Friday, September 8, 2023

Rimbawan di Hulu

 

RIMBAWAN di HULU KATA PENGANTAR Tulisan ini hanya bentuk memoar, isinya berbagai peristiwa yang pernah dialami Penulis di sebuah perusahaan kayu Kalimantan. Jadi tidak bermaksud mencapai karya sastra berat. Yang penting apa yang pernah dilihat, dirasakan, dilakukan coba dituangkan dalam sebuah fiksi. Tentu saja banyak kekurangannya Penulis bukan ahli dalam mengarang walau boleh menyatakan diri AUTHOR. Naskahnya saja sudah lama sekali ditulis berupa dokumen di komputer itu tahun 2010, diketik komputer dan dicetak kemudian naskah tersebut hilang karena kekhilafan Penulis sendiri. Karena ada edisi cetakannya maka bisa diketik ulang, inilah hasilnya. Silakan membaca, boleh dikritik apapun juga apresiasi pembaca adalah segalanya..... Terima kasih Yogyakarta, 9 September 2023 BAB 1 Survey di Hutan KRAAAKK, BRUUUSSH! Suara keras terdengar beberapa ratus meter dari pondok. Itu suara pohon mati roboh. Di hutan banyak pohon besar mati meninggalkan kayu gabuk. Lama-lama kayu ini terkena hujan panas hingga merekah. Tak terelakan lagi sebagian demi sebagian pecah menimbulkan suara gemuruh keras. Orang-orang yang di pondok kerja tidak terancam, rasanya itu biasa saja. Orang-orang yang berada di bawah naungan pepohonan biasa mendengar robohnya pohon. Tentu yang terpikir oleh mereka asal pohon tersebut tidak jatuh menimpa orang, hal yang jarang terjadi. Beberapa orang di pondok kerja bermain kartu remi. Seorang diantaranya di dapur merebus air minum. “Akoi kena jua ikau aku jebak! Ha ha ha tambah jumlah kartu Lek, jadi nutup kia akhirnya,” Dian tertawa sambil menyudahi permainan sembari memperlihatkan kartu tiga king dan beberapa kartu angka berurutan yang berseri. “Sialan jeblok lagi nilaiku, berapa kali jadi ikau nutup kartu Lek. Kharat kia permainan ikau hari ini,” Ajung menyumpah, duduk di sebelah Dian rasanya beberapa kali ia dapat kartu jelek terus. Dian senang matanya melirik kanan kiri karena disiriki temannya. Ujarnya, “Makanya belajar helo, itu kartu mah bisa disulap.” “Sudah dululah, sudah jam due malem. Kita istirahat dulu, esok pagi kita begawai,” Joni mandor regu kerja berkata. “Oke Bos perintah atasan segera dilaksanakan!” Kata Ajung dan teman-temannya. Orang-orang segera ke palbed tidur masing-masing menjemput mimpi. Berkumpul bersama orang Dayak, sebagian di antaranya orang Banjar membentuk regu kerja kegiatan perapihan. Joni ditunjuk sebagai mandor, orang-orang menyebutnya Joni biarpun nama sebenarnya mereka tidak tahu. Peduli apa yang penting sosoknya kelihatan. Joni bekerja di perusahaan kayu, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Johanes Arnorld Pissy. Di pedalaman Kalteng kecamatan Kuala Kurun wilayah Pembantu Bupati Gunung Mas. Coba saja cari sendiri di peta Indonesia. Itu tempat pelosok banget mungkin tak pernah terpikir oleh pembaca. “Kok aku bisa di sini ya?” Joni membatin. Tapi semuanya telah terjadi dan itu bukan mimpi, semuanya juga bukan kebetulan belaka, semuanya ada tujuannya. Hutan hujan tropis, di sekolah SMA Joni sudah membacanya di buku pelajaran Geografi. Rasanya biarpun bukan siswa berprestasi tetapi minat mempelajarinya cukup tinggi. Rasanya Joni menyukainya, profil negara di dunia ssampai gambarannya di dalam peta Joni cepat hafal. Sebut saja misalnya sebuah negara di Asia selatan katakanlah Nepal. Segera terbayang sebuah peta anak benua India dan pegunungan Himalayanya. Di sanalah terletak Nepal, negara yang terdiri dari pegunungan tinggi hingga melahirkan seorang tokoh Budha Gautama. Kalau Pulau Kalimantan? Hafalan yang nyaantol di otak adalah salah satu pulau terbesar dari lima besar gugusan pulau Indonesia. Dan ternyata Joni sedang berada di dunia yang tadinya hanya nyembul di otak sebagai hafalan mata pelajaran Geografi. Aah segitu dulu..... “Danum jadi menggurak Lek, ketun nampa kopi sendiri-sendiri sajalah,” Pak Amat si tukang masak berkata mempersilahkan anggota regu kalau sekiranya hendak minum kopi atau teh. Beliau sendiri sedang sibuk mengaduk mie instan di perapian lain. Hari memang masih pagi, pondok kerja masih terasa agak remang-remang. Biasanya yang bangun paling pagi jelas tukang masak. Pagi-pagi Pak Amat bangun menyiapkan sarapan pagi. Regu perapihan terdiri dari tujuh orang, yang masuk hutan enam orang. Seorang tinggal di pondok kerja jadi tukang masak dan berjaga. Hidangan sudah masak, ala kadarnya kemudian satu regu tersebut segera bersantap. Hari ini menebas semak belukar di petak perapihan. “Sekarang kita mulai menebas, siapkan peralatan masing-masing!” Joni berseru mengawali perintahnya. Joni sendiri selesai bersantap segera mengambil kompas, memasang kaus kaki tebal di kakinya untuk kemudian terakhir sepatu boot mengiringi persiapannya. Terlihat anggota regu lain juga sudah bersiap-siap. Dian, Ajung, Boy, Gugun, Junaedi semuanya berseragam kebesarannya sebagai pasukan penebas. Tak lupa paling penting parang mandau sebagai alat penebas. “O Lek kejau ikau sampai hitu menggau uang?” Ajung meledek Joni sambil menebas semak belukar. “Kan masih nyaman di Jawa are hiburan,” katanya lagi ditujukan kepada Joni. “Dia nare Lek, aku sendiri dia tawa hingga hari ini sampai di depan hidung ikau,” Joni menjawab dengan senyum getir. “Coba aku sekolah tinggi mungkin dia sampai kurung parang di hutan seperti ini,” Joni mencoba berkilah. “Tapi yang benar di Jawa ngalih menggau gawaian.” Mereka maju satu dua meter, satu dua jam tangan terasa pegal memegang parang menebaa semak belukar di depannya. Kenapa ditebas? Bukankah semak belukar itu bagian dari hutan, di bawah naungan pepohonan banyak tumbuh semak belukar. Ada kayu roboh besar melintang mati menghalangi jalan mereka. Untuk tetap meneruskan penebasan terpaksa satu regu melompatinya. Terasa agak sulit karena licin. Kayu roboh itu mungkin dari jenis pelepek (meranti batu) tetapi sudah menghitam. Kayunya yang keras meninggalkan galih yang sebenarnya masih bagus untuk dibuat papan atau balok. “Wah hai batang plepek te, coba ketun jual je kota jadi sugih kareh,” Joni berkata sambil melompat-lompat di atas batang pohon melintang tersebut. Mungkin diameternya a lebih dari satu meter. “Maunya sih seperti itu Lek, tinggal angkat itu kayu kareh dijual je Kurun kani,” jawab Boy yang sedari tadi nafasnya tersengal-sengal karena kecapean menebas. “Kalau bepandir soal sugih nyaman,” Gugun menyela, “Sekarang kita tak lebih dari tukang tebas di perapihan, dan he he he wong kita cuma dapat upah sehari enam ribu,” tambahnya lagi. “Ie te nasib cuma jadi orang survey, kejau bara lewu,” Junaedi membenarkan kata-kata rekannya. “Sudahlah kita istirahat helo je hitu, rasanya pehe kia tanganku menebas terus,” kata Joni memerintah. Tangannya merogoh tas pinggang mengeluarkan sebatang rokok jatah logistik, merknya crystal 16. Joni duduk di batang kayu menghisap rokoknya dalam-dalam, terbatuk beberapa saat merasa gejala tak enak karena kebanyakan asap, tapi hanya itu hiburan yang ada. Anggota regu yang lainpun segera duduk berkeliling, mereka sama menyulut sepucuk rokok jatah masing-masing. “Ujar uluh lewu asap rokok bisa mengusir serangga,” Dian berkata menghembuskan asap rokok dari mulutnya. “Tanjaru ikau Yan, mana mungkin serangga itu pergi hanya karena asap rokok,” Joni protes. “Yang benar serangga itu banyak yang punah kalau sudah terkena polusi.” Joni coba menerangkan, “Coba ikau tureh je kota, are sekali jenis serangga yang sudah sangat berbeda dengan yang kita lihat di hutan ini,” Joni terus memberi contoh-contoh yang terlihat di sekitar tempat mereka beristirahat. “Yes proff terima kasih atas keterangannya,” nyengir Dian menimpali kata-kata Joni yang sok ilmiah, emang gitu kok! “Hei Ajung coba ikau dohop uluh bekas je pondok kareh ya, kasihan aku tureh Pak Amat. Sudah tua tetap begawai buat anak bini je huma,” kata Joni kepada Ajung. “Sayang kia uluh bekas te sering uring-uringan tanpa alasan,” berkata demikian Joni membuang sisa puntung rokok. “Huu memang sudah demikian wataknya Jon,” jawab Ajung. “Uluh bekas te kayak orang tekanan darah tinggi, mungkin sebenarnya harus diobati,” lanjutnya lagi. “Alah sok tahu ikau, iyalah mungkin saja,” kata Joni lagi. “Sebenarnya uluh bekas te termasuk rajin, cuma wataknya angin-anginan tersinggung sedikit sudah naik darah,” Joni memperkirakan. “Itu sih gara-gara Dian kemarin Jon,” Junaedi memberitahu. “Dian suka begayaan bikin uluh bekas tersinggung,” tukas Junaedi. “Siang-siang nyaman istirahat uluh bekas menendang panci, wah kami jadi terdiam karenanya,” Junaedi menerangkan ihwal kejadian. “Ya sudahlah kita maklumi saja Pak Amat itu,” jawab Joni. “Mungkin beliau sedang ada masalah je lewu,” Joni coba berpendapat. “Setahuku memang begitu,” Dian berkata. “Kita ini saja yang dijadikan pelampiasan emosinya karena tak ada salurannya.” Memang ngeri kalau di hutan ada orang bertingkah, mereka di ujung dunia sepi. Suasana hutan pengap membuat jiwa mudah tertekan. Sekali tersinggung bak orang terancam langsung menantang. Dan itu sudah terjadi kemarin siang ketika saat istirahat sehabis kerja. Dian mendekati Pak Amat kemudian ngobrol berdua. Saat sedang ngobrol mungkin ada kata-kata Dian yang dianggap kurangajar. Jadinya yang jadi sasaran ya itu panci kena tendang. Persoalan sepel cuma jatah rokok diminta Dian dan Pak Amat menolak kemudian ada Dian menyatakan kalimat, “Memang rokok te hendak ikau bawa mati Pak Amat?” Gurauan Dian rupanya jadi pencetusnya. Ributlah sepondok kerja siang itu, Pak Amat ngamuk menyumpahi mereka semua. Dileraipun percuma, biarkan saja orang tua itu melampiaskan kemarahannya. Akhirnya capek sendiri, sore harinya sudah biasa lagi. “Ayo menebas lagi sampai sungai depan cukuplah sudah,” perintah Joni. Joni segera turun dari batang rebah meneruskan pekerjaan. Mendapat aba-aba demikian anggota regu yang lain segera saja mengikutinya. Joni menggerakan tangan memegang tangan. Parang mandau itu hanya tajam di satu sisinya saja. Sekali ayun satu batang perdu sebesar jari langsung putus. Tajam juga parang mandau miliknya tersebut. Dalam hati Joni berkata, “Orang Dayak ini ribuan tahun memakai parang ternyata gunanya untuk memudahkan berjalan di lebatnya hutan.” Di bawah tajuk-tajuk pepohonan tinggi, terbentang di bawahnya anakan pohon berbagai jenis, perdu dan semak belukar hingga sulur rotan saling bersaing mencari kehidupan. Rapat sekali hingga tidak mungkin manusia berjalan di dalamnya tanpa merintisnya dengan menebas. Sebenarnya blok perapihan ini sudah bukan hutan perawan lagi. Kegiatan perapihan dilakukan sebagai bagian dari sistem perusahaan HPH TPTI (Tebang Pilih Tanaman Industri). Jadi blok perapihan bekas kegiatan produksi tebangan. Sisa tanaman kayu yang tidak kena tebang karena tidak memenuhi syarat misalnya cacat, bukan kayu industri, kayu yang dilindungi, kayu industri tetapi diameternya belum memenuhi syarat tebang (<50 cm), areal yang tidak mungkin ditebang karena jurang, tebing sungai atau areal tak berkayu komersial. Kegiatan perapihan dilakukan setelah satu tahun produksi penebangan. Orang-orang terus menebas, mencoba mencapai lembah sungai besar di depannya. Jaraknya sekira 200 m, petak perapihan sebelumnya sudah dibuat jalur. Satu blok kerja terdiri lima puluh jalur dengan masing-masing jalur berukuran 20 x 1000 m (2 Ha). Nah target penebasan sehari adalah dapat satu jalur. He he he apa semudah itu? “Heh uyuh kia begawai, rasanya tanganku ini sakit menebas terus,” Joni berkata sendiri. Tangannya yang kiri menyeka peluh yang bercucuran di wajahnya. “Belum sampai sungai sudah uyuh seperti ini, apa lagi menebas ssampai 100 hektar yaa?” Joni menggerutu. Dilihatnya di depan sana memang terlihat sungai tetapi masih berjarak 50 m dari tempatnya menebas. Badannya terasa sudah lelah menebas. Sekira setengah jam sampailah orang-orang di sungai, pekerjaan dianggap selesai. Hari beranjak siang, di tepi sungai yang cukup lebar ini tanahnya datar pepohonan masih rimbun. Bagian penebangan tidak mengambil kayu di dekat sungai karena aturan yang melarang penebangan di tepi sungai kurang lebih 50 m. Orang-orang turun ke sungai membersihkan diri cuci tangan dan bermain air. Setelah itu duduk di tanah memandang air yang mengalir. Beberapa ekor ikan seluang berenang melawan arus. Itu jenis ikan putih sebesar jari kelingking. “Kalau ketun hendak bulik silakan saja,” kata Joni. “Aku hendak tinggal di sini barang sebentar,” tambahnya lagi. “Baik Jon kami bulik ke pondok sekarang saja,” Junaedi menjawab. “Rasanya perutku sudah lapar jua,” kata Gugun sambil tangannya meraih parang di tanah tempat meletakkannya. Badannya diangkat meluruskan pinggangnya, sebentar kemudian beranjak ke hilir sungai menuju pondok kerja. Teman-temannya yang lain segera ikut beranjak bangkit untuk pulang ke pondok kerja istirahat. Joni termangu, terlihat di depannya teman-teman kerjanya berjalan menyusuri sungai. Sebentar kemudian mereka tak terlihat lagi karena kelokan sungai. Joni menghela nafas dalam hati berkata, “Entah sampai kapan aku bisa bertahan di perusahaan ini, kalau saja aku ada pekerjaan yang lebih baik dari ini tentu sudah kutinggalkan tempat ini.” Sulit menjelaskannya, siapa suruh ia mencari pekerjaan sedemikian jauhnya? Biarpun Kalimantan terkenal deengan hutan dan kayunya tetapi juga banyak kotanya. Kenapa tidak mencari pekerjaan di kota saja, kan ada kota Palangka Raya, Banjarmasin, Sampit dll. Bahkan mungkin masih lebih baik kerja di Kuala Kurun, biarpun kecil tapi cukup ramai. Joni membela dirinya sendiri, “Aku kan mencoba bertahan hidup, kata orang banyak hidup ini cuma persinggahan sementara,” batinnya. “Kuakui tidak mudah mencari pekerjaan, saat baru merantau di Banjarmasin pekerjaan yang kudapat cuma jual tenaga saja mampunya. Jadi kuli, kuli lagi dan sekarang pun cuma kuli di perusahaan,” terus Joni melamun. Dipandanginya air sungai depannya, airnya masih jernih mungkin masih banyak ikannya. Hanya saja itu sepintas lalu. Blok bekas tebangan banyak menyisakan areal terbuka yang tergerus tanahnya oleh traktor penarik kayu. Jika terjadi hujan air sungai di depannya ini segera keruh oleh air yang membawa lumpur karena erosi dari areal terbuka. Sayang hutan ini rusak karena urusan kapital, semuanya hanya diukur dari uang, uang dan keuntungan. “He he he memang hanya ini kelebihanku, mental bertahanku menjalani hidup rupanya bisa diandalkan,” berkata Joni dalam hati. “Banyak orang takut jika ditawari kerja di hutan HPH, rupanya aku tertantang untuk menerima pekerjaan ini,” lagi pikirannya menerawang. Diambilnya batu kerikil di tepi sungai, dilemparkannya ke tengah sungai hingga menimbulkan kecipak air. Batu-batu di Kalimantaan ini mudah pecah, memang masih bisa untuk pondasi bangunan tetapi kualitasnya kalah jauh dengan batu-batu kali di Jawa. Kadang-kadang ada pasir yang bagus untuk bangunan tetapi warnanya coklat sehingga saat pertama di Kalimantan Joni bingung melihat orang mengaduk semen dengan pasir yang lebih mirip tanah lempung. Hanya saja di Kalimantan bangunan dari beton jarang ada, lebih banyak orang Kalimantan membangun rumah dengan kayu yang masih berlimpah. Setelah cukup lama di tepi sungai barulah Joni beranjak pulang. Ditentengnya parang di tangan kanannya, berjalan ke hilir mengikuti jalur anak buahnya pulang tadi. Cukup jauh ia harus berjalan menyusuri sungai sekitar 200 m. Kemudian naik ke jalan bekas traktor menanjak ke atas membuat nafas tersengal-sengal. Sampai di atas jalan terbentang padang terbuka membuat sinar matahari memanggang bumi tanpa terhalang, panas bukan main. Diikutinya jalan traktor tersebut, sekira 100 m barulah turun ke bawah bukit tempat anak sungai di mana pondok kerja didirikan. Yang pertama melihat kedatangannya Pak Amat, “Bara kuweh Jon, aku kira tersesat di hutan, lam kia kami menunggu je hitu,” sapa orang tua ini menyambut kedatangan ketua regu kerja. “Ah dia aku dia tersesat Pak Amat, memang sengaja tadi tinggal di sungai besar kani,” Joni menjelaskan. “Memang tege nare je sungai Lek?” Tanya Pak Amat. “Aku cuma sedang mengira-ngira saja berapa lama lagi kita begawai je hitu, kemungkinan ngalih mencapai target pekerjaan menebas dua hektat sehari,” kata Joni. “Wah kalau urusan itu kami tidak berkepentingan Lek,” Gugun berkata dari palbet tempat tidur. “Yang penting kita bekerja cukuplah sampai dua puluh lima hari kerja seperti sudah aturan teknis perusahaan,” katanya meneruskan. “Kalau mengikuti target perusahaan mungkin diperlukan tenaga lebih banyak lagi,” Junaedi berkata. “Itu tak mungkin dilakukan orang kantor sana.” “Wah kalau masalah itu kita sajalah yang menyadari tak mungkin orang-orang kantor mendengarkan suara buruh kecil macam kita,” Joni berkata sendiri, yang lain terdiam. “Kenyataannya satu jalur saja baru tembus tiga hari. Benar-benar sangat tidak realistis target tersebut,” Joni berkata sambil menggelengkan kepala untuk memperkuat pernyataannya. “Terserah ikau sajalah bagaimana baiknya Jon, tentunya ada cara lain untuk menyelesaikannya,” Gugun menyatakan mendesakan keinginannya menyelesaikan masalah rumit regu perapihan. Ini memang sudah bulan kedua di petak perapihan. Joni sendiri baru memegang regu perapihan tahun ini. Tentu Joni sudah membaca buku petunjuk teknis dari perusahaan. Sesuai dengan target dalam buku Joni mencoba mengikutinya. Yang terjadi bulan pertama ternyata jauh dari kenyataan. Hari pertama hanya bisa membuat pondok kerja. Baru hari kedua mulai masuk hutan. Pertama mencari bekas batas blok di mana terdapat patok blok perapihan. Namanya perapihan keliling batas blok kerja harus diperjelas, semuanya disisir satu keliling bujur sangkar bila petak tepat kotak. Batas blok dibersihkan dengan menebas dan mengecat hingga terlihat kembali. Urusan menyisir batas blok selesai baru mulai menebas dan membuat jalur perapihan. Satu orang memegang kompas merintis pembuatan jalur yang lain menebas semak belukar. Hasilnya! Pembuat jalur bisa menyelesaikan tiga jalur karena merintis tikus dan membuat nomor jalur. Sedangkan penebas belum sampai separo jalur sudah tak sanggup bekerja, capeknya minta ampun. Dicoba kerja sampai sorepun tetap tak mampu. Ya bagaimana lagi, hutan bukan lapangan sepak bola. Di lapangan sepak bola kita berlari keliling lapangan puluhan kali. Kalau di hutan? Menebas jalur satu mulai dari ukuran 20x20 m saja belum tentu cepat selesai, tergantung banyak sedikitnya penghalang dan semak belukar. Maju terus menebas naik atau turun bukit atau menyeberang sungai, turun ke tebing sungai semuanya harus dilalui. Soalnya yang namanya jalur bentuknya lurus sepanjang satu kilo meter. Justru paling mudah jika berada dalam naungan pohon besar yang tidak kena tebang. Di dalamnya semak hanya berupa perdu yang mudah ditebas. Paling sulit kena pinggiran jalan pengangkut kayu, bentuknya sudah padang terbuka dengan berbagai semak bermacam jenis. Areal bekas tebangan yang setahun ditinggal membuat jenis-jenis semak tumbuh lebat. Areal tertutupi semak tumbuhan merkuwung atau jenis paku-pakuan. Perapihan itu maksudnya apa? Inti dari kegiatan perapihan adalah memberi ruang tumbuh anakan kayu produksi seperti meranti, keruing, resak, bengkirai, dan tengkawang. Anakan meranti yang baru tumbuh dipelihara sedangkan saingannya dimatikan. Saingannya bentuknya ya itu semak belukar. Mungkin dalam ilmu pertanian semak belukar ini dianggap sebagai gulma jadi harus dibasmi. “Jon kuman helo, nasi tinggal tersisa buat ikau!” Pak Amat berkata mempersilahkan Joni untuk makan. “Terima kasih Pak,” jawab Joni langsung menuju dapur untuk makan. Terasa juga perutnya berkeruyuk minta jatah. Pak Amat, Gugun, dan Junaedi masih ngobrol, “Jujur kia mandor kita ini,” ujar Pak Amat. “Mau-maunya begawai demikian keras mengikuti target perusahaan,” katanya kepada Junaedi dan Gugun di depannya. “Iya aku tuh sampai keuyuhan mengikutinya,” kata Gugun. “Biarkan sajalah dulu, kita lihat kaena perkembangannya,” Junaedi berkata mencoba memaklumi. Di pondok dapur Joni makan dengan lahap. Dilihatnya sekeliling dapur, ini hari-hari sudah hendak berakhir masa kerja di hutan. Jatah logistik sudah berkurang banyak mungkin saat kembali ke camp hanya tersisa beras saja. Tak apa logistik itu memang jatah yang harus habis di lokasi. Yang dipikirkan Joni adalah bagaimana tanggung jawabnya soal pekerjaan. Bulan pertama Joni bertemu dengan asisten pembebasan, yaitu Tobias orang Timor tapi lahir di Samarinda. Joni melaporkan hasil kerjanya, “Wah Yas kayaknya sulit mencapai target dua hektar sehari penebasan,” Joni mengeluh. “Menebas semak belukar sebanyak itu tak mungkin hanya sehari saja,” sambungnya lagi. “Jon ikau te begawai diharuskan membuat laporan kegiatan,” Tobias menerangkan. “Persoalan hasil begawai seberapa are sesuaikan saja dengan Juknis yang ada,” Tobias mempersilahkan Joni berpikir. “Tapi kalau target tak tercapai bulan ini coba saja bulan depan,” Tobias berkata seolah menghibur Joni. “Kareh ikau tawa kia cara begawai cepat sesuai target,” Tobias berkata diplomatis. “Ya Yas kareh aku coba begawai lebih baik,” Joni menjawab sekenanya. Dan bulan kedua ini masih diteruskannya cara yang kemarin. Hasilnya sama saja target dua hektar penebasan tak tercapai. Dalam hati Joni berkata, “Huh bagaimana caranya lagi? Memang tak mudah mengikuti keinginan orang kantor, paling-paling ya cuma berbohong membuat laporan palsu seolah-olah pekerjaan sudah selesai,” sinis Joni memikirkan tata cara kerja orang-orang perusahaan. Bagi orang kantor laporan beres sesuai rencana karya tahunan. Berbagai cara manipulasi dilakukan. Entah caranya seperti apa Joni sendiri tak tahu. Untuk kegiatan perapihan Joni cuma membuat tally sheet berupa peta dengan jalurnya ditambah dengan keterangan berbagai jalan pengangkut kayu atau letak sungai. Memang mudah di atas kertas, asal dibuat dan semuanya dilakukan dengan kira-kira saja. Nanti peta yang dibuat di tally sheet diberikan kepada asisten pembebasan. Selanjutnya Joni tak tahu apa-apa. Selesai makan Joni mengambil handuk dan gayung untuk mandi. Segera saja menuju sungai kecil yang airnya mengalir dekat pondok kerja. Dilihatnya Dian sedang mencuci baju di tepi sungai. “He he he rajin ikau mencuci baju Lek, tambah dengan baju ayungku Yan,” kata Joni menggoda Dian. “Boleh bawa saja