Tuesday, July 21, 2015

Sekitar Baturraden yang menawan

Seperti biasa diri ini selalu penasaran terhadap semacam petualangan di alam bebas. Pilihan mudahnya lebaran tahun 2015 adalah di tempat wisata sekitar kampung kelahiran penulis. Siapapun tahu destinasi wisata terkenal di Purwokerto adalah Baturraden. Setiap tahun tempat wisata ini adalah andalan pendapatan asli daerah Banyumas.
Tapi penulis cuma keluyuran saja bukan hendak wisata, lebih ke urusan hobi penulis menjajal langkah kaki mencapai rute tertentu, nah kali ini sudah dirancang mulai dari rumah di Beji menuju utara beberapa desa sekitar Kedungbanteng dan Baturraden.
Rute itu adalah dari Beji menuju Melung melalui Karangnangka, Kutaliman. Setelah itu masuk Kalipagu hingga Pancuran Tujuh terus menyusuri jalan hutan Perhutani KPH Banyumas Timur hingga berakhir di Kebun Raya Baturraden.
Pagi sekali berangkat, langsung jalan kaki menyusuri desa Beji masuk desa Karangnangka hingga Kutaliman. Rasanya bukan hal yang istimewa karena itu masih desa yang sama dengan tempat tinggal penulis. Baru masuk perbatasan desa Melung nah terasa tanjakan untuk sport jantung!
Ditanggung bila seorang jarang jalan kaki  langsung dadanya berdebar keras dan nafas ngos-ngosan, tanjakan di Melung lumayan curam karena kemiringannya mencapai 45* di beberapa lokasi. Tapi tetap nyaman ditelusuri karena beraspal.
Karena banyak tanjakan berarti terdapat jurang dan tebing, ya daerah ini selalu berujung di sungai Banjaran yang bermata air di kecamatan Baturraden yaitu di KPH Perhutani Banyumas Timur dan PLTA Ketenger.
Soal pemandangan pastilah menawan dan hawanya sejuk, apalagi desa-desanya hanya berupa lahan pertanian dan perkebunan. Pokoknya untuk polusi bisa dibilang masih belum banyak terkontaminasi. Sebenarnya ada saja angkutan pedesaan dari Melung menuju Ketenger tapi itu bukan tujuan penulis yang sengaja menjajal kemampuan jalan kaki jarak jauh....he he he siapa tahu berat badan bisa berkurang. Soalnya saat bulan puasa kemarin, WADUH....ditimbang mencapai 58 kg. Suatu kemunduran karena sebelumnya masih berkisar di angka 56 kg. Yah umur juga menjadi masalah, sekarang sudah mencapai 45 tahun, sudah pra lansia, bila dibilang penulis itu sudah Andropause Okelah itu adalah hal yang alamiah. Ujar orang itu karena metabolisme tubuh menurun, jadinya lemak di bagian perut mulai tertimbun.
Wah ya sekitar lereng gunung Slamet ini semua terdiri dari lapisan batuan beku, itu hasil erupsi gunung Slamet ribuan tahun. Kategorinya (ini perkiraan penulis saja), untuk puncak gunung adalah berumur 0-10 000 tahun, lerengnya berarti ratusan ribu tahun, kakinya limaratusribuan tahun, dan lembahnya jutaan tahun....hingga pegunungan Serayu dan sungainya adalah lapisan batuan tua jutaan tahun dan mungkin telah terangkat dari dasar lautan karena ditemukannya beberapa lapisan batuan kapur. Itu semua terjadi karena tumbukan lempeng benua Ausstralia yang melesak masuk ke dasar lempeng benua Asia.
Gunung Slamet dan juga rangkaian gunung api di selatan Indonesia adalah bukti sebagai adanya peristiwa tumbukan antar benua tersebut. Anggap saja gunung api di seluruh Jawa  adalah  bisulnya daratan xixixi. Pokoknya di bawah gunung api ratusan kilometer terdapat pertemuan dua lempeng benua yang membuat cairan magma sedikit mendapat peluang naik ke permukaan hingga menyapa kita yang menganggapnya sebagai bencana alam.
Menikmati perjalanan ya, silakan bila hendak sport jantung ini tempatnya. Sekitar sepuluh kilometer sekitar lima tanjakan itupun baru mencapai Melung. Itu baru permulaan karena masih banyak tanjakan lainnya mencapai lokasi penting. Yang pertama adalah PLTA Ketenger, entah dibangun tahun berapa itu berupa Pembangkit listrik tidak terlalu besar tapi bila hanya untuk menerangi kota Puwokerto sudah mencukupi, begitu pula untuk deposit air minumnya.
Yang terlihat pertama adalah saluran pipa air besar berdiameter tujuh puluh lima meter yang menyilang jalan aspal. Dari beton pembatasnya ada pengerjaan tahunnya 1983-1985 dari dana Inpres. Tapi proyek pembangkit ini adalah tinggalan Belanda, jadi umur yang sebenarnya lebih lama lagi. Apa lagi ketika sekilas di sebuah jembatan sungai yang sudah menjadi tempat wisata curug Gede tertimbun rel proyek.




