau Karate yang sifatnya keras lawan keras melulu. Pencak Silat adalah gabungan berbagai teknik dan sifat beladiri yang ada pada beladiri lain tersebut. Tapi kalau dari asal usulnya beladiri Pencak Silat akan menolak dikatakan berasal dari negara-negara beladiri lain tersebut. Pencak Silat tetap merupakan budaya asli Nusantara.
Surip hari pertama langsung menonton. Ia berjubel mengelilingi matras pertandingan yang berupa lingkaran tanpa pembatas apapun. Hanya peserta kejuaraan saja yang berseragam beladiri. Setelah itu panitia penyelenggara dan beberapa perwakilan pejabat daerah.
Sepuluh peserta kejuaraan sudah terdaftar dari perguruan Al-Jurus. Pak Jamaludin dan Mas Heri terlihat di tengah-tengah arena. Mereka sibuk mempersiapkan anak didiknya untuk maju dalam kejuaraan tersebut. Tak kalah sibuknya tenttu perguruan-perguruan lain, Surip ada melihat Mas Sehak yang ternyata didapuk menjadi salah satu wasit pertandingan. Dari KBPS Al-Husna cukup banyak mengingat mereka perguruan daerah paling berpengaruh di Purwokerto walupun lokal. Beberapa orang Al-Husna yang pernah dijumpai cukup membuat Surip tahu betapa banyaknya anggota-anggota dari perguruan ini. Apa lagi ada Karseno dan Darmaji yang diketahuinya membina KBPS ranting Beji. Kedua orang ini memobilisasi warga Beji untuk ikut menonton kejuaraan.
Kalau teman-teman sekolah SMA itu banyak berada di perguruan Merpatti Putih. Soalnya itu menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Begitu juga dengan senior-senior dari Betako Merpati Putih ini, walaupun Surip tidak mengenalnya secara pribadi tetapi sering berjumpa saat ada pelatihan di sekolah.
Pak Anwar tidak terlihat, beberapa hari sebelumnya sudah mengatakan kepada Surip tentang kelompoknya yang tidak dipedulikan oleh Pak Jamaludin. Tak ada anak asuhan Pak Anwar yang jadi peserta kejuaraan Pencak Silat ini. Dan He He He Surip termasuk orang yang tidak kena seleksi dalam perguruan. Aktifitasnya di program training pelatih diakui tetapi untuk ditampilkan di pertandingan kriteria tersebut diukur oleh guru besarnya.
“Jadi penonton saja Rip, pokoknya kamu memperlihatkan diri di kejuaraan tersebut. Tak usah memikirkan kelompok kita yang seperti tak diakui ini.” Pak Anwar memberikan dorongan kepada Surip karena sudah tahu tak ada anak asuhnya yang diikutkan dalam kejuaraan tersebut. “Lumayan bisa menambah pengalaman nantinya.” Begitu Pak Anwar bicara secara pribadi kepadanya.
Dan biarpun hadir dengan orang-orang dalam satu perguruan Al-Jurus di Isola ternyata Pak Jamaludin tak pernah menyapanya. Apalagi Mas Heri, orang ini walaupun nebeng dalam perguruan Al-Jurus tetapi lebih sibuk mengurusi anak muridnya yang akan maju dalam pertandingan. Mas Heri juga tampak sebagai orang yang terpilih menjadi wasit dan juri pertandingan dalam event saat ini.
Upacara pembukaan sudah dimulai, peserta pertandingan berbaris menyesuaikan dengan bendera perguruan yang berada di depan barisan. Bayangkan bendera perguruan berkibar begitu banyak alirannya.
Logo perguruan seperti pernyataan kekuasaan dan kekuatan sebuah golongan. Begitu juga seragam perguruan yang dikenakan sangat beraneka ragam. Begitu kaya aset yang dimiliki sebuah perguruan Pencak Silat, melebihi logo perusahan milik seorang konglomerat.
Sebenarnya satu perguruan sebagai lembaga memiliki aset berlimpah. Secara materi tidak banyak, tetapi didalamnya terdiri dari berbagai unsur mulai dari pendidikan karakter, agama, seni dan spiritual semuanya tergantung guru-guru pembimbing di dalamnya.
Persiapan pertandingan sudah mulai, masing-masing peserta sudah menyesuaikan dengan kelas-kelasnya sendiri sesuai berat badan dan usia. Pencak Silat beladiri yang kompleks dan bisa dilatih mulai dari anak-anak hingga dewasa. Oleh karenanya kelas-kelas yang dipertandingkan banyak variasinya.
Ada kelas Anak-anak itu terbagi tiga sub kelas yaitu A, B, dan C. Kemudian kelas Remaja juga terdiri sub kelas A, B, dan C. Dan terakhir kelas Dewasa juga terdiri dari sub kelas A, B, dan C. Setiap perguruan terkadang menyelenggarakan sendiri pertandingan sering menambah satu kelas lagi yaitu kelas Bebas, ini kelas yang tidak melihat berdasarkan umur dan berat badan. Kemudian untuk jenis kelamin wanita juga ada kriterianya yang sama dengan kelas pria.
Satu lagi nomor yang dipertandingkan yaittu nomor beregu. Tentu supaya nama perguruan juara umum bisa terdokumentasi dalam setiap event. Jangan kaget, kejuaraan yang diselenggarakan IPSI ini tidak terjamin terselenggara setiap tahun. Maju mundurnya IPSI sangat terpengaruh oleh situasi politik.
Hanya ada satu matras pertandingan, oleh karenanya setiap petarung sangat dibatasi dalam pertarungan. Pertandingan bisa terselenggara pun sudah bagus. Setahu Surip justru setiap perguruan mengadakan pertandingan versi mereka sendiri. Merpati Putih misalnya terlihat paling aktif, kemudian Tapak Suci dan SH Terate. Bahkan KBPS Al-Husna memiliki suatu sistim sendiri yang di ikuti Al-Jurus dan perguruan milik Mas Heri.
IPSI itulah standar yang diakui, oleh karena itu sekarang tarungnya adalah versi lembaga yang berlaku secara nasional. Tapi biarpun diakui resmi pengaruh tokoh-tokohnya mayoritas dari perguruan-perguruan Pencak Silat Nasional.
Beberapa kali ketua umumnya dijabat dari perguruan SH Terate dan Merpati Putih. Rasanya dominasi perguruan-perguruan tersebut bukan hanya di IPSI, lembaga Kepolisian dan Militer juga bekerja sama dalam program beladiri di setiap daerah.
Setiap beladiri yang berkembang di Indonesia selalu mengangkat seorang pejabat teras atas sebagai pelindungnya. Pengaruh pejabat-pejabat tersebut menjamin bela diri impor sekalipun laku di Indonesia. Apalagi bila pejabat itu dari kalangan militer, wah sangat kuat pengaruhnya. Ini terjadi saat jaman Orde Baru.
Penonton di gedung Isola mulai mengelilingi arena pertandingan. Dua petarung dari perguruan berbeda, Merpati Putih melawan petarung dari perguruan Pajajaran. Surip tak tahu kenapa namanya perguruan Pajajaran, mungkin perguruan ini mengambil nama karena pengaruh kerajaan Sunda Jawa Barat. Banyak nama-nama perguruan Pencak Silat lebih tertuju pada daerah asalnya.
Surip di Beji mengenal tetangganya sendiri yang seorang sesepuh memberikan latihan Pencak Silat Prana Sakti, asalnya dari Yogyakarta. Latihannya aneh, dalam melakukan jurus bila tak menguasainya bakalan berputar-putar dan melayang beberapa meter ke belakang. Entah ilmu apa itu, yang jelas setiap kali melakukaan teknik tersebut ada dzikirnya dan bila belum menguasainya akan terpental sendiri dan harus mengucapkan dzikir istighfar, tasbih dan tahmid seperti pernyataan tobat.
Kembali ke arena pertandingan ronde pertama dimulai, Petarung dari Merpati Putih tinggi kurus bersabuk merah sedangkan petarung dari Pajajaran berbadan gempal bersabuk biru. Keduanya bergerak saling memancing dan kemudian melangkah maju mendekati lawan. Seorang mencoba menendang tapi kosong tak ditanggapi lawannya. Sebaliknya pukulan orang yang menghindar dari tendangan lawan ditepis ke samping membuat si tinggi kurus yang menendang meraih badan si Gempal. Gagal meraih badan lawan si tinggi kurus maju hendak melakukan kuncian, mundur ke belakang menghindari rangsekan si gempal yang tak mau kecolongan.
Ada satu pukulan masuk membuat si Gempal mundur agar tidak didesak lebih lanjut. Hanya itu poin yang didapat oleh si Tinggi kurus dari Merpati Putih. Ronde kedua sabuk merah tinggi kurus mendominasi serangan. Beberapa tendangan masuk merupakan kelebihan si orang tinggi kurus ini. Jangkauan kakinya diandalkan untuk mengurangi jarak yang selalu dicoba lakukan oleh si Gempal karena tak mampu mengandalkan pukulannya.
Ronde ke tiga makin sulit bagi si Gempal meraih angka walaupun sempat memasukan satu pukulan karena kelengahan si tinggi kurus. Terlihat si Gempal kurang lincah, kakinya tidak banyak melakukan teknik serangan. Pertarungan selesai, langsung terlihat siapa pemenangnya. Wasit mengangkat tangan sabuk merah sebagai pemenang pertarungan. Si tinggi kurus berhak maju kebabak berikutnya menunggu lawan lain menang di kelas yang diikutinya.
Pertarungan ke dua ternyata dilakukan petarung wanita. Sabuk biru dari Merpati Putih dan sabuk merah dari Tapak Suci. Dalam pertandingan seragam resmi yang diakui adalah atasan hitam dan celana hitam juga. Jadi walaupun kedua perguruan memiliki seragam sendiri, seperti Tapak Suci yang merah menyala dan Merpati Putih yang putih-putih berenda biru. Semuanya ditinggalkan harus mengikuti aturan IPSI.
Pertarungan atlet wanita lawan wanita terlihat kurang berkembang. Hanya ada pukulan dan tendangan yang dilepaskan. Teknik-teknik yang paling mudah dalam pertandingan Pencak Silat. Untungnya gerakan perempuan-perempuan ini luwes dan feminim. Beberapa gerak melangkah untuk memasukan serangan berhasil dengan baik. Yang jelas wasit tidak repot memisahkan ke dua petarung yang hanya tampil cantik ini.
Pertarungan ke tiga, penonton bergemuruh heboh sekali.Ternyata kali ini petarungnya dari perguran Maruyung. Seorang pemuda berkulit putih dengan badan kekar. Wajahnya ganteng membuat orang-orang memberi aplaus kepadanya. Lagi pula petarung ini juara tahun yang lalu. Jadi ibaratnya ia adalah juara bertahan dalam kelas yang diikutinya tahun ini.
Surip mengenalnya, ia tahu dari Pak Anwar tentang anak asuhan dari Bapak Mukto guru besar perguruan Maruyung.
“Orang itu atlet berbakat, beberapa kejuaraan sudah pernah diikutinya. Ia adalah anak asuh kebanggaan Pak Mukto.”
Jelas orang ini punya prestasi segudang. Nama Perguruan Maruyung terangkat gara-gara atlet yang satu ini. Padahal perguruannya tidak besar masih kalah dengan KBPS Al-Husna. Dari beberapa atlet Maruyung hanya orang ini saja yang menonjol. Petarung lainnya tidak berprestasi sama sekali.
Lawannya di babak pertama ini dengan seorang atlet dari Perguruan Al-Husna. Orang bilang atlet dari Al-Husna ini sebagai debutan baru. Pengalamannya di kejuaraan baru pertama kali ini ikut. KBPS Al-Husna sendiri sebenarnya sangat aktif di kegiatan IPSI, tapi entah kenapa di dalam jajaran pengurus IPSI Banyumas hanya menempatkan beberapa orangnya di bagian-bagian yang kurang diperhitungkan.
Beberapa atlet dari KBPS Al-Husna terlihat cukup banyak. Partisipasinya dalam setiap kejuaraan patut diacungi jempol. Rupanya ada terdengar kabar, tujuannya hanya untuk menunjukan eksistensi mereka di Banyumas. Pengaruhnya lebih terasa sebagai penguasa kawasan. Diam-diam di setiap pusat keramaian terdapat orang-orang AL-Husna sebagai jasa keamanan. Pasar Wage, Kebondalem, Terminal Bus, Stasiun Kereta Api sampai obyek wisata Baturraden.
Pertarungan ke tiga terasa menarik. Atlet perguruan Maruyung menunjukan kelasnya sebagai juara bertahan. Lawannya dari Al-Husna mencoba memperlihatkan kemampuan tekniknya. Tentu sebagai debutan ia mencoba bermain sebaik mungkin. Setiap kali atlet dari perguruan Maruyung melakukan teknik serangan aplaus dari penonton terdengar. Bisa diperkirakan dari satu ronde ke ronde berikutnya poin nilai terkumpul dari teknik variatif yang dilakukan olehnya. Pukulan, tendangan miliknya serasi sekali dengan gaya yang sportif. Sempat terjadi bantingan yang membuat penonton seperti menghentikan nafas, mengagumkan sekali.
Mungkin bagi atlet dari perguruan Maruyung ini lawannya sangat mudah terdeteksi gaya tarungnya. Dominasi nilai terlalu jauh. Lawannya dari Al-Husna masih grogi bertarung di matras. Tapi mungkin juga karena sudah ciut nyalinya melihat lawan yang prestasinya sudah segudang. Segera saja diakhir ronde sudah ketahuan pemenangnya. Lawan dari atlet perguruan Maruyung ini untungnya memperlihatkan sportifitas tinggi saat berhadapan sehingga kekalahannya tidak memalukan.
Pertarungan ke empat terjadi antara atlet perguruan Maruyung dengan perguruan Al-Jurus. Ini yang dinantikan oleh Surip dan sebagian besar penonton dari perguruan Al-Jurus termasuk Pak Jamaludin dan Mas Heri. Kedua petarung berperawakan sedang saja terlihat imbang. Ibaratnya ini pertama kalinya Al-Jurus sebagai perguruan Pencak Silat di Banyumas bisa ikut even kejuaraan. Jauh-jauh hari Pak Jamaludin dan Mas Heri tidak menargetkan juara. Yang penting atletnya bisa ikut kejuaraan sebagai penjajagan di masa mendatang.
Sayang saat bertarung kedua atlet yang ternyata baru sekali terjun di arena matras tampak kurang menguasai lapangan. Yang terjadi baku hantam seperti tinju gaya bebas.
“Huu… uuuh!” Penonton kecewa menyoraki kedua petarung yang tidak bisa mengembangkan permainan.
Beberapa kali wasit memisahkan kedua petarung, beberapa peringatan dikeluarkan untuk bermain lebih berirama. Sayang keduanya tak mengindahkan. He He He peraturan pertandingan mungkin sudah dipelajari, tapi saat berada di arena matras semuanya hilang tak terkontrol. Pertandingan kacau dengan perolehan angka minim. Walaupun begitu Perguruan Pencak Silat Al-Jurus berhasil memenangkan pertarungan ini. Setelah selesai bertarung, Surip sempat menjabat tangan atlet yang setiap hari minggu ikut berlatih bersama di program training pelatih di langgar Mangga Sholat.
Terus pertandingan dilanjutkan, ada salah satu atlet dari perguruan yang Surip tak mengenalnya dengan baik. Begitu berhadapan dengan atlet lawannya sangat ganas menyerang. Menegangkan sekali, atlet yang satu ini begitu bernafsu menyerang. Memukul. Menendang begitu keras bahkan terkesan sadis.
Lawannya yang terkejut tidak mengira diserang seperti itu terpancing juga untuk bertarung keras. Penonton pun merasakan juga aroma keras pertarungan yang diperlihatkan. Akibatnya kedua petarung begitu ganas saling serang menyerang. Beberapa kali terjadi benturan keras membuat penonton menanti akhir pertarungan. Tak salah lagi akhirnya salah seorang petarung terkapar pingsan di matras.
Belum semua kelas selesai dipertandingkan malam pertama itu. Keterbatasan waktu dan tempat membuat pertandingan diakhiri jam dua belas malam. Surip pulang dengan mata mengantuk, mengayuh sepedanya menuju rumahnya di pinggiran kota, desa Beji Kedungbanteng.
Hari ke dua kejuaraan,
Pulang sekolah Surip berbincang-bincang dengan ibunya di rumah.
“Mbok, inyong dikandhani Pak Anwar jarene wulan ngarep kon nglatih bocah-bocah Al-Jurus sing wis mandeg nang Beji.” Surip mulai menyampaikan tujuannya.
Ibunya memandang Surip dengan tercengang, anaknya yang bungsu ini masih sekolah. Bukan anak berprestasi, belajarpun termasuk jarang. Masih sekolahpun sudah bagus, beberapa kakaknya sekedar lulus SMP sudah harus bersyukur sekali.
Beberapa kali anaknya merengek bila menghadapi urusan biaya sekolah. SPP nya sering nunggak, jika sudah begitu alamat sekolahnya juga ikut-ikutan mogok. Jika SPP sudah lunas gantian urusan buku-buku pelajaran membuat repot dirinya. Sebagian tak dipenuhinya sampai-sampai Surip tak berani menuntut apa-apa lagi kecuali tetap berangkat sekolah. Bawaannya minder terhadap guru dan teman-temannya.
Jika di rumah anaknya sering melamun berjam-jam seperti memiliki keasyikan sendiri. Lain saat bila membaca komik kuat berjam-jam sampai tengah malam. Sedikit kegiatannya yang menonjol, Surip pernah ikut berlatih Pencak Silat di kampung yang ternyata berlanjut sampai saat ini.
“Apa kowe bisa nglatih Rip, kowe kuwi isih cilik?” Si Mbok berkata dan sedikit meremehkan anaknya.
“Alah Mbok inyong ora langsung dadi pelatih dewekan. Mengko dibantu Pak Anwar. Wingi kae Pak Anwar nemoni pak RT jarene ben entuk ijin.” Surip tidak tahan bila diledek ibunya ini. Tanpa perlu membela diripun semua orang tahu dirinya anak bodoh.
“Ya nganah-nganah, sing penting aja nggo gelut. Urip ora kepenak nek kakehan mungsuh.” Si Mbok berkata tak banyak menasehati. Sudah beruntung ia memiliki anak yang bisa bersekolah sampai SMA. Jika sudah lulus nanti bisa mencari pekerjaan yang lebih baik dari pada saudara-saudaranya yang lain.
“Rip inyong ditawari kon ngedol sawah. Jare sing tuku wong kota. Inyong isih durung dong dadi tak joraken baen.” Rupanya ada sedikit masalah yang dihadapi ibu Surip. Biar miskin untuk orang desa sekapling sawah dua ratus meter persegi masih punya. Menggarap sawah seluas itu tak terlalu repot, tapi hasilnya juga minim sekali sehingga tak mencukupi. Untuk itulah ibu Surip tetap memburuh tani dan menjual apa saja ke pasar. Terkadang ada ditemuinya rebung bambu di tepi sungai Banjaran, pisang dan genjer di sawah, beberapa butir kelapa dan jika sempat terkadang mendapat sayur pakis di pinggir sungai. Jika sudah demikian hasil-hasil yang didapatnya bakalan diikat menyesuaikan dengan harga pasaran. Kemudian akan dibawanya ke pasar terdekat, bisa di Kedungbanteng atau ke pasar Cerme di Purwosari. Bilapun tak ingin ke pasar beberapa pedagang pengepul akan mendatangi rumah dan menawarkan hasil yang didapat walaupun harganya terlalu mencekik.
Benarkah seperti itu kehidupan orang-orang desa di Beji dan sekitarnya?
Penulis berani bersumpah! Itulah potret mayoritas petani-petani kita di pedesaan. Miskin banget ya? Ya mau apa lagi. Bila ingat lagu Koes plus bersaudara,
“Bila ingat tanah kita tanah surga
Tongkat kayu jadi tanaman.”
Syairnya tidak salah, Beji itu bertanah subur bahkan tak pernah kekeringan di musim kemarau sekalipun. Yang kurang taraf hidup masyarakatnya mayoritas di bawah garis kemiskinan.
“Mengko wengi kowe metu maning Rip? Ngati-ati nang dalan ya.” Ibunya berkata sebelum pergi ke rumah tetangga mencari daun pisaang yang akan dikumpulkannya untuk dijual ke pasar. “Nek madang ana kluban karo iwak mujaer goreng.” Lagi ibunya berkata.
He He He itu makan enak bagi Surip. Ikan mujaer itu termasuk limbah karena di setiap kolam milik orang Beji selalu beranak pinak tanpa bisa dicegah. Orang-orang Beji menyebutnya “oyek” alias ikan kelas seharga rempeyek atau kerupuk.
Jangan anggap sepele ikan mujaer, ini jenis ikan yang kemudian dimuliakan kawin silang menjadi berbagai jenis ikan nila yang sangat komersiaal. Tahun delapan puluh lima sampai Sembilan puluhan ikan nila masih sedikit. Budidaya ikan di Beji masih banyak mengandalkan ikan gurameh, tawes, nilem dan tambra. Ikan mujaer hanya dianggap hasil sampingan saja.
Padahal dahulu kala ikan mujaer itu penemuan baru. Penemunya Pak Mujaher, konon menemukannya dialiran sungai berair payau. Ternyata oleh Pak Mujaher ini dipelihara di kolam air tawar, eh kemudian bisa beradaptasi dengan baik. Makanya ikannya disebut mujaher yang kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda.
Jarang belajar dan sering main, itulah hari-hari Surip. Dan ini kesempatan Surip menonton kejuaraan Pencak Silat di Purwokerto. Pantas kalau di sekolahnya Surip termasuk goblok. Habis maghrib, He He He Surip jarang sholat. Tapi kalau ada undangan tahlilan di rumah tetangganya dia jagonya, pasti selalu hadir. Kalau ronda juga rajin, tapi itu gara-gara takut kena denda. Siskamling saat itu sedang digalakkan bahkan dilombakan segala. Beberapa warga direkrut jadi Hansip, itu tentara kelas teri di jaman Orde Baru. Masih mending jadi Satpam perusahaan karena lebih terjamin gajinya.
Dengan semangat empat lima Surip mengayuh sepedanya ke gedung Isola. Karangsalam dilaluinya menurun, Bobosan terus ke Kober sudah mendatar setelah itu masuk Purwokerto dan ke timur menyusuri jalan Jendral Soedirman, sampai. Sebaliknya nanti pulang ke Beji ditanggung nafasnya ngos-ngosan karena jalan selalu menanjak. Beji tepat di bawah kaki gunung Slamet. Sudah mulai terasa bertebing dan berbukit. Bila berada di Beji, memandang ke selatan di malam hari kota Purwokerto terang benderang di bawahnya.
Hanya jadi penonton, namanya anak-anak ia penasaran dengan kelanjutan pertandingan hari sebelumnya. Pertokoan Matahari dan Sri Ratu masih ramai, ini baru jam tujuh. Jam Sembilan barulah pertokoan itu tutup.
“Kata si Mbok yang hendak membeli sawahku itu orang Sri Ratu.” Surip bergumam sendiri sambil melihat kemegahan gedung empat lantai Tamara Plaza.
Masuk ke gedung Isola sempat Surip menganggukan kepala hormat kepada Pak Jamaludin dan Mas Heri. Begitu juga ia segera bergabung dengan anggota-anggota Al-Jurus yang ikut menonton dan mensuport teman-temannya yang ikut berlaga.
Laga pertama atlet dari perguruan Al-Jurus menantang juara ke dua tahun lalu dari perguruan Merpati Putih. Surip tak mengenalnya langsung, itu adalah atlet binaan Mas Heri yang mendompleng perguruan Al-Jurus. Benar-benar terlihat sibuk Mas Heri mempersiapkan sekitar empat anak muridnya maju bertanding.
Dari Pak Anwar Surip tahu, perguruan milik Mas Heri pasang surut. Pertama berdiri jumlahnya ratusan siswa bersaing dengan KBPS Al-Husna. Tetapi kemudian terdapat konflik di dalam perguruan tersebut. Kalau tak salah hanya bertahan dua tahun. Setelah itu bubar tak ada aktifitasnya sama sekali. Sampai empat tahun mulai lagi menerima siswa tetapi tidak banyak. Jadi angkatan siswanya terputus-putus.
Ini berbeda dengan perguruan Al-Jurus yang biarpun tidak berkibar luar biasa angkatan siswa-siswanya berurutan. Anggap saja sampai Surip ikut di program training pelatih ia adalah angkatan ke empat. Mas Heri tampak begitu berharap anak didikannya itu tampil bagus. Sayang lawannya yang dihadapi sangat tangguh, ia adalah runner up tahun yang lalu.
Satu ronde berlangsung, tampak kedua petarung imbang. Terasa sekali hasil didikan Mas Heri. Beberapa tekniknya variatif mampu membuat lawannya dari Merpati Putih cukup repot mengantisipasi. Ronde ke dua masing-masing bahkan mampu memasukan tendangan dan pukulan hingga menjadi poin sendiri-sendiri bagi kedua petarung. Terkesan disengaja, jual beli poin.
Yang mengejutkan di ronde ketiga, petarung dari perguruan Merpati Putih membuat trik mengejutkan. Satu bantingan membuat petarung dari Al-Jurus binaan Mas Heri terjatuh bahkan terkunci. Wasit menghitung sampai tiga kali hingga membuat nilai petarung dari Merpati Putih menang angka banyak sekali. Ronde ke tiga menjadi milik petarung atlet Merpati Putih.
Ronde ke empat jelas petarung Al-Jurus ini mencoba merebut angka yang sudah selisih jauh. Sayang lawannya sudah sangat siap meladeni. Emosi petarung dari Merpati Putih ini terlihat stabil tak terpancing permainan atlet Al-Jurus binaan Mas Heri. Beberapa kali ada tindakan keras yang kemudian dihindarinya. Beberapa pukulan keras mengarah ke kepalanya membuat wasit memperingatkan petarung dari Al-Jurus. Biarpun tidak menambah perolehan nilai tetapi untuk petarung dari Al-Jurus binaan Mas Heri juga nihil. Kemenangan tetap berada di tangan atlet perguruan Merpati Putih.
Wajah kekecewaan terpancar dari muka Mas Heri. Atlet andalannya sudah gugur diawal pertandingan. Mau apa lagi sistimnya memang begitu. Tinggal tiga atlet binaannya nanti maju lagi dalam kelas–kelas yang berbeda. Itu yang tidak terlalu diharapkannya, kelas kelas yang lain itu terlalu banyak petarungnya sehingga peluangnya kecil sekali.
Mas Heri boleh kecewa tetapi penampilan atlet dari perguruan lainpun berantakan. Banyak atlet dari KBPS Al-Husna yang maju bertanding melakukan pelanggaran. Sering menyerang bagian kepala membuat wasit memberikan peringatan dan bahkan menghukum dengan pengurangan angka. Beberapa diantaranya sampai didiskualifikasi karena tak mengindahkan peraturan pertandingan.
Ketahuan sekali perguruan-perguruan Pencak Silat tradisional terkendala di bagian ini. Menyerang kepala adalah tindakan bela diri yang paling efektif melumpuhkan lawan. Ajaran atau latihan perguruan Pencak Silat tradisional masih menjadikaan kepala sebagai sasaran melumpuhkan musuh. Cara-cara berlatih seperti itu ternyata terbawa saat pertandingan resmi.
Diam-diam perguruan Pencak Silat tradisional masih berkonsep latihan untuk membunuh lawan. Sebabnya banyak anak didiknya yang terjun menjadi preman di berbagai tempat. Berhadapan langsung dengan masyarakatt membuat latihan menyesuaikan dengan kondisi lapangan, misalnya dituntut berkelahi. Hasilnya baru terasa berbeda dengan perguruan-perguruan Pencak Silat nasional yang lebih mengejar prestasi di kejuaraan, orang-orang perguruan Pencak Silat nasional terasa lebih terpelajar dan mengindahkan aturan pertandingaan demi mendapatkan pemenang di matras arena kejuaraan.
Lagi-lagi petarung yang hari pertama tampil berangasan hingga membuat pingsan lawannya maju lagi. Sepertinya sudah diatur dari pelatihnya agar memakai serangan-serangan ganas. Arena pertandingan mencekam. Begitu ronde pertama mulai sudah langsung terjadi benturan keras. Wasit mencoba memperingatkan agar kedua petarung lebih mengatur ritme benturan.
Tak diindahkan malah tambah keras. Petarung yang satu ini bak banteng mengamuk tak terkendali. Seruduk sana seruduk sini, lawannya terpaksa meladeni sama kerasnya. Baku hantam terjadi dalam jarak dekat lebih mirip tinju gaya bebas. Akhir yang mengejutkan terjadi. Rupanya benturan keras tak mampu dikontrol lagi oleh wasit. Justru atlet yang serangannya sangat ganas itu yang terkapar pingsan membuat penonton bergemuruh menyorakinya.
Tak ada yang tahu penyebabnya, serangan mana yang membuat atlet tersebut jatuh terkapar. Wasit dan juri tak bisa menentukan. Toh kejadian sudah terjadi, tetap ada yang memenangkan pertandingan ini.
Sebenarnya tak ada yang simpatik dengan pertarungan gaya keras dan sadis semacam ini. Akhir pertarungan semua orang sudah tahu, pasti dramatis bahkan kontroversial. Pertarungan lebih mirip perkelahian hidup mati tapi sia-sia. Tujuan menjadi juara dikesampingkan, sebagai hukumannya perguruan yang atlet binaannya melakukaan tindakan seperti itu kena skorsing sampai dua tahun tak bisa mengikuti even kejuaran di tingkat kabupaten.
Rugi jadinya, sudah atletnya terkapar pingsan di arena massih kena skorsing lagi perguruannya. Tetapi demi aturan pertandingan semua harus ditegakkan. Pertandingan bukan ajang perkelahian, kemungkinan yang salah besar adalah perguruan yanmg membina atlet dengan karakter berangasan seperti itu. Sedikit tercemar perguruan Pencak Silat tradisional karena tindakan perguruan tersebut dalam mendidik atletnya. Surip tak mengenal nama perguruan tersebut, perguruannyaa kecil sama kecilnya dengan perguruan Al-Jurus. Setelah kena skorsing tak terdengar lagi kibaran benderanya di sekitar Purwokerto.
Hari kedua sudah mulai terlihat juara umumnya, perguruan-perguruan Pencak Silat nasional seperti Merpati Putih dan SH Teratai mendominasi di segala kelas yang dipertandingkan. Kedisiplinan menegakan aturan juga menjadi poin perguruan-perguruan tingkat nasional.
Satu pertandingan paling indahnya diperlihatkan atlet perguruan Maruyung. Hari kedua berlaga kemampuan terbaiknya terlihat. Lawannya dari perguruan Pajajaran juga seorang yang punya jam terbang tinggi, tetapi teknik-tekniknya minim.
Atlet dari perguruan Maruyung ini jarang melakukan pukulan. Poin selalu didapatkannya dari teknik kuncian. Jika kuncian gagal sebuah tendangan dilayangkannya untuk mengurangi sergapan lawan. Dalam pertandingaan nilai bantingan dan kuncian memang paling tinggi. Pukulan hanya mendapatkan nilai satu. Tendangan nilai dua dan bantingan atau kuncian nilainya tiga.
Pertandingan dengan gaya seperti itu membuat lawannya dari perguruan Pajajaran sulit mengimbangi. Ritmenya bisa diikuti tetapi teknik menghadapinya kedodoran. Rasanya untuk menghadapi petarung dari perguruan Maruyung ini diperlukan lawan yang memiliki teknik variatif. Di ajang pertandingan saat ini hanya atlet dari perguruan Maruyung inilah yang paling lengkap teknik-teknik yang diperagakan.
“Dia itu ibarat Maradonanya Pencak Silat.” Sebuah komentar dari Pak Jamaludin keluar salut pada anak didik guru besar perguruan Maruyung.
Seberapa Surip bisa mengikuti jalannya pertandingan?
Surip tak terlalu paham kelas dan nomor-nomor yang dipertandingkan. Mungkin atlet dari perguruan Maruyung itu masuk kelas dewasa dengan sub kelas C atau berat bedan kelas menengah dalam Tinju. Karenanya kelas ini menjadi primadona dalam pertandingan. Jarang atlet Pencak Silat Indonesia berberat badan sampai tujuh puluh lima kilogram. Paling banyak atlet–atlet Pencak Silat itu kelas dewasa sub kelas A dan B atau dalam Tinju kelas welter dan bantam. Kalau untuk kelas remaja ya masuk kelas layang hingga bantam. Kalau kelas anak-anak di bawah kelas-kelas dalam tinju resmi.
Kalau seperti Surip berdasarkan usia ia masih masuk kelas remaja. Berat badannya yang termasuk kurus paling-paling empat puluh lima kilogram, bila dalam tinju itu masuk kelas layang atau kelas paling tidak bergengsi karena jarang diperhitungkan. Konon kalau petarung tinju kelas layang berada di ring terlihat sekali gaya pukulannya. Ringan kurang bobot dan tidak seru, dalam kelas layang petarung-petarungnya akan terlihat banyak sekali melakukan pukulan, strateginya tidak terlihat. Yang pasti karena bobotnya kecil, daya pukulannya juga kecil. Jarang ada petarung kelas layang yang mencapai KO seperti yang diinginkan penikmat tinju.
Elias Pical saat itu juara tinju versi IBF dari Indonesia. Kelasnya bantam berat badannya lima puluh sampai lima puluh lima kilogram. Dalam tinju kelas-kelas ini banyak sekali pesertanya, karenanya persaingannya sangat ketat. Tapi juara tinju dunia juga nyebelin, versinya sangat banyak, ada WBA, WBC dan IBF. Beberapa tahun kemudian bertambah lagi versinya menurut badan tinju yang dibentuk.
Kembali ke arena pertandingan.
Ada juga pertarungan dagelan. Mungkin ada kelas yang kosong tak ada pesertanya. Akhirnya diisi atlet-atlet yang tidak melakukan persiapan apapun. Pertandingan lucu terjadi, rupanya salah seorang pesertanya kena flu. Jadinya saat di matras beberapa kali sering minta berhenti sebentar untuk buang ingus yang meler dari hidungnya.
Penonton hanya tertawa saja menyaksikan atlet yang lebih mirip badut-badut beraksi itu. Karena tak bermutu, juaranya tak ada alias dikosongkan. Mungkin yang penting ada peragaannya saja. Beberapa atlet diketahui berasal dari kesatuan kepolisian. Kebanyakan itu atlet dari perguruan nasional cabang daerah. Lumayan orang-orang ini sepertinya mendapat fasilitas dari kesatuannya untuk terjun ke olah raga beladiri Pencak Silat.
Hari kedua pertandingan sangat terasa variasinya. Pesertanya banyak untuk mendapatkan kesempatan berlaga. Juga kelasnya merupakan persaingan paling ketatnya. Pemenangnya sudah terlihat juga, yang berguguran sudah langsung angkat koper tak perlu mengikuti sampai selesai.
Besok hari ketiga itu finalnya, menyisakan peserta-peserta yang sudah tersusun di papan sistim pertandingan. Bagi atlet yang gugur sudah habis sampai disitu saja perjuangannya. Hari ketiga hanya memperebutkan juara tiga, dua, dan satu serta juara umum yang mudah diduga dari banyaknya pemenang sebuah perguruan Pencak Silat nasional cabang daerah.
***
Seorang guru matematika menyambar buku tulis milik Surip. Surip terkejut tak berdaya memandang guru matematika dengan perasaan bersalah.
“Ini bukumu!” Sinis guru perempuan tersebut berkata memperlihatkan rasa tidak sukanya kepada Surip. Semua murid di kelas tiga memandangi adegan antara Surip dengan guru matematika dengan bertanya-tanya.
Bu guru matematika yang berbadan mungil itu membuka lembaran buku tulis milik Surip. Keningnya berkerut memperlihatkan bahwa ia merasa dilecehkan.
“Berapa kamu punya buku tulis Rip?” Bu guru itu bertanya dengan nada menegur. Dipermainkannya buku tulis Surip dengan melempar-lempar ke atas beberapa kali. Setelah itu dikembalikan lagi kepada Surip tanpa berkata apa-apa lagi.
Guru matematika itu tidak lagi mempedulikan pertanyaannya tadi dan mengacuhkaan Surip yang terpojok (He He He Surip punya ilmu beladiri tidak jalan saat itu). Dengan berwibawa guru matematika itu menyuryuh seorang siswa yang lain maju ke depan papan tulis.
“Rena maju ke depan kerjakan soal aljabar nomor lima!” Perintahnya kepada siswi jagoannya. Segera saja anak perempuan yang disuruhnya maju mengerjakan soal matematika di papan tulis dengan baik. Hasilnya sangat memuaskan sang guru pembimbingnya.
Sebaliknyaa Surip tertunduk lesu di bangku duduknya. Konsentrasinya buyar, materi pelajaran matematika sudah dari dulu menghantui dirinya. Bila ulangan nilainya selalu jeblok, dan jika ada pekerjaan rumah ia lebih sering menyalin PR teman kelasnya. Ya kalau paham sih nggak apa-apa, Surip itu tak tahu apa yang disalinnya dari PR milik temannya, kebangetan banget ya…
Soal buku tulis miliknya, Surip pasrah saja. Satu buku tulis itu berisi beberapa mata pelajaran sekaligus. Catatannya berantakan, tak mungkin dipelajari. Sekarang ia kelas tiga, tahapan dari satu kelas ke kelas lain sukses dilewatinya dengan rasa was-was. Seluruh nilai–nilai yang tertera di raportnya itu hanya dongkrakan saja, sebenarnya Surip melewati masa sekolahnya di SMA ini dengan sejuta mimpi buruk.
Anak nakal? Nggak, kata itu jauh dari Surip. Tak pernah ada anak murid lain yang dirugikannya. Bodoh ya mungkin, tapi kok bisa diterima di SMA favorit yaa?
He He He itu gara-gara saat di SMP ia bersekolah cukup baik. Nilai NEM nya ternyata cukup untuk nyantol menjadi siswa SMA negeri 1 Purwokerto ini. Tim seleksinya kan nggak tahu latar belakang Surip yang amburadul. Nah sekarang guru-guru SMA ini mungkin malah berpikir, “Bisa-bisanya kamu itu lolos seleksi penerimaan siswa baru.” Ya gimana lagi selisih nilai nol koma dalam NEM itu yang bikin Surip lolos saringan halus panitia seleksi calon murid baru SMA.
Dan berada diantara anak-anak yang berprestasi ttinggi, Surip kedodoran mengikuti setiap mata pelajaran. Jiwanya tertekan tak kuat menahan malu. Untung guru matematika itu tak menegur lebih lanjut keadaan Surip. Tak ada hukum tak ada sanksi, Surip tetap bersekolah dengan lancar.
Dunia lain menantinya, ini hari ke tiga kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten.
“Sebenarnya untuk apa lagi aku nonton pertandingan ini. Peserta dari Al-Jurus sudah gugur semua. Sebenarnya aku itu seperti yang lain saja angkat koper dari kejuaraan.” Surip membatin sendiri saat mengayuh sepedanya ke kota Purwokerto.
Ternyata penonton yang hadir sudah terseleksi, tinggal penonton dari perguruan-perguruan yang lolos semifinal saja yang bertahan memberi support. Surip sendirian diantara anggota-anggota perguruan lain yang masih bertahan. Masih ada Mas Heri, kedudukannya tak labih dari wasit dan juri yang ditunjuk resmi. Kalau Pak Jamaludin tampaknya sudah menyerah, membiarkan saja anak muridnya kembali ke sekretariat untuk program pelatihan lain. Tahu diri juga orang tua yang satu ini.
“Namanya saja uji coba, tak usah membuat target tingi-tinggi.” Pak Jamaludin berkata saat mengunpulkan anak muridnya di gedung Isola hari kedua.
Surip menonton pertandingan tanpa rasa tegang. Soalnya ia sekarang pihak netral. Jika ada peserta dari Al-Jurus bertanding dadanya berdebar-debar mengikuti kalah menangnya anggota tersebut. Tentu saja itu adalah pertaruhan nasib bagi perguruannya, walaupun ia tidak menjadi peserta pertandingan.
Beberapa kali nama-nama pemenang di setiap kelas sudah diumumkan. Pertandingan seru karena sebagai peserta yang mencapai semifinal dengan perebutan juara satu, dua dan tiga bisa dianggap berkualitas. Sayang dalam persaingan antar perguruan semuanyaa sudah mengerucut pada perguruan-perguruan nasional cabang daerah.
Hanya satu dua peserta berasal dari perguruan Pencak Silat tradisional. Diantaranya ada dua dari KBPS Al-Husna dan satu wakil dari perguruan Maruyung. He He he Surip cenderung membela perguruan-perguruan tersebut. Solanya perguruan lain itu sudah langganan juara. Sebagian besar perguruan Pencak Silat nasional cabang daerah mendominasi kejuaraan dan pengurus IPSI. Sulit untuk perguruan lokal bisa meroket sampai ke pengurusan tingkat nasional. Apa lagi kebanyakan perguruan Pencak Silat nasional cabang daerah biasanya nyantol di lembaga-lembaga pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi serta instansi militer atau kepolisian.
Sedangkan perguruan lokal bisa membuat kader berurutan saja sudah bagus. Tak jarang sebuah perguruan Pencak Silat adalah sempalan dari sebuah perguruan lokal lain. Contohnya seperti Al-Jurus dan perguruan milik Mas Heri. Dulunya guru-guru besar tersebut adalah siswa dari KBPS Al-Husna.
Di KBPS Al-Husna mentok kariernya, dan bahkan mungkin berselisih paham dengan pengurus lainnya, akhirnya mendirikan sendiri dengan merebut sebagian aset perguruan Pencak Silat induknya. Akhirnya terjadi persaingan diam-diam antar orang yang sudah saling mengenal tersebut.
Tak bisa disalahkan juga, wong di dalam KBPS Al-Husna pun terjadi intrik aneh-aneh juga. Di dalamnya ada dua kubu saling mengklaim sebagai pengurus sah. Ada dua kubu Pak Sudar dengan anak buahnya seperti Mas Sehak, ada juga kubu anak-anak guru besarnya sendiri yang terlihat lebih diterima diberbagai kalangan. Ini informasi dari Mas Sehak gara-gara Surip menjadi langganan menyewa buku komik.
Kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten masih berlangsung. Atlet dari perguruan Maruyung tampil untuk perebutan juara satu dan dua di final. Lawannya dari perguruan Betako Merpatti Putih. Terlihat bersemangat sekali atlet dari perguruan Maruyung tersebut untuk meraih kembali mahkota miliknya seperti tahun lalu. Ia tak meremehkan lawan dengan menjunjung sportifitas pertandingan. Makanya pergerakannya terlihat gentle, teknik yang diperagakan menjadi resmi sekali.
Lawannya yang dari Betako Merpati Putih tak mau melayani permainan atlet dari perguruan Maruyung. Ia justru melakukan trik gerak tipuan. Tidak ada benturan adu teknik terlihat. Yang ada atlet Merpati Putih banyak mencuri kesempatan. Beberapa kali pukulannya masuk saat sang atlet dari perguruan Maruyung mencoba merangsek unrtuk mendapatkan nilai tinggi seperti kuncian, sapuan dan bantingan.
Atlet dari Merpati Putih justru menghindar cepat, menjaga jarak tetap dekat memasukan pukulan, dan bila gagal menubruk tubuh lawannya hingga wasit memisahkan kedua petarung. Satu sonde, dua ronde hingga yang ke tiga barulah penonton tahu itu adalah siasat dari pelatih perguruan Merpati Putih untuk menjinakan atlet perguruan Maruyung. Dengan mempecundangi seperti itu kemenangan berada di perguruan Merpati Putih walaupun pertandingannya tidak seru bahkan mengecewakan penampilannya. Dari perolehan nilai pun tidak banyak, atlet dari Betako Merpati Putih ini hanya menang angka tipis sekali.
Gagal sudah atlet dari perguruan Maruyung ini mempertahankan mahkota juaranya. Juara satu direbut oleh atlet dari perguruan Merpati Putih yang kali ini suporternya membludag karena sudah ketahuan menjadi juara umum.
Setelah itu pertandingan sudah tidak menarik. Atlet-atlet yang maju dari KBPS Al-Husna berguguran, paling-paling hanya mengantungi juara dua atau tiga saja. Berakhirlah peserta-peserta yang diunggulkan dari perguruan Pencak Silat tradisional. Surip tak lagi mengikutinya sampai upacara penutupan.
BAB 6
Latihan Pencak Silat di Desa
Di lapangan bulu tangkis yang mangkrak Surip mulai melatih beberapa anak-anak dan bekas teman lama di perguruan Al-Jurus, masih didampingi Pak Anwar.
“Sebenarnya kita agak terlambat melatih siswa-siswa di sini. KBPS Al-Husna dan Prana Sakti sudah lebih dulu mengadakannya.” Pak Anwar bicara secara pribadi dengan Surip.
Surip tahu maksudnya tetapi pikirannya lebih tertuju pada dirinya sendiri. Ini pertama kalinya ia menjadi pelatih, perasaannya tidak menentu. Sementara Pak Anwar dengan berpakaian hitam telah memerintahkaan sekitar sepuluh siswa yang bisa dikumpulkannya lagi. Beberapa diantaranya adalah orang yang lebih dewasa dari pada Surip.
Pak Anwar memberikan pengarahan berbagai masalah tentang keadaan perguruan.
“Kita adakan lagi latihan yang sudah terhenti cukup lama di desa ini. Mulai hari ini teman yang sudah pasti kalian kenal akan menjadi pelatih di sini.” Pak Anwar menepuk bahu Surip. Tentu tak perlu perkenalan bertele-tele karena Surip adalah orang sendiri.
Orang-orang yang hadir hanya tersenyum saja karena mendapati rekannya yang dikenal sejak kecil itu sekarang ternyata sudah mencapai tingkat pelatih. Beberapa diantaranya mengangkat tangan memberi salam dari jauh terhadap Surip.
“Ayo maju Rip, sementara kita lakukan doa bersama dahulu. Mari membaca surat Al-fatihah tiga kali!” Pak Anwar langsung memberi kesempatan kepada Surip untuk menunjukan kebolehannya menghadapi siswa perguruan.
Biarpun perasaan grogi menyergap dadanya Surip mencoba juga mengendalikan siswa-siswa perguruan.
“Saya minta perhatian karena keadaan saya yang baru melatih kalian. Tentunya banyak sekali kekurangannya nanti, saya harap bisa dimaklumi nantinya. Kita sama-sama belajar, saya belajar melatih dan kalian berlatih untuk mendapatkan manfaatnya.” Surip biarpun terbata-bata saat berbicara di depan forum tampaknya kata-katanya bisa dicerna orang-orang yang hadir. Pak Anwar yang berada di pinggir lapangan mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kita langsung saja dengan latihan mulai dari awal lagi. Tentu ini menjadi pengulangan bagi kalian yang pernah berlatih sebelumnya.” Kaku sekali Surip menjalaninya, tak banyak uraian melalui kata-kata. Untungnya Pak Anwar bisa memakluminya, saat Surip terlihat sulit mengucapkan sesuatu, Pak Anwar segera mengisinya. Betapapun sulitnya latihan berjalan lancar.
“Sebelum masuk jurus semua harus melalui dasar jurus. Kita tak mungkin langsung melangkah tanpa dasar-dasar jurus.” Itu salah satu materi latihan yang Surip bisa lakukan.
Saat melakukan teknik gerak beladiri misalnya dasar jurus. Surip mencoba menerangkannya secara lisan. Tidak banyak yang bisa diterangkan, latihan beladiri sangat menguras tenaga. Satu dua jam terasa cepat sekali. Lapangan bulutangkis itu gelap, tak ada lampu dinyalakan karena sudah terbengkalai.
Biarpun belum memuaskan tapi bagi Pak Anwar sudah cukup. Surip bisa meneruskan menjadi pelatih di desa tersebut. Jam sepuluh latihan dibubarkan, Surip masih sempat berbincang-bincang dengan Pak Anwar,
“Bagaimana dengan latihan di sini pak, Apakah Pak Jamaludin tahu?” Sengaja Surip bertanya.
“Rip biarpun Pak Jamaludin tahu program di sini tetapi beliau tak akan memperhatikannya. Banyak sekali masalah yang dihadapinya di rumah jalan Jatiwinangun sana.” Pak Anwar menerangkan beberapa hal yang diketahuinya. “Salah satunya usaha keripik tempe miliknya tampaknya bermasalah. Biarpun laku tetapi belum memberikan keuntungan besar sedangkan modalnya dari hutang bank.” Mulai Pak Anwar menyinggung masalah-masalah yang Surip belum menjangkau.
“Ah Pak Anwar saya tak berani kalau sampai ke masalah usaha seperti itu, aku sekolah saja belum lulus.” He He He Surip menghentikan pembicaraan serius dari Pak Anwar.
Pak Anwar tertawa, “Ya ya sing penting kowe saiki dadi pelatih silat dari perguruan Al-Jurus. Cobalah sebisa-bisanya, caramu memberikan keterangan materi beladiri masih kaku.” Pak Anwar sadar keadaan Surip yang masih anak-anak. “Besok hari minggu akan ada orang yang memberikan arahan dari sebuah yayasan, mungkin berguna bagi kita.” Katanya lagi.
Pak Anwar pulang ke Purwokerto malam itu dengan meengendarai sepeda. Beliau memiliki sepeda motor yang rupanya saat itu terpakai oleh istrinya. Pak Anwar sepertinya memiliki semangat memajukan perguruan walaupun mungkin itu adalah versinya sendiri. Tidak ada pertentangan di perguruan Al-Jurus, tetapi sudah banyak senior-seniornya yang tahu betapa sulitnya berhubungan dengan guru besarnya sendiri.