seluruhnya ke hitu kareh aku cuci,” Dian membalas godaan Joni. “Cuma kalau pakaianmu hanyut terbawa arus aku biarkan loh...,” sambungnya lagi. “Huh dasar manusia tak bertanggung jawab,” Joni bersungut sembari mengguyur badannya dengan air. Cukup segar rasanya, sambil membersihkan badannya masih dilihatnya Dian mencuci baju. Terlihat caranya mencuci sangat lucu, sabun cuci yang digunakannnya kebanyakan seolah-olah takut baju yang dicucinya tidak akan bersih. Satu baju beberapa kali dibilas, dikasih sabun dibilas lagi, benar-benar boros orang ini. “Makanya ikau cepat bebini jadi tege bawek mencuci baju ikau Lek,” goda Joni lagi. Dian melotot mendengar ledekan Joni, rasanya tak tahan juga disinggung urusan perempuan. “Ela kelutek Lek ikau sendiri memangnya sudah dapat bini?” Sentaknya menggerutu. “Aku tureh ikau jarang bepandir dengan uluh bawek, jangan-jangan kareh ikau kalah cepat urusan kawin denganku,” bertubi-tubi Dian mencela Joni. “Ie te cepati ikau kawin, kareh aku nyumbang bawoi saikong ha ha ha,” Joni tertawa mendengar cacian Dian. Saat mereka berdua sedang bercanda tiba-tiba Dian melihat seekor kijang menyeberang sungai. Sekira tiga puluh meter dari tempat mereka mandi. “Jon kerahau Jon ayo kita kejar!” Teriak Dian. Joni terkejut, rasanya tubuh ini masih diselimuti sabun belum terguyur air. Kelabakan Joni melihat arah Dian yang sudah meninggalkannya mengejar kijang hutan. “Hei ada kerahau, cepat ke hitu!” Teriak Joni memberitahu teman-teman di pondok kerja. Berhamburan orang-orang yang sedang istirahat di pondok kerja menghampiri sungai. “Kuweh Lek kuweh kerahau?” Bertanya Junaedi, tangannya sudah memegang parang matanya jelalatan mencari-cari. “Ke hilir tadi Dian mengejar entah kemana anak tuh sekarang,” jawab Joni. Segera orang-orang ke hilir, ketemu Dian yang sedang melongo karena binatang yang dikejarnya lenyap naik tebing setinggi tiga meter. “Dapat dia kerahau te Yan?” Pak Amat bertanya mengejutkan Dian. “Huh boro-boro dapat mengejar saja juga percuma, tuh kerahau naik tebing setinggi itu, mana mampu aku melompatinya,” jawab Dian. “Kareh aku pasangi jerat saja di sebelah bukit kani, siapa tahu kareh dapat binatang buruan,” tambahnya lagi. Akhirnya rombongan yang mengejar kijang tadi kembali ke pondok kerja. Joni sendiri sudah selesai mandi dan duduk di tepi palbet tempat tidur. “Kerahau kalau sedang bebas seperti itu jelas sulit ditangkap, memang tangan kita ini mampu memegangnya? Paling-paling dipasang jerat baru binatang itu lengah,” kata Dian kembali turun ke sungai menyelesaikan cuciannya. “Sudahlah gara-gara terkejut tadi jadi bikin ketun umba ribut, sekarang istirahat helolah,” kata Joni mengakhiri pembahasan. Orang-orangpun kembali pada kegiatan masing-masing. Terkadang memang demikian ada saja binatang melintas. Paling sering jenis musang, biawak, dan ular. Binatang-binatang bebas berkeliaran seperti ini sering membuat penasaran orang. Rasanya mudah sekali menangkapnya, padahal hampir-hampir tak mungkin menangkap binatang yang dalam keadaan waspada itu. Joni merebahkan tubuhnya di palbet tidur pondok kerja. Palbet tempatnya tidur paling ujung kemudian sebelahnya mulai dari Pak Amat tukang masak, baru selanjutnya berturut-turut Junaedi, Gugun, Boy, Ajung dan terakhir Dian. Pondoknya terbuat dari terpal ukuran 6x8 m. Palbet tempat tidur terbuat dari zak beras, membuatnya harus dengan kayu panjang lurus dua buah. Dua buah kayu tersebut dimasukan ke dalam zak beras, dibentangkan kemudian diberi kayu melintang di ujungnya sebagai pengunci agar tetap bisa menahan bentangan, darurat tetapi cukup nyaman. Zak beras tentu orang sudah biasa melihat bahkan mungkin sering menggunakannya untuk berbagai keperluan. Di hutan orang survey mengandalkan zak beras untuk tempat tidur, hal yang tak terpikir oleh orang kota. Di pondok kerja Pak Amat anggota regu paling tua, nama sebenarnya anggota regu tak tahu. Panggilannya Pak Amat karena adat di kampung Dayak memanggil orang tua berdasarkan nama anak tertuanya. Entah berapa usianya orang tak tahu pasti, kalau ditanyapun beliau kebingungan menjawabnya. Karena merasa sudah tua dan badan lemah jadi langsung ambil peran jadi tukang masak. Hari mulai sore Pak Amat turun ke dapur mulai masak nasi. Joni hanya mengamatinya saja, pondok dapur lebih dekat sungai jadi lebih mudah mengambil air untuk masak, yang agak menyulitkan sungai kecil dekat pondok kerja ini bertebing tinggi. Untuk turun ke sungai terpaksa dibuat jalan bertingkat. Tapi keuntungannya juga ada jika hujan dan banjir air tak mungkin mencapai pondok. Air banjir bekas hujan menampakan warna keruh coklat karena membawa lumpur dari areal bekas tebangan dan jalan di atasnya. Joni mendekati Pak Amat, di tangannya membawa gelas pribadi untuk membuat teh panas. “Tege danum belasut Pak Amat?” Tanya Joni. “Tege ih danum jadi menggurak dari tadi Lek,” Pak Amat menjawab tangannya sibuk menggoreng ikan asin untuk makan sore sebagai teman nasi. “Pire hando ita je hitu Lek?” Pak Amat bertanya. Ini memang hari-hari terakhir di pondok kerja perapihan. Sudah sewajarnya mereka bertanya tentang kapan waktu turun ke camp. Rasanya bekerja di hutan memang itulah waktu yang ditunggu-tunggu. “Ah paling kita begawai tinggal due hari Pak Amat,” jawab Joni sambil menuangkan air panas ke dalam gelas. “Kita tunggu saja mobil rimbawan menjemput kareh,” Joni melanjutkan keterangannya. “Seminggu yang lalu Tobias sudah memberitahukan waktu turun ke camp, tentu kalau tak ada halangan,” tambahnya lagi. “Huu ikau te masih bujang nyaman saja di hutan,” Pak Amat berkata. “Aku yang pusing mikirin anak bini je huma,” terangnya lagi. “Jon kareh sisa logistik aku minta buat oleh-oleh anak bini je huma ya?” Pak Amat memohon. “Boleh saja Kas, sepertinya logistik kita kali ini kurang memadai, biasanya masih banyak tersisa, sekarang paling cuma buat Pak Amat saja,” jawab Joni. “Lagi pula yang lain sepertinya tak berkepentingan karena nanti di camp sudah makan minum di dapur umum,” kata Joni lagi. “Terima kasih Jon,” Pak Amat berkata. Tak lama kemudian selesailah orang tua itu memasak. Hidangan tersedia Pak Amat mempersilahkan siapa saja yang hendak makan. Sepiring nasi dengan lauk ikan asin dan mie instan goreng, cukup enak biarpun membosankan. Dari hilir sungai Gugun dan Boy membawa joran pancing. Rupanya mereka sudah cukup lama menyusuri sungai untuk memancing ikan. Terlihat Boy membawa beberapa ekor ikan kihung dan baung masing-masing dua ekor cukup besar. Gugun menenteng serenteng ikan putih berbagai jenis. “He ie jadi kia ita tambah belut!” Teriak Boy kegirangan. “Aku sudah bosan makan mie instan terus, sekarang sepertinya cukuplah ikan ini untuk makan due hando,” katanya lagi. “Hendak diapakan iwak baung te Lek?” Pak Amat bertanya. “Due ikan baung dan kihung cukup hai Kas,” Boy menjawab. “Dibanam bisa awet sampai due hari, sedangkan ikan putih bisa dimasak kuah buat esok pagi,” lanjutnya lagi. Ajung yang tahu Gugun dan Boy baru dari memancing segera menyambut bawaan mereka. Ajung anggota paling muda di regu ini. Usianya baru enam belas tahun sekolahnya hanya SD tak tamat. Sekolahnya dulu di Kuala Kurun ikut salah satu keluarganya. Tumbang Merikoi tak ada sekolah sama sekali. Memang sulit anak-anak pedalaman ini merasakan bangku sekolah, semuanya dianggap sulit akses karena jaraknya jauh. Ajung ikut regu perapihan karena dibawa Pak Amat. Jadi baru kali ini ia jadi anak buah Joni. Mereka berdua adalah asli Kuala Kurun, sedangkan Boy Dayak Manyan asalnya dari Tamiang layang Barito Timur. Bahasanya agak berbeda dengan Dayak Ngaju kahayan ini, mungkin bahasa Manyan lebih mendekati bahasa Dayak Mahakam. Oleh Ajung ikan itu disianginya. Ikan baung dan kihung cukup besar ditusuknya dengan sebilah kayu kemudian dipanggangnya di atas bara api bekas Pak Amat memasak. Setelah itu ikan putih sisanya dimasukan ke panci dan dimasak dengan air di sebelah pemanggangan ikan. Lumayan mengurangi kebosanan karena rutin makan ikan asin dan sarden. Hari sudah gelap lampu berbahan solar sudah menyala. Di dapur satu dan di pondok kerja satu lagi. Cukup menerangi kegelapan hutan. Boy, Gugun, Junaedi dan Dian kemudian bermain kartu remi. Kartu-kartu tersebut sudah lecek terlalu sering digunakan sebulan ini. Harusnya sudah diganti, tapi hanya itulah hiburan yang ada. Joni berada dekat lampu mencoba membuat laporan dalam bentuk buku tally sheet. Soal laporan ia berniat pokoknya beres sesuai keinginan atasan. Toh laporan dari tangannya yang ibaratnya paling orisinil juga bakalan diubah sesuai selera orang kantor. Selesai membuat laporan rasa kantuk datang hingga ia beranjak ke palbet tidurnya. Digelarnya kelambu sebelum direbahkannya tubuh di palbet. Di sampingnya Pak Amat sudah mendengkur tidur. Malam semakin larut burung-burung malam memperdengarkan suara menandakan mereka hidup dengan kodratnya sendiri-sendiri. Dari pondok kerja sesekali terdengar teriakan seseorang menang sedangkan yang lain menggerutu. Setelah itu sunyi sesunyi hutan yang jauh dari keramaian. Pagi hari, ini hari terakhir kerja. Semangat rasanya sudah menurun. Pikiran orang-orang sebagian besar sudah punya rencana kalau nanti sudah di camp, tentu setelah terima upah harian. Di regu perapihan ini yang statusnya harian lepas hanya Pak Amat dan Ajung. Gugun, Boy, Dian, dan Junaedi sudah harian tetap. Kalau harian lepas ya berapa hari kerja kalikan saja dengan upah sehari enam ribu. Kebijaksanaan perusahaan masuk hutan dua puluh lima hari. Ini dikarenakan sisa lima hari untuk persiapan, laporan, dan berbagai kegiatan seperti mencari logistik untuk masuk hutan. Bulan pertama perapihan hanya mendapat lima belas jalur. Bulan ini kelihatannya sama saja. Jadi total tiga puluh jalur selesai. Ck ck ck inilah kerja yang sejujurnya. Sisanya yang dua puluh jalur dimanipulasi dengan membuat tanda-tanda di tepi jalan berupa patok jalur dengan membuat nomornya dan penebasan di pinggir jalan untuk mengelabui mata. Memang tak mungkin mencapai target seperti petunjuk teknis perusahaan. Pokoknya laporan kegiatan bulan ini dianggap selesai satu petak 100 hektar dan bulan depan menuju petak lain sesuai RKT. Dalam laporan yang Joni buat terlukis sebuah peta ukuran 10x10 cm. Bulan pertama hanya lima belas jalur yang terarsir sebagai realisasi kerja. Bulan kedua ini sisa tiga puluh lima jalur terarsir penuh. Hasil orisinil sesuai kemampuan kerja bulan ini tiga puluh jalur alias enam puluh hektar. Entah nanti laporan diterima atasan atau tidak Joni tak tahu. “Kita di pinggir jalan saja bikin patok untuk setiap jalur!” Perintah Joni mengawali pekerjaan. “Kita bikin petak ini terlihat lima puluh jalur sudah selesai,” instruksinya lagi. Gugun, Boy, Junaedi dan Dian tanggap dengan perintah Joni. Mereka langsung bergerak mencari patok dengan menebang kayu kecil kemudian ujungnya dikupas dan dicat merah. Setiap patok kemudian diberi label nomor jalur mulai dari jalur 31 hingga jalur 50. Sambil mencari dan menebang sesekali mengukur untuk mencari jarak ideal hingga batas petak yang terlihat di jalan angkutan kayu yang strategis. Sampai tengah hari pekerjaan selesai, “Yah akhirnya hanya cara inilah yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan petak ini,” Joni berkata sendiri. “Mungkin bulan depan kalau aku masih memegang regu perapihan lebih luwes lagi melakukannya,” kata Joni mengangguk-angguk tanda sinis. Seperti inilah prestasi kerja Joni mungkin orang lain ada yang lebih baik menyelesaikannya. “Kalau buat kami yang penting pekerjaan selesai Bos,” Junaedi berkata sambil nyengir kuda. “Sudahlah ayo kita pulang, persiapkan saja segala peralatan kerja dan pakaian. Semoga saja mobil rimbawan datang menjemput esok pagi,” kata Joni mengakhiri pekerjaan. BAB 2 Orang-orang Rimbawan Base camp TPTI, dinamai camp km 4 karena berada di pal km 4. Di sinilah markas rimbawan, terdiri dari beberapa unit pekerjaan. Yang pertama adalah persemaian, kedua Green House, ketiga unit bina desa, dapur umum, mess karyawan, mess rumah tangga dan Pos Satpam. Tambahan lain berupa tempat ibadah masjid dan kantor untuk administrasi mendadak. Di manapun di hutan, base camp selalu mendekati sumber air. Kebetulan camp km 4 ini menempati sungai cukup besar. Hanya saja sungainya tak memungkinkan untuk berperahu karena kurang dalam. Selain itu masih terdapat beberapa anak sungai selebar dua tiga meter dari hutan sekitar untuk berbagai keperluan. Hari masih pagi camp masih tertutup kabut, beberapa hari ini memang tidak turun hujan. Tempat paling ramai adalah mess bujangan. Di sinilah Joni tinggal sementara setiap bulan. Setiap kamar mess bujangan berisi lima delapan orang. Memang berjubel tapi tak mengapa karena lebih sering kamar tersebut kosong ditinggal penghuninya masuk hutan. Joni terbangun dari tidurnya, sebenarnya mata masih berat untuk membuka. Hanya saja ia merasa sesak di sebelah temannya ini. Rupanya temannya ini tidur bergerak lama-lama menggeser posisinya sehingga menyempit. “Dasar kelakuan!” Terpaksa Joni mengalah membiarkan temannya si Gugun menempati tempat tidurnya. Gugun memang punya kebiasaan tidur selalu reflek bergerak kesana-kemari hingga orang sering terganggu. Tak apa toh hari sudah pagi. Joni menguap tangannya mengucek-ucek mata untuk memastikan kalau dirinya sudah bangun. Terlihat di samping kanan kiri terlihat empat teman satu kamar masih meringkuk memeluk selimut. Semua tidur apa adanya, bantal hanya dari tumpukan baju kering. Tidur berlantai kayu tetapi tertutup tikar membuat badan cukup hangat. Beberapa lemari berada di sudut kamar, masing-masing orang memiliki satu lemari berisi penyimpanan barang-barang pribadi. Langsung saja Joni mendekat ke lemari pribadinya. Dilangkahinya Gugun, Junaedi, dan Boy yang masih lelap. Diambilnya rokok sisa logistik dari hutan, setelah itu keluar dari barak tempat tinggalnya. Dinyalakannya rokok dan dihisapnya pelan-pelan untuk menikmati aromanya. Dari barak mess bujangan terlihat beberapa barak lain untuk karyawan yang sudah berumah tangga. Semuanya masih terlihat bentuk aslinya berupa camp tarik yang sudah ditambah berbagai ruangan mengikuti selera penghuninya. Setelah barak rumah tangga barulah di sampingnya berupa dapur umum. Yang ini bangunan panjang buatan perusahaan menyatu dengan kantor TPTI. Ada lagi bangunan panggung mess karyawan tetapi dihuni asisten dan kabag TPTI berada di atas tanah lebih tinggi dari barak karyawan. Joni memandang lurus ke dapur umum. Dapur umum sudah terbuka karena kegiatan orang-orang memasak di dalamnya. Rokok hampir habis sebatang, dari dalam kamar keluar Gugun kemudian bergabung dengan Joni. “Kuweh rokok Jon, minta dululan sepucuk,” kata Gugun memohon. Tanpa menunggu persetujuan Joni langsung diambilnya rokok dari bungkusan di samping tempat duduk. Langsung dinyalakan dan dihisapnya. “Aaahh nyaman jua rokok bila dapat minta,” Gugun berseloroh. “Apalagi kalau gaji sudah turun, wah langsung aku turun ke Kuala Kurun,” nyerocos lagi mulutnya. “Kita tunggu saja Gun semoga tidak lama,” Joni menjawab. “Apa lagi Pak Amat sama Ajung jelas menungguku mengantar upah buat mereka,” Joni menguap terus menambah kata, “Entah si Mbok dapur sudah merebus air belum nih, rasanya aku pengin minum kopi.” Gugun ini kelahiran Jombang, hanya saja sejak kecil ikut orang tua tinggal di Palangka Raya. Mereka termasuk keluarga trans awal di tahun tujuh puluhan. Di Palangka Raya ia bahkan sempat kuliah di Universitas Palangka Raya jurusan kehutanan. Sayang kurang biaya sehingga Droup Out, setelah itu menganggur sebelum ikut perusahaan. “Jon kalau nanti gaji sudah turun aku hutang dulu seratus ribu ya, aku hendak kirim uang ke Palangka Raya buat biaya adikku kursus,” katanya dengan memelas. Joni tertegun, “Memangnya adikmu kursus apa Gun?” Joni minta penjelasan. “Adikku dua perempuan Jon,” Gugun menjelaskan, “Seorang kuliah di UNPAR jurusan Sosiologi. Sedang yang bungsu cukup kursus ketrampilan saja, toh sudah lulus SMA,” katanya menambahkan. “Kharat kia ikau Gun,” Joni memuji. “Aku tuh habis SMA tidak kepikiran kuliah,” kata Joni seolah-olah menerawang jauh. “Lulus SMA saja aku sudah beruntung, habis sekolah ya sudah cari kerja bisanya,” kata Joni pelan. Matahari sudah bersinar, beberapa perempuan istri karyawan sudah keluar barak untuk keperluan rumah tangga. Dari mess di atas tebing sudah terlihat Pak Joko Kabag TPTI bagian pembinaan. Badannya yang tinggi menampakan perutnya yang membuncit. Hanya jaraknya dari mess bujangan agak jauh melewati dapur umum dan mess rumah tangga. “Tuh Pak Joko sudah bangun,” kata Joni kepada Gugun. “Siapa tahu nanti siang duit sudah dapat.” Itu harapan mereka. “Ah kalau urusan tutup buku ini sudah awal bulan,” Gugun berkata sendiri. “Duit sudah ada cuma asisten keuangan saja yang belum membagi,” jelasnya lagi. “Memang soal upah sering bikin jengkel,” Joni menimpali. “Kita ini yang sering kecewa rasanya seperti dipermainkan atasan saja,” berkata demikian Joni masuk ke dalam kamar mengambil gelas. Dijemputnya sesendok kopi dan gula. Sejurus kemudian bersama Gugun mereka menuju dapur umum. Dapur umum sibuk, yang berstatus karyawan sebenarnya cuma si Mbok. Tetapi anggota keluarganya yang lain sampai suami dan anak-anaknya ikut bekerja biarpun hanya upah harian. Si Mbok dan suaminya orang Jawa tinggal di Trans Tumbang Anjir dekat Kuala Kurun. Mereka orang Solo sekeluarga ikut program transmigrasi. Hanya saja di daerah trans kurang berkembang. Untuk menyambung hidup terpaksa mengikuti adat orang Dayak membuka lahan pertanian ladang berpindah dan menjadi pekerja apa saja di Kuala Kurun. Seiring waktu mereka direkrut perusahaan bekerja di dapur umum. “Mbok pun enten banyu panas?” Joni bertanya ddalam bahasa Jawa. “Sampun Mas mangga pundut piyambak,” jawab si Mbok mempersilahkan. “Wah Gugun pripun kabare bapak ibu teng Palangka?” tambahnya lagi saat melihat Gugun bersama Joni. “Sae mawon Mbok,” Gugun menjawab. “Wah dasar orang Jawa,” dari pintu terlihat Dian masuk langsung bergabung. “Kalau bepandir ela mrana-mrene dia kesena Lek!” Dian menyela pembicaraan seolah protes kepada Joni dan Gugun. “Aku dia mengerti ketun bepandir.” Si Mbok tertawa, “Dian kareh ikau kawin dengan uluh Jawa pasti bisa bepandir bahasa Jawa,” gurau si Mbok kepada Dian. Si Mbok mempersilahkan mereka bila hendak sarapan. Tidak lama kemudian dari berbagai penjuru barak bermunculan orang-orang mendatangi dapur umum. Mereka orang-orang survey yang tinggal di barak setelah keluar dari hutan sesuai kegiatan masing-masing. Berbagai orang dengan berbagai latar belakang suku dan agama. Yang repot tentu penghuni dapur umum. Mereka sibuk membuatkan makanan untuk menyuapi mulut puluhan orang survey. Gelombang demi gelombang orang survey, karyawan persemaian, rombongan Kabag dan Asisten masuk dapur yang sempit. Karena itu terjadi barisan antri, beberapa orang mengambil nasi dan lauk pauk kemudian beranjak keluar makan di luar dapur umum. Rutinitas seperti itu sudah pemandangan biasa, setelah beberapa hari camp sepi lagi. Semua orang kembali masuk kegiatan di lokasi kegiatan masing-masing. Beberapa lelaki karyawan persemaian dan satpam itu adalah penghuni tetap base camp. Ada Tobing, Mardi, Hambali dan Imanuel orang Timor Timur. Yang lain istri-istri orang rumah tangga biasa bekerja di persemaian. Dapur umum yang sempit itu menjadi ramai, orang-orang sibuk. Ada yang sarapan kemudian cepat kembali ke barak, ada juga yang langsung ngobrol di bangku dapur. Beberapa orang bergerombol di sudut kantor, mereka orang Lombok dari kegiatan penanaman anak buah Asisten Sahrun yang sesama Lombok. Konon mereka direkrut oleh Sahrun semuanya dari Lombok tengah. Sahrun sendiri orang Lombok Timur dulu pernah bekerja di sebuah HPH di pulau Sumbawa. Merasa kariernya mentok di daerah sendiri kemudian mencoba melamar di HPH daerah Kalteng hingga akhirnya terdampar di Kuala Kurun. Jadi di camp ini setiap orang memiliki riwayat yang cukup menarik untuk dikisahkan. Tapi semua orang di camp sedang menunggu seseorang dari Log Pond. Dia adalah Asisten keuangan. Semua menanti orang tersebut untuk mendapatkan pembagian upah. Hari pertama Joni di camp orang tersebut belum muncul, kabarnya masih sibuk di kantor menerima beberapa tamu perusahaan. Padahal ini sudah tanggal awal-awal bulan. Jika dihitung dari tutup buku laporan administrasi setiap tanggal 25 jelas kalau orang tersebut sudah mencairkan uang untuk upah karyawan. Tobias dan Sahrun yang sama-sama asisten sering kelimpungan karena lambatnya uang cair. Bukan apa-apa soalnya anak buah banyak yang punya berbagai keperluan dan kadang-kadang harus menomboki dari uang pribadi. Terkadang memang membingungkan, di camp km 4 ini terdapat beberapa unit kerja, seorang Kabag pembinaan, Kabag perencanaan, persemaian, dan Bina Desa. Upah untuk orang persemaian, perencanaan dan Bina Desa sudah lama cair. Apa lagi Bina Desa, setahu Joni Kabag Bina Desa begitu tanggal 26 setelah tutup buku karyawan mereka sudah mendapat upah. Jadi tinggal orang-orang pembinaan saja yang belum. Yah bagaimana lagi, inilah yang jadi topik pembicaraan orang-orang survey. “Kadang-kadang aku iri dengan bagian lain Gun,” kata Joni kepada Gugun. “Prosedural bagian pembinaan terlalu bertele-tele sepertinya banyak sekali permainannya,” Joni mengajukan permasalahan. “Iya mungkin saja terjadi permainan,” jawab Gugun. “Tapi kita ini memang buta urusan orang-orang atas sana,” Gugun menerangkan. Joni terkekeh, “Ha ha ha coba bandingkan dengan orang Bina Desa itu, mereka diurus langsung oleh kepala bagiannya. Jadi begitu tanggalnya ya sudah upah langsung dikasih,” Joni bicara membanding-bandingkan. “Kita lihat Pak Joko, tak pernah ikut mengurusi soal upah anak buahnya, sepertinya beliau tidak diberi hak oleh manager camp,” Joni coba menganalisa. “Iya jangan-jangan Pak Joko ini dibatasi wewenangnya oleh manager camp,” Gugun pun ikut menduga-duga. “Menurut pendapatku ini gara-gara Pak Joko beda alumni dengan manger camp,” Joni mencoba meneliti keadaan. “Sepanjang pengetahuanku orang-orang dari alumni universitas Lambung Mangkurat menguasai personil jabatan di seluruh camp ini, sedangkan Pak Joko sendirian berasal dari UNPAR, ya jadinya seperti ini sekarang.” “Entahlah bagi kita yang penting kapan