Hasil gambar untuk plta ketenger baturaden Nih foto lawasnya

Hasil gambar untuk plta ketenger baturaden Nih kondisinya sekarang

Dari curug Gede ini mulai menanjak masuk areal hutan Damar Perhutani menuju desa Kalipagu. Hutannya sudah tua dilihat dari tegakan damarnya yang sudah mencapai lebih dari lima puluh sentimeter. Untung sungainya sudah mulai terjaga karena adanya larangan mengambil batuan di sempadan sungainya. Mungkin tahun penanamannya sekitar tahun limapuluhan, tidak ditebang lagi sebagai areal produktif karena sudah berstatus hutan lindung.

 Hasil gambar untuk plta ketenger baturaden  Gorong-gorong PLTA Ketenger

Coba lihat saja jalan tanjakan setapaknya, yah itulah bonusnya jalan-jalan. Pemandangan sekitar anggap saja itu  serpihan sorga dunia???
Perjalanan berakhir di sebuah tandon air semacam waduk kecil sebagai sumber air utama penggerak pembangkit listrik.
Setelah itu mulai menyusuri saluran sumber air tandon dari berbagai kali kecil, di kerimbunan tegakan damar dan saluran air terasa hawa sejuk, di ketinggian pegunungan ini sudah berkabut cuaca hariannya, begitu juga awan di atasnya terasa selalu mendung, yah inilah tempat di mana curah hujan diklaim paling tingginya di Indonesia, bisa mencapai 8000-9000 mm pertahun. Untung ini musim kemarau jadi hujan tidak turun tiba-tiba makanya penulis menyusurinya dengan nyman sekali.
Sampai di Pnacuran tujuh, ramai sekali ini tempat  wisata sekitar kompleks Baturraden. Karena ramai jadi tidak dibahas.

 Hasil gambar untuk pancuran 7 baturaden Dari Pancuran Tujuh lanskap sekitarnya saja jadi jujugan

Hasil gambar untuk pancuran 7 baturaden Suasana hutan damar di Baturraden

Terus penulis menyusuri jalan milik Perhutani yang menuju Kebun Raya Baturraden, lumayan jaraknya sekitar empat kilometer dengan medan  turun naik. Tapi cukup ramai karena masih masa liburan lebaran. Berbagai mobil pribadi bernomor polisi B mendominai, setelah itu nomor lokal R dan  sedikit AA, F, dan W entah itu nomor daerah mana penulis tak tahu.
Sepanjang jalan turun naik ini terlihat tegakan damar demikian meraksasa, di kulit pohonnya terlihat bekas sayatan sadapan getahnya. Yah ini adalah hasil hutan di daerah Banyumas, getah damar dan getah pinus sebagai andalan ekspor.
Yang terlihat setiap areal hutan biasanya berhubungan dengan sungai, saat ini kemarau banyak sungai mengering. Jadi memang areal ini hanya menjadi tangkapan air hujan. Tidak seperti pancuran tujuh, Ketenger, Baturraden dan desa-desa di bawahnya yang justru menjadi deposit air minum seluruh wilayah kabupaten Banyumas.
Sungguh disayangkan bila hutan di wilayah ini rusak, tentu menimbulkan banjir di areal bawahnya yang banyak terdapat pemukiman penduduk. Daerah inilah yang harus dijaga ketat, karenanya sekarang dijadikan areal hutan lindung. Itu mencapai Kebun Raya Baturraden
Sudah cukup lelah rasanya mungkin bila dihitung kilometer jalan kaki mencapai duapuluhan kilo, kayaknya sudah cukup sebagai petualangan keluyuran, sudah lumayan juga menjadi tulisan sebuah artikel. Yah kalau kebun raya yang terlihat pokoknya semua tanaman dirawat sebagai koleksi.
Entah  apa andalan kebun raya Baturraden ini, penulis tak mampu semuanya disusuri.