Salah satu permasalahan sudah terlihat saat ada kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten. Beberapa senior di perguruan Al-Jurus tidak disertakan saat seleksi peserta pertandingan. Hanya kepentingan Pak Jamaludin yang lebih diutamakan. Masalah lain membayang tetapi lebih tertuju pada bisnis pribadi guru besar itu sendiri.
Beberapa hari sebelum jadwal rutin program training di hari minggu Surip menyempatkan diri ke pasar Sarimulyo. Toko buku Sakura Store yang lebih pantas disebut taman bacaan menyambutnya. Mas Sehak mempersilakan Surip mengambil komik kesukaannya,
“Kukira saat kejuaraan kamu itu salah satu peserta dari Al-Jurus, ternyata dari hari pertama sampai berakhir cuma jadi penonton.” Itu komentar pertama Mas Sehak terhadap Surip menyinggung kejuaraan di Isola.
“Aku tidak ikut seleksi di perguruan mas. Hanya orang-orang tertentu saja yang dipilih.” Surip coba menjelaskan.
“Ha Ha Ha masalah seperti itu pasti ada di setiap perguruan. Kayak kami saja di KBPS Al-Husna sampai bertengkar supaya ada siswa dari kelompok kami bisa maju kejuaraan.” Mas Sehak lebih terbuka urusan perguruannya.
Surip itu orang lain perguruan biarpun tahu sedikit masalah di KBPS Al-Husna, kedudukannya tetap musuh. Surip sendiri hanya tahu pertentangan antar kubu di KBPS Al-Husna dari pembicaran sepintas antara Mas Heri dengan Mas Sehak saat ia berada di kios sepulang sekolah dulu.
“Si Heri Best itu juga rupanya banyak mempengaruhi Pak Jamaludin sehingga kesempatan siswa-siswa Al-Jurus berkurang. Heri Best orangnya keras, orang-orang di sekitarnya harus berada di bawah kontrolnya tanpa kompromi.” Makin banyak yang dibicarakan Mas Sehak kepada Surip.
Surip hanya menjadi pendengar saja. Beberapa masalah tak mungkin dicernanya. Misalnya pertentangan di dalam perguruan Al-Husna, rasanya biarpun ramai tapi ia tak terlibat apapun. Tak merasa tegang walaupun itu merupakan hidup mati orang yang berada di depannya.
Bukankah Mas Sehak ini salah satu kubu yang bertikai di dalam perguruan KBPS Al-Husna?
Nasib Mas Sehak menjadi taruhannya.
Justru ada perkataan Mas Sehak yang mengejutkan Surip,
“Beberapa bulan mendatang kios ini akan dipindahkan sementara di depan pasar tradisional itu. Bangunan ini semuanya akan digusur. Akan dibangun ruko besar seperti di jalan Gatot Subroto itu.” Mas Sehak menunjukan deretan ruko-ruko besar bertingkat dua dan mewah, tak mungkin warga Purwokerto mampu menyewanya.
“Loh bukankah rencananya di sini akan dibangun THR mas, kenapa jadinya ruko-ruko besar?” Surip bertanya.
“THR apa! Ini proyek yang punya orang Cina. Mana mereka peduli dengan warga Purwokerto.” Mas Sehak mengumpat.
Surip sendiri segera ingat, ya apalagi kalau bukan tempat usaha Pak Jamaludin. Tempatnya masih sederetan dengan kios Sakura Store ini. Jika digusur bagaimana usahanya nanti?
Pertanyaan itu tak akan terjawab untuk Surip yang masih anak-anak.
Langgar Mangga Sholat,
Latihan yang baru berjalan satu jam dihentikan. Orang-orang disuruh berkumpul dan duduk karena ada tamu penting. Beberapa tamu sudah bertemu dengan pemilik langgar dan menanti latihan berjalan. Pak Anwar yang tampaknya antusias dengan orang-orang yang diketahui menjabat salah satu dinas tingkat kabupaten.
Orangnya berseragam pegawai negeri sipil tak resmi, soalnya ini hari minggu. Lebih mirip tamu yang sedang mengadakan kunjungan kerja. Seorang gemuk yang selalu menyeka keringat karena gerah badannya. Ruang langgar Mangga Sholat yang sempit dengan puluhan orang di dalamnya tentu membuat panas bertambah. Setelah berbasa basi mulailah beliau berbicara,
“Saya tadi dari berkunjung ke kantor kecamatan Purwokerto Utara. Biarpun Jatiwinangun masuk desa Purwokerto Lor tetapi kecamatannya masuk Purwokerto Timur. Jadi ini wilayah di luar kunjungan kerja saya.” Formal sekali kalimat yang dikeluarkannya. “Saya tertarik dengan program latihan beladiri Pencak Silat di sini. Saya ingin perguruan ini masuk yayasan yang didirikan oleh saya.” Mulai beliau memberikan keterangan kedatangannya.
“Beladiri akan masuk cabang yayasan saya yang bergerak di bidang sosial. Tentunya saudara-saudara yang berlatih di sini ingin mengembangkan diri tidak hanya menjadi pelatih tetapi meningkat manjadi guru.” Katanya dengan bersemangat sekali.
Mendengar kata-kata pejabat itu berbisik-bisik orang-orang yang hadir di program training pelatih. Seorang bertanya mewakili,
“Menjadi seorang guru maksud bapak guru sekolah?” Tanyanya dengan sedikit ada kebingungan di wajahnya.
“Bukan hanya guru sekolah bahkan Dosen pengajar. Saya akan mengajukan program ini untuk mendirikan sebuah universitas.” Sangat mengejutkan usul yang dikeluarkan pejabat ini.
Riuh orang-orang yang hadir di program training pelatih. Orang-orang berbicara sendiri-sendiri karena banyak sekali tafsirannya.
“Saya maklum dengan kebingungan saudara-saudara ini, saya akan mencoba memasukkan program training pelatih ini sebagai bagian kurikulum pendidikan pada sekolah yang akan kami dirikan.” Penjelasannya mulai terarah.
Lagi seorang bertanya, “Kira-kira kapan program kami ini bisa masuk sebagai bagian dari sekolah milik Bapak?”
Surip yang hadir tidak berani bertanya apapun, pikirannya melambung karena mendapat apresiasi menarik dari seorang pejabat pemerintah yang jarang diketahuinya.
Agak berpikir orang gemuk itu menjawab,
“Ini baru rencana, yang penting saudara-saaudara sekalian mulai hari ini mendukung saya dengan memberikan suara nanti di pemilihan daerah.” Katanya dengan gaya seorang kandidat partai politik.
Orang-orang yang hadir dalam langgar merasa ada yang tidak beres dari pejabat instansi pemerintah tingkat kabupaten ini. He He He urusannya lari ke politik praktis. Rupanya ini kampanye terselubung dari organisasi tertentu. Orang-orang yang hadir seperti merasa kecolongan. Yang pasti kalau dari partai kecil semacam PDI atau PPP tak mungkin. Partai-partai itu hanya mengandalkan loyalitas pendukungnya di kantung-kantung tertentu saja.
Siapa yang berani membicarakan politik secara terbuka jika bukan golongan penguasa saat itu. Semua orang tertekan merasakan pengawasan dengan dalih kestabilan nasional. Sedikit menentang esok akan datang utusan dari polisi atau militer mengancam.
Tamu penting itu terus membicarakan program-program pemerintah seperti penerimaan asaz Pancasila sebagai asaz tunggal di negara Republik Indonesia, menjauh dari tujuannya yang hendak ikut andil memajukan program training pelatih atau perguruan Pencak Silat. Beliau kemudian lebih memperkenalkan dirinya yang sukses di sebuah instansi pemerintah membawahi beberapa organisasi masyarakat yang mau dibiayai dengan imbalan patuh pada pemerintah Orde Baru. Terutama memenangkan partai politik di pemilu yang akan datang.
Semua orang di program training pelatih kini tahu jenis tamu yang datang saat ini. Saat itu pergerakan apapun bila dilakukan secara massal akan diawasi. Dan bila dianggap berbahaya akan dilarang. Disinyalir pemilik langgar adalah pengurus ranting ormas agama Islam. Lari-larinya jika saat pemilihan banyak yang memilih partai berbasis agama. Ternyata biar kecil langgar itu sangat diawasi pergerakannya.
Barulah setelah tamu penting itu pergi, Pak Anwar yang rupanya penasaran mencoba bertanya kepada pemilik langgar. Setelah itu memberikan keterangan kepada orang-orang program training pelatih.
“Itu pejabat di sebuah instansi pemerintah, kalau tak salah dari departemen penerangan. Tak mungkin menolaknya, kita bisa dianggap menentang pemerintah nanti.” Katanya dengan was-was sambil geleng-geleng kepala. Katanya lagi, “Jangankan menjadi sebuah sekolah, perguruan ini bisa mendirikan pondok pesantren dengan ilmu-ilmu agama saja sudah sangat hebat. Perguruan Pencak Silat itu bak hidup dengan orang-orangnya dianggap sampah masyarakat. Menjadi sampah yang terpilih saja sudah bagus.” Dengan getun Pak Anwar bicara sendiri, kenyataan membuktikan perguruan Pencak Silat di masyarakat lebih sering dianggap masuk kelas rendah atau tak bergengsi tinggi. Siswa-siswa yang lain diam merasakan kebenaran ucapan pelatihnya ini.
***
Rumah Surip tidak berada di dalam pedukuhan Beji. Di depan jalan masih terbentang bulak sawah. Jauh ke utara gunung Slamet menjulang tinggi biru gagah sekali. Bentuknya yang melebar seperti merengkuh awan-awan yang lewat kemudian mengumpulkannya menjadi hujan yang lebat.
Tak heran Baturraden, Kedungbanteng, Pekuncen hingga Brebes selatan menjadi daerah dengan curah hujan tertinggi di Indonesia. Berbanding terbalik dengan lereng gunung Slamet bagian utara, terlihat gersang karena awan sudah berjatuhan lebih dulu di bagian selatan.
Untuk menuju lapangan bulu tangkis Surip harus berjalan menuju ke tengah pedukuhan. Beberapa tempat ramai di pedukuhan adalah masjid, pondok pesantren dan rumah maantan kepala desa jaman dahulu. Jalan utama antar kecamatan ternyata tidak menambah keramaian desa. Letaknya di pinggir pedukuhan yang disebut Brobahan. Nah rumah Surip termasuk di pinggir pedukuhan, tetapi untuk akses transportasi malah jadi beruntung. Jalan kecamatan selalu dilewati angkutan menuju pasar hingga ke kota Purwokerto.
Konon asal usul orang Beji adalah dari gunung Bromo. Dulunya menganut agama Hindu Brahma. Persatuannya sangat kuat dengan ikatan perkawinan sesama orang desa. Jarang warga Beji merantau ke luar kota.
Uh Surip tak peduli atau memikirkan asal usulnya. Sekarang ia harus menyempatkan waktu dua hari seminggu melatih Pencak silat di lingkungan rukun tetangga. Kendala menghadang,
“Hujan nih, berangkat nggak, berangkat nggak?” Aduh Surip bimbang dengan dirinya sendiri.
Pertentangan batin antara kewajiban dengan keengganan pada dirinya sendiri bertempur. Tapi akhirnya dilangkahkan kakinya juga, dengan payung ia menuju lapangan bulu tangkis beberapa blok dari gang tempat tinggalnya. Sayang semangatnya sudah menurun. Sampai di lapangan bulutangkis orang-orang sudah menanti bahkan memenuhi lapangan yang sempit. Perasaan enggan membuat Surip kesulitan memberi instruksi gerakan-gerakan beladiri. Perlu waktu sekitar limabelas menit Surip mengempos semangatnya agar bangkit mengendalikan orang-orang di bawah program latihannya.
“Saya tanya berapa orang yang baru ikut berlatih hari ini?” Surip bertanya. Sebagian besar anak-anak muda itu menunjuk jarinya ke atas.
“Coba yang sudah pernah berlatih sebelumnya dipisah dulu.” Katanya memberi instruksi karena mulai terkendala di lapangan.
Beberapa oraang memisahkaan diri membuat barisan paling-paling hanya enam orang.
“Nah kalian yang berenam ini dulu berlatih sudah sampai jurus ke berapa?” Mulai surip mencoba menelah kendala di lapangan.
Seorang menjawab, “Aku jurus enam.” Surip tahu itu termasuk temannya dulu berlatih awal-awal di desa.
“Cuma kamu saja yang sampai jurus enam, yang lain?” Bertanya lagi Surip, jawabnya macam-macam, kebanyakan sampai jurus tiga.
“Dari jurus-jurus yang pernah kalian latih itu sampai sekarang masih hafal nggak?” Ini tujuan Surip. Jawabnya semua menggelengkan kepala.
“Wah jika demikian terpaksa aku melatih kalian biar dari dasar jurus secara massal. Baru jika ada Pak Anwar mendampingi, saya silahkan yang pernah berlatih sampai jurus masing-masing memisahkan diri langsung berlatih dengan beliau.” Itulah keputusan Surip.
Maka hari itu semua orang berlatih dasar jurus untuk penyeragaman. Surip coba memasukan masalah-masalah yang dihadapinya dalam sebuah catatan. Saat-saat melatih macam-macam tingkah orang yang kebanyakan anak-anak SD ini. Surip sampai capek memberi petunjuk, memberi contoh gerakan dan memperagakannya. Tenaganya terkuras karena anak-anak ini baru mulai berlatih.
“Ini nih kepalan tangan seperti ini, ayo coba tirukan aku!” Surip sering memberi aba-aba di depan orang-orang yang kebanyakan belum tahu teknik mengepalkan tangan untuk memukul, menangkis sebagai dasar-dasar utama. Ibaratnya jika teknik megepal saja salah, bukannya pukulannya tambah keras tapi jari-jari sakit karena keseleo.
Belum lagi teknik menendang,
“Ikuti gerakanku, buka sedikit siku-siku kaki depan. Angkat kaki belakang ke depan kemudian sepak! Ingat tungkak kaki yang digunakan, badan jangan sampai membungkuk.” Peritahnya dihadapan orang-orang yang berbaris.
Petunjuk sudah jelas diterangkan tetapi namanya pemula sebagian besar orang-orang berlatih menendang dengan membungkukan badan. Akibatnya banyak yang tersungkur ke depan hampir terjerambab jatuh.
“Eit eit ulangi..ulangi lagi, banyak yang salah tekniknya!” Surip terus memberi petunjuk, terkadang ia mengontrol satu persatu untuk membetulkan berbagai kesalahan pada setiap orang.
Paling banyak kesalahan terjadi pada posisi kuda-kuda. Kuda-kuda Pencak Silat tidak sama dengan kuda-kuda karate. Kuda-kuda Pencak Silat merupakan langkah awal melakukan strategi, kemudian maju mudurnya menjadi tapak di sekitar ring dan mampu melangkah bebas ke samping kanan kiri.
Lihat perbedaannya dengan kuda-kuda karate. Kuda-kuda karate hanya maju mundur atau berganti kanan kiri selalu berhadapan dengan lawan. Hanya ada benturan antar petarung untuk mendapatkan nilai atau menjatuhkan lawan dengan sasaran-sasaran mematikan.
Sasaran serangan Pencak Silat adalah area badan untuk pukulan dan tendangan. Sasaran juga bebas, misalnya menggempur kuda-kuda, mengunci tangan dan kaki atau membanting dan menjattuhkan badan lawan. Masing-masing teknik yang berhasil diterapkan menjadi poin.
Surip melatih Pencak Silat atas nama perguruan Pencak Silat Al-Jurus. Lingkungannya sangat kecil bila dibandingkan dengan perguruan-perguruan lain. Surip menjalaninya seadanya saja belum tahu apa-apa keadaan sekitarnya. Ada yang istimewa di Beji gunung ini. Ada seorang tokoh masyarakat Beji juga melatih siswa cabang dari perguruan Prana Sakti. Mereka meenempati lapangan volley bekas rumah mantan kepala desa. Tentu cerita jaman dulu kepala desa adalah jabatan seumur hidup. Pengaruh keturunan mantan kepala desa itu sangat kuat, itulah trah paling disegani di Beji.
Selain berlatih di rumah bekas mantan kepala desa, perguruan Prana Sakti berlatih di lapangan sepak bola dekat balai desa. Sebagian besar siswanya warga Beji dan beberapa warga desa di Kedungbanteng.
Sering Surip menyaksikan acara latihan perguruan Prana Sakti ini. Prana Sakti, perguruan ini tidak pernah terdengar masuk anggota IPSI. Pergerakannya lebih pada unsur tenaga dalam dan penyembuhan. Siapapun menonton acara latihannya tentu akan sangat tertarik.
Dasar-dasar perguruan Prana Sakti bernaung dalam agama Islam. Kegiatannya dianggap sebagai dakwah, sayang pengajiannya dalam ilmu agama Islam sangat kurang. Dengan perguruan Al-Jurus pun acara pengajiannya kalah jauh. Kecil-kecil perguruan Al-Jurus memiliki ulama yang berani mengayomi seperti pemilik langgar Mangga Sholat dan sanak famili Bapak Jamaludin.
Identitas Islamnya justru terlihat sekali dalam latihan. Seseorang yang berlatih jurus Prana Sakti jika tidak menguasainya bakalan terlempar beberapa meter jauhnya. Mungkin sebelumnya siswa yang berlatih anggap saja sudah diisi lebih dulu sebagai semacaam baiat atau sumpah perguruan.
Praktek jurus tak terlihat pukulan ataupun tendangan. Terlihat lebih mirip penghimpunan tenaga seperti Merpati Putih. Mungkin setiap menghimpun tenaga dalam harus dengan bacaan-bacaan seperti doa tasbih, tahmid, istighfar atau dzikir singkat-singkat. Dalam menghimpun tenaga dalam tangan bergerak, kaki maju sambil merapal wirid. Rangkaian gerak menghimpun tenaga dalam ini tidak banyak variasinya paling-paling hanya tiga empat gerakan saja.
Ajaibnya belum seluruh gerak dilakukan, siswa-siswanya tak mampu mengontrol. Maka beterbanganlah siswa-siswa yang berlatih berputar-putar ke belakang sampai beberapa meter. Bahkan jika tak terkontrol bisa lima belas meter. Setiap kali tak mampu mengontrol dirinya sendiri berhamburanlah dari mulutnya kalimat-kalimat istighfar, tasbih dll.
Pelatihnya yang berada paling depan biasanya terlihat mampu menyelesaikan gerakan yang hanya beberapa langkah dan beberapa pergerakan tangan itu saja. Biarpun tidak sampai terbang tetapi seperti ada tenaga balik yang mendorongnya mundur selangkah dua langkah.
Latihannya massal terkadang mencapai ratusan siswa di malam hari. Surip sering melihatnya tak sengaja jika lewat lapangan sepak bola. Beberapa kali disempatkannya menonton walaupun akhirnya cepat-cepat juga meninggalkannya. Ada rasa sungkan bila dianggap ikut campur urusan orang lain.
Sebagian besar siswanya Surip tahu, notabene itu tetangga-tetangganya sendiri. Pengaruh terbesar dari pelatihnya yang sudah setengah abad usianya. Beliau adalah orang yang dianggap kasepuhan karena jaringan keluarganya berhasil mendekati pamong-pamong desa melalui jalur perkawinan. Jadi menantu-menantunya ada yang menjadi carik, bahu dan ulu-ulu. Kalau pekerjaan hari-harinya sendiri biasa saja. Beliau menggelar dagangan kaki lima berupa jual beli jam tangan bekas.
Biarpun perguruan Prana Sakti mengklaim mendasarkan pada syariat Islam, tetapi masyarakat umum sering menyebut latihan yang mereka selenggarakan besar sekali bidahnya. Pada akhirnya lebih terdengar kabar orang-orang yang berlatih di perguruan ini terjun menjadi paranormal, penghusada dan ramal meramal. Tak pernah ada kabar perguruan Prana Sakti misalnya mengikuti kejuaraan. Konon pusatnya ada di Yogyakarta.
Yang mengherankaan untuk Surip, bila melakukan jurus saja sudah sulit seperti itu bagaimana nanti bila berhadapan dengan lawan?
Surip geleng-geleng kepala, jurus yang dipelajarinya dengan perbandingan latihan perguruan Prana Sakti terlalu banyak perbedaannya.
Ada juga perguruan tak bernama apapun menyelenggarakan latihan di Beji. Yang ini latihannya sembunyi-sembunyi dibawa oleh seorang guru SD. Jadi latihannya menggunakan fasilitas halaman SD negeri Beji. Karena tak resmi hanya terlihat pergerakannya saat latihan saja. Bila ditanya orang akan menjawab mereka perguruan yang berlatih jurus dengan nama-nama binatang. Jadi ada jurus ular, monyet dan harimau. Dalam memperagakannya mereka dalam keadaan tak sadarkan diri. Sedkit sekali siswa yang mengikutinya.
Yang paling kuat pengaruhnya adalah KBPS Al-Husna. Ini adalah ranting desa Beji dengan pengurusnya yang paling terorganisir. Latihannya paling terselenggara baik. Kegiatan-kegiatannya lebih merujuk pada pusatnya di Kauman Lama. Pengaruh paling kuatnya di Beji Lebak, dimotori seorang guru SMP PIRI. Surip tahu dari Mas Sehak, ketua ranting KBPS AL-Husna Beji Lebak ini termasuk anggota team teknik dari perguruan tersebut. Jadi semua struktur organisasi lebih terukur.
Diam-diam di desa Beji yang sepi itu jadi rebutan pengaruh beberapa perguruan Pencak Silat termasuk Al-Jurus milik Surip. Dan bukan hanya itu saja, bidang-bidang yang lainpun ada. Organisasi massa Islam Nahdlatul Ulama yang berpengaruh besar ternyata terpecah dua. Warga asli Beji lebih merujuk pada masjid yang diurus trah-trah asli Beji dan berpegang pada struktur organisasi NU tingkat ranting. Sedangkan di bagian lain terdapat kubu sendiri yaitu pondok pesantren yang banyak didatangi santri-santri luar daaerah. Keduanya sering berebut pengaruh termasuk dalam beberapa pertentangan fatwa ulama yang dipegang masing-masing kelompok.
Padahal hari-hari biasa warga Beji berkutat hanya dari hasil pertanian dan perikanan saja. Ada Universitas Wijaya Kusuma di Karangsalam membuat warga Beji menyewakan tempat kos mahasiswa, lumayan bisa mendapat penghasilan dari bisnis tersebut. Ada juga SMP Muhammadiyah, warga muhammadiyah sedikit jumlahnya.
Sudah dua bulan latihan di Beji terselenggara. Latihan yang teratur membuat Surip dikenal warga sekitar. Sebagian besar tentu salut dengan pergerakannya. Surip hanyaa warga biasa di lingkungan Beji. Dari keluarganya biarpun tinggal di Beji tetapi bapaknya bukan asli Beji. Keluarganya tidak menonjol karena hanya petani kecil. Saudara-saudaranya sudah berumah tangga banyak yang bekerja serabutan, cukup memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri. Praktis Surip sekarang inilah yang aktif karena menyelenggarakan pelatihan beladiri Pencak Silat.
Suatu ketika Surip mendatangi tempat latihan. Ternyata pesertanya berjubel, ada lima puluh orang membuat lapangan bulu tangkis penuh. Itu masih ditambah penonton dari anak-anak hingga orang tua bahkan ibu-ibu rumah tangga.
“Ramai sekali siapa yang menyuruh anak-anak itu ikut latihan?” Surip coba bertanya kepada salah satu siswa yang rutin ikut berlatih.
“Wah itu ibu-ibu mereka yang mendorong anak-anaknya untuk ikut berlatih mas. Soalnya latihan di sini gratisan dan tidak harus pakai seragam.” Katanya sambil mencontohkan dirinya yang hanya berkaos dan bercelana training saja.
Itu rupanya salah satu daya tarik latihan yang dilakukan Surip.
“Tentu saja wong aku melatihnya juga sukarela. Belum tentu anak-anak yang sekarang ini berlatih akan berlanjut di masa mendatang. Mungkin mereka itu pensaran saja dengan adanya pelatihan di sini.” Surip berkata mencoba menganalisa sendiri.
Melatih begitu banyak siswa jelas sangat sulit memantaunya. Bila dihitung sebenarnyaa hanya ada sepuluh siswa saja yang aktif setiap latihan. Dari sepuluh orang tersebut Surip menjadikannya standar bertambah tidaknya materi latihan.
Sekarang misalnya sepuluh orang tersebut jurus ke dua sudah menguasai, tentu akan ditambah mulai masuk jurus ke tiga. Nah sepuluh siswa inilah patokan Surip. Biasanya selain sepuluh siswa aktif ini terdapat juga beberapa siswa-siswa yang ikut-ikutan. Orangnya berganti tak menentu, jadinya orang-orang yang tak menentu latihannya ini lebih sering mengekor sepuluh siswa yang lebih rutin berlatih. Jadi setiap sesi latihan Surip biasa menghadapi sekitar duapuluh siswa.
Sekarang gerombolan orang-orang berlatih banyak terdiri dari anak-anak kecil. Ramainya minta ampun, gerakannya lucu-lucu jadinya. Setiap kali Surip memberi instruksi teknik yang harus diperagakan, peserta yang terdiri dari anak-anak kecil ini menirukan. Jelas tak ada yang sempurna, bahkan banyak yang jatuh ke lantai.
“Huu….uuh!” Riuh penonton bersorak-sorak. Apa lagi ternyata beberapa ibu yang menonton itu ternyata anaknya disuruhnya berlatih.
Maka beberapa kali ibu anak-anak tersebut malah maju menolong atau membangunkan anaknya yang salah menirukan gerakan. Kalau penonton yang lain hanya tertawa karena melihat adegan lucu-lucu.
Kalau sudah seperti ini Surip merubah pola latihannya. Ia lebih sering menyuruh siswa-siswa yang menjadi patokannya sebagai standar memperagakan jurus-jurus atau gerakan-gerakan yang mudah ditiru. Tentu tak mungkin anak-anak kecil yang baru berlatih disuruh memperagakan teknik sulit misalnyaa teknik kelit atau sapuan kaki.
Wah bisa-bisa jumpalitan atau terjerembab anak-anak itu saat menirukan!
Paling ramainya latihan bila malam minggu. Lapangan bulu tangkis yang sudah tak pernah terpakai itu penuh sesak baik yang berlatih maupun yang hanya menonton. Tidak kalah dengan pertunjukan wayang kulit walupun hanya berlangsung dua tiga jam. Siswa-siswa inti berada di tengah lapangan, sedamgkan peserta baru tak terhitung berhimpitan.
Pergerakan menjadi sulit teknik yang diperagakan kacau balau. Tapi penonton tahunya hanya ramainya saja. Surip sendiri sulit mengontrol peserta di belakang. Sekali Surip ke belakang untuk memberi petunjuk kepada anak-anak kecil yang berlatih.
Wah bukannya anak-anak itu mentaati perintahnya mereka justru lari ketakutan.
“Ggrr…grrr…!” Penonton tertawa terbahak-bahak menyoraki. Surip yang salah tingkah mendapati dirinya dianggap hendak memarahi. Mungkin bagi anak-anak kecil itu seragam hitam-hitam yang dikenakannya sudah sangat menakutkan.
“Medeni banget Surip, awas tak kandhakna mbok mu mengko!” Seorang ibu berkata memegangi anaknya yang membelakangi dirinya karena ketakutan.
“Kepriben mboke kie, putrane tak latih malah keweden. Aja-aja mboke sing salah mrentah. Ayo kene pada baris maning ora usah wedi karo nyong!” Surip dengan perasaan geli kemudian memberi pengertian. Dicobanya anak-anak itu berbaris dan diberi contoh gerakan.
Aneh-aneh memang kelakuan anak-anak. Ini salah satunya,
“Nyong kapok, wingi latihan ora bisa turu sewengi.” Katanya memberitahu.
Lagi-lagi Surip mengatakan, “Jenenge baen nembe latihan, wis jajal maning tuli mari dewek.” Surip tahu itu tentu tubuh anak-anak yang kaget hari pertama langsung digenjot latihan keras. Tubuhnya langsung seperti sakit karena tak terbiasa. Siapapun orangnya jika berlatih keras akan mengalami peristiwa seperti itu. Banyak juga yang kaki atau tangannya lecet-lecet terkena lantai tanah yang berkerikil. Tentu saja lapangannya sempit, sampai-sampai emperan rumah pun terpakai untuk berlatih.
Surip tahu saja diantara penonton ada saja orang dari perguruan lain. Mereka sepertinya menonton perkembangan latihan yang diselenggarakan oleh perguruan Al-Jurus. Terkadang bila ada kesempatan istirahat Surip didekati dan ditanyai macam-macam.
“Sudah berapa tahun kamu jadi pelatih Rip?” Basa-basi orang tersebut bertanya. “Nyong ora ngira kowe bisa ngrumat siswa perguruan, ganu tau tak jajal ora akeh sing melu kaya kie.” Sedikit memuji tetapi tampak mukanya tak senang, mungkin merasa tersaingi.
“Nyong nembe njajal mas, isih akeh sing durung tak pelajari. Ganune melu perguruan ngendi mas?” Surip berkata sedikit merendah.
“Karate ning saiki wis ora aktif. Nyong tau juara pas isih sekolah SMA 2 perguruan BKC Bandung Karate Club.” Katanya membanggakan beladiri yang diikutinya.
“Nek BKC di sekolahku pun ada, kancaku dewek sing nglatih mas.” Surip menjelaskan keadaan sekolah mereka berdua yang ternyata hanya bersebelahan.
Percakapan terhentti Surip pun kembali melatih peserta yang jumlahnya dalam dua tiga bulan terus meningkat. Tapi tidak setiap hari latihan ramai. Hari rabu biasanya yang berlatih hanya sekitar lima belas siswa saja. Tapi di sinilah Surip terus menambah materi pelatihan. Yang dilatih biasanya siswa-siswa yang menjadi standar pelatihan. Kalaupun ada tambahan itu juga mereka yang mulai serius berlatih.
“Kita masuk jurus ke tiga, jurus ini lebih lengkap teknik tangkisan kemudian kuncian kaki dan sempok.” Surip mencoba memperagakan jurus ketiga sebelum dilakukan secara massal. Biasanya peserta latihan akan menyimak serius karena suddah menjadi siswa resmi perguruan.
Kendala dalam berlatih juga ada. Entah kenapa biarpun sudah berlatih rutin setiap melakukan jurus sampai berakhir tetap saja nafas tersengal-sengal. Surip menduga setiap jurus bila diperagakan sebenarnya sama saja dengan olah raga lari sprint seratus meter. Coba saja lihat saat pelari sprint berlomba. Selesai lomba dilakukan, kalah atau menang peserta lomba sampai membungkukan badan karena merasa mual atau kepala pening mendadak.
Setelah memberi contoh Surip memberi instruksi memperagakan jurus mengikuti teknik seseragam mungkin. Kemudian diistirahatkan dengan masing-masing disuruh maju untuk membetulkan teknik pada setiap peserta.
“Terakhir sebelum pulang kita ulangi lagi latihan jurus ke dua dan satu berturut-turut.” Perintah Surip saat sesi latihan akan berakhir. Biasanya jam sepuluh sudah selesai walupun masih duduk-duduk di lapangan ngobrol barang lima belas menit. Terkadang ada juga peserta yang secara suka rela membawa makanan kecil untuk dinikmati bersama-sama. Paling-paling yang selalu disediakan Surip itu seceret besar air putih untuk mengurangi dahaga.
Paling sepinya latihan jika sebelum jamnya berlatih turun hujan. Alamat hanya ada enam atau delapan peserta pun sudah sangat bagus. Jika begini Surip lebih sering mengulangi materi yang pernah dipelajari. Terkadang ditambah latihan tarung antar peserta supaya menambah semangat dalam berlatih.
Jika hujan tak berhenti malam itu, Surip membatalkan keberangkatannya. Surip tak tahu apakah ada peserta atau tidak di lapangan bulu tangkis yang tentu basah oleh air hujan. Itulah keadan penyelenggaraan latihan yang dilakukan Surip di desanya.
***
Di rumah Surip malas sekali belajar, terasa sekali pikirannya begitu sempit. Banyak sekali pelajaran sekolah yang diabaikannya. Menghadapi guru-guru di sekolah sering was-was, takut kena teguran atau ditanyai kemajuan pelajaran yang tak pernah diminatinya.
Surip sering menyatakan pada dirinya sendiri, “Untuk apa lagi aku sekolah, aku tak percaya pada kemampuan diriku sendiri.” Belum–belum Surip sudah pesimis saat melihat keadaan dirinya sendiri. Tapi biarpun begitu soal berangkat sekolah tetap dilakukannya. Terlihat rajin setiap hari, prinsipnya sekolah itu yang penting hadir mengisi absensi.
Terkadang si Mbok berkomentar, “Mbok seneng kowe bisa lulus sekolah Rip. Sayang koh nyong ora tau weruh kowe sinau?” Si Mbok tersenyum melihat anaknya selalu berangkat sekolah. Padahal tak usah diperlihatkan si Mbok tahu isi tas Surip. Begitu juga seragamnya yang kusam berjamur. Lebih menyebalkan lagi ada jahitan label nama yang diwajibkan harus tertera di dada tetapi oleh Surip diakalinya menjadi semacam cap yang bisa ditempel ulang. Jadi papan nama kecil itu bisa dicopotnya sewaktu-waktu sesuai seragamnya yang hanya dua potong.
Surip tersenyum biarpun matanya berkaca-kaca, inilah hiburan yang bisa diperlihatkan pada ibunya. Mana tahu ibunya ini bila sekolahnya hanya kamuflase. Tak ada satupun pelajaran yang nyantol di otaknya tapi mulutnya berkata,
“Ya mbok mengko nyong lulus arep nggolet gawean sing gajine gede.” Katanya berlagak seperti orang yang sudah sukses bekerja, menenteng tas dinas kantoran.
“Pokoke kowe kudu lulus Rip, ben baen kae sawah tak dol nggo modal nggolet gawean.” Ada ibunya memberitahu semacam keputusan untuk bisa mengangkat derajat anaknya.
Segera Surip mengorek keterangan, “Mbok sapa sing arep tuku sawahe dewek sih?” Surip bertanya menyelidiki.
“Kae Pak Musa sing nyambut gawe nang Sri Ratu.” Ibunya berkata agak heran.
“Jajal baen mbok sapa ngerti Pak Musa mengko bisa nglebokna nyong nang Sri Ratu. Aja didol disit sedurunge nyong nyambut gawe.” Surip seperti memberitahu tentang sebuah rencanaa kepada ibunya.
Ibunya terbelak pandangannya kepada Surip terlihat berubah,
“Mbok ora ngira kowe ana pikiran dewasa kaya kuwe Rip.” Pandangannya kagum terhadap anak bungsunya ini. Mereka terus bercakap-cakap sebelum akhirnya Surip meninggalkan rumah berangkat sekolah.
Hari lain Surip yang kedatangan tamu.
“Loh pak Nur mangga mlebet, kadingaren mampir umah?” Surip menyambut tamu tersebut. Dalam hatinya bertanya-tanya, Pak Nur ini orang tua yang menjadi pelatih perguruan Prana Sakti. Rumahnya berlainan RT terpisah beberapa ratus meter walupun sama-sama di tepi jalan kecamatan. Surip sempat melihat bawaannya yang berupa tas berisi jam-jam tangan bekas.
“Laris dodolane pak?” Tanyanya berbasa-basi.
“Ha Ha Ha ya ana baen Rip. Sing penting tetep ngode.” Pak Nur berkata dan langsung duduk di bangku kayu yang tersedia. “Priben sekolahe, wis kelas telu kudune arep ujian?” Tanyanya lagi sebagai orang tua.
“Iya kie pak, moga-moga baen bisa lulus.” Surip berkata apa adanya.
“Kie Rip nyong ana perlu karo kowe. Urusan latihan perguruanmu neng kene.” Mulai Pak Nur masuk ke masalah serius.
Surip berdebar-debar hatinya, beberapa kali sorotan masyarakat tertuju kepadanya setelah pergerakannya melatih di desa. Salah satunya sekarang ini, Pak Nur datang ke rumahnya. Padahal beliau dikenal sebagai kasepuhan di desa ini. Pengaruhnya sangat kuat karena beberapa menantunya menjadi pamong desa di Beji ini.
“Mengko latihan malam minggu nyong arep teka, nyong mung arep ngisi pengajian bar latihan.” Cepat sekali orang tua ini menyampaikan maksudnya, bahkan terasa sekali seperti paksaan.
Hati-hati Surip menanggapi permintaan orang tua ini. Memasukan seorang tokoh perguruan lain, apa lagi hendak mengisi semacam siraman rohani merupakan campur tangan perguruan lain. Kalau misalnya yang hendak memberi pengajian itu dari pondok pesantren atau masjid desa, itu sifatnya umum. Siapapun bisa mengundang seorang tokoh dari pondok pesantren atau pengurus masjid untuk mengisi pengajian dan, biasanya tak dicurigai karena posisinya malah jadi baik di masyarakat.
Surip sulit menolak permintaan Pak Nur ini, seorang kasepuhan tapi berdiri dalam sebuah perguruan yang berseberangan. Posisinya sangat riskan, sementara latihan di lapangan bulu tangkis adalah nanti sore.
“Nggih pak cobi mawon mangke bar latihan.” Surip membuat keputusan untuk sementara membiarkan orang tua dari perguruan Prana Sakti ini masuk. Dalam hati Surip berkata, ”Nanti aku harus konsultasi dengan Pak Anwar, biar ini menjadi urusan orang-orang tua itu.”
Rupanya Pak Nur juga tahu apa yang ada di kepala Surip. Memang tak mungkin seorang anak kecil seperti Surip ini menyamai pengalaman orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan.
“Tak usah khawatir Rip, saya bermaksud baik. Saya tak akan masuk masalah perguruan kalian.” Orang tua ini langsung mendikte Surip.
Surip hanya menganggukan kepalanya saja. Ini salah satu masalah yang dihadapinya di tengah masyarakat. Di masyarakat umum terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan. Hal itu terjadi di mana saja bahkan di lingkungan desa sekecil Beji sekalipun.
Maka malam itu setelah Surip melatih siswa-siswa di lapangan bulutangkis, acara dilanjutkan dengan pengajian. Tentu saja Surip terpaksa memangkas waktu latihan fisik. Pak Nur seorang tokoh masyarakat di desa Beji. Semua warga mengenalnya dengan baik. Terkesan wibawanya tetapi diketahui juga bukan seorang pengajar agama. Semua orang di lapangan bulu tangkis bisa menerima kehadirannya dan menerima siraman rohani menurut versinya. Isi pengajiannya biasa saja, sebagian warga Beji yang kebanyakan petani tak membutuhkan materi pengajian mendalam. Cukup dengan tema amaliyah diselingi humor sudah cukup membuat yang hadir terhibur.
Peserta latihan dan warga yang menonton tak menyadari apa-apa yang tersembunyi di belakangnya. Pak Nur seorang pelatih perguruan tenaga dalam berani masuk ke program latihan perguruan lain. Itulah yang menggelisahkan Surip. Posisinya terpangkas oleh kehadiran Pak Nur yang sengaja mencari pengaruh.
“Pak Nur jelas punya tujuan untuk merebut program latihan perguruan Al-Jurus di sini. Jika tidak diantisipasi sia-sia aku merekrut siswa.” Surip berpikir keras, beberapa hambatan melatih dirasakannya bukan karena faktor dari dirinya sendiri yang terkadang malas, tetapi juga dari orang-orang sekitar yang berkeinginan mendapat pengaruh tanpa repot-repott menyelenggarakan program sendiri.
Surip merasa ditunggangi oleh orang tua ini. Program latihan masih terus berjalan, dan Pak Nur terus mencoba mencari celah untuk bisa mengisi dalam bentuk pengajian sebagai alasan kuatnya. Biasanya Pak Nur menyediakan waktu mengisi pengajian hanya di malam minggu saja. Tapi mulai hadir juga beberapa orang yang oleh Surip diketahui merupakan anak murid Pak Nur.
“Pak Anwar tidak selalu bisa mengawasi program pelatihan di Beji ini. Tak mungkin aku hanya minta tolong kepadanya untuk menyelesaikan masalah ini. Harus ada cara yang tepat untuk membubarkan pengaruh Pak Nur.” Surip terus berpikir, tak mungkin dia sendirian melarang kegiatan Pak Nur ini. Bila melarang langsung, jelas ia yang bakalan disingkirkan oleh beliau dengan tindakan kasar maupun halus.
“Ini sebenarnya adalah benturan antar perguruan, akulah yang mengalaminya sekarang ini!” Begitulah Surip berkesimpulan.
Satu kelebatan pikiran membuat Surip tahu ada jalan keluarnya. Maka setelah pulang dari sekolah disempatkannya mendatangi kios di pasar Kebondalem. Cuma kehadirannya kali ini bukan untuk menyewa buku komik tapi langsung konsultasi dengan Mas Sehak.
Mas Sehak rupanya cukup bisa diajak kompromi,
“Ada kejadian seperti itu Rip? Jika diteruskan jelas cepat atau lambat kamulah yang bakalan tersingkir.” Mas Sehak berkata setelah mendengar cerita dari mulut Surip langsung.
“Ya itulah mas, tak mungin aku menyelesaikannya sendiri. Aku hanya seorang diri di program latihan perguruan Al-Jurus di desaku. Jika saja Mas Sehak ada cara aku minta tolong.” Langsung juga Surip memohon bantuan.
“Baiklah Rip, biarpun kita lain perguruan tapi aku lebih suka programmu tetap berjalan, tak mudah membina siswa beladiri. Nanti aku akan kontak Karseno di Beji Lebak. Hanya itu satu-satunya jalan memecahkan masalahmu. Untung kamu konsultasi denganku sehingga belum terjadi bentrokan antara dirimu dengan pelatih perguruan tenaga dalam itu.” Mas Sehak seperti memberi jalan dan menguatkan dukungan untuk Surip.
Surip tak tahu apa yang akan dilakukan Mas Sehak. Orang-orang tua itu tahu Surip masih yunior. Persoalan pelik seperti itu tidak boleh terlibat terlalu dalam.
“Kejadian yang sebenarnya adalah bentrok antar perguruan. Hati-hatilah membawa diri Rip.” Mas Sehak menasehati Surip sebelum pulang ke rumahnya.
Tak ada cerita tentang taktik yang dijalankan Surip. Tetapi tindakan-tindakannya juga mempengaruhi beberapa orang–orang yang bisa dianggapnya senior dalam masalah yang dihadapinya. Latihan yang diselenggarakan Surip terus berjalan, dan mulai hadir pihak ke tiga. Itulah anak murid perguruan KBPS Al-Husna ranting Beji. Tadinya hanya dua tiga orang menonton. Minggu selanjutnya banyak sekali dan sengaja berjubel dengan anak murid Pak Nur.
Semuanya hanya saling mengawasi dan tetap membiarkan Surip melatih peserta warga Beji. Pun ketika Pak Nur memberi pengajian saat latihan selesai, orang-orang yang hadir tetap mendengarkan pengajian tersebut. Benar-benar tak ada benturan fisik, tetapi masalah yang terjadi adalah masing-masing sudah mengetahui.
Program latihan Suriplah yang jadi ajang benturan kekuatan antar perguruan. Sengaja tidak sengaja Surip telah mengundang pihak lain untuk menyelesaikan persaingan antar perguruan di desa Beji. Terakhir rupanya seorang pembina perguruan KBPS Al-Husna ranting Beji, yaitu Pak Karseno hadir di program latihan Surip. Tetap juga latihan berjalan biasa, namun kali ini Pak Karseno banyak ngobrol dengan Pak Nur di pinggir lapangan bulu tangkis. Surip masih remaja tak tahu apa yang dibicarakan kedua tokoh perguruan berbeda di desa tersebut.
Dan beberapa minggu kemudian Surip sudah melatih siswa perguruan Al-Jurus di desanya tanpa gangguan apapun dari seorang pelatih perguruan tenaga dalam yang hendak mengangkangi pergerakan Surip. Itu hanya pernik-pernik hambatan melatih dan membina siswa perguruan.
Kesimpulannya tak mudah membina siswa perguruan. Salah-salah program kita diakui pihak lain sebagai jasa besarnya. Demikianlah satu peristiwa telah dilalui Surip dalam hidupnya. Ujar orang bijak ada benarnya, pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup kita.
BAB 7
Runtuhnya Perguruan Pencak Silat Al-Jurus
Ujian kelulusan SMA dimulai. Setiap siswa SMA negeri 1 sudah mendapatkan nomor ujian sekaligus tempat duduknya di meja kelas. Nantinya hasil ujian akan tertera dalam NEM sebagai bukti masuk ke jenjang perguruan tinggi.
Banyak siswa berprestasi justru tak memforsir diri dalam belajar. Siswa-siswa yang berprestasi sepertinya sudah yakin tentang persiapan diri mereka saat ujian. Anak-anak yang berprestasi sudah mati-matian berlatih mengerjakan soal-soal ujian jauh sebelum terselenggara. Bahkan sebagian diantaranya mengikuti diklat menyiasati soal-soal ujian dalam lembaga swasta.
Ketenangan menghadapi mata pelajaran yang diujikan sudah menjadi poin kemajuan siswa-siswa yang berprestasi. Kepercayaan diri mereka sudah terpancar saat masuk ke ruang-ruang kelas tempat nomor duduknya berada.
Surip tak pernah belajar, baik saat hari-hari biasa atupun saat menghadapi ujian terakhirnya ini. Sebenarnya modal Surip dalam menghadapi pelajaran apapun hanya berupa hafalan. Nah tentu pelajaran-pelajaran yang biasa diandalkannya untuk mendapatkan nilai baik sudah diperhitungkannya. Pelajaran-pelajaraan yang memakai hitungan dan rumus baginya sudah tak mungkin lagi digapainya.
Inilah tipe Surip yang sebenarnya dalam menghadapi realita hidup di dunia. Masalah-masalah yang dihadapinya menyesuaikan dengan tingkat kemampuannya yang mendasarkan pada pengertian dan hafalan. Untungnya Surip suka membaca apa saja. Untuk komik ia jagonya, berita-berita koran sering dilahapnya. Berbagai majalah dan buku-buku di perpustakaan sering dipinjamnya, juga berbagai ensiklopedia yang tebal-tebal itu sangat disukainya.
Khayalan Surip berkembang dari bacaan-bacaan yang disukainya. Saat membaca khayalannya juga mengikuti, makanya pengetahuan umum atau pengetahuan popular menjadi bidangnya. Yang pasti ia tak betah jika menghadapi ilmu-ilmu pasti.
“Semoga saja ada keajaiban saat mengerjakan soal, jadi nilaiku nanti bisa cukup memuaskan.” Membatin sendiri Surip.
Nyontek saja Rip?
“Uh Nyontek bagaimana, Memangnya teman-temanku mau melakukannya?” Surip geleng-geleng kepala. Sedikit sekali kemungkinan dirinya bisa nyonttek. “Apa adanya sajalah hasilnya nanti, yang penting bisa lulus.” Surip tak bisa mundur lagi, resiko menghadapi ujian hingga lulus dan tidak lulus itu saja.
Tak perlu banyak diceritakan, ratusan siswa yang mengikuti ujian sudah masuk ruang masing-masing termasuk Surip. Seorang pengawas ujian terdiri dari dua guru membagikan soal-soal ujian. Pengawas ujian seorang lelaki berperawakan tinggi besar guru fisika melihat Surip di bangku tempat duduknya.
“Kamu tahu tentang aturan potongan rambut di sekolah atau tidak!” Galak sekali suaranya. Surip tahu itu guru fisika tetapi mengajar di kelas lain sehingga tak pernah tahu profilnya.
“Dengarkan saya bicara! Jika besok kamu tidak potong rambutmu sesuai aturan, keikut sertaanmu dibatalkan. Silahkan ke ruang BP3 untuk minta surat keterangan.” Kata guru tersebut sambil tangannya mengelus rambut Surip. Itu rambut miliknya yang ikal sebenarnya gondrong. Mengikuti aturan sekolah potongan rambut tidak boleh memanjang ke belakang.
Surip nyengir mendapati dirinya kena teguran dari guru fisika ini. Rambut ikal tidak memanjang ke belakang tetapi justru memanjang ke depan. Rambut depannya bila basah bisa menutupi wajahnya tapi bila kering memutar seperti rambut Ahmad Albar alias brekele.
Mau apalagi Surip pun keluar saat jam ujian hari pertama. Sama saja guru BP pun mengelus rambut nyentrik Surip dengan gelengan kepala. Tanpa berkatapun Surip tahu apa artinya bagi dirinya, “Bandel nih anak!”
“Nih surat keterangannya, besok kamu tampil yang lebih rapih ya.” Guru BP ini tidak setegang guru di ruang ujian tadi. Surip pun ngeloyor memasuki ruang ujian dengan pandangan guru pengawas yang masih gregetan dengan penampilannya.
Dari satu kejadian kekejadian lain bagi Surip terasa memberatkan. Di mana-mana orang seperti menyalahkannya sementara dari dirinya sendiri susah sekali merubah keadaan. Jiwanya tertekan dan kemudian menyembunyikan dengan tampil urakan, dan hasilnya orang-orang sekitar terutama di sekolah menganggapnya sebagai pemberontak.
Masuk ruang kelas lagi sudah tak tenang perasaan Surip. Soal-soal ujian tidak memberatkan sebenarnya, sayang modal materi yang dikuasai Surip tak cukup menyelesaikannya karena tak pernah belajar. Ia hanya mencoba peruntungannya dengan soal-soal pilihan jawaban (multiple choice).