kita terima duit, aku tuh banyak keperluan,” Gugun menggelengkan kepala seolah ia tak berurusan dengan kepentingan orang-orang kantor sana. “He he he memang kita cuma kuli kok,” Joni berkata getir merasakan nasibnya. Rata-rata jabatan di perusahaan HPH di Kalteng ini dikuasai alumni UNLAM. Itu karena UNPAR di Palangka Raya masih universitas muda. Banyak juga perusahaan yang mengambil dari lulusan sekolah di Jawa dari IPB, UNDIP, UGM dll. Setiap perusahaan yang merasa jabatan di dalam perusahaan atau dari kantor pusatnya di Jakarta sudah didominasi suatu alumni universitas tertentu, berarti mereka juga mempertahankan alumninya dan bersaing dengan alumni universitas lain. Suatu alumni yang sudah menjabat akan mencoba merekrut dari universitasnya sendiri untuk menambah jaringan. Itu intrik-intrik di perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu sendiri banyak tertutup. Banyak perusahaan kayu di Kalteng dengan bentuk TPTI. Tapi dalam pelaksanaannya hanya kedok belaka. Bagian pembinaan yang menjadi syarat berdirinya perusahaan tidak berjalan bahkan hanya berupa laporan di atas kertas belaka. Yang penting perusahaan mencari kayu, kayu sudah dapat segera dijual. Suatu perusahaan HPH yang berumur pendek bisa ditengarai sebagai perusahaan fiktif. Lima tahun pertama aman setelah itu mulai terlihat dibaliknya. Perusahaan kayu dengan berbagai pelanggaran, penjualan secara gelap, dan menebang kayu di daerah terlarang. Laporan ke dinas terkait fiktif dan suap sana-sini. Tanam modal cepat, untung cepat, pelanggaran dianggap biasa saja. Setelah ketahuan oleh aparat dan kena sangsi perusahaan bubar. Penanam modal toh sudah untung besar, setelah itu oknumnya cari proyek lain. Kalau orang seperti Joni, Boy, Gugun dan Junaedi jauh dari unsur investor seperti itu. Orang-orang seperti mereka dapat pekerjaan, dapat upah, dan bisa berkarier di perusahaan sudah sangat beruntung. Baru setelah tengah hari datanglah asisten keuangan membagi-bagikan upah kepada karyawan. Di bagian pembinaan ini memang agak aneh. Strukturnya berbelit-belit, banyak orang-orang dipekerjakan karena rekomendasi dari seseorang yang berpengaruh di atas sana. Saking banyaknya karyawan titipan sering terkesan dipaksakan. Ada orang baru datang langsung bekerja tapi sudah mendapatkan jabatan. Sedangkan orang-orang yang sudah lama paling-paling tetap berstatus harian tetap. Nah orang-orang seperti Joni, Gugun, Boy, Junaedi, Dian dan beberapa karyawan lain bisa dianggap senior tapi karier tak berkembang-kembang. Tobias dan Sahrun lebih dulu menghadap asisten keuangan ini. Tentu urusan mereka lebih banyak, sebab mereka harus membagi upah harian karyawan harian lepas yang tinggal di camp. Barulah setelah itu harian tetap antri mendapat giliran. Kabag pembinaan Pak Joko duduk di bangku depan kantor camp. Di depannya terdapat meja dengan beberapa berkas kertas kerja. Mungkin itu laporan kegiatan yang akan diadakan bulan berikutnya. Setelah mengambil gaji dari ruang dalam kantor, Joni keluar melintas di depan Pak Joko. “Jon sini sebentar!” Pak Joko memanggil Joni. “Nggih Pak,” Joni beringsut mendekati Pak Joko. “Enten nopo Pak?” Tanya Joni dalam bahasa Jawa. Memang Pak Joko kelahiran Kalimantan tetapi asal daerahnya masih kelihatan, jadi mereka yang sesama Jawa tetap berbicara bahasa Jawa. “Jon untuk bulan ini kamu ikut penanaman dulu,” kata Pak Joko. “Ada orang pindahan dari Tumbang Nusa yang akan menggantikanmu,” lanjutnya lagi. “Iya Pak saya ikut perintah Bapak saja,” kata Joni tanpa respon apa-apa. Berarti bulan ini kegiatan perapihan yang sudah dua bulan dipimpinnya sudah ada yang memegang. Ya orang baru, kata orang-orang camp ada beberapa yang dimutasi dari Tumbang Nusa ke PT JAP. Status mereka memang sudah lebih baik dari orang-orang seperti Joni. Mereka sudah bulanan dan dari sananya sudah menjabat sebagai mandor. Berbeda dengan orang-orang seperti Joni dan kawan-kawan, untuk ketua regu diambil dari harian tetap dan bisa bergilir tergantung banyak sedikitnya kegiatan. Jadi kadang-kadang Joni jadi ketua regu setelah itu berganti Boy, Junaedi, atau Gugun atau yang lainnya. Kalau bulan ini ikut regu penanaman berarti jadi anak buah Sahrun. Cuma di bagian ini juga sudah berjubel orang, kebanyakan anggotanya orang Lombok dan Jawa. Entah kenapa bagian-bagian pekerjaan yang berhubungan dengan tanam menanam lebih dominan atau terpilih orang Jawa dan Lombok. Orang-orang Banjar dan Dayak kalau dimasukan ke bagian ini sepertinya tidak berminat. Mungkin karena perbedaan adat atau budaya. Orang Banjar dan Dayak dikenal tidak suka bertani. Mereka lebih suka berdagang, jadi kalau pegang cangkul tidak terbiasa. Jadinya regu penanaman ini dominan orang luar Kalimantan. Kebetulan yang menjadi asisten orang Lombok, jadi Sahrun ini akhirnya banyak merekrut orang sesukunya dan orang Jawa. Setelah ngobrol barang sebentar dengan Pak Joko Joni mengundurkan diri karena ada keperluan lain. Dijumpainya Tobias di barak bujangan, orangnya sedang membagi upah kepada orang-orang harian lepas yang tinggal di camp. Melihat kedatangan Joni Tobias mengambilkan beberapa lembar uang dua puluhan ribu. “Nih upah Pak Amat dan Ajung,” Tobias menyerahkan uang sekaligus menyodorkan bukti kuitansi pembayaran untuk ditandatangani. “Kamu sajalah yang mengantarkan uang ini langsung ke Kurun kani.” “Oke aku memang hendak turun ke Kuala Kurun untuk berbagai keperluan,” kata Joni kepada Tobias. “Tadi Pak Joko bilang sama aku kalau bulan ini ikut regu penanaman,” Joni memberitahu. “Wah aku sendiri juga tidak tahu siapa-siapa orang baru itu Jon,” Tobias berkata datar. “Rasanya orang seperti aku juga lebih suka kalau bekerja dengan orang di sini,” lanjutnya. “Tapi memang itu sudah instruksi dari atasan jadi aku tak bisa berbuat apa-apa,” jelasnya lagi. Setelah itu mereka terdiam, Tobias masih memeriksa lembaran kertas di depannya. Joni kembali ke kamarnya, beberapa orang di dalamnya sedang asyik bermain kartu domino. Ada Idrus tetangga kamar sebelah, Dian, Junaedi dan Gugun. “Jadi ikau mohon ke Kuala Kurun Lek?” Dian bertanya tanpa memalingkan matanya dari kartu yang dipegangnya. “Kalau ikau jadi mohon aku titip uang nukar kelambu,” itu maksudnya rupanya. “Jadi Lek aku hendak bersiap saat ini jua,” kata Joni menjelaskan. “Aku takut kesorean, kareh jatun kendaraan yang naik hinde ke hitu.” Gugun yang melihat Joni hendak bersiap-siap menghentikan permainannya. Diberikannya kartu yang dipegangnya kepada Boy yang berada di belakangnya. “Boy gantikan aku helo, aku hendak mohon kia je Kurun,” katanya agak tergesa-gesa. “Aku hendak kirim uang lewat wesel saja,” kata Gugun lagi. Boy senyum-senyum saja, “Huh hutangmu bulan lalu saja belum terbayar, bulan ini mau kirim uang segala,” mengejek si Boy kepada Gugun. “Bah biar bangkrut hidup aku dia narae!” Gugun tertawa mendengar cemoohan si Boy. Setelah dandan seadanya Joni dan Gugun naik ke Pos Satpam menanti kalau ada kendaraan yang hendak turun ke Kuala Kurun. Beruntung hari itu sedang trucking, jadi tak berapa lama sudah datang logging truck mengangkut kayu ke log pond. Memang beberapa hari ini tidak hujan, itu waktu yang baik untuk trucking kayu, itu istilah untuk mengangkut kayu dari areal penebangan menuju penampungan di log pond. Naik logging truck sudah harus siap tersiksa, sering karena sudah penuh orang yang menumpang hanya mendapat tempat di belakang bak truck. Tapi truck itu sendiri sudah didesain sedemikian rupa hingga jika ada orang yang menumpang bisa dijejalkan di dalamnya biarpun dengan cara bergelantungan atau sedikit kepanasan karena berdiri di atas mesin yang hidup. Semuanya seadanya tapi tak ada yang peduli. Suara mesin logging truck sangat berisik. Gugun dan Joni sampai tuli rasanya. Tapi perjalanan tidak terlalu lama, camp rimbawan ditempuh 20 menit untuk jarak 4 km. Lumayan lama itu gara-gara logging truck sudah tua dan mengangkut kayu bulat cukup banyak. Akibatnya perjalanan seperti merangkak pelan, tidak mudah mengangkut kayu bulat dengan truck sudah tua seperti ini, butuh sopir yang mengenali medan dengan baik. Sekali salah tafsir terhadap jalan truck bisa mogok tak kuat membawa beban. Di dalam truck Gugun dan Joni diam saja. Apa yang bisa dikerjakan? Rasanya telinga merekapun seperti tak berfungsi lagi sulit mendengar, percuma bicara. Truck berhenti tepat di depan caterpilar pengangkat kayu. Debu berhamburan membuat penumpang gelap seperti Joni dan Gugun sibuk mengibas-ibaskan tangan. Tak ada keluhan mendapatkan kondisi seperti itu. Bagi orang rimbawan ada angkutanpun sudah lebih baik dari pada berjalan kaki. Matahari sudah tinggi membakar kulit orang-orang yang turun ke log pond. Kantor PT JAP terlihat di atas bukit menampakan bangunan paling megahnya. Beberapa bangunan panggung berisi mess karyawan, gudang, bengkel dan koperasi menyatu dengan dermaga perusahaan. Setelah itu lanting orang perahu merakit kayu dengan kapal-kapal kecilnya bersandar menampakan kegiatan merakit bulatan kayu yang diterjunkan dari penampungan kayu di atasnya. Gugun dan Joni segera turun ke dermaga, lagi-lagi menunggu barang sebentar kalau ada getek lewat untuk menumpang menuju Kuala Kurun. Itu tujuan Joni dan Gugun menanti dengan sabar. Memang tak lama kemudian lewat getek yang membawa mereka menuju Kurun dengan membayar biaya menyeberang. “Mohon je kuweh Lek?” Bertanya sopir getek bermesin Dongfeng tersebut. “Aku mohon je losmen Ratu Zaleha,” jawab Joni sembari mencari tempat duduk di lambung getek bersama Gugun. “Aku sebenarnya dia sampai Kurun Lek, tapi dia narae kareh aku berhenti helo je dermaga losmen,” berkata sopir taksi getek sambil menghdupkan mesin dongfengnya. Mesin dongfeng berbahan bakar solar mengeluarkan asap sedikit lebih kotor dari pada mesin speed yang dari bensin. Segerak mereka melaju ke hilir menyusuri tepi Kahayan. Beberapa kelokan sungai terlampaui menampilkan log pond Tanjung Raya dan Log pond PT Domas. Di samping kanannya Kuala Kurun sebagai kota kecamatan terlihat padat hanya di tepi sungai. Sampai di dermaga losmen Joni dan Gugun turun dari getek langsung naik ke atas jalan setelah membayar ongkos menyeberang masing-masing seribu rupiah. Losmen Ratu Zaleha terletak di hulu Kurun. Joni dan Gugun sengaja turun di dermaga tersebut karena mereka akan menuju kantor pos yang lebih dekat dulu. Lagi pula Joni juga hendak singgah ke rumah Pak Amat yang dekat dengan losmen. Dari dermaga Joni dan Gugun naik ke jalan melalui tangga kayu losmen. Di depan losmen terdapat jalan beraspal tidak lebar, tapi itulah jalan kota Kuala Kurun. “Gun aku ke hulu dululah, kareh kita bertemu je Pasar lama,” kata Joni pada Gugun. “Aku hendak ke wadah Pak Amat mengantar uang mereka.” “Kalau begitu aku ke kantor pos helo, tapi jangan lama-lama ikau je wadah Pak Amat Jon,’ kata Gugun mengangkat kakinya langsung bergerak ke kiri jalan menghindari sepeda motor yang melintas. Berpisah dengan Gugun Joni segera melangkah menuju hulu. Sebenarnya ada ojek motor, tapi pangkalannya hanya ada di Pasar Lama. Lagi pula sebenarnya buat apa memakai ojek motor yang nota bene mahal ongkosnya. Berjalan kaki sekitar setengah kilo sampailah Joni di rumah Pak Amat. Rumah Pak Amat sederhana, bangunan panggung dari kayu di belakang beberapa rumah di tepi jalan. Di samping rumah Pak Amat tumbuh beberapa pohon karet membuat teduh. “Oooiii orangnya!!” Berteriak Joni memanggil penghuninya. Dari dalam rumah panggung tersebut keluar Pak Amat yang langsung menyambutnya. “Ikau Jon, lama kutunggu mampir ke rumahku,” Pak Amat mempersilahkan Joni duduk di lantai kayu rumahnya. “Sendiri sajakah ikau Jon?” Pak Amat bertanya basa-basi. “Aku dengan Gugun Pak Amat,” jawab Joni. “Cuma Gugun sedang ke kantor pos mengirimkan uang ke Palangka Raya,” lanjutnya lagi. Joni kemudian menyerahkan uang upah untuk Pak Amat dan Ajung. Pak Amat kemudian menghitung bagiannya, “Bulan ini aku umba survey dia Jon?” Tanyanya sambil menatap Joni begitu berharap. “Wah Pak Amat kalau hendak umba survey ikau datangi saja Tobias,” kata Joni kepada Pak Amat. “Aku malah bulan ini dia jadi ketua regu perapihan,” Joni menerangkan keadaannya. “Aku kareh umba regu penanaman. Soal te regu perapihan sudah ada yang menggantikan diriku,” Joni meneruskan kata-katanya. “Wah jadi ikau malah pindah bagian Jon?” Tanya Pak Amat minta ketegasan Joni. “Iya Pak Amat, aku tuh hanya ikut aturan Bos saja,” jawab Joni seadanya. Pak Amat tercenung mendengar keterangan Joni, lama tak ada yang dibicarakan lagi akhirnya Joni mohon diri. Pak Amat pun membiarkan saja Joni meninggalkan rumahnya. “Sampai jewu hindae Kas,” Joni berkata mohon pamit. “Terima kasih Jon,” singkat Pak Amat menjawab. Segera Joni berlalu meninggalkan Pak Amat. BAB 3 Kerungut dan kesurupan di regu Penanaman Jalan Domas Raya km 12, Disebut demikian karena jalan tersebut memang dibuat oleh perusahaan PT Domas Raya. Arealnya masih milik PT JAP hanya saja digunakan bersama jika sedang trucking kayu bulat. Entah di mana areal penebangan PT Domas Raya berada, Joni sendiri hanya mendengar-dengar saja cerita orang. Konon areal PT Domas Raya sangat luas, di Log Pond nya di seberang Kurun terdapat papan nama PT Domas Raya dengan areal 200.000 Ha. Hitung sendiri berapa kilometer persegi areal mereka. Karena luasnya penebangan hutan mereka setiap RKT mencapai ratusan ribu kubik kayu. Itupun dengan perhitungan rencana 20 tahun perusahaan tersebut belum menghabiskan seluruh arealnya. Bukan main! Bagaimana dengan Joni sekarang? Tokoh kita ini sedang ikut regu penanaman. Hanya jadi anak buah, berbeda dengan bulan-bulan kemarin menjadi mandor, sekarang apa adanya dia hanya menjadi kuli tanam. Joni maklum dengan keadaannya, masih lebih baik kehidupannya sekarang dari pada awal-awal di perusahaan yang jadi harian lepas. Lagi pula ia tidak sendirian. Teman senasibnya banyak mereka sama-sama mulai kerja di perusahaan ini dari bawah. Entah kapan naiknya, tak ada yang tahu. Harapan tinggal harapan. Kegiatan penanaman diadakan perusahaan karena areal tidak semuanya menghasilkan kayu. Ada areal yang sudah terbuka karena dibuat ladang oleh orang kampung. Karenanya areal tersebut disebut Areal Non Produktif. Areal Non Produktif didapati karena adanya kegiatan kampung (lewu). Perbedaan mencolok adalah orang kampung menyusuri sungai sebagai transportasi dengan getek sedangkan orang perusahaan menggunakan jalan tanah dan angkutan berupa mobil, sepeda motor dan truk. Km 12 jalan Domas adalah titik temu jalan perusahaan dengan hulu sungai dari sebuah kampung. Karenanya di tepi sungai terdapat beberapa rumah panggung orang Dayak biarpun hanya berupa pondok ladang. Bentuknya hanya satu dua rumah panggung yang dihuni beberapa keluarga tetapi terkadang juga ditinggalkan jika tidak ada kegiatan ladang. Adanya bekas ladang yang terbuka membuat perusahaan wajib mengadakan kegiatan penanaman dengan tanaman produktif. Joni mengangkut lanjung berisi polibag tanaman karet di punggungnya. Hari itu ia mendapat giliran mengangkat bibit untuk diletakan dalam lubang tanaman yang sudah digali teman di depannya berupa jalur tanaman jarak 5x5m. Satu jalur tanaman dikerjakan oleh tiga orang, satu orang penggali satu orang mengangkut bibit dan seorang penanam. Kalau menuruti satu blok yang 100 Ha, satu hektar harus terisi 200 tanaman. Namun itu tak mungkin dengan satu jalur 1000 m. Karenanya satu blok dibagi dua kanan kiri menjadi setengah jalur 500 m. Pembaca bayangkan sendiri sajalah, ini memang hitungan kerja praktisnya. Dengan setengah jalur 500m mengangkat bibitpun tidak sebanyak jika satu jalur 1000 m. “Hei Jon itu bibit jangan sampai jatuh ya!” Husen berteriak melihat Joni sempoyongan menaiki tanjakan jalur. Seratus bibit di dalam lanjung masih agak ringan karena itu berupa tanaman karet. Tanaman karet tidak perlu memakai polibag jadi bisa langsung diangkat. Tanaman karret memang paling tahan banting dari pada bibit meranti, sungkai dan akasia. Husen ketua regu, ia seorang Jawa malah sedaerah dengan Joni. Cuma nasibnya lebih beruntung, Husen lulusan IPB dan melamar kerja dari pusat Jakarta. Jadi statusnya langsung bulanan dengan berbagai fasilitas. Teman-teman Husen yang dari IPB ditempatkan di perencanaan dan kantor. Mungkin karena bagian perencanaan sudah penuh akhirnya Husen dimasukan ke bagian penanaman membantu asisten Sahrun. “Huh berhenti dululah punggungku pegal sekali!” Kata Joni kepada kedua rekannya, seorang Johan dan Senip. Johan orang Madura sedangkan Senip orang Lombok. Johan dan Senip mengiakan saja ajakan Joni. Mana nyaman bekerja menanam bibit, tubuh mereka sudah mandi keringat, nafas tersengal-sengal mencari udara segar. Tapi sayang panas matahari langsung membakar kulit karena tak terhalang apapun. “Satu jalur 500m ini saja hampir tiga jam baru selesai. Nanti kembali ke awal lagi mengambil bibit, wah bolak-balik seperti ini yang membuatku kecapean,” kata Joni kepada teman-temannya. Terlihat di sampingnya sekitar sepuluh meter orang-orang juga beristirahat melegakan nafas. “Berokok dululah,” kata Johan. Mereka segera duduk berkumpul. Sekitar sepuluh orang anggota regu termasuk Husen. “Nanti kita kembali ke awal untuk menanam yang kedua kalinya ya!” Husen berkata seolah-olah memberitahu kalau mereka cuma istirahat sebentar untuk melanjutkan pekerjaan. Kepada Joni Husen berkata, “Aku yang cukup lama di penanaman sering kecapaian apa lagi kamu yang baru sekali ini Jon,” “Tapi omong-omong kenapa cuma kamu sendirian yang dipindahkan ke regu ini Jon?” Tanya Husen. “Wah nggak tahu ya, pokoknya aku cuma ikut atasan saja,” Joni menjawab bingung. “Memang Gugun, Junaedi, Boy dan Dian tetap di perapihan. Mereka cuma jadi anak buah saja,” Joni berkata meraba-raba keadaan. “Mungkin ketua regu yang baru itu malah belum terbiasa masuk hutan, jadi tetap memakai orang-orang lama untuk penunjuk jalan,” kata Joni menjelaskan permasalahan. “Lah menurutmu ketua regu orang baru itu mampu gak memimpin Jon?” Tanya Husen lagi, memang sependengarannya orang-orang baru pindahan dari Tumbang Nusa sudah terbiasa masuk hutan tetapi kemungkinan tidak semua. “Wah melihat sepintas kemarin, aku ragu juga Sen,” kata Joni kepada Husen. “Sepertinya ia bekas orang kantoran.” Joni hanya menduga-duga saja. “Ya kita lihat nanti sajalah, yang penting sekarang aku bekerja ikut denganmu. Yang aku belum biasa memang bekerja di penanaman ini, rasanya masih asing,” kata Joni lagi. “Awal di perusahaan aku hanya pernah di bagian pemeliharaan tanaman jadi kaget juga sekarang berhadapan langsung dengan kegiatan penanaman,” Joni menjelaskan perkaranya. Akhirnya Husen berkata lagi kepada anak buahnya, “Sudahlah sekarang kita kembali ke jalur awal, selesai penanaman kedua kita istirahat,” Husen memerintahkan anak buahnya untuk segera bekerja kembali. Mereka kemudian menyusuri jalur kembali ke awal. Di awal mulai menanam sudah diletakan bibit tanaman. Jadi pekerjaan seperti diulang tidak bisa dibolak-balik karena tak mungkin kuat mengangkat bibit sedemikian banyaknya. “He he he di Lombok jadi petani, di perusahaan bekerja tetap saja jadi kuli tanam,” Senip berkata sambil mencangkul membuat lubang tanaman. Kata-katanya ditujukan kepada teman seregunya. Yang lain cuma tertawa mendengar celotehannya. Akhirnya pekerjaan hari itu dianggap selesai biarpun semua orang tahu banyak sekali kekurangannya. Ya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Hari sudah siang, panas terik begitu menyengat. Blok tanaman ini memang gersang, bahkan arealnya hanya tertutup alang-alang setinggi manusia. Itu bagian yang paling menyusahkan sebab setelah bibit ditanam nanti jalur lenyap karena alang-alang itu sedemikian cepat tumbuh. Lagi pula bibit yang ditanam kemungkinan sulit tumbuh karena bvanyaknya gulma ilalang. Itu memang kendala di areal penanaman. Rombongan regu penanaman pulang ke pondok kerja. Pekerjaan hari itu dianggap selesai setelah menyelesaikan enam jalur penanaman. Joni sendiri tidak tahu berapa target pekerjaan yang harus diselessaikan. Ia merasa jarang mengikuti kegiatan ini jadi tidak begitu tahu perkembangannya. Lagi pula ia pun tak lebih dari seorang pekerja. Penanaman memang berbeda dengan bagian pembebasan. Di bagian pembebasan biarpun banyak areal yang terbuka tetapi masih menampakan tegakan-tegakan sisa-sisa tebangan. Kalau areal penanaman, ini padang trbuka dengan berbagai tanaman milik orang kampung. Anehnya bekas ladang menumbuhkan berbagai jenis pisang batu, sisa padi ladang, rumput ilalang, dan tanaman karet. Yang menarik arealnya ladang jadi ada saja berjumpa dengan orang kampung. Ya regu penanaman menjadi regu yang tidak terasing. Perjalanan pulang ke pondok kerja mengikuti jalan setapak yang sudah ada. Orang-orang kampung sering melintasinya untuk berbagai keperluan. Rombongan regu penanaman akhirnya sampai di pondok kerja. Kerja di lapangan mengandalkan otot jelas membuat badan lelah. Perutpun jika kosong akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Sampai di pondok sudah tersedia nasi, sayur dan ikan asin. Mereka semua makan dengan lahap. Di pondok kerja yang menjadi juru masak si Bahar. Sayang caranya memasak sering salah sehingga yang makanpun kurang berselera. Ada saja kekurangannya nasi gosong, sayur terlalu matang, terlalu asin dll. Bagaimana lagi, Bahar bujangan dan ia pun jadi tukang masak seperti terpaksa. Maunya sih ia masuk ke hutan saja karena tidak betah di pondok kerja. Begitulah hari ke hari di pondok kerja penanaman. Pondok kerja penanaman bangunan kayu permanen. Rumah panggung beratap seng, didirikan di tepi jembatan jalan perusahaan. Jadi jika masuk regu penanaman di jalan Domas raya tinggal menetap saja tidak perlu berpindah-pindah. Arealnya yang 600 Ha non produktif sering dijadikan rujukan jika ada tamu perusahaan lain, kantor pusat dll. Jadi letaknya dianggap strategis dan sepertinya memang disengaja kegiatan di daerah ini harus menjadi percontohan. Di seberang jembatan terdapat rumah orang kampung. Semua orang perusahaan mengenal tetangga pondok kerja. Sering dipanggil Pak Mundai. Rumahnya khas Dayak, rumah panggung cukup tinggi (lima meter). Untuk masuk ke rumahnya naik tangga dari batang pohon. Pak Mundai tinggal dengan istri dan anak-anaknya semua perempuan. Ha ha ha ini yang jadi masalah buat orang perusahaan yang semua tentu kaum Adam. Hari-hari di pondok penanaman yang dibicarakan atau bahan obrolan pasti gadis-gadis tetangga sebelah itu. Normal dong! “Eh Jon kamu naksir nggak sama si Maris?” Berbisik Senip bicara menghampiri Joni. “Nanti sore kita ke rumah sebelah buat berkenalan dengan mereka,” katanya menawari Joni. “Ah itu bawek buat ikau saja Nip, aku tuh sudah merasa tua,” jawab Joni mengelak tawaran Senip. Senip tertawa kecil, “Kalau kamu nggak mau dengan Maris ya bagaimana kalau dengan kakaknya si Mundai, rasanya cocok jadi binimu,” Senip terus menggoda Joni. Husen yang berada di samping Joni tertawa, “Ha ha ha Nip kalau kamu naksir sama Maris segera datangi orangnya jangan orang lain yang jadi perantara,” lanjutnya lagi. Senip merasa malu dirnya diolok oleh Husen, memang kena hatinya ada naksir dengan Maris. Ia memang bermaksud mencurahkan perasaannya kepada Maris dengan alasan mengajak Joni bertamu ke rumah Pak Mundai. “Nggak apa Nip nanti sorelah kita ke rumah mereka,” akhirnya Joni yang menghibur Senip supaya tidak salah tingkah ketahuan perasaannya. Joni memandang seberang jembatan. Rumah panggung kecil dihuni sebuah keluarga. Joni sendiri belum tahu apa-apa, siapa Pak Mundai pun belum berjumpa. Hanya terlihat rumah panggung dengan beberapa pohon nangka dan cempedak. Terlihat teduh karena adanya pohon besar tersebut. Jadi memang lain dengan pondok kerja penanaman ini yang langsung terpanggang sinar matahari. Terasa di dalamnya sesak karena banyaknya orang dan atapnya dari seng hanya melindungi dari terpaan hujan dan angin. Jadi kalau orang kemudian tertarik untuk mendekati rumah Pak Mundai memang beralasan. “Ah ngantuk juga nih,” Husen menguap badannya langung direbahkan di lantai yang sudah bertikar menghampar. Keadannya yang seperti itu membuat orang lain menyingkir tahu diri kalau Bos mereka sudah tak ingin diganggu lagi. Tak lama kemudian terdengar dengkurnya yang keras. Sore harinya Senip benar-benar antusias mengajak Joni ke rumah Mundai. Mereka berdua menyeberangi jembatan kayu. Sebuah dump truk lewat membuat jembatan bergetar keras menghambur-hamburkan debu menimpa badan. Dump truk itu kosong menuju log pon mungkin hanya membawa beberapa penumpang di depannya saja. Setelah dump truk lewat barulah mereka berdua berjalan lagi, saat berpapasan dump truk tadi membunyikan klakson seolah meminta maaf karena pasti membuat repot menghindari terjangan debu di belakangnya. “Untung cuma dump truk saja yang lewat, coba kalau lagi ada trucking kayu bisa-bisa kita bernafas dalam debu,” kata Joni sambil mengibas-ngibaskan tangan ke arah bajunya. “Cepetan ah lebih baik kita segera ke rumah Mundai saja,” tak sabar Senip berjalan di depan. “Hei hendak kemana kalian, aku ikut!