Hasil gambar untuk kebun raya baturaden Pintu gerbang Kebun Raya Baturraden

Hasil gambar untuk kebun raya baturaden   Hasil gambar untuk kebun raya baturaden
Hutan damar dan suasana jalan di Wana Wisata Baturraden

Tak penting lagi mengurusi Kebun Raya Baturraden, rasanya dilihat dari koleksi dan jenis tanamannya masih baru mulai, coba lihat taman liananya, baru mulai di koleksi dan belum mencapai ketinggian sampai tajuk tegakan damar yang sudah limapuluhan tahun tumbuh.
Kebun Raya ini rasanya penulis ingat diresmikan saat Presiden Megawati masih menjabat, berarti masih muda dan masih dalam pengembangan.
EIIIIItttsss tunggu dulu,
Kalau ini sih keisengan penulis saja, ada yang dicari penulis bila di hutan. Yaitu manakah tanaman liar yang bisa dimakan????
Coba-coba penulis lihat areal sekitar, cukup dari tepi jalan......
Ketemu, nih jenis sayur pakis disebut kelakai, cuma tidak banyak jadi saat dicicipi daunnya kayak wedus makan. Uh tidak enak tapi tak apalah itu adalah jenis pakis yang bisa dikonsumsi. Lainnya yah mungkin jamur, tapi tak terlihat, itu harus ekstra mendapatkannya. Harus eksplorasi lebih ke dalam, dan penulis menyerah.
Bonusnya....
Buah BERY Liar, ini dia yang dipanen penulis. pokoknya tak kalah  dengan animasi MASHA and The Bear yang di Scandinavia sana menjadi musim setiap tahun dan dirayakan oleh semua warga negara tersebut.
Yang penulis dapat adalah buah bery liar lokal, sebenarnya sejak di Melung pun sudah mendapati tapi tak nyaman untuk mengambilnya karena  ramai  di jalan kampung. Kalau sekarang ini areal hutan jadi bebas memungutnya. Tinggal mencari sebuah tempat luang hutan yang sedikit terbuka pasti ada, tumbuh liar dan tahan banting. Penulis menjadikan acara memetik buah bery liar ini sebagai puncak acara sebelum pulang ke markas.
Sepanjang jalan dari Kebun  Raya Baturraden hingga menuju Pintu gerbang Wana Wisata bila masuk sekitar limapuluh meter kanan kiri jalan ketemu dengan buah perdu semak ini. Sedikit manis, banyak kecutnya lumayan cukup banyak memetik, bila dikumpulkan bisa mencapai plastik ukuran sekiloan.
Langsung makan di tempat sambil jalan, saat memetik membayangkan ketemu Peri Hutan yang tersenyum manis dengan tongkat ajaibnya mengijinkan penulis memakannya.
Tidak mengenyangkan tapi mungkin membekas saat jadi veses esok harinya, buah nya merah ranum tak kalah dengan strawbery yang dijual di kios atau supermarket hanya ukurannya kecil mungil. Mungkin tidak melihat musim bila berbuah asal tanamannya cukup umur, menjadi semak yang terkadang dilupakan orang yang lewat. Jadi harus jeli bila melewatinya, bisa untuk melatih kecermatan di areal luas sebagai Petualang liar.
Strawberry, Wood Strawberry, Red, Berry

Seperti inilah penampang buahnya, lumayan kan bila mendapatinya. Tanamannya merambat berduri dan di setiap tangkainya ada kuncup buah yang bila sudah matang merah cerah warnanya. Ini hadiah dari peri Hutan xixixii...dah BYE BYE