Soal-soal dengan pilihan jawaban seperti ini pasti memiliki beberapa jawaban yang benar. Dari semua soal yang pernah diketahui Surip, bila polanya seperti ini tak mungkin salah semua atau hasilnya tak mungkin bernilai nol. Jadi tinggal mencari soal yang jawabannya mudah kemudian soal-soal yang sulit dengan cara asal tebak.
Ini bukan metode tapi ketidak berdayaan Surip dalam menghadapi soal-soal ujian. Soal-soal bentuk esay tak ada. Sistim multiple choice berlaku menyesuaikan dengan kemajuan awal-awal teknologi komputer. Surip terus mencoba dan berharap sebuah keberuntungan bila tebakan jawabannya bisa mendapat nilai tinggi (Ah mustahil!).
Uups satu jam kemudian sudah ada beberapa siswa mampu menyelesaikannya. Bel tanda jam ujian berakhir belum berbunyi. Masih banyak waktu tetapi teman-teman Surip yang banyak berprestasi itu sepertinya melahap soal-soal ujian begitu mudahnya.
Kalau Surip lebih hebat lagi. Hanya separuh soal ujian yang menurutnya bisa dijawab dengan kesalahan masih besar. Sisanya mengikuti alur jawaban mencari jalan tengah. Jangan kaget ya, jika ada lima soal tertera jawaban berurutan a kemudian b yang ke tiga tak terjawab begitu juga ke empat tapi yang ke lima jawabannya e, nah yang ke tiga dan ke empat mengikuti abjad saja.
Soal lain tebakannya terkadang dobel misalnya soal di atas jawabannya b maka dibawahnya biar disamakan saja juga jawabannya b. Lain itu bervariasi asal tidak kosong dari jawaban. Berkas jawaban berupa abjad dengan diisi blok hitam pensil 2B untuk dikoreksi dalam komputer.
Sekali lagi kalau pelajarannya ada yang menguasai kemungkinan jawabannya cukup banyak benarnya. Sayang Surip banyak sekali kelemahannya. Begitu bertemu dengan pelajaran matematika, kimia, fisika dan bahasa inggris langsung knock out. Masih mending pelajaran biologi yang cukup banyak unsur hafalannya. Bahasa Indonesia tetap membingungkan karena soal-soal jawabannya banyak sekali kemiripannya.
Hari pertama kena teguran hari kedua berganti pengawas. Tak ada lagi yang peduli dengan Surip. Guru-guru pengawas itu membiarkan Surip dengan kebandelannya sendiri. Anak ini memang bermasalah tetapi itu resikonya sendiri. Apa sih masalahnya?
Perasaan asing terhadap dirinya dan lingkungan menyergap. Surip sulit beradaptasi di sekolah maupun di rumaah. Itulah yang disebut tertekan jiwa alias stress. Sayang tekanan jiwa yang dihadapinya berkepanjangan hingga bisa disebut depresi.
Semua orang tahu Surip sebagai pelajar yang bodoh. Tak ada pelajaran di sekolah yang mampu dikuasainya. Kebalikannya Surip melarikan diri dari dunia tersebut, ia lari ke jenis-jenis kegiatan semu seperti mengkhayal berjam-jam. Bacaan fiksi dilahapnya seperti komik dan majalah popular. Imaginasinya berkembang dari bacaan-bacaan umum tersebut.
He He He Surip coba juga peruntungannya di ujian praktek. Ada semacam hafalan yang bagi Surip bisa diandalkan. Ialah praktek pengetahuan anatomi tubuh manusia. Jadi jalurnya pelajaran biologi. Dengan imaginasinya dan bacaan buku pelajaran biologi Surip yakin mampu meraih nilai cukup.
Ya ini kebanggaan semu. Begitu berada di meja praktek Surip memandang sebuah tiruan organ manusia yang tergeletak di depannya. Benda tiruan itu begitu sulit ditebak karena tergeletak di bidang datar. Bingung Surip, itu termasuk organ apa. Imaginasinya yang mencoba membayangkan anatomi manusia dengan berdiri tegak tak mampu menyusun.
Pertanyaannya sederhana saja,
Benda ini organ apa?
Kemudian di dalamnya terdapat pertanyaan lebih mendalam,
Apa fungsi dari sebuah kelenjar di dalam organ tersebut?
Surip akhirnya menjawab asal-asalan, benar tidaknya ia angkat bahu. Materi ini saja ternyata jauh sekali dari perkiraannya. Ia hanya membatin,
“Kesalahanku adalah tak pernah langsung bersentuhan dengan benda-benda ini di laboratorium.” Surip mengakui gagal total.
Ini berbeda dengan karya tulisnya. Betapapun sederhana karya tulisnya tentang okulasi pada ubi kayu, tetapi ia langsung terlibat segala tetek bengeknya. Alhasil apa yang dilakukannya betapapun hasilnya tidak maksimal dalam percobaan tetap memuaskan jiwanya.
Harapan mencapai nilai baik tak mungkin diraih.
“Jika aku tidak lulus tak mungkin lagi melanjutkan sekolahku. Langsung berhenti dan lupakan bangku sekolah ini.”
Surip pasrah, mau belajar bagaimana lagi? Kemampuannya di bidang akademis tak berkembang. Mengulangi pelajaran hanya akan menambah malu dirinya sendiri. Sudah terlanjur jadi anak bodoh!
***
Langgar Mangga Sholat jalan Bima Jatiwinangun,
Surip yang sedang menghadapi ujian kelulusan sudah sebulan ini absen dari program training pelatih. Jatiwinangun sebuah pedukuhan di kelurahan Purwokerto Lor. Pedukuhan dibelah jalan Jatiwinangun membujur utara selatan. Di kanan kiri jalan Jatiwinangun itulah terdapat gang-gang yang jika ditelusuri memakai nama-nama tokoh wayang. Penduduknya padat karena menjadi bagian dari pusat kota Purwokerto.
Jalan Bima terletak di tengah kampung menjadi perempatan kecil menghubungkan beberapa kampung lainnya hingga tembus ke jalan Gatot Soebroto. Langgar Mangga Sholat berada di jalan ini menyudut dengan halaman luas. Dari jalan tak terlihat jelas karena pekarangannya berisi pohon-pohon buah.
Kalau sekretariat perguruan Al-Jurus terletak di jalan Jatiwinangun paling utara mendekati jalan Dr. Angka. Menjadi batas kelurahan Purwokerto Lor dengan desa Bancarkembar Purwokerto Utara. Sebagian masih berupa bulak sawah luas. Karenanya rumah Bapak Jamaludin ini tampak terpencil. Kata orang daerahnya jadi rawan berbagai kejadian, mulai rawan pencurian juga rawan kecelakaan karena minim rambu-rambu lalu lintas.
Surip yang orang desa mendekati lereng gunung Slamet memiliki dunia tersendiri di Jatiwinangun. Keanggotaannya di perguruan Pencak Silat Al-Jurus, paling tidak Surip memiliki pijakan di Purwokerto sehingga tidak hanya berkutat di desanya saja.
Hanya saja nasib orang tak terduga. Dinamika kota Purwokerto yang sarat dengan pembangunan fisik mengusik warganya. Di jalan Dr. Angka sendiri sudah mulai ada proyek pembangunan kolam renang Tirta Kembar. Jalan yang tadinya hanya berupa bulak sawah kini berdiri kompleks kolam renang yang dikelola swasta. Tanahnya sendiri milik Pemda Banyumas.
Warga kota Purwokerto suka-suka saja dengan adanya sarana hiburan dan olahraga tersebut. Tapi di sudut lain proyek THR Kebondalem juga menggusur keberadaan kios ruko Pasar Sarimulyo. Penghuni kios-kios pasar Sarimulyo yang masih bertahan terpaksa ditempatkan di kios-kios darurat depan pasar tradisional sebelum mendapat gantinya yang kata orang sudah dijanjikan Pemda.
Siapa lagi yang kena dampaknya kalau bukan Bapak Jamaludin. Begitu juga dengan kios penyewaan komik Sakura Store. Sebenarnyaa kompleks kios Sarimulyo yang merupakan proyek Pemda sudah mangkrak. Seiring pindahnya terminal bus ke desa Teluk di pinggir kota keramaian Kebondalem surut.
Karenanya rencana Pemda kemudian menjadikan eks terminal menjadi THR (Taman Hiburan Rakyat). Sayup-sayup terdengar proyek pembangunan telah ditunjuk seseorang yang dikenal dengan nama Made. Tentu itu adalah korporasi dari pengusaha Cina. Hanya sayang rencana berubah, tak ada THR yang dibangun. Semuanya menjadi ruko sebagai pusat perbelanjaan. Warga Purwokerto hanya diobral janji.
“Huh dari puluhan ruko yang dibangun hanya seorang Jawa saja yang bisa membeli. Lainnya pengusaha Cina saja yang mampu.” Mas Sehak pernah berkata demikian kepada Surip. “Kami sekarang pindah ke kios darurat di depan pasar tradisional Sarimulyo. Sebenarnya tak nyaman karena mengganggu bakul-bakul di dalam pasar itu.” Mas Sehak menunjuk beberapa bakul sayur yang menempati los dalam pasar, tahu sendirilah los-los pasar tradisional biasanya hanya menempati tiga empat meter persegi untuk berjualan. Penuh sesak tapi transaksi menjadi hingar bingar. “Nanti ada jatah kios baru untuk eks penghuni kios pasar Sarimulyo. Paling-paling yang bertahan tinggal dua puluh kios saja.” Kata-katanya berlanjut.
“Berarti Bapak Jamaludin juga sudah menempati kios darurat ini?” Surip jadi ingat dengan kios keripik tempe INTI milik guru besarnya tersebut. Keadaan Surip saat singgah di kios penyewaan komik sudah selesai ujian, tinggal menanti hasilnya nanti.
“Harusnya demikian, mungkin itu jatahnya yang kena paling pinggir. Saat pindah kami hanya melihat alat-alat milik Pak Jamaludin diangkat dengan mobil colt bak terbuka.” Mas Sehak menunjuk sebuah kios yang tetap tertutup rapat.
Kios buku penyewaan komik masih berantakan. Tapi biarpun begitu sudah mulai bisa melayani pelanggan. Mas Sehak terlihat masih mampu mengelolanya. Surip tak mungkin lagi membaca di kios darurat tersebut, ia mengambil beberapa komik yang kemudian dibawanya pulang.
Di manapun jika terjadi perpindahan tempat usaha kesulitan pasti membayang. Ibaratnya pelangggan yang sudah terbentuk juga bubar dengan sendirinya. Jadi kios-kios ini dalam waktu beberapa bulan harus mencari pelanggan baru lagi untuk bisa bertahan.
Yang jelas tidak nampak aktifitas apapun di kios darurat milik Pak Jamaludin. Tertutup rapat tanpa kabar apapun dari orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan program latihan siswa-siswa perguruan Al-Jurus semuanya terhenti. Dan Surip pun tak mengetahuinya, kesibukannya sebulanan ini menghadapi ujian kelulusan membuatnya berkutat hanya di rumah dan sekolahnya saja.
Selesai ujian ia sengaja menuju ke rumah Pak Anwar di sebelah langgar Mangga Sholat. Rumah Pak Anwar kecil paling-paling ukuran lima kali enam meter dengan tambahan belakangnya dapur dan sumur. Sebuah ruang tamu berfungsi ganda karena bisa untuk makan bersama atau kegiatan lainnya. Paling-paling ruang khusus kecil diperuntukan untuk sholat yang sedikit istimewa. Rumah Pak Anwar sebenarnya berada di luar kompleks langgar Mangga Sholat. Sebuah pintu kecil bisa untuk lewat menuju langgar tersebut
Nah saat bertemu Pak Anwar baru selesai sholat dhuhur. Sarung masih dikenakannya,
“Wah Surip lama sekali tak datang ke sini?” Pertanyaan pertama terlontar dari Pak Anwar. Ini yang mengherankan Surip. Biasanya bila berjumpa di manapun Pak Anwar akan mengepalkan tangan seperti tinju sebagai salam persilatan.
“Ayo sini duduk, sekarang kamu jadi tamu kehormatanku di rumah.” Nada suaranya sudah berbeda, tak terkesan galak.
“Aku sudah lama absen latihan, bagaimana keadaannya sekarang?” Surip coba bertanya.
Pak Anwar hanya tertawa saja,
“Kamu beruntung, aku lagi libur dari menukang di perumahan Bancarkembar. Program training pelatih terhenti, tak ada lagi yang datang ke sini hari minggu.” Katanya sambil geleng-geleng kepala.
“Sudah beberapa bulan Pak Jamaludin tak meengontak kami lagi. Mungkin sudah tiga empat bulan ini. Kami yang senior jadi ragu untuk meneruskan program latihan. Untuk sementara dihentikan menunggu Pak Jamaludin hadir kembali di tengah-tengah kita.” Kali ini kata-katanya banyak menyembunyikan masalah.
Surip yang masih anak-anak jadi menuntut bertanya,
“Ada apa lagi dengan Pak Jamaludin, kok beliau sampai meninggalkan anak muridnya sendiri?” Bertanya tapi bingung sendiri.
Pak Anwar yang celingukan mendapati pertanyaan anak kecil di hadapannya. Ia menghela nafas,
“Seharusnya kamu belum boleh tahu urusan ini Rip, ini urusan orang tua. Tapi tak apalah sedikit kuberitahu.” Pak anwar memutuskan agar Surip sedikit lebih dewasa menanggapi. Tentu saja menghadapi Surip Pak Anwar harus memilih kata-kata yang tepat agar tidak keliru menerima.
“Pak Jamaludin sedang banyak dirundung masalah. Kemungkinan usahanya bakalan bangkrut.” Katanya memperhatikan Surip. Benar juga Surip langsung hendak melontarkan pertanyaan lanjutan.
“Eit-eitt jangan bertanya macam-macam. Kamu anak kecil tak boleh tahu urusan orang tua. Setahuku Pak Jamaluddin punya banyak hutang dan sekarang sulit membayar itu sajalah.” He He He hati-hati ya kalau memberitahu anak-anak seperti Surip ini. Pertanyaan yang terlontar masih polos kurang tata krama, jadi contoh saja Pak Anwar ini yang mencoba membuat Surip mendapatkan pengetahuan sesuai usianya.
“Nanti sajalah Rip, kalau urusan orang-oraang tua ini sudah selesai kamu pasti yang pertama kuhubungi.” Katanya mengakhiri pembicaraan. Selanjutnya Pak Anwar mengalihkan pembicaraan, beliau lebih banyak bertanya tentang sekolah Surip. Kata-katanya diakhiri dengan ucapan, “Salam buat si Mbok di rumah.”
Surip kembali ke rumahnya di Beji, tapi sebelum mendapatkan angkutan kota ia lebih dulu berjalan kaki menyusuri jalan Jatiwinangun ke utara. Saat lewat depan rumah Pak Jamaludin tertulis sebuah papan, “RUMAH di JUAL”.
“Jelas beliau sedang mengalami masalah, aku tak punya hubungan khusus dengan beliau. Dalam perguruan Al-Jurus aku lebih terhubung dengan Pak Anwar di langgar Mangga Sholat.” Surip berkata dalam hati terus berjalan melewati rumah yang makin terlihat sepi. Sebuah papan nama dengan tulisan sekretariat Perguruan Pencak Silat Al-Jurus masih terpampang. Tapi sudah kusam tak pernah diganti.
Surip merasakan dirinya tidak begitu peduli dengan urusan-urusan yang mendera orang-orang tua di sekitarnya. Sifat kekanakannya lebih menonjol karena usianya baru menuju dewasa. Sampai di rumah Beji yang dilakukannya bermain ke beberapa rumah temannya biarpun hanya sekedar ngobrol. Hari lain ke sawah sekedar mencabuti rumput atau mengambil kelapa muda untuk dinikmatinya.
Sering kalau ke sawah, He He He sawah Surip itu cuma dua puluh ubin atau sekitar tiga ratus meter persegi. Hasil panennya sering tak mencukupi sehingga si Mbok menambah dengan memburuh tani atau menjual beberapa jenis sayur yang berhasil dikumpulkannya ke pasar.
Terkadang di rumah Surip yang ditumbuhi jenis keladi Sente diminta tetangganya untuk pakan ikan gurameeh. Nah ini dia jatah Surip mendapatkan uang jajan. Lumayan ada sepuluh sampai dua puluh lembar kajar (daun sente) bisa dapat seribu atau dua ribu rupiah. Satu lembar kajar cukup lebar dihargai seratus rupiah.
“Kajare deneng entong Rip, ko dol maring sapa baen?” Simbok bertanya saat melihat pekarangan sempit depan rumah terlihat bersih. Si Mbok baru pulang dari pasar dengan sepeda tuanya.
“Ya tak resiki mbok, kajare saben minggu ana baen sing gelem tuku. Duite nggo nyong ya mbok.” Surip sedikit memperlihatkan uang hasil jualannya.
“Lah nggo nyong endi, si Mbok tukokna godong suruh nggo nginang ya?” Si Mbok agak rewel kali ini minta jatah. Karena percuma meminta, biasanya Surip disuruhnya membeli bahan-bahan menyirih kesukaannya. Biarpun meminta tapi sebenarnya tidak tega juga terhadap anaknya ini.
“Godong suruh tak goletna baen ngesuk nang sawah mbok, kae sawahe si Toro ya ana koh.” Surip tetap ngotot tak mau diminta jatahnya. He He He keduanya ribut tentang uang perolehan Surip dari jualan kajar (daun sente).
Ada kalimat si Mbok yang menjadi catatan Surip.
“Embuh ngesuk apa kapan Pak Musa arep ngeneh, kepriben mengko goli ngomong Rip?” Ibunya bertanya serius.
Surip berkata memberitahu cukup tegas,
“Lebih baik si Mbok menawarkan aku untuk bisa diterima bekerja di Sri Ratu mbok. Sawah kae mbesuk baen goli didol. Eman-eman!”
Pak Musa yang dimaksud orang sibuk karena punya jabatan penting di Tamara Plaza Purwokerto.
“Kaya kiye baen mbok, jajal dari pada ngedol sawah ben baen Pak Musa ngenehi modal iwak grameh. Mengko hasile ben baen kabeh nggo Pak Musa. Sing penting dewek mung ngrumat iwak nduweke Pak Musa.” Surip berkata bisik-bisik di telinga ibunya.
Ibunya mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.
Ada sekali waktu Surip ke kios darurat penyewaan komik,
“Wah untung kamu datang Rip, komiknya hari ini nggak ada yang menyewa. Ayo sini bayar biar aku mau beli nasi bungkus.” Mas Sehak berkata menampakan dirinya yang hampir putus asa karena seharian tidak mendapatkan uang.
Surip segera membayar komik yang disewanya sekalian memilih yang lain. Uang hasil jual daun sente bisa digunakannya menyewa komik. Komik-komik masih berantakan kurang tertata. Rak-rak yang ada tak mampu masuk kios darurat. Sebagian oleh pemiliknya mungkin sudah dibawa ke rumahnya.
Sementara Mas Sehak sudah menikmati sebungkus nasi pecel dengan dua potong mendoan. Ia berkata,
“Rip kamu tahu nggak itu si Heri Best sekarang sudah kembali ke KBPS Al-Husna. Bapak Jamaludin katanya sudah sulit dihubungi.” Mas Sehak memandangi Surip yang diketahuinya adalah siswa dari perguruan Al-Jurus.
“Mana kutahu mas, program latihan perguruan Al-Jurus sudah sebulan dua bulan ini terhenti. Aku tak tahu apa-apa yang terjadi sebenarnya.” Surip berkata mengangkat bahu.
Mas Sehak tak banyak bertanya kepada Surip, ia tahu biarpun Surip siswa perguruan Al-Jurus tapi ikatannya tak mungkin sampai ke struktur organisasi. Tidak ada nada perasaan memiliki kecuali hanya kehilangan induk perguruan.
“Ini kabar yang kudengar saja Rip, Bapak Jamaludin terbelit hutang sangat banyak. Rumahnya di Jatiwinangun akan dijual kemungkinan bakalan pindah ke tempat asal istrinya di Wangon.” Mas Sehak bercerita seputar masalah keluarga Pak Jamaludin.
Surip yang agak terkejut mendengar kabar penting seperti itu,
“Hah lah terus bagaimana dengan perguruan Al-Jurus di Purwokerto? Berarti nanti Al-Jurus di Purwokerto hanya jadi cabang saja?” Surip tak tahan bertanya.
Mas Sehak memberitahu lagi,
“Bisa jadi demikian, tapi kelihatannya Pak Jamaludin sudah lebih sering menghubungi Ayah di Kauman Lama. Biar bagaimanapun beliau dulunya anggota KBPS Al-Husna.” Mas Sehak berkata sepertinya sudah biasa seorang mendatangi guru besar perguruan Al-Husna tersebut.
“Saya tanya mas, Ayah di Kauman Lama masih ada hubungan apa dengan Bapak Jamaludin. Tampaknya beberapa perguruan di sekitar Purwokerto seperti Al-Jurus kemudian perguruan milik Heri Best bahkaan perguruan Maruyung semuanya menjadikan Ayah di Kauman Lama sebagai rujukannya?” Kali ini uneg-uneg Surip benar-benar terlontar.
“Ha Ha Ha ya itu, Bapak Jamaludin itu memisahkaan diri dari KBPS Al-Husna gara-gara idealismenya tidak tersalur. Heri Best dan Bapak Jamaludin itu masih kerabat jauh dari Ayah Kauman Lama. Kalau kayak aku dulu direkrut oleh putra Ayah masuk perguruan.” Mas Sehak membeberkan jati dirinya. “Aku cukuplah menjadi pelatih biarpun di dalam KBPS Al-Husna aku berada di kubu Pak Sudar pemilik kios ini.” Mas Sehak berkata terus. “Biarpun terjadi perebutan pengaruh tetapi itu hanya soal struktur organisasi, guru besarnya masih ada semuanya segan kepada beliau.”
Surip justru sambil berpikir juga berkata,
“Ah kukira tak sesederhana itu, Mas Sehak tetap bertahan di struktur organisasi. Pasti ada faktor lain yang membuat Mas Sehak tetap bertahan?” Coba Surip bertanya.
“Bagus juga pertanyaanmu itu. Yang jelas hidup dan rejekiku ini sebagian besar berasal dari bisnis yang dijalankan Ayah Kauman Lama.” Jujur Mas Sehak berkata.
“Boleh saya tahu bisnis apa beliau itu mas?” Surip bertanya tertarik.
“Sekarang usahanya yang maju itu biro jasa wisata. Dulu markasnya di jalan Situmpur, kalau sekarang sudah pindah di jalan Gerilya desa Tanjung.” Mas Sehak memberi tahu lagi. “Jika ada angkatan perjalanan wisata aku dengan Pak Sudar bergantian memandu wisata.”
“Biro wisata itu banyak sebenarrnya mas, kukira Ayah itu pasti punya pengaruh lain sehingga sangat dihormati di Purwokerto ini?” Kritis Surip bertanya.
“Ya beliau itu boleh dikata adalah rujukan untuk soal keamanan di wilayah Banyumas ini. Siapapun yang melakukan kegiatan atau even besar di Purwokerto dan sekitarnya pasti minta perlindungan atau ijin dari beliau lebih dahulu. Dulunya saat masih muda beliau malang melintang seluruh Jawa hingga Sumatera. Lihat saja itu ada beberapa anak buahnya berasal dari Sumatera.” Mas Sehak meenyebut beberapa nama yang cukup di kenal masyarakat Purwokerto.
Surip justru mengenal nama-nama yang disebut itu banyak berkeliaran di beberapa tempat strategis Purwokerto. Ada yang di terminal Teluk, Stasiun Raya Purwokerto, bahkan orang berpengaruh di tempat wisata Baturraden. Itu semuanya menunjukan semacam jaringan kuat orang-orang berpengaruh di Banyumas.
Surip membayangkan betapa besarnya pengaruh guru besar KBPS Al-Husna ini. Biarpun ada tentara, polisi dan jaksa di Banyumas tetapi jika ada perkara apapun, bakalan bersinggungan dengan orang-orang berpengaruh jaringan guru besar KBPS Al-Husna. Semuanya terpantau oleh beliau, tinggal angkat telepon hubungi, orang tertentu dan kemudian menyuruh utnuk meredam keributan yang terjadi.
Surip membayangkan keadaan perguruan Al-Jurus dengan Guru besarnya.
“Aku pernah tahu Pak Jamaludin itu mendirikan Al-Jurus karena ingin membuat perguruan dengan siswa-siswanya lebih terdidik secara formal. Benarkan begitu Mas Sehak?” Lagi Surip bertanya sedikit menduga.
“Begitulah Pak Jamaluddin maunya merekrut siswa-siswa yang berpendidikan tapi tampaknya gagal karena yang didapat siswa-siswa seperti Pak Anwar dan beberapa siswa yang berasal dari desa di sekitar Purwokerto ini.” Mas Sehak memberitahu lagi. “Kasihan Pak Jamaludin sekarang, perguruan Al-jurus kurang berkembang, juga usahanya mengalami kebangkrutan dan terlilit hutang. Kemungkinan perguruan kalian itu dalam waktu tak lama bakalan bubar.” Kata-kata Mas Sehak mengejutkan Surip.
BUBAR!
Cepat-cepat Surip menuju ke jalan Bima Jatiwinangun, ditemuinya Pak Anwar di rumah sebelah langgar Mangga Sholat. Orang yang ditemuinya sedang menemani pemilik langgar yang menjadi Kiai kampung. Terpaksa Surip menunggu agak lama, barulah sejam kemudian Pak Anwar bersedia menemuinya.
“Aku sudah berhasil menemui Pak Jamaludin.” Beliau mulai berkata,
“Silakan mengembangkaan program latihan sendiri.” Langsung Pak Anwar memberitahu Surip.
“Rip tak mungkin lagi aku berhubungan terus menerus dengan beliau. Memang pindah rumahnya tak jauh masih di wilayah Banyumas ini. Tapi tak mungkin sekretariat perguruan berada di Wangon sana.” Suara Pak Anwar memberitahu datar saja. Beliau orang tua dan kemungkinan biasa menghadapi masalah berat seperti ini.
“Jadi perguruan ini sudah bubar?” Surip bertanya kurang jelas, sedikit sumbang antara percaya dan tidak.
“Begitulah Rip, aku cuma anggota jamaah langgar. Pengasuh langgar tetap berkeinginan agar aku melanjutkan program latihan Pencak Silat tetapi sudah bukan atas nama perguruan Al-Jurus.” Pak Anwar berkata tegas kemudian melanjutkan kata-katanya. “Kita sudah bukan guru dan murid lagi Rip. Silakan saja kamu datang ke rumahku ini layaknya tamu dan teman.” Kata-kata itu dikeluarkannya sembari menjabat tangan Surip.
Surip tak bisa berbuat apa-apa lagi, resmi sudah pernyataan dari seorang yang pernah mengasuh dirinya bertahun-tahun di perguruan Al-Jurus. Ia pun harus menanggalkan atribut pelatih yang disandangnya karena tak lagi bernaung diatas bendera perguruan. Bendera tersebut tinggal nama, sebuah kenangan manis dirinya di Purwokerto.
Dan hari-hari pengumuman kelulusan sudah tiba. Sebuah amplop diberikan kepada siswa kelas tiga SMA. Surip membuka dan tidak terkejut dengan isinya.
LULUS!
Tak ada gegap gempita di dadanya. Beberapa teman di sekitarnya bersulang tangan. Beberapa cat pylok di semprot ke seragam yang mereka kenakan. Surip menghindar, badannya terasa lesu, merasa asing dengan dirinya sendiri. Tidak seperti teman-temannya yang bergembira dengan pengumuman yang ada, lulus berarti bisa berlanjut ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Tahun Sembilan puluhan semua orang bercita-cita bisa sekolah lebih tinggi di sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Jurusan ilmu pasti dan sekolah umum adalah favorit. Sekolah-sekolah yang didirikan semuanya berorientasi agar anak didiknya bisa lulus dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Saat itu SMK, STM dan sekolah-sekolah kejuruan terkenal sebagai sekolah-sekolah brengsek. Anak-anaknya nakal-nakal dan jurusannya hanya tertentu saja. Pokoknya lebih wah sekolah umum, dan Surip beruntung bisa nyantol di sekolah favorit SMA negeri 1 Purwokerto. Prestasinya diakui di provinsi Jawa Tengah.
Surip makin lesu ketika mendapati nilai NEM nya hanya mencapai angka rata-rata lima koma dari enam mata pelajaran wajib. Tak ada yang bisa dibanggakannya. Dan ketika ijazah keluar ia hanya menggigit jari. Tiga angka merah di tiga mata pelajaran yang menjadi momok bagi dirinya dan rankingnya yang menjadi juru kunci dari lima puluh siswa di kelas.
Lain surip lain si Mbok. Ibunya itu menyebar rasa bangganya ke seluruh warga desa. Anaknya bisa lulus dan diharapkan akan mendapat pekerjaan layak. He He He tentu saja bangga, sementara anak-anak lain di desanya tersebut terutama anak-anak seusia Surip hanya satu dua yang bisa duduk di sekolah lanjutan atas.
BAB 8
Tawaran Menjual Rumah di Desa
Hari itu rumah Surip kedatangan tamu. Pak Musa bertandang sesuai rencana yang pernah ditawarkan kepada si Mbok. Pak Musa tinggal di kelurahan Kranji mengontrak sebuah rumah. Orangnya berasal dari Semarang. Tamara Plaza dengan Sri Ratu Swalayan adalah cabang dari Semarang. Makanya tak mengherankan bila orang-orang penting di Sri Ratu masih banyak kiriman dari pusatnya di Semarang.
Kenapa Pak Musa tertarik dengan keluarga Surip?
Ini dia desa Beji tanahnya subur, strategis karena berada di pinggiran kota. Orang-orang kaya banyak yang memiliki tanah-tanah di Beji, orangnya banyak dari luar daerah. Orang-orang kaya dari kota mengincar tanah-tanah di Beji dan kemudian menjadikannya sebagai aset kekayaan. Belum tentu tanah-tanah yang dibeli tersebut akan dihuni nantinya.
“Nyong kebanjur ngomong karo Pak Jarot arep ngedol sawah Rip, dadine saiki kaya kie.” Berkata si Mbok memberitahu Surip. Pak Jarot yang dimaksud merupakan karyawan Sri Ratu bagian Cleaning Service tetangga Surip beberapa blok lebih masuk ke dalam kampung.
“Ya ora papa mbok, diadepi baen mengko dadine kepriben sing penting ana bathine.” Surip sendiri bingung, mana pernah berurusan jual beli tanah yang banyak diurusi orang tua.
Kalau Surip paling-paling berani jual barang-barang kecil. Ada beberapa kali orang tua teman sekolahnya mencari bibit ikan gurameh mulai dari susuh sampai anakannya. Nah Surip tinggal menghubungi tetangganya untuk tawar menawar. Jika jadi transaksi paling-paling dari tetangga tersebut Surip diberi lembaran beberapa ribu rupiah, katanya uang komisi.
Masa-masa kecil Surip menyisakan kejayaan komoditas cengkeh. Dahulunya desa-desa seperti Sunyalangu, Kedawuhan, Keniten dan desa-desa di lereng gunung Slamet lainnya adalah pembudidaya perkebunan cengkeh. Jangan heran rumah-rumah di lereng gunung itu megah bak istana. Cengkeh sama harganya dengan emas. Konon saat jaya-jayanya satu pohon cengkeh bisa memberangkatkan pemiliknya beribadah haji.
Surip kecil dulu punya satu pohon cengkeh, senangnya bukan main. Bila cengkeh itu berbunga tengkulak sudah mengincar untuk memborongnya. Lumayan cukup untuk membeli perabotan rumah tangga. Surip kecil jika musim bunga cengkeh keluyurannya di bawah-bawah batang pohon cengkeh mencari-cari bunga yang rontok untuk dijual. Bayangkan satu ons cengkeh basah dihargai lima ribu rupiah. Anak-anak kecil seperti Surip mengantongi uang sebesar itu jelas sangat senang. Dapat sepuluh butir cengkeh pun orang berani membeli seratus dua ratus rupiah. Taruh kata harga mendoan di desa masih sepuluh rupiah, kenyang dah perut Surip beli jajan.
Masa kejayaan cengkeh berakhir setelah komoditas ini dimonopoli BPPC (Badan Pengatur Perdagangan Cengkeh). Tiba-tiba harga bunga cengkeh ditingkat petani terjun bebas. Seluruh penjualan cengkeh terpotong rangkaiannya, harus melalui badan bentukan pemerintah pusat tersebut. Bayangkan, BPPC membeli harga cengkeh ditingkat petani seharga dua ribu rupiah perkilogram kondisi kering.
Cengkeh langsung tak berharga apa-apa, petani perkebunan cengkeh gulung tikar. Pohon-pohon cengkeh itu masih hidup dibiarkan merana. Berbagai pengembangannya seperti pembibitan langsung terhenti karena tak berharga lagi. Sekarang jika cengkeh itu berbunga tak ada lagi anak-anak mencari bunga-bunga yang rontok sekedar mendapat uang jajan.
Surip tak tahu apa-apa, bersama teman-temannya sekarang tak lagi berburu bunga cengkeh. Pohon-pohon cengkeh itu masih menjadi harapan mendapat uang jajan. Daun-daun yang berguguran dikumpulkan, kemudian dijual ke pabrik penyulingan minyak cengkeh. Notabene daun-daun cengkeh itu tidak masuk aturan BPPC. Bayangkan jika daun-daun cengkeh itu juga dimonopoli BPPC, wah habislah riwayat pabrik-pabrik kecil di pelosok desa.
Daun cengkeh segar setiap kilonya dua puluh lima rupiah. Surip dan teman-temannya sering mengumpulkan sampai sepuluh kilo lebih. Hitung sendiri hasilnya, pokoknya uang itu habis buat jajan dan beli mainan kesenangan anak kecil.
Sekarang pohon-pohon cengkeh itu sudah tua, tinggal menunggu ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Tak ada lagi tanaman-tanaman cengkeh muda, tergantikan oleh kayu kalbasia atau bahkan palem raja untuk tanaman perindang kota.
Seperti biasa bila menghadapi tamu penting yang pertama-tama dikeluarkan kata-kata basa-basi. Si Mbok yang biasanya dandan alakadarnya sekarang harus mengenakan kebaya yang sedikit kinclong. Sementara Pak Musa berpakaian formal masih dalam tugasnya di kantor.
“Saya sudah mengutus Pak Jarot mengenai pembelian sawah yang ibu tawarkan. Sebenarnya saya tidak tertarik dengan sawah tersebut. Saya lebih suka menawar taanah dan rumah ini.” Katanya dalam bahasa Indonesia karena canggung bila mengikuti bahasa setempat biarpun sama-sama orang Jawa. “Entah bagaimana pendapat ibu?” Satu pernyataan penting keluar dari mulut Pak Musa.
Si Mbok rupanya juga agak terkejut dan sulit mengira keinginan Pak Musa, “Wah pak ini rumah warisan almarhum, masih banyak yang harus dirundingkan untuk menjualnya. Tidak semua ahli waris menyetujuinya nanti.” Si Mbok terpaksa menyampaikan beberapa hal urusan keluarga.
Ternyata hal yang mengejutkan pada pertemuan itu terjadi. Si Mbok memang terlanjur memberitahu kepada tetangga sekitarnya bila hendak menjual sawah, tetapi sekarang orang yang berada di depannya menyatakan lebih tertarik membeli rumah dan tanah pekarangan keluarga Surip.
“Begini Bu, rumah dan tanah ini akan saya beli. Tapi biar ibu tetap menempati dan merawatnya. Paling-paling saya akan dataang ke sini barang sebulan dua bulan sekali, bagaimana Bu?” Manis sekali kata Pak Musa menawar.
Berbagai bayangan indah akan berkecamuk di dada seorang ibu atau siapapun pihak yang akan menjual karena tawaran jual beli seperti ini. Kalau pembaca silahkan menduga-duga sendiri maksud dan tujuan Pak Musa ini.
Si Mbok pun terpengaruh, ibu Surip ini merasakan seorang seperti Pak Musa ini bisa menjadi penolongnya disaat kesusahan. Yang terjadi kemudian,
“Berapa harga rumah dan tanah ini Bu?” Pak Musa bertanya memancing.
Tergiring si Mbok biarpun belum mengetahui keadaan orang yang berada dihadapannya.
“Harganya enam juta Pak.” Singkat si Mbok menjawab.
“Itu agak kemahalan Bu, paling-paling rumah dan tanah ini hanya seharga lima juta saja.” Pak Musa menaksir dan tarik ulur menghadapi ibu Surip yang mulai terpengaruh.
Saat itulah Surip muncul ke ruang tamu membawakan beberapaa gelas minum dan penganan kecil untuk suguhan tamu. Pak Musa langsung memandang Surip kemudian mengalihkan masalah.
“Ini puteranya Ibu?” Tanyanya basa-basi.
“Iya Pak namanya Surip baru lulus SMA tahun ini.” Si Mbok melirik Surip, terlihat di matanya Surip mengedipkan mata. Sungguh si Mbok merasakan ada sesuatu yang jauh lebih penting dari pada urusan jual beli tanah. Semuanya harus dilakukan demi anaknya yang bungsu ini. “Surip anak saya ini sedang mencari pekerjaan Pak.” Biar lugu pernyataannya tapi dikeluarkannya kalimat itu.
Rupanya pernyataan si Mbok mengena juga pada sasarannya,
“Kalau pekerjaan bisa saja saya masukkan di Sri Ratu. Bagian Satpam masih kekurangan.” Mudah sekali Pak Musa ini mengeluarkan pernyataan, tampaknya jabatannya cukup memenuhi untuk mengajukan seseorang masuk sebagai karyawan. “Bagaimana dengan tawaran saya Bu, lima juta itu harga umum tanah dan rumah ini di desa.” Pak Musa agak mendesak si Mbok.
“Saya tidak berani memutuskan cepat pak, harus dirundingkan dengan kakak-kakak Surip ini.” Memutar si Mbok untuk mengurangi desakan tawaran Pak Musa. “Habis Bapak berubah rencana, kalau sawah langsung bisa saya jual saat ini Pak.” Ini kata-kata sakti si Mbok.
Pak Musa tak bisa mendesak, sebagai basa-basinya ia meneruskan bertanya tentang Surip. “Selain ijazah SMA adakah referensi lain yang dipunyai anak ibu?”
“Oh ada pak, Surip ini bisa beladiri, di kampung ini sudah jadi pelatih.” Cepat si Mbok memberitahu.
“Ya sudah kalau begitu temui saya kapanpun di kantor Sri Ratu. Sekalian serahkan surat lamaran kerjanya.” Pak Musa memberi peluang kepada Surip, mungkin karena keinginannya membeli tanah dan rumah masih menggebu. “Pokoknya bila nanti saya beli rumah ibu ini biar nanti ibu dan puteranya tetap menempati dan merawatnya. Jadi banyak keuntungan yang ibu dapatkan nanti.” Katanya dengan sebuah tawaran yang manis sekali. Karena belum sepakat Pak Musa akhirnya pamit pulang dulu.
Gantian Surip yang berbicara dengan ibunya cukup senang,
“Pokoknya jangan langsung dijual tanah dan rumah ini. Perpanjang saja terus, bila perlu tawari bapak itu dengan tawaran-tawaran lain.”
Tapi kemudian Surip jadi bingung sendiri,
“Mbok benarkah kata-kata Pak Musa itu, Surip bisakah mendapat pekerjaan di Sri Ratu?” Serasa tak percaya Surip saat itu.
“Si Mbok tak tahu Rip, tapi coba sajalah. Cepat-cepat saja sebelum Pak Musa menjadi lupa.” Si Mbok sendiri tak tahu kemungkinan yang terjadi, lebih baik maju daripada mundur.
TAMARA PLAZA,
Sebuah gedung bertingkat empat dengan luasan halaman hampir satu hektar. Sangat strategis karena berada di perempatan jalan Jendral Soedirman menuju beberapa tempat keramaian. Di Purwokerto terdapat persaingan pusat perbelanjaan. Yang asli Purwokerto itu toko Rita di Kebondalem. Kemudian toko Matahari di seberang Tamara Plaza. Sedangkan Tamara Plaza dan group Matahari mencoba masuk. Tamara Plaza berasal dari Semarang sedangkan Group Matahari dari Jakarta. Karena sudah ada nama toko Matahari terpaksa swalayan group Matahari mengganti nama menjadi Super Ekonomi. Geliat perekonomian di Purwokerto banyak diisi dari pusat-pusat perbelanjaan yang ada. Wilayah Banyumas dan sekitarnya menjadikan Purwokerto sebagai tempat rujukan berbelanja.
Sedikit kemajuan Purwokerto dibanding daerah lain adalah pendidikannya. Purwokerto memiliki beberapa universitas baik negeri maupun swasta. Yang negeri Universitas Jenderal Soedirman dan IAIN, sedangkan yang swasta Universitas Wijaya Kusuma dan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Lain dari itu warga penduduk cuma petani dan pegawai negeri sipil. Sedikit menonjol adalah pariwisata Baturraden. Kelebihannya Purwokerto menjadi transit berbagai moda transportasi darat. Terminalnya duapuluh empat jam hidup menuju ke seluruh Jawa bahkan luar Jawa. Kemudian moda kereta api jurusan Jakarta ke barat dan Surabaya di timur.
Nama Tamara Plaza diambil karena mungkin usaha komersialnya berupa bank Tamara. Jadi terjadi kerja sama antara Tamara Bank dengan Sri Ratu. Dua group usaha itulah yang menempati gedung megah Tamara Plaza.
Hari itu Surip masuk gedung Tamara Plaza. Bukan ke banknya tetapi menuju bagian personalia pasaraya Sri Ratu. Sebuah map berisi lembaran surat lamaran dan bajunya memperlihatkan dirinya melamar pekerjaan. Tidak terlihat orang-orang lain yang mengikuti jejak Surip. Tak ada pengumuman lowongan pekerjaan hari itu, hebat banget mental Surip ya?
Jika saja tak ada Pak Musa yang jadi harapannya Surip sudah mundur teratur. Referensi daari Pak Musa itulah yang diambilnya cepat. Diam-diam Pak Musa sendiri punya perhitungan untuk mendapatkan apa yang dicita-citakannya.
Berbagai peraturan jelas harus dihadapi Surip saat bisa menghadap Pak Musa. Ya Pak Musa punya jabatan Kepala Personalia. Suatu jabatan penentu masuk keluarnya seorang karyawan toko. Dan Surip ternyata tak terlalu dipersulit saat menghadap di kantornya.
Ruang personalia terletak di lantai tiga, ruangannya tersendiri tertutup kaca gelap di mana orang luar tak mampu menembusnya. Tapi yang berada di dalam ruang personalia justru leluasa melihat siapa yang hendak bertamu.
Singkat kata Surip sudah menghadap Pak Musa,
“Tampaknya badanmu kurang memenuhi syarat untuk jadi Satpam, biarlah untuk sementara ditempatkan di bagian lain.” Kata-kata Pak Musa mulai mengarah ke nasib Surip. Uuh sudah tampak penilaian Pak Musa terhadap Surip.
Pak Musa tidak peduli dengan berkas lamaran Surip. Beliau langsung berbicara dengan Asistennya. Surip bukan cuma kikuk di ruang yang dinginnya minta ampun itu. Perasaannya berdebar-debar antara percaya dan tidak. Tidak dipedulikannya kata-kata Pak Musa yang meragukan kemampuannya.
Bagi Surip proses cepat diterimanya dirinya di Sri Ratu sudah merupakan keajaiban. Sama juga dengan dirinya saat lulus ujian akhir sekolah SMA. Kedua bagian ini bagi hidupnya dirasa hanya kebetulan belaka.
Bukankah kebetulan Pak Musa ini berkehendak membeli tanah dan rumahnya di Beji?
Itu sama saja dengan sistim katrol nilai untuk kelulusan dirinya dari bangku sekolah. Absensinya penuh dan gengsi sekolahnya saja yang termasuk sekolah favorit sehingga tetap meluluskannya. Padahal dari segi apapun, pelajaran-pelajaran apapun yang diujikan bagi Surip tak memenuhi syarat kelulusan.
Kali ini ia menghadapi peristiwa berbeda tetapi sama bobotnya, faktor keberuntungan bergulir menimpanya.
“Saya sudah menghubungi seluruh departemen, yang masih memungkinkan adalah departemen gudang.” Asisten personalia itu menunjuk bagian yang memungkinkan Surip diterima.
Surip tak tahu apa-apa lagi ketika disuruh menuju tempat di luar gedung megah Tamara Plaza dengan sebuah mobil bak tertutup. Peristiwa-peristiwa yang dihadapinya terasa cepat sekali. Masih mengenakan pakaian lengan panjang putih pinjaman sebagai syarat seorang pelamar kerja.
Sampai di tempat yang dituju itu sebuah rumah bercat putih dengan pos penjagaan Satpam. Surip dipersilahkan masuk ruang tamu yang sudah berubah menjadi ruang kerja karena terdiri dari beberapa meja dan beberapa perempuan yang berurusan dengan administrasi.
Orang-orang yang berada dalam kantor malah keheranan.
“Masnya melamar kerja dan langsung dimasukan bagian gudang?” Seorang diantara perempuan tersebut bertanya saat Surip duduk berhadapan.
“Nggak tahu mbak terserah Pak Musa saja tadi yang menyuruh saya ke sini.” Surip hanya bisa memberitahu apa adanya.
Berbagai pertanyaan datang berkaitan tentang keadaan Surip. Setelah beberapa lama Surip yang kebingungan karena hanya duduk diam di kursi menghadap salah satu bagian administrasi. Sementara beberapa orang baik lelaki maupun perempuaan keluar masuk kantor dengan berbagai urusannya sendiri-sendiri.
Akhirnya Surip coba bertanya,
“Mbak sebenarnya saya ini hendak ditempatkan di mana sih?” Tanyanya dengan sejuta kebingungan.
Huu beberapa orang yang berada di sekitar ruangan tersebut memandanginya. Ada salah seorang bertanya,
“Ini siapa mbak?” Itu lelaki berseragam dengan atribut coca cola bertanya.
“Karyawan baru tetapi belum diputuskan. Pak Surya Kabag gudangnya sedang pergi.” Mbak-mbak yang dari tadi berada di meja berhadapan dengan Surip memberitahu. “Ta, Sita antarkan saja Surip ini ke dalam biar langsung bekerja.” Akhirnya mbak-mbak itu menyuruh seorang perempuan lain untuk menentukan nasib Surip.
He He He Surip mengekor di belakang cewek hitam manis berambut sebahu. Lewatnya jalan sempit dengan tumpukan kerat-kerat minuman.
“Ei Mbak Yul, ini ada karyawan baru kata Mbak Sari suruh langsung diperbantukan di sini.” Cewek itu terus berkata kepada seorang perempuan berkacamata tebal.
“Wah diperbantukan di mana yaa? Ah biar ikut membantu si Adi membungkus gula.” Perempuan itu menunjuk satu bagian yang sedang bergulat membungkus gula dalam plastik satu kilogram.
Di sinilah Surip hari itu mengurusi tetek bengek pekerjaan bagian gudang. Baju lengan panjang disingsingkan mengangkuti karung-karung berisi gula membantu seorang yang sudah lebih dulu bekerja. Tampak orang yang dibantunya hanya mengenakan kaos singlet berpeluh kerja keras. Surip terjun bekerja sampai sore sebelum akhirnya dipanggil lagi menghadap ke ruang depan.
“Siapa yang menyuruhmu langsung masuk gudang mas?” seorang Cina bertanya, rupanya ini kepala gudangnya bernama Pak Surya. “Setahu saya tidak ada pengumuman lowongan kerja beberapa minggu ini.” Tambahnya lagi.
“Oh saya disuruh langsung menghadap Pak Musa dan kemudian langsung diantar ke sini pak.” Surip memberitahu.
“Oh begitu, tapi sebenarnya tak boleh langsung masuk dan bekerja di dalam, mas belum melalui tahap training.” Lagi kabag gudang berkata seperti kecolongan akan adanya karyawan baru yang begitu saja nyelonong tanpa ijinnya.
“Tak tahu pak, pokoknya saya disuruh mulai bekerja itu saja.” Bingung Surip menjawab.
“Bisa bisa tapi untuk absensinya mulai besok baru berlaku. Karena kamu karyawan baru sebulan ini tak ada jatah libur.” Langsung Pak Surya membuat keputusan. Resmi sudah Surip bekerja di gudang Sri Ratu. Sore itu ia pulang naik angkot dan semalaman tak bisa tidur karena badannya tegang menghadapi pekerjaan pertamanya.
Sebulan kemudian ada Pak Musa datang ke rumah Surip menemui si Mbok. Beliau datang dengan Pak Jarot salah satu karyawan Sri Ratu bagian Cleaning Service.
“Bagaimana dengan tawaran saya Bu tentunya sudah ada keputusannya sekarang?” Jelas sekali suaranya menagih tentang jual beli tanah dan rumah.
Mulai ibu Surip bertingkah, “Rumah dan tanah ini tidak saya jual pak. Kalau sawah hari ini pun bisa saya lepas.” Kali ini tegas sekali si Mbok berkata. Simbok berkata dengan perhatian penuh kepada Pak Musa. Ia kini memperhitungkan kata-kata yang pernah disiapkan Surip. “Begini saja pak, jika bapak tertarik kami bisa memberikan kesempatan sewa lahan tanah rumah ini, mungkin dijadikan kolam dengan modal dari bapak. Segala hasilnya biar nanti jadi milik bapak, kan pasti menguntungkan.” Cerdik si Mbok memutar kata.