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang, itu Johan. “Kalau mau ikut ikut saja jangan banyak bicara,” Senip menjawab tak sabar. Segera Johan menyusul cepat. Tapi Senip dan Joni sudah lebih dulu sehingga tetap ketinggalan di belakang. Senip dan Joni segera sampai di rumah Mundai, ya rumah kecil lebih kecil dari pondok kerja penanaman yang lebih banyak penghuninya. Yang agak membuat merinding ternyata di depan halaman tersebut terdapat dua kuburan kecil bertanda salib. Entah siapa yang dikuburkan di dalamnya. Seekor anjing menyalak keras menyambut kedatangan mereka. Joni agak keder juga jadinya. Untung dari dalam rumah penghuninya keluar menghardik anjing tersebut untuk segera diam, ternyata itu si Mundai. “Oh ikau Nip, dengan eweh ikau dumah hitu?” Mundai bertanya sambil matanya melihat ke arah Joni. Senip menjawab memberitahu kedatangannya,” Ie te kawal baruku bara Jawa, ngaran te Joni,” katanya memperkenalkan Joni. Joni menyambut tangan Mundai sambil menyebut namanya sebagai perkenalan. Mundai menyambut dengan tersipu-sipu. “Tame Lek, Bahar tege handalem bepandir dengan Mamak,” katanya mempersilahkan masuk. Joni dan Senip jadi saling pandang. Terlanjur sudah mereka berada di depan rumah sehingga sulit kalau tidak masuk sekalian. Di dalam rumah terlihat Bahar dengan Pak Mundai sedang ngobrol. Melihat kedatangan teman-teman Bahar Pak Mundai mempersilahkan duduk di lantai rumah. Segera saja mereka berempat ngobrol tentang apa saja semau selera, Bahar dan Senip rupanya sudah terbiasa di rumah tersebut. Joni hanya menjadi pendengar karena bahasa Dayaknya masih belum memadai. “Jon ikau sudah bisa bepandir Ngaju dia?” Pak Mundai bertanya kepada Joni. “Isut te Kas aku dia terlalu mahir bepandir,” jawab Joni. “Dia nare Lek kareh bekawal dengan uluh Dayak pasti mahir kia,” berkata demikian Pak Mundai bercakap-cakap dengan Bahar dadn Senip. Di luar sana terdengar suara Johan yang bertemu dengan Mundai. Mungkin Johan sudah tahu kalau orang-orang sudah di dalam rumah jadi ia mengajak bicara si Mundai di luar rumah. Terlihat ruang pondok keluarga Pak Mundai ini, sebuah pondok tanpa sekat sehingga terasa luas. Sebagai sekat pembatas dipasang kelambu yang bisa dinaik turunkan. Di belakang hanya ada ruang untuk memasak. Jadi biarpun pondok terbuat dari kayu dan atap sirap, untuk masak mereka tetap di dalam harus dengan menyediakan perapian yang terletak di belakang dengan tambahan jendela udara untuk keluar masuk. Sederhana tapi multi fungsi, untuk mencuci perabotan dibuatkan tangga untuk naik turun di bawah rumah. Rumah panggung yang tinggi di bawahnya diletakan berbagai peralatan rumah tangga dan kandang ayam. Pak Mundai cukup berumur, melihat anaknya yang tertua si Mundai yang berumur enam belas tahun mungkin bapaknya berusia sekitar empat puluh tahun. Rambutnya lurus sedikit beruban, tubuhnya terlihat kurus tidak terlalu tinggi. Kulitpun agak menghitam karena terbiasa tersengat matahari. Yang khas giginya yang memerah karena sering menyirih. “Tureh nare ikau Jon?” Pak Mundai bertanya pandangannya mengikuti gerak mata Joni yang memelototi sebuah benda di dinding. “Narare te barang je atas dinding Kas?” Joni bertanya sambil bangkit mengambil benda yang dirasanya aneh tersebut. “Oh itu ngaran kecapi Jon,” Pak Mundai menjawab sambil menerima benda tersebut dari tangan Joni. “Kecapi te untuk menggiring kerungut,” kata Pak Mundai menerangkan. Bahar dan Senip tersenyum melihat keheranan Joni. Bagi mereka berdua yang biasa keluar masuk rumah Pak Mundai setiap hari jelas melihat benda tersebut, hanya saja mereka malah tidak tertarik. “Hai Jon cobai ikau mainkan kerungut!” Bahar berkata menyemangati Joni. “Wah aku dia kawa menyanyi,” Joni berkata bingung. Sebenarnya di dinding rumah Pak Mundai terdapat beberapa benda yang cukup ganjil. Diantaranya adalah beberapa tulang binatang mungkin bekas kepala seekor babi hutan. Hanya saja benda seperti itu Joni tidak kaget karena sudah sering mendengar kalau orang Dayak mendapat binatang buruan maka setelah dimakan biasanya disisakan tulang binatang tersebut sebagai pemali. Melihat keheranan Joni Pak Mundai maklum. “Ie te alat musik tradisi Dayak Lek,” Pak Mundai menjelaskan. Kemudian dipegangnya kecapi tersebut seperti memegang gitar. Terdengar suara gemerincing senar dua jenis. Mungkin nada tinggi dan rendah. Thing Thing Thing..... Setelah dirasakannya pas, entah dengan perasaan saja Pak Mundai memainkan kecapi tersebut. Maka setelah itu terdengarlah suara Pak Mundai dalam bahasa Dayak diiringi kecapi. “Itukah hiburan orang Dayak di kala senggang?” Bagi Joni suara nyanyian itu terdengar asing. Pendengarannya merasakan musik tersebut datar bahkan monoton, tetapi pengaruhnya membuat tubuh seperti ingin berjoget. Ya itulah daya magis alat-alat musik tradisi, mungkin keadaannya sama dengan karawitan Jawa. Gamelan Jawa? Joni teringat kalau di Kalimantan ini juga ada benda upacara yang disakralkan yaitu gong. Gong ini entah digunakan sebagai apa oleh orang Dayak Joni tidak tahu. Jari-jari Pak Mundai terus memetik senar kecapi, mulutnya melagu dalam bahasa Dayak. Bahar, Senip dan Joni hanya mampu mendengar saja, mereka tak paham apa yang dinyanyikan oleh Pak Mundai. Beberapa petikan dengan beberapa tekanan di kecapinya memperdengarkan suar berbeda. Kadang pendek terkadang panjang dan juga terdapat nada rendah seperti bass. Busyet Joni tak mampu mengikuti lagi. Apa lagi nyanyian yang dilagukan oleh Pak Mundai sama sekali tak paham bahasanya. Mereka hanya bisa mengagumi keindahan suara Pak Mundai. “Ie te lagu tentang kisah perantau bara kejau seperti ketun,” setelah melagukan nyanyian Pak Mundai berkata sambil memandangi Joni Cs. “Wah Kas behalap ikau main kecapi,” Joni memuji dengan tulus. “Jon uluh Dayak te sudah mendarah daging main kerungut,” Pak Mundai menjelaskan. “Kalau lagu pop bara radio malah hanyar te tawa, jadi bara jaman bahari lagu kerungut sudah jadi seni uluh Dayak,” tambahnya lagi. Joni dan kedua teman manggut-manggut saja. Yang sulit bagi mereka adalah syairnya dalam bahasa Dayak. Banyak kata-kata yang belum dimengerti oleh Joni. Hal ini wajar saja, Joni berbicara Dayak ala kadarnya. Lebih sering berbahasa Indonesia dengan tambahan kata-kata Dayak Ngaju. Itupun kata-katanya bahasa pergaulan untuk ngobrol supaya tidak putus komunikasi. Sedangkan kerungut itu jelas mengandung sastra ala Dayak. Hari semakin sore matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Suara jengkrik mulai terdengar, buru-buru Joni dan teman-temannya pamit untuk pulang. Di luar Johan masih berbincang dengan Mundai, melihat teman-temannya beranjak keluar dari rumah Johan pun ikut pulang bersama. “Kuweh Mira aku dia tureh bawek kecuali Mundai?” Tanya Joni kepada Bahar. “Nare kuam?” Bahar bertanya sepertinya tidak mendengar kata-kata Joni, segera Joni mengulang pertanyaannya tadi. “Oh Mira sedang di Kuala Kurun masih sekolah,” jawab Bahar. “Kalau Maris bersama ibunya sedang ke ladang mengambil sayur,” katanya lagi. “Wah kasihan Senip, gagal apel hari ini,” Johan berkata berlagak iba kepada Senip. “Huh besok pun bisa aku bertemu dengannya,” Senip tak mau kalah digoda temannya. Sampai di pondok kerja lampu sudah menyala. Di luar gelap segelap hutan yang memperdengarkan suara burung-burung malam. Pepohonan besar ditambah kegelapan membuat suasana aneh sedikit menakutkan. Sunyi orang-orangpun tak ada yang berani keluar dihari-hari seperti itu. Husen sedang makan sore bersama anggota regu yang lain. Sambil menyuapi mulutnya dengan nasi ia berkata, “Besok untuk kerja dibagi dua kelompok,” katanya tanpa menghentikan makannya. “Satu kelompok mengangkut bibit ke blok sedangkan satu kelompok meneruskan penanaman,” instruksinya lagi. “Sebisa-bisa seluruh bibit sudah berpindah ke dalam blok hingga hari-hari selanjutnya tinggal menanam saja,” katanya menjelaskan. Satu blok petak seratus hektar, satu hektar dua ratus tanaman. Silakan pembaca menghitng sendiri, kalau melihat dari blok penanaman saat ini pondok kerja berada di pinggir sebelah utara. Jadi dari jalan logging tempat bibit diturunkan dari mobil harus diangkat sedikit demi sedikit berjarak sekitar empat ratus meter, anggap saja itu di tengah-tengah blok. Nantinya dari tengah-tengah blok ditanam kanan kiri jalur yang sudah dibuat oleh regu terdahulu. Sebenarnya blok sudah terisi banyak tegakan karet berbagai ukuran milik orang kampung. Hanya saja bentuknya acak mengikuti kepemilikan bekas ladang orang kampung yang berbeda-beda luasnya. Jadi kalau dilihat tanaman nantinya tumpang tindih. Ada tanaman milik orang kampung yang acak dengan umur berbeda-beda ditambah jalur-jalur yang sudah dibuat oleh regu penanaman yang nantinya diperuntukan tanaman komersial seperti meranti, akasia, dan sungkai. Blok penanaman di papan milik perusahaan depan pondok kerja mencatat 600 Ha. Kalau dilihat dari tanahnya yang datar menunjukan bahwa daerah tersebut mendekati sungai besar. Memang di hilir sungai kabarnya terdapat sebuah kampung yaitu Tumbang Alas. Rumah Pak Mundai berada di hulu anak sungai (Tumbang) Alas. Hanya saja Pak Mundai sekeluarga malah hidupnya lebih beruntung dari pada orang-orang di kampung Tumbang Alas. Rumah Pak Mundai dilalui jalan milik perusahaan. Jadi jika hendak bepergian tinggal menunggu mobil atua truck perusahaan. Sedangkan orang Tumbang Alas menjadi terisolir, kemana saja mereka pergi hanya mengandalkan getek bermesin kecil. Mereka harus menyusuri ke hilir menuju sungai lebih besarnya lagi yaitu Tumbang Menyangan. Dari Tumbang Menyangan yang berupa kampung terus ke hilir hingga muara sungai Kahayan. Di tepi sungai Kahayan ini terdapat dua kampung yaitu Penda Pilang di hulu dan Tumbang Tembira di hilir. Dari kedua kampung di tepi Kahayan barulah bisa melanjutkan perjalanan menuju hilir Kuala Kurun atau ke hulu kecamatan Tewah. Benar-benar sangat berliku kehidupan mereka. Wilayah Pembantu Bupati Gunung Mas masuk hulu Kahayan. Tumbang Alas ternyata di hulunya anak sungai Kahayan. Hidup di sungai datar tetapi berliku-liku dan ternyata inilah lingkungan semacam hukum adat Dayak (budaya sungai). Ck ck ck Joni membayangkan bagaimana penyebaran orang-orang Dayak yang begitu panjang menyusuri sungai. Mungkin mereka bergerak membentuk koloni kampung mulai dari hilir atau bahkan itu terjadi ketika daratan Kalimantan, Malaysia, Sumatera, Jawa serta Asia Tenggara masih berupa daratan (jaman es dataran Sunda). “Wah aku ini ngelantur,” Joni membatin. “Memangnya sekarang ini aku masih sekolah, sampai-sampai pelajaran Geografi masuk benakku. Memangnya apa gunanya pelajaran sekolah dibandingkan dengan pekerjaanku ini?” Dalam hati Joni bertanya. “Perusahaan tidak membutuhkan pelajaran sekolah seperti ini, yang penting perusahaan mendapatkan keuntungan sudah habis perkara,” lanjutnya lagi tapi tetap dalam batin. “Hayo Joni melamun lagi!” Husen menepuk pundak Joni membuat kaget. “Kalau kamu naksir si Maris apa Mundai besok datangi lagi ke rumah mereka,” Husen melanjutkan kata-katanya dengan lagak mengajari. “Jangan kalah sama si Bahar, sampai sekarang terminum banyu bungol alias penyakit asmara,” katanya lagi. Ya Bahar tindak tanduknya memang agak over akting. Ini gara-gara hubungannya dengan anak Pak Mundai yaitu si Mira. Kenapa bisa begitu? Sering si Bahar ini berulah, pendekatannya kepada keluarga gadis itu berlebihan. Semuanya hanya untuk menarik simpati. Yang terganggu jelas teman-temannya satu regu, orangnya sering melamun dan terkadang berbisik-bisik seperti merintih. Kalau masak hasilnya selalu ada yang tidak beres. “Kemarin sih si Bahar bilang kepadaku kalau ia tak betah jadi tukang masak,” kata Joni kepada Husen. “Ya itu masalahnya....,” Husen berkata. “Jadi tukang masak tidak beres, masuk ke blok penanamanpun malas, memangnya ini perusahaan Mbahnya,” bersungut Husen menerangkan keadaan. Senip dan Johan ikut nimbrung, “Bagaimana kalau si Bahar dipindah ke regu lain saja Sen? Mungkin di regu kegiatan lain lokasinya jauh dari keluarga Pak Mundai,” usul Senip. “Ya bisa saja nanti kuusulkan untuk bulan mendatang,” Husen terpikir juga untuk bertindak. Mereka kemudian menutup mata untuk istirahat tidur. Keesokan harinya seperti biasa anggota regu mulai bekerja. Bahar mendekati Joni, “Jon gantikan aku masak ya, aku benar-benar tak tahan di pondok terus,” Bahar berkata memohon kesediaan Joni. “Wah Har kalau mendadak seperti ini permintaanmu aku ya kesulitan, coba kamu bilang langsung kepada Husen mungkin bisa dicarikan jalan keluarnya,” kata Joni menjelaskan perkara. Dalam hati Joni berkata,”Waduh nih anak merajuknya lari ke aku....” Bahar mengerutkan alisnya cemberut. Rasanya ia ingin melanjutkan kata-katanya tapi Joni sudah beranjak pergi menuju tempat kerja. “Si Bahar tadi bilang sama aku, dia kepengin masuk ke blok saja,” Joni berbicara kepada Husen. “Malah dia minta aku yang menggantikan jadi tukang masak.” “Bahar itu orangnya sulit kerja di lapangan malas di pondok pun tetap malas,” Husen menerangkan. “Masalahnya bukan pekerjaan yang dianggap berat, jiwanya itu yang kepikiran ceweknya terus, biarkan sajalah ia hendak bicara apa, maunya apa rasanya aku juga tidak peduli,” Husen berkata tak mau ambil resiko. Senip, Joni, Idrus dan Johan kebagian mengangkut bibit. Bibit itu terletak di pinggir jalan di kerindangan semak belukar supaya tidak kepanasan. Masing-masing orang membawa lanjung yang terbuat dari tali plastik berbentuk keranjang dengan tambahan tali untuk dimasukan ke punggung. Itu keranjang khas Dayak, segi kepraktisannya yang diambil karena prinsipnya sama dengan tas ransel. Entah lebih dulu mana lanjung dengan tas ransel jaman modern ini, pikir sendirilah oleh pembaca. Bibit paling banyak berupa sungkai, sebagian kecil bibit meranti. Paling mudah menanam sungkai. Caranya dengan stek batang bisa langsung tumbuh di polibag isi tanah. Paling sulit bibit meranti karena harus dicari di hutan baru kemudian dipindahkan ke polibag itupun dengan perlakuan tertentu. “Aduh punggungku remuk rasanya. Berat sekali mengangkat ke dalam blok,” Idrus berkata sambil meluruskan badannya. Idrus orang Bima badannya terlihat menghitam dengan rambut ikal, sebenarnya usianya selisih beberapa tahun dengan Joni hanya tampaknya terlihat sangat tua. Johan sendiri orang Madura sedangkan Senip dan Bahar orang Lombok. Satu kelompok yang menjadi regu penanam saat ini orang Lombok bersama Husen sebagai mandor. “Sudah tahu pekerjaan di hutan capek, masih mau saja kamu bekerja Drus,” Johan berkata mengikuti arah pembicaraan Idrus. “Kata orang kamu itu sekolah tinggi agama, mbok sana jadi guru ngaji saja,” Johan terus mencecarnya. “Ah sekolah tinggi apa?” Idrus nyengir. “Aku tuh sekolah SD saja gurunya mati mana pernah lulus,” Idrus merendah. Tapi yang benar memang ia pernah kuliah di kampungnya sana (Sumbawa). Cuma kalau soal pekerjaan tenyata ia tak lebih baik nasibnya dari pada Senip, Johan dan Joni. Idrus segera mengalihkan pembicaraan, “Enak si Bahar, dia kerja di perusahaan gaji dapat cewek juga dapat. Sekali dayung dua kegiatan disabetnya,” kata-katanya terputus-putus mengiringi langkah dan nafasnya karena lanjung yang berisi bibit beban cukup berat. “Huh ujar orang kampung si Bahar itu sudah terminum banyu bungol,” Senip berujar mengimbangi kata Idrus. “Sampai-sampai begitu sukanya dapat cewek. Katanya biaya sekolah di Kurun sudah ditanggung Bahar semuanya,” lanjutnya lagi. Joni terkejut mendengar kata Senip, “Ah masak sampai seperti itu Nip?” Setengah tak percaya Joni bertanya. “Itu bukan bohongan Jon tapi benar-benar sudah terjadi,” Senip menjawab keraguan temannya. Benarkah sudah terjadi peristiwa seperti itu? Banyak beredar memang cerita orang perantauan yang tertambat hatinya dengan gadis lokal terjebak dalam ikatan perkawinan dengan bumbu sistem kontrak. Seseorang yang menikahi gadis Dayak diikat perjanjian dengan surat sah jika ada resiko bercerai mengganti uang yang sudah disepakati saat pernikahan berlangsung. Besar uangnya tentu sangat mencengangkan. Jadi hampir-hampir orang luar menikah dengan gadis lokal sulit lepas dari daerah tersebut. Memang demikian maksudnya, dan rupanya kejadian tersebut sudah terpampang di depan mata. Bahar yang sudah terjebak sedemikian jauhnya hingga berkorban demi gadis idamannya. Membiayai sekolah pacarnya, sedangkan hubungan belum resmi. Sungguh tak masuk akal, begitu butakah si Bahar melangkah sejauh itu. “Kalau si Bahar sedang bepandir denganku sering dia membangga-banggakan kalau dirinya seorang play boy,” Johan berkata. “Katanya pacarnya di kampungnya sana banyak,” lanjutnya lagi. “Tapi kalau melihat keadaannya sekarang ya paling dusta, baru mengenal si Mira saja sudah bertekuk lutut.” “Banyak pacarnya apa! Dasar dusta saja si Bahar itu, nih aku yang tahu orangnya di kampung,” jawab Senip sengit. “Sudahlah kita lanjutkan lagi pekerjaan kita, tinggal satu kali angkut habis itu istirahat sajalah,” Idrus menyudahi pembicaraan dengan melanjutkan mengangkut bibit. Pekerjaan sudah selesai semua kembali ke pondok kerja. Bahar bicara dengan Husen, “Mas besok aku masuk hutan saja rasanya sudah tidak betah di pondok terus,” katanya memelas. “Benar kamu mau masuk hutan, tapi ingat jangan malas seperti kemarin-kemarin ya,” iba juga Husen akhirnya mengiakan tapi dengan syarat. “Nanti soal masak biarlah bergiliran setiap hari,” Husen membuat keputusan. “Kamu dululah Jon yang masak besok, habis kamu gantian dengan Johan, Senip dan Idrus. Pokoknya semua kebagian jadi tukang masak kecuali aku.” “Baik Pak Husen!” Serempak orang-orang menjawab. Begitulah akhirnya untuk memasak bergiliran. Joni sendiri awal-awal masuk hutan di perusahaan sering kebagian jadi tukang masak. Memang sebenarnya tak ada yang suka kerja di bagian ini. Naluri seorang lelaki jelas menolak pekerjaan seperti ini, hanya saja di hutan orang-orang harus terbiasa. Lagi pula hanya sehari, kalau orang seperti Bahar sebenarnya ia sendiri yang bersedia jadi tukang masak. Hanya saja orang regu penanaman sudah tahu tujuan Bahar. Itu tentu berkaitan dengan strategi pendekatannya terhadap calon mertua. Joni sendiri sebanarnya tidak tahu seberapa besar hubungan Bahar dengan Mira. Baru sekarang ia melihat langsung. Bukan main, ternyata hubungan dua orang lain jenis ini sudah sangat jauh. Bahar yang ibaratnya sudah tergila-gila kepada Mira sehingga orang-orang satu regu berbisik-bisik kalau Bahar sudah terminum banyu bungol orang Dayak. “Bah peduli amat!” Joni berkata dalam hati. Hari itu setelah menyediakan sarapan dan tinggal sendirian di pondok, Joni menuju sungai untuk mencuci segala peralatan masak untuk digunakan siang harinya. Saat mencuci piring dan panci ternyata ia bertemu dengan seorang gadis belia yang sedang mandi. Gadis cilik yang sedang mandi tahu juga kalau kedatangan orang asing. Matanya segera menatap dengan penuh curiga. “Eweh ikau Lek, umba begawai perusahaankah?” Bertanya gadis tersebut tertuju pada Joni. “Iya aku umba regu penanaman, ikau te pasti Maris ading Mundai ya,” Joni menjawab sekaligus menebak gadis di depannya ini. Mandi di sungai bersama-sama lelaki dan perempuan tak masalah di Kalimantan ini. Yang lelaki masih memakai celana dalam sedang yang perempuan memakai penutup kain berupa sarung untuk menutupi sebagian besar tubuhnya. “Kuweh Bahar Lek biasanya ie nah yang tinggal je pondok?” Tanya Maris yang sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang perusahaan terutama regu penanaman. “Oh Bahar jadi tame je