Sunday, May 31, 2015

Destinasi wisata baru Benteng Mataram Kotagede



            Beteng Mataram Kotagede
      Destinasi wisata Baru di Yogyakarta

            Tulisan ini kelanjutan dari artikel yang lalu, kunjungan ke situs Beteng Mataram Kotagede. Ini hobi penulis saja yang suka keluyuran, terutama Jogging pagi hari setiap minggu. Ternyata menghasilkan semacam tulisan jurnalistik biarpun hanya berupa pengamatan sepintas lalu.
            Pagi hari adzan subuh berkumandang, penulis semalaman demam karena Flu mulai menyerang. Sudah terbayang siksaan penyakit flu yang menjengkelkan dalam beberapa hari. Terutama karena penulis punya jadwal latihan cukup intens berupa Yoga dan Pencak Silat.
            He He He tak terasa perantauan di Yogya telah mengantarkan penulis menjadi seorang praktisi di kedua bidang tersebut secara autodidak. Beberapa tulisan dalam blog, maupun naskah novel selalu menyinggung kegiatan penulis ini. Belum sukses karena baru sebatas hobi.
            Ada naskah fiksi yang sudah menjadi pertaruhan penulis untuk diterbitkan melalui penerbit. Tapi sejauh ini masih gagal, penerbit belum tertarik melihat naskah milik penulis yang masih berantakan.
            Oke, tak perlu pesimis.
            Karena sudah merasa hendak sakit itulah penulis akhirnya memutuskan sekedar jogging untuk kegiatan pagi hari minggu. Rutenya pilihan, kali ini menuju Kotagede menyusuri Ringroad selatan. Yang terasa gejalanya adalah hidung mbeler cairan ingus encer, menjengkelkan sekali!!
            Begitu keluar jalan besar sudah terlihat banyak orang keluar dari masjid seusai menunaikan ibadah sholat subuh. Beberapa diantaranya melambaikan tangan pada penulis karena saling mengenal, bahkan seorang yang sudah sepuh berteriak,
            “Yul gek ndang mengko tak susul jogging!” Katanya semangat karena merasa juga tertantang untuk berolah raga seperti penulis.
            Sangat menyenangkan bila kegiatan kita mendapat apresiasi dari orang sekitar. Itu karena sebenarnya menjadikan kegiatan olahraga seperti yang penulis lakoni adalah tidak mudah, butuh komitmen keras dan perjuangan yang berkesinambungan.
            Penulis mulai lari pelan-pelan santai karena tidak terburu nafsu. Hari masih remang-remang biarpun jalan Parangtritis sudah ramai kendaraan. Penulis menyusuri jalan menuju selatan, mencapai ringroad selatan, belok kiri cuma berani di jalur lambat. Berbagai kendaraan besar seperti bus AKAP hingga bus mikro dan truck tronton adalah penguasa, mereka berpacu karena jalan mulus bebas hambatan.
            Rutenya adalah jalan Parangtritis, ke kiri mencapai perempatan Wojo, terus mencapai kampus Universitas Ahmad Dahlan, sampailah di terminal bus Giwangan. Itu masih berlanjut ke timur hingga akhirnya mencapai Taman parkir wisata Beteng Mataram Kotagede Singasaren.
            Asyik kelihatannya ya…..
            Kalau buat penulis itu asyik banget, soalnya jogging sudah tak jadi masalah besar bahkan mampu menikmatinya. Penulis bayangkan untuk mereka yang tak pernah jogging, mungkin baru lari seratus dua ratus meter nafas sudah ngos-ngosan bahkan kepala pening. Jogging ini buat penulis adalah parameter untuk pengukuran stamina.
            Kemungkinan jarak tempuh lari penulis hanya sekitar lima kilo, jadi bukan kategori Maraton. Apalagi ini bukan perlombaan, penulis menjalaninya dengan langkah lari pendek-pendek juga menghindari kerikil atau pecahan beling yang bisa melukai karena tak beralas kaki.
            Senangnya jika badan dibawa lari adalah hangat segar, serasa hidung dan demam flu yang diderita penulis sudah sembuh. Jadinya makin semangat untuk mencapai finish…kali ini adalah pas di taman parkir wisata Singasaren.
 Taman parkir Singosaren Kotagede Jogja
     Gambar taman parkir wisata Singosaren    