“Wah sebenarnya saya bermaksud membeli rumah tanah ini ya untuk investasi pembesaran ikan Bu. Tapi lahannya tetap harus saya beli.” Itulah incaran seorang Pak Musa, ia melihatnya dari modal dan investasi jangka panjang.
“Ini rumah warisan pak, ahli warisnya tidak setuju dijual.” Tambah ngotot si Mbok berkata.
Saat itu Pak Jarot berbisik-bisik kepada Pak Musa. Cukup serius rupanya masalah yang dibicarakan. Akhirnya Pak Musa berkata kepada si Mbok.
“Ya sudahlah batal semua urusan dengan ibu, saya kecewa dengan hasilnya.” Pak Musa berkata sepertinya merasa percuma melobi ibu Surip. Setelah itu Pak Musa dan Pak Jarot mohon diri.
Tapi sebulan kemudian terdengar berita lain. Tanah pekarangan milik Pak Jarot telah terjual dengan segala masalah diselesaikan oleh tetangga Surip tersebut. Tanah Pak Jarot biar masuk agak ke dalam tetapi memiliki beberapa kolam besar untuk memelihara ikan. Jika itu dibeli dan kemudian Pak Musa menanam modal di sana kemungkinan lebih menguntungkan.
Kalau rumah dan tanah Surip harus dibangun kolam dulu baru bisa dipakai untuk memelihara ikan. Tapi untuk harga tanah di masa mendatang, rumah tanah milik keluarga Surip dijamin sangat tinggi. Rupanya itulah yang membuat Surip ngotot kepada ibunya agar tidak sekali-sekali menjual rumah tanah sembarangan.
Aman sudah Surip bekerja di Sri Ratu, apa lagi setelah menjadi karyawan gudang jarang sekali bertemu dengan Pak Musa. Bidang pekerjaannya berada di luar gedung megah Tamara Plaza. Gudang Sri Ratu tersebut jaraknya dari Tamara Plaza sekitar empat ratus meter.
BAB 9
Memasuki Dunia Kerja.
Gudang Supermarket Sri Ratu,
Surip mulai menapaki kelanjutan episode hidupnya. Lulus dari bangku SMA tak membuatnya senang. Surip selalu dihantui perasaan gagal menyesuaikan diri di lingkungan tersebut. Kini di pasarayaa Sri Ratu ia mencoba peruntungannya.
Asumsi masyarakat bila sudah lulus sekolah tinggal mencari pekerjaan yang mapan. Kalau sudah bekerja enak dapat gaji jadi segala kebutuhan hidup terpenuhi. Pandangan masyarakat seperti itu umum, yang membuat Surip repot sering yang menyatakan bahwa kerja itu enak adalah orang-orang di sekitarnya yang lebih makmur hidupnya. Surip membanding-bandingkan dirinya dengan orang yang berasumsi tersebut. Sejauh yang dilihatnya orang-orang tersebut memiliki rumah dan petak sawah yang mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Bahkan bila berkeinginan membeli motor tinggal menjual satu petak sawah, barang tersebut sudah terbeli kontan.
Kalau Surip?
He He He tak mungkin ia mengandalkan hasil tanah garapan dan minta jatah dari simbok. Ibunya itu tetap bekerja seperti biasa mencari uang untuk makan perharinya. Dan sekarang ia bekerja membuktikan anggapan masyarakat yang terlanjur beredar.
“Wis pirang dina kowe kerja Rip?” Itu Mbak Yuli perempuan gemuk berkacamata. Hari sudah sore orang-orang tinggal membantu Adi yang spesialis urusan gula.
“Baru dua minggu mbak, memangnya ada apa?” Surip yang membantu Adi menaikan karung goni ke dalam tempat penyortir. Dari tempat tersebut gula digulirkan ke bawah melalui lubang kecil yang sudah dimasukan plastik ukuran satu kilogram. Setelah tertampung dalam kemasan plastik segera ditimbang untuk mendapatkan ukuran tepat satu kilogram. Kemasan itulah yang kemudian disteples dan disusun dalam kerat besar yang tersedia sebelum dibawa ke rak-rak toko.
“Berapa hari lagi gajian, hendak kamu apakan duitmu nanti?” Mbak Yuli bertanya. Mereka berjumlah lebih dari sepuluh orang bekerja bersama mengurusi gula. Ini pekerjaan paling berat di gudang karena lebih banyak mengeluarkan tenaga.
“Ah gaji pertama paling buat makan bayar angkutan kota, setiap hari aku masih minta sama simbok.” Jujur Surip memberitahu.
“Pak Surya sudah memberi tugas untukmu, awal bulan nanti mengurusi counter roti dan minuman.” Mbak Yuli memberitahu Surip tugas-tugas yang akan dihadapinya.
“Terimakasih mbak.” Surip mulai tahu dirinya bekerja setengah bulan ini ternyata hanya menjadi tenaga serabutan saja. Apalagi kepala gudang sudah menyatakaan kepada dirinya harus masuk sebulan penuh tanpa jatah libur.
Surip mulai tahu bidang kerjanya. Ia menempati gudang di departemen supermarket. Di bagian ini terdiri dari beberapa produk makanan seperti susu, minuman ringan, produk kalengan, mie instan sampai parfum dan tisu. Ada juga produk sabun cuci maupun sabun mandi atau sikat gigi dll. Asistennya tersendiri tapi tetap mendapat satu jatah produk untuk diurusinya. Setelah itu departemen store, terdiri dari fashion, stationary, house ware dll. Tempatnya di lantai dua gedung Sri Ratu, sedangkan saat Surip pertama masuk di ruang depan itu adalah bagian pembelian atau order dan administrasi.
Urusan gula selesai orang-orang gudang itu bersiap-siap pulang. Semuanya tinggal menunggu bel berbunyi dari Pos jaga Satpam menunjuk jam empat sore. Seorang perempuan yang mengantar pertama kalinya Surip masuk gudang datang membawa beberapa kartu absensi.
“He He He jatahmu setiap sore pasti mengurusi absensi, mana itu Endah sama Sari?” Mbak Yuli bertanya.
“Iya mbak orangnya sudah pada pulang tingggal aku bersama kalian.” Perempuan berambut sebahu menyibak rambutnya menampakan dahinya yang lebar. Oi cantik juga gadis hitam manis ini.
“Hei kemarin kamu pulang lewat Kebondalem pakai angkutan apa?” Tiba-tiba cewek itu bertanya kepada Surip. Suaranya entah kenapa membuat Surip merasa senang di hatinya.
Surip terkesiap memandang cewek hitam manis ini, setahunya namanya Sita,
“Iya aku biasa mencegat angkot di Kebondalem sekalian singgah ke kios Sarimulyo sewa komik.” Surip menjawab sambil menatap perempuan di depannya. Terasa merdu sekali suara gadis ini merasuk jauh di lubuk hatinya. Tapi ia mencoba menyangkal perasaan yang timbul tersebut.
“Kalau begitu kita bisa pulang bersama-sama, aku di Kauman Lama depan masjid.” Sita berkata mengajak Surip untuk pulang bersama.
Suatu ajakan yang tak mungkin ditolak. Toh pulangnya juga beramai-ramai dengan beberapa karyawan lainnya. Tapi sesuatu terjadi pada Surip, ia mulai mengenal perempuan sebagai makhluk yang menarik. Di sekolahnya dulu banyak perempuan cantik teman sekelasnya. Tapi hari-hari Surip bersekolah belum merasakan tertarik dengan perempuan. Seragamnya yang masih abu-abu bagi lelaki seperti Surip masih jauh dari urusan naksir lawan jenis.
Tunggu dulu, bel berbunyi tanda karyawan pulang. Seorang Satpam langsung mencegat di depan pintu gerbang gudang. Penggeledahan dilakukan untuk memastikan karyawan tidak mencuri barang-barang dari gudang. Barang-barang dari dalam gudang memang rawan hilang. Setelah digeledah seperlunya barulah karyawan gudang keluar pulang ke rumah masing-masing.
Kali ini Surip yang biasa berjalan cepat menuju Kebondalem seperti siput mengikuti gerak langkah perempuan. Sementara dari gedung Tamara Plaza juga keluar karyawan-karyawan toko dengan berbagai seragam warna-warni berganti shift kerja.
Berjalan bersama beberapa orang karyawan tentu saling menyapa saat berjumpa. Tadinya beramai-ramai menuju tempat tujuan masing-masing. Ternyata kebanyakan karyawan-karyawan toko itu kos di sekitar Kebondalem saja. Surip mulai tahu betapa picik matanya karena kurang mengenal lingkungan kotanya sendiri.
Purwokerto adalah magnet bagi warga sekitar untuk lahan mencari pekerjaan. Mereka datang dari desa-desa di sekitar Purwokerto bahkan beberapa kabupaten sekitar Banyumas seperti Cilacap, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga dan Tegal. Menjadi karyawan toko seperti Pramuniaga, Cleaning Service, Satpam, Kasir dan beberapa bagian administrasi menjadi incaran tenaga kerja tersebut.
Tidak sendirian Surip sekarang. Adi, Joko dan beberapa karyawan toko ditambah Sita pulang bersama karena satu jurusan. Pulangnya menembus kampung melalui jalan dan gang-gang sempit. Banyak saja tempat kos di sekitar beberapa kampung untuk menampung karyawan-karyawan toko. Adi yang orang Sokaraja belok menuju jalan jendral Soedirman mencari angkot sesuai jurusannya. Sedangkan Joko memang orang Kebondalem langsung sampai di rumahnya. Tinggallah Surip bersama Sita berjalan berdua.
“Jangan cepat-cepat Rip aku nggak bisa mengikuti langkahmu.” Sita cepat menyeret lengan Surip untuk bersama melangkah.
“He He He kukira kamu biasa jalan cepat Ta.” Surip mengalah tahu sebagai seorang perempuan Sita melangkah lebih lambat.
“Kemarin itu kamu begitu saja lewat depanku Rip, sombongnya minta ampun kayak nggak tahu saja kita satu bagian tempat kerja.” Sita berkata memandangi wajah Surip.
“Mana kutahu kamu itu pulangnya satu jurusan seperti ini, lagi pula sebenarnya tidak setiap hari aku lewat Kebondalem. Di depan Tamara Plaza itupun ada angkot jurusannya ke Beji.” Surip berkata memberitahu keadaannya yang tidak setiap hari lewat Kebondalem.
“Huh terlanjur tahu aku sekarang, temani aku pulang sampai simpang itu saja kan nggak apa-apa. Aku takut juga bila tahu-tahu ada lelaki tiba-tiba mencegatku.” Berkata Sita mengajak ngobrol Surip.
“Lah aku juga laki-laki, berarti sekarang aku yang mencegatmu di jalan ya.” Surip sedikit menggoda, segera ia menghadapi Sita di depannya menghadang.
Sitanya yang blingsatan, “Rip jangan menggodaku seperti itu!” Melengking suara Sita agak ketakutan.
“Nggak nggak deh, biar aku di sampingmu saja.” Surip tertawa kecil tak berani menggoda teman kerjanya lagi.
Mereka berdua baru berpisah sampai di depan toko Rita. Sita menyeberang berjalan kaki sendirian menuju Kauman Lama. Tinggal Surip yang merasakan ada kesan aneh terhadap Sita.
***
“Berapa gaji pertamamu Rip?” Berbisik Mbak Yuli seperti menyelidiki.
“Dua puluh ribu, entah benar tidak hitungannya mbak?” Surip berkata mendapati gaji pertamanya. Debar jantungnya masih keras karena merasakan hidup dalam bidang pekerjaan. Selama ini bila ada kebutuhan mendesak ia merengek kepada si mbok yang diketahuinya sering kesulitan keuangan juga.
“Lumayan Rip, gajiku saja yang sudah lama di sini cuma enam puluh ribu.” Rupanya mbak Yuli ini mencoba membanding-bandingkan keadaan dirinya dengan Surip yang karyawan baru.
“Lah kalau si Adi itu berapa upahnya mbak?” Surip bertanya ingat dengan teman yang beberapa hari ini terus dibantunya dalam urusan gula.
“Adi itu harian saja upahnya, ia masuk khusus urusan gula saat bulan puasa, statusnya tenaga serabutan.” Mbak Yuli menerangkan keadaan Adi yang ternyata nasibnya lebih mengenaskan dari pada dirinya.
Sekarang Surip tahu bidang kerjanya, melayani counter roti dan minuman di toko. Produk roti dan minuman semuanya harus melewati bagian gudang sebelum didisplay dalam rak-rak counter toko. Urusannya berupa stock barang, menerima permintaan counter dan mengurusi produk yang mana hendak dijual eceran pieces maupun eceran doos.
Surip berada di departemen gudang supermarket, tetangganya yang berada di lantai kedua disebut gudang departemen store. Sedikit berbeda kedua bagian tersebut. Gudang departemen store memakai seragam dan hari minggu libur sedangkan gudang supermarket full standby. Enaknya gudang supermarket seragamnya bebas kecuali bila ikut mengantar barang ke toko.
Kalau Siti itu bagian administrasi pembelian. Di bagian ini terdiri dari Endah dan Sari menerima order barang dari distributor atau sales untuk stock atau langsung masuk toko mengikuti besar kecilnya barang terjual.
Surip merasakan dirinya sangat kecil dibandingkan dengan karyawan-karyawan yang berada di toko. Bagian gudang ternyata merupakan bagian pekerjaan paling jorok orangnya. Tidak seperti pramuniaga yang berseragam dan memiliki aturan took, apa lagi dengan bagian kantor personalia yang bergengsi. Ada juga SPG yang modis-modis membuat lelaki mudah terpedaya.
Gudang supermarket terang benderang, lampu-lampu neon ditebar di berbagai sudut-sudutnya. Rak-rak dari besi memenuhi beberapa ruang utamanya untuk menyetok barang berdasarkan jenisnya. Satu item produk disusun rapi diberi kartu stock catatan masuk keluarnya.
Surip memandangi rak-rak yang diurusinya. Banyak debu biarpun setiap hari disapu. Rak-rak yang menjadi tugasnya berupa roti, snack dan minuman ringan. Roti terdiri dari kemasan bungkus maupun kalengan. Produk utamanya bermerk Nissin, Khong Guan, Roti Marie Regal dll. Kalau minuman kemasan terdiri dari kopi berbagai merk, teh dan berbagai snack seperti Chiki, anak mas dll. Tapi kalau dilihat sepintas lalu langsung ketahuan barang-barang yang menjadi stock sampai berminggu-minggu itu berarti barang tidak laku. Kalau barang cepat laku tidak sampai seminggu di gudang sudah dikirim ke toko.
Tugas Surip mengecek kondisi barang, tanggal kedatangannya dan asal-usul barang diorder. Misalnya dari distributor mana produk tersebut berasal sehingga nantinya bila ada barang rusak atau tidak laku bisa segera diretur.
Jika ada order dari toko Surip segera mengepakkan barang yang diminta kemudian memberinya lebel harga dan kode barang. Untuk harganya ia harus mengecek setiap hari ke komputer gudang di ruang depan.
Seperti hari itu seorang pramuniaga counter roti mendatangi gudang.
“Lah ini kenapa barang belum dikirim Rip, rak toko sudah kosong. Ayo sekarang saja dikirim!” Pramuniaga itu seorang perempuan kurus bila berbicara dengan Surip sering marah-marah.
“Itu barang belum beres urusannya, kalau faktur dari pembelian sudah sampai ke tanganku baru berani aku kirim ke toko mbak. Lagi pula harganya sudah berubah harus dicek lagi di komputer.” Surip terpaksa menerangkan kondisi barang yang hitungan tanggal diterima tepat baru empat lima jam. “Tunggu Mbak Sari dululah mbak.” Surip tetap ngotot dengan pendiriannya.
“Pakai harga lama saja, nanti di toko bisa dirubah!” Meninggi suara perempuan kurus itu minta agar diselesaikan masalahnya.
“Ya sudahlah saya cek dulu ke ruang depan, biar Mbak Sari yang bisa mengeluarkan.” Surip ambil keputusan cepat.
Ia segera menuju ke ruang depan, wah ternyata Mbak Sari sedang pergi, yang ada Mbak Endah bagian pembelian departemen store.
“Mbak Siti mana Mbak Sari, aku tak bisa mengeluarkan barang ke counter. Fakturnya belum terima.” Surip segera mencoba memberitahu Sita administrasi.
“Oh faktur Wicaksana, ini ada tetapi belum dikasih harga, coba cek ke komputer Rip siapa tahu sudah masuk.” Sita memberikan faktur barang terima ke Surip.
Deg!!!
Surip merasakan sentuhan lembut ditangannya. Ada rasa senang mendapatkan perhatian dari Mbak Sita. Sesaat perasaan bergelayut hingga dicoba disangkalnya sendiri. Mulai Surip merasakan perbedaan antara lelaki dengan perempuan.
“Kenapa aku ini, Sita kan teman kerjaku?” Surip bertanya sendiri dalam hati.
Faktur barang sudah diterima Surip segera ke ruang sebelah dulu menemui operator komputer. Dimintanya segera mengecek di komputer apakah faktur sudah masuk data atau belum. Ternyata positif hasilnya, kode dan harga boleh dianggap sesuai. Barulah Surip melayani pramuniaga toko tersebut,
“Barang boleh keluar, fakturnya saja yang terlambat sampai di gudang.” Surip memberitahu dan segera mengeluarkan barang, melabeli dan mengangkat ke depan boks mobil untuk siap diantar ke toko.
Terkadang Sari bagian pembelian justru mendekatinya,
“Ini barang baru Rip langsung saja dikeluarkan agar bisa mendapat jatah tempat di rak. Jadi pembeli bisa cepat mengetahuinya.” Perintahnya sambil menunjuk barang yang sebenarnya sudah beberapa hari datang di gudang tanpa keterangan. “Menurutmu berapa harga yang pantas untuk item ini?” Wah Mbak Sari pembelian ini malah sering menguji Surip urusan pemberian harga jual.
“Ah lihat harga pokoknya saja mbak, biasanya supermarket mengambil untung berapa persen. Tambahkan sajalah. Tapi tak apa kalau coba-coba barang baru lebih mahal sedikit. Mungkin di supermarket lain belum ada jadi belum ada saingannya.” Surip berkata seraya mengambil satu buah barang baru yang hendak dipajang di toko.
Surip tak sengaja jadi penentu harga jual barang-barang di toko. Padahal itu bukan tugasnya. Yang Surip bingung itu dirinya jarang ke toko tapi sering diminta pendapatnya.
“Huh aku ini tidak hobi belanja. Bisa-bisanya aku mengurusi harga jual begitu rupa. Harusnya itu tugas perempuan. Biasanyaa kan perempuan sering membanding-bandingkan harga murah antar toko dengan toko lain baru kemudian berburu barang-barang tersebut. Lebih cocok Sita yang diminta pendapat.” Hatinya bicara dan sampai ke nama Sita administrasi, jantung Surip jadi berdebar-debar.
Surip pun sekarang sering bercermin diri. Pipinya terkadang tumbuh jerawat besar-besar. Benar-benar bikin jengkel, sering jerawat-jerawat itu dipijatnya sampai keluar darah. Hasilnya malah makin tumbuh tak terkendali. Mukanya diam-diam panas entah mengapa. Yang membuatnya makin heran Sitanya juga tambah sering minta ditemani bila waktunya pulang kerja.
“Rip kita ke toko dulu, aku mau ngebon telur barang sekilo baru kita pulang bersama-sama.” Sita berkata suatu hari saat hendak berjalan pulang. Poninya di kening terkadang disibak membuat dahinya yang lebar terlihat.
“Baik tapi jangan kelamaan ya, eeh rupanya bisa ngebon dulukah bila beli di toko?” Surip berkata heran. Sri Ratu itukan swalayan, biarpun karyawan bila belanja tetap langsung harus bayar tunai di depan kasir.
“Oh itu barang sulit diretur Rip. Bila stock masih kebanyakan bagian display barang cepat-cepat menawarkan kepada orang-orang sekitarnya sebelum barang rusak. Ayo biar kubonkan barang sekilo, siapa tahu ibumu di rumah kepengin beli juga.” Wah Sita ini jelas jeli urusan tetek bengek di dalam toko.
“Baiklah terserah kamu Ta, tapi jangan buat aku yang merepatkanmu ya.” Surip tak bisa menolak, urusan seperti ini Sita termasuk jagonya.
Akhirnya mereka berdua menuju ke toko bersama-sama. Surip benar-benar jarang masuk pasaraya Sri Ratu. Kerjanya di gudang benar-benar tempat paling kotornya diantara beberapa bagian lain. Sampai di toko beberapa pasang mata sudah menatap kedua makhluk berlainan jenis ini, pasti macam-macam tanggapannya.
Cukup lama Surip menunggu, beberapa karyawan yang dikenalnya di toko sempat ngobrol dengannya,
“Tak biasanya kamu di sini Rip, menunggu siapa?” Karyawan tersebut bertanya.
“Itu!” Surip menunjuk Sita yang sedang memilih butiran-butiran telur.
“Oh mbak Sita, kalian pacaran ya. He He He Sita itu lebih tua darimu loh Rip.” Sembarang karyawan toko itu berkomentar.
Disebut pacar Sita Surip blingsatan. Ada rasa senang membelah-belah dadanya.
“Jadi kayak gini yang disebut pacaran?” Surip bertanya kepada karyawan toko tersebut. “Nggak lah kami cuma berteman kok.” Langsung disangkalnya sendiri.
“Ha Ha Ha ……” Karyawan toko tersebut mentertawakan Surip tapi sambil mengacungkan jempolnya.
Pulang bersama Sita mereka berdua ngobrol,
“Hei Ta lama-lama aku yang harus menghindarimu loh. Banyak yang mengawasi kita nih.” Surip coba memberitahu Sita.
“Peduli amat Rip, nanti juga mereka tahu kalau tak ada hubungan apa-apa diantara kita.” Sita berkata ketus, terus berbicara. “Ada kenalan lamaku sudah beberapa bulan ini apel di rumahku. Tapi aku belum memutuskan apa-apa.”
Bukan main! Surip langsung seperti pingsan mendengar ada seorang lelaki lain sudah rutin berkunjung ke rumah Sita. Dadanya berguncang keras, sulit sekali dirinya mengontrol. Pandangan matanya agak nanar hingga tak merespon obrolan Sita.
“Rip kenapa diam saja, jangan seperti itu kamu!” Sita mengingatkan Surip.
Surip terkejut, “Iya ayolah kita cepat pulang. Angkot cuma sampai jam lima sore.” Cepat Surip melangkah tergesa-gesa maunya menghindari teman perempuannya ini.
Beberapa kali Surip sempat singgah di kios darurat Sakura Store. Mas Sehak masih bersedia menemaninya biarpun sudah sore sekali, lumayan ada tambahan uang menyewa dari Surip.
“Pak Jamaludin sudah pindah ke Wangon. Ada saja berkunjung ke rumah Ayah di Kauman Lama.” Mas Sehak sekedar memberitahu Surip tapi juga seperti mengujinya.
“Ah itu urusan orang tua mas. Aku tak paham sama sekali dengan keadaan Pak Jamaludin. Sampai setengah tahun ini aku tak singgah lagi di tempat Pak Anwar. Mungkin program latihan di sana juga sudah terhenti.” Surip berkata keadaan dirinya yang sudah lepas sama sekali dari keanggotaan perguruan.
“Justru aku pernah bertemu Pak Anwar, beliau di toko bangunan membeli semen. Katanya sekarang program latihan mulai berjalan lagi.” Berita itu sampai juga di telinga Surip.
Surip berpikir sejenak,
“Harusnya Pak Anwar menghubungiku bila program di langgar Mangga Sholat itu diadakan lagi mas. Bila tidak berarti itu bukan atas nama perguruan Al-Jurus lagi.” Coba Surip menebak keadaan yang terjadi sekarang. Ini hanya pemberitahuan dari Mas Sehak, Surip tidak bisa menjadikannya sebagai bukti kuat.
“Bisa jadi Rip, sekarang Pak Anwar mengandalkan pemilik langgar. Tak mau lagi dihubungi bekas-bekas siswa Al-Jurus seangkatannya.” Mas Sehak membenarkan karena merasa cukup banyak informasi yang didapatnya.
“Yang jadi masalah itu Al-Jurus adalah milik Pak Jamaludin. Bila anak buahnya menyelenggarakan sendiri bagaimana reaksinya? Bila tak ada sama sekali Pak Jamaludin itu menghubungi bekas-bekas siswanya berarti Al-Jurus sudah bubar.” Surip menganalisa sendiri.
“Setahuku Pak Jamaludin tak lagi memikirkan perguruan Al-jurus. Beliau sekarang lebih sering berkunjung ke tempat Ayah di kauman Lama. Mungkin sekarang Pak Jamaludin lebih berurusan dalam pengajian mengikuti jamaah masjid besar kauman Lama.” Mas sehak lagi-lagi memberitahu.
“Memangnya ada hubungan apa lagi Pak Jamaludin dengan pengurus masjid Kauman Lama mas?” Surip jadi bertanya.
“Asal-usulnya Pak Jamaludin itu keluarga besar jamaah masjid Kauman Lama, jadi biarpun tinggalnya di Jatiwinangun tetap saja bila ada pengajian diikut sertakan di masjid tersebut.” Mas Sehak melanjutkan lagi. “Keluarga Pak Jamaludin itu ulama pengurus masjid Kauman Lama jadi masih berkerabat dengan Ayah di perguruan Al-Husna. Pendidikannya pun tak jauh-jauh amat selalu berhubungan bidang agama yaitu IAIN Purwokerto.”
Uh Surip seperti mendapat banyak informasi tetapi ia sulit menempatkan dirinya dalam keluarga besar orang-orang Kauman Lama tersebut. Dalam pandangannya ia tahu kini kenapa seorang Pak Jamaludin tak mau menjadi jamaah langgar sekecil Mangga Sholat. Tentu itu karena merasa dirinya lebih memiliki jaringan yang luas dan berpengaruh di kota Purwokerto. Masjid besar Kauman Lama adalah masjid tinggalan bekas kabupaten Purwokerto sebelum perpindahan ke Kauman Baru di Alun-alun sekarang. Urusannya lebih kekerabatan yang sangat berpengaruh di Purwokerto.
“Bila begitu orang seperti aku ini bukan apa-apanya Pak Jamaludin. Ibaratnya aku bisa berlatih di perguruan Pencak Silat Al-Jurus itu sudah sangat keberuntungan buatku.” Surip tak lagi menyinggung urusan perguruan. Posisinya terlalu jauh dari orang-orang berpengaruh di Purwokerto. Ia hanya seorang anak dari janda tua di desanya Beji. Dirunut-runut kemanapun turunannya cuma warga desa biasa saja.
Bila di Beji dan bertemu dengaan beberapa bekas anak-anak yang dilatihnya, ia sudah tak berstatus pelatih lagi.
“Deneng latihane mandeg Rip. Nyong nembe latihan gutul jurus enem loh. Jajal programe dianakna maning. Kowe kae sing paling kendel nglatih dewekan.” Bekas temannya yang dilatih berkata. Busyet Surip diadang-adang untuk mengembangkan lagi program latihan Pencak Silat.
“Nyong wis kesel, wektune entong nggo nyambut gawe. Perguruane ya wis ora aktif, ora nana program apa-apa maning.” Terpaksa Surip memberitahu sekedarnya supaya tidak didesak-desak teman-temannya lagi.
“Nyambut gawe nang ngendi kowe Rip?” Temannya mulai tertarik masalah lain.
“Nang Sri Ratu bagian gudang.” Surip pun lebih suka bercerita tentang pekerjaannya dari pada perguruan Al-Jurus yang sudah tamat riwayatnya.
“Lah nyong sering nang Sri Ratu ora tau kepethuk kowe, kaya ngapa gaweane Rip?” Lagi temannya bertanya.
“Nyong nang gudang jalan Pramuka. Jarang maring toko, sing penting nyambut gawe nggolek duit.” Surip menjawab asal-asalan.
“Pira gajine Rip?” Namanya sudah kerja temannya mendesak bertanya ke urusan ini.
“Sethithik, paling-paling sewulan sewidak ewu.” Surip enak saja ngomong.
“Wah ya mending kowe berarti, si Panut dadi honorer nang kecamatan jarene mung telung puluh lima ewu. Padahal sekolahe nang IKIP.” Temannya membandingkan antara Surip dengan salah satu tetangganya soal kesejahteraan. Itu memang sudah kebiasaan masyarakat di manapun.
Pagi jam tujuh Surip baru bangun tidur. Biarpun mendengar suara adzan subuh tetap kesulitan bangun. Soal sholat Surip sering tertinggal alias nihil. Tubuhnya terasa capek jika pulang dari tempat kerjanya di gudang. Terkadang masih sempat bermain ke rumah tetangganya tapi tak berani begadang lagi. Jika terkena jatah ronda, alamat di gudang hanya ngantuk melulu.
“Rip ana duit ra, si mbok minta dua puluh ribu setiap bulan ya?” Ibunya berkata meminta bantuan kepada Surip. Itu awal-awal bulan Surip bekerja.
“Nih gaji pertamaku mbok, gajiku nggak banyak paling-paling cukup buat makan dan naik angkot pulang pergi ke tempat kerja.” Surip memberitahu keadaannya. Bekerja sebagai karyawan gudang gajinya tak seberapa. Diibaratkan upah harian hanya berkisar dua ribu rupiah perhari. Untungnya status karyawan gudang adalah karyawan tetap alias dihitung bulanan. Upah lembur tak pernah tercantum. Kerja dari jam delapan sampai jam empat sore hanya terkena delapan jam alias sesuai aturan perburuhan.
Ternyata kemudian Surip mendapati ibunya tetap minta diberi uang barang sepuluh dua puluh ribu perbulan. Terpaksa Surip menghitung menjadi jatah untuk ibunya ini. Terpangkas banyak sudah gajinya.
Hitungannya angkot pulang pergi dua ratus rupiah jadi sehari empat ratus rupiah. Satu kali makan siang antara tiga ratus empat ratus rupiah. Jadi harus disisihkan sekitar seribu perhari. Itu sudah sangat sederhana banget, soalnya uang tiga ratus empat ratus rupiah itu cuma bisa beli nasi sayur tanpa ikan. Kalau nambah ikan atau telur tambah banyak pengeluarannya.
Separoh gaji sudah untuk keperluan wajib, barulah sisanya untuk menambah kebutuhan lainnya. Baju barang tiga bulan sekali bisa dibelinya, juga sandal dan sepatu. Untung gajinya tak terpotong untuk seragam. Orang-orang gudang supermarket cukup berkaos bebas bila bekerja di gudang. Bahkan terkadang karena takut kotor cukup mengenakan celana pendek.
Surip sering menelan ludah saat gajian, dengan teman-temannya tentu tidak seberapa besar selisihnyaa. Terutama dengan karyawan-karyawan yang sudah lama bekerja. Gaji pokok mereka cukup tinggi, tapi kenaikannya sangat lambat mungkin pertahun hanya lima ribu rupiah saja. Yang bikin iri itu bila saat gajian terlihat tumpukan uang gaji di meja kabag gudang, ternyata sebagian besar ludes diambil pak Surya. Gajinya sebagai kabag gudang mencapai empat ratus ribu rupiah, sangat besar untuk gaji-gaji karyawan setingkat itu di tahun Sembilan puluhan.
BAB 10
Seluk Beluk Bekerja di Bagian Gudang.
Diah orang gudang departemen store memandangi Surip,
“Sebal aku, setiap kali masuk karyawan baru di gudang supermarket selalu berantakan cara kerjanya.”
Surip saat itu sedang memasukan barang permintaan dari toko ke mobil bak tertutup. Merasa dicela seseorang Surip pun balas memandang.
“Itu atur yang lebih rapih Rip, bagian departemen store harus terpisah jangan sampai kena debu-debu rotimu.” Diah berkata seperti menegaskan apa yang dituduhkannya tadi.
“Ah kayak nggak pernah makan roti saja mbaknya ini.” Ketus Surip menjawab. “Baknya sempit mana mungkin rotiku ditumpuk sebanyak ini, lebih baik gantian saja mengantarnya.” Coba Surip memberi alasan.
Si Diah tambah sewot,
“Barang kami harus masuk secepatnya di toko, sudah banyak yang antri memesan. Jangan mengaturku Rip, memangnya apa bisamu!” Diah yang galak menantang Surip.
Terjadi cek-cok diantara keduanya. Diah ini mengurusi counter fashion, berhadapan dengan Surip sering tidak cocok. Belum-belum orang departemen store ini menganggap Surip terlalu kampungan.
“Huh hanya orang desa, bisanya apa!” Itu awal-awal Surip dilecehkan Diah.
“Hei ayo kerja jangan cek-cok seperti itu. Rip biar barangmu diturunkan dulu. Barang departemen store harus didahulukan.” Asisten departemen store menengahi tapi juga membela anak buahnya.
Surip tak bisa berbuat apa-apa, hari itu roti bertumpuk sampai sore pun tak bisa diangkat ke toko. Surip disisihkan kepentingannya, hari itu mobil gudang mengantarkan barang-barang departemen store.
Gantian Surip yang kena komplain oleh Mbak Sari. Juga orang-orang bagian penjualan toko beberapa kali bertanya. Surip kelabakan seharian, pekerjaannya terhambat bahkan gagal mengantar sampai jam pulang kerja berbunyi.
“Mbak Yuli, bagaimana sih kerja kita ini. Terlantar barang-barangku nanti. Aku nggak enak dengan orang-orang toko itu.” Surip mengeluh dan mengadukan masalahnya kepada Mbak Yuli.
“Memang seperti ini dari dulu Rip, orang-orang gudang supermarket sering tak berdaya bila bagian departemen store ada maunya.” Mbak Yuli memberitahu.
Surip mulai merasakan hubungan tak serasi antar departemen biarpun itu sesama bagian gudang. Dari penampilan saja terlihat orang-orang gudang departemen store lebih bersih dan wangi. Orang-orang departemen store pekerjaannya kasar dan jorok. Beberapa barang seperti makanan kecil, kerupuk ataupun makanan kalengan bila tak laku akan membusuk. Memang bisa diretur, tetapi menunggu returnya cukup lama sehingga menebarkan bau tak sedap.
Kabag gudangnya Pak Surya tidak peduli dengan orang-orang di belakangnya. Terlihat ia seperti menghadapi beberapa masalah dari atasan. Masing-masing lebih mementingkan kelompoknya sudah dari pusatnya di Semarang.
Persaingan kerja terjadi, tak akan tampak dari luar. Apalagi oleh pengunjung-pengunjung pasaraya yang berbelanja. Pengunjung-pengunjung itu tahunya berbelanja di tempat paling bergengsinya di Purwokerto. Tamara Plaza atau Sri Ratu menjadi barometer pusat perbelanjaan di Purwokerto. Pusatnya di Semarang pun merajai, beberapa cabangnya ada di Semarang dan Pekalongan. Pesaingnya di Purwokerto adalah toko Rita. Tak kalah ramainya, tapi untuk sementara ini gengsinya merana karena kehebatan group Sri Ratu kuat sekali di Jawa Tengah.
Toko Rita yang asli Purwokerto tadinya pemain eceran paling besar. Dulunya orang-orang Purwokerto bila berbelanja pasti lebih mengenal toko ini. Adanya saingan dari Sri Ratu toko Rita masih mampu meredam. Tak mungkin memperluas gedung pertokoan di Kebondalem, toko Rita membuka cabang di beberapa daerah sekitar kota Purwokerto. Bahkan sudah berani coba-coba membuka cabang di daerah lain seperti Cilacap, Tegal, Kebumen dan Purbalingga. Sedangkan group Matahari dari Jakarta berada di seberang toko Rita menempati kompleks ruko Kebondalem. Tak berani lagi menggunakan nama toko Matahari langsung berganti Super Ekonomi. Soalnya ada toko Matahari di seberang pasaraya Sri Ratu yang kebetulan namanya dicatut oleh group Matahari Jakarta.
“Kita ini bisa melawan apa dengan oraang-orang Cina itu. Modal mereka bukan main, semuanya raksasa menggurita dalam birokrasi pemerintah daerah. Bayangkan Kebondalem ini rencananya hendak dijadikan THR, tapi sekarang hanya terlihat ruko dan tempat usaha besar-besar. Jaringan pemborong THR Kebondalem merubah segala rencana Pemda.” Mas Sehak menunjuk deretan ruko-ruko yang salah satunya ditempati group Matahari Jakarta. Kios darurat terlalu kecil ukurannya untuk usaha apapun.
“Pasar tradisional Sarimulyo dipertaruhkan, tetapi pengunjungnya sepi. Harganya kalah bersaing dengan swalayan-swalayan seperti toko Rita dan Super Ekonomi. Paling-paling kelebihannya pasar tradisional jual kembang untuk sajen, krupuk-krupuk murah buatan lokal atau sayur dan ikan dari beberapa tempat di sekitar Purwokerto.” Lagi Mas Sehak membanding-bandingkan.
“Biarpun KBPS Al-Husna punya pengaruh besar di Purwokerto tetapi tempat-tempatnya lebih ke ruang-ruang publik seperti pasar, terminal, stasiun dan taman wisata Baturraden. Urusannya soal keamanan lingkungan, bukan perang modal seperti group-group usaha milik Cina itu.” Masih mas Sehak berkata sedikit menyinggung urusan yang berkaitan tentang orang-orang perguruan.
Surip yang mendengar kata-kata Mas Sehak hanya meleletkan lidah saking tak berdaya karena berada di posisi yang paling rendah.
“Ada berita Hery Best masuk terminal, bersaing dengan beberapa orang di sana berebut pengaruh di blok trayek jurusan Jakarta-Purwokerto.” Mas Sehak memberi informasi.
Surip termangu kemudian berkata, “Kata orang mas Hery itu guru di sekolah SMP, kok sekarang pindah kerja?” Surip jadi bertanya.
“Hery Best jelas mencari pendapatan tinggi walaupun resikonya ia dikenal sebagai preman daripada mengajar di sekolah menengah yang gajinya kecil.” Mas Sehak berkata lagi, “Ini juga gara-gara kelakuan kerasnya di tempat kerja, Hery Best keluar dari pekerjaannya sebagai guru karena membuat perkara tindak kekerasan.” Mas Sehak melanjutkan keterangannya, “Blok trayek jurusan Purwokerto-Jakarta paling besar upetinya dari pada jurusan lain.” Sambungnya lagi.
“Aku ini hanya dipasang di balai desa Purwokerto Lor. Tapi syukur-syukur aku nanti bisa jadi perangkat desa. Itu sudah cukup buat hidupku selanjutnya Rip.” Ini dia jati diri mas Sehak.
Sekali ada Surip pulang ke Beji memakai angkutan kota. Penumpang berjubel sesak tak menyisakan tempat. Tapi kursi di samping sopir hanya terisi satu orang. Sopir dan kernet tampak begitu segan dan takut berurusan dengan penumpang di samping sopir. Suaranya galak dengan temperamen hendak memukul antara menghajar sopir dan kernet angkutan kota.
Penumpang itu hanya turun di simpang Universitas Jendral Soedirman Purwokerto untuk kemudian pindah angkot lain menuju Baturraden. Saat turun itulah Surip mengenalnya sebagai atlet dari perguruan Maruyung. Tampak sekali bila sekarang orangnya sudah menjadi preman.
Setelah berpindah angkot barulah sopir dan kernet itu bercerita,
“Itu anak buah Hery Best. Orang-orang terminal semuanya takut berurusan dengan kelompok itu.” Sopir bicara.
“Kita sih bukan takut dengan gertakannya, berurusan dengan kelompok Hery Best tak aman bila tetap di terminal. Itu saja tidak tidak enaknya.” Kernet memberi keterangan.
Inilah yang disaksikan Surip, sudut-sudut kota Purwokerto yang merupakan dunia beladiri. Tak tampak di permukaan, ternyata di dalamnya terjadi pergulatan seru untuk perebutan pengaruh dan ladang pendapatan.
Kalau soal keamanan, bukan main!
Purwokerto tidak pernah bergolak biarpun di beberapa tempat terjadi demo anti pemerintah Orde Baru. Itu terbukti tahun-tahun Sembilan puluh tujuh hingga tahun dua ribu. Seolah-olah ada pengendali yang tak tampak sebagai rujukan keamanan sekitar wilayah Banyumas.
Kembali kepada Surip di gudang Sri Ratu,
Gadis bernama Sita mulai mengusik Surip. Rutin pulang bersama membuat Surip tahu dirinya menaruh hati kepada Sita. Perasaan suka jelas ditunjukan dengan semacam pengorbanan. Maunya komitmen terjadi tetapi Surip sulit mengungkapkannya.
“Mbak Sita terus terang aku tak enak hati denganmu. Banyak yang melihat kita berdua setiap hari bersama.” Surip mulai meraba-raba.
“Ah Rip biarkan saja kata orang-orang itu. Aku sendiri lagi bingung tentang pacarku setahun ini.” Sita justru terbuka mengenai dirinya.
Panas bukan main hati Surip, serasa dunia ini gelap. Sita sudah punya pacar, bukan dirinya yang dimaksud tapi orang lain.
“Aku sedang menanti kepastian hubungan dengan pacar lamaku. Ia seorang pegawai negeri, sekarang pindah ke Semarang. Aku coba tetap setia untuknya.” Sita berkata seolah-olah terhadap teman biasa.
Surip makin blingsatan, gundah sekali hatinya. Ia bukan seorang lelaki yang menarik untuk seorang wanita seperti Sita ini. Ada perasaan tak terima di hati Surip. Yang diincar Sita ternyata lelaki-lelaki yang sudah mapan hidupnya dengan status pegawai negeri.
Dunia terasa kiamat.
“Aku bisa bertahan tidak menghadapi Mbak Sita ini?” Degup jantung Surip terdengar keras. Bayangan wajah Sita terus mengikutinya. Apa-apa saja yang ada pada Sita telah menarik perhatiannya. Gaya jalannya sampai hafal dengan perasaan sayang. Lagi bila Mbak Sita menyibak rambutnya dengan tangan, cara-cara seperti itu membuat Surip makin terpikat.
Di tempat kerja bila ada lembaran-lembaran tugas yang dikerjakan Sita Surip sangat mengenalnya. Tanda tangan yang terbubuh sebagai bagian administrasi sudah mendebarkan jantungnya saking kenalnya. Goresan tangan itu sangat terpatri di dadanya.
Itulah isi hati Surip sekarang, yang ada hanya bisikan nama Sita dengan segala ungkapan perasaaan. Surip merasakan perasaan seperti ini sebagai hal aneh, jauh lebih kuat dari pada saat menghadapi masa-masa sulit pendidikannya di SMA.
Perasaannya terbawa sampai hatinya cemas bukan main, juga badannya ikut tegang membuat beberapa kegiatannya terbengkalai. Ia asing dengan dirinya sendiri, yang ada ia merasa masih bekerja dan mencoba bertahan betapapun hatinya tersiksa rindu belaian wanita.
Sore hari saat pulang turun hujan, Surip sudah memiliki persiapan. Sebuah payung di tangan dikembangkan melindunginya dari jatuhnya tetesan air dari langit.
“Hei Rip aku ikut denganmu!” Sita yang dari tadi menunggu hujan reda berteriak mencegat Surip yang akan meninggalkan gudang.
Mana tega Surip melihat keadaan Mbak Sita. He He He yang bikin agak sebal ternyata usia Sita ini terpaut setahun lebih tua, jadinya ia harus memanggil mbak sebagai kehormatannya.
“Hayo Sita main dengan Surip ya!” Sari dan Endah bagian pembelian tahu keduanya sering pulang bersama sempat menggoda.
Merah padam muka Surip, juga bingung dengan statusnya. Kalau teman itu pasti, tetapi hatinya sudah punya kelainan.
“Ha Ha Ha biarin mbak, Surip ini setia kawan sekali loh denganku.” Sita berkata langsung menghambur masuk naungan payung Surip yang cukup lebar.
Biar payung lebarnya seperti apa tetap saja keduanya berdesakan. Surip mencium aroma keringat perempuan, uh sangat merangsang. Makanya ia yang terpaksa membiarkan Sita menyenggol dirinya. Surip bertahan untuk tidak merangkul perempuan yang sudah sering masuk mimpi-mimpi tidurnya. Seorang perempuan yang dianggapnya dewasa dan sangat ideal karena dalam pandangannya menjadi sangat sempurna.
“Mbaknya saja yang pegang payung, biar aku di sampingmu.” Surip berkata merasakan kata-katanya sebagai lelaki yang melindungi perempuan.
Mereka berdua berjalan kaki di aspal yang basah, gang-gang yang becek menembus hujan. Lagi-lagi dalam perjalanan pulang Sita bercerita keadaan dirinya.
“Sudah tiga bulan ini aku didekati lelaki lain. Orangnya pegawai Pemda kabupaten. Tinggalnya di Kencana Peni. Rip aku benar-benar bingung harus pilih yang mana. Aku masih menunggu kepastian dari pacarku yang di Semarang. Sebulan yang lalu ia masih menghubungiku melalui telepon.” Mbak Sita berkata seperti berbisik di telinga Surip, aduhai romantis banget. Tapi Surip bukan tandingan lelaki-lelaki yang mendekati Mbak Sita ini, semuanya pegawai negeri statusnya.
Gelisah hati Surip, dicobanya bertanya,
“Bagaimana pendekatan lelaki terakhir itu, serius nggak menurut mbak?” Surip berkata parau merasakan derita hatinya yang seperti dikesampingkan kehadirannya oleh gadis yang justru dipujanya ini.
“Kalau dari pendekatan serius, ia selalu menyediakan waktu bila aku membutuhkannya. Pernah sekali orangnya memberikan uang cukup banyak kepada ibuku.” Mbak Sita begitu rinci menceritakan kelebihan lelaki tersebut.
“Lah kalau aku yang pedekate denganmu bagaimana?” Surip yang jadi tempat curahan hati Sita jadi memancing.
“Jangan Rip, aku ingin ada orang sepertimu di sampingku. Jika ada yang bertanya biarkan saja orang lain beranggapan kita pacaran. Padahal aku sudah punya yang lain.” Enteng sekali Mbak Sita berkata. Aduh posisi Surip cuma pengawal tak berguna, itu dari kata-kata Mbak Sita barusan.
Plaak! Surip memukul kepalanya sendiri tak berani lagi berkomentar.
Mendekati toko Rita Surip yang kebingungan,
“Wah mbak kamu kehujanan nanti setelah menyeberang jalan. Pakai sajalah payungku ini biar aku cepat lari ke halte sana!” Surip yang posisinya pemilik payung tahu Mbak Sita masih cukup jauh menuju rumahnya. Surip pernah menyusuri jalan pulang Mbak Sita ini. Itu nanti ketemu dengan sekretariat KBPS Al-Husna.
“Nggak apa-apa Rip, rumahmu masih jauh lebih baik tetap berpayung.” Mbak Sita memberikan payung ketangan Surip. Hujan belum reda, Surip yang tak tega karena Mbak Sita langsung terkena percikan air hujan.
“Nggak bawa saja payung itu, biar aku lari cepat ke halte itu!” Surip yang tak tega menghambur lari cepat meninggalkan Mbak Sita.
Mbak Sita melambai-lambaikan tangan sempat berteriak, “Terimakasih Rip besok kukembalikan payungmu!” Setelah itu gadis tersebut menyeberang jalan.
Surip merasakan betapa besar timbulnya perasaan sayang terhadap Mbak Sita ini. Ia merasakan itu bagian dari pengorbanan yang harus dilakukannya. Hujan tetap deras bahkan sampai di Beji, Surip pulang dalam keadaan basah kuyup. Malamnya tak bisa tidur karena berbagai perasaan selalu lari kepada perempuan teman kerjanya.
Kalau di dalam gudang saja tidak serasi. Maka antar bagian dalam pasaraya juga berbeda-beda pertikaiannya. Mungkin yang mempersatukan semua bagian adalah pendapatan mencapai kesejahteraan. Pertikaian-pertikaian di dalam struktur pejabat pasaraya Sri Ratu Surip merasakannya. Bagi orang-orang bawahan seperti mereka hanya menambah tekanan-tekanan dari atasan yang berbeda-beda kehendaknya.
“Manager pemasaran toko datang, pasti ada masalah lagi.” Mbak Yuli berkata kepada Surip. Setelah itu menyambut seorang atasan toko. Orangnya berperawakan besar berambut keriting. Datang-datang sudah dengan muka tak ramah.
“Orang-orang gudang supermarket semua berkumpul, meeting di kantor pembelian.” Perintahnya dengan suara galak mengandung berbagai ancaman tuduhan salah terhadap karyawan. Ia langsung menunjuk seseorang,
“Yul kalian ini bagaimana? Barang jika keluar dari gudang segala label harga dan kode itu harus tercantum, ini banyak salahnya! Orang-orang di kasir sampai menahan barang agar jelas dulu statusnya. Ini terutama untuk barang-barang roti dan minuman. Siapa yang pegang!” Katanya langsung seperti menunjukan kesalahan di lapangan.
Ternyata itu bagian Surip, jadi ia mengacungkan jarinya. Manager pemasaran itu melotot melihat Surip yang mengacungkan jari tangannya. “Hei yang sopan jika berhadapan dengan pimpinan. Jangan membungkuk seperti itu!” Hardiknya terhadap Surip galak sekali.
“Saya hanya menurut bagian pembelian soal kode dan harga. Yang sering berubah itu harganya pak. Cuma terkadang ada barang yang sama harganya tapi berbeda jenisnya sering disatukan.” Coba Surip memberi penjelasan.