hutan umba penanaman, sementara aku menggantikan jadi tukang masak,” jawab Joni sambil membilas piring plastik dan panci yang sudah terkena sabun cuci. Merasa sudah selesai mandi Maris beranjak pulang menuju rumahnya. Maris meninggalkan Joni sendirian yang masih menatapnya dari bawah sungai. Terlihat Maris berjalan, lekuk tubuhnya terlihat karena kain sarung yang dikenakannya masih basah. “Oi Maris tege salam bara Senip!” Setengah berteriak Joni menggoda Maris. “O ya terimakasih, eweh ngaran ikau Lek?” Ganti Maris bertanya kepada Joni. “Joni!” Joni berteriak kepada Maris. Maris segera lenyap dari pandangan Joni menuju rumahnya. “Oh itu yang namanya Maris he he he,” Joni cengengesan. Sifat kelelakiannya timbul untuk menggoda perempuan. Beberapa kali kemudian ia turun naik ke sungai untuk mengambil air dengan ember, setelah itu mandi pagi. Sementara di blok penanaman Husen sedang sibuk mengatur regu penanaman. Husen orangnya disiplin, apa yang diperintahkan sebisa harus terlaksana. Sepertinya ilmu dari sekolahnya yang D3 IPB hendak diterapkan di lapangan. Di perusahaan PT JAP sebenarnya ada lima orang dari IPB, semuanya kiriman dari Jakarta, karena itu statusnya langsung memegang beberapa jabatan. Teman-teman Husen semuanya ditempatkan di bagian perencanaan. Husen diperbantukan di penanaman karena bagian lain sudah penuh. Namun statusnya setingkat asisten tetapi dalam prakteknya harus di lapangan. Bahar menggantikan Joni kebagian menanam bersama Senip dan Johan menjadi satu tim. Senip menggali lubang sedang Johan membawa lanjung berisi tanaman untuk diletakan dalam setiap lubang. Senip terus bergerak maju ke depan, setiap masuk jarak sekitar lima meter digalinya tanah membuat lubang. Johan mengikuti dari belakang, tinggal Bahar sendiri di belakang menanam bibit tanaman. “Hei kalian terus bekerja!” Teriak Bahar dari belakang. “Biar aku di belakang menyusul kalian!” Teriaknya lagi. “Baiklah tapi jangan sampai ketinggalan y!” Johan menjawab sambil terus melanjutkan pekerjaannya. Senip tidak peduli, dilihatnya jalur bekas tebasan masih jauh jaraknya. Ia kepengin cepat selesai tugasnya jadi terus saja menggali. Setengah jam kemudian selesai. Johan dan Senip duduk di batas jalur menanti Bahar yang masih di belakangnya. Sementara menunggu terlihat tim yang lain juga sudah selesai. Husen mendekati Senip dan Johan. “Bagaimana sudah selesai jalur kalian apa belum?” Tanya Husen sambil melihat jalur milik Senip dan Johan. “Mana Bahar kok tidak kelihatan?” Tanyanya lagi. “Bahar masih di belakang Mas, tahu kenapa lambat sekali menanamnya?” Jawab Johan sambil melongok menanti kalau Bahar sudah datang. Ditunggu-tunggu belum muncul juga batang hidung Bahar. “Ah kelakuan seperti itu terus saja dilakukan,” Husen bersungut-sungut melihat anak buahnya yang satu ini. Sekarang mereka sudah selesai menanam tinggal menanti Bahar yang belum muncul. Merasa lama menunggu tak kelihatan juga, Husen segera memerintah anak buahnya untuk bekerja lagi. “Biar saja si Bahar itu, nanti di pondok saja aku bicara dengannya,” Husen membuat keputusan cepat seperti itu supaya pekerjaan cepat selesai dari pada hari semakin panas menyengat. Entah di mana si Bahar orang tak peduli. Husen sendiri setelah tahu hanya Johan dan Senip yang bekerja malah bergabung menjadi penanam bibit yang sebelumnya dikerjakan Bahar. Begitulah semua bekerja lagi dengan penuh semangat. Hari semakin siang jalur-jalur sudah ditanami berbagai bibit tinggal istirahat dan pulang ke pondok untuk makan dan membersihkan badan. “Bahar, Bahar......Benar-benar tak muncul dia sampai pekerjaan selesai,” kesal Husen dibuatnya. “Harusnya dia bergabung terus sampai pulang dengan kita.” “Paling dia sudah pulang ke pondok Sen,” Idrus berkata mencoba kemungkinan atas keberadaan Bahar. “Huh kerja apaan kalau cuma seperti itu, memangnya cuma dia saja yang susah hidupnya,” kata Husen kecewa. “Hari sudah siang kita pulang dulu, besok semua orang hanya membuat jalur saja,” perintahnya sekaligus beranjak pulang. Anggota regu yang lain segera mengikutinya kembali ke pondok. Sampai di pondok kerja mereka cuma mendapati Joni yang sedang merebus air. Beberapa jenis masakan sudah terhidang tinggal disantap. “Jon mana Bahar?” Husen bertanya kepada Joni. “Memangnya Bahar sudah pulang Mas?” Ditanya seperti itu Joni malah kaget. “Aku sendirian saja dari pagi tadi,” Joni tambah heran. Husen dan anggota regu yang lain juga jadi bingung, kemana si Bahar pergi? Jangan-jangan dia tersesat di dalam hutan. “Biarkan sajalah dulu, kalau sampai sore nanti Bahar tidak muncul-muncul terpaksa kita cari,” Husen membuat keputusan sendiri. Akhirnya orang-orang makan siang dan kemudian mandi dan berbagai kegiatan sendiri-sendiri. Saat orang-orang istirahat terlihat Bahar muncul dari jalan. Arahnya berasal dari rumah Pak Mundai. “Dari mana kamu Har, kami menunggu lama di pondok?” Tanya Husen menyelidiki. “Kenapa pula kamu tadi meninggalkan teman-temanmu yang dalam keadaan bekerja!” Cecarnya lagi. Bahar dengan muka sedih berkata, “Aku capek Mas, tidak kuat kerja di jalur tadi, lagi pula Senip dan Johan terlalu cepat meninggalkanku sendirian. Jadi akhirnya aku ke rumah Pak Mundai saja,” katanya tanpa merasa bersalah. “Hah apa yang kamu kerjakan di rumah Pak Mundai?” Husen menegur. “Kita ini sedang kerja jangan kamu mangkir dari tempat kerja, yang namanya kerja itu ada aturannya tahu!” Semprot Husen marah. “Ingat jangan ulangi lagi perbuatanmu itu,” Husen mengakhiri pembicaraannya dengan meninggalkan Bahar yang kemudian bergabung dengan teman-temannya. Hari menjelang sore, Joni mempersiapkan makan malam. Anggota regu penanaman berjumlah sebelas orang cukup banyak menyita tenaga untuk menghidangkan makanan. Yang agak sulit di pondok penanaman ini adalah mengambil air dari sungai. Joni harus turun cukup jauh dengan menggunakan ember, cukup berat dan membuat nafas tersengal-sengal. Di pondok kerja sebenarnya terdapat dua drum air untuk menampung air hujan. Sayang beberapa hari ini cerah sehingga air dalam drum tersebut sudah habis. Bahar sedang duduk di tepi pondok kerja, sepertinya merenung entah apa yang dipikirkannya. Joni yang membawa air terpaksa berhenti untuk minta lewat karena sempitnya jalan. “Har maaf mengganggu aku hendak masuk membawa air ini ke dalam,” hati-hati Joni menyapa Bahar. Bahar rupanya terkejut juga, lamunannya buyar. “Oh sampean Jon, aku sedang memperhatikan matahari itu yang sinarnya kelihatan aneh,” Bahar menunjuk ke arah matahari yang mulai tenggelam. “Memangnya ada apa dengan matahari itu Har?” Joni bertanya mengikuti arah telunjuk Bahar. “Ah Jon apa kamu tidak melihat cahayanya yang kelihatan menyeramkan itu,” Bahar melanjutkan penglihatannya ke arah matahari sore. “Aku jadi takut jangan-jangan ada apa-apa nanti di sini,” Bahar berkata terlihat ketakutan. “Har ini di hutan jangan berpikiran macam-macam kamu, matahari itu kalau sedang senja ya seperti itu!” Joni bersungut-sungut. “Sudahlah aku hendak memasak di dalam beri dong jalan lewat.” Bahar beringsut memberkan jalan untuk Joni bisa masuk ke dalam yang kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Huh ada-ada saja si Bahar ini, pikirannya itu entah ngelantur kemana saja,” Joni berkata sendiri dalam hati. Hari makin kelam orang-orangpun berkumpul di dalam pondok kerja. Semuanya punya agenda sendiri-sendiri. Ada yang bermain kartu, ada yang main catur. Joni sendiri berebah di tikar karena capek memasak. Esok harinya seperti yang sudah diperintahkan Husen, semua anggota regu membuat jalur tanaman. Kali ini tukang masak digilir oleh Senip. “Mas aku tidak ikut masuk hutan, badanku rasanya sakit,” Bahar berkata kepada Husen. “Betul kamu sakit atau pura-pura Har?” Husen lagi-lagi repot dibuatnya. “Benar Mas aku tidak bohong,” Bahar melanjutkan keluhannya. Merasa sudah sering dibohongi Bahar Husen tidak serius menanggapinya. “Ya sudah istirahat sajalah, bantu Senip di dapur nanti ya,” Husen muak sudah dengan kelakuan Bahar. Dibiarkannya saja orang itu dengan kepura-puraannya. Semua sudah tahu kelakuan Bahar, tak ada yang simpatik kepadanya. Mereka sedang bekerja ternyata ada saja ulah orang-orang yang membuat alasan bohong menghindari pekerjaan untuk tujuan pribadi. Segera saja Husen dan anggota regu berangkat kerja. “Huh paling-paling Bahar nanti ke rumah calon mertuanya lagi, dasar lagi jatuh cinta,” Idrus berkata kepada Husen. Yang lain hanya senyum-senyum saja mendengarnya. Lelaki kalau sedang kena panah Dewi Amor memang berkelakuan aneh, hanya Bahar ini keterlaluan karena merugikan tean-temannya. Menebas jalur penanaman berbeda dengan jalur perapihan. Jarak antar jalur hanya lima meter. Jalur harus bersih dan lebar agar bibit yang ditanam nantinya mendapat ruang tumbuh dan setelahnya dapat ditelusuri lagi oleh regu pemeliharaan. Perbedaannya dengan perapihan areal non produktif banyak terdiri dari semak belukar karena merupakan bekas ladang orang kampung. Jangan heran nantinya tanaman milik perusahaan akan berdampingan dengan tanaman keras milik penduduk. “Hei perlu diingat ya, nanti kalau saat menebas jalur kalian ketemu dengan tanaman karet atau buah milik orang kampung usahakan untuk tidak menebasnya,” perintah Husen kepada anak buahnya. Sengaja tidak sengaja sering terjadi pengrusakan terhadap tanaman milik orang kampung. Terkadang orang kampung menuntut ganti rugi, ini resiko orang-orang perusahaan. Cuma biasanya bisa diselesaikan secara damai. Husen memegang kompas, ditebasnya semak belukar di depannya. Beberapa tanaman pisang batu dan rumput tinggi menghalanginya. Ada juga beberapa batang pohon mati rebah menghitam bekas terbakar. Yang lain berbagai jenis karet besar kecil tak beraturan. Di beberapa bagian tumbuh batang singkong menampakan bunganya karena tumbuh liar. Tiba-tiba di depannya terlihat bekas tebasan jalur, terpaksa Husen berhenti memperhatikan siapa orang yang melakukannya. Untuk memastikan kalau jalur yang dibuatnya lurus sesuai kompas ia segera mengukur benar-tidaknya arah yang dikerjakannya. “Wah Jon jalurmu salah, kembali dulu ke belakang cepat!” Husen tahu siapa yang berbuat karena tadi Joni berada di samping kanannya. “Wah nabrak jalur ya Mas, sory deh!” Joni berteriak di depan Husen kira-kira dua puluh meter. Terpaksa Joni mundur mendekati Husen yang berdiri di tempat terakhir tadi jalur bertabrakan. Saat Joni sudah berdiri di samping Husen untuk memulai kembali arah jalurnya tiba-tiba dari samping kiri malah Idrus yang tampak kelelahan menebas memotong jalur Husen di belakang kira-kira sepuluh meter. “Stop Drus! Ini lagi salah jalur bisa-bisa jalurnya nanti tidak lurus malah belak-belok kayak jalan logging!” Husen lagi-lagi berteriak dongkol sekaligus geli. Orang-orang di samping kiri dan kanan semuanya juga terpaksa berhenti dan tertawa bersama-sama. “Ha ha ha ya sudah berhenti dulu di sini, ayo periksa dulu jalur masing-masing supaya tidak saling memotong,” Husen tak bisa marah karena kejadian seperti itu sering terjadi. Ya bagaimana lagi, kompas hanya satu yang memegang si Husen di tengah, sedang sisi kanan dan kiri anggota regu yang mencoba menjaga jarak masing-masing lima meter, Jelas sulit menghindar karena orang-orang harus melihat di mana teman kanan kirinya saat itu berada. Kemudian setelah masing-masing mengambil posisi pada jalurnya pekerjaan dilanjutkan lagi. Mungkin jalur yang benar-benar lurus hanya milik Husen karena ia memegang kompas untuk menentukan arah. Sedangkan jalur yang lain berkelak-kelok asal tidak memotong jalur milik temannya. Hari itu jatah masing-masing anggota regu empat jalur, sangat capek rasanya. Karena itu selesai membuat jalur orang-orang segera ke tepi sungai besar di mana hulunya adalah pondok kerja dan rumah Pak Mundai berada. “Hei lihat ada nangkan masak di pohon!” Johan berteriak kegirangan tangannya menunjuk buah nangka yang terlihat mungkin sudah waktunya dipetik. “Uih di bawah itu memang tersisa nangka yang sudah dimakan warik,” Joni pun turut melihat dan mendapati buah nangka yang terhambur di tanah. “Kelihatannya sudah habis dimakan warik sampai-sampai tak ada yang tersisa,” Joni berkata sambil memperhatikan buah nangka yang tergeletak di tanah. Hanya terlihat seonggok kulit dan jerami yang tidak ada rasa manisnya yang tersisa. Bersih benar-benar monyet tersebut berpesta pora. “Jon kita ambil nangka ini ya,” Johan berkata sambil memanjat pohon untuk meraih buah nangka yang terlihat mendekati masak. Setelah dijatuhkan buah tersebut diperhatikan, ternyata masih bagus, ada beberapa sayatan kecil mungkin bekas musang mengintai masak tidaknya nangka tersebut. Musang-musang yang meninggalkan sayatan di nangka mungkin belum mendapati buah nangka itu masak jadi belum dibukanya untuk disantap. Keberuntungan anggota regu penanaman yang mendapatinya. “Mungkin tempat ini dulunya bekas rumah orang kampung, lihat itu ada bekas lantai panggung dari kayu papan,” Husen memperhatikan areal sekitarnya. Ternyata bukan cuma bekas pondok orang kampung tetapi juga terdapat beberapa tanaman durian setinggi lima meter dan cempedak yang belum berbuah. “Itu di seberang sungai kan jalan menuju Tumbang Alas,” kata Idrus menunjukan jarinya ke seberang sungai di mana terlihat jalan setapak seperti biasa dilewati manusia. “Berarti Tumbang Alas sudah dekat dengan tempat kerja kita,” Idrus melanjutkan perkiraannya. “Tumbang Alas itu seperti apa Drus?” Joni bvertanya, rasanya di regu penanaman ini hanya dirinya saja yang belum tahu Tumbang Alas. Idrus tertawa lebar, “Ha ha ha kalau kamu nanti ke sana semua yang kamu inginkan bisa dapat Jon,” kata Idrus seperti merahasiakan. “Ah kamu bikin aku penasaran saja,” Joni bersungut-sungut. Merasa Joni masih penasaran Idrus malah menambahi kebohongannya, “Tumbang Alas itu kota besar, di sana ada lapangan helikopter, itu tempat wisata orang-orang kaya dari berbagai perusahaan,” bualnya lagi. Joni tak bisa mengorek keterangan dari Idrus karena percuma. Husen malah memperhatikan buah nangka yang dipungut Johan tadi. “Nangka ini kalau dibawa ke pondok malah bisa dipotong Bahar untuk dikasihkan Pak Mundai nanti,” katanya sambil berpikir. “Jon nanti bawa nangka itu tapi jangan dimasukan dalam pondok, sembunyikan saja di belakang pondok kerja, aku khawatir nanti diminta Bahar untuk dikasihkan Pak Mundai untuk mencari perhatiannya,” Husen memutuskan perkara. “Iya sia-sia nanti kita dapat getahnya Bahar yang dapat nangkanya,” Idrus menambah kuat keputusan Husen. Alhasil buah nangka dibawa pulang tapi disembunyikan dari pandangan Bahar oleh Johan dan Joni. Sampai di pondok kerja yang ada cuma Senip, entah di mana si Bahar. Semua lagi-lagi menduga si Bahar pasti ke rumah Pak Mundai. Senip cuma nyengir dan angkat bahu ketika ditanyakan keberadaan Bahar. “Heh orang lagi kasmaran apapun dilakukannya buat si kekasih hati,” Senip berkata tanpa menjawab di mana beradanya Bahar. Ya sudah orang-orangpun istirahat. Joni mengambil handuk dan gayung miliknya yang berisi sabun mandi dan odol. Gayung hanya terbuat dari jerigen plastik yang dipotong melintang dan diberi bilah kayu untuk pegangan. Ia pun segera melangkah keluar pondok berjalan menuju sungai. Beberapa temannya sudah mendahului dan mungkin sedang mengguyur badan dengan air sungai. Belum sampai ke jalan logging ia bersua dengan Bahar. Saat itu pondok sepi karena orang-orang sebagian sedang mandi sedangkan yang lain istirahat di dalam. “Ssst Jon aku tanya apa Husen masih marah padaku atau tidak?” Berbisik Bahar bicara dengan Joni. “Wah mana kutahu Har, aku nggak tahu urusanmu dengn Husen pribadi.” Joni menjawab bingung. “Sebenarnya ada apa kamu begitu caranya bekerja?” Joni malah balik bertanya heran. “Kalau kamu bosan kerja di hutan kan bisa cari pekerjaan lain.” “Ah Jon aku tidak mampu bekerja yang lain, pikranku kacau banyak masalah yang membuatku bingung,” Bahar berkata seperti orang minta dinasehati. “Masalah apa lagi? Urusanmu dengan Mira anak Pak Mundai, emangnya Mira ada nggak di rumahnya?” Joni bertanya kepada Bahar. Setahunya di rumah Pak Mundai hanya ada bapak, ibu dan dua anak perempuan belia serta seorang anak kecil. “Ya itu Jon Mira bersekolah di Kuala Kurun, aku khawatir hubunganku dengan Mira diketahui guru-gurunya. Bisa-bisa nanti dikeluarkan dari sekolah,” Bahar mulai mengeluarkan masalahnya. “Har kamu itu kan baru pacaran saja, masa gara-gara pacaran denganmu Mira sampai dikeluarkan dari sekolah?” Joni bertanya heran. Bahar tercenung, “Jon hubunganku dengan Mira itu sudah terlalu jauh, semua orang bahkan gurunya sudah curiga kalau aku dan Mira sudah hidup bersama,” pengakuannya penuh bingung. Joni yang tertegun ternyata hubungan Bahar dengan Mira sudah sedemikian jauhnya. Padahal Joni tak tahu perempuan yang sedang dibicarakan. “Kalau memang begitu mungkin kamu harus menikahinya,” Joni berkata mencoba ikut berpikir. Bahar menghela nafas perasaannya tersulut kacau, Joni malah seperti mencobainya saja. “Aku belum kepengin kawin Jon, Mira pun masih sekolah.” Joni menyanggah, “Ini bukan di kota Har, kulihat Mundai dan Maris itu malah tidak sekolah, berarti mungkin mereka malah tinggal ikut suaminya nanti kalau ada yang melamar,” Joni berkata seperti melihat kenyataan yang memang terpampang di depannya. “Ah kamu malah membuatku tambah bingung saja,” Bahar cemberut merasa tak ada pemecahan masalah. Bahar meninggalkan Joni yang masih seperti orang kaget karena mendengar pengakuan Bahar tentang hubungannya dengan Mira. Dalam hati Joni berkata, “Jelas sudah Bahar ini, paling-paling nanti kawin dengan ceweknya,” Joni meneruskan langkahnya ke sungai untuk mandi. Matahari sudah tinggi, di sungai orang-orang sudah selesai mandi. Tinggal Joni yang akhirnya sendirian. Sungai tempat mandi dan cuci ini tepat di bawah jembatan kayu. Mendongak ke atas jembatan mungkin setinggi sepuluh meter. Beberapa gelondongan kayu bulat tergeletak di tengah sungai sehingga membuat orang bisa duduk sambil mencuci di atasnya. Saat sedang mandi terlihat Maris membawa keranjang cucian, sesaat Joni memperhatikan Maris meletakan cucian di batang pohon seberang tempat Joni mandi. Tidak jauh hanya sekitar dua meter. Timbul keisengan Joni menggoda Maris, dicipratkannya air ke badan Maris. “Oi Maris sekalian ikau mandoi, aku dohop badan dengan danum!” Teriak Joni sambil mencipratkan air sekali lagi. “Ela Lek karehi aku mencuci baju helo harui setelah itu mandoi!” Maris mengelak dari air siraman Joni. Tapi Joni tambah berani malah mengambil gayung dan menyiramkan air sungai sampai badan basah kuyup. Maris jengkel diperlakukan demikian hingga mengancam, “Awas ikau Jon aku balas siramanmu!” Maris kewalahan sehingga ia bangkit berdiri. Dilihatnya sekeliling tepi sungai dan didapatinya perdu yang memiliki sarang semut merah. Dengan sekali sentak batang perdu beris semut itu patah, segera saja dilemparkan ke arah Joni. Joniklaget tak disangkanya balasan Maris sedemikian tega. Semut merah segera menggigit badan Joni hingga meringis kesakitan. “Wah besingi ikau Ris, aku te hanya bergurau,” Joni berkata tangannya mengibas mengusir semut di badannya. “Makanya ela menderu uluh Lek, rasakan te semut merah menggigit badan ikau,” Maris tersenyum melihat penderitaan Joni. “Iyalah aku menderu ikau, maafkan aku Ris,” Joni mohon maaf atas kelakuannya. Akhirnya Joni dan Maris menyelesaikan kegiatannya sendiri-sendiri sambil ngobrol. Joni lebih sering berbicara dengan bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa Dayaknya memang kurang paling-paling kata-kata umum saja. Senja datang matahari kian redup sinarnya. Lampu mulai dinyalakan, entah di mana-mana suasana temaram memang agak menyeramkan. Ini memang kekuasaan buta kala, tak ada yang mampu membalikan hukum alam. Bahar berjalan menuju sungai, kegundahan hatinya masih mengganjal. Ia berniat mencuci muka di sungai, hanya saja pandangan matanya terlihat aneh. Sepertinya banyak dirundung masalah, ya ia sendiri tak paham dengan kondisinya. Berjalan sendiri menuruni sungai kemudian tak terlihat. Joni, Johan, dan Senip ngbrol di depan pondok. Di dalam ruang tengah Idrus, Husen dan anggota regu yang lain sedang bermain kartu. “Uh rangit banyak sekali mengggigitku!” Senip berkata tangannya memukul kepalanya sendiri. Beberapa ekor rangit mati di tangannya tapi sudah menghisap darahnya. Joni dan Johan nyengir saja, merekapun merasakan keadaan yang sama. Sulit menghindari rangit-rangit yang terbang di atas kepala mencari sasaran. Belum lagi nyamuk berbagai ukuran dengan suaranya yang berdenging di telinga sangat mengganggu. Bekas gigitan rangit dan nyamuk membuat bentol-bentol kecil tapi tak mengapa. Mendadak terdengar teriakan dari sungai, “AAAA Aduh, Aduh tolong Aku! Tolong!” Seseorang berteriak seperti kesakitan. Semua orang kaget sekali lagi mencoba mendengarkan suara tersebut. Segera setelah sadar siapa yang berteriak berhamburanlah orang-orang menuju ke sungai sumber suara tadi. Tak salah itu suara Bahar berteriak entah kenapa. Husen mendapati Bahar yang terkapar di tepi sungai tepat di bawah jembatan. “Ada apa Har kenapa kamu seperti ini!” Husen berteriak sambil mengguncang-guncang badan Bahar. Bahar sadar tapi sepertinya tidak penuh. “Aduh tolong.....Mati aku aduh tanganku sakit sekali!” Bahar mengeluh seperti merasakan adad yang memukul-mukul tangan kirinya. “Ada apa dengan tanganmu?” Husen keheranan dan merinding melihat keadaan Bahar. “Tanganku tak bisa bergerak, Aduhhh seperti ada yang menelikung tanganku!” Bahar mengeluh lagi. “Ampun.....Ampun Jangan....Jangan!” Bahar berteriak ketakutan seperti melihat sesuatu. Orang-orang sekitarpun bingung dengan keadaan Bahar. Joni segera ikut memegang tangan Bahar, “Ayo kita segera ke atas jangan di sungai ini terus!” Cepat-cepat semua orang naik ke jalan, rasanya mereka sekarang tahu ada yang tidak beres terjadi pada Bahar. Ya itu semacam gangguan dari pengaruh pepohonan. “Ayo kita ke pondok saja,” Husen juga menyadari keadaan segera memerintahkan orang-orang ke pondok kerja. “Aduh....Aduh aku tak mau ke pondok lebih baik ke rumah Pak Mundai saja!” Bahar berteriak-teriak kesakitan. Sekarang baru ketahuan tangan Bahar yang kiri menelikung tak bisa digerakan. Sungguh aneh....Terpaksa orang-orang menuruti keinginan Bahar. Husen dan Joni memapah