  Inilah pintu gerbang destinasi wisata baru Beteng Mataram Kotagede. Parkir wisata berupa kompleks berisi ruko dan warung serta kantor pengelola parkir. Baru awal tahun 2015 diresmikan. Sebelumnya adalah berupa tanah kosong rendah seperti kolam yang menjadi lapangan bola volley warga sekitar.
            Kenapa kemudian dibangun taman parkiran?
            Dugaan penulis adalah karena adanya pemugaran situs beteng Mataram di Purbayan yang memperlihatkan fisiknya sehingga bisa menjadi obyek wisata baru di pinggiran kota Yogyakarta. Pemugaran itu memakan waktu cukup lama, setahu penulis sampai tiga empat tahun dari awalnya penulis keluyuran memasuki areal situs.
            Taman parkiran baru ini terlihat cukup terpelihara, puluhan sepeda motor terparkir rapi. Sebuah panggung terbuka sedang didirikan untuk pentas wayang golek, berarti terkelola baik. Biasanya bus wisata siang harinya datang mengantarkan para pengunjung beteng Mataram. Beberapa warung angkringan sudah mencoba bertaruh mendapatkan keuntungan, juga sudah ada los kios untuk cenderamata di sekeliling areal parkir.
            Penulis sedikit iri karena parkiran ini tampaknya langsung hidup. Tapi setelah melihat lingkungannya jadi maklum. Taman parkiran ini hanya berseberangan saja dengan sebuah pabrik pakaian jadi yang cukup besar. Tentunya karyawan-karyawan pabrik membutuhkan tempat parkir untuk kendaraan mereka. Nah taman parkiran ini cukup luas untuk menampung sepeda motor dan mobil dari pabrik pakaian jadi tersebut.
            Juga warga sekitar memanfaatkan rumah dan halaman mereka untuk menerima titipan sepeda dan motor para karyawan pabrik. Belum lagi disebelah timurnya ada kompleks ruko dan pasar Singasaren yang sudah cukup lama berdiri. Biarpun bukan pasar tradisional dan tidak ramai tapi masih banyak orang yang membuka usaha di sana. Berarti tetap terkelola cukup baik.
            Pabrik pakaian jadi, pasar tradisional walaupun banyak berupa kios bengkel motor dan pemilik bus mikro, sekarang ditambah Taman parkir wisata ke Beteng Mataram Kotagede. Tentu sekarang untuk bus wisata dilarang parkir di sekitar pasar Legi Kotagede yang sangat sempit jalannya. Hiduplah parkiran wisata kecil ini menjadi semarak di pinggiran kota Yogyakarta.
            Karenanya bagi penulis boleh mengklaim sebagai destinasi wisata baru di Yogyakarta. Lumayan bila dilihat dari obyek wisata yang ditawarkan, tinggal menyusuri jalan kecil masuk ke dalam kampung Purbayan.
            Dari taman parkiran wisata tinggal menyusuri jalan kampung sampailah di wisata utamanya. Beteng baluwarti bekas keraton Mataram Kotagede, ada sanggar budaya di pinggir jalan mungkin itu memanfaatkan Danais yang bergulir setiap tahun.
            Beteng hasil pemugaran ini sudah terlihat fisiknya, memotong jalan di kanan kirinya. Ini adalah bagian selatannya yang berupa tanah luas berumpun bambu dan mungkin dulunya adalah parit yang mengelingi beteng pertahanan keraton.
 
