Seperti biasa penulis berolah raga menyesuaikan dengan journal mingguan berupa Bela diri Pencak Silat, Yoga dan Jogging.
Hari minggu pagi hari itu ternyata penulis kesiangan, biasanya pas suara Adzan subuh berkumandang sudah bangun dan langsung sholat subuh. He-He He hari itu tak tterlaksana, langsung ngacir pergi menuju tempat latihan di Perwita Regency.
Sempat ke kamar mandi tapi airnya kosong sehingga tak berani buang air kecil dan wudhu. Hiks jadilah absen sholat hari itu.
Langsung menuju ke Perwita Regency dan berlatih pagi hari. Oh masih banyak debu gunung Kelud bertebaran. Lokasi penulis berlatih di depannya adalah eks Kampus STIEKERS tak ada yang mengurusi lahan luas tersebut. Jadi bekas debu erupsi gunung Kelud massih cukup tebal berhamburan di lantai teras ruko Perwita.
Langsung melakukan kuda-kuda bangku dan melakukan pukulan kanan kiri sejumlah tertentu. Setelah itu melakukan jurus dua dan jurus empat. Terus sampai asana dan peregangan tubuh. setiap sesi hari itu terlaksana walaupun beberapa kali terhenti karena malu bila terlihat oleh orang yang lewat.
Terakhir tinggal jogging menyusuri ringroad selatan menuju timur, perlahan kaki ini diajak kompromi untuk mau melakukan pergerakan yang cukup berat. Menempuh rute dengan perlahan menyesuaikan nafas agar tidak tersengal. Ah begitu santai lari-lari kecil yang dilakukan.
Sampai di ringroad bertemu dengan teman pengasong yang baru mulai datang untuk berjualan. Kaget melihat penulis berolah raga, tapi kemudian merespon dengan memberikan jempol tanda salut. Terus penulis menyusuri ringroad di jalur lambatnya, Tamanan, jembatan sungai Code menuju terminal Giwangan. Terus ke timur walaupun hanya perasaan saja. Yang benar ringroad sudah menuju timur.
Sampai di Singasaren depan SPBU belok kiri menuju situs Beteng Mataaram.
Ini jadi tempat favorit penulis untuk membuktikan kepenasaran akan kajian sejarah.
Oh beteng itu sudah terbuka, sudah dipugar kanan kirinya. Jadi sudah mudah dimasuki dan diperlihatkan kepada umum walaupun masih tertutup rumpun bambu dan tumpukan sampah berbagai macam. Ada sanggar kesenian yang didirikan warga, mungkin ini bentuk ajuan proposal dari dana keistimewaan yogyakarta.
Batu-batu persegi yang dipugar sudah bukan aslinya, material aslinya ditimbun didalam dan sebagian menjadi pondasi beteng. Tempatnya sudah terbuka, beberapa rumpun bambu sudah ditebang dan rumah warga sudah dibatasi tanah lokasi sehingga tidak dirambah begitu saja nantinya.
Yang penting bentuk beteng sudah menjadi gambaran kemegahan masa lalu kejayaan Mataram jaman Panembahan Senopati. Kotagede didirikan oleh Panembahan Senopati dan ayahnya Ki Ageng Pemanahan karena jasanya menyelamatkan Pajang. Hadiah tanah hutan alas Mentaok didirikan menjadi sebuah cikal bakal Keraton. Ini tahun 1500 an, saat itu kerajaan Pajang berada di sekitar Solo sekarang.
Yang tersisa hanya beteng keliling itupun hanya di sebelah selatan menjadi batas desa Singasaren dan Purbayan. Kemudian situs watu Gilang dan watu gatheng, he he he ini anehnya, jadi dampar kencana terletak ditengah-tengah paseban yang sekarang berada di depan makam raja dari kadipaten Pakualaman.
Sedangkan situs watu damparr kencana dan watu gatheng menempati rumah kecil yang tak boleh dimasuki sembarangan. Watu gatheng ternyata riwayat dari anak Panembahan Senopati yang konon nakalnya minta ampun, jadi akhirnya tak dinobatkan jadi raja pengganti. Sebaliknya yang menjadi raja selanjutnya adalah Sultan Agung yang membesarkan kerajaan dan mencoba menyerang pendudukan Belanda di Batavia.
Sedikit demi sedikit situs ini terbuka dan menjadi areal bekas keraton yang dulunya menjadi misteri bagi penulis. Ini memang bukan kerja penulis yang cuma jadi penonton. Pasti situs ini menjadi kerja bagi dinas purbakala Yogyakarta. Apalagi kaitannya dengan sejarah Mataram Islam sebagai cikal bakal Daerah Istimewa Yogyakarta.
Status Kotagede adalah enklave dari Kasunanan Surakarta. Masih banyak peninggalan lainnya yang berkaitan dengan kejayaan Kasunanan Surakarta di kota gede ini, pemugaran masjid besar kotagede pun tercatat oleh Pakubuwono X dari Surakarta.
Bekas-bekas keraton hanya berupa bekas beteng keliling dan situs watu gilang. Masjid dan makam raja Mataram itu yang paling terpelihara dan menjadi situs paling penting di kotagede. Situs lainnya adalah pemukiman warga yang menjadi masa kejayaan Kotagede jaman VOC dan Hindia Belanda. Kotagede merupakan kota penting saat jaman kekuasaan belanda tersebut. Rumah kalang kemudian bentuk rumah atap joglo dan berbagai bangunan gaya indische, menjadikan kotagede sebagai kawasan cagar budaya.
Perjanjian Giyanti memecah kerajaan Mataram menjadi dua wilayah hukum berbeda, disinilah banyak terjadi konflik berkaitan dua kerajaan kembar tersebut. Bahkan terakhir kalinya pecah menjadi empat kerajaan biarpun hanya dua kadipaten yaitu Mankunegaran dan Pakualaman.
Wilayah yang aneh karena berupa enklave sempit-sempit di dalam dua wilayah kekuasaan yang lebih besar tapi memiliki kewenangan sebuah kerajaan atau negara saat itu.