“Kamu menentangku ya, kalau salah akui salah!” Meninggi manager pemasaran bersuara. “Kamu jangan mengguruiku, di sini aku yang berkuasa.” Dijelaskannya lagi sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya.
“Sekarang mana kesalahanmu sudah tinggal diakui nanti diperbaiki dengan menuruti aturan atasan-atasanmu itu.” Katanya dengan muka tak senang. Ditunjuknya sebuah kemasan roti yang dianggapnya keliru memberikan kode dan harga yang tercantum.
Surip hanya mengiakan saja walaupun dalam hati berkata, “Ini bukan hanya aku yang melakukan kesalahan, tapi juga kan anak buahnya yang lain yang sering tak terkoordinir di dalam toko.” Tapi itu hanya terdengar dalam hatinya sendiri.
Surip terdiam tak bisa berkutik. Karyawan seperti dirinya memang selalu ditempatkan sebagai kambing hitam. Surip bingung dengan keadaan seperti ini, menurutnya ia sudah banyak menuruti orang-orang yang dianggapnya sebagai atasan terutama di gudang. Tetapi bagian lain di toko ternyata menunjuk dirinya sebagai biang kesalahan.
Sampai pun meeting berakhir Surip tak bisa membela diri. Jika dirunut kadang aneh, bagian lain di counter hanya dipegang seorang asisten selalu bisa kompromi dengan orang-orang gudang. Tapi bagian counter roti selalu dianggap bermasalah walaupun roti yang terpajang laku dijual. Dicoba oleh Surip untuk sedikit diselidiki, ternyata gara-gara asisten counter yang dipegangnya terlalu mudah diatur manager pemasaran. Jadinya jika ada sedikit kesalahan asisten counter roti mengadukan kepada manager pemasaran untuk ditangani. Surip jadi tempat terakhir tertuduh kesalahan karena menjadi tempat berasal segala kiriman counter yang dipegangnya.
“Ini gara-gara Asisten counter roti di toko tak mau disalahkan, padahal urusan itu harusnya sudah selesai di dalam toko tersebut.” Itu ujar Mbak Yuli saat meeting berakhir.
Yang menyebalkan Surip ada juga, yang ini terhadap sesama orang gudang .
“Hei Rip ini barangku termasuk minuman ayo tugasmu melabel!” Nah ini temannya bagian tisue dan obat.
“Ah itu teh jenis obat, itu tugasmu mas. Lagi pula cuma satu dua bungkus saja.” Surip menyanggah setelah tahu itu teh herbal, merknya teh hijau cap Korma.
“Aku tak peduli, cepat labeli nanti aku akan segera kirimkan ke toko!” Ketus temannya memerintah. Surip mencoba membantah. Tapi ternyata temannya tersebut mengadu kepada Asisten gudang supermarket.
Akhirnya yang maju asisten gudang supermarket,
“Rip apa salahnya kamu bantu temanmu ini, sesama orang gudang jika salah satu sedang repot yang lain harus cepat membantu. Ayo segera kerjakan! Ini peringatan buat counter yang lain juga!” Suaranya keras membuat keputusan yang terpaksa harus dituruti bagian-bagian yang lain.
Pas kena barang datang produk makanan sampai satu tronton, seharian penuh Surip mengurusinya sendiri. Ia harus mengecek jumlah setiap item produk roti dan berbagai jenis makanan kecil sendirian. Sampaipun mengatur di rak gudang tak ada seorang pun yang membantunya. Orang lain sok pura-pura sibuk!
Tapi soal-soal seperti itu Surip merasakan tidak sendirian. Terutama dengan bagian produk susu. Terkadang temannya si Joko bagian susu jika datang produk susu kaleng bukan main. Ia harus kerja keras banting tulang karena beratnya minta ampun setiap boksnya.
“Hari ini datang batu-batu gunung, seharian habis waktuku di gudang.” Katanya sambil mengelap keringat di dahinya. Sebutan batu itu merujuk pada susu kental manis seperti indomilk dan cap bendera.
“He He He rasain lu, untung masnya ini badannya gede, cukuplah buat olah raga hari ini.” Surip yang juga sedang banyak tugas tak mungkin membantu, paling-paling berkelakar sekedar mengisi waktu.
Yang paling banyak menyita tempat itu produk mie instan. Bila datang barang tersebut semua mengalah setiap sudut gudang bahkan sampai beberapa ruang dipembelian dan komputer terisi kotak-kotak mie tersebut. Untungnya mie instan cepat juga keluarnya sehingga bisa dimaklumi keberadaannya.
“Yang susah itu mie instan tak mungkin ditumpuk sampai menggunung, kapasitasnya hanya sampai delapan dus bertumpuk.” Kata orang yang mengurusi bagian counter mie instan. Bila ditumpuk berlebih esoknya sudah terlihat bagian paling bawah rusak.
Hiburannya orang-orang gudang sering dicari SPG cantik dari berbagai bagian. Tentu jika ada barang datang si SPG counter barang tersebut segera akan meminta bantuan orang gudang untuk ikut membantunya mengemasi barang.
Surip saja yang jarang ke toko tetap punya kenalan dengan SPG-SPG cantik tersebut. Ada SPG parfum Marlboro yang bak peragawati cantiknya. Tinggi, langsing dengan rambut selalu dirawat di salon, pokoknya mata ini sampai terbelak bila memandanginya. Surip sampai-sampai harus ikut membantunya, padahal produk parfum bukan bagiannya. Tak apalah itu cewek SPG punya perhatian sedikit menarik terhadap Surip. Surip sendiri merasakan seleranya sebagai lelaki sangat tertuju kepada cewek SPG Marlboro ini.
Sayang kalau hati, uh jauh di dalam sanubarinya hanya terisi Mbak Sita bagian adminsitrasi pembelian. Lebih sederhana penampilannya walau dari wajah cukup bersaing.
“Ada training baru ditempatkan di gudang, uh tambah banyak orang di sini.” Mas Agus bagian produk sikat gigi dan parfum bicara. Mas Agus ini yang punya tugas sampingan mengantar barang-barang ke toko. Kalau mbak Yuli tugasnya mencatat laporan penerimaan barang sebelum perminggunya diserahkan kepada bagian pembelian.
“Rasanya bagian gudang sudah penuh ya, mungkin mengganti Adi yang sudah keluar karena sudah tidak kerasan.” Mbak Yuli berkata, semua karyawan gudang merasakan keheranan dengan peristiwa masuknya orang-orang baru ini.
“Itu paling buat cadangan, soalnya ada orang gudang yang sering bikin ulah bermain di belakang.” Asisten gudang supermarket berbisik kepada Surip melirik seseorang. Oh itu ternyata bagian tisu, orangnya sok sering membangga-banggakan keluarganya yang ujar orang anggota baret merah (Kopassus).
Surip nyengir bila diberitahu tentang orang bagian tisue ini. Beberapa kali dirinya ditumpangi bila kirim barang ke toko. Yang namanya tisue itu dusnya besar tapi beratnya tidak seberapa. Bila nitip barang ke toko sering Surip harus ikut mengecek barangnya. Sering barang tersebut jadi bermasalah, orangnya bermain tak fair untuk keuntungan dirinya sendiri. Misalnya barang yang dikirim ternyata kondisinya rusak, toko terpaksa menerima karena alasan yang mengirim bukan tugasnya, sering Suriplah yang disalahkan walupun orang toko kemudian memakluminya. Pemegang counter tisue di gudang selalu punya dalih menghindari masalah. Pokoknya orang lain sering ikut repot.
Kini ketahuan sedikit belangnya, beberapa item barang tisue lenyap tidak pernah sampai ke toko. Entah tercecer di mana, itu yang mencurigakan hingga orangnya mulai diawasi. Dan kini sepertinya tinggal menunggu dikeluarkan dari perusahaan.
Kasus orang bagian tisu ini samar-samar. Rupanya perusahaan hendak mengeluarkannya secara tidak langsung. Rupanya perusahaan memperhitungkan asal-usulnya yang selalu mengandalkan keluarganya.
“Biar orang training baru itu diperbantukan di bagian Surip.” Mbak Yuli berkata memutuskan sesuatu. Ternyata Surip termasuk pemegang counter yang berat. Biarpun saat bekerja terkadang dibiarkan sendirian. Dalam kenyataannya Surip dinyatakan mampu menangani bidangnya tersebut.
Pak Surya tahu saja keadaan Surip, Joko dan Agus parfum, mereka terlihat bekerja sesuai kapasitasnya. Orang lain sering memanfaatkan kemampuan mereka dengan mendompleng tak mau kerja sendirian. Tentu berbeda counter-counter yang dipegang perempuan seperti Mbak Yuli, semua orang harus membantu.
Salah satu dari orang training masuk ke bagian Surip. He He He sekarang Surip jadi pembimbing karyawan-karyawan baru. Pelamar–pelamar kerja selalu mengenakan baju putih celana hitam. Surip masuk Sri Ratu pertamanya berseragam seperti itu, tapi kemudian ditempatkan di gudang yang peraturannya sangat longgar sehingga tak terpakai lagi. Kalau untuk kirim barang ke toko harus berseragam biru-biru tinggal pinjam sesama teman.
Begitulah Surip terus berusaha mempertahankan statusnya sebagai karyawan gudang. Tidak terasa sudah setengah tahun Surip berada di gudang Sri Ratu. Beberapa kali ada karyawan baru masuk terkadang keluar masuk karena ternyata tak kerasan di gudang. Surip merasa beruntung juga setamat SMA hanya menganggur paling lama tiga empat bulan. Sedikit kendalanya saat teman-temannya di gudang tahu ia lulusan sekolah menengah favorit di Purwokerto.
“Ah lulusan SMA favorit kerjanya cuma di gudang, berarti kamu itu termasuk murid tak berprestasi Rip.” Ada temannya menyinggung saat tahu bekas sekolahnya.
Surip tertawa saja kemudian berujar, “Masih mending aku jadi karyawan Sri Ratu, ada temanku yang ranking sepuluh besar sekarang cuma jadi loper koran. Padahal saat ujian masuk perguruan tinggi diterima di IKIP Yogyakarta. Itu semua tergantung kemampuan biaya pendidikan mas.” Surip menjelaskan.
Kenyataan yang ada, karyawan-karyawan Sri Ratu atau toko-toko besar yang lain di Purwokerto. Surip jarang melihat teman seangkatannya di SMA bekerja di toko-toko tersebut. Terdengar kabar teman-teman seangkatannya lebih banyak mengejar pendidkan yang tinggi. Kalau teman-temannya dari SMP ada di beberapa toko, bahkn pernah sekali ketemu dengan teman perempuan saat di SD hingga bersama-sama nonton film India di Kamandaka teater.
Sekali waktu ada Surip bertemu dengan temannya SMP. Rumahnya masih di kompleks masjid Kauman Lama. Surip langsung singgah di rumah tersebut, namanya Rahmat.
“Dulu sebenarnya ada reuni SMP Rip, tapi kami tak tahu rumahmu di Beji. Jadi tak ada undangan sampai ke sana.” Rahmat memberitahu kondisi teman-teman SMP Surip.
“Aku sendiri bingung Mat, di SMA negeri 1 tak ada teman sekelas yang sekolah di sana. Jadi rasanya terputus begitu saja hubungan dengan teman SMP.” Surip berkata apa adanya. “Padahal kamu itu ranking tiga di SMP, kenapa tidak berani mendaftar di SMA 1 Mat?” Tanyanya lagi.
“Aku benar-benar tak berani Rip, itu sekolah elit buat kami. Tapi tradisi keluarga kami sekolah agama lebih penting. Jadi lulus SMP langsung masuk SMA Maarif NU.” Rahmat menjelaskan keadaan dirinya. “Sekarang aku meneruskan di IAIN Purwokerto. Itu hanya tradisi keluarga, soalnya kakak-kakakku sudah kuliah di sana lebih dulu.”
Surip maklum keadaan keluarga Rahmat ini,
“Kalau begitu kamu kenal dengan Pak Jamaludin Jatiwinangun ya?” Coba Surip bertanya tentang guru besar perguruan Pencak Silat Al-Jurus.
“Kenal Rip, itu masih sanak famili dengan pengurus masjid Kauman Lama ini. Cuma keluarga tersebut sudah pindah ke Wangon. Paling-paling berkunjung saat ada acara pengajian, beliau sering jadi panitianya.” Itu kabar yang didengar Surip dari Rahmat.
“Eh kenal nggak dengan Mbak Sita administrasi pembelian Sri Ratu Mat?” Surip jadi teringat dengan Sita, dadanya terasa bergemuruh saat tahu dirinya berada di kampung kelahiran gadis yang mencuri hatinya tersebut.
Rahmat seperti berpikir, “Sita yang mana, oh paling Mbak Sita kakaknya Ira. Tahu tapi tidak akrab, adik-adiknya sering sholat jamaah di sini.” Rahmat memberitahu. “Dulunya bapak Sita yang sudah meninggal dunia itu pengurus masjid Kauman Lama biarpun hanya tukang bersih-bersih saja Rip.” Katanya dengan pandangan tertuju kepada Surip. “Hei Rip kenapa kamu itu?” Rahmat sedikit menyenggol Surip yang terdiam melamun. “He He He ada naksir dengan Sita ya, Rip Sita itu lebih tua dari kita. Kalau adiknya itu lebih cocok denganmu.” Tahu saja Rahmat isi hati Surip.
Surip biarpun serius tapi yang keluar dari mulutnya sedikit bercanda, “Kalau nggak dapat mbaknya sikat adiknya juga bisa kan, beres!” Katanya sedikit membusungkan dadanya.
“Ha Ha Ha….. !” Keduanya tertawa bersama-sama.
Paling tidak Surip sdikit tahu latar belakang keluaga Mbak Sita administrasi pembelian. Ia mulai berburu sesuai naluri kelelakiannya.
Pulang dari rumah Rahmat Surip lewat sekretariat KBPS Al-Husna. Sepintas terlihat aktifitasnya. Beberapa orang berseragam hitam-hitam tampaknya baru mulai berlatih. Jadwal latihan hampir setiap hari ada. Tak mungkin Surip mendekati orang-orang tersebut. Ia sama sekali tak mengenal siswa-siswa Al-Husna kecuali yang menjadi warga Beji atau mas Sehak di kios persewaan komik.
“Aku tak mengira jika Pak Jamaludin dan Mas Hery yang demikian berpengaruh di perguruan semuanya menginduk pada KBPS Al-Husna. Ini membuktikan bahwa sebenarnya guru besar Al-Husna lah rujukan untuk segala masalah keamanan di Banyumas.” Akhirnya Surip berkesimpulan sendiri.
Surip membanding-bandingkan dirinya dengan orang-orang yang pernah dikenalnya sangat dekat ini. Kecil hatinya sekarang, kenyataan ia hanya mantan anggota siswa perguruan Al-Jurus yang sudah bubar. Batinnya menyatakan,
“Aku sendirian sekarang, tak bisa lagi menjadi anggota perguruan manapun.” Teringat seperti itu nyinyir hatinya. Tidak sedih tapi banyak rasa kehilangannya. Ia garuk-garuk kepalanya sendiri yang tak gatal. “Memang hendak lari kemana lagi? Ke tempat Pak Anwar beliau sekarang lebih memusatkan perhatiannya pada jamaah langgar Mangga Sholat. Masih untung beliau sebab pemilik langgar bisa jadi panutannya, siapa yang menjadi tumpuanku sekarang?”
Surip geleng-geleng kepala, ibarat kereta api ia hanya gerbongnya saja. Tak ada lokonya mana mungkin gerbong tersebut bergerak maju. “Dulu aku sempat vakum berlatih Pencak Silat, tetapi sekarang mungkin untuk selamanya aku meninggalkan dunia beladiri. Bisakah aku melupakan selamanya?”
Surip segera melupakan masalah tersebut, ia harus mengejar angkot terakhir yang membawanya menuju Beji. Sementara kota Purwokerto hanya ramai sampai jam Sembilan malam. Entahlah, kota Purwokerto hanya menarik di pusat perbelanjaannya saja. Diakui siapapun hampir tak ada even budaya yang menjadi ciri khas Purwokerto. Padahal bahasanya merupakan sub bahasa Jawa yang sering disebut ngoko atau ngapak. Konon inilah bahasa Jawa yang bertahan tanpa banyak perubahan karena sedikitnya pengaruh-pengaruh kerajaan Jawa maupun Sunda.
“Hei Rip kamu disuruh menghadap Pak Surya di ruang komputer.” Siti memberitahu Surip yang saat itu duduk-duduk istirahat. Mbak Yuli di sampingnya sedang mencatat laporan barang masuk di buku ekspedisi.
“Mbak Sita lagi.” Surip bergumam sendiri. Dipandanginya perempuan yang mengisi hatinya sekarang. “Bagaimana aku mengungkapkan perasaanku kepadanya?” Surip linglung sendiri.
“Ei ngapain melototiku, memangnya ada yang berubah pada wajahku?” Sita menyibakan poni rambutnya hingga memperlihatkan dahinya. Ini yang sering membuat Surip bergetar hatinya, gerakan lembut perempuan yang selalu diingatnya sebagai ciri khas Sita.
“Ada apa Pak Surya memanggilku?” Surip jadi bertanya-tanya.
“Mana kutahu, sana cepat menghadap.” Sita menyeret tangan Surip untuk keluar gudang. Ya ampun saat bersentuhan tangan keduanya seperti tergetar aliran listrik. Keduanya jadi terdiam beberapa saat.
Surip yang akhirnya beranjak pergi menuju ruang komputer, masih sempat didengarnya kata-kata Mbak Sita. “Rip nanti tunggu aku di luar ya, kita pulang bersama lagi.”
Pak Surya Wibowo, namanya Jawa orangnya sipit. Ini jaman Orde Baru, orang-orang Cina yang lahir di Indonesia harus merubah seluruh nama-nama asli Tiongkoknya. Semuanya karena penguasa Orde Baru khawatir pengaruh Cina Daratan yang komunis menyelusup melalui kaum perantau ini.
Walaupun pengawasan terhadap mereka sangat ketat, tetapi sebagian kecil orang-orang Cina ini masuk dan berani menembus kroni-kroni penguasa Orde Baru. Sebagian besar konglomerat Indonesia adalah Cina, perbandingannya bila orang Cina dekat dengan penguasa berkehendak, mereka dimudahkan dalam segala birokrasi sehingga jalur bisnisnya maju. Ada anggapan konglomerat Cina adalah tumpuan kekuatan penguasa Orde Baru, itu di teras atas. Diakar rumput pengusaha-pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha-pengusaha Cina, sebagian besar masyarakat pribumi merasa tertindas oleh permainan bisnis orang-orang Cina ini.
“Rip besok tugaskan si Slamet mulai memegang counter minuman dan produk-produk botolan seperti coca cola dan sprite. Selama ini barang-barang tersebut terbengkalai dipegang oleh Joko yang sudah berat mengurusi produk susu.” Pak Surya rupanya tak mau turun lapangan langsung memberi instruksi tetapi lebih suka membiarkan anak-anak buahnya mengatur pekerjaannya sendiri.
“Baik pak nanti saya beritahu si Slametnya.” Surip menjawab sekedarnya. Slamet ini orang training yang selama ini membantunya di bagian produk yang menjadi tanggung jawabnya. Terkadang diperbantukan di bagian lain bahkan sering diikutkan mengirim barang ke toko. Dengan adanya Slamet Surip lebih sering berada di gudang mengawasi barang datang yang sering menumpuk harus dicek dan diawasi penempatannya.
“Jangan lupa suruh si Slamet itu bekerja dulu sampai sebulan penuh tanpa libur. Itu sudah aturan gudang yang berlaku.” Pak Surya memberitahu lagi. “Rip kamu itu dulu masuk melalui siapa di gudang ini?” Pak Surya bertanya.
“Aku dimasukkan gudang melalui Pak Musa bagian personalia.” Surip menjawab jujur saja.
“Kamu itu punya hubungan apa dengan Pak Musa Rip?” Pak Surya seperti menyelidiki.
“Oh dulu Pak Musa sempat menawar rumah tanah keluarga kami. Kebetulan kemudian dilihatnya saya menganggur jadi akhirnya ditawari bekerja di Sri Ratu ini.” Surip menjelaskan keadaan dirinya.
Pak Surya tetap memandang Surip seperti waspada, “Tapi tetap saja kamu masuk langsung tanpa lamaran Rip. Di manapun bagiannya bila ada masalah tetap saja larinya ke Pak Musa. Hati-hatilah dengan beberapa orang di sini.” Pak Surya seperti menerangkan sebuah masalah sensitiv tetapi Surip belum paham. “Beberapa bulan mendatang akan ada pergantian pimpinan, apapun bisa terjadi perubahan mendadak.” Entah apa yang dibicarakan Pak Surya ini, Surip hanya mengiakan saja. Setelah bercakap-cakap sebentar Surip kembali ke dalam gudang menyelesaikan pekerjaannya. Tak terpikirkan lagi kata-kata Pak Surya kabag gudang Sri Ratu Purwokerto.
Sorenya saat Surip keluar dari gudang Mbak Sita sudah menantinya. Kali ini mereka hanya berdua saja pulang jalan kaki. Biasanya Joko bagian susu menyertai sampai di dekat kuburan Kebondalem, entah di mana sekarang orang tersebut.
“Eh mbak kok diam saja, biasanya kamu tuh cerewetnya minta ampun.” Surip agak heran kali ini dengan kelakuan Sita, sepertinya tidak enak badan.
“Badanku lesu Rip, mungkin masuk angin.” Sita berkata tidak merespon banyak.
“Kuat nggak jalan kaki mbak, jangan memaksakan diri loh.” Surip memegang sedikit tangan Mbak Sita, agak panas. “Bagaimana kalau naik becak saja, mumpung belum masuk gang mbak?” Surip memberi perhatian dan coba memberi usul.
Surip segera memanggil seorang tukang becak yang mangkal di perempatan jalan Jendral Soedirman. “Pak antar mbak ini ke depan masjid Kauman Lama, nih ongkosnya sekalian.” Surip spontan melakukan segalanya untuk Mbak Sita ini.
Mbak Sita terlongong melihat tindakan Surip. Terasa benar baginya Surip memberikan perhatian besar terhadap dirinya. “Nggak usah Rip biar aku yang membayar nanti di rumah.” Mbak Sita cepat menyodorkan uang lebih dulu kepada tukang becak, keduanya sesaat ngotot dengan pendiriannya.
“Ya biar deh kita bayar masing-masing separo, biar adil deh.” Surip mengalah memberikan setengah bayaran ongkos naik becak.
Mbak Sita tersenyum kemudian naik ke dalam becak, Surip menyusul di sampingnya. Tak banyak yang dibicarakan keduanya, apalagi saat Surip turun lebih dulu di dekat toko Rita. Tujuannya ke Beji harus dengan angkot yang banyak ngetem di halte ruko-ruko Kebondalem.
“Terimakasih Rip.” Mbak Sita melambaikan tangan perpisahan saat Surip turun dari becak. Becak tersebut melaju berbelok menuju jalan Kauman Lama dekat masjid.
Surip terus melangkah menuju halte dengan pikiran berkecamuk. Terjadi perang batin dalam dirinya sendiri. “Tak mungkin aku membiarkan diriku begini terus. Jelas aku harus menyatakan perasaanku terhadap Mbak Sita.” Ada tekad keluar dari dirinya tetapi juga sulit melaksanakannya.
Surip baru sekali ini merasakan tertarik terhadap perempuan begitu kuatnya. Jiwa lelakinya seperti diuji untuk membagi perasaan terhadap perempuan.
“Kenapa dengan Mbak Sita ini aku punya perasaan, sungguh malu sekali rasanya.” Surip benar-benar mati kutu dibuatnya.
Semua orang tahu Sita ini lebih tua dari dirinya. Apa yang terlihat kebersamaan antara Surip dengan Mbak Sita di toko seperti kakak beradik. Tapi akan berbeda jika bersama saat di jalan, semua orang memperhatikan keduanya sebagai sepasang lelaki dan perempuan yang pacaran.
“Entah bagaimanakah posisiku di hati Mbak Sita, aku tak yakin diterima bila menyatakan perasaanku ini.” Surip membatin sendiri, bertarung dan terus bertarung dalam hatinya, lebih tepat disebut bimbang. Tak ada keputusan yang pasti menghadapi masalah seperti ini. Bagi Surip ini adalah cinta pertamanya.
BAB 11
Pawai HUT Kemerdekaan RI.
Alun-alun kota Purwokerto ramai sekali. Itu sebuah tempat yang selalu becek bila kena hujan. Kota administratif serba tanggung, pimpinan tertinggi ditangan Bupati kepala daerah ditambah walikotanya berkantor di depan Tamara Plaza, menjadi satu kompleks dengan SD Kranji dan perpustakaan daerah. Terjadi dualisme pimpinan yang belum terpisahkan.
Peringatan hari kemerdekaan banyak sekali perlombaannya. Semuanya wajib menghias dengan bentuk simbolisasi Pancasila di halaman rumah warga. Setiap gang harus didirikan gapura yang diikut sertakan dalam lomba tingkat kecamatan. Belum lagi bendera, spanduk dan ornamen serta kerja gotong royong kebersihan setiap RT.
Pawai peringatan tujuh belasan pun dilombakan. Lomba baris berbaris untuk siswa sekolah mulai SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan berbagai lembaga baik swasta maupun negeri. Ada juga pawai adat tradisi. Sayang tidak ada kriterianya sehingga tidak ada juaranya. Rasanya itu tidak penting, sebab yang penting ikut memeriahkan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI.
Dari sekian pawai adat ternyata seluruh jenis beladiri turun ke jalan. Alun-alun Purwokerto berjubel dengan seragam berbagai jenis beladiri. Barisan-barisan pawai adat tidak formal bahkan tidak beraturan.. Barisan orang-orang beladiri sangat meencolok karena seragamnya.
Ada kesempatan keluar dari gudang di jalan Pramuka, Surip langsung menonton. Bukan karena libur tetapi badan jalan jendral Soedirman terpakai pawai sehingga perusahaan memutuskan menghentikan pengiriman dan penerimaan barang untuk sementara. Kalau pasaraya Sri Ratu tetap buka, Tetapi sebagian besar pramuniaga dan karyawan tetap bisa menonton biarpun hanya dari dinding kaca setiap tingkat gedung.
Surip berada di Alun-alun sengaja melihat barisan pawai start. Ia menjumpai salah seorang bekas temannya saat SMA,
“Hei kuliah di mana sekarang?” Itu pertanyaan pertama karena diketahuinya bekas temannya sekelas ini dulu saat pengumuman UMPTN tertera namanya.
“Aku di UNSOED jurusan Pertanian. Rip kamu kan pelatih Al-Jurus, mana perguruanmu kok nggak ikut pawai?” Temannya ini berseragam putih-putih karate. Perguruannya BKC (Bandung Karate Club).
“Perguruan Al-Jurus sudah bubar, sekarang tidak aktif lagi biarpun orang-orangnya masih ada. Aku cuma nonton saja di sini.” Surip sedikit memberitahu keadaan perguruan yang pernah diikutinya.
Surip tahu BKC (Bandung Karate Club) saat di SMA. Itu merupakan kegiatan ekstra kurikuler yang diadakan sekolah. Lain perguruan adalah INKAI dan Betako Merpati Putih yang sangat mendominasi. Teman-temannya yang dari Merpati Putih sangat banyak karena terkumpul dari berbagai sekolah di Purwokerto. Saingannya berseragam merah menyala mencolok sekali itu dari Tapak Suci Muhammadiyah. Di SMA negeri 1 Tapak Suci tidak ada, dominasinya di sekolah-sekolah yang bernaung di ormas Muhammadiyah.
“Nanti nonton demo tenaga dalam di depan Polres Rip.” Temannya yang dari Merpati Putih sebenarnya tak tahu bila Surip itu pernah berlatih Pencak Silat memberitahu. Polres berada di jalan Gatot Soebroto selalu menjadi tempat berakhirnya (finish) setiap barisan baik yang dilombakan maupun tidak.
Di depan Polres itulah segala barisan atau Drum Band yang dilombakan demo memperagakan keahliannya. Dan barisan menjadi antri karena setiap kali ada demo peragaan dari barisan sekolah maupun Drum Band pasti menghabiskan banyak waktu. Biasanya di Polres itulah pejabat daerah mulai dari Bupati sampai Kepala Dinas bergantian menyaksikan parade pawai.
Surip menjadi orang netral diantara teman-temannya yang beratribut perguruan dan beladiri apa pun. Ia ngobrol dengan siapa pun tanpa ada batasan aturan. Tidak seperti temannya yang masing-masing harus berkumpul dengan kelompok perguruan sendiri-sendiri.
Perguruan Al-Jurus sudah bubar, bubar karena masalah dalam lembaga itu sendiri. Tidak ada pertikaian meruncing di dalam perguruan Al-Jurus antar anggotanya. Semuanya berakhir karena guru besarnya sendiri yang membekukan. Perguruan ini masih tercatat resmi sebagai anggota di IPSI tetapi dinyatakan tidak aktif organisasinya.
“Mungkin biarpun berlanjut Perguruan Al-Jurus tetap kalah bersaing dengan perguruan lain semacam SH Terate dan KBPS Al-Husna.” Surip membatin sendiri.
KBPS Al-Husna, perguruan ini tampil dalam pawai peringatan tujuh belasan. Anggotanya yang dikerahkan berjumlaah ratusan. Surip sempat menemui salah seorang warga Beji yang ikut pawai saat di Alun-alun.
“Ini tahun paling ramainya setiap jenis beladiri turun ke jalan ikut pawai.” Orang yang menjadi tetangga Surip di desa ini bicara. “Ini bukan ajang persaingan antar perguruan tetapi lebih bersifat promosi kegiatan perguruan ataupun beladiri manapun di Purwokerto.” Lagi tetangganya ini menjelaskan.
Benar juga katanya itu, yang berpartisipasi dalam pawai terlihat bukan hanya perguruan Pencak Silat tetapi juga beladiri lain. Ada beladiri Tae kwon do, Karate, Kempo, Judo bahkan sebuah sasana tinju di Purwokerto. Jadi ini semacam promosi gratis bagi masyarakat untuk mendapatkan siswa berlatih beladiri.
Tetangga Surip yang masih satu desa menjelaskan,
“Setahuku tahun yang lalu hanya KBPS Al-Husna yang ikut serta dalam pawai. Rupanya keberhasilan ini menjadi pelopor untuk perguruan lain ikut serta dalam pawai kali ini.” Sementara barisan-barisan dari berbagai lembaga di Alun-alun Purwokerto terus berkurang menyisakan kirab pawai adat, termasuk perguruan-perguruan Pencak Silat yang berpartisipasi. Terakhir sampai jam dua barulah peserta pawai dengan buntut sebuah perguruan yang tak ternama karena mendaftar paling akhir.
“Yang pertama pawai adat dari peguruan itu Merpati Putih, entah bagaimana mereka itu bisa mendapat tempat paling pertama di barisan pawai adat. Mungkin itu strategi untuk peragaan demo tenaga dalam di depan Polres nanti.” Tetangga Surip masih berbicara, anggota-anggota regu KBPS Al-Husna sudah berbaris dan bergerak maju untuk kirab. “Paling kayak KBPS Al-Husna hanya memperagakan satu jurus di depan pejabat yang hadir di panggung depan Polres nanti.” Lanjutnya lagi kemudian beringsut mendekati teman-temannya dalam barisan.
Surip sendiri hanya mengiakan saja, keberadaannya di Alun-alun hanya menonton. Kebetulan saja banyak peserta kirab ternyata temannya saat sekolah di SMA. Bahkan beberapa guru SMP negeri 3 saat berpapasan mengenalnya dengan baik hingga Surip menyapa hormat biarpun tak bisa ngobrol karena guru-guru tersebut berada dalam barisan pawai.
“Berarti jam satu atraksi demo tenaga dalaam dari Merpati Putih mulai.” Surip menghitung perkiraan saat perguruan Merpati Putih memperagakan berbagai demo memecahkan benda-benda keras seperti bongkahan es, lempengan besi, batu bata dll.
“Merpati Putih memang perguruan dengan status ganda. Satu tenaga dalam sedangkan satunya masuk IPSI, jadi tampak sekali berhasil merekrut banyak siswa.” Tetangganya berkata sebelum ia meninggalkan Surip karena terikat dengan barisan perguruannya di KBPS Al-Husna.
Surip melangkah menuju jalan Gatot Soebroto, itu sekitar dua kilometer dari Alun-alun sampai tujuannya di Polres. Kirab pawai sendiri menempuh rute dari Alun-alun ke timur menyusuri jalan Jendral Soedirman hingga IAIN Purwokerto, dari sana belok kiri menyusuri jalan Pasar Wage sampai akhirnya belok kiri di kampung Brobahan, barulah barisan-barisan tersebut menuju ke barat sampai di jalan Gatot Soebroto mencapai finish depan panggung terbuka Polres Purwokerto. Barisan-barisan itu bubar dengan sendirinya menuju ke tempat masing-masing dengan tubuh sudah loyo.
Surip mengambil jalan pintas, ia menyusuri jalan Kranji dari Alun-alun mencapai SMA negeri 1 tepat di tugu monumen jagung bergambar logo Pancasila. Penonton semakin berjubel karena banyaknya atraksi sebagai puncak acara di depan pPolRes Purwokerto.
Tiba-tiba Surip melihat bayangan seorang perempuan dibonceng seorang lelaki dengan sepedaa motor melintas di depannya. Terkesiap hatinya, perempuan itu sangat dikenalnya. Yang terjadi begitu cepat, segera saja dadanya terasa seperti terbakar api cemburu yang meletik dengan sendirinya.
Surip merasakan dunianya gelap. Tak mampu ditentangnya perasan tak terima atas nasib yang dialaminya. Kepalanya berdenyut-denyut, detak jantungnya cepat tak terkontrol, sampaipun di depan panggung pawai peringatan tujuh belasan ia tak lagi berminat.
Peragaan demo tenaga dalam dari betako Merpati Putih yang sangat spektakuler itu tak lagi berarti. Hatinya seperti diserang oleh musuh yang menggempur dan mengoyak isi dadanya, menjatuhkannya sebagai lelaki yang takluk hatinya karena perempuan.
“Itu tadi Mbak Sita, aduh kenapa dengan diriku ini?” Mulai Surip berkeluh kesah. “Oh Mbak Sita teganya engkau padaku.” Begitulah Surip menyebut nama perempuan yang sudah beberapa bulan ini mengisi hati paling dalamnya.
Tapi ia masih sadar, betapa pun kepalanya berat masih dilangkahkan kakinya menuju gudang di jalan Pramuka. Keramaian pawai peringatan tujuh belasan sudah tak penting lagi. Mengontrol dirinya agar tetap sadar saja sudah susah. Dicobanya tetap bekerja di gudang walaupun gamang merasakan dunianya yang runtuh.
Lelaki di manapun akan jatuh bila menghadapi masalah seperti Surip ini. Siapa bilang lelaki itu kuat bila patah hati atau menerima dengan lapang dada atas nasibnya. Semua itu tetap sebagai hukum alam, bila lelaki mendapatkan dalam dirinya seperti hilang ia akan berusaha mencarinya dan itu akan menjadi petualangan hidupnya.
Saat pulang cepat Surip menghindari pertemuan dengan perempuan yang diketahuinya telah meruntuhkan kelelakiannya.
“Pengecut!” Itu kata hatinya.
Ia justru bergabung dengan Mbak Yuli bersama-sama memakai angkot melalui jurusan yang berbeda. Sampai di rumah panas dan denyut di kepalanya masih keras. Hormon lelakinya terus terpacu membuatnya susah tidur. Surip menggelepar seperti cacing kepanasan, terus menyebut-nyebut nama kekasihnya.
“Kenapa aku jatuh hati kepada Mbak Sita, kenapa bukan dengan perempuan yang lain. Mbak Sita itu milik orang lain kenapa aku mencintainya!” Surip kebingungan dengan dirinya sendiri. Sakit sekali hatinya saat menyebut perempuan itu sudah menjadi milik orang lain. Benar-benar hatinya tidak terima dengan keadaan ini.
Lamunannya muncul, Surip menganggap Mbak Sita sebagai perempuan lemah yang sedang menghadapi kejahatan lelaki lain. Surip membayangkan dirinya diminta Mbak Sita untuk menolongnya dari cengkeraman lelaki jahat tersebut.
Aduh melankolis sekali ya?
Surip maunya dirinya yang jadi superhero menolong perempuan lemah tersebut. Kemudian melindunginya dan mendampinginya di sampingnya dalam cinta kasih sejati. Lamunannya itu terus menerpa dirinya hingga membuatnya tak bisa tidur. Tegang sekali rasanya menghadapi masalah yang baru pernah dialaminya sebagai lelaki menuju kedewasaan.
***
Pak Surya memerintah semua anak buahnya membersihkan dan merapikan gudang. Hari itu datang tamu penting dari Semarang. Yang datang katanya seorang perempuan salah satu dari istri pemilik pasaraya Sri Ratu.
“Kalau tamu dari semarang lainnya yang datang Pak Surya tak akan menghormatinya. Perempuan ini hitungannya sangat berjasa besar bagi Pak Surya pribadi.” Mbak Yuli memberitahu Surip.
“Jadi istri pemilik Sri Ratu itu banyak ya mbak?” Surip lugu bertanya.
“Huu namanya wong sugih Rip, ini istri mudanya, entah berapa lagi gundiknya.” Mbak Yuli berkata dengan sedikit melirik perempuan di bagian yang lain. “Pak Surya juga punya gundik loh Rip.” Kali ini sangat lirih suaranya di telinga Surip.
Surip tahu saja perempuan yang dimaksud, perempuannya kurus sepertinya sering kelelahan. Wajahnya sedang-sedang saja, Surip tak tertarik. Tapi buat Pak Surya perempuan ini telah menyerah luar dalam menjadi santapannya. Di dalam gudang karena menjadi gundik Pak Surya berbagai fasilitas diterimanya secara diam-diam. Ini kasus di dalam gudang Sri Ratu.
“Gajinya dobel ya mbak.” Surip nyeletuk sendiri berbisik- bisik dengan Mbak Yuli. Keduanya terkikik menahan tawa melihat kenyataan di depan mata mereka berdua.
Kasusnya sering ramai karena istri sah Pak Surya sering tidak terima dengan kelakuan suaminya. Istri sah Pak Surya rupanya berupaya merebut kembali suaminya dari tangan perempuan gudang tersebut. Terdengar kabar suami istri tersebut sering bertengkar.
“Antara istri-istri pemilik Sri Ratu itu pun sama Rip, mereka sering bertengkar berebut pengaruh di dalam Sri Ratu sendiri.” Mbak Yuli banyak tahu informasi di Sri Ratu karena sudah empat tahun bekerja di gudang, orangnya sangat hafal tamu-tamu dari Semarang.
Beberapa tamu bila datang ke gudang tentu menginspeksi pekerjaan-pekerjaan karyawan gudang. Lebih sering menyalahkan orang gudang, sebut saja pernah datang anak kesayangan pemilik Sri Ratu. Bersepeda motor gede bermesin ganda (Uh saat itu di Jawa Tengah konon hanya anak pemilik Sri Ratu ini yang punya). Melihat di gudang banyak sekali bekas-bekas label berserakan, langsung marah-marah,
“Kamu itu tahu tidak berapa harga setiap label ini?” Ditunjuknya label kecil berserakan yang rusak karena mesinnya ngadat kepada seorang karyawan gudang.
“Saya tidak tahu pak.” Ragu karyawan gudang tersebut berkata. Lebih enak dirinya dimarahi dari pada disuruh menghitung jumlah label yang rusak.
“Setiap label ini dihargai sepuluh rupiah, hitung sendiri kerugian toko kalau cara kerjanya seperti ini. Boros tahu!” Marah-marah dan terus mengawasi pekerjaan setiap karyawan gudang, sepertinya salah semua dalam pandangannya.
Bertemu dengan tamu dari Semarang, kali ini Pak Surya tampil sangat berbeda, berjas dan berdasi seperti menerima tamu agung. Saat berbicara demikian serius, tampaknya ada permasalahan berat di dalam kunjungan resmi tersebut. Seorang perempuan masih cukup muda, cantik bermata sipit bak bintang film mandarin. Itu istri kedua pemilik Sri Ratu, konon dinikahi karena otaknya yang cemerlang dalam bisnis.
Pernah sekali Surip diberitahu Pak Surya,
“Nanti akan ada pergantian beberapa pejabat di Sri Ratu Purwokerto.” Kata yang sekilas itulah yang diingat Surip.
Dan Pak Surya tampak gelisah menanggung beban mental. Surip menduga terjadi persaingan antar kelompok di dalam tubuh perusahaan ini. Dan Pak Surya berada di pihak yang terdesak posisinya.
Pasaraya Sri Ratu walaupun perusahaan terbuka dalam bidang retail tetap bercorak keluarga. Pemegang saham terbesar masih di tangan keluarga pemilik asli Sri Ratu. Masing-masing pemegang saham kuat membentuk jaringan untuk kepentingan kelompoknya masing-masing. Biarpun yang dicari profit atau keuntungan tetapi antar jaringan itu juga tejadi gesekan dan persaingan merebut kekuasaan di Sri Ratu.
Beberapa karyawan gudang yang tingkatnya kuli itupun banyak dimasukan melalui beberapa orang yang menjadi jaringan-jaringan dalam Sri Ratu. Tak sengaja Surip berada di salah satu kelompok tersebut. Ia masuk Sri Ratu melalui bagian personalia yaitu Pak Musa. Dan Pak Musa sendiri berada di kelompok lain berseberangan dengan kelompok Pak Surya. Makanya pertama kali Surip masuk gudang langsung Pak Surya bertanya tentang kedekatannya dengan Pak Musa.
Kalau dari kaca mata orang-orang seperti Surip dan semua orang di Sri Ratu, pejabat-pejabat perusahaan yang Jawa tetapi bergantung pada majikan Cina sering disebut antek-antek Cina. Orang-orang Jawa menjadi antek Cina bisa lebih galak dari tuannya, tentu demi keuntungan pribadi.
Pak Surya di gudang bila menerima tamu dari Semarang pilih-pilih. Bila itu dari kelompok lain bisa tak menggubris. Tapi bila yang datang orang-orang dari kelompoknya sendiri beliau menyambut dengan baik. Tapi kali ini sampaipun tamu perempuan berumur tigapuluh tahunaan itu pergi, Pak Surya tetap mengurung diri. Bahkan akhirnya meninggalkan anak-anak buahnya di gudang bekerja sampai jam kerja berakhir.
“Tumben beberapa hari ini kamu menemaniku pulang Rip, biasanya bersama Sita?” Ada mbak Yuli bertanya kepada Surip.
“Ah pulang dengan Mbak Sita itu jalannya kayak siput, biarin saja paling-paling juga dijemput pacarnya.” Surip berkata menyembunyikan panas hatinya bila mengingat perjumpaannya dengan Sita kala diboncengkan sepeda motor. “Eh mbak Yul rasanya aku kepengin cari tempat kos saja, rasanya capek setiap hari pulang pergi Beji-Purwokerto.” Ia cepat beralih membicarakan masalah lain.
“Ah di sekitar gudang banyak orang Sri Ratu kos, tak hanya orang Sri Ratu juga dari toko-toko lain Rip. Tanyakan saja kepada Joko pasti tahu tempat-tempat yang kosong.” Mbak Yuli berkata, mereka terus ngobrol sampai di jalan Bank.
Disebut jalan Bank karena dulunya adalah tempat pertama kalinya koperasi Indonesia berdiri yang kemudian menjadi induk dari BRI. Tempatnya terkenal dengan soto sokaraja jalan Bank. Soto sokaraja itu mungkin jenis soto paling rumitnya di Indonesia. Kuahnya sama dengan soto di daerah lain tapi isinya mulai dari ketupat, kerupuk, daun bawang, irisan ayam atau babat masih ditambah sambal kacang hingga kuah menjadi keruh. Lezatnya minta ampun, pasti ketagihan bila mencicipinya.
Ternyata untuk seorang Surip dengan gajinya yang tidak seberapa, menyantap soto sokaraja jalan Bank adalah suatu kemewahan. Mungkin sebagian besar karyawan-karyawan di Sri Ratu sama saja dengan dirinya. Larinya Surip bila siang makan di warung-warung pinggir jalan atau kantin di lantai dua Sri Ratu. Jatahnya makan siang tiga empat ratus rupiah sehari.
Kalau angkot yang ditumpangi Surip menuju Beji itu berabjad G. Ada G1 dan G2 masing-masing pulang pergi jalur yang sudah menjadi trayeknya. Semuanya bermuara dari terminal bus di desa Teluk. Dari terminal bus menyusuri jalan Situmpur, sampai Kebondalem terus lanjut ke Sumampir atau UnSoed. Jalan Sumampir ke barat sampai segitiga Purwosari belok kiri sampai Beji, dari segitiga Beji menyusuri jalan Karangsalam sampai Parakanonje belok ke jalan Kamandaka Barat, Bobosan belok kanan ke Kober dan Stasiun Raya terus ke pasar Manis, jalan Bank menyusuri jalan Jendral Soedirman dan akhirnya ke jalan Pramuka dan depan Sri Ratu, barulah menuju selatan mencapai terminal lagi.
Dengan demikian Surip punya dua alternative pulang ke rumahnya. Bisa ke Kebondalem dulu atau langsung di depan Sri Ratu sudah dapat angkot menuju rumahnya. Sebenarnya kalau dipikir-pikir biarpun hidup di desa Surip tidak terkucil sama sekali. Justru kecamatannya agak menjorok ke utara di kaki gunung Slamet lebih terpencil, itulah kecamatan Kedungbanteng.
Kali ini Surip yang tercengang. Mbak Sita sudah menghadang dirinya tepat di depan pintu gudang.
“Hei temani aku pulang, beberapa hari ini kamu menghindariku ya!” Kata-katanya seperti perintah, sulit sekali dibantah.
Surip terkesima, perempuan yang selalu terbayang pada pikirannya mengajak pulang bersama. Dadanya bergemuruh perasaan senang menyergap. Betapa indahnya dunia ini, seolah-olah Surip mendapatkan anugerah yang tiada tara.
“Awas Mbak Sita aku bisa salah tafsir nanti!” Surip maunya protes, kenyataan menghadang dirinya. Betapa perasaan cintanya tak terbendung dan ia tak bisa menyangkal lagi.
Mbak Yuli yang tertawa memandangi Surip,
“Hei Surip jadi rebutan di gudang nih, besok pulang lagi denganku ya.” Katanya dengan genit memperlihatkan bokongnya yang besar.
Mbak Yuli ini orangnya gemuk rambut keriting berkacamata tebal. Untungnya kulitnya putih karena selalu berada dalam ruang gudang yang tertutup rapat. Di gudang yang pulang jalan kaki karena dekat siapa lagi kalau bukan Joko dan Sita. Orang lain biasanya bersepeda atau dijemput motor oleh keluarganya. Beberapa orang berasal dari Sokaraja, Banyumas dan Patikraja menuju terminal dulu memakai mikro bus.
“Mbak Sita itu tiap hari harusnya pulang dengan Mas Joko, kan satu jurusan.” Sempat Surip menyindir.
“Huh aku takut dengan si Joko Rip, brewoknya itu bikin geli.” Mbak Sita berkata mentertawakan Joko yang berbadan besar, cocok untuk angkat-angkat susu kaleng.
Bertiga jalan kaki, sayang Jokonya cepat sampai di rumahnya. Tinggallah Surip berdua dengan Mbak Sita. Sekilas melihat wajahnya ada perasaan membuncah, bila melihat lehernya uuh…kepengin sekali menciumnya. Yang paling tak enak timbul berahinya, sering diintipnya belahan dada atau selangkangan perempuan ini.
“Pacarku sudah kepengin kenalan dengan ibuku Rip, aku bingung memutuskannya.” Tiba-tiba Mbak Sita bicara sendiri.
Wah Surip panas sekali hatinya, sedikit tergetar berkata,
“Pacar mbak yang pakai Honda itu?” Benar–benar tak terima dirinya hanya berada di sisi Mbak Sita tetapi bukan sebagai kekasihnya.
“Kamu sudah tahu?” Sita rupanya agak heran bertanya.
“Tak sengaja aku melihat mbak diboncengkan lelaki itu saat menonton pawai tujuhbelasan.” Surip menjawab, pandangannya nanar maunya cepat-cepat sampai, sakit sekali hatinya.
“Awas Rip, aku bicara soal ini hanya denganmu saja. Ini rahasia kita berdua loh.” Mbak Sita enjoy saja ngobrol tentang cowok yang pedekate dengannya ini. “Itu cowok tinggalnya di dekat lapangan Widodo ternyata orang Tegal, tapi kerjanya di Dinas Tenaga Kerja.” Terus Mbak Sita ngoceh tentang cowoknya. “Aku ditraktirnya makan di restoran Pring Sewu Rip, Ha Ha Ha aku diperlakukan bak putri kerajaan.” Ck ck ck begitu bangganya cewek ini bicara.
Surip yang blingsatan mendapati teman ceweknya ini ngoceh sendiri. Maunya dia protes karena mendapati dirinya terbawa pengaruh cerita Sita.
“Selamat Mbak Sita, kenapa nggak cepat-cepaat kalian menikah saja. Cowok itu jelas sangat serius dengaan mbak.” Surip masih mencoba mengimbangi. Mereka berdua berjalan bersama, beberapa kali Surip menyenggol badan Mbak Sita, Surip benar-benar terangsang tanpa sadar berkata. “Jangan bersentuhan seperti inilah aku jadi merinding.” Sedikit menjauh dan mendahului Mbak Sita.