            

 Gambar reruntuhan beteng sebelum dipugar




 Lumayan sudah tertata cukup rapi, dijadikan taman dengan beberapa pot tanaman hias. Makanya sudah bisa ditawarkan untuk tempat wisata baru, tentu dengan cerita cukup menarik sebagai latar belakangnya.
            Bila kita berada di sebelah tenggaranya itu adalah beteng yang dinamakan Bokong Semar, itu karena bangunan beteng ternyata tidak simestris kotak, yang di sudut tenggaranya ini bila dilihat dari udara seperti pantat tokoh wayang Semar. Sebagian besar sebenarnya sudah rusak, setahu penulis ketika pertama kali berkunjung justru masih asli, batu yang terpasang sekarang ini sebagian adalah batu isian untuk memperlihatkan struktur beteng yang tak utuh lagi ditemukan.
            Makanya bila tak cermat pengunjung cuma akan mengagumi kemegahan tembok beteng yang terbuat dari batu pahatan persegi yang ditata satu dengan lainnya menjadi tembok pertahanan. Karena tidak utuh ditemukan akhirnya untuk bagian dalam diisi dengan bata cor-coran semen.
            Kalau penulis sih bisa menjadi saksi bisu mana yang asli dan aspal, soalnya ketika berkunjung pertama kalinya di beteng ini belum ada pemugaran sama sekali, Bagian bokong Semar ini dulunya bahkan sulit dilewati karena rusak bekas saluran air dari kampung di sekitarnya. Juga sampah bukan main menumpuk di mana-mana sangat mengganggu pemandangan.
 
   Gambar bagian sudut beteng yang tumpul sehingga disebut Bokong Semar      


 Bila di sebelah barat itu yang langsung nampak di pinggir jalan berbatasan dengan makam umum. Mungkin inilah yang diambil poin sebagai lokasi utama beteng karena lebih mudah diakses, tinggal masuk dari pinggir jalan dan bisa mengambil gambar utuh beteng Mataram Kotagede.
            Anda bisa mengambil sosok beteng pertahanan yang mengelilingi keraton Mataram. Ini didirikan oleh Panembahan Senopati sekitar tahun 1500 Masehi. Beberapa cerita legenda muncul di sekitar kompleks isi beteng ini. Semuanya berhubungan dengan situs yang ada seperti Watu Gilang, kompleks pemakaman Hastorengga, kompleks bekas alun-alun dengan rumah warga yang unik karena mewakili arsitektur kotagede masa Pakubuwono, kompleks makam raja-raja Mataram di Masjid besar Mataram, pasar Legi yang berdiri pertama kali di alas Mentaok dan tak lupa berbagai bangunan joglo yang bisa ditelusuri di setiap gang dalam kecamatan Kotagede hingga desa Jagalan.
 
Gambar beteng sebagian sudah dipugar dan bagian beteng bokong semar           

 Tak lupa berbagai jenis rumah Kalang, ini sejak masa Sultan Agung berkuasa adalah warga tersendiri yang banyak dipekerjakan sebagai tukang kayu. Kemudian beranak pinak hingga banyak menjadi pengusaha sukses yang mendirikan rumah kalang sebagai arsitektur yang berbeda dengan rumah Jawa umumnya.
            Pokoknya bila menelusuri seluruh kawasan cagar budaya Kotagede dan sekitarnya waktu cuma beberapa jam saja tidak cukup. Mungkin seharian penuh barulah bisa mengelilinginya. Hanya saja destinasi wisata yang ditawarkan ada dipusatkan di beberapa tempat.
            Tembok Beteng Mataram ini yang bisa dianggap tempat wisata baru, Yang lama adalah kompleks makam raja-raja Mataram, pasar Legi Kotagede, bangunan cagar budaya joglo, kerajinan perak, sekarang ini ada pabrik coklat Monggo di sekitar situs Watu Gilang. Karena ada show roomnya mungkin bisa belanja juga coklat-coklat lezat yang konon pemiliknya adalah orang Eropa.
            Yah penulis sudah menggali suatu bentuk destinasi wisata baru yang berbeda dengan wisata lainnya. Beteng Mataram ini tidak sesakral kompleks masjid Mataram, ketika penulis duduk di pondasi bronjong penahan erosi ada makam yang cukup dikeramatkan. Namanya makam Nyi Melati, bernisan batu tua berukir dikelilingi pagar dan ditaburi bunga mawar. Satu anglo kecil diletakkan di batu nisan sebagai adanya peziarah yang membakar menyan.
            Sedikit bulu kuduk penulis merinding.
            Penulis pulang dengan jalan kaki sampai di rumah kontrakan, selang satu jam kemudian mulai lagi gejala flu kambuh. Hidung penulis mulai bersimbah ingus cair…..SEBEL!