Bahar untuk berjalan diiringi Senip sebagai penunjuk jalan dan Johan serta Idrus di belakang. Suasana terasa mencekam dan sulit menduga apa yang terjadi. Pak Mundai sekeluarga kaget mendapati Bahar yang kesakitan. “Ada apa ini kenapa pula dengan Bahar?” Tanya Pak Mundai. Setelah dilihatnya keadaan Bahar barulah ia menyadari ada yang tidak beres dengan tangan Bahar. “Jangan-jangan Bahar telah dikenai orang penunggu sungai,” Pak Mundai berkata. “Ayo masuk ke dalam tidak baik senja-senja seperti ini di luar rumah.” Akhirnya semua masuk ke rumah Pak Mundai. Tapi karena tidak muat sebagian meminta ijin kembali ke pondok kerja. Merasa bertanggung jawab Husen mendampingi Bahar ditemani Joni, Senip dan Johan. Bahar dibaringkan di lantai beralaskan tikar. “Bagaimana keadaanmu Har?” Husen bertanya kepada Bahar. “Apa yang kamu kerjakan tadi di sungai?” Tanyanya lagi. “Aduh tanganku sakit sekali tak bisa bergerak, Aduh.....Aku tadi sempat mencuci muka, tiba-tiba aku melihat seekor ketam besar sekali,” Bahar bercerita sat di sungai. “Saat aku mencoba menangkap ketam itu tiba-tiba tanganku seperti ada yang memukul keras sekali, entah setelah itu aku seperti tak sadar,” katanya lagi. “Aduh bagaimana ini, tangan kiriku sakit sekali, Aaahhh jangan! Jangan.....Ampun....Ampun! Aduh Mak Aduh Ampun! Mak.......” Bahar berteriak terus seperti kesakitan. “Kita benar-benar kedatangan tamu rupanya, Pak Mundai akhirnya berkata. “Terpaksa kita datangkan dukun untuk mengusir orang-orang yang datang ini, kalian yang jaga di rumah jaga baik-baik Bahar. Aku segera ke rumah Pak Awo di seberang jalan, jangan lupa persiapkan beberapa alat untuk nantinya digunakan Pak Awo,” Pak Mundai berkata sambil tangannya meraih sebilah mandau untuk menemaninya menuju rumah seorang dukun. Tak lupa sebuah senter segera dinyalakannya untuk menerangi jalan. Keadaan Bahar belum membaik, ia masih merintih kesakitan dan berteriak-teriak pilu tak berdaya seperti orang diserang musuh. Aneh tapi nyata. Setelah menunggu cukup lama datang juga Pak Mundai bersama seorang tua Pak Awo. Mereka membawa beberapa bunga hutan dan seekor ayam. Beberapa tetangga juga diundang. Pak Awo memeriksa Bahar sebentar, “Bahar te menderu uluh penunggu sungai jadi akhirnya disakiti seperti ini,” Pak Awo menjelaskan keadaan Bahar dalam bahasa Ngaju. “Kalau sampai dibiarkan ie te bisa matoi,” tambahnya lagi. Iiihhh Serem!!! Semua jadi percaya kata-kata dukun tersebut. “Ayo kita obati Bahar segera!” Pak Awo menghamparkan beberapa bunga, beras dan kemudian membakar gaharu di atas arang membara yang diambil dari dapur. Bau harum gaharu segera menyeruak sekitar ruangan. Pak Awo berkata-kata seperti mengucap mantera, hanya bahasanya Dayak sehingga Joni tidak mengerti apa yang dibaca. Setelah itu Pak Awo memberi tanda kepada seorang yang hadir yang memegang kecapi untuk memainkan kerungut. Akhirnya terdengar alunan bunyi kecapi yang dilagukan oleh tetangga yang diundang hadir. Terasa suasana menjadi meriah, lagu kerungut terus berkumandang seolah-olah berkisah tentang pesta kegembiraan. Joni, Husen, Senip dan Johan sebenarnya bingung dengan keadaan asing seperti itu. Seorang yang sakit malah disambut dengan pesta kegembiraan seolah-olah mengundang teman. Ya benar.....Tiba-tiba Pak Awo terdiam. Matanya tertutup tangannya memberi isyarat untuk menghentikan bunyi kecapi. Segera saja tempat itu menjadi sunyi. Tapi di beberapa sudut rumah orang-orang tetangga yang hadir dari tadi main kartu tetap tak menghentikan permainan. Yang bingung memang Husen, Joni, Senip dan Johan. Rasanya baru sekali ini mereka mendapati ritual yang aneh seperti itu. Setelah itu Pak Awo bergerak memberi isyarat, hanya saja gerakan isyarat tangannya sudah seperti gerak tangan monyet alias warik. Itukah teman yang diundang Pak Awo? Ya Pak Awo bergerak seperti warik terkadang tangannya menggaruk seperti gatal mirip sekali dengan gerakan tangan monyet. Pak Mundai, Mundai, Maris dan Ibu Mundai segera bertanya, “Eweh jadi dumah Lek?” Pak Mundai bertanya kepada Pak Awo. Pak Awo menjawab dengan menggerakan tangannya seolah-olah ia adalah teman yang diundang pesta. “Bisa ikau menyembuhkan uluh, bara kuweh menderu kawal ita?” Ganti Ibu Mundai bertanya. Pak Awo kembali menggerakan tangan seolah-olah bisa dengan menyelenggarakan upacara pesta. “Nare te syarat jadi lengkap?” Pak Mundai bertanya lagi. Pak Awo bergerak seperti bertanya apa saja syarat yang sudah tersedia. “Tege benih, bunga hutan, bawang putih dan merah, tege manuk kia,” Pak Mundai memberitahukan barang yang tersaji di depan. Pak Awo malah bertanya dengan gerakan tangan tentang ayam (manuk) yang dimaksud. “Tege ih manuk babilem, baputih?” Tanya Ibu Mundai. Pak Awo bergerak lagi seolah-olah pilihan warna ayam sembarang saja, dan juga mengisyaratkan kalau semua sudah terpenuhi. Setelah itu Pak Awo mengisyaratkan lagi untuk membunyikan kecapi. Ganti Pak Mundai yang melantunkan lagu kerungut kegembiraan. Pak Awo sadar kembali dan kemudian duduk mengelilingi sesajian yang sudah lengkap di depannya. Sebenarnya sesaji itu apa adanya saja karena kondisi darurat. Lagu kerungut berkumandang lagi dan pesta itu berlangsung sampai tengah malam. Pak Awo dan Pak Mundai akhirnya mempersilahkan yang hadir untuk pulang ke rumah masing-masing. “Biar saja Bahar di rumah ini istirahat sampai besok,” Pak Mundai membuat keputusan. Husen, Joni, senip dan Johan minta diri untuk kembali ke pondok. “Sen ini senter kupinjami dulu biar bisa menerangi jalan,” Pak Mundai kasihan juga terhadap rombongan regu penanaman yang hendak pulang kembali ke pondok. Sebelum pergi Pak Mundai berbisik kepada Husen sesuatu soal penting. Husen hanya mengangguk-anggukan kepala saja. Di jalan Husen yang akhirnya berkata sendiri, “Untuk upacara penyembuhan ini biaya ditanggung oleh kita semua tahu nggak!” Joni, Johan dan Senip melongo setelah tahu pembicaraan rahasia Pak Mundai dan Husen tadi. Ya nggak apa-apa deh yang penting Bahar bisa sembuh. Sampai di pondok kerja semua orang sudah kecapean. “Besoklah kita urusi si Bahar, kita istirahat saja dulu,” Husen berkata mengakhiri peristiwa yang menengangkan tadi. Malam semakin larut burung-burung malampun menjalani kodratnya. Semua tidur diiringi ingatan lagu kerungut pesta kegembiraan mengundang teman-teman. BAB 4 Mengunjungi Kampung di Hutan Bulan kedua di kegiatan penanaman. Melanjutkan pekerjaan bulan sebelumnya. Setelah kejadian yang menimpa Bahar semua orang menjadi ekstra hati-hati. Jika sudah senja orang-orang yang hendak ke sungai sebisa-bisa tidak sendirian. Sedang Bahar sendiri dipindahkan ke regu lain menjauhi lokasi. Oleh Pak Joko Bahar ditempatkan di kegiatan pembebasan. Keadaan Bahar yang labil dengan masalah berat membuat mental jatuh akhirnya banyak kehilangan nalarnya. Dalam keadaan demikian mudah terkena pengaruh lingkungan hutan yang dalam bahasa Dayak disebut pepohonan. Kali ini pengganti Bahar seorang suku Bima lebih tepatnya dari daerah Dompu. Namanya Tohir, jadi sekarang ada dua orang Bima di pondok kerja. Seorang Idrus dan temannya Tohir. Hanya saja kedua orang sesuku ini malah sepertinya tidak cocok satu sama yang lain. Ada saja yang dipersilisihkan oleh mereka berdua. Cocok tak cocok keduanya berada dalam satu regu. Kalau sedang berdebat keduanya selalu berbahasa Bima jadi hanya kelihatan ramainya saja. Setelah itu orang Lombok Senip, Juminem, dan beberapa orang lainnya. Jika mereka berkumpul dan berbicara dengan bahasanya sendiri, Joni, Husen dan Johan yang tak mampu mengimbangi. Kalau Johan biar orang Madura tetapi bukan Madura pulau jadi hidupnya sudah biasa berbahasa Jawa. Terasa di pondok kerja seperti terdapat tiga kelompok. Orang-orang Lombok mendominasi karena jumlah mereka banyak. Kemudian dua orang Bima yang satu provinsi dengan orang Lombok ternyata sangat berbeda bahasa dan suku. Setelah itu Joni, Johan dan Husen. Hanya Husen saja yang paling berpengaruh karena dialah ketua regunya. Thin....Thinnn....Thinnn!!!! Terdengar suara klakson mobil, itu mobil rimbawan. Sebuah mobil bak terbuka dobel gardan mengangkut bibit tanaman dari persemaian. Orang-orang di pondok kerja segera menghentikan kegiatannya, mereka berhamburan keluar menyambut mobil untuk menurunkan bibit tanaman. Jagau sopir rimbawan seorang Dayak tinggal di Kuala Kurun bersama keluarganya. “Hei Sen hendak ditaruh di mana bibit tanamn ini?” Jagau bertanya kepada Husen yang sedang berjalan mendekati mobil. “Taruh saja di lokasi kemarin, hanya di tempat itu yang paling dekat menuju dalam blok tanaman,” Husen berkata sambil naik ke dalam mobil diiringi Idrus, Tohir dan Joni di bak belakang mobil. Mobil terpaksa akhirnya memutar mengikuti arah yang ditunjuk Husen. Cukup jauh sekitar lima ratus meter dari pondok. Sesampainya di sana orang-orang segera menurunkan bibit yang jumlahnya cukup banyak. “Gau minggu besok regu kami logistiknya tambah lagi ya, tampaknya beras sudah menipis,” Husen berkata sambil ikut menurunkan bibit dari bak mobil. “Bisa Sen tulis saja di atas kertas nanti kusampaikan kepada Sahrun untuk mengurusinya,” Jagau menjawab permintaan Husen. “Bagaimana tanaman bulan kemarin Sen banyak yang hidup apa nggak?” Jagau bertanya, tangannya meraih kaca mata hitam penghindar debu untuk dilap dengan ujung kaos yang dikenakannya. “Kita lihat nanti sajalah, saat pemeliharaan baru ketahuan,” Husen menjawab. “Untung bulan kemarin cukup banyak hujan jadi tanah masih basah, mungkin saat ditanam cukup kuat bertahan,” tambahnya lagi. “Yang aku agak kesulitan itu mengatur anak buah, sepertinya orang-orang Lombok sering tidak menggubris perkataanku,” Husen menyampaiakan keluhannya. “Mungkin mereka maunya ketua regu dari kelompok mereka sendiri,” Husen meneruskan kata-katanya. “Yang paling sulit urusan memasak, mereka jika mendapat giliran urusan memasak langsung menolak.” “Wah tampaknya cukup susah juga mengatur mereka ya, padahal pas Sahrun jadi ketua regu mereka patuh semua,” Jagau berkomentar menanggapi keluhan Husen. “Ya itulah maunya mereka dipimpin Sahurn saja cuma jelas mereka tidak akan mengatakan apa-apa kepadaku. Mungkin saat bergerombol mereka berkata seperti itu dengan bahasa Lombok jadi aku tak mengerti apa-apa,” Husen menjelaskan lagi. “Apa perlu tukang masak perempuan Sen, kalau begitu ambil saja si Mundai atau Maris untuk dijadikan tukang masak,” Jagau bergurau. “Ya tambah berantakan nanti, di sini laki-laki semua bisa habis perempuan di pondok digoda orang-orang hutan ini,” Husen tertawa kecil. “Dengar-dengar di persemaian ada karyawan baru dari kampung?” Husen malah bertanya. “Iya perempuan dari Tumbang Tembira ipar dari Pak Jali bagian perencanaan,” jawab Jagau. Joni, Idrus, dan Tohir hanya mendengarkan saja kedua orang tersebut ngobrol. Mereka sendiri sibuk menurunkan bibit tanaman. Setengah jam kemudian pekerjaan selesai. “Ayo singgah dulu ke pondok minum barang segelas teh,” Husen mengajak Jagau untuk kembali ke pondok dulu istirahat. Segera Jagau menyalakan mesin mobil kemudian memutar jalan kembali ke pondok kerja. Husen menggamit lengan Joni dan berbisik di telinganya. “Ssst Jon terpaksa mulai besok kamu saja yang jadi tukang masak,” Husen meminta kesediaan Joni. “Aku sulit mengatur orang-orang ini,” katanya lagi. Joni menganggukan kepala, “Baiklah aku maklum dengan keadaanmu, orang-orang ini tampaknya berkomplot untuk tidak menggubris perintahmu.” Joni akhirnya bersedia saja menjadi tukang masak regu penanaman. Husen memerintahkan demikian karena mereka berdua sama-sama orang Jawa jadi bisa cepat bertenggang rasa. Joni sendiri cukup sulit bergaul dengan orang-orang regu penanaman ini karena mereka lebih suka bergerombol berbicara dengan bahasanya sendiri. Jika bergabung rasanya ia menjadi orang bodoh tak tahu arah pembicaraan yang diobrolkan mereka. Sekitar dua puluh hari jadi tukang masak? Malam hari hujan turun, Kalimantan jarang kemarau. Sudah tahun ke berapa Joni di Kuala Kurun? Menghitung kalender Joni merasa cukup lama di hulu Kahayan ini. Sudah dua tahun lebih menjadi karyawan perusahaan Tanjung Raya. Dari mulai menjadi harian lepas sampai sekarang menjadi harian tetap. Joni datang ke Kalimantan memang mencari pekerjaan. Kok susah-susah cari kerja sampai luar pulau? Jawa sudah sumpek, rasanya tidak mudah mencari pekerjaan di daerah sendiri. Ah terlalu mengada-ada mencari alasan. Yang tepat Joni stres karena dalam hidupnya termasuk kuper (kurang pergaulan). Akibat kuper hubungan dengan orang sekitar jadi kurang baik. Sulit mencari informasi tanpa komunikasi. Akhirnya andalannya hanya saat seorang tetangga yang transmigrasi di Banjarmasin mengajak ke Kalimantan. Ajakan itu diterimanya sehingga sekarang ia tak pulang-pulang ke Jawa alias Jawa kesasar. Siapa sih tetangganya yang mengajak ke Kalimantan? Itu juga bukan orang trans tetapi hanya pengangguran di kota Banjar Baru. Hanya saja orang tersebut memang memiliki banyak saudara di Kalimantan. Akhirnya Joni menumpang di salah satu keluarga orang tersebut. Nah dari pada menganggur seorang anggota keluarga yang ditumpanginya tersebut menawarkan kerja di perusahaan. Berdasarkan referensi itulah Joni dikenalkan dengan seorang manager camp yang kebetulan saat itu di Banjar baru. Dari manager camp malah langsung menyuruh berangkat ke Kuala Kurun menuju alamat PT JAP Kuala Kurun tentu dengan uang saku dari manager camp. Kalau mengingat kejadian dulu Joni tak habis pikir. Berani-beraninya berangkat ke tempat yang Joni sendiri tak tahu lokasinya. Hanya dengan petunjuk seadanya berangkat dari Banjarmasin menyusuri sungai Barito dengan angkutan speed. Dari sanalah perantuan di Kuala Kurun mulai. Joni paling takut menjadi pengangguran. Setelah lulus SMA ternyata tidak mudah mencari pekerjaan. Hari-hari luntang-lantung tanpa tujuan. Sekarang di Kalimantan pekerjaan yang ada saat ini di perusahaan kayu sedang dijalaninya, entah sampai kapan. Orang-orang belum bangun Joni sudah mulai mempersiapkan sarapan. Setelah hujan turun cukup deras membuat dua drum di depan terisi penih air jadi Joni tak perlu turun ke sungai untuk mencuci. Lagi pula setelah hujan deras air sungai keruh coklat membawa lumpur. Dapur pondok terletak di belakang cukup leluasa untuk memasak tanpa mengganggu orang tidur. Dinyalakannya tungku untuk merebus air dalam ceret. Sambil menunggu air mendidih dicucinya beras di panci. Untuk nasi diusahakannya masak sebanyak jumlah anggota regu. Untuk lauk teman nasi nanti dengan ikan asin goreng dan mie instan campur daun genjer. Di kegiatan penanaman ini cukup mudah mendapatkan sayur karena dekat dengan ladang-ladang milik orang kampung. Paling mudah mendapatkan pucuk jawau (Singkong), genjer, pakis atau kelakai atau bahkan umbut bambu alias rebung. Tanaman bambu di Kalimantan termasuk sedikit. Kalau di Jawa tepi sungai biasa didominasi bambu di sini hanya satu dua rumpun. Orang Dayak tidak banyak menggunakan bambu untuk keperluan rumah tangga sehingga budi daya bambu tidak ada. Begitu juga dengan kelapa sangat jarang orang menanamnya. Padahal di Jawa mudah sekali menemuinya, karena jarang kelapa di tanah Dayak mahal harganya. Tapi kalau umbut bukan main! Orang Dayak mengenal berbagai jenis umbut palem dari hutan. Ada umbut bendang, diwung, ujau (rebung bambu) sampai pucuk rotanpun jadi sayur. Ada lagi tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit diambil umbutnya juga untuk sayur. Mungkin karena gemar makan umbut maka kalau ada tanaman kelapa orang Dayak langsung juga cepat berpikir untuk menebangnya menjadi sayur. Alhasil tak ada pohon kelapa tinggi di tanah Dayak. He he he kalau umbut kelapa Joni sering makan karena di Jawa pun biasa memasaknya menjadi sayur. Saat Joni memasak beberapa orang terbangun, beberapa di antaranya yang taat beribadah terlihat sholat subuh. Sebagian lainnya segera mandi pagi. Ketika air mendidih orang-orangpun segera minum kopi susu yang langsung dicampurkan dalam ceret. Pokoknya praktis sekali, sekira jam enam lebih masakan sudah siap. Semua orang segera sarapan untuk mulai bekerja. Selesai sarapan Husen segera memerintahkan anggota regu berangkat kerja. Sunyi, tinggal Joni sendirian di pondok kerja. Merasa tak ada lagi yang perlu dikerjakan Joni berebah melanjutkan tidurnya. Memang cukup waktu untuk mandi siang sekira jam sepuluh untuk memasak siang harinya. Seperti itulah jadi tukang masak, dibilang mudah ya mudah wong yang dimasak juga tidak rumit-rumit amat. Tak ada masakan istimewa di hutan karena masakan lebih mendasarkan pada logistik yang tersedia. Mie instan, sarden, ikan asin, susu kaleng, kopi atau teh, gula dan beberapa zak beras. Untuk bumbu cukup bawang merah dan putih, asam jawa dan garam, terkadang ada juga jatah kacang hijau untuk dibuat bubur. Dan yang jelas semua anggota regu lelaki jadi soal memasak semua orang maklum kalau seorang cepat menyerah karena bukan bidangnya. Jam sembilan Joni bangun dari tidurnya. Di ruang yang luas ini terasa lengang orang-orang masih sibuk di blok penanaman. Joni bangkit dari lantai dibereskannya kelambu yang menjadi teman setia tidurnya di hutan. Setelah itu menyapu lantai panggung pondok kerja dan halaman luar dari sampah daun-daun yang berserakan. Terlihat di seberang jalan terpisah jembatan rumah Pak Mundai menampakan kesibukannya. Sejak Bahar dipindahkan ke regu pembebasan anggota regu jarang bermain ke rumah Pak Mundai. Memang Bahar saja yang punya hubungan khusus dengan anak gadis Pak Mundai. Anggota regu yang lain biarpun suka menggoda perempuan tapi tidak sampai berlanjut pacaran. Saat sedang membersihkan halaman melintas dua orang perempuan. Ternyata mereka adalah Mundai dan Maris. Di punggungnya terlihat lanjung yang cukup berat membawanya. “Bara kuweh Ris kelihatannya bara kejau nanjung?” Ramah Joni menyapa. “Ie te kami bara Tumbang Alas menukar waluh dengan ikan asin,” Mundai menjawab sambil menurunkan lanjung yang dibawanya. “Tumbang Alas, hai atau kurik lewu te Mundai?” Joni bertanya tentang kampung di hilir sungai tempat mereka tinggal saat ini. “Hai lewu Lek, ikau hendak menggau nare pasti tege je lewu,” Maris yang berkata sambil memperlihatkan bawaannya. “Pire kejau bara hitu lewu te Ris?” Joni bertanya lagi sambil melongok isi lanjung Maris, ada beberapa kilo gula dan biskuit. “Paling lama nanjung due jam bara hitu,” kata Mundai lagi. “Ikau sendirian saja je pondok Jon?” Tanyanya lagi. “Iya aku tuh yang kebagian berapi,” jawab Joni. “Di mana Bahar sekarang?” Tanya Mundai. “Wah Bahar di bagian pembebasan, mungkin sekitar sepuluh kilo meter bara hitu,” Joni menerangkan kegiatan Bahar yang sekarang. “Kalau begitu kami pulang saja dulu Jon,” Maris mengangkat lagi lanjung dan berjalan berdua menuju rumahnya sendiri. “Silakan, sampaikan salam kami buat ninik mamak ya,” Joni mempersilahkan Mundai dan Maris melanjutkan perjalanannya ke rumah. Setelah selesai menyapu halaman Joni mengangkat beberapa peralatan masak ke sungai untuk dicuci. Ada wajan, panci, serok, dan piring gelas dari plastik. Tentu saja piring gelas terbuat dari plastik supaya tidak mudah pecah. Di dapur ada beberapa ikat pucuk singkong. Joni berencana merebusnya semua dan membuatkan sambal dari cabe rawit minta dari ladang Mundai. Masakan lain cukup membuka kaleng sarden, mengeluarkan isinya dan kemudian mencuci basah ikannya. Ikan sarden tersebut selanjutnya digoreng untuk teman lalap pucuk singkong rebus. Yang agak repot mengambil air bersih dari sungai dengan ember yang ada. Pasti membuat nafas tersengal-sengal karena harus naik turun tanjakan sungai yang cukup tinggi. Air sudah tersedia sekarang waktunya masak. Untuk siang masak nasi dibanyaki supaya bisa sekalian makan sore. Jadi untuk masak nasi harus dilakukan dengan panci besar. Tidak cukup hanya dengan diliwet, harus diuapi supaya bisa dihangatkan lagi sore nanti. Karena nasi sudah tersedia jadi sorenya tinggal membuat lauknya saja. Sepintas melihat mudah, tetapi masak cukup banyak untuk dua belas orang ternyata membuat badan capek. Belum lagi untuk air minum, bisa beberapa kali merebus baik untuk air dingin maupun yang panas untuk kopi atau teh. Sekedar catatan air mentah di Kalimantan ini bersifat asam tak bagus untuk lambung. Rata-rata orang Kalimantan giginya rapuh kurang zat kapur. Joni memperkirakan nanti saat orang-orang dari blok penanaman pulang tinggal menunggu air mendidih. Ya paling banyak orang kerja di lapangan adalah minum air. Hampir seharian penuh selalu berulang kali merebus air karena cepat habis. Nah terlihat seorang muncul dari belakang pondok kerja. Idrus rupanya yang lebih dulu sampai. Dengan nafas terengah-engah keringat membasahi kaos kerjanya Idrus menghampiri Joni yang sedang menunggui api di tungku supaya tetap menyala. “Aduh capeknya...,” Idrus menggeliat tangannya meraih gelas dan segera minum air dingin dari teko yang tersedia. “Drus Drus siapa suruh kamu kerja di hutan, hari-hari kerja di lapangan seperti ini jelas capek badan,” Joni berkata memecahkan kesunyian yang dari tadi terjadi di pondok kerja karena sendirian. “Iya Jon enakan orang kantor tinggal duduk manis menulis dapat duit,” ujarnya lagi. “Wah ya belum tentu mereka di kantor memang tidak keluar tenaga tetapi tanggung jawabnya besar, nih air sudah mendidih kalau mau bikin kopi bikin sendiri sajalah,” Joni menyodorkan gelas kosong kepada Idrus. Idrus segera tanggap tangannya langsung meraih gelas yang disodorkan kemudian mengisinya dengan gula dan kopi. Ia sedikit mengerjitkan dahi saat melihat jenis kopi logistik. “Jon apa nggak ada kopi kapal api yang enak, kalau ini sih kopi bikinan Banjar rasanya terlalu banyak campurannya,” kata Idrus geleng-geleng kepala. “Ya adanya itu, kalau kamu kepengin yang lain beli sendiri deh,” Joni menjawab keluhan Idrus. Biarpun kopi lokal tak apa Idrus tetap doyan juga. Dihirupnya kopi yang dibikinnya, “Ah terang mataku kalau minum kopi, rasanya semangat hidup kembali,” komentarnya. Joni tertawa geli melihat tingkah Idrus yang sudah kecanduan kopi. “Tuh temanmu dari kampung datang,” Joni berbisik saat melihat Tohir bersama Johan. “Huh lagi-lagi Tohir aku sebal dengan mukanya itu,” Idrus mengeloyor menjauhi Tohir yang datang dan segera bergabung untuk membuat minuman bergula. Hanya Tohir lebih suka teh. Tohir berambut