“Ha Ha Ha.” Mbak Sita tertawa geli mendapati Surip yang berkelakuan aneh. “Makanya cari pacar Rip, biar ada cewek yang ngasih perhatian terhadapmu.” Sita terus menggoda Surip.
“Lah kamu kan pacarku mbak, aku sudah setia setiap pulang kerja menemanimu loh.” Surip mencoba masuk biarpun berupa pancingan belaka.
“Huh pacaran denganmu masih jauh Rip, aku tuh cari cowok yang sudah mapan untuk berumah tangga. Bebanku banyak, adik-adikku masih sekolah.” Mbak Sita agak serius bicara tentang cowok kriterianya.
Surip benar-benar pusing melayani Mbak Sita, dirinya tidak diperhitungkan kehadirannya sama sekali kecuali teman seperjalanan pulang.
“Boleh nggak aku main di rumahmu mbak?” Bersikeras Surip dari pada tersingkir begitu saja.
“Tentu saja boleh, kita kan berteman.” Mbak Sita enteng berkata.
Surip geleng-geleng kepala, untung kemudian mereka berpisah jalan. Sita menyeberang jalan melambaikan tangan meninggalkan Surip yang mencoba menafsirkan posisinya yang serba salah.
BAB 12
Pergantian pimpinan dan pertikaian di dalam Pasaraya Sri Ratu
Mas Agus yang biasa bertugas kirim barang ke toko memberitahu orang-orang gudang.
“Ada orang kiriman dari Semarang, anak buah dari Direktur Utama Sri Ratu pusat Semarang.” Katanya sambil menyerahkan buku ekspedisi pengiriman kepada Mbak Yuli. “Yang mengherankan orangnya langsung membuat perubahan-perubahan aturan di beberapa bagian toko.” Tambahnya lagi.
“Memangnya bagaimana perubahan aturannyaa Gus, itu untuk karyawan atau barang-barang yang dijual di toko?” Mbak Yuli jadi bertanya.
“Kata orang-orang di took, aturan yang dibuat menyesuaikan dengan aturan Sri Ratu Semarang. Tapi paling banyak yang berubah itu beberapa departemen, sekarang diubah bentuknya.” Informasi mengalir biarpun karyawan-karyawan rendahan seperti mereka samar-samar mengetahuinya.
Yang dimaksud pejabat baru ini orang Cina, masih muda dengan badan kurus. Dengan adanya orang ini banyak sekali orang-orang Sri Ratu yang sulit menyesuaikan diri karena terasa tumpang tindih aturan yang berlaku.
Pejabat baru ini terasa sekali dipaksakan masuk, bagian-bagian lain sudah seperti diawasi atau terancam keberadaannya. Pejabat teras atas Sri Ratu ini spion atau tangan kanan pemilik Sri Ratu pusat. Kedudukannya saangat kuat, semua orang berhati-hati terhadapnya.
Sering Surip mendapat kabar pertentangan antar departemen di Sri Ratu. Kabag gudang Pak Surya bertentangan dengan manager pemasaran. Manager pemasaran ini orang Jawa bertubuh gemuk, sering disebut Antek Cina karena dibawah kendali Direktur Sri Ratu cabang Purwokerto.
Nah Direktur Sri Ratu cabang Purwokerto ini bertentangan dengan Pak Musa manager personalia. Pertentangan-pertentangan ini terjadi begitu saja karena perbedaan bidang kerja dan kepentingan kelompok-kelompok pemegang saham dari pusatnya di Semarang.
Di Purwokerto pertentangaan berlanjut dengan medan persaingan berbeda. Tentu saja biarpun terjadi pertentangan semuanya bertumpu pada keputusan pemilik Sri Ratu sebagai pemimpin tertingginya.
Jangan anggap remeh pertentangan antar kelompok ini, suasananya terasa seperti antara hidup atau mati. Yang enak pengunjung-pengunjung Sri Ratu karena pembeli adalah raja. Tahu nyamannya saja dilayani Pramuniaga, Satpam atau SPG yang modis-modis.
Kepengin dapat merasakan sebagai raja?
Datanglah pagi-pagi ke pasaraya Sri Ratu saat mulai jam buka. Di depan pintu masuk ada barisan SPG dan Kasir cantik-cantik menyambut tamu yang berkunjung dengan sapaan ramah tamah.
“Selamat pagi!” Atau, “Silakan masuk!” Ucapan-ucapan itu keluar dari mulut-mulut seksi SPG, Pramuniaga dan Kasir menyambut tamu berbelanja. Konon di Jepang cara-cara seperti itu berlaku dengan memberi hormat membungkukan badan.
Satu kali pejabat baru ini menginspeksi gudang. Ditemui oleh Pak Surya yang kemudian bersama-sama masuk dari rak ke rak gudang. Saat masuk berbagai pernyataan yang keluar dari mulutnya begitu sinis terhadap Pak Surya. Berbagai tempat yang mungkin dianggapnya tak sesuai seleranya dikritiknya langsung ditujukan kepada kabag gudang ini.
Yang tampak Pak Surya selaku pejabat di departemen gudang hanya mengiakan. Tidak ada satu katapun bantahan kecuali menurut terhadap perintah pejabat baru ini.
Surip bersama karyawan gudang lain bila ada tamu dari toko atau dari Semarang biasanya sudah was-was. Pasti ancamannya nanti meeting evaluasi pekerjaan yang mereka jalani. Tak pernah ada kebenaran terhadaap apa yang dikerjakan kecuali disinggung kesalahan-kesalahan prosedural kerja. Paling menyakitkan bila kesalahan menimpa pas di depan pimpinan tersebut. Teguran langsung berlaku tanpa bisa membela diri.
Kalau terhadap kabag gudang, orang-orang gudang mematuhi perintah-perintahnya. Tapi kalau simpatik atau mendukung Kabagnya juga tidak. Di dalam bagian dengan bagian lain di gudang prosedural kerja adalah tekan menekan. Tuntutan kerja paling tinggi dari kabag gudang. Karenanya tak ada yang enak menjadi karyawan, orang-orang gudang lebih merasa diperah tenaganya dari pada diperhatikan kesejahteraannya.
Setelah menginspeksi gudang, pejabat baru Sri Ratu Purwokerto ini menemui Satpam. Entah ada instruksi apa lagi terhadap Satpam yang berjaga. Kejadian selanjutnya pejabat baru ini bersama kabag gudang meninggalkan tempat kerja bersama-sama.
Sepeninggal kedua pimpinan Sri Ratu tersebut, Satpam jaga masuk gudang. Kebetulan yang pertama ditemui itu Surip.
“Hei kalian yang karyawan gudang semuanya disuruh membersihkan ruang depan dan ruang komputer. Ruang-ruang tersebut harus bersih dari segala tumpukan barang!” Tiba-tiba saja memerintah keras sekali.
Surip yang disuruh mengerjakan sampai heran,
“Loh atas perintah siapa ini mas?” Surip bertanya bingung. Satpam tak pernah bersentuhan dengan pekerjaan di gudang kecuali mengawasi dan menggeledah karyawan saat pulang kerja.
“Semuanya atas perintah Pak Tongki, biar kabag gudangnya sekalipun harus turut perintah!” Meninggi suara Satpam penjaga kali ini. Disuruhnya Surip segera mengerjakan perintah-perintah dari instruksi atasannya. Setelah itu semua orang gudang diperintahkan hal yang sama. Cuma anehnya perintah berlaku hanya untuk orang-orang bagian gudang supermarket. Orang-orang dari departemen store di lantai atas dibiarkan saja.
Biarpun akhirnya patuh mengerjakan perintah yang tidak jelas ini, orang-orang gudang supermarket mengerjakan instruksi yang kini diawasi langsung beberapa Satpam. Ini rupanya yang disebut oleh Mas Agus beberapa departemen sekarang langsung berada di bawah kendali pejabat baru kiriman dari Semarang. Surip sekarang tahu namanya, dipanggil Pak Tongki.
“Gudang dalam sudah penuh mas, barang-barang ini ditaruh di sini juga sementara. Biasanya cepat dikirim ke toko.” Sekali Surip ada berucap saat mengangkuti beberapa dus mie instan menuju gudang.
“Berani kamu membantah perintah Pak Tongki. Kamu punya kekuasaan apa berani menentang!” Keras sekali Satpam-Satpam itu memberi perintah. “Hei siapa namamu?” Bertanya Satpam itu menyuruh Surip menghadapinya. Surip terpaksa menyebut namanya.
Surip makin gelagapan ketika beberapa Satpam merangsek dirinya. Kedua tangannya dipegang kuat sementara sang Satpam berbadan besar maju mendorong ke belakang dengan badannya yang tinggi besar.
“Bila kamu punya masalah dengan Pak Tongki hadapi dulu kami!” Terasa kata-katanya mengancam menyatakan kekuasaan yang mau diganggu gugat.
Melihat keadaan Surip yang diperlakukan demikian keras, karyawan-karyawan gudang yang lain ciut nyalinya. Hari itu tak satupun orang-orang gudang supermarket berani membantah perintah-perintah dari Satpam yang sudah atas nama seorang pejabat toko Pak Tongki.
Selama ini ruang depan yang dulunya mungkin berupa rumah besar sebuah keluarga dicoba menjadi tempat penyimpanan barang datang. Paling banyak itu berbagai merek mie instan dan minuman botolan dalam kerat. Biasanya barang-barang ini cepat-cepat dikirim ke toko karena cepat terjual.
“Banyak pihak tidak senang dengan kehadiran Pak Tongki. Mungkin kedatangannya mengancam kedudukan orang-orang di Sri Ratu Purwokerto.” Mas Agus bicara setelah tak ada lagi perintah-perintah dari Satpam.
“Ah sebenarnya buat kita itu tak penting ada pejabat baru atau tidak, siapa pun pemimpinnya kita yang di bawah selalu tertekan.” Mbak Yuli berkata apa adanya.
Kejangggalan terasa bagi setiap karyawan gudang. Belum pernah instruksi pekerjaan dipaksakan hanya melalui Satpam-Satpam penjaga.
Di mana kekuasaan kabag gudangnya?
Sampai pun pekerjaan berakhir orang-orang gudang tak mendapati kabag gudangnya itu muncul.
Surip masih tegang menghadapi peristiwa siang tadi yang mana dirinya sempat gemetar takut dirangsek Satpam-satpam galak penjaga gudang. Sekarang ia kocar-kacir menghadapi Mbak Sita yang memintanya selalu pulang bersama.
“Apa mbak nggak melihat orang-orang itu menatap kita sebagai sedang pacaran?” Mulai Surip senewen, jika ada orang berpapasan dengan mereka berdua langsung terlihat seperti mengawasi.
“Biarkan Rip, justru biar orang-orang itu tahu kamu sebagai pacarku. Tapi cuma pacar pura-pura saja ya.” Mbak Sita berkata enteng sekali.
Surip terlongong ia tak tahu lagi bagaimana perasaannya saat itu. Benar-benar tak tahan, maunya ia mencurahkan perasaan hatinya kepada wanita yang beberapa bulan ini terus mengisi hatinya.
Sampai akhirnya berpisah bukannya Surip ke halte tempat ngetem angkot. Diam-diam Surip membuntuti kemana jalan menuju rumahnya Mbak Sita. Saat Mbak Sita berbelok gang di depan seberang masjid Kauman, barulah Surip berhenti melacak jejaknya. Jalan-jalan di sekitar Kauman ini Surip cukup hafal, beberapa teman saat di SMP dan SMA tinggal di kampung ini.
Surip merasakan betapa bayangan Mbak Sita demikian membekas. Mbak Sita biasa berpakaian antara putih rok hitam dan seragam atasan biru dengan rok biru tua. Terkadang keduanya dipadu padankan begitu serasi membuat Surip beberapa kali memuji saat bersama-sama.
“Ayu banget mbak, mau kencan dengan siapa nih?”
Dan Mbak Sita makin pede merapikan pakaiannya,
“Ha Ha Ha kamu baru tahu ya Rip.” Merdu sekali suaranya. Sekali lagi suara yang keluar dari bibir yang berlipstik tipis tepat sekali menusuk jantung pertahanan Surip.
Setelah yakin dengan perkiraan tempat tinggal Mbak Sita Surip bergumam sendiri,
“Nanti saat jatah liburku aku coba main ke rumah Mbak Sita.” Tekadnya timbul untuk kemudian mencoba mencari angkot sore hari. Sayang sekali sampai hari sudah maghrib Surip tak mendapati angkot berkeliaran lagi. Akhirnya diputuskannya jalan kaki dari Purwokerto menuju Beji. Capek sekali!
Jatah libur sudah dijadwal dengan pembagian jumlah karyawan dibagi hari dalam sebulan. Biasanya Pak Surya sudah membuatkan jadwal tesebut dengan masing-masing bekerja delapan hari sekali libur. Karenanya dalam sebulan tiga kali Surip mendapat jatah libur, lumayan ada kesempatan refereshing. Itu masih ditambah dengan cuti seminggu dalam setahun. Tapi Surip belum pernah mengambil jatah cutinya, soalnya bekerja saja belum sampai setahun penuh.
Lama Surip tak berkunjung ke Kebondalem. Biarpun jika pulang kerja pasti mencari angkot di Kebondalem tapi tak pernah berkunjung ke kios penyewaan komik Sakura Store. Sebenarnya taman bacaan lain juga ada. Surip saja yang merasa cukup lama berlangganan di Sakura Store sehingga lebih sering menjadikannya sebagai tempat mangkal bila datang ke Purwokerto.
Angkutan kota segala jurusan berpusat di terminal Kebondalem. Surip melangkahkan kaki di dalam kompleks ruko Kebondalem. Tak ada THR seperti rencana Pemda Banyumas. Hanya warung dan toko kecil yang didengung-dengungkan sebagai tempat relokasi pedagang kaki lima di berbagai ruas jalan utama Purwokerto. Semuanya demi ketertiban umum. Pertama-tama kelompok PKL setuju dipindahkan ke dalam kompleks Kebondalem, sayangnya kemudian ketahuan tidak didatangi pembeli. Relokasi PKL gagal, pedagang-pedagangnya gulung tikar kembali mencari sudut-sudut jalan yang strategis.
Anehnya jalan utama sepanjang perempatan Srimaya hingga pasar Wage PKL-PKLnya hidup. Tempat tersebut ramai dan menjadi jujugan siapapun yang ingin mencari barang-barang kelas kaki lima. Jadi antara program Pemda dengan hukum pasar tidak pernah sejajar. Sampai sekarang pun proyek-proyek pemerintah dibangun megah kebanyakan mangkrak. Hukum pasar yang sulit ditebak ternyata bukan rujukan pemerintah.
Surip mendapati kios taman bacaan Sakura Store sudah menempati salah satu deretan bangunan ruko-ruko kecil. Surip juga mendapati mas Sehak sudah tidak menjaga kios lagi. Pemiliknya yaitu Pak Sudar sekarang yang terjun langsung.
Surip tak terlalu nyaman bila yang berjaga pemiilik kios tersebut. Tidak akrab dan kurang bebas saat memilih-milih komik. Seleranya pun berubah merasakan kegemarannya membaca tak bisa dilanjutkan. Tahun-tahun Sembilan puluhan mulai terjadi perubahan. Masa kejayaan komik mulai pudar. Hal yang sama terjadi pada kejayaan bioskop Film. Televisi swasta dan film video mulai menggantikan hiburan-hiburan warga Indonesia.
Surip justru memandang sebuah hotel di depan ruas jalan kompleks pasar Sarimulyo. Itu hotel Remaja, ah Surip mengenal seseorang yang sedang bekerja di halaman hotel.
“Pak Anwar!” Surip menyapa saat mendatangi orang yang dikenalnya tersebut.
“Kowe Rip, lawas ora dolan nggonku. Saiki ngode nang ngendi?” Pak Anwar berkata saat disalami bekas muridnya ini.
Segera saja mereka berdua ngobrol terutama tentang perguruan Al-Jurus yang sudah bubar.
“Pak Jamaludin tak pernah menghubungi aku Rip, sekarang aku melatih Pencak Silat di langgar, tapi tidak terorganisir. Aku hanya pelatih bukan aktivis organisasi.” Pak Anwar berkata kegiatannya selain bertukang batu sebagai profesinya. Tapi keduanya tak mungkin ngobrol lama,
“Kamu harus datang ke rumahku Rip, sekalian saja menginap. Temani aku ngobrol, oke!” Itulah janji yang ditagih Pak Anwar.
Setelah itu Surip meenuju Kauman Lama, tentu itulah tujuan intinya. Surip sengaja datang sore hari, Mbak Sita pulang kerja jam empat sore. Dan ia pun menyelinap saat memasuki gang tempat biasa Mbak Sita pulang.
Uuups bingung Surip di dalam gang tersebut. Petak-petak rumah ternyata acak tidak lurus dalam satu gang. Berliku-liku dengan gang-gang sempit setengah meter yang jika ditelusuri keluar di ruas gang yang lebih lebar. Sampai-sampai Surip terpaksa kembali lagi dari awal gang di depan masjid Kauman Lama.
Baru setelah bertanya kepada seseorang yang lewat di gang tersebut, Surip tahu rumah Mbak Sita. Sebuah rumah kumuh kecil ukurannya, bila dibandingkan dengan rumahnya di Beji terasa lebih baik. Hanya ada teras sempit dengan beberapa kursi kayu. Surip segera mengetuk pintu rumah tersebut. Jantungnya berdebar keras, tak percaya dengan keadaannya sendiri. Menemui seorang gadis yang selalu terbayang di pelupuk mata dan hatinya.
Tok Tok Tok! Dua kali Surip mengetuk.
Sempat terdengar gesekan suara sandal diseret, muncul seorang ibu paruh baya mungkin itu ibunya Sita.
“Mbak Sita ada bu?” Surip segera bertanya.
“Ada, mas ini siapa?” Ibu Sita ini sedikit gemuk, dibandingkan dengan si mbok di Beji lebih modern penampilannya.
“Saya teman kerjanya bu.” Surip segera menerangkan dirinya.
Setelah berbasa-basi sejenak barulah muncul Mbak Sita yang begitu terkejut melihat Surip. He He He Mbak Sita belum mandi, tapi terlihat hendak keluar entah ada keperluan apa.
“Hei Rip tumben bermain ke rumahku. Dari mana kamu tahu rumahku?” Sedikit bingung Mbak Sita.
“Sempat tadi bertanya ke beberapa orang di sekitar sini. Ternyata ini rumahmu mbak.” Surip coba akrab mengurangi kecanggungannya menghadapi keluarga Sita.
“Aku sebenarnya hendak keluar sebentar. Ayo temani aku sekalian Rip.” Setelah berbasa-basi sebentar Mbak Sita langsung mengajak Surip keluar.
“Keluar, wah berarti aku mengganggu acaramu mbak, He He He maaf ya.” Surip terus meencoba mengajak ngobrol.
“Ayolah kalau di dalam sini banyak orang nanti mengira kamu itu apel kepadaku.” Mbak Sita berkata tak sengaja.
“Ya memang aku apel kok mbak.” Surip cepat-cepat menukas. Maksudnya memang tujuannya ke arah itu.
“Ha Ha Ha Rip kamu itu lebih cocok jadi adikku.” Mbak Sita agak terbelak dengan kata-kata Surip. Ia mengeluarkan pernyataan berbeda sekali. Surip makin bingung menghadapi keadaannya sendiri akhirnya terdiam. “Ayolah Rip jangan diam saja kamu itu.” Suara Mbak Sita memecah keheningan yang terjadi menyadarkan Surip yang membisu.
Surip terpaksa beranjak keluar mengikuti langkah Mbak Sita. Berdua mereka berjalan keluar gang-gang yang sempit. Beberapa tetangga rumah menyapa dan Mbak Sita selalu memberitahu Surip sebagai temannya.
Surip rikuh sendiri, saat berada di gang yang lebih lebar berkata. “Mbak kalau mengganggu acaramu biar aku pulang saja.” Katanya memberitahu.
“Baiklah Rip, tapi besok main lagi ke rumahku ya.” Mbak Sita tidak menahan Surip. “Eh Rip ini sudah sore memangnya masih ada angkot ke rumahmu?” Mbak Sita bertanya.
“Aku bisa ngojek, tapi kalau ada acara menginap di Jatiwinangun jalan Bima.” Surip berpikir juga keadaan dirinya. Jarang ia bermalaam kecuali bila perlu sekali, ia tadi berbohong kepada Mbak Sita.
Surip cepat meninggalkan Mbak Sita. Hatinya mengatakan gagal mengungkapkan perasaannya. Kakinya diseret cepat menyusuri beberapa ruas jalan Kebondalem menuju Jatiwinangun. Sepeda motor sudah banyak, Surip sering iri bila melihat sepasang muda-mudi berboncengan motor. Dirinya ternyata mendapati ia hanya dari kalangan bawah.
Sampai di rumah Pak Anwar disempatkannya sholat isya di langgar Mangga Sholat. Setelah itu ngobrol sampai malam menemani Pak Anwar. Paling-paling ada kata Pak Anwar yang terus diingat sebagai pegangan Surip.
“Jurus harus tetap dilatih. Aku berharap kamu bisa mengembangkannya sebagai bagian hidupmu.” Itulah kata-kata Pak Anwar yang masih berkaitan dengan bidang yang sama digeluti keduanya, beladiri Pencak Silat.
***
Kehadiran Pak Tongki yang mengendalikan beberapa departemen terasa menekan sekali. Beberapa peraturan yang diberlakukannya sering menabrak wewenang kepala bagian di departemen-departemen yang berbeda. Semuanya terpaksa mematuhinya biarpun berbagai protes dilayangkan.
“Semenjak ada Pak Tongki bagian departemen supermarket sepertinya selalu dimusuhi. Rupanya di bagian ini banyak penentangnya.” Mas Agus bercerita situasi yang dirasakan orang-orang gudang supermarket. “Yang jelas Pak Surya itu salah satu penentang kebijaksanaan Pak Tongki.” Mas Agus menyebut kabag mereka sekarang yang tampak banyak sekali dikurangi wewenangnya.
“Yang enak orang-orang gudang departemen store sekarang, mereka tampaknya banyak yang berada di kubu Pak Tongki mulai dari bagian tokonya.” Surip sedikit mengira-ngira keadaan yang terjadi di gudang.
Perbedaan tampak sekali, orang-orang departemen store sekarang langsung di bawah kendali Pak Tongki. Banyak sekali kemudahan yang didapat, Pak Tongki tampaknya langsung menangani bagian ini karena banyak pendukungnya.
Orang-orang gudang supermarket hanya merasakan perbedaan tersebut. Kalau sampai meraba masalah yang terjadi di dalam struktur organisasi tentu saja tak sampai. Managemen kerja antar bagian semakin mengerucut ke atas semakin tertutup hanya untuk kalangan pejabat atas.
“Rasanya semua hanya menyulitkan pekerjaan kita saja.” Surip berkomentar sendiri. Beberapa kali orang-orang seperti dirinya ditegur baik itu saat di gudang maupun di toko karena dianggap menyalahi aturan. Lucunya yang menegur pekerjaan orang-orang gudang itu bagian lain yang sepetinya sudah jadi tangan-tangan panjang Pak Tongki. Orang-orang itu sangat galak bila menegur orang-orang gudang.
“Yang lebih menyebalkan itu Pak Surya juga sering menyalahkan kita. Rasanya orang-orang gudang supermarket disalahkan beberapa kali.” Mbak Yuli juga keluar uneg-unegnya.
Keadaan-keadaan seperti itu membuat orang-orang gudang supermarket makin terpinggirkan. Contohnya saat beberapa kali ada meeting, manager pemasaran dari toko paling sering melakukannya. Semuanya pasti sebuah arahan dari beliau yang mengharuskan tunduk kepadanya.
Yang agak membingungkan Surip manager pemasaran toko ini sering menunjuk dirinya sebagai biang keladi kesalahan prosedural kerja.
“Beberapa kali counter sirup kosong. Saya selalu mendapati sirup ABC rasa orange habis. Kenapa tidak cepat-cepaat order? Harusnya petugas dari gudang cepat-cepat ke pembelian memberitahu!” Ini teguran yang sering dilayangkan kepada Surip saat-saat bekerja.
Jika mendapati masalah ini Surip benar-benar tak habis pikir. Mana mungkin dirinya yang mengecek barang sampai ke toko. Orang-orang toko itulah yang harus memberi tahu bagian pembelian untuk menambah order barang agar stock mencukupi.
Surip jika berada di situasi seperti ini hanya mengiakan saja tak berani membantah. Setahunya dari bagian pemebelian maupun counter di toko tak pernah melayangkan protes terhadap dirinya. Pernah sekali Surip membahas masalah ini kepada bagian pembelian supermarket, jawabannya,
“Ini gara-gara kami berlokasi di gudang Rip. Seharusnya bagian pembelian itu berada di salah satu ruang di toko jadi bisa cek lapangan langsung.” Itu pemberitahuan resmi bagian pembelian.
Dari jawaban itu Surip berkesimpulan sendiri,
“Ah manager pemasaran itu saja yang kurang koordinasi dengan bagian pembelian ini.” Katanya dalam hati.
Tapi namanya kelas pekerja, kesalahan demi kesalahan terus disingggung bahkan diulang-ulang dalam beberapa kesempatan. Surip sampai muak terhadap cara-cara manager pemasaran toko ini.
“Dasar wataknya saja jelek!” Surip memaki sendiri, apalagi bila tak sengaja bertemu.
Masalah-masalah pekerjaan terus berganti-ganti. Menjadi karyawan di bagian gudang bukan merupakan kebanggaan. Surip merasakan dirinya ternyata berada di bagian ujung paling belakang dari raksasa toko swalayan Sri Ratu.
BAB 13
Kasak-kusuk karyawan bagian Gudang Supermarket
Berada dalam angkutan kota saat berangkat kerja. Surip berjejalan dengan penumpang-penumpang lain. Ada diantaranya mungkin lelaki dan perempuan seumurnya. Keduanya berhimpitan duduk bersama tampak serasi sekali. Mudah diduga keduanya adalah sepasang kekasih, yang lelaki berjaket tubuh tegap sedangkan yang perempuan langsing cantik menjadi pusat perhatian.
Surip beberapa kali mencuri pandang terhadap perempuan ini. Pakaiannya modis, penampilannya sangat menawan. Yang heboh gaya rambutnya yang lurus dengan semacam cat rambut tipis di beberapa belahannya.
Surip tidak sendirian memandangi perempuan cantik ini. Siapapun mengakui bila menjadi lelaki sampai tak tertarik dengan perempuan cantik ini bukan lelaki normal. Lelaki jika tertarik dengan perempuan lanjutannya lari ke arah bagian genital perempuan tersebut.
Langsung imaginasi Surip berkeliaran memacu berahinya. Apalagi perempuan ini berjubel duduk dekat dengan dirinya. Saling berhadapan membuat Surip beberapa kali mendapati belahan dada dan selangkangannya yang memakai rok medium.
Di dalam angkutan kota bisa kenalan dengan cewek?
No way! Masing-masing penumpang mengurusi dirinya sendiri. Perempuan inipun demikian. Tahu jadi pusat perhatian, beberapa bagian sensitifnya dicoba ditutup dengan tangan dan semakin merapat berlindung pada lelaki di sampingnya.
Mungkin sepasang kekasih tersebut menuju terminal. Surip cuma sampai di perempatan Isola turun menuju gudang tempat kerjanya. Turun di depan Isola Surip mendapati beberapa teman kerjanya di gudang sedang berjalan bersama.
“Hei Rip sekali-kali belok ke sana, kita jalan-jalan keliling dulu sebelum ke gudang!” Suara Joko berteriak membuat Surip tahu mereka berjalan ke arah berbeda walaupun nantinya menuju gudang. Paling-paling lewat depan kantor Walikota terus belok kiri jalan Kademangan di samping bioskop Garuda belok kiri SD Kranji, barulah masuk pintu gerbang gudang. “Kita kerjain Sita biar capek Rip.” Joko masih berteriak. Diantaranya memang ada Mbak Sita yang sendirian menggiring teman-temannya berjalan bersama.
Surip memandangi Mbak Sita, yang dipandang membalas dengan tawa riang. Ah Surip merasakan perasaannya banyak terbawa watak Mbak Sita yang termasuk periang.
“Kalian kira aku tak pernah jalan kaki, ayo biar sampai alun-alun pun aku masih sanggup.” Katanya menantang.
Mereka berjalan sambil ngobrol, Surip terdiam hanya mengikuti langkah teman-temannya ini. Pikirannya tertuju pada sosok perempuan yang ternyata telah mengisi hatinya. Yang sulit ternyata ia tak tahan menyimpannya.
“Aku tak kuat seperti ini terus-terusan, lebih baik mengungkapkannya dari pada semakin menyulitkan diriku sendiri.”
Beberapa kali dicurinya pandang wajah Mbak Sita, betapa cantiknya!
Dan itu melemahkan hatinya, runtuh watak kerasnya menghiba sentuhan lembut seorang wanita.
Pikirannya terus berkecamuk perang batin sendiri. Pekerjaan terasa membosankan. Tak ada gairahnya kecuali mengharap perjumpaan dengan Mbak Sita.
“Aku ini kenapa? Bukankah Mbak Sita sudah punya pacar. Memangnya kamu hendak cepat-cepat kawin?” Perang batin dialami Surip, sampai di kata kawin betapa panas mukanya. “Belum tentu Mbak Sita mau denganku!” Katanya sendiri memberontak, hatinya tak terima keadaan dirinya sendiri. Itulah Surip yang sedang galau hatinya.
Surip mendapati perasaan terhadap perempuan yang dialaminya tidak seindah cerita-cerita novel atau film. Juga tidak secocok pasangan lelaki dan perempuan yang bersama-sama di dalam angkot tadi pagi. Tiba-tiba seluruh beban hidup seperti menimpanya dan ia belum siap segala-galanya.
“Aku belum siap hidup berumah tangga, juga aku harus membantu keluargaku yang masih mengharapkanku bisa bekerja leebih baik!” Kata-kata itu terus berdengung dalam hatinya, semacam alasan yang dibuat-buat untuk menutupi kelemahan hatinya yang jatuh karena menghadapi masalah dengan seorang perempuan.
“Aku harus bertindak, apapun resikonya harus kuterima!” Keluarlah satu keputusan bulat di hatinya.
***
Sementara di gudang orang-orang ramai membicarakan sebuah kejanggalan masalah pekerjaan. Kali ini Pak Surya kabag gudang terlihat begitu emosi.
“Enaknya bagian Satpam itu, kerja cuma mengawasi beberapa jam sekarang perminggunya diberi setengah hari libur.” Katanya di depan anak-anak buahnya yang sedang istirahat siang hari.
Orang-orang gudang sudah tahu keadaan yang dimaksud. Mas Agus yang sering berhubungan dengan orang-orang toko pun berkomentar.
“Bagian Satpam itu diistimewakan sekali oleh Pak Tongki. Padahal dibandingkan dengan kita mereka lebih santai kerjanya.” Katanya memberitahu orang-orang gudang sebagai semacam informasi.
Terasa sekali kejanggalannya. Orang-orang gudang merasakan bagian gudang supermarket lebih keras pekerjaannya.
“Kita ini kerja melayani semua bagian toko. Berbagai masalah lebih sering menimpa kita. Apa saja bila ada kesalahan kerja pasti orang-orang gudang disangkut pautkan.” Pak Surya bicara sendiri, orang-orang pun hanya mendengarkan.
Orang-orang gudang merasakan tekanan mental karena dibandingkan jumlah dengan orang toko lebih sedikit. Misalnyaa Surip pemegang kounter roti dan minuman instan, maka di toko bagian-bagian tersebut ditempati beberapa Pramuniaga sekaligus. Itupun orang-orang toko tersebut masih ada yang kena shift siang dan malam. Jika terdapat masalah Surip menghadapi pertanyaan yang berbeda-beda karena banyaknya orang yang dihadapi. Sering Surip dan orang-orang gudang harus menerangkan akar masalah berulang-ulang jadinya.
“Kabarnya Pak Tongki mencontoh aturan yang ada di Sri Ratu Semarang.” Pak Surya pernah mencoba mencari keterangan dari berbagai pihak. Hubungannya dengan orang-orang di pusat Sri Ratu Semarang coba diandalkan. Komunikasi yang ada bisa terjalin antar cabang di berbagai kota melalui radio SSB. “Rasanya tetap tidak adil bila aturan itu diberlakukan di Sri Ratu Purwokerto.” Pak Surya bergumam sendiri.
Jam kerja Satpam dengan karyawan gudang hampir sama. Persamaannya delapan jam kerja dengan jatah libur bergantian. Bedanya bagian Satpam terdiri dua shift. Justru di gudang orang gudang supermarket sering iri deengan orang-orang gudang departemen store. Orang-orang gudang departemen store libur setiap hari minggu. Ini yang membuat kedua bagian gudang tersebut masing-masing menjadi dua kubu berbeda. Asisten gudang departemen store lebih bebas tak terlalu patuh pada Pak Surya.
Itulah kenapa Pak Surya merasakan dirinya terjepit. Asisten departemen store ini ternyata lebih ngepro pada pimpinan baru Pak Tongki karena dimasukan gudang melalui Direktur Sri Ratu Purwokerto.
“Aku coba protes langsung ke pimpinan Sri Ratu Semarang.” Pak Surya tetap bicara sendiri seolah-olah memiliki cara yang bisa diandalkan.
Sementara bila orang-orang gudang bertanya tentang masalah tambahan libur kepada Satpam-Satpam yang ada makin membuat iri mereka.
“Sudah seharusnya bagian Satpam diberi jatah libur setengah hari perminggu. Alasannya dari Pak Tongki agar kerja mengawasi dan menegakan aturan perusahaan lebih maksimal.” Seorang Satpam memberitahu, ada juga tambahannya, “Itu baru perubahan awal, selanjutnya nanti ada juga kenaikan gaji karena jasa Satpam dalam mengamankan toko.”
Orang-orang gudang mati kutu. Selama ini tak pernah ada perubahan nasib kecuali pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk di gudang. Mereka kini tahu telah berada di bagian yang disisihkan karena pemimpinnya bertentangan dengan bagian lain.
Pak Tongki dari Sri Ratu pusat Semarang diharapkan memajukan perusahaan tapi tanpa disadari telah menindas rival-rivalnya. Yang diuntungkan hanya orang-orang yang mau dan tunduk terhadap kepentingannya.
“Kita ini bisanya apa? Semuanya terserah pada Pak Surya saja.” Mas Agus berkata sendiri menghadapi dilema orang-orang gudang.
Sementara terdengar kabar Pak Surya telah melayangkan nota protes kepada pimpinan tertinggi di Sri Ratu pusat. Kemungkinan untuk Pak Surya keadaan sangat mendesak.
Pekerjaan terus berlanjut, Surip sebagai karyawan gudang pun ikut resah. Kejadian demi kejadian membuatnya tahu keadilan sangat sulit didapat. Semuanya berhadapan dengan birokrasi yang mengerucut ke atas semakin berlapis-lapis kekuatannya.
Saat orang-orang gudang ngobrol nasib mereka, Surip justru semakin kesulitan menempatkan posisinya menghadapi Mbak Sita.
“Aku harus menemui Mbak Sita di rumahnya. Harus ada pembicaraan masalahku ini.” Berbagai kemungkinan dipikirkan dalam-dalam, tetap tak ada langkah yang benar-benar pas.
Yang dipikirkannya adalah momentum yang tepat sehingga tidak terlalu dicurigai siapapun.
“Hari minggu Mbak Sita libur, jadi ada waktu sehari tak berada di gudang. Tampaknya itulah waktu yang tepat.” Beberapa kemungkinan diambil Surip supaya bila saat pertemuan Mbak Sita bisa menerimanya.
Terus dinantinya hari penentuan nasibnya. Surip merasakan dirinya sebagai lelaki mencoba tegar menghadapi masalah sendirian. Si Mbok sepertinya sudah melepaskan segala tanggung jawabnya karena dianggapnya dewasa. Paling-paling si Mbok belum memerintahkannya untuk berumah tangga. Tampaknya si Mbok masih berharap Surip memberi jatah upah yang didapat untuk kebutuhan sehari-harinya.
Sedikit kemajuan si Mbok sekarang, kebaya yang dikenakannya tidak lusuh seperti dulu. Juga beberapa sandal baru dimilikinya. Dengan keadaan demikian si Mbok tidak risih bila ikut arisan atau pengajian di desa.
Ada terpikir oleh Surip sosok perempuan yang diidamkannya sebagai pendamping hidup. Ia mengidolakan ibu kandungnya ini. Kenapa saat lelaki mendapati masalah dengan perempuan ia membandingkannya dengan sosok ibunya?
Banyak lelaki mengalaminya, ibu adalah sosok paling sempurna bagi lelaki manapun. Kecenderungannya saat mendekati perempuan lain pasti dibayangi dengan orang yang melahirkannya. Itu terjadi secara naluriah.
“Aku terlalu bertele-tele memikirkan masalah ini, cepat atau lambat akan terjadi benturan antara aku dengan Mbak Sita.” Surip berkata tak berdaya.
Pergerakannya menjadi konyol, ia tak paham dengan dirinya sendiri. Tubuh dan perasaannya terbawa nuansa romantis. Sering memalukan, begitu melihat simbol hati perasaannya trenyuh. Bahkan paling gilanya bentuk-bentuk feminisme seperti leher, payudara dan selangkangan perempuan melintas, semuanya mengarah ke syahwat persetubuhan.
Malam minggu, dipaksakannya hari itu melangkah menuju rumah Mbak Sita. Kali ini pakaiannya sedikit resmi. Biarpun tidak bersepatu tetap sandal terbaik dikenakannya. Ia tak main-main menemui seorang perempuan apapun statusnya saat itu.
Sampai di depan rumah Mbak Sita sempat beberapa pemuda bersiul tahu apa yang dilakukannya. Surip tak peduli, semua konsekuensi harus dihadapinya. Dan Mbak Sita pasti surprise dengan penampilannya saat ini.
“Wah Rip dari mana kamu, pasti barusan dari acara penting ya?” Mbak Sita bertanya heran.
“Iya aku barusan dari Karang Jambu menengok seorang ibu yang melahirkan.” Itulah momentum yang didapat Surip untuk menjaga jika kehabisan bahan obrolan.
“Siapa yang melahirkan Rip, keluargamukah?” Sebagai seorang perempuan tentu Sita tertarik hingga bertanya.
“Tetangga desa tapi kami sudah kenal lama. Sejak bapak masih ada.” Surip terus mencoba masuk kebagian feminim seorang perempuan. Terutama sekali tentang masalah perempuan berkaitan dengan anak sebagai obrolan.
“Hei kamu itu kayak sudah berumah tangga saja Rip. Apa memang sudah punya calon?” Ini dia pancingan Surip mengena. Pembicaraan lari kearah rumah tangga.
Mulai serius Surip berkata,
“Aku belum berani mbak, tapi aku ini suka dengan Mbak Sita.” Cukup sulit Surip mengungkapkannya, sepertinya suaranya agak parau. Itupun sudah dengan keberanian yang tinggi.
Menegangkan sekali, Mbak Sita terpancing emosinya. Antara marah dan benci, juga bingung menghadapi Surip.
“Perasaanku itu biasa saja terhadapmu Rip.” Tercetus kata-kata itu dari Mbak Sita.
Mendengar kata itu Surip merasa dirinya seperti ditampar mukanya. Sangat malu sampai tak berani memandang wajah Mbak Sita. “Aku serius mbak, kuharap kamu mau mendengarkan kata-kataku.” Surip menghiba, matanya meengerjap-ngerjap basah.
Oi ternyata laki-laki itu tidak sekuat otot-ototnya, begitu jatuh cinta hanya bisa bertekuk lutut meminta-minta. Masih dicobanya berkata, “Jika memang Mbak Sita tidak punya perasaan apa-apa terhadapku tolak saja pernyataanku ini mbak.” Coba Surip bertahan dari pada tak ada pilihan lain.
“Aku ini tidak bisa menolak, tetapi juga tidak berani menerima. Itukan perasaanmu sendiri.” Mbak Sita menjawab suaranya nyaris tak terdengar oleh Surip karena lirih sekali.
Untuk kedua kalinya Surip seperti ditampar harga dirinya. Pernyataan itu menyulitkan dirinya untuk menyelami pribadi wanita di depannya. Pernyataan ini keemudian didapati Surip setiap kali menghadapi urusan dengan seorang perempuan.
“Baiklah kalau begitu aku mengakui salah tafsir terhadap mbak.” Dicobanya untuk tegar walaupun hatinya sakit seperti diiris pisau bertubi-tubi.
“Rip kenapa kamu jadi seperti ini terhadapku?” Mbak Sita coba beralih masalah.
“Entahlah mbak sejak pertama bertemu dengan Mbak Sita aku sudah merasakan kelainan di hatiku.” Surip mengakui sendiri. “Apa lagi bila mendengar suara Mbak Sita, begitu menusuk jantungku.” Surip berkata mengungkapkan perasaannya selama ini, oalah romantis banget Surip ini.
Mbak Sita geleng-geleng kepala mendengar pengakuan Surip. “Kamu itu temanku Rip tak bisa aku memutuskan begitu saja masalah ini.” Sedikit bijaksana kata-kata Mbak Sita ini.
Surip tak berani meendesak lagi, ia merasa tak ada muka lagi berhadapan dengan perempuan ini. Berbagai perasaan campur aduk membuat lemah badannya. Yang keluar kemudian pernyataan sebagai pertahanan diri.
“Keluargaku masih ada masalah mbak, aku berharap masalahku dengan Mbak Sita bisa cepat selesai.” Pengecut sekali Surip berkata. Dari pada kehilangan muka ia mencoba beralih ke hal-hal lain yang mengada-ada.
“Kalau begitu selesaikan dulu masalah keluargamu Rip. Baru setelah itu berurusan denganku.” Mbak Sita tangkas keluar dari serangan-serangan kata Surip.
Tak mampu lagi Surip bertahan di depan Mbak Sita, konsekuensi harus dihadapinya. Ia merasa gagal total. Hatinya menjerit minta-minta ampun, Surip merasakan pondasi bangunan jiwanya runtuh hanya dalam beberapa menit pertemuan.
Surip berdiri dan kemudian mohon diri dari hadapan Mbak Sita. Perasaannya campur aduk kecewa sekali. Berjalanpun sepertinya melayang walaupun tujuannya hanya satu, kembali ke rumahnya di Beji. Berjalan terus melelahkan badannya, jiwanya sakit dan itu mengharuskannya bergerak. Jiwanya berbeda dengan badannya, jiwa itu terus berontak merasa tidak terima dengan nasibnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, menyalahkan dirinya sendiri, meminta-minta ampun bila terbayang seorang perempuan yang diketahuinya besar kemungkinan menolak cintanya bahkan ada keinginan menusukan pisau atau pedang ke ulu hatinya. Rasain lu Rip!!
“Aku harus melupakannya………… harus!” Teriaknya dalam hati, tapi itu hanya kata hatinya saja. Bayangan perempuan itu terus nempel sulit dilupakan. He He He tak mudah bagi lelaki melupakan seorang perempuan.
Sempat dimasukinya sebuah warung makan kecil. Di dalamnya terdapat seorang tua yang sedang makan. Diajaknya ngobrol cukup lama, tetap tak mampu disalurkannya kekesalan hatinya. Sampaipun ditraktirnya orang tua tersebut karena telah menemaninya ngobrol. Begitulah seorang lelaki yang sedang galau hatinya, pembaca pernah mengalaminya?
Pulang sudah malam mungkin ada jam sepuluh, jalan kaki saja dilakukannya. Lumayan jarak Beji-Purwokerto sekitar enam kilometer. Badannya lelah walaupun ketegangan hatinya tidak mereda. Ternyata butuh beberapa bulan untuk mengendalikan hatinya yang merana tersebut.
Cara-cara yang dilakukan Surip cukup menolong dirinya. Pelariannya dengan keluyuran melelahkan badannya tersebut. Itulah salah satu kegiatan positif yang didapatnya dalam menghadapi masalah-masalah yang menghimpit dirinya.
***
Istirahat siang di gudang,
Pak Surya ngobrol dengan beberapa anak buahnya.
“Aku sudah menyampaikan protes kepada Direktur utama Sri Ratu pusat. Tapi aku hanya berani melalui tante Ciang (Salah satu istri pemilik Sri Ratu). Sulit sekali posisiku di sini, rasanya secara pribadi benturan akan terjadi antara aku dengan Pak Tongki.” Pak Surya bicara serius terhadap anak buahnya, tapi hanya dua orang saja yang diajak bicara.
Karyawan gudang yang lain seperti Surip, Joko atau Mbak Yuli jika istirahat siang sudah berhamburan keluar mengisi perut di warung-warung terdekat di sekitar gudang.
“Paling baik kita menyelamatkan kelompok kita dari bermusuhan dengan Pak Tongki, paling tidak kedudukan kita tetap tidak tergusur di gudang ini.” Asisten kabag gudang supermarket berkata seperti membuat perhitungan.
“Jika ingin selamat itu kita harus bersekutu dengan Direktur Sri Ratu Purwokerto. Kabarnya beliau tidak serasi juga hubungannya dengan Pak Tongki.” Seorang karyawan gudang bagian counter parfum ikut berembug.
“Kalau menurutku kebijaksanaan Pak Tongki harus tetap diprotes, harus ada pergerakan atas nama orang-orang gudang.” Pak Surya berbicara lirih, kemudian berbisik-bisik tentang rencananya.
Esoknya terdengar kasak-kusuk diantara karyawan-karyawan gudang. Entah siapa yang pertama kali menyebarkan berita tak ada yang tahu.
“Mas Agus apa benar orang-orang gudang akan mogok kerja?” Mbak Yuli bertanya bingung terhadap situasi gudang.
“Aku tak tahu perkara sebenarnya, beritanya menyebar di toko sekarang.” Mas Agus yang biasa berhubungan dengan orang-orang toko berkomentar.
“Bagaimana pendapatmu Jok?” Mbak Yuli bertanya kepada Joko.
“Aku sudah coba bertanya kepada Asisten gudang supermarket, ujarnya siapapun harus ikut memprotes aturan baru dari Pak Tongki yang terlalu menganak emaskan bagian Satpam.” Joko berkata langsung pada masalah yang didengarnya dari beberapa orang dan atasan mereka di gudang. “Kata Asisten gudang Pak Surya tidak melarang anak buahnya mogok kerja.” Tambahnya lagi.
Simpang siur situasi gudang, karyawan-karyawan berpendapat sendiri-sendiri sesuai versinya. Protes dengan cara mogok kerja tampaknya masuk akal untuk mengamankan posisi orang-orang gudang yang terpinggirkan.
“Ah sialan Surip ini, dari tadi cuma berebah di pojok tumpukan roti.” Mbak Yuli mengguncang-guncang tubuh Surip yang dari tadi tampaknya tertidur. “Kebanyakan begadang kamu ya Rip.” Mbak Yuli berkata sendiri.
Yang benar Surip itu terkapar jasmani maupun rohaninya. Hatinya merana mendapati cintanya bertepuk sebelah tangan. Beberapa hari setelah pengakuan hatinya terhadap Mbak Sita, Surip merasakan perubahan drastis.
Mbak Sita sekarang selalu menghindarinya, bila bertemu tampak ketakutan. Beberapa kali Mbak Sita pulang diam-diam mendahului karyawan-karyawan lain. Ternyata di luar sana dalam jarak dua ratus meter sudah menanti jemputan motor.
Sakit hati Surip mendapati keadaan dirinya, ia telah menjadi pengganggu. Semacam ancaman bagi perempuan yang telah memiliki kriteria pasangan hidup yang harus diraihnya. Surip adalah penghancur segala cita-citanya.
Larilah Mbak Sita mungkin minta perlindungan pada lelaki yang beberapa bulan lalu menjadi permainannya. Masuknya Surip sebagai orang ketiga mengharuskannya memilih salah satu. Surip mendengar cerita tentang hubungan Mbak Sita dengan lelaki yang menjadi pacarnya tersebut. Seorang pegawai negeri disebuah instansi Pemda Banyumas. Sangat bagus posisinya untuk masa depan.
Ada kendala dari lelaki tersebut, Mbak Sita ternyata mendapati lelaki yang mendekatinya tersebut sudah dijodohkan dengan perempuan lain. Tetapi kata Mbak Sita yang pernah bicara dengan Surip, lelaki tersebut tidak menyukainya. Pilihannya jatuh kepada Mbak Sita yang dikenalnya sebagai perempuan jinak-jinak merpati.
Itulah rupanya yang membuat Mbak Sita tersanjung. Ia makin terpikat untuk mendapatkan lelaki ini. Tak terpikirkan bahwa gosip yang didengarnya itu juga jebakan dari sang pria untuk mendapatkan cinta kasih Mbak Sita.
BAB 14
Pemogokan kerja karyawan gudang Supermarket
Tahun 1992 Tamara Plaza merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Purwokerto. Situasi saat itu adalah bertebarannya konglomerat Cina yang menguasai bisnis di Indonesia dengan mendekati penguasa Orde Baru.
Pergerakan politik yang tidak sesuai dengan penguasa Orde Baru semua di berangus. Hanya ada tiga partai politik yang berdiri, itupun salah satunya merupakan tangan panjang penguasa sedangkan dua diantaranya sudah tak berkembang apa-apa.
Contohnya di Banyumas, bupatinya selalu harus dari kalangan militer. Terdengar kabar simpang siur anak-anak bupati saat itu berhubungan akrab dengan anak-anak Presiden yang berkuasa saat. Beberapa kali Purwokerto dijadikan tempat wisata dengan menerbangkan pesawat kecil untuk bersenang-senang anak-anak pejabat tersebut. Konon pesawat-pesawat kecil tersebut milik pribadi anak-anak pejabat penguasa Orde Baru tersebut.
Sementara terdapat juga pergerakan kecil dari sekelompok agama yang menyebarkan ajaran tentang kewajiban berjilbab untuk seorang perempuan. Di sinilah Surip mulai melihat tabrakan aturan antara pengusaha dengan aturan agama tersebut. Kantor-kantor swasta, perusahaan swasta melarang jilbab di tempat kerja. Yang tidak bersedia mengikuti aturan perusahaan harus keluar dari perusahaan. Di Sri Ratu beberapa kali terjadi hal tersebut.
Surip tidak terlalu mengikuti perkembangan masyarakat saat itu. Jilbab menjadi marak setelah penguasa Orde Baru tumbang. Beberapa kelompok agama yang pergerakannya fundamental menjadi pelopor. Bahkan kemudian beberapa keelompok keagamaan tersebut mewajibkan menutup seluruh muka perempuan.
Kembali ke gudang Sri Ratu Purwokerto,
Orang-orang gudang terus membicarakan masalah mereka. Tapi yang berbicara hanya orang-orang gudang supermarket. Tampaknya di gudang departemen store tidak antusias dengan masalah yang ada.
“Aku bersedia menjadi juru bicara saat kita mogok kerja nanti. Pak Surya juga mendukung langkah-langkah kita ini. Kalian tinggal ikuti saja langkah-langkah yang sudah disiapkan oleh kami.” Ini dia Asisten gudang supermarket sangat aktif bicara.
Mbak Yuli yang hadir mencoba berkata,
“Mas terus terang kami ini tidak tahu tujuan mogok kerja ini, memangnya untuk apa? Kami ini khawatir dipecat karena mengikuti pergerakan kalian!” Wajahnya terlihat sangsi.
Begitulah orang-orang gudang supermarket banyak yang bingung dengan keadaan mereka di gudang. Sangat mencemaskan karena mogok kerja dilarang di manapun di Indonesia. Ancaman hukumannya lebih mengerikan dari pada mencuri ayam.
“Kalian itu hanya ikut di belakang kami saja. Segala masalah kami nanti yang menghadapi.” Asisten gudang berkata memperlihatkan anak-anak buahnya yang setuju dengan pergerakan yang mengatas namakan orang-orang gudang.
“Hati-hati loh mas ingat kami ini bekerja untuk menghidupi keluarga. Bila kena pecat gara-gara mogok kerja siapa yang menanggung?” Surip ikut-ikutan bicara karena merasakan dampak negatif pergerakan tersebut.
“Alah kamu itu tahu apa Rip, kalau berhasil biar kami saja yang naik pangkat. Kamu itu jadi kacung saja selamanya!” Seseorang yang mendukung pergerakan tersebut menyela perkataan Surip bahkan kemudian melarang Surip bicara.
“Kamu itu diam sajalah, bikin kami pesimis jadinya!” Katanya dengan peringatan keras mengacungkan kepalan tangannya kepada Surip.
“Pokoknya semua bergerak sesuai dengan komando dari aku!” Asisten gudang supermarket bicara terakhir kalinya.
Terus orang-orang berbicara tentang pembuat keputusan dari pejabat atas Sri Ratu. Orang-orang tersebut merasakan betapa tidak adilnya aturan yang diberlakukan orang tersebut. Surip merasakan semua masalah lari ke Pak Tongki sebagai biang keladinya.
“Memangnya seperti apa sih Pak Tongki itu? Tampaknya pejabat-pejabat di gudang supermarket sangat membencinya.” Surip berkata sendiri dalam hati.
Sementara orang-orang terus berpikir. terakhir kalinya Mas Agus bicara,
“Kita bisa apa, maunya atasan gudang seperti ini kita terpaksa ikut-ikutan walaupun tak tahu tujuan sebenarnya.” Lirih Mas Agus berkata kepada orang-orang saat berada di belakang gudang.
Karyawan-karyawan lain yang merasakan sebenarnya tak berurusan dengan acara atasan gudang mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Mereka tahu hanya menjadi pion dari orang-orang tertentu saja yang tentu ada udang di balik batu.
Hari itu sejumlah dua belas orang gudang melakukan aksi mogok kerja. Pelaksanaannya hari minggu karena dari bagian gudang departemen store sudah tidak setuju dengan cara tersebut. Hari minggu orang-orang gudang departemen store libur sehingga hanya ada orang-orang gudang supermarket. Mudah sekali orang-orang gudang supermarket dimobilisasi atasan mereka yaitu Pak Surya dan kelompoknya termasuk Asisten gudang supermarket.
Apakah Pak Surya hadir saat pemogokan kerja?
Oh tidak ada, beliau punya acara sendiri. He He He kencan dengan gundiknya entah dimana.
Mogok kerja mudah diucapkan, tapi sangat sulit penerapannya. Pergerakan-pergerakan seperti ini selalu dipenuhi berbagai intrik. Adakah pergerakan sepeti ini banyak pendukungnya?
Ternyata tidak!
Semuanya selalu bertumpu pada seorang pemimpin. Begitu pula tujuannya. Apa yang dimaui oleh Kepala bagian gudang Sri Ratu ini?
Sri Ratu hanya perusahaan swasta, biarpun begitu di dalamnya terdapat banyak kepentingan dari oknum-oknum penguasa perusahaan. Kabag gudang Sri Ratu ini berasal dari Semarang, berada di dalam struktur keluarga pemilik Sri Ratu. Rangkaian intrik dalam keluarga tidak diketahui keryawan-karyawan gudang seperti Surip, Mbak Yuli, Joko, atau pun Mas Agus.
Tapi sekarang merekalah yang digerakan membuat aksi mogok untuk tujuan tertentu dalam perusahaan. Tak ada yang bisa menghindar atau menganggap dirinya pahlawan.
Mogok!
Itu sudah salah apa lagi dalam masa penguasa Orde Baru. Surip dan kawan-kawan merasa terancam kesejahteraan dan kariernya. Semuanya tak berdaya kecuali mengikuti perintah atasannya di departemen gudang supermarket.
Akibat mogok terasa hari itu. Pasokan barang permintaan dari toko macet. Beberapa barang yang didisplay dalam rak-rak toko habis tanpa ada tambahan barang lagi.
Orang-orang toko terutama departemen supermarket berhamburan menuju gudang untuk mendapatkan barang sesuai counter yang dipegangnya masing-masing. Tak ada respon kecuali menghadapi beberapa orang gudang dan asisten nya yang melarang siapapun masuk gudang. Yang pertama diutus dari toko itu pramuniaga. Jelas tak digubris walaupun komentarnya pedas sekali. Pramuniaga gagal akhirnya melapor pada asisten pemasaran. Nah Asisten pemasaran toko maju dihadapi oleh Asisten gudang juga. Rupanya gagal juga mediasi dari Asisten pemasaran toko.
“Selama tuntutan orang gudang belum disetujui mogok akan berlanjut hari-hari selanjutnya.” Asisten gudang yang jadi juru bicara tambah congkak lagaknya.
Kalau Surip?
Hari minggu itu seperti biasa datang ke tempat kerjanya, ambil kartu absensi kemudian memasukan ke mesin absensi yang terdapat di pos jaga Satpam. Mesin absensi ini sering ngadat juga, jika tidak berfungsi baik tidak jelas lagi kolom hari masuk keluarnya pegawai. Tak apa, biasanya di akhir bulan Kabag gudang turun tangan sendiri memperbaikinya. Absensi dibuat baru lagi dari tanggal satu sampai tigapuluh. Beres gajipun turun dengan mulus dari bagian keuangan. Gudang memang bagian paling tidak disiplin dibandingkan orang-orang toko.
Jam kerja seperti biasa Surip masuk gudang bersama-sama karyawaan-karyawan lain. Hari itu hanya berkumpul, ngobrol dan tidur-tiduran di tumpukan barang. Atasan tidak membolehkan keluar, apa lagi menemui pramuniaga-pramuniaga yang biasa datang meminta kiriman barang. Untungnya itu hari minggu, distributor-distributor libur sehingga tak ada barang masuk. Bagian pembelian pun libur sehingga lengang, hanya pos jaga Satpam saja yang ditempati satu dua orang bergantian.
Mogok kerja hari minggu telah terjadi, orang-orang gudang menunggu respon dari atasan-atasan di toko. Tuntutan dari orang gudang telah disampaikan kepada direktur Sri Ratu Purwokerto.
Tuntutannya seperti apa?
Surip buta sama sekali, dia pun tidak sendirian. Orang-orang seperti Mbak Yuli, Joko, Mas Agus pun sama nasibnya. Hanya terima perintah dari Kabag gudang. Sepintas dari sopir gudang Surip dapat isu. Orang-orang gudang supermarket menuntut jatah libur sama dengan bagian gudang departemen store dan tambahan upah kesejahteraan.
Alasan tuntutan itu harus dipenuhi karena adanya perbedaan perlakuan terhadap bagian Satpam yang lebih diistimewakan oleh bagian lain di toko Sri Ratu. Orang-orang gudang menuntut karena bekerja lebih keras dari bagian Satpam. Itu logikanya yang masih bisa diterima.
Tapi berita simpang siurnya lebih banyak. Pak Surya sebagai pribadi ternyata bertentangan dengan Pak Tongki. Keduanya mempertahankan supremasi jaringannya sendiri-sendiri untuk tetap eksis di struktur organisasi perusahaan Sri Ratu.
Bagian ini yang Surip dan kawan-kawan tak paham. Beritanya aneh-aneh karena sampai pada hubungan suami istri pemilik Sri Ratu. Hanya ramainya saja karena penuh dengan intrik. Faktanya lebih pada urusan like and dislike. Semuanya menunggu keputusan pemegang tertinggi Sri Ratu.
Hari minggu acara mogok kerja sukses, apa lagi orang-orang sepeti Surip dan teman-temannya juga tidak keluar gudang kecuali istirahat siang. Sempat Satpam berkata langsung kepada Surip saat istirahat,
“Mau-maunya kalian mangkir dari pekerjaan. Jangan ikuti protes ini Rip, Jika bekerja seperti biasa kamu malah dianggap berjasa besar buat perusahaan.” Katanya dengan membujuk Surip supaya menghentikan mogok kerja. “Apa gunanya mogok kerja, kalian malah terancam diberhentikan dari pekerjaan nanti.” Tambahnya lagi dengan sedikit ancaman.
Surip tak mampu berbuat apa-apa. Baginya semuanya serba salah, mogok kerja tindakan yang berbahaya. Sementara Satpam tersebut masih sempat berkata, “Kita ini cuma keryawan rendahan, makan dari gaji yang diberikan pengusaha Cina. Buat kita yang penting bisa bertahan hidup di sini.” Komentarnya sedikit melecehkan keadaan Surip menghina secara pribadi.
Surip cuma menelan kata-kata yang keluar dari mulut Satpam penjaga gudang, setelahnya menyingkir mengisi perutnya di sebuah warung kecil. Tentu saja perasaannya campur aduk, tidak enak terlibat dalam pergerakan mogok di gudang.
“Siapa sih yang bertanggung jawab dalam aksi mogok kerja ini?” Tanyanya sendiri dalam hati.
Yang terlihat aktif memberi instruksi dan pergerakan cuma tiga orang, Asisten gudang supermarket dan dua orang temannya yang diketahuinya dulu di masukkan ke gudang karena jasa Pak Surya. Mereka itulah sebenarnya yang berkepentingan dengan aksi tersebut. Yang lainnya hanya ikut-ikutan karena statusnya sama-sama orang gudang.
“Seberapa kuat kedudukan orang-orang ini di Sri Ratu? Saat ini yang dihadapi ketiga orang ini hanya beberapa pejabat toko yang hanya berkepentingan dengan urusan-urusan kounter toko.” Disampaikannya pikirannya kepada Mas Agus.
Jawabnya, “Mereka bertiga itu cuma tukang gertak saja Rip, hati-hatilah jangan sampai kita yang disuruhnya maju menghadapi atasan.” Mas Agus berkata sambil menunjuk telunjuk jarinya untuk Surip agar tetap diam.
Esoknya hari senin, mogok kerja dilanjutkan. Tetap hanya orang-orang gudang supermarket yang mogok kerja. Gudang departemen store tidak ikut-ikutan melakukan pergerakan tersebut. Mereka langsung bekerja dan mengacuhkan orang-orang gudang supermarket.
“Kalian tanggung sendiri akibatnya, jangan libatkan orang gudang departemen store dalam aksi kalian. Departemen store punya pendirian sendiri!” Seseorang diantaranya menyampaikan pernyataan resmi kepada Asisten gudang supermarket.
Makin sempit dukungan terhadap aksi mogok kerja. Ancaman terus berdatangan dari beberapa atasan orang toko. Semuanya mengatakan pergerakan tersebut sia-sia, hanya membuang-buang waktu. Orang-orang gudang supermarket makin gelisah, semuanya merasa terancam kariernya. Sementara siapa yang memimpin aksi mogok alias dalangnya tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pemimpin pergerakan, jadinya samar-samar bahkan tak tampak batang hidungnya yaitu Kabag gudang supermarket.
Surip mencoba berkata kepada Asisten gudang supermarket tentang keadaan mereka yang banyak terkekang di dalam gudang.
“Pak kalau diteruskan kami tegang sekali. Tak mungkin terus-terusan berada dalam gudang, lebih baik keluar biarpun tetap tidak melakukan aktifitas pekerjaan.” Semacam permohonan disampaikan kepada Asisten gudang supermarket yang notabene tangan kanan Pak Surya kabag gudang.
Kayaknya kena juga kata-kata Surip. Setelah dirundingkan dengan yang lainnya Asisten gudang berkata,
“Baiklah kalian boleh keluar asal tetap dalam lingkungan Sri Ratu. Ke toko pun silakan, tetapi aksi tetap jalan sampai tuntutan orang-orang gudang dipenuhi Direktur Sri Ratu Purwokerto.”
Legalah orang-orang gudang supermarket. Dengan demikian biarpun aksi mogok tetap berlangsung tapi paling tidak mereka bebas dari kekejaman atasan untuk tetap berada dalam ruang gudang yang sumpek. Semuanya merasakan aksi tersebut tidak benar tetapi juga tidak berani menentang. Ada rasa solidaritas sebagai sesama bagian gudang supermarket.
Maka hari itu biarpun mogok kerja tetap berjalan, orang-orang gudang supermarket bisa keluar ruangan. Mbak Yuli langsung ngobrol dengan orang-orang pembelian di kantor depan. Surip sendiri bersama Joko malah pergi ke toko tanpa aktifitas apapun. Hanya berkunjung bahkan ngobrol-ngobrol dengan pramuniaga yang tetap bekerja seperti biasa. Yang tidak diperbolehkan hanya keluar dari lokasi Sri Ratu. Itulah mogok kerja yang dilakukan orang-orang gudang supermarket.
Surip tak tahu seberapa besar perhatian orang toko terhadap aksi mereka. Berbagai pertanyaan dari pramuniaga toko dijawabnya asal-asalan. Perkara intinya mogok kerja sampai tuntutan orang-orang gudang supermarket dipenuhi.
Rupanya aksi mogok hari sebelumnya juga telah diantisipasi orang-orang toko. Hari kedua itu beberapa pramuniaga toko ditugaskan khusus mengeluarkan barang-barang dari gudang semampunya hingga counter tidak kosong sepenuhnya. Tentu saja pramuniaga-pramuniaga toko tersebut tidak seterampil orang-orang gudang tentang masalah stock barang.
Berarti kali ini orang-orang gudang menanti kepastian nasib mereka di tangan pimpinan tertinggi Sri Ratu Purwokerto. Detik-detik itu terasa sampai tengah hari setelah jam istirahat kerja gudang.
Aksi-aksi saat orang gudang seperti Surip yang bersama Joko datang berkunjung ke toko jelas menarik perhatian atasan. Beberapa atasan orang toko bertanya-tanya tentang mogok kerja yang dilakukan. Yang pasti aksi tersebut menghancurkan kewibawaan mereka.
Itu sebuah pelecehan terhadap kekuasaan dan kehormatan mereka di tengah-tengah kehadiran karyawan toko. Seorang manager pemasarran toko yang sering menegur Surip sampai menggertakan giginya,
“Harus dihentikan. Tak bisa dibiarkan aksi mereka!”
Laporannya mudah saja, tinggal telepon ke pemimpin tertinggi Sri Ratu Purwokerto. Di dalam toko Sri Ratu setiap lantai ada telepon yang terpakai antar bagian. Sempat Surip melihat tatapan penuh emosi manager pemasaran tersebut terhadapnya. Surip hanya tahu nama panggilannya di toko yaitu Pak Broto.
Hampir setahun di Sri Ratu hanya sedikit Surip mengenal pejabat-pejabat toko swalayan ini. Paling banyak Surip bersentuhan dengan Kepala counter, Pramuniaga, Kasir dan SPG produk tertentu. Bahkan dengan Pak Musa yang memasukan dirinya di Sri Ratu ia jarang berjumpa. Pak Musa berada di kantor lantai tiga bak tempat angker karena menjadi penentu lolos tidaknya seorang pelamar kerja di Sri Ratu. Paling-paling Asistennya saja Surip sering bertemu, biasanya saat ada training calon karyawan baru. Masa-masa training dipraktekan beberapa ketrampilan yang diperlukan toko.
Kalau manager pemasaran Pak Broto berkunjung ke gudang. Surip sering sebal karena beberapa kali kena teguran dari Pak broto berkenaan dengan bidangnya di counter roti. Kata-katanya saat menegur sering menyinggung kesukuan.
“Kamu itu orang Jawa harus sopan terhadap pimpinan.” Kata-kata sakti itu keluar saat Surip coba membantah. Jadi membantah soal pekerjaan pun sudah dilarang. Itulah yang Surip sering hadapi ditengah-tengah menjalani kegiatan bekerja di gudang.
Sebelum istirahat sudah terdengar ancaman pembubaran aksi mogok dari beberapa bagian. Siapapun yang terlibat aksi mogok diancam mutasi ke pekerjaan-pekerjaan kasar atau dipecat dari perusahaan.
Surip jelas merasakan bahaya tersebut, tapi yang dilihatnya sekarang justru bukan dirinya tetapi penggerak aksi mogok yaitu Asisten gudang supermarket cs. Mental mereka sebagai aktifis mogok kerja jatuh. Beberapa perkataannya tidak selantang hari minggu.
“Pak Surya ternyata membiarkan kita menghadapi sendiri masalah ini. Beliau tidak mau hadir ditengah-tengah kita.” Asisten gudang supermarket mengeluh. “Bagaimana saat menghadapi direktur Sri Ratu Purwokerto ini, padahal nota protes dan tuntutan semua berasal dari Pak Surya.” Wajah kebingungan dan kekhawatiran mendera mereka sekarang.
Kalau pemimpin aksi gerakan mogok kerja saja sudah jatuh apalagi Surip cs. Hati mereka kebat-kebit sudah seperti dipecat dari pekerjaan. Terbayang nasib mereka menjadi pengangguran, jauh lebih sakit dari pada bekerja non stop dua belas jam. Begitulah nasib jika menjadi pengikut satu bagian. Ikut nggak ikut posisi mereka tetap salah. Beberapa kali Asisten gudang supermarket menyatakan akan bertindak keras kepada orang-orang yang dianggap sebagai pengkhianat.
“Sudah ada instruksi yang disampaikan melalui Satpam, seluruh orang gudang harus berkumpul di ruang komputer.” Salah seorang teman Asisten gudang berkata memberitahu. “Semua orang gudang tak terkecuali gudang supermarket maupun gudang departemen store harus berkumpul!” Lanjutannya ada lagi.
Konsekuensi harus diterima, semua orang gudang bergegas masuk ruang depan berisi perangkat komputer dan beberapa ruang yang dulunya menjadi ruang tengah rumah besar. Beberapa orang gudang departemen store yang tidak terlibat aksi gerakan menggerutu karena sekarang tertimpa imbasnya.
“Huh kami jadi kena getahnya sekarang!” Itu ujar Asisten gudang departemen store.
Yang jelas tak ada lagi pemimpinnya, Pak Surya kabag gudang mereka tidak hadir membela walaupun semua orang tahu, itulah dalangnya dibalik aksi mogok kerja orang gudang.
Sejam mereka berkumpul di ruang tengah. Sekitar dua puluh lima orang jumlahnya. Menanti semacam rapat penentuan nasib yang akan dijatuhkan kepada mereka. Debar jantung semakin meningkat ketika serombongan orang dari toko datang ke gudang. Sebagian diantaranya mereka kenal sebagai atasan dan hadir juga Direkturnya. Rombongan ini dikawal beberapa Satpam dan seseorang berseragam polisi. Tertera di dadanya dari satuan Brimob Purwokerto.
Seorang Satpam berkata,
“Semua yang hadir di sini harus mengisi data diri dengan tanda tangan di sini.” Langsung sebuah perintah keluar dengan selembar blangko kosong untuk isian nama setiap orang yang hadir di musyawarah. Entahlah rasanya bukan musyawarah, lebih tepat penentuan nasib orang-orang gudang karena telah melakukan aksi mogok kerja.
Kemudian orang-orang gudang semakin tertekan saat seorang dari rombongan toko tersebut memotret mereka. Seolah-olah mereka telah menjadi pelaku kriminal. Kemudian seseorang lainnya mulai berkomentar sebagai pembuka acara. Kata-katanya bukan formal sebuah acara tapi langsung menjadi intimidasi.
“Semua yang hadir di gudang ini silakan langsung berhadapan dengan Direktur utama Sri Ratu Purwokerto!” Kata-katanya memerintah dan juga menantang.
Langsung dipersilahkan seseorang maju, orangnya sedikit kurus sipit matanya. Direktur Sri Ratu Purwokerto ini memakai pakaian resmi berdasi, rambutnya sebagian sudah beruban. Surip meengetahuinya sering keluar masuk Sri Ratu dengan mobil jeep hitam. Mukanya tidak pernah terlihat ramah, hanya terbiasa memerintah anak buah saja rupanya.
Mulai bicara sudah terasa ledakan emosinya,
“Tindakan kalian itu dilarang pemerintah. Siapa pun yang melakukannya nanti kena hukuman pidana!” Suaranya sudah memvonis tak ada ampun bagi pelakunya.
Orang-orang gudang terdiam, Surip merasakaan semua orang dicekam rasa was-was dan takut.
“Jika kalian tetap meneruskan mogok kerja, kalian akan ditangkap polisi dan diadili di pengadilan. Ini ada polisi yang kami hadirkan untuk menyaksikan aksi terlarang orang-orang gudang.” Beliau berkata menunjuk seorang berseragam polisi yang hadir tapi diam tak bereaksi apa-apa.
Ini jaman Orde Baru, tentara dan polisi sangat ditakuti karena mudah sekali menangkap orang dan memenjarakan melalui pengadilan. Apa pun masalahnya jika sudah berurusan dengan polisi hanya akan berada di pihak yang disalahkan.
Masih Direktur Sri Ratu Purwokerto bicara,
“Kami ini atasan perusahaan. Siapapun yang menentang peraturan yang kami buat bisa kami pecat. Tinggal kami laporkan saja ke ke pihak berwajib sudah hancur nasib kalian.” Suaranya terus mengancam membuat nyali orang-orang yang hadir makin ciut nyalinya.
Surip sendiri merasakan betapa posisi atasan-atasan toko ini begitu kuat. Berurusan dengan mereka berarti merepotkan diri sendiri. Betapa tidak, setiap seorang atasan kemungkinan dilindungi bawahan baik itu tangan kanan maupun tangan kiri, belum lagi beberapa aparat polisi sudah disiapkan untuk melindungi bila terancam.
“Saya beritahu aksi kalian ini bisa dibubarkan paksa jika kami laporkan ke kepolisian. Jadi kamu harus pikir nasib anak istrimu di rumah.” Entah mengancam entah memberitahu suara Direktur Sri Ratu Purwokerto ini.
Kemudian beliau bertanya,
“Siapa yang memimpin aksi massal kalian ini?” Pandangannya menyapu kepada sekitar dua puluh lima orang yang hadir di ruang tengah tersebut.
Orang-orang gudang saling berbisik, semua orang tertuju kepada tiga orang yang selama ini mempengaruhi mereka untuk melakukan aksi mogok kerja. Yang terlihat ketiganya tak berkutik tidak berani maju menyatakan posisinya.
“Ayo siapa pemimpin dalam aksi terlarang kalian ini!” Makin keras pejabat Sri Ratu ini berbicara. Siapapun dipandangnya tajam untuk mengetahui reaksi orang-orang yang dianggap mbalelo ini. Dan satupun orang gudang yang hadir tidak ada yang berani maju di depan Direktur Sri Ratu Purwokerto.
“Bagaimana yang dari gudang departemen store, siapa pemimpinnya?” Kali ini pejabat toko tersebut mencoba berkomunikasi dengan salah satu bagian gudang.
Ditunjuknya Asisten gudang departemen store untuk bicara,
“Kami tidak ikut aksi mogok kerja pak, hanya orang-orang gudang supermarket yang melakukannya hari minggu. Hari senin kami sudah beraktifitas seperti biasa.” Asisten gudang departeman store berkata tak mau dijadikan sasaran kesalahan.
Pengakuan Asisten gudang departemen store makin mengecilkan posisi orang-orang gudang supermarket. Surip coba melihat wajah Asisten gudang supermarket, tunduk tak berdaya. Gemas juga Surip melihat orang ini. Beberapa hari yang lalu dialah oknumnya yang mempengaruhi anak-anak buahnya melakukan aksi mogok kerja memprotes kebijaksanaan atasan toko. Beberapa hari yang lalu orang ini begitu idealis mengutarakan ketidak adilan akibat kebijaksanaan seorang pejabat toko.
Karena orang-orang diam direktur Sri Ratu ini coba berkomunikasi lagi,
“Yul kamu itu sudah lama di gudang, tentunya tahu siapa yang memimpin aksi protes ini?” Coba ditunjuknya Mbak Yuli yang cukup dikenalnya karena sudah lima tahun jadi karyawan gudang.
“Bukan saya pak, saya tak tahu apa-apa.” Mbak Yuli lebih suka mengaku dirinya sebagai bukan apa-apa sekaligus tak berani meengorbankan salah satu orang untuk ditunjuk sebagai pelakunya.
Geram wajah pejabat Sri Ratu ini, ia tahu tak mungkin mengorek keterangan lebih jauh. Hanya orang-orang gudang supermarket yang melakukan aksi mogok kerja.
“Jadi tidak ada yang mengaku jadi pemimpin aksi kalian ini, kamu yang Asisten gudang supermarket masak tidak tahu siapa orangnya?” Ditunjuknya Asisten gudang supermarket untuk menegaskan pelakunya. Wah ternyata Asisten gudang supermarket ini cuma geleng-geleng kepala tanda tak tahu. Entah takut entah memang bego orangnya.
Di sini Surip rasanya muak melihat orang-orang ini. Ternyata penggerak aksi mogok kerja lebih mementingkan nasibnya sendiri, mereka takut juga bila dipecat dari perusahaan. Padahal aksi-aksi seperti ini sudah resikonya mencapai tingkatan pecat memecat karyawan.
“Kalau memang tidak ada yang mengaku, berarti batal segala protes dan tuntutan kalian! Kalian kembali saja bekerja seperti semula. Percuma pergerakan protes kalian ini tanpa ada seorang yang memimpin.” Ini dia yang ditunggu-tunggu pejabat toko untuk meredam aksi mogok kerja orang-orang gudang.
Masih ditunggunya bila ada yang berani menyanggah kata-katanya tersebut. Sekali saja bila yang hadir ada yang menyanggah bisa-bisa langsung di vonis pemecatan.
Orang-orang gudang yang hadir pun terdiam, gagal sudah aksi mogok kerja mereka menuntut perubahan nasib sebagai orang-orang yang terpinggirkan.
Siapa yang tidak takut salah bila berada dihadapan pemimpin?
Itu merupakan fenomena biasa di masyarakat. Seorang pemimpin bila itu dalam lingkup paling kecil sekalipun selalu memiliki tingkat kekuasaan. Kekuasaan inilah yang ditakuti bawahan-bawahannya. Nasib bawahan ditentukan oleh penguasa, sebisa-bisa mungkin bawahan menyesuaikan diri dengan penguasa manapun.
Tak ada lagi yang berani menentangnya, Direktur Sri Ratu Purwokerto ini merasa menang.
“Mulai sekarang kalian bekerja kembali seperti biasa. Aksi protes ini merupakan tindakan pelanggaran dalam perusahaan. Tak ada ampun bagi kalian bila meneruskan. Perusahaan tidak rugi karena aksi kalian, justru nasib kalian taruhannya!” Terus kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Orang-orang yang hadir baik itu orang-orang gudang maupun rombongan dari toko hanya mendengarkan ceramah pejabat tersebut.
“Kalian sudah tahu untung ruginya buat kalian semua, pertemuan ini bisa saya bubarkan. Ada yang hendak kalian tanyakan sebelum dibubarkan?” Seolah-olah direktur perusahaan ini memberi peluang orang-orang yang hadir di ruang tengah departemen gudang.
Surip menunjukan jarinya ke atas,
“Saya pak!”
Terkejut orang-orang yang hadir mendapati seseorang yang berani bicara di depan pejabat toko ini. Direktur Sri Ratu Purwokerto tersebut memandang tajam Surip. Keningnya berkerut tak senang ditentang keputusannya.
“Siapa namamu, apa yang hendak kamu tanyakan?” Tinggi nadanya, anak-anak buahnya tak pernah berani membantah apa-apa yang sudah diputuskan olehnya.
“Saya Surip pak, saya usul bagaimana jika pertemuan ini bisa membahas tuntutan orang-orang gudang tentang hak libur sehingga sama dengan gudang departemen store atau paling tidak tambahan libur seperti Satpam toko?” Surip mencoba sedikit celah yang diberikan pejabat penting di Sri Ratu ini.
Belum lagi Direktur Sri Ratu Purwokerto menjawab, seorang yang hadir dari rombongan toko mendamprat Surip.
“Berani benar kamu menentang Pak Direktur, apa dasarnya kamu mengusulkan aturan seperti itu!” Keras kata-katanya membuat orang-orang yang hadir memandangi Surip
Surip jadi terpancing sendirian menghadapi orang yang mendampratnya,
“Kenyataan sudah terjadi pak, kami yang sama-sama karyawan Sri Ratu biarpun berbeda bagian terutama Satpam sudah mendapatkan jatah libur tambahan, kemudian adanya usulan kenaikan upah. Sedangkan kami bagian gudang tak ada perhatian sama sekali. Itu berarti ada semacam kesenjangan di dalam perusahaan. Status kami kan sama-sama karyawan Sri Ratu pak.” Surip membeberkan uneg-uneg yang ada dikepalanya, ia tak tahu betapa memerah muka orang-orang rombongan dari toko ini. Mereka seperti ditampar karena apa yang dikemukakan Surip sudah terjadi di lapangan.
“Kurangajar sekali kamu, kutampar mukamu itu!” Orang tersebut maju dengan penuh emosi hendak menghajar Surip. Terjadi keributan sedikit karena situasi menjadi tak terkendali. Untung beberapa orang dari rombongan toko mencegat tindakan seorang yang telah mendamprat Surip.
Orang-orang dari rombongan toko itu kini memandangi Surip seperti menghadapi musuh besar. Tak dinyana diantara orang-orang yang tadinya sudah tak berani menentang apa-apa ternyata ada yang maju mengajukan masalah sesuai tuntutan orang-orang gudang.
Dua orang dari rombongan toko kini menghadapi Surip, seorang Direktur Sri Ratu dan seorang mungkin tangan kanannya. Surip tak mengenalnya karena jumlah karyawan toko ada ratusan orang.
Surip cepat-cepat menukas,
“Saya hanya mengusulkan. Soal diterima atau tidak kan terserah bapak. Kami diberi kesempatan bicara tentu saja kami gunakan.” Surip mencoba berkata dengan sebuah argumentasi.
Kali ini Direktur Sri Ratu menghadapi Surip,
“Usulmu itu jelas tak bisa diterima. Semua peraturan kami yang membuat. Kalian tinggal menerima saja aturan tersebut. Kalau aksi kalian itu sudah larangan baik dari perusahan maupun negara. Berani kamu menentang negara?” Masih dicoba oleh Direktur Sri Ratu agar orang-orang yang hadir tahu.
Kata-kata Direktur Sri Ratu itu kemudian ditambahi oleh orang yang mendamprat Surip. Sementara adegan itu malah difoto oleh seorang dari rombongan toko. Mungkin ini adalah sebuah kasus pemogokan kerja yang begitu berani menentang kekuasaan walaupun lingkupnya hanya di perusahaan. Lingkup aksi ini tak menyeret ke urusan politik walaupun saat Orde Baru berkuasa apa-apa yang menjadi penentangnya selalu diberangus.
“Kamu vokal sekali, apa kamu yang memimpin aksi mogok kerja orang gudang?” Orang-orang dari rombongan toko tertumpah perhatiannya kepada Surip. Ia satu-satunya yang berani bicara saat pertemuan.
“Saya tidak memimpin, hanya menyuarakan keinginan sebuah perubahan nasib kami dihadapan bapak. Soal diterima atau tidak usul tersebut terserah pimpinan saja. Saya kira hanya itu saja yang bisa saya sampaikan.” Surip tahu diri, dikeroyok dua orang sudah terasa berat. Mentalnya juga hancur karena percuma bila dilanjutkan.
Benar saja orang yang mendamprat Surip mengancam,
“Berani menentang kami siap-siap saja kamu dilaporkan ke polisi.” Kata-kata ancaman itu jelas tak mungkin dilawan Surip.
Sementara Direktur Sri Ratu Purwokerto kembali berkata,
“Kalian harus kembali bekerja. Siapa yang menentang perintah kami ini silakan menanggung resikonya sendiri. Kami tidak main-main dengan kata-kata kami!” Makin sulit orang-orang gudang untuk bicara. Semuanya kekuasaan mutlak, itu sudah struktur pimpinan perusahaan.
Masih sempat Surip didamprat tangan kanan Direktur Sri Ratu Purwokerto.
“Sekali lagi berani bicara hadapi aku secara pribadi!” Sebuah tantangan terbuka datang darinya tetapi bagi Surip sudah tidak menarik. Surip hanya mengangkat tangan tanda menyudahi masalah.
Posisi orang-orang gudang sangat lemah, pergerakan yang terjadi dalam aksi mogok kerja memprotes kebijaksanaan salah satu pimpinan terhenti. Yang menyelesaikan masalah merupakan pimpinan tertinggi Sri Ratu Purwokerto. Padahal dari berbagai pembicaraan di gudang saat itu yang dipikirkan cuma sebuah aksi untuk menentang kebijaksanan pimpinan bagian lain. Lagi pula semua orang gudang tahu. Kabag mereka ternyata cuci tangan dari masalah pergerakan anak-anak buahnya. Orang-orang gudang cuma kroco, penggerak aksi yang tadinya begitu idealis saat mogok kerja berlangsung, tak berani menghadapi ancaman dari pejabat toko. Semuanya hanya berpikir menyelamatkan dirinya sendiri dan posisi masing-masing agar tak dicap vokal.
“Tidak ada lagi yang dibicarakan dalam rapat ini. Sekarang semua kembali bekerja, pertemuan ini resmi saya bubarkan!” Beberapa menit setelah tak ada tanggapan lagi dari orang-orang gudang, pertemuan itu dibubarkan. Orang-orang gudang tetap kalah tak mampu melawan atasan yang dibekali kekuasaan hukum.
“Silakan kalian kembali ke ruang dalam untuk bekerja seperti biasa.” Terakhir Direktur Sri Ratu Purwokerto bicara.
Bubarlah orang-orang gudang masuk kembali ke sel tempat kerjanya. Gudang lebih mirip penjara, di dalamnya penuh dengan rak-rak tinggi dan barang-barang menggunung. Berada di dalamnya akan terasa sumpek.
Itulah yang menjadi perasaan betapa tidak adil perlakuan yang mereka terima sebagai sesama karyawan perusahaan. Setelah berada di ruang dalam gudang, mereka tidak lagi terlalu banyak bicara. Yang jelas hanya seorang teman mereka yang bernama Surip yang berani menyuarakan masalah atas nama departemen gudang.
Aksi protes yang dilakukan orang-orang gudang masih dalam masa Orde Baru. Semua hal yang berbau massal dan menentang penguasa walaupun lingkupnya kecil adalah terlarang. Ancaman hukumannya sangat berat.
Setelah reformasi bergulir pergerakan-pergerakan seperti yang dilakukan oleh orang-orang gudang menjadi fenomena biasa. Di mana-mana karyawan melakukan aksi mogok kerja, demo menuntut hak buruh dan protes-protes terhadap berbagai perlakuan intimidasi dari atasan perusahaan terus bergulir biarpun keadilan tetap menjadi barang semu.
BAB 15
Tindak Kekerasan terhadap Pimpinan.
Di sebuah kesempatan Surip singgah di rumah Pak Anwar. Saat didatangi Pak Anwar sedang duduk di ruang tamu. Sebatang rokok menyala di mulut beliau, asapnya memenuhi ruang tamu yang sempit tak berkursi, asapnya memenuhi ruang tamu tersebut.
“Lintingan Rip, ngirit duit. Tidak sepertimu sekarang yang bekerja di Sri Ratu.” Berbicara sendiri Pak Anwar memulai ngobrol dengan Surip.
“Ah Pak Anwar saya kerja di gudang itu upahnya kecil. Dihitung-hitung paling besar sebulan cuma enam puluh ribu. Paling tinggi itu kudapatkan saat lebaran. Ada tambahan THR biarpun tidak penuh satu bulan gaji.” Surip mengelak dibilang upahnya besar. Upah yang tertera selalu berkisar dua ribu perhari.
“Kamu masih beruntung Rip, dibandingkan dengan pegawai honorer di beberapa instansi cuma tiga puluh lima ribu sebulan, itupun entah kapan ada pengangkatan resmi jadi pegawai negeri.” Pak Anwar menghibur Surip, lanjutan katanya mulai serius. “Sekarang latihan di sini sepi Rip, anak-anak di sini yang sekolah di SMP jarang yang mengaji di langgar. Paling-paling malam minggu saja aku bisa melatih Pencak Silat.” Katanya perlahan memberitahu.
Surip diam saja, ia pun tak berdaya mengurusi masalah bekas perguruan. Ia paham sedikit Pak Anwar, beliau hanya menjadi pelatih. Itulah tingkat ajarannya yang bisa dibanggakan di masyarakat. Orang-orang mengenalnya sebagai pelatih yang disiplin walaupun praktek latihannya hanya itu-itu saja setiap tahunnya. Tak pernah terdengar Pak Anwar ini misalnya menjadi jagoan kampung yang disegani. Bila pun ada jasa keamanan, paling-paling hanya di hajatan pernikahan atau pengajian langgar Mangga Sholat.
“Semua bekas murid perguruan Al-Jurus sudah berpencar-pencar, jarang yang datang ke sini. Benar-benar tak mungkin menghidupkan perguruan. Kamu pun sudah bekerja sepertinya sudah lupa tempat ini.” Prihatin sekali kata-katanya seperti di tujukan kepada dirinya sendiri. “Tapi kunasehati kamu Rip, tetaplah berlatih jurus di manapun berada. Aku tak bisa menerangkan apa-apa kepadamu, dari jurus itu aku tetap merasakan manfaatanya.” Pak Anwar berkata ditujukan kepada Surip. “Ingat jadikan jurus sebagai salah satu bagian hidupmu. Betapapun sederhananya jurus bisa menjadi didikan karakter yang kuat. Jurus pun boleh di tafsirkan menurut pengalaman yang kamu dapatkan nantinya di manapun berada.” Lagi-lagi itulah kata-kata yang keluar dari mulut Pak Anwar, inti pembahasan selalu berpijak pada jurus. Mungkin seumur hidup Pak Anwar jurus tersebut sudah mendarah daging pada dirinya.
Pembicaraan berselang-seling dengan berbagai pembahasan pengajian karena mereka sama-sama jamaah langgar. Biarpun kecil langgar Mangga Sholat menyimpan beberapa tokoh yang berkecimpung dalam keilmuan. Pemilik langgar sangat kuat hafalan Al-Quran nya sehingga sering menjadi rujukan orang-orang di kampung. Sayang jika ceramah sering bikin mengantuk jamaah yang hadir.
Dan Pak Anwar adalah ahlinya jurus, bagian dari beladiri Pencak Silat. Surip adalah salah satu siswa yang pernah berlatih di bawah bimbingannya. Pengaruhnya besar terhadap pribadi Surip walaupun sudah terputus hubungan guru dan murid.
Surip merasa di Purwokerto ini Pak Anwar menjadi salah satu orang dianggapnya seperti orang tua. Lebih dari seorang Pak Jamaludin guru besar perguruan Al-Jurus. Surip tak pernah di bimbing Pak Jamaludin langsung. Perkenalannya dengan perguruan Al-Jurus di desanya lebih dulu dengan Pak Anwar karena bersentuhan langsung di ajang latihan.
Sekarang Surip sudah bekerja, latihan silatnya terhenti karena waktunya tersita oleh pekerjaan.
“Aku belum berpikir untuk berlatih silat lagi pak. Rasanya sulit sekali membagi wakttu.” Surip beralasan di depan Pak Anwar.
Alasannya ini sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataan. Diketahuinya beberapa temannya sesama karyawan gudang ada yang berlatih beladiri Kempo. Ia pernah diajak menonton latihan mereka beberapa blok dari gudang Sri Ratu. Temannya ini berasal dari Salatiga sudah mencapai ban hijau sejak dari sekolahnya di Salatiga. Sekarang ia bergabung kembali menyambung latihannya di kota berbeda sebagai cabang beladiri Kempo Indonesia.
Dari sini saja Surip sudah membayangkan, Kempo terkoordinasi dalam seluruh wilayah Indonesia sebagai beladiri internasional. Padahal pamornya masih kalah jauh dengan Karate dan Judo. Kempo adalah kungfu ala Jepang. Alirannya Shorinji alias Shaolin Kungfu. Biara Shaolin di Jepang memiliki perkembangan tersendiri menyesuaikan dengan sejarah Jepang. Sama-sama Shaolin tapi berbeda wilayah, hanya saja keduanya mengklaim sebagai organisasi bela diri tertua di dunia.
Kembali ke gudang swalayan Sri Ratu,
Biarpun aksi protes orang-orang gudang supermarket gagal total, tetap saja ada hasil positifnya. Bagian security yang tadinya diistimewakan karena peraturan baru seorang pejabat di toko justru dibatalkan langsung oleh direktur Sri Ratu Purwokerto. Dengan demikian kesenjangan antar departemen tidak terjadi lagi.
Tapi itu juga bukan berarti pertentangan antar kelompok dalam Sri Ratu terhenti. Terdengar kabar Pak Surya sebagai Kabag gudang mendapat sorotan tajam. Orangnya disudutkan sampai ada pernyataan dari beliau jika hendak mengundurkan diri dari perusahaan.
Surip tidak ngeh dengan berita simpang siur seperti itu. Sebuah kenyataan di gudang, gara-gara niat pengunduran diri Kabagnya tersebut, anak buahnya yaitu Asisten gudang supermarket dan dua orang laainnya blingsatan merasa terancam.
Posisinya goyah karena bakalan ikut tergusur sebagai karyawan dimasukan melalui jalur kelompok Pak Surya. Ibaratnya Pak Surya mundur berarti mereka juga harus mengikuti jejaknya. Itu sudah hukum tak tertulis di perusahaan manapun. Hukum tak tertulis lainnya justru adil, yaitu bilamana ternyata dua orang karyawan diketahui bersaudara kandung keduanya tidak boleh berada dalam satu departemen. Tentu ini untuk menghindari kasus-kasus yang tak diinginkan perusahaan.
“Rip kamu saja yang kirim barang ke toko, Mas Agus libur hari ini.” Mbak Yuli memerintah Surip untuk mengerjakan tugas harian salah satu karyawan. Biasanya jika Surip ikut mengantar barang ia hanya sebagai tukang bongkar muatan mobil gudang.
“Ya mbak.” Surip tak membantah, orang-orang gudang supermarket terkadang punya tugas lain, yaitu ikut menjemput barang-barang orderan dari Semarang karena kapasitasnya sebagai pengecek barang. Tidak ada upahnya hanya uang konsumsi dan jalan-jalan gratis ke Semarang.
Barang-barang kiriman sudah bertumpuk, mobil bak terutup gudang sudah mundur untuk diisi. Surip sudah membantu memasukan barang ke boks mobil. Kali ini tugasnya bertambah karena Mas Agus yang biasa kirim barang libur sesuai jatahnya.
“Sudah Rip ayo kita antar secepatnya ke toko. Jangan lupa buku ekspedisinya!” Sopir gudang berkata, setahu Surip sopir gudang sering berganti karena jarang ada yang betah bekerja, mungkin karena gajinya lebih kecil bila dibandingkan dengan gaji sopir angkot. Karena sering berganti-ganti sopir sering sekali Kabag gudangnya merangkap dan sekalian menggunakannya seperti mobil pribadi.
Tak sampai sepuluh menit mobil sampai di toko. Tujuannya sudah biasa yaitu bagian pintu belakang gudang Tamara Plaza mendekati lift pengangkutan barang. Kalau jarak gudang dengan toko paling cuma lima ratus meter, konon untuk jarak sedekat itu mobil gudang telah diberi ijin oleh kepolisian. Soalnya mobil selalu melawan arus lalu lintas yang searah di jalan jendral Soedirman. Apa lagi mobil gudang tidak hanya satu, satu mobil boks tertutup ukuran kecil dan satunya sebuah truck boks tertutup cukup besar. Mobil jenis truck inilah yang dipermasalahkan oleh kepolisian karena adanya larangan masuk dalam kota di siang hari.
Sampai di pintu belakang gudang Tamara Plaza banyak bertumpuk barang minta jatah diangkut ke beberapa gedung lantai atas. Mobil gudang terpaksa agak jauh untuk menurunkan barang supaya tidak saling tumpang tindih dengan barang-barang milik bagian tugas orang-orang cleaning service. Gudang tak punya cleaning service, Kabag gudangnya pernah mempekerjakan seorang wanita dengan status pembantu rumah tangga. Statusnya bukan karyawan departemen gudang dan diupah langsung oleh Kabag gudang, cuma tak bertahan lama.
Sedikit demi sedikit barang dimasukan toko dicek oleh beberapa pramuniaga counter. Surip harus berhati-hati karena kali ini tidak sendirian menurunkan barang. Barang-barang jatah cleaning service itu ternyata justru di turunkan dari beberapa tingkat untuk diangkat keluar dengan sebuah truck. Departemen supermarket berada di lantai pertama gedung Tamara Plaza. Surip tidak pernah berurusan dengan lift pengangkut barang yang bisa mencapai tingkat empat.
Untuk pengunjung Tamara Plaza ke lantai dua hingga empat tersedia eskalator (Tangga berjalan), letaknya di depan gedung Tamara Plaza membuatnya tampak mewah. Tamara Plaza menjadi gedung yang pertama kali memiliki eskalator sehingga banyak menarik pengunjung. Jejaknya kemudian diikuti oleh toko Rita sebagai pesaing utamanya.
Saat mengecek barang Surip tak tahu ternyata manager pemasaran Pak Broto sedang memperhatikan lantai tempat memasukan barang baik dari gudang maupun tugas orang-orang cleaning service. Keadaannya berantakan dan kotor sekali. Entah kenapa Pak Broto memandangi Surip dengan muka tak senang.
Pak Broto mendekati Surip dan seorang Pramuniaga yang sedang mengecek barang dari gudang.
“Hei lantainya dibersihkan semuanya, jangan sampai pengunjung tak bisa lewat dari sini!” Perintahnya kepada pramuniaga dan Surip yang mengecek barang. Beberapa pramuniaga yang berada dekat Pak Broto segera memenuhi perintah manager pemasaran tersebut.
“Hei kamu dengar tidak perintahku, bersihkan tempat ini sampai bersih!” Surip kali ini terkejut, suara Pak Broto benar-benar ditujukan kepada dirinya. Begitu juga pramuniaga yang bersama-sama sedang mengecek barang kiriman.
Mereka berdua memandang Pak Broto tanda tak mengerti karena dalam keadaan tanggung bekerja. Sekali ditinggal barang-barang tersebut siapa yang bertanggung jawab?
“Apa pak, maaf kami lagi mengecek barang permintaan toko. Apa harus ditinggalkan tugas ini?” Bertanya pramuniaga dengan muka bingung begitu juga Surip.
“Kamu yang kuperintah, cepat lakukan!” Menggelegar suara Pak Broto, langsung telunjuknya menunjuk muka Surip.
Surip terkesiap, mukanya kaget karena benar-benar dirinya yang mendapat perintah. Dilihatnya di sampingnya ada beberapa kotoran berserakan karena petugas cleaning service memang belum sempat membersihkan.
“Ini bukan tugas saya pak, maaf saya sedang tanggung mengecek barang dari gudang.” Hanya itu Surip coba beralasan. Rasa-rasanya terlalu mengada-ada atasan yang satu ini.
“Berani kamu membantah perintahku!” Membentak Pak Broto mencecar Surip.
Kali ini Surip bergerak melakukan perintah, tapi muncul perasaan terhina. Ia merasakan harga dirinya terinjak-injak oleh atasan toko ini. Betapapun kedua tangannya bergerak memunguti beberapa kotoran yang berserakan tapi wajahnya memandang Pak Broto dengan beringas. Keluarlah umpatan kasar tanpa disadarinya.