keriting berbadan kecil. Di pinggangnya membawa parang yang bersarung bentuk kuda Bima buatannya sendiri. “He he he aku nggak suka gayanya itu loh Jon, orangnya kayak perempuan senangnya bersolek,” Idrus mencaci maki Tohir. Tapi yang benar banyak juga kelebihannya. Tohir ini kuat ibadahnya sering membaca Al-Qur’an. Setelah itu pintar mengukir hulu parang dengan berbagai hiasan. Kalai Idrus paling-paling cuma pintar main kartu walau sekolahnya malah guru agama. Setelahnya itu berturut-turut datang rombongan yang lain, Jumenim, Senip, dan kelompoknya terakhir Husen paling belakangan. Lengkap sudah semuanya dari blok penanaman untuk makan siang dan beristirahat. Suasana pondok kerja meriah kembali dengan aktifitas regu penanaman. Joni mendekati Tohir, dipegangnya parang miliknya yang bagus. Itu adalah sebuah parang mandau Dayak tetapi berhulu kayu berukir kepala kuda. Ya Tohir bangga dengan daerahnya yang penghasil kuda Bima. Selain itu ada lagi barang bawaannya berupa kecapi untuk musik gambus. Berarti Tohir ini termasuk seorang penyair. Irama gambus mengacu pada musik bernuansa Arab. “Hir bagus sekali parang bikinanmu ini,” Joni memuji hulu parang milik Tohir. Ditimang-timangnya parang tersebut seakan-akan menakar nilainya. “Nanti kapan-kapan bisa nggak kamu bikinkan hulu parang untuk mengganti hulu parangku ini,” Joni meminta kesediaan Tohir. “Nanti saja Jon untuk bikin hulu parang alatnya aku tidak membawa, nanti saja di camp km 4,” Tohir bersedia tetapi ia menyatakan kesulitannya. “Untuk mengukir gagang parang selain harus mencari kayu yang sesuai juga diperlukan langge atau pahat,” Tohir menjelaskan keterangannya tentang alat ukir yang diperlukan. Sedang mereka semua beristirahat tiba-tiba datang seorang tua kampung mendatangi pondok. Rambutnya yang sudah beruban banyak menunjukan usianya mungkin sudah kepala enam. Yang membuat orang sepondok terkejut adalah kedatangannya langsung dengan muka marah-marah. “Eweh uluh merusak tanaman jambu agung ayungku!” Orang tua tersebut berteriak sambil menyodorkan batang ranting tanaman jambu bol. “Uluh perusak te harus mengganti denda!” Katanya lagi mengancam. “Eweh ikau Kas aku dia kesena dengan ikau?” Husen bertanya kepada orang tua yang datang langsung mengancam. Suasana pondok menjadi tegang seketika. “Salah ije bara ketun pasti tege menebang jambu agung ayungku!” Katanya dengan muka marah, “Ketun harus mengganti dengan denda!” Ancamnya lagi. “Wah Kas eweh te uluh bara kami yang ikau tureh merusak?” Husen bertanya mencoba menanyakan siapa di antara anggota regu yang sekiranya merusak tanaman jambu bol milik orang tua tersebut. “Aku dia tureh yang penting ketun segera ganti rugi dengan denda!” Orang tua tersebut tetap meminta ganti rugi. “Denda te bisa uang bisa behas terserah ketun.” Husen memandang tajam orang tua yang marah di depannya ini. Inilah salah satu masalah yang selalu dikhawatirkan dirinya sebagai ketua regu penanaman. Memang mungkin saja terjadi seorang anak buahnya telah dengan sengaja atau tak sengaja merusak tanaman milik orang ini, hanya di mana tentu sulit membuktikannya. Di areal blok penanaman sering terjadi sengketa antara perusahaan dengan orang kampung. Hanya saja untuk menyelesaikan masalah di depannya rasanya terlalu mengada-ada. “Begini saja Kas uluh perusahaan tege peraturan. Coba ikau lapor langsung ke kantor kani,” Husen mencoba berkilah. “Aku dia peduli urusan kantor yang penting ketun bayar kerusakan ladang ayungku!” Teriak orang tua tersebut tetap mengancam. Husen dan orang-orang sepondok menjadi bingung, rasanya biarpun mungkin ada yang merusak tanaman miliknya tetapi prosedur kerja mengharuskan orang untuk bekerja sesuai aturan, soal tumpang tindih lahan itu diselesaikan atasan bukan kroco macam mereka. Rupanya keributan itu dilihat seseorang, ya Pak Mundai segera datang karena keributan yang terjadi. “Tege nare Lek, jika tege masalah diselesaikan damai saja,” Pak Mundai tergopoh-gopoh mencoba menengahi sengketa orang kampung dan orang perusahaan. “Ewen jadi merusak tanaman jambu agung ayungku,” berkata orang tua kampung tersebut sambil menunjukan batang jambu bol yang dibawanya. “Ini buktinya!” Katanya dengan bahasa Indonesia yang kurang fasih. Pak Mundai kenal dengan orang tua kampung tersebut, hanya masalahnya rasanya terlalu dibesar-besarkan. “Wah Kas kalau urusan seperti itu ela dilebih-lebihkan, keterlaluan ikau menuntut ganti rugi,” Pak Mundai menjelaskan perkara. “Aku dia peduli jambu agung te jika sudah besar bakalan berbuah, buah te kareh bisa ditanam hinde,” orang tua tersebut tetap berkilah. Semua orang geleng-geleng kepala mendengarkan logika orang tua tersebut, lugu tapi keras kepala. “Wah Kas ewen te uluh perusahaan begawai memang untuk menebas,” tak kalah Pak Mundai yang sudah paham perangai orang tersebut menjelaskan. “Kalau sampai ewen menebas terjadi kesalahan dimaafkan saja. Dia usah ita menderu uluh begawai Lek, itu sudah biasa terjadi,” Pak Mundai melanjutkan keterangannya. Akhirnya malah kedua orang tua tersebut yang berdebat. Rupanya bagi Pak Mundai tuntutan orang tua tersebut terlalu mengada-ada, urusannya cuma tanaman kecil yang diperkarakan. Akhirnya Pak Mundai yang malah gemas melihat sifat keras kepala orang tua tersebut. “Kalau orang perusahaan menebang pohon buah atau karet yang yang sudah menghasilkan silakan ikau menuntut Kas, tapi kalau tuntutan ikau te cuma tanaman kurik dia usah diperpanjang masalahnya, malah ita yang malu menderu uluh begawai menggau upah,” Pak Mundai akhirnya menasehati orang tua tersebut. “Sudahlah kalau ikau masih tidak terima laporkan masalah langsung ke Polisi jadi kareh ikau tawa urusan hukum,” ganti Pak Mundai yang mengancam. Rupanya orang tua kampung tersebut kehabisan alasan juga untuk meminta tuntutannya dipenuhi. Ia pun pergi meninggalkan pondok kerja. “Wah Kas terima kasih ikau umba menyelesaikan masalah tadi,” Husen berkata kepada Pak Mundai. “Kami sudah tegang rasanya bingung menyelesaikan tuntutan orang tua tadi.” “Uluh bekas tadi itu saja yang keterlaluan Sen, itu tadi uluh bekas hanya mencari gara-gara karena kehabisan makanan,” kata Pak Mundai lagi. “Kalau hanya urusan makan kami bisa saja memberikan barang sedikit logistik buat uluh bekas tadi,” Husen malah tertegun mendengar keterangan Pak Mundai. “Ya itu kalau hanya minta kita bisa kasih, tapi beliau malah cari gara-gara jadinya malah ketahuan sifat buruknya,” Pak Mundai berkata. “Tapi ketun berhati-hatilah begawai je hutan. Are uluh lewu sirik dengan ketun,” Pak Mundai mengakhiri perkataannya dan mohon diri kembali ke rumahnya. Sepeninggal Pak Mundai legalah orang-orang sepondok. Mereka tadi begitu tegang menghadapi orang kampung yang tidak mereka kenal. Perkara kecil itu bisa dibesar-besarkan dengan tuntutan denda adat. Rasanya siapapun tidak ingin dirinya dikenai denda adat yang dianggap aib di manapun. Orang kampung saja tidak mau apalagi mereka yang bekerja upah harian belaka. “Wah kalau urusan seperti itu saja diperkarakan bisa-bisa kita tidak pernah kerja,” Senip yang tadi ikut tegang akhirnya bicara. Mereka yang di pondok kerja menghela nafas lega. Orang kampung memang mudah saja menjatuhkan sanksi adat. Apa lagi ditujukan kepada perantau macam mereka. Di dalam regu penanaman ini tidak ada orang lokalnya jadi terkadang sulit bergaul dengan orang sekitar. Jarak rumah yang satu dengan yang lain saling berjauhan. Contohnya seperti saat memanggil dukun Pak Awo, ternyata Pak Mundai sampai berjalan kaki tiga kilo meter baru sampai di rumah ladang Pak Awo. Banyak juga rumah (huma) yang hanya ditinggali sementara karena berladang. Dulunya rumah Pak Mundai pun tak lebih dari pondok untuk berladang. Tapi seiring adanya jalan perusahaan mereka sekeluarga malah menetap karena untuk transportasi bisa mengandalkan mobil perusahaan. Ini berbeda jika mereka hanya mengandalkan getek. Tadinya getek bisa menyusuri sampai di depan rumah Pak Mundai tapi sekarang terhalang oleh gelondongan kayu jembatan. Tapi tak apa Pak Mundai sekeluarga sudah tidak terisolasi karena adanya mobil perusahaan. Malah kampung Tumbang Alas di hilirnya yang tertutup tidak ada akses keculai menyusuri sungai Menyangan menuju Kahayan. Idrus yang tadi agak gemetar karena takut sekarang jadi muncul isengnya, “Wah jangan-jangan Tohir yang menebang pohon jambu agung milik orang kampung tadi,” katanya dengan muka disungguh-sungguhkan. “Enak saja kamu menuduh orang!” Si Tohir mengelak tuduhan Idrus. “Mungkin malah kamu yang menebang, lihat saja berapa kali tadi di hutan kamu memotong jalur orang lain. Gara-gara salah jalur berantakan kerja kita tadi,” Tohir menambah kata-kata lagi dengan bersungut-sungut. Idrus hanya diam saja ia tak menanggapi omongan rekannya yang tadi diolok-olok olehnya. “Sudahlah kita besok harus lebih berhati-hati lagi kalau kerja,” Husen berkata ditujukan kepada anak buahnya. “Semoga saja tidak ada tuntutan apa-apa lagi dari orang kampung.” Esok harinya semua bekerja di blok penanaman. Hanya saja mereka jadi lebih berhati-hati karena areal yang mereka kerjakan memang bekas ladang milik orang kampung. Sejatinya orang kampung ini juga aneh, setelah ladang ditanami padi hingga panen banyak yang dibiarkan saja. Tidak sedikit orang kampung yang malas sama sekali tidak melanjutkan penanaman apa-apa di ladang yang bekas hutan tersebut. Kalau orang kampung yang masih merasa ladang tersebut sebagai hak miliknya biasanya akan menanami bekas ladang miliknya dengan berbagai tanaman keras seperti karet dan buah-buahan. Contohnya seperti Pak Mundai, di belakang rumah meraka sudah banyak tanaman karet sebesar lengan orang dewasa sehingga menjadi investasi di masa depan. Biasanya kalau bekas ladang sudah terisi dengan tanaman karet sang pemilik akan memberitahukan kepada orang-orang penanaman untuk tidak menebas sembarangan sehingga regu penanaman tahu tanaman karet tersebut ada pemiliknya. Yang lebih rajin lagi tentu bekas ladang diisi berbagai jenis sayur seperti daun katuk, terong asam atau bahkan waluh. Kalau tidak teruruspun bisa menanaminya dengan singkong sehingga terkadang bekas ladang menghutan bertahun-tahun dengan singkong. Ada lagi yang bertanam nanas jadi orang perusahaan jelas tidak akan berbuat seenaknya saja dalam bekerja. Joni sendiri bulan ini hanya jadi tukang masak regu penanaman. Pekerjaan tukang masak membosankan dan terkadang malah lebih berat karena orang lain sudah istirahat di sore hari. Tukang masak bekerja pagi, siang bahkan sore hari karena memang harus tiga kali menyiapkan makanan. Keuntungannya bekerja jadi tukang masak badan tidak terpanggang sinar matahari. Pertengahan bulan sudah Joni jadi tukang masak. Hari-hari di dapur membuat Joni hafal benar selera orang-orang pondok kerja. Enaknya bekerja di pondok kerja di blok penanaman adalah dekat dengan ladang orang kampung. Setiap hari menu bisa berubah-ubah karena sayur bisa minta di ladang orang. Tapi jangan bayangkan sayur di Kalimantan sama dengan di Jawa. Yang ditemui Joni di ladang adalah sayur-sayur yang tidak lazim kalau dijual di pasar Jawa. Ada terong asam, ini jenis terong rasanya masam bisa dikuah atau dibakar dan diuleg dengan cabe menjadi sambal. Rasanya masam terkadang bikin ngilu di gigi. Joni saat kecil dulu sering melihat jenis terong asam ini sebagai terong hias karena buahnya bisa memiliki warna dari kuning, merah, hingga ungu. Ada buah rotan muda, diambil buahnya untuk membuat sayur asam. Soal rasa asam di Kalimantan tidak diperoleh dari buah asam tetapi dari buah belimbing wuluh dan daun kedondong. Bagi yang belum terbiasa dengan rasa asam buah belimbing wuluh dan daun kedondong bisa kaget. Yang sering Joni heran adalah buah nanas muda dijadikan sayur berkuah. Joni ingat buah nanas muda sering dijadikan obat oleh dukun untuk menggugurkan kandungan karena sangat asamnya. Terdengar suara mobil di luar pondok kerja, rupanya Jagau datang. Orang-orang belum kembali dari dalam hutan. Joni menghentikan pekerjaannya di dapur, ia segera menyambut kedatangan Jagau sopir rimbawan. “Hei Jon nih logistik pesanan Husen kami antar!” Jagau berteriak dari belakang kemudi, di matikannya mesin mobil dan segera turun menuju pondok. Joni segera ke belakang bak mobil mengambil logistik. “Yang mana Gau, ini banyak sekali barang-barangnya?” Joni bingung melihat sekian banyak barang logistik yang dibawa Jagau. “Lihati sendiri saja Jon yang ada tulisan spidol regu penanaman ambil saja,” Jagau menjelaskan barang mana saja yang harus diturunkan. Joni segera menyeleksi barang logistik berdasarkan regunya. Ternyata ada logistik regu lain yang belum diantar ke lokasi masing-masing. “Jon sudah dengan belum kabar si Bahar?” Jagau bertanya sekaligus memberi kabar. “Ada apa dengan Bahar Gau?” Joni balik bertanya mendengar teka-teki yang diperlihatkan Jagau. “Bahar minggat dari kegiatan pembebasan, kata orang sekarang malah di Kuala Kurun mengejar pacarnya si Mira,” Jagau menjelaskan. “Yang lebih ramai guru sekolah SMP tempat Mira bersekolah sudah tahu hubungan keduanya jadi kemungkinan malah mengeluarkan si Mira dari sekolahnya,” lanjutnya lagi. “Wah sudah sedemikian jauh hubungan keduanya,” Joni menanggapi penjelasan Jagau. “Ya sekarang keluarga Pak Mundai saja yang akan menyelesaikannya,” Jagau kembali membeberkan kabar yang terjadi. “Tapi itu urusan keluarga Pak Mundai yang jelas perusahaan mungkin juga akan mengeluarkan Bahar karena kelakuannya itu.” Sementara keduanya bercakap-cakap dari belakang pondok kerja terdengar orang-orang ramai pulang. Tentu itu Husen dan anak buahnya dari blok penanaman. Semuanya bergabung mendengarkan kabar dari Jagau, suasana pondok ramai sekali. “Kalau seperti itu hubungan antara Bahar dengan Mira, ya tinggal dikawinkan saja keduanya itu,” Husen akhirnya berkesimpulan demikian setelah mendengar penjelasan dari Jagau. Tapi untuk melangkah ke perkawinan bukan barang mudah. Berbagai perbedaan menghadang mereka seperti masalah agama dan adat. Orang-orang lain yang tidak mengalami kejadian akan suka-suka saja mendengar gosip seperti itu, bagi yang mengalaminya akan sangat tersiksa. “Ayo ikut aku ke km 25 mengantar sisa barang logistik ini ke pembebasan III,” Jagau mengajak Husen untuk menemaninya. “Baik sekalian nanti berkenalan dengan ketua regu yang orang baru dari Tumbang Nusa,” Husen yang diajak tidak menolak. Segera mereka berdua naik mobil menuju km 25 jalan Domas. Beberapa hari sudah berlalu, hari-hari mendekati akhir bulan orang-orang sudah mulai jenuh bekerja. Pikiran orang-orang melayang membayangkan senangnya di camp km 4. Hari bekerja di blok penanaman juga hampir selesai, orang-orang tinggal mencari hiburan. “Berapa hari lagi kita turun Sen?” Idrus bertanya kepada Husen. “Aku sudah bosan di hutan terus, rasanya sudah lama aku tidak main bola voli di camp.” “Ah kamu Drus bilangnya saja hendak main voli di camp, padahal yang dicari Mak Yanto di persemaian,” Husen tahu arti dibalik ucapan Idrus. “Tapi tak apa kita besok libur barang sehari, aku sendiri hendak turun ke camp km 4 untuk memberi tahu Jagau kapan mobil menjemput kita untuk turun dari hutan.” Sekian lama bekerja jelas orang-orang merasa tersiksa. Kalau diberi libur barang sehari tentu saja menyenangkan. Memang itulah yang ditunggu. “Huuu kalau kalian libur aku yang masak juga ikut-ikutan libur,” Joni protes kalau tetap bekerja jadi tukang masak yang sangat menyiksa, hari-hari hanya pegang panci, wajan dan serok. “Sen ini sarden mungkin masih banyak sisanya, kita ke Tumbang Alas saja barter dengan durian kampung,” Jumenim yang jarang bicara memberi usul. Sisa sarden mungkin ada setengah dus, orang-orang sudah bosan dengan makanan seperti itu. Tapi sarden tersisa bukan karena hemat, melainkan di blok penanaman mudah mendapatkan sayur sehingga gizi terpenuhi dari ladang tetangga. Dan orang-orang lebih memilih sayur yang membuat efek segar di badan dari pada mie instan dan makanan kalengan. “Oh silakan saja tetapi kalau ke Tumbang Alas hati-hatilah jangan sampai bertengkar dengan orang kampung, ingat kita di sini membawa nama perusahaan,” Husen membolehkan dengan syarat menjaga nama baik orang-orang perusahaan. “Tumbang Alas, wah aku ikut ke sana saja ah, lama kakiku tidak berjalan-jalan sampai kaku,” Joni antusias mendengar rencana anggota regu untuk ke Tumbang Alas. Ini kesempatan yang langka, berjalan-jalan ke kampung di dalam hutan tidak setiap waktu bisa dilakukan. Keadaan seperti itu sama saja dengan berwisata. “Tapi siapa yang jadi penunjuk jalan?” Joni bertanya kepada Juminem. “Bisa-bisa tersessat kita kalau tak tahu jalannya?” Lagi-lagi Joni bertanya kepada orang-orang regu penanaman. “Kalau soal Tumbang Alas yang paling sering ke sana itu dulu si Bahar,” Senip menjelaskan. “Kalau aku hanya sekali saja ke sana entah masih hafal atau tidak aku sendiri ragu,” tambahnya lagi. “Dari sini kita berjalan sekitar dua jam, itu yang membuatku bisa lupa jalannya.” “Tak apalah kita telusuri lagi jalannya, kalau sampai tersesat ya sudah kembali ke pondok kerja,” Johan yang membuat keputusan. Esok harinya benar-benar mereka menjalankan rencana untuk berjalan-jalan ke Tumbang Alas. Tidak semua ikut, Joni, Senip, Johan, Juminem dan Idrus serta Tohir. Yang lain lebih suka tinggal di pondok kerja untuk istirahat. Setelah sarapan mereka bergegas mempersiapkan diri. Tak lupa sarden diangkat dengan lanjung bergantian. Mula-mula mereka berjalan ke blok penanaman sekitar dua kilo, dari sana menurut Senip nanti menyusuri sungai menuju ke rumah orang kampung yang dikenal oleh Senip dan Bahar karena masih sekeluarga dengan Pak Mundai. Dari rumah orang kampung kemudian menyeberangi jembatan kayu menuju jalan setapak ke arah Tumbang Alas. Terus menysuri jalan setapak sudah tampak kebun-kebun karet milik orang kampung. Senip berjalan di depan matanya awas memperhatikan jalan mengingat-ingat jalan setapak yang pernah dilaluinya. “Itu dia rumah keluarga Pak Mundai,” Senip berhenti tangannya menunjuk rumah di depannya sekitar lima puluh meter. Hanya satu rumah tetapi terlihat cukup terawat. Berarti memang dihuni cukup lama. Rumah tersebut teduh karena tertutup rindangnya pohon-pohon besar mungkin buah manggis dan langsat. Berombongan mereka terus mendekati rumah panggung tersebut. Dari rumah panggung terlihat asap mengepul menunjukan penghuninya sedang ada kesibukan di dapur. Ternyata di depan rumah panggung sudah menunggu seorang yang sedang membelah kayu bakar. “Ooo Lek hendak ke kuweh ketun nanjung?” Seorang pemuda yang membelah kayu menyapa Senip yang dikenalnya. “Kami hendak nanjung ke Tumbang Alas, cuma rasanya aku sudah tidak hafal lagi jalannya,” Senip berkata minta petunjuk. “Tumbang Alas masih kejau, ketun harus menyeberangi sungai helo, haru setelah te susuri jalan setapak yang ada, tapi bara jalan setapak te sudah lebar jadi dia usah mikeh tersesat,” Orang tersebut menjelaskan arahnya. “Terima kasih Lek kami terus saja melanjutkan perjalanan,” Senip berkata kemudian mengajak rombongan menuju pinggir sungai yang ada jembatannya. Jembatan! Bah ternyata itu hanya satu batang kayu memanjang lima belas meter sebagai titian. Di bawahnya sungai lebar cukup dalam, sekali kehilangan keseimbangan resiko jatuh ke sungai jelas harus berenang. Joni memandang titian kayu panjang tersebut. Ia sangsi juga kalau bisa menyeberanginya. Orang lainpun berpikiran sama. Tapi sudah terlanjur, jelas harus maju pantang mundur. “Titian sekecil ini mana kuat untuk berombongan, terpaksa kita berjalan satu persatu,” Joni berkata sambil kakinya menginjak titian tersebut. Rasanya cukup kuat hanya saja kalau sampai di tengah rasanya bisa goyang. Mau apa lagi Joni akhirnya yang pertama menjejak langkahnya menyeberang. Perlahan berjalan agaknya terasa mampu juga. Jadi tidak terlalu bermasalah. Hati Joni lega sampai di seberang lebih dulu, setelah itu giliran Senip, Johan, Jumenim, Idrus dan Tohir. Ternyata semua lulus menyeberang jembatan tersebut. Setelah itu mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah ada. Cukup lebar sekitar dua meter dan sepertinya sudah sering dilewati orang. Jalannya pun cukup datar rindang tertutupi pohon karet yang sudah menghutan. Karet-karet tersebut terpelihara baik hanya saja tidak seragam besar kecilnya. Pohon-pohon yang sudah besar terlihat sudah ditoreh diambil getahnya. Dominasi karet menandakan kalau mereka sudah dekat dengan kampung. Tanahnya yang datar tidak berbukit menandakan di depan mereka terdapat sungai besar. Itulah Tumbang Alas, cabang dari sungai Menyangan yang bermuara di Kahayan Hulu. Jadi Tumbang Alas adalah hulu dari hulu sungai Kahayan. Paling udik rumah Pak Mundai yang jalur sungainya lebih kecil tak bisa disusuri dengan getek. “Kita sudah sampai!” Senip berteriak kegirangan. Perjalanan spekulasi tersebut akhirnya berhasil. Tentunya Senip yang was-was karena hanya dialah penunjuk jalannya yang tahu. Joni melihat sekelilingnya. Di depannya terpampang beberapa rumah panggung. Tidak banyak paling-paling sepuluh rumah panggung. “Sialan!!” Joni membatin, dalam bayangannya kampung Tumbang Alas itu besar seperti yang pernah diberitahukan mundai dan Maris. Ternyata itu cuma kampung kecil, bahkan biarpun rumah Pak Mundai sendirian di tepi jalan masih terlihat lebih ramai karena ada mobil yang lewat. Lagi pula kampung ini terlihat gelap karena tajuk tumbuhan karet dan buah-buahan menaungi sebagian besar rumah orang-orang kampung. “Apanya yang ramai di sini Nip?” Joni bertanya kepada Senip. “Ha ha ha ikau dibohongi Mundai sama Maris ya,” Senip ngakak melihat Joni yang ternganga melihat keadaan sekelilingnya. Yang agak ribut ternyata orang-orang kampung. Begitu melihat kedatangan rombongan orang-orang perusahaan. Mereka menyapa dengan bahasa Dayak menanyakan maksud kedatangan rombongan Joni tersebut. “Hendak menggau nare ketun?” Seorang penghuni rumah menyapa sambil melihat bawaan rombongan Joni. Senip yang jadi juru bicara akhirnya, “ Lek aku bawa sarden hendak barter dengan buah durian,” Senip berkata memberitahukan kedatangan mereka. “Wah durian te hinde masak Lek, kareh sebulan hinde pasti tege,” penghuni rumah yang masih muda memberitahu. Tangannya menunjuk arah pohon durian di seberang sungai. Wuuutt bukan main tingginya! Beberapa batang pohon durian tumbuh mengelilingi rumah orang-orang kampung. “Tapi kalau hendak barter bisa saja diganti dengan manuk,” Orang tersebut menawarkan jalan tengah. Manuk itu seekor ayam kampung, tawaran yang cukup sepadan. Di pondok kerja makan ayam jelas tak pernah karena tak mungkin ada logistik berupa daging. Sesekali makan ayam lebih baik dari pada makan sarden terus menerus. Akhirnya tawar menawarpun jadi. Ternyata setengah dus sarden sekitar 24 kaleng bisa dapat dua ekor ayam kampung. Di mana-mana ayam kampung badannya kecil tetapi kalau dimasak atau digoreng tetap gurihnya lebih mak nyus dari pada ayam ras. Kedatangan rombongan orang perusahaan jelas menarik perhatian orang kampung. Mereka menyambut biarpun hanya sekedar menyapa. Joni melihat sekeliling kampung, beberapa ekor babi terlihat melintas menandakan babi tersebut diumbar begitu saja mencari sisa-sisa makanan di tanah. Terlihat juga beberapa comberan air kotor tempat babi minum. Di rumah Pak Mundai memang terdapat babi tetapi keluarga tersebut memanfaatkan ceruk tanah bekas dorongan traktor untuk kandangnya. Menutupinya dengan membuat papan dari kayu. Jadi babi tidak bisa berkeliaran. Kalau di Tumbang Alas babi, ayam, anjing, dan kucing bahkan japun (mentok) berkeliaran bebas. Anjingpun seenaknya keluar masuk rumah orang dan terkadang datang menggonggong atau menjilati kaki Joni dan teman-temannya. Apa ramainya Tumbang Alas? “Tidak, tidak!” Joni berpikir ini bukan tempat ramai bahkan mungkin sebuah dunia lain yang terisolir. Diperhatikannya lagi sesaat Joni sadar, sungai itulah penyebabnya. Sungai cukup lebar bisa disusuri dengan getek bermesin. Terlihat di sungai tersebut terdapat lanting kayu untuk mencuci dan WC umum. Di beberapa tempat tertambat getek cukup besar bermesin kecil. Ya itulah sebabnya mereka mampu bertahan hidup di pedalaman. Mereka orang kampung menyusuri sungai dan mendirikan rumah untuk berladang. Lama-lama makin banyak yang datang turun temurun menjadi kampung. Ladang jelas menjadi mata pencaharian mereka untuk hidup sehari-hari. Apa tak ada yang lain sumber penghasilan mereka? Oh ada ya itulah karet. Gumpalan-gumpalan karet sebesar bantal dirakit di tepi sungai menunggu dihanyutkan ke hilir. Jika sudah banyak tentu bisa dijual sebagai tambang uang. Pantaslah tanaman karet menghutan di sekitar kampung menjadi perkebunan. Itulah inti kehidupan di Tumbang Alas. Bentuk lain sama seperti di manapun orang Dayak, berburu hewan di hutan atau menangkap ikan di sungai. Buah-buahan seperti durian, rambutan, cempedak, nangka atau langsat menjadi selingan saat musim. Tidak lupa harta ternak seperti babi, ayam bahkan anjingpun berguna sekali untuk berburu. Betul-betul khas Dayak dan belum tercampur budaya asing. Dari sungai terdengar suara mesin getek memekakan telinga, orang-orang menengok ke sungai melihat siapa yang datang. Tak lama kemudian naiklah beberapa orang membawa berbagai barang belanjaan dari getek. Oh itu pasti orang kampung yang datang dari hilir berbelanja berbagai keperluan. Orang yang barter sarden dengan ayam kampung menjelaskan. “Ewen te bara Kuala Kurun belanja je pasar lama, sekalian juga mengantar anaknya sekolah SD di Tumbang Tembira,” kata pemuda tersebut sembari menunjuk beberapa barang yang dibawa getek. Betul Joni lupa bagaiamana pendidikan di kampung tersebut. Tak ada sekolah, tidak mungkin anak-anak sekolah di kampung sekecil itu. Ternyata anak-anak kampung tersebut bersekolah SD di Tumbang Tembira di tepi Kahayan. Di sana ada sekolah dasar dengan siswa dari berbagai kampung seperti kampung Menyangan, Penda Pilang dan anak-anak Tumbang Tembira sendiri. Betapapun jauhnya mereka tetap mencoba menyekolahkan anaknya. Lulus tidak lulus tak masalah. Kalau ingin sekolah yang lebih tinggi harus di Kuala Kurun. Di sana ada SMP dan SMA. Sebagian besar anak-anak tak bersekolah, yang penting bagi mereka selama masih bisa berladang dan mencari ikan pasti bisa hidup. “Tumbang Alas te tege due lewu Lek, hulu dan hilir,” orang tersebut menjelaskan lagi saat Joni bertanya berapa banyak orang di Tumbang Alas. Berarti ini kampung di hulunya, di hilirnya terpisah lebih jauh ada lagi kampung sama seperti di sini. Tapi untuk mencapainya cukup jauh, anggap saja di hulunya ini satu RT maka di hilirnya satu RT lagi. “Nare tege pembekal je hitu Lek?” Joni bertanya kepada orang tersebut. “Oh dia tege Lek, Tumbang Alas masih gabung dengan Tumbang Menyangan,” terang orang kampung tersebut. “Jadi pembekal je Tumbang Menyangan,” Joni paham sekarang. Kampung tapi belum punya kepala desa. Untuk tata pemerintahan induknya di Tumbang Menyangan. Mungkin masih ada beberapa kampung seperti ini di berbagai anak sungai lainnya. Hanya saja Tumbang Alas jadi paling ramainya karena mendapat beberapa cabang sungai kecil tempat orang-orang hidup berladang. “Sekarang te yang beruntung keluarga Pak Mundai, ewen hidup tukep jalan perusahaan,” orang kampung tersebut menjelaskan. Jadi Pak Mundai mendapat keberuntungan dengan adanya perusahaan. Apa lagi ternyata PT JAP kemudian membuat blok penanaman di dekat rumah mereka. Benar-benar keuntungan berlipat buat Pak Mundai. Akses mereka sekarang lebih mudah ke segala tempat. Dan ternyata orang perusahaan sudah ada yang kecantol dengan anak gadis Pak Mundai yaitu Bahar. Beberapa lumpang penumbuk padi terlihat berserakan di beberapa tempat. Tidak mungkin membawa padi ke Kurun untuk digiling. Tak ada listrik jadi kalau malam gelap diterangi lampu minyak. Konon di Tumbang Tembira terdapat listrik tapi hanya untuk malam hari saja dari mesin genset oleh PLN cabang Kurun. Jangankan di Tumbang Alas yang terpencil, di Kuala Kurun pun listrik hanya hidup di malam hari. Hanya hari minggu saja listrik menyala di siang hari untuk berbagai hiburan termasuk menyalakan televisi. Dibandingkan perusahaan fasilitasnya jauh lebih memadai. Di camp produksi km 7 listrik hidup 24 jam untuk segala aktifitas. Perbaikan mesin logging, las, dan penerangan, jauh sekali perbandingannya. Mungkin yang tak bisa ditipu, kampung Tumbang Alas menjunjung tinggi adat dan budaya Dayak. Itulah yang membuat orang-orang perusahaan tetap tertarik mendatanginya. Rumah-rumah khas Dayak panggung di antaranya terdiri dari kayu ulin berukir motif Dayak. Kalau soal pakaian adat tak terlihat. Orang Dayak Ngaju ini sama dengan orang-orang kota kesehariannya. Memakai pakaian kaos modern, paling anak-anak kecil saja yang masih telanjang. “Aku ingin ke hilir, rasanya tanggung jalan-jalannya hanya sampai di hulu seperti ini,” Joni berkata mencoba mengajak teman serombongan ke hilir. “Kalau mau ke hilir kalian sajalah sendiri, aku sudah capek,” Idrus menolak. Dari tadi memang Idrus sudah terseok-seok jalannya karena tidak lincah berjalan. Mungkin juga karena tidak terbiasa jalan jauh. “Kalau begitu kamu tinggal saja di sini Drus, kami coba ke hilir,” Joni berkata dan terus berjalan ke hilir. Ternyata yang mereka temui jalan setapak cukup terbuka banyak padang singkong. Lumayan jauh sekira setengah kilo. Lagi-lagi untuk mencapai hilir terhalang sungai kecil dengan titian kayu sebagai jembatan. Orang-orang kampung jarang berjalan kaki seperti itu, untuk ke hilir biasanya naik getek dengan mendayung atau menyalakan mesin tempel. Jadi pantas jembatanpun tidak terlalu diperhatikan bangunannya serba darurat. Sama seperti di kampung hulu, kampung hilir ini cuma terdapat beberapa puluh rumah. Kondisinya sama persis, mungkin yang membedakan kelompok kampung ini masing-masing adalah kekerabatannya. Hulu dan hilir dipertautkan dengan kekerabatan yang dekat. Seorang anggota keluarga akan membangun rumah tidak terlalu jauh dengan orang tuanya. Di sini kelompok hunian ini dibuat demi keamanan (mungkin seperti sistem pertahanan primitif). Puas juga Joni dan teman-temannya jalan-jalan ke kampung terpencil ini. Rasanya capek akibat jalan jauh terbayar dengan barter dua ekor ayam kampung. Akhirnya tengah hari mereka pulang ke pondok kerja. Lagi-lagi menyusuri jalan setapak dan jembatan titian darurat. “Hei Drus kalau kamu tidak kuat jalan tinggal saja di kampung ini,” Senip tertawa melihat Idrus yang kepayahan berjalan. “Iya sekalian kawin dengan cewek Tumbang Alas, seumur hidup ditanggung kamu tak bisa pulang ke Bima,” Tohir ikut menggoda Idrus. “Sapi kamu Hir! Memangnya tempatmu di Dompu sana lebih baik dari Tumbang Alas,” Idrus keki digoda musuh bebuyutannya ini. Memang tempat Tohir di Dompu sana juga tak lebih baik dari Tumbang Alas. Tohir hidup di gunung tinggi dengan kampung yang terpencil. Konon rumah-rumahnya masih terbuat dari batu gunung yang beri atap ilalang. Tapi daerah Tohir terkenal pertaniannya yang menghasilkan sayur dan bawang putih. Sampai di pondok kerja semua sudah capek. Dua ekor ayam disembelih oleh anggota regu yang lain yang tinggal di pondok untuk lauk makan malam dan esok paginya. Dua bulan di regu penanaman sekali itu saja mereka makan dengan ayam. Esok harinya regu penanaman masuk hutan lagi. Tinggal menanam sisa bibit mumpung tanah masih basah terkena hujan sebelum musim kemarau. Joni masih jadi tukang masak. Sulit kalau sudah terlanjur orang menganggap tepat untuk bekerja di dapur. Joni mengakui banyak tidak enaknya menjadi tukang masak dari pada masuk hutan. Masuk hutan memang capek minta ampun, tetapi terbayar dengan istirahat siang hingga sore harinya. Sedangkan menjadi tukang masak pagi, siang, dan sore bekerja. Bangun harus paling pagi sendiri, jika sore masih berkutat di dapur. Baru malamnya bebas dengan bermimpi indah. Mendadak Tohir yang tadi berangkat berombongan menuju blok penanaman datang lagi ke pondok. “Loh Hir kok sudah pulang, memangnya kamu sakit?” Joni bertanya heran melihat Tohir tergesa-gesa masuk ke pondok. “Tidak aku tidak sakit kok, cuma tadi aku lupa sebelum berangkat kalau belum menyisir rambutku,” Tohir berkata tangannya meraih alat musik gambus yang ternyata terdapat cermin kecil terpasang di gagang kecapi antiknya itu. Joni tertegun dalam hatinya tertawa melihat apa yang dilakukan Tohir. “Oh begitu,” hanya itu saja Joni berkementar. Dalam hatinya Joni berkata, “Ini yang dibilang Idrus kalau Tohir suka bersolek seperti banci.” Merasa sudah selesai dengan hajatnya Tohir segera berlari mengejar rombongan orang yang sudah meninggalkannya untuk bekerja. Ada-ada saja! BAB 5 Berkenalan dengan Lingkungan Baru “Jon ada cewek baru di persemaian,” Johan berkata kepada Joni. Perempuan? Entah kenapa makhluk yang satu ini selalu menarik perhatian. Hari-hari di hutan pembicaraan selalu berkaitan dengan perempuan. “Siapa, Desi istri Sahrun?” Joni bertanya kepada Johan. Desi ini juga baru sebulan tinggal di camp km 4. Tapi semua orang tahu latar belakangnya. Desi biarpun Joni belum kenal tapi sudah mendengar kabarnya yang konon diperistri Sahrun dari tempat lokalisasi. Sebenarnya bagi Joni Desi termasuk menarik, tubuhnya tinggi ramping dengan wajah cantik. Sedikit kekurangannya giginya ada yang tanggal alias pongah. Tapi tetap menarik bagi lelaki. Hanya saja gaya bicaranya sangat lepas tak terkontrol bawaan dari lokalisasi. Apa lagi saat tertawa bukan main mengikik membuat gairah berahi lelaki naik. Tak heran akhirnya bisa menggaet Sahrun yang notabene lelaki kesepian. Jauh dari kampung coba-coba cari pengalaman. Akhirnya terpikat penghuni lokalisasi di seberang Kuala Kurun. Padahal jejak prestasi Sahrun yang asisten penanaman ini cukup hebat. Konon di kampungnya sana ia termasuk jago croser (balap motor). Croser terkenal dari Lombok adalah Joni Pranata. Sekolahnya dari Universitas Mataram jurusan D3 Pertanian. Sempat bekerja di HPH di provinsinya di pulau Sumbawa Besar. Karena kariernya tak berkembang kemudian merantau ke Kalimantan. Ternyata di mana-mana lelaki itu kelemahannya satu, bertekuk lutut menghadapi perempuan. Tak peduli itu seorang pelacur sekalipun. “Bukan ini cewek baru adik ipar Pak Jali,” Johan memberitahu Joni. “Ayo kita bermain ke persemaian untuk kenalan dengan cewek baru itu,” Johan mengajak Joni ke persemaian. “Memangnya kamu sudah kenal dengannya Han?” Joni bertanya berjalan bersama Johan menuju persemaian di belakang camp. Tidak jauh hanya seratus meter sampai. Lahan persemaian sekitar satu hektar. Yang bekerja ibu-ibu rumah tangga karyawan, anak-anak ibu dapur dan dua orang karyawan lelaki Tobing dan Imanuel. Asistennya Mario orang Jawa Samarinda. Sekitar beberapa ratus meter dari persemaian terdapat green house dan kebun bibit stek pucuk. Yang mengurusi Hambali dan Mardi. Itulah penghuni camp km 4 sehari-hari. Di tengah-tengah lahan persemaian terdapat pondok permanen, bentuknya panggung rendah untuk gudang pupuk, polibag tanaman, dan alat-alat persemaian seperti cangkul, gunting pangkas dll. Bedengan polibag dibatasi dengan papan kayu berisi ribuan polibag. Ada yang ditanami dan ada yang baru diisi. Kegiatan utama di pondok kerja persemaian biasanya mengisi polibag dengan media campuran tanah dan pupuk. Nah itu tugas ibu-ibu dan perempuan persemaian. Kegiatan persemaian dilakukan setelah sarapan pagi di dapur umum. Tanda mulai bekerja terdengar bel berbunyi dari lempeng besi yang dipukul oleh satpam di pos jaga. Bagi orang-orang survey camp adalah tempat istirahat dan mencari hiburan. Ada lapangan tanah untuk bermain sepak bola biarpun tidak luas. Di belakang lapangan kecil tersebut mess Kabag dan Asisten Pembinaan merupakan bagian yang paling bagusnya, setelah itu di pinggir mess terdapat masjid kecil. Terdengar suara perempuan ngobrol cukup ramai. Itu tentu suara ibu-ibu yang sedang bekerja di pondok kerja. Joni dan Johan menuju ke sumber suara tersebut. Ternyata sudah berkumpul banyak orang survey di pondok kerja. Mereka datang ke sana untuk cari hiburan ngobrol dengan ibu-ibu. Kadang-kadang pura-pura ikut membantu, terkadang usil menggoda istri orang. Tapi di persemaian sekarang ada seorang perempuan baru yang dimaksud Johan. Siapa namanya? Setelah Joni dan Johan bergabung ngobrol dengan orang-orang persemaian, barulah Joni tahu namanya Ipah. Gadis Dayak berambut lurus berkulit putih mata sipit seperti Cina dengan tinggi tidak seberapa. Dan si Ipah jelas jadi bahan godaan lelaki camp. Terlihat ada Boy, Gugun, Dian, dan beberapa orang Lombok. Malah terlihat ada juga orang bagian bina desa ikut bergabung. “Wah lihat ada lagi orang datang bergabung dengan kita,” Tobing berkata saat melihat Joni berdua dengan Johan mendekat. “Kebetulan nih pekerjaan bisa cepat selesai kalau seperti ini, banyak yang membantu,” Tobing langsung menyodorkan polibag kosong untuk diisi. “Tapi awas jangan mengganggu cewek punyaku di sini ya!” Tobing mengancam. Joni dan Johan nyengir mendengar ancaman Tobing, “Ela kelutek Lek, aku te ke hitu hendak tureh ketun begawai sudah selesai apa belum,” Johan menangkis ancaman tobing dengan berlagak seperti atasan yang hendak memeriksa pekerjaan anak buahnya. “Johan bergaya Bos, ikau te perlu sekolah helo,” seorang ibu balas meledek Johan. Joni tidak berkata apa-apa sekilas ia melihat lirikan mata sipit si Ipah. Sepertinya Ipah merasa asing terhadap Joni. Joni coba mendekat ke Gugun yang sedang ngobrol dengan ibu lain. Gugun langsung menggamit tangan Joni dan berbisik ke telinga, “Bulan ini aku belum bisa bayar hutang Jon, bulan depan lagi ya,” ternyata cuma itu yang dibisikan. Joni cuma manggut-manggut saja mengiyakan. “Bulan ini aku malah tidak ikut survey,” Joni menjelaskan masalahnya. “Aku dimasukan ke regu terasering di log pond entah pekerjaan apa itu?” “Setahuku kegiatan terasering itu bagian baru, asistennya teman Husen si Saiful Bahri,” Gugun berkata melihat kebingungan Joni. “Itu masuk program lingkungan, baru diadakan sekarang mungkin,” lanjutnya lagi. “Kerja sih kerja cuma kalau kerja di log pond jelas boros Gun,” Joni menyatakan kekesalannya. Dibayangkannya kerja di log pond makan di kantin nanti dipotong upahnya. Berbeda jika ikut survey, logistik tersedia sehingga upah sisa bisa utuh. “Tapi nyaman loh Jon, kamu bisa dolan ke tempat Pak Nardi,” Gugun berkata seolah-olah menggoda Joni. Ya itu salah satu tempat karaoke berisi lonte. “Bisa pula setiap hari menyeberang ke Kurun mencari cewek.” Uuuts betul juga, buat apa mikir uang yang penting banyak senangnya. Pembagian regu kerja sudah ada, nama Joni terpampang jelas masuk kegiatan terasering bersama anggota satpam atau satgas. Ketua regunya Saiful Bahri yang diangkat jadi asisten lingkungan. Yang bikin Joni mengerutkan keningnya di regu tersebut hanya Joni seorang yang berasal dari orang survey. Lainnya adalah satgas alias satpam. Joni bingung juga dengan keadaannya yang luntang-lantung seperti ini. Sudah jadi ketua regu perapihan, lanjut jadi anak buah penanaman, sekarang malah di bagian terasering yang merupakan departemen baru. Awal tahun bekerja di perusahaan Joni merasakan cukup lama sebagai orang survey. Jadi loncat-loncat ke bagian lain malah baru tahun kedua ini. “Bagaimana dengan ketua regu perapihan Gun, orang baru itu bisa nggak menyelesaikan satu petak?” Joni bertanya tentang ketua regu yang melanjutkan pekerjaannya di perapihan. Gugun tertawa saja, “Malah enak ikut dia dari pada kalau kamu jadi ketua regu Jon.” “Enak apanya?” Joni bertanya membayangkan kerja di perapihan yang berat. “Enak malasnya,” jawab Gugun penuh misteri. Joni tertegun ia susah menafsirkan kata-kata Gugun barusan. Kemudian dilihatnya si Ipah yang memunggunginya agak jauh karena sedang mengisi polibag dengan media. Timbul sifat usilnya, diambilnya batu kecil dan ditimpuknya ke arah Ipah. Tepat kena punggung, Ipah menengok ke belakang melotot matanya setelah tahu siapa yang menimpuk. “Ikau Lek yang melempar batu tadi!” Matanya itu aduh bagus sekali. Tegurannya yang agak keras disusul rasa marah dan kaget cuma terlihat tidak tersinggung. “Iya aku gak sengaja kok,” Joni mengaku tapi pura-pura menimpuk tuduhan. “Awas sekali lagi aku dilempar kubalas kareh!” Ipah mengancam. “Ayo Joni mulai godain cewek ya?” Seorang ibu menegur tapi tidak memarahinya, memang cuma menggoda apa salahnya. Ternyata setelah itu orang-orang ikut juga menggoda Ipah menimpuknya dengan batu kecil cukup banyak. Ipah yang kelabakan tidak mampu membalasnya, akhirnya lari menghindar. Ramai orang-orang menggoda perempuan yang ada di persemaian. “Hei sini cepat air minumnya!” Gugun berteriak saat Imanuel datang dari dapur umum membawa seceret air minum. Itu jatah minum orang-orang persemaian setiap hari. “Sialan jadi kamu pura-pura rajin membantu di sini yang ditunggu cuma minuman kopi toh Gun!” Imanuel sengit juga setelah tahu kedatangan Gugun ke persemaian hanya untuk mencari kesempatan. “He he he dapat minum gratis lumayan,” Gugun senang dan langsung menuang air panas ke dalam gelas yang sudah diisi gula dan kopi jatah orang-orang persemaian. Segera orang-orang yang berkumpul mengerubuti Imanuel yang membagikan air minum. Sudah tengah hari tinggal menunggu tanda suara bel berdentang dipukul satpam. Mereka duduk menanti sambil memberesi peralatan dan membersihkan tangan dan kaki dari air drum yang tersedia di persemaian. Suasana ramai seperti pasar tapi di tengah rimbunnya pohon-pohon besar tidak ditebang. Tanah di sekelilingnya dibersihkan dari tegakan kecil dan semak belukar untuk ditempatkan papan-papan kayu berbentuk kotak sebagai pembatas. Setiap bedengan terlihat berukuran 2x6 m. Di dalam kotak yang digeletakan di tanah tersebut kemudian disusun polibag berisi media tanam. Ada beberapa bedeng diberi patok untuk mendirikan jaring penaung. Biasanya bedeng yang diberi jaring penaung untuk menanam bibit meranti. Pohon meranti sesuai dengan habitat aslinya saat masih semai hidup dengan sedikit cahaya. Jika terkena cahaya matahari langsung tidak tahan jadi di dalam persemaian meranti diperlakukan tersendiri. Ini berbeda dengan bibit sungkai yang mudah ditanam stek. Apalagi bibit karet bisa langsung saja ditanam bisa tumbuh. Bibit lain yaitu akasia berasal dari biji dicari di tepi jalan camp yang sudah rindang. Tanaman akasia paling tahan panas dan dianggap sebagai tanaman perintis di lahan tanah asam. Konon akasia bukan tanaman asli Kalimantan, habitat aslinya di tanah gersang bahkan daerah gurun. Beberapa jenis buah ditanam berasal dari biji seperti durian, nangka dan cempedak untuk penanaman hutan cadangan pangan. Kegiatan persemaian bubar begitu terdengar bel berbunyi, semua orang segera kembali ke mess untuk makan siang. Setelah semua orang pulang ke mess hanya tinggal Joni dan Gugun berdua saja. “Aku sendiri bersama Junaedi dipindah ke pembebasan,” Gugun berkata kepada Joni. “Tampaknya orang baru tersebut pilih-pilih anak buah sesuai seleranya sendiri.” “Bagaimana Tobias mengatur orang seperti itu, datang langsung mengambil bagiannya sendiri dan mutlak dikuasainya?” Joni berkata sendiri. “Harusnya bagian pembebasan dan perapihan diatur oleh Tobias bukan langsung dikangkanginya sendiri seperti itu.” “Aku sendiri tidak tahu Jon, sepertinya pengaruh orang baru tersebut memang besar,” Gugun menjelaskan. “Orang-orang lama di perusahaan ini jadi tersingkir semua,” tambahnya lagi. “Kita bisa apa lagi, rasanya kita jadi kelompok orang-orang yang terpinggirkan oleh sistem,” Joni mencoba menganalisa, rasanya tak enak menjadi orang yang hanya ditekan oleh atasan. Orang lama seperti Joni, Gugun, Junaedi dan beberapa orang lainnya tadinya sudah mulai mendapat kepercayaan untuk mengetuai sebuah regu berdasarkan musyawarah Kabag dan Asisten, semuanya sekarang berantakan. Orang-orang baru tersebut gantian yang menduduki jatah mereka. Kalau orang seperti Husen, Saiful Bahri itu lebih senior dan mereka juga lebih dulu menjadi asisten jadi orang-orang survey tak mempermasalahkan. Itu sudah hak mereka, saat ini saja orang seperti Husen belum mendapatkan jabatan apa-apa, hanya diperbantukan di bagian penanaman. Kedatangan orang-orang baru pindahan langsung menggeser orang lama dengan kedudukan di bawah orang-orang seperti Husen, Saiful Bahri, Sahrun dan Tobias. Hanya soal kekuasaan mereka seperti tak bisa diganggu gugat, tak ada yang berani menyinggungnya. “Sudahlah kita makan dulu di dapur, kalau terlalu lama bisa-bisa kita kehabisan nasi,” Joni mengajak Gugun untuk kembali ke mess sekalian makan siang. “Ayolah tapi rokokmu masih ada kan, punyaku sudah habis dari kemarin,” Gugun