“Bangsat!” Sekali kata itu keluar cukup keras didengar oleh Pak Broto.
Merah padam muka Pak Broto, mungkin merasa dilecehkan oleh Surip. Terdengar kata-katanya,
“Kulaporkan kamu ke personalia, tanggung sendiri resikonya tahu!” Pak Broto berkata seraya meninggalkan lantai paling bawah swalayan Sri Ratu.
Insiden terjadi cepat sekali, Surip tak paham apa-apa yang terjadi. Dirasakannya itu sebagai penghinaan karena dirinya seperti dijebak untuk mematuhi sebuah perintah yang bukan pada tempatnya. Setelah membersihkan kotoran yang berserakan seadanya, Surip kembali mengecek barang dari gudang bersama pramuniaga toko. Hatinya masih diselimuti perasaan tak menentu.
Belum selesai pengecekan barang datang seorang Satpam memanggil Surip.
“Saudara dipersilahkan menghadap personalia sekarang juga. Perintah langsung dari Pak Musa.” Satpam berkata kepada Surip. Satpam menunjukan surat perintah dari bagian personalia berupa nota diatas kertas kecil sebagai kuasa.
Surip merasakan dadanya berdebar keras, mulai tidak enak hatinya terhadap situasi yang dihadapinya.
“Apa sebabnya sampai saya disuruh menghadap personalia pak?” Coba Surip bertanya, setahunya Satpam yang di hadapinya ini pelaksana harian saat ini.
“Saya hanya menjalankan perintah, silakan langsung menghadap ke kantor sekarang juga.” Satpam berkata menyesuaikan tugas yang dilakukannya. Kapasitasnya hanya sampai di situ saja. “Mari saya antar ke kantor personalia.” Sedikit ramah suara Satpam terhadap Surip.
Surip meninggalkan pekerjaan yang tinggal sedikit belum di selesaikannya. Menghadap personalia berarti ada hal-hal serius berkaitan dengan nasibnya. Sempat ia bercakap-cakap dengan Satpam yang mendampinginya. Tapi yang dibicarakan bukan hal yang diketahuinya malah bertanya apa yang telah terjadi sebelum ada perintah resmi dari kantor personalia.
Melalui tangga biasa Surip memasuki ruang lantai kedua berupa counter elektronik, house ware dan counter stationary. Beberapa pramuniaga menyapanya biasa saja, tak tahu bila Surip sedang bermasalah di tempat kerja. Terus ke lantai tiga berupa counter asesoris, fashion dan berbagai produk jeans yang dipasang SPG-SPG yang modis-modis.
Paling seram sebuah ruang di sudut yang berkaca rayban dengan nama personalia. Di sinilah Surip masuk setelah mendorong pintu kaca yang memang tertulis harus didorong. Seorang berpakaian necis menyambut Surip.
“Silahkan duduk, Pak Musa sedang berada di lantai satu. Tunggulah sebentar.” Katanya ramah tapi jelas Asisten Personalia ini sudah tahu kondisi Surip yang bermasalah.
Ruangan personalia sepi, hanya ada mereka berdua. Sesekali asisten ini menerima telepon dari seseorang dan menjawab formal. Surip merasakan beban berat menimpanya, perasaan tertekan timbul dengan panas tubuh yang meningkat. Degup jantungnya keras terdengar, rasa dingin ruang AC tidak nyaman di badannya.
“Setahuku kamu masuk Sri Ratu tidak melalui program training Rip, itu yang menjadikan aku tak tahu konditemu selama ini.” Suara Asisten Personalia memecahkan kesunyian ruangan walaupun Surip tak paham maksud kata-katanya. Surip hanya mengiakan saja, situasi yang dihadapinya terasa darurat. Asisten Personalia itu sendiri mengajak Surip ngobrol tampak hanya sebagai basa-basi saja.
Terasa lama bagi Surip sampai akhirnya Pak Musa masuk ke ruang kerjanya.
“Coba ceritakan apa yang terjadi tadi, aku masih belum jelas perkaranya?” Langsung Pak Musa bertanya kepada Surip.
Surip bercerita apa adanya,
“Saya diperintah suatu pekerjaan yang rasanya itu bukan bagian pekerjaan saya pak. Sementara saat itu saya pun sedang mengecek barang kiriman dari gudang.” Coba Surip berkilah.
“Sayang sekali Rip, perintah itu datang dari atasan toko. Pak Broto sudah menyampaikan kepada saya bila tadi kamu tidak mau mengerjakan perintahnya.” Pak Musa mulai membuat argumentasi. “Yang disayangkan kamu telah mangkir dari perintahnya, itulah pelanggaran yang telah kamu lakukan. Pak Broto telah meminta kepada saya untuk memecat atau memutasikan ke bagian cleaning service.” Semacam vonis telah di jatuhkan walaupun itu permintaan dari Pak Broto.
Surip merasakan betapa sakit hatinya. Semua menjatuhkan vonis salah tanpa bisa berargumentasi apapun. Alasan tentang bagian pekerjaan yang semestinya bukan dikerjakan tak berlaku. Semua masalah sudah berada di tangan Pak Broto, biar Pak Musa sekalipun tak mampu lagi mencegahnya.
“Rip silahkan pilih sesukamu, mengundurkan diri dari pekerjaan atau mutasi ke cleaning service. Hanya saja bila masuk cleaning service itu malah makin merendahkan harga dirimu karena bagian itulah yang telah membuatmu di jebak oleh Pak Broto.” Pak Musa menerangkan nasib Surip.
Surip tahu ada setitik air mata meleleh di matanya. Dicobanya mengerjapkan mata untuk menghilangkannya. Sayang keadaan tersebut tak mungkin disembunyikan di depan dua orang pemutus masalahnya. Surip merasakan dirinya sendirian menanggung nasib. Sempat Pak Musa menerima telepon dari seseorang, hanya itu suara yang bergema di dalam ruangan personalia.
Setelah selesai pembicaraan telepon Surip yang bicara,
“Baiklah pak saya menyatakan pengunduran diri saya dari perusahaan ini.” Keputusan diambil Surip, walaupun sebenarnyaa ia tahu nasibnya sebenarnya di pecat dari perusahaan. Hanya Pak Musa sudah lebih dulu menerangkan sebuah etika perusahaan.
“Masalahmu hanya antara pribadi bawahan dengan atasan. Pemecatan itu untuk seorang karyawan yang telah merugikan perusahaan baik itu material maupun nama perusahaan.” Pak Musa berkata sedikit melegakan Surip agar paham masalah seperti ini.
Pak Musa berkata sambil menyerahkan selembar surat pengajuan pengunduran diri,
“Lebih baik kamu mengundurkan diri Rip, bila kamu tetap berada di sini apa lagi berada di bagian cleaning service itu akan diincar terus oleh Pak Broto. Kamu itu termasuk vokal saat ada aksi mogok di gudang. Jelas kamu salah satu orangnya yang diincar untuk disingkirkan.” Lagi Pak Musa menerangkan beberapa sebab yang mengharuskan Surip membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Biarpun sulit Surip coba menulis surat pengunduran diri. Akhirnya di bimbing oleh Asisten Personalia karena buatannya kacau. Pak Musa masih mencoba berkata,
“Kamu bisa melamar pekerjaan di tempat lain nanti Rip, aku tahu dalam keluargamu hanya kamu yang telah mandiri dengan bekerja di Sri Ratu ini.” Sedikit menghibur kata-katanya ditujukan untuk Surip.
Setelah menandatangani surat pengunduran diri Pak Musa memberitahu,
“Upah dan surat referensi akan kuberikan kepadamu secara pribadi Rip. Seharusnya setelah aksi mogok orang-orang gudang kamu lebih berhati-hati karena salah satu yang diincar orang-orang toko itulah dirimu. Pak Broto jelas tahu peranmu saat terjadi mogok kerja orang gudang saat itu.” Pak Musa berkata tentang suatu masalah sensitif di manapun seorang berada, bila melakukan tindakan bersuara vokal walaupun tujuannya membela kepentingan suatu bagian.
Surip hanya menganggukan kepala pelan. Posisinya memang sulit bertahan di perusahaan ini, lambat atau cepat ia bakalan dipermasalahkan atasan untuk disingkirkan dari perusahaan. Pak Broto jelas mendapat kesempatan untuk menjebaknya. Disamping itu mungkin ada semacam perasaan tidak suka Pak Broto terhadapnya. Bukankah ia sering membantah saat bekerja di gudang? Alasan-alasan yang dikemukakannya dianggap bukan sebagai argumentasi masalah pekerjaan tetapi dicap pembangkang.
“Saat aksi mogok kerja hanya aku seorang yang mencoba membeberkan masalah orang gudang. Itulah mungkin karenanya aku diincar oleh atasan toko.” Surip bergumam sendiri.
“Sekarang kamu sudah bukan lagi karyawan Sri Ratu Rip, semoga berhasil di tempat lain.” Kata-kata Pak Musa menjadi akhir segala-galanya untuk Surip.
Masih Surip merasakan keadaan dirinya tak menentu. Seluruh tubuhnya masih tegang, saat dirinya berjalan keluar dari ruang personalia benar-benar limbung. Kewaspadaannya menurun sekali, ia berjalan diantara counter-counter yang ramai pembeli. Orang-orang yang tak peduli dengan nasibnya yang tercampak hanya dalam hitungan satu dua jam. Sekarang ia berjalan menuju eskalator mencoba keluar dari gedung Tamara Plaza. Ini jam ramai-ramianya pengunjung Sri Ratu.
Saat berada di eskalator lantai pertama Surip melihat sesosok seorang yang dikenalnya. Pak Tongki menuju lantai kedua belum sampai di eskalator. Ya pak Tongki lewat, rasanya Surip meenemukan seseorang yang bisa menjadi pelampiasannya. Mendadak begitu saja, tangannya melakukan pukulan tepat di wajah seorang atasan toko ini.
“PLAAK!!”
Hanya sekali dan Surip cepat meninggalkan gedung Tamara Plaza. Ada terdengar jerit kesakitan dan keriuhan di lantai pertama Tamara Plaza. Orang-orang merubungi Pak Tongki yang merasakan sakitnya pukulaan Surip. Geger tempat itu oleh kejadian tak terduga-duga atas aksi Surip ini.
Surip sendiri justru tambah limbung, ia cepat-cepat meninggalkan tempat yang dirasakannya memanjang masalahnya. Surip bingung dengan dirinya sendiri, ia sudah bukan karyawan Sri Ratu lagi. Tak mungkin kembali ke gudang, akhirnya berjalan dengan gontai menuju rumah Pak Anwar di jalan Bima. Hanya tempat itu yang dirasakannya masih memiliki hubungan dekat dengannya.
Berbagai kemungkinan buruk mulai dipikirkannya. Tindakannya yang terakhir jelas akan menjerat dirinya ke dalam masalah yang berat. Tak mungkin pihak toko membiarkan dirinya lolos begitu saja.
“Tak akan ada yang menolongku, aku ambil resikonya sendiri saja.” Kata Surip dalam hati.
Sampai di rumah Pak Anwar hanya ada seorang perempuan yang menyambutnya. Itu istri Pak Anwar,
“Bapak sedang di Arcawinangun, biasanya bapak kerja borongan.” Istri Pak Anwar memandangi Surip dengan tatapan heran. Biarpun ia mengenal Surip tapi bukan kapasitasnya menyambut sebagai tamu. Surip cepat tanggap terhadap dirinya sendiri.
“Aku tak boleh mengganggu ketenangan keluarga Pak Anwar, lebih baik aku menghadapi sendiri masalah ini di sekitar Sri Ratu. Biarkan mereka mendapatkan diriku bukan sebagai pelarian.” Surip seperti tersadar dengan keadaan dirinya. Hubungannya dengan Pak Anwar hanya sebatas dalam perguruan Al-Jurus. Tidak boleh melibatkan orang lain dalam urusannya sendiri.
“Nggih sampun bu, saya pamit dulu.” Surip segera meninggalkan rumah Pak Anwar. Kali ini langkahnya menuju Tamara Plaza. Kini ia punya tekad menghadapi segala masalah sendirian.
Kini setelah berjalan kaki sekitar lima belas menit Surip sudah melihat megahnya gedung empat lantai Tamara Plaza. Ia tak perlu memasukinya tapi segera menyeberang jalan di trotoar yang rindang depan gedung Tamara Plaza. Dengan menampakan diri seperti itu pasti orang-orang toko leluasa melihatnya. Surip merasakan justru semakin tertantang untuk menyelesaikan sendiri masalahnya walaupun akibatnya sangat negativ. Jalan jendral Soedirman ramai, beberapa makelar angkot menawarkan jasanya. Biasanya jika hendak pulang ke rumahnya di Beji Surip pasti langsung memilih beberapa mobil angkot sesuai jurusannya. Surip hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menolak.
Dadanya justru berdebar keras, dua orang berseragam Satpam mendatanginya. Inilah awal dari resiko yang harus dihadapinya.
“Kamu disuruh menghadap Pak Musa sekarang juga!” Sedikit menggertak Satpam-satpam tersebut. Tapi terlihat juga keduanya cemas menghadapinya. Surip cukup mengenal kedua Satpam tersebut karena sering berjaga di gudang.
“Saya bukan karyawan Sri Ratu lagi, tak mungkin Pak Musa yang menyuruhku menghadap.” Surip cepat menukas.
Persoalan sedang bergulir, lebih baik ia mencari posisi walaupun akibatnya tetap negativ untuknya. Sesaat kedua Satpam tersebut kebingungan menghadapi Surip.
“Kami hanya diperintah saja Rip. Kamu ke ruang personalia menemui Pak Tongki. Hanya itu yang kami tahu.” Akhirnya salah seorang Satpam coba menjelaskan. “Maaf Rip kami tak tahu masalahmu dengan Pak Tongki, kami bekerja bukan untuk menyelesaikan masalahmu. Ini masalah dirimu dengan perusahaan, kami tak tahu menahu.”
“Baiklah ini urusanku pribadi dengan Pak Tongki, memang lebih baik aku bertemu dengan beliau secara langsung.” Gagah Surip coba memulai langkah ke masalah.
Justru kedua Satpam tersebut lega mendapat jawaban Surip. Mereka membayangkan masalah akan semakin sulit jika Surip membantah apa lagi melarikan diri. Tugas mereka semakin berat karena sudah melampaui kewenangan tugas mereka sebagai Satpam.
Bagi Surip masalah bergulir cepat sekali. Ia mulai menduga siapa saja yang akan dihadapinya. Seorang Satpam seperti memberitahu saat berkata,
“Pak Broto memarahi kami yang sedang berjaga di lantai satu. Beliau yang menyuruh kami mencari dirimu karena telah memukul Pak Tongki di eskalator.”
“Oh ya.” Surip menjawab singkat.
Mulai terasa orang-orang yang berada di seberang menjadi lawannya. Justru masalah terberat datang dari Pak Broto karena semuanya berawal dari insiden kecil di pintu belakang lantai satu Sri Ratu.
Sampai juga Surip berada di ruang personalia. Tapi kali ini ia tahu siapa yang dihadapinya. Dua orang berpakaian biasa tetapi tetap ketahuan dari kesatuan Brimob. Ternyata perkara ini telah dilaporkan ke pihak yang berwajib. Ini yang di luar dugaan Surip. Segera Surip merasakan betapa gawat situasi yang dihadapinya.
“Oh jadi ini yang namanya Surip.” Seseorang menjabat tangan Surip dan mendudukannya di kursi yang tersedia. Beberapa pertanyaan segera dicecarkan kepadanya.
“Kamu karyawan di sini, apa alasanmu memukul Pak Tongki!” Keras sekali kata-katanya sambil menggeledah seluruh tubuh Surip. “Pak Broto telah melaporkan tindakanmu kepada kami, sekarang kamu harus ke kepolisian untuk ditahan.” Katanya lagi dengan muka galak.
Surip tak bisa berkutik, kedua orang polisi ini memegang kedua tangannya masing-masing kanan kiri. Beberapa kata-kata yang keluar dari mulutnya tak ditanggapi oleh polisi tersebut. Bahkan salah seorang diantaranya sempat berkata,
“Orang ini masih berlagak juga walaupun sudah berhadapan dengan pihak yang berwajib!” Katanya seperti kesal menghadapi kebandelan Surip.
Surip tak perlu menunggu lama atau menduga apa yang terjadi padanya. Menghadapi aparat hanya akan menambah kesulitannya. Kedua polisi tersebut juga tampaknya sudah biasa menghadapi kasus-kasus seperti yang menimpa Surip ini. Langsung kedua orang polisi ini menggelandang Surip keluar gedung Tamara Plaza. Rupanya di bawah pintu belakang lantai satu sudah menunggu sebuah mobil sedan bernomor militer. Surip hanya tahu ini salah satu episode hidupnya yang paling sulit diterimanya. Sesaat ada perasaan tidak adil atas apa-apa yang dialaminya.
“Hanya karena tidak menuruti perintah atasan aku harus menghadapi resiko demikian besarnya.” Katanya sendiri dalam hati.
Sejak masalah itu bergulir semua orang memandang dirinya yang salah karena mengabaikan perintah seorang atasan toko tersebut. Berurusan dengan polisi berarti tindakannya sudah masuk laporan pidana. Surip digelandang dalam mobil didampingi seorang polisi yang tetap memegang erat tangannya sebagai seorang dalam status tersangka. Baru setelah mobil berjalan meninggalkan gedung Tamara Plaza kedua polisi tersebut sedikit lebih ramah berkata,
“Rip ya namamu Surip. Apapun yang terjadi kamu telah melanggar beberapa tindak pidana. Semuanya karena adanya delik laporan dari seorang atasan toko yaitu Pak Broto walaupun yang menjadi korbannya orang lain.” Sedikit Surip tahu duduk perkaranya. Terbayang oleh Surip betapa seorang Pak Broto yang manager pemasaran toko sampai kebakaran jenggot karena ulahnya telah menurunkan wibawanya sebagai atasan.
Kesatuan Brimob di sanalah Surip diinterograsi polisi untuk perkaranya dalam berita acara pidana. Letaknya di perempatan jalan Gatot Soebroto dengan jalan menuju ke lokawisata Baturraden. Suasananya formal dinas kepolisian. Justru kini Surip tahu sedikit, inilah jasa keamanan yang disewa oleh Sri Ratu bila menghadapi perkara dengan pihak manapun di Purwokerto. Semacam pelindung dalam selubung berupa upeti terhadap aparat kepolisian.
Tak terasa hari sudah siang, Surip duduk di depan meja seorang polisi berpangkat sersan dua. Interograsi dilakukan di depan sebuah mesin ketik manual. Setahu Surip tahun-tahun sembilan puluhan baru ada komputer dengan program Word Star dan Lotus dari Microsoft. Itu hanya mesin operasi hitung dan ketik ala komputer yang sederhana. Kursus-kursus komputer kebanyakan hanya mengajarkan ketrampilan dua jenis program tersebut. Operasi windows yang lebih lengkap sayup-sayup hanya untuk konsumsi negara-negara maju.
Saat mulai interograsi dilakukan, Surip merasakan timbul keberaniannya. Ia mengungkapkan detil kronologi atas apa yang dialaminya. Biarpun untuk itu polisi yang menginterograsinya menuduh Surip sebagai orang bandel. Surip tak peduli, biarpun bertele-tele ia banyak ngoceh di depan polisi yang menginterograsinya. Surip merasakan dengan cara ini beban emosinya yang meledak-ledak banyak tersalur.
Setiap kali ada pertanyaan dari polisi terus dijawabnya terkadang membantah pun tak sungkan.
“Kamu tahu kesalahanmu, siapapun atasan tak peduli itu bagian lain tetap harus dipatuhi, beliau punya hak memerintah. Itu sudah hukum di manapun!” Polisi itu memberitahu saat Surip menceritakan kronologi peristiwa di pintu belakang Sri Ratu. Diulanginya beberapa kali tentang inti peristiwa yang dijadikan laporan sepihak atas nama Pak Broto sebagai pihak pelapor.
Mengenai peristiwa pemukulan terhadap Pak Tongki polisi tersebut malah berpendapat lain.
“Sayang kamu memukul Pak Tongki itu masih dalam area Sri Ratu. Jika kamu memukulnya di luar perkaranya terserah Pak Tongki sebagai pelapor. Jadi bukan seperti ini berita acara pidananya, sebab laporan ini hanya berat dari pihak Pak Broto.”
Rupanya suasana yang tadinya cukup tegang antara Surip dengan polisi berpangkat sersan dua itu sekarang jadi cair. Tadinya polisi yang diketahui namanya sebagai Pak Rahmat ini tidak senang dengan cara-cara Surip yang berkata lugas sekali. Soalnya Surip dianggapnya sebagai pembangkang.
“Rip kalau kamu memang punya backing kuat entah dari keluarga atau orang tuamu silakan perkara ini masuk ranah pengadilan. Aku melihat posisimu sangat lemah. Lebih baik hentikan perkara ini dengan permintaan maaf dari pihakmu. Tak apa Rip, merendahkan harga diri sedikit yang penting kamu selamat.” Malah polisi ini akhirnya mencoba memberi jalan penyelesaian. “Ini undang-undangnya, kejadian memukul Pak Tongki itu masuk tindakan kekerasan pukulan tingkat pertama.” Diberikannya sebuah KUHP yang tebalnya minta ampun. Surip seumur-umur tak pernah membaca kitab ini karena bukan bidangnya. Tapi disempatkannya juga membaca beberapa ayat KUHP tersebut.
“Dalam berita acara pidana ini kucantumkan insiden pemukulan terhadap Pak Tongki dalam keadaan kurang kesadarannya, semoga saja bisa meringankan kesalahanmu.” Katanya memberitahu rahasia,
“Terus terang Rip sebenarnya perkara yang kamu hadapi ini tidak berat kasusnya. Hanya saja ketidaksukaan Pak Broto terhadapmu telah dilaporkan ke kepolisian. Jadi jika perkara ini masuk pengadilan yang kamu hadapi itu delik laporan dari Pak Broto. Sayang aku melihat posisimu sangat lemah.” Pak Rahmat terus berkata berbagai kemungkinan yang akan dihadapi berkaitan dengan delik laporan tindak pidana yang dilakukan Surip.
“Dalam laporan ini statusmu tetap praduga tak bersalah. Hanya pengadilan saja yang bisa menentukan benar salahnya dirimu.” Katanya lagi.
Satu dua jam berlalu laporan dalam bentuk BAP sudah jadi, Surip membacanya sekali lagi. Seperti inilah berurusan dengan polisi, rasanya semua kesalahan hanya tertuju kepada Surip. Di dalam BAP tersebut tercantum pasal pelanggaran yang telah dilakukan Surip sebagai dasar BAP.
“Saat melapor Pak Broto justru menginginkan dirimu ditahan di kepolisian ini. Sayang hal tersebut tidak mungkin dilakukan, prosedural kepolisian belum bisa menjadikan sebagai tersangka pidana. Masih bisa diupayakan jalan damai, hanya saja semuanya harus berasal dari dirimu sendiri.” Lagi pak Rahmat melakukan suatu cara mengatasi masalah yang dihadapi Surip.
“Baiklah pak, saya saja yang coba bertemu dengan Pak Broto langsung. Biar saya akan menghadap untuk meminta maaf atas segala perbuatan yang saya lakukan.” Surip berkata dari dirinya sendiri. Perkara tak mungkin dilanjutkan, posisinya sangat lemah untuk maju ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Surip tahu siapa yang dihadapinya, seorang bernama Soebroto yang memiliki jaringan pelindung sangat kuat.
Pak Broto dalam tingkatannya sebagai manager pemasaran adalah tangan kanan Direktur Utama Sri Ratu Purwokerto. Kedudukannya sangat kuat, Big bosnya seorang Cina pemilik lahan gedung Tamara Plaza mudah sekali membelanya. Urusan pengadilan Surip buta sama sekali. Orang-orang yang dihadapinya semuanya raksasa, sangat jauh dibandingkan dirinya yang serangannya hanya seperti gigitan semut.
Terakhir kalinya Pak Rahmat berkata,
“Kamu pulang saja ke rumah Rip, jangan berkeliaran di manapun. Besok pagi-pagi datang ke sini lagi, barulah setelah itu menemui Pak Broto di Sri Ratu.”
Surip hanya mengiakan saja, kini permintaan damai datang dari dirinya untuk menghentikan kasus yang menimpanya. Ia tahu dirinya kalah perkara. Tapi itu lebih baik dari pada dirinya mendapat vonis kurungan penjara.
“Selama kasus ini belum masuk ranah pengadilan aku tetap bukan terdakwa bersalah.” Ia tersenyum kecut, ternyata beberapa aksi kecil yang dilakukannya di Sri Ratu telah membuat beberapa atasannya kebakaran jenggot. Cukuplah sampai di situ saja, sekarang semuanya sudah berakhir apa lagi ia juga sudah bukan karyawan Sri Ratu lagi.
Hari sudah sore mungkin jam empat, masih ada angkot yang membawanya pulang ke rumah Beji. Ini petualangan yang mungkin termasuk sisi gelap dalam hidupnya. Sampai di rumah lengang, ibunya tetap dalam kegiatan hariannya mempersiapkan lembaran daun pisang yang akan disetorkan ke bakul pasar setempat.
“Setelah urusanku di Sri Ratu selesai barulah kuberitahu si Mbok bahwa aku sudah berhenti bekerja di Sri Ratu.” Katanya sendiri dalam hati.
Tapi tak semudah itu berdiam diri, Surip seperti bingung habis-habisan menghindari pertanyaan ibunya yang agak heran dengan sikapnya yang murung dan tegang sekali. Ketegangan itu terus terasa malam harinya. Surip tak bisa tidur memikirkan peristiwa seharian penuh yang dialaminya di Sri Ratu. Tubuhnya tak mampu menurunkan ketegangan yang terjadi begitu saja. Sampai-sampai ketidak wajaran tersebut diketahuinya karena anak kecil di dalam celananya tak mampu berdiri tegak, impoten.
BAB 16
Jurus Teguh
Surip menimang-nimang sebuah cincin berbatu akik. Sekali lagi ia tersenyum kecut. Saat memukul wajah Pak Tongki cincin bermata akik ini menjadi tambahan kekuatan pukulannya. Ia sendiri bergidik ngeri bila membayangkan sebuah pukulan melayang mengenai kepalanya.
Sakitnya alang kepalang!
Surip tidak menceritakan masalah itu di depan Pak Rahmat yang menginterograsinya. Biar saja itu menjadi rahasia pribadinya sendiri.
“Biarpun tetap tidak sesuai dengan realita yang ada jurus ke satu yang ada di perguruan Al-Jurus dinamakan jurus Teguh. Ya aku harus teguh menghadapi segala kenyataan. Biarlah aku menghadapi semua masalah ini sendirian.” Tekadnya timbul, inilah hari penentuan baginya. Menemui orang-orang yang notabene memiliki kekuatan berlapis-lapis walaupun menelan kenyataan pahit, kalah!
Pagi-pagi setelah mandi ia pamitan kepada ibunya seperti biasa orang bekerja. Mungkin banyak orang-orang yang terkena PHK mengalami keadaan yang sama seperti Surip. Sudah jadi pengangguran tetapi pura-pura tetap dalam status bekerja. Alasannya takut anak istrinya atau orang tuanya ikut menanggung beban mental yang dideritanya. Padahal yang stress dirinya sendiri.
Tujuan pertamanya ke kantor polisi kesatuan Brimob Purwokerto. Masih jam delapan pagi, sudah ada beberapa orang antri menyelesaikan masalah yang lari-larinya semua kasus kriminal. Surip duduk bersama dua orang lelaki yang sama menunggu kasus diselesaikan walaupun hanya di tingkat kepolisian saja.
“Masnya ini kena kasus apa kok sampai di kantor polisi ini?” Seorang bertanya karena mendapati Surip sendirian tanpa teman.
“Kasus di tempat kerja pak, saya memukul seorang atasan di toko dan kemudian dilaporkan polisi.” Surip menjawab singkat. Tentu setelah itu datang berbagai pertanyaan yang sepertinya harus diceritakan kronologi peristiwa dari awal kepada orang yang bertanya kepadanya. Orang yang bertanya ini memang sudah tua Surip jelas harus menghormatinya.
Setelah mendengarkan cerita Surip orang tua itu berkata,
“Lebih baik berdamai saja mas, kita ini orang lemah tak mungkin melawan orang-orang berkuasa tersebut. Yang sudah terlanjur biar sajalah, mas mulai dari awal lagi.” Katanya seperti memaklumi keadaan Surip yang galau. “Kasus yang menimpa mas ini masih lebih baik dari anak saya, masalahnya menyangkut pekerjaan. Siapapun berhak membela diri walaupun akhirnya tetap mengalami kekalahan.” Dilanjutkannya lagi kata-katanya. “Anak saya berkelahi hanya karena rebutan pacar dengan orang lain, saya sampai malu mas.” Katanya dengan nada prihatin.
Sementara di ruang dalam sana terdengar seorang polisi menggertak penuh emosi karena menangani kasus lebih jelek lagi. Urusan pencurian barang elektronik dan mungkin polisinya sudah bosan mengenal pelakunya yang sudah biasa keluar masuk penjara.
Tak perlu menunggu lama Surip di ruang tunggu. Kasus yang menimpanya ditangani oleh Pak Rahmat polisi berpangkat sersan dua. Satu berkas berita acara pidana berada di meja berhadapan antara Surip dengan polisi tersebut. Di berkas perkara Surip tersebut tertulis memo, kasus ditindaklanjuti dengan konfrontasi antara pihak pelapor dengan terlapor. Kecil saja memo tersebut tapi Surip cukup jelas mengetahui statusnya. Jadi kasus yang menimpanya tidak jelek-jelek amat, soalnya ada unsur harga diri yang direndahkan dan juga bela diri karena menyangkut urusan pekerjaan.
Pak Rahmat berkata kepada Surip,
“Karena dari pihakmu sudah ada permintaan damai, kami tinggal menyampaikan kepada Pak Broto. Satu-satunya jalan kamu harus meminta maaf langsung kepada beliau.” Langsung Pak Rahmat berbicara ke inti masalah yang di hadapi Surip.
“Ya pak saya pasrah saja keputusan apapun asal perkara ini tidak dilanjutkan.” Surip berkata mencoba mengimbangi orang-orang yang kedudukannya sangat kuat-kuat ini. Surip membayangkan siapa saja yang dihadapinya, mulai Pak Broto, Pak Musa, Pak Tongki hingga terakhir kalinya dengan Pak Rahmat yang aparat kepolisian. Semuanya tidak sebanding dengan dirinya yang tingkatannya orang kecil.
“Baiklah aku telepon dulu beliau di Sri Ratu.” Pak Rahmat rupanya sudah mempersiapkan langkah-langkah untuk jalan Surip menghadapi Pak Broto.
Sesaat pembicaraan terjadi dalam gagang telepon, Surip hanya menanti tak berani berkomentar. Lagi-lagi karena posisinya dianggap lemah, beberapa kali terdengar Pak Rahmat menyampaikan permohonan agar dimaklumi oleh Pak Broto. Kecut hati Surip mendapat kenyataan betapa jelek posisinya di masyarakat.
Setelah selesai pembicaraan dalam telepon Pak Rahmat berkata kepada Surip,
“Beliau bersedia menemuimu di Sri Ratu. Silahkan Rip, mintalah maaf kepada beliau dan sudahi perkara ini. Ini demi kebaikanmu sendiri juga. Ingat berhadapan dengan beliau jaga tata krama, yang kutahu Pak Broto sering menyinggung dirimu sebagai anak kurangajar.” Surip sampai mengerutkan dahi mendengar kata-kata Pak Rahmat yang terakhir kalinya. Urusan sudah masuk kepolisian, kedudukannya sudah bukan antara orang tua dan anak tetapi di masyarakat selalu diembel-embeli urusan tetek bengek seperti itu.
Surip terdiam sampai akhirnya Pak Rahmat berkata, “Temui sekarang juga Pak Broto Rip, semuanya aku yang menjamin tidak akan terjadi apa-apa denganmu.” Itulah yang menggerakan Surip cepat bergerak menuju gedung Tamara Plaza.
Surip mengamati pakaiannya, seragam biru langit dengan celana panjang biru gelap dan sepatu hitam. Mungkin inilah terakhir kalinya ia mengenakan seragam tersebut, padahal statusnya sudah bukan karyawan Sri Ratu lagi. Semuanya untuk menyembunyikan agar orang-orang sekitarnya terutama ibunya tidak terkejut mendapati anaknya sudah dipecat dari pekerjaannya. Sampai saat ini sandiwara tersebut masih berhasil dijalaninya.
Tujuannya langsung ke lantai tiga melalui eskalator seperti pengunjung. Beberapa orang yang mengenalnya menyapa heran karena ini adalah waktu orang bekerja. Surip hanya memberitahu akan menemui Pak Musa di kantornya. Kali ini sebelum masuk ruang personalia seorang Satpam menghadangnya menanyakan tujuannya menemui pejabat perusahaan. Cukup berbelit sampai akhirnya Asisten personalia mempersilahkan masuk.
Pak Musa langsung menemuinya di meja kerjanya,
“Jalan paling baik buatmu memang harus meminta maaf kepada Pak Broto Rip. Kamu tak memiliki backing yang kuat untuk maju ke pengadilan.” Beliau berkata seperti sudah tahu kemana jalan yang akan ditempuh Surip. Sempat pak Musa bertanya, “Bagaimana keadaan ibumu di rumah?” Itu basa basi untuk mengakrabi Surip.
Setelah itu Pak Musa lagi-lagi mengingatkan Surip tentang semacam kekuatan di belakang dirinya bila berkeinginan meneruskan perkara dengan Pak Broto. Pak Musa orang yang memasukan dirinya bekerja di Sri Ratu. Pak Musa tahu kondisi keluarga Surip, ibunya hanya janda yang terakhir kalinya tetap mempertahankan tanah dan rumah warisan agar tidak terjual.
Surip beruntung saja karena sebelum terjadi pembatalan jual beli tanah ia sudah diterima bekerja di gudang. Ini semacam kemenangan Surip dan ibunya menghadapi Pak Musa. Mungkin diterimanya Surip bekerja di Sri Ratu justru karena belas kasihan saja terhadap keluarganya.
Berbagai nasehat keluar dari mulut Pak Musa, semuanya mengarah pada aturan perusahaan terhadap Surip, karena berani melawan atasan adalah tetap dianggap kurangajar. Seorang atasan sekali tidak senang terhadap anak buahnya bisa berbuat seenaknya memberhentikannya.
“Ingat Rip, itu sudah hak seorang atasan. Siapapun harus menuruti perintahnya senang atau tidak senang. Kamu itulah bukti seorang karyawan yang membangkang perintah atasan walaupun perkaranya bukan bagian dari pekerjaanmu.” Tegas Pak Musa berkata, sementara sebuah amplop diberikan kepada Surip dan kemudian memerintahkannya membubuhkan tanda tangan. Itu referensi pengalaman kerja dan sisa gaji terakhirnya bekerja di Sri Ratu. “Sembunyikan berkas surat terakhir ini saat bertemu dengan Pak Broto, sebabnya sebenarnya statusmu dipecat dari perusahaan. Ini hanya kebijaksanaan pribadi dari saya.” Terakhir kalinya Pak Musa berkata memberitahu.
Surip hanya mengiakan, namun sebelum beranjak pergi dari ruang personalia justru seseorang minta bertemu dengannya. Itulah Pak Tongki atasan toko yang terkena pukulan mautnya. Setiap kali terjadi pertemuan antar atasan ini selalu terjadi basa-basi. Surip yang merasa kaku karena posisinya dari sudut manapun berada di pihak yang disalahkan.
Justru kemudian pak Musa dan Asistennya meninggalkan ruang personalia membiarkan Surip dan Pak Tongki bicara empat mata. Surip memandangi orang yang menjadi sasaran pukulannya. Seorang bermata sipit dalam pakaian dinas berdasi lebih tinggi darinya tetapi kurus. Kulitnya putih karena lebih sering berada di lingkungan kantor ber AC.
Pak Tongki membuka pembicaraan setelah berjabat tangan dengan Surip.
“Jadi kamu itu yang memukul saya di eskalator lantai satu. Terus terang saya tak tahu apa-apa setelah dipukul olehmu. Rasanya sakit sekali, hanya beberapa orang yang berada di lantai satu memberitahu bila pelakunya Surip orang gudang.” Mulai Pak Tongki berbicara.
Surip coba mengimbangi,
“Saya memukul bapak spontan saja. Saya sedang kesal karena baru saja di suruh mengundurkan diri dari pekerjaan.” Kata-kata Surip penuh perhitungan, kalimat-kalimat tersebut dikeluarkannya supaya dirinya tidak terlalu dipersalahkan oleh korban pemukulannya ini. “Saya tidak punya masalah dengan bapak, saya dipecat gara-gara bentrok dengan Pak Broto.” Surip memberitahu singkat peristiwa yang terjadi.
“Lantas kenapa saya yang jadi korban pukulanmu, yang saya dengar beberapa Satpam menyatakan kamu tidak menyukai saya, apa sebabnya?” Pak Tongki mencecar Surip, sepertinya beliau sangsi terhadap Surip.
“Secara pribadi saya tidak mengenal bapak, saya tidak punya masalah dengan bapak. Masalah saya pribadi dengan Pak Broto yang menghina saya. Saya memukul bapak dalam keadaan kurang menyadari lingkungan saat itu.” Surip mencoba memberi pengertian, ia mengemukakan suatu keadaan ketidak sadaran dirinya menyesuaikan dengan kata-kata Pak Rahmat sebagai kasus yang bisa terjadi pada siapapun.
Yang tampak di depan matanya Pak Tongki sepertinya bingung dengan posisinya dalam masalah dengan Surip.
“Kamu punya masalah dengan Pak Broto, lah saya sendiri di toko diperkarakan dalam masalah lain sampai bingung. Terus terang posisi saya di Sri Ratu ini sendirian. Saya seperti dipermainkan orang-orang di toko untuk kepentingan masing-masing kelompok.” Pak Tongki membeberkan rahasia yang Surip sendiri terkejut. Ternyata ia mendengar sedikit keluh kesah seorang atasan toko yang dari kaca mata karyawan-karyawan gudang sangat kuat. Dibalik kekuasaannya yang hebat ternyata beliau menjadi korban permainan kelompok lain dalam toko.
“Saya tak tahu masalah apa-apa dengan atasan-atasan toko pak. Saya sudah dilaporkan polisi dan hanya minta damai saja agar perkara saya dihentikan.” Surip menyatakan posisinya, orang yang dipukulnya ini ternyata tidak menuntut apa-apa dari perbuatannya.
“Oh ya benar kamu hanya orang luar, setelah berhadapan langsung denganmu rasanya memang apa yang kualami ini bukan urusan pribadi antara kamu denganku. Silahkan hadapi Pak Broto Rip, jalan apa pun terserah asal kamu bisa selamat.” Eh pak Tongki benar-benar bicara sepertinya bukan bagian dari korban yang menuntut hukum terhadap pelakunya. Melaporkan perbuatannya terhadap polisi pun kemungkinan tidak. Tidak ada pernyataannya yang mengancam Surip untuk dihukum seperti delik laporan Pak Broto di kepolisian.
“Kalau begitu saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas perbuatan saya terhadap bapak.” Surip berkata apa adanya. Ia merasa lega sekarang, Pak Tongki ternyata membebaskannya biarpun beliau bisa menjadi salah satu penuntut korban penganaiyaan.
“Cukuplah Rip, carilah pekerjaan di tempat lain.” Pak Tongki menjabat tangan Surip dan kemudian meninggalkan ruang personalia. Setelahnya tak pernah lagi Surip menjumpainya.
Dari Asisten Personalia Surip harus menemui Pak Broto di gudang. Kesanalah Surip melangkah, setahap demi setahap masalah diselesaikannya. Peristiwa yang beruntun dua hari ini sebenarnya sangat melelahkan. Tapi menghadapi masalah yang berat ini saat menghadapi orang-orang elit di Sri Ratu sebenarnya singkat-singkat saja.
Bertemu dengan Pak Rahmat di kantor polisi tak lebih setengah jam, menemui Pak Musa juga paling-paling setengah jam. Bertemu dengan Pak Tongki yang tidak menuntut, apapun hanya berkisar lima belas dua puluh menit. Semuanya dijalaninya untuk menghapus perkaranya di kepolisian.
“Selama belum dijatuhkan vonis hukuman oleh hakim di pengadilan aku masih bebas.” Itulah yang dipikirkan Surip. Ini berlaku bagi siapa pun orang-orang yang sudah terlanjur melanggar pasal undang-undang hukum pidana. Surip sendiri bertekad menyudahi masalah ini. Toh petualangannya ini biarpun buruk telah mengantarkan dirinya menjadi tahu intrik-intrik antar elit di perusahaan.
Rupanya tidak sulit baginya menemui Pak Broto yang sedang berkunjung di gudang. Berhadapan dengan Pak Musa sudah, dengan Pak Tongki kedudukannya seperti sederajat saja. Jauh berbeda sekarang berhadapan dengan Pak Broto, Surip langsung jadi terdakwa bersalah.
Di sebuah meja bundar berhadapan Surip dengan Pak Broto dan Pak Surya Kabag Gudang. Suasananya tidak menyenangkan karena keangkeran Pak Broto. Surip lebih familier dengan Pak Surya bekas atasannya di gudang. Tak terlihat orang Cina ini menjadi ancaman walaupun tak mungkin juga akan membelanya. Tampaknya kedua orang atasan perusahaan ini sedang membahas permasalahan gudang. Surip menjadi orang ketiga yang memiliki masalah berbeda tetapi harus ikut diselesaikan. Buktinya adalah setelah kedatangan Surip dan dipersilahkan duduk masalah Suriplah yang didahulukan.
“Silahkan kamu bicara, yang melakukan pelanggaran itu kamu. Kamu harus meminta maaf setulus hatimu karena aku telah mencabut perkara atas permintaan pihak kepolisian.” Tetap tidak mengenakan di telinga suaranya. Itu memang sudah pembawaan pejabat toko ini. “Sing penting kowe kapok ditahanan kantor kepolisian!” Katanya dalam bahasa Jawa sepertinya mensyukuri penderitaan Surip yang dilaporkan oleh pihak kepolisian telah mendapat perlakuan penahanan.
“Ya pak terimakasih atas kesempatan yang diberikan bapak kepada saya. Dengan ini saya menyatakan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada Anda atas dihentikanya perkara pidana saya di kepolisian.” Surip berkata sesuai keadaannya sebagai orang yang dituntut hukum pidana. Padahal di kepolisian saat menghadapi Pak Rahmat ia sudah tanda tangan surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya lagi sebagai formalitas selesainya perkara.
Tapi ada sesuatu yang tetap tidak disukai pak Broto atas kata-katanya,
“Kamu itu tetap saja kurangajar. Berani sekali bicara terhadap orang tua dengan kata Anda. Kamu itu orang mana?” Meninggi suara Pak Broto tersinggung karena ada kata yang keluar dari mulut Surip salah tempat.
“Saya orang Jawa pak.” Surip menjawab.
“Lah wong pada-pada Jawane karo aku kamu nggak pakai tata krama. Kamu itu sudah salah, bicara juga salah, memusuhi aku yang sama-sama Jawa. Benar nggak Pak Surya?” Terus Surip dicecar pernyataan pedas dari Pak Broto.
Pak Surya malah berkata lain,
“Oh saya hanya saksi kalian berunding saja pak. Saya sendiri dalam proses pengajuan pengunduran diri dari pekerjaan.” Jawaban Pak Surya seperti memosisikan dirinya netral.
Surip jadi tahu lagi kemungkinan rapat antara kedua atasan perusahaan saat ini, pasti membahas pergantian jabatan Kabag di gudang. Lagi-lagi Surip adalah pengganggu rapat penting petinggi-petinggi perusahaan. Cepat-cepat Surip berkata,
“Ya pak saya akui saya salah. Saya memang sering ceroboh bertindak.” Surip berkata demikian supaya masalahnya yang lebih dulu diselesaikan.
“Berarti kamu juga mengakui salah telah membangkang perintahku saat di pintu belakang toko itu. Semuanya harus kamu akui Rip!” Sekali lagi Pak Broto tak mau dibantah, sudah wataknya sebagai pejabat toko.
“Ya pak saya minta maaf yang sebesar-besarnya.” Surip entah sudah berapa kali meminta maaf, pokoknya tak terhitung lagi. Mulai dari menghadapi Pak Rahmat, Pak Musa, Pak Broto dan Pak Tongki. Mungkin faktanya cukup sekali saja karena benar-benar tercantum di berkas permohonan maaf atas nama Surip di kantor polisi.
Pak Broto masih menyinggung hubungan antar kesamaan suku. Pak Broto ini punya maksud sesuatu bila menyinggung persamaan suku terhadap Surip. Surip sendiri sering mendengar Pak Broto berkata hal-hal demikian kepada bawahan lain bila bermasalah dengan seorang karyawan.
Bila dipikir-pikir Pak Broto ini jadi ketahuan belangnya. Beliau adalah orang Jawa tetapi menjadi anak buah Direktur Utama Sri Ratu Purwokerto yang orang Cina. Karyawan-karyawan Sri Ratu menyinggung beliau sebagai Cina ireng. Soalnya demi kariernya di Sri Ratu Pak Broto rela merendahkan dirinya sebagai bawahan setia orang Cina, pemilik lahan berdirinya gedung Tamara Plaza.
Itu hanya kabar sekilas yang diketahui Surip. Pak Broto dikabarkan sering merendahkan orang-orang sesama Jawa. Pantas masyarakat menuduhnya sebagai Cina ireng.
Beberapa kali Surip disinggung tentang kelakuannya yang dianggap kurangajar karena berani melawan orang tua. Pak Broto hanya menyalahkan segala apa yang ada pada Surip. Surip membiarkannya saja toh perkara ini sudah dihentikan. Tak perlu diperpanjang lagi, tujuannya sudah tercapai, ia harus keluar dari kemelut ini dengan selamat.
Sekali lagi pertemuan itu tidak lama, paling lama setengah jam saja. Berakhirlah masalah yang dihadapi Surip. Ia mohon diri dari hadapan Pak Broto dan Pak Surya Kabag Gudang. Selanjutnya orang-orang ini tak pernah dijumpainya lagi walaupun beberapa kali berkunjung ke swalayan Sri Ratu sebagai pembeli eceran. Paling-paling sesekali bertemu dengan Pak Rahmat, polisi dari kesatuan Brimob berpangkat sersan dua yang disinyalir menjadi backing keamanan toko.
Kejadian selanjutnya Surip hanya mendengar kabar saja. Pak Surya mengundurkan diri dari Sri Ratu dan kembali ke Semarang. Setelah itu tak berselang lama Pak Musa mengundurkan diri juga dan pindah menjadi manager sebuah restoran besar di Purwokerto. Semua itu diikuti dengan anak-anak buah yang dimasukan atas jasa kedua pejabat toko tersebut. Orang-orang tersebut dipermasalahkan karena gagal mencegah terjadinya aksi mogok orang-orang gudang supermarket.
Surip kembali ke rumahnya di Beji dan selanjutnya makin terpuruk nasibnya. Si mbok tak bisa berbuat apa-apa terhadap keadaan Surip. Murung, sedih dan watak pendiam Surip makin menjadi-jadi. Bisa berjam-jam Surip melamun, khayalannya selalu melambung menjadi tokoh pendekar seperti dalam komik silat.
Gunung Slamet tetap gagah berdiri membiru di utara sana. Sebelum jalan di depan rumah Surip beraspal seperti sekarang, riwayatnya penuh dengan lalu lintas orang-orang berjalan kaki berasal dari Karangnangka, Kutaliman dan Melung. Mereka membawa hasil bumi untuk dijual di pasar-pasar sekitar Purwokerto. Bambu, kayu bakar, daun sente untuk pakan ikan dll. Komoditas lainnya pisang, rebung bambu, sayur-mayur dari lereng gunung dll. Semuanya dipanggul dan berjalan kaki menjadi deretan penglaju ke kota Purwokerto.
Sedangkan warga Beji sendiri dulu adalah orang-orang yang memiliki dokar dan kuda untuk mengantar jemput penumpang dari desa ke kota Purwokerto. Namun semuanya kini tinggal cerita, dibuatnya jalan kecamatan menjadi beraspal membuat penglaju-penglaju dan dokar musnah. Orang-orang Beji kemudian beralih mata pencaharian menjadi petani ikan sampai sekarang.
Tamat
Bio Data Penulis
Penulis bernama Jusnu Juli Wibowo merupakan putera ke tiga dari enam bersaudara. Semenjak usia delapan tahun mengenal beladiri Pencak Silat. Di sebuah perguruan lokal di wilayah Banyumas itulah Penulis mencoba menghayati beladiri asli Nusantara ini.
Berkatian dengan Novel ini Penulis berkisah dari saat remaja hingga bekerja di kota kecil Purwokerto. Kenang-kenangan inilah yang menginspirasi Penulis untuk mengembangkannya dalam bentuk Novel.
Saat ini Penulis merantau di Yogyakarta, bekerja mencari penghasilan seadanya sebagai Pengecer Koran dan Pedagang Kaki Lima jasa stempel. Lapak Penulis ada di jalan Parangtritis km. 3,5 eks Kampus STIEKERS. Saat senggang Penulis membuat coret-coretan yang akhirnya terkumpul menjadi sebuah karya tulis.
Dengan Senang hati Penulis mengundang Pembaca untuk memberikan saran dan kritik membangun. Penulis bisa dihubungi melalui akun Facebook Jusnu Juli Wibowo.
Salam literasi.
Subscribe to:
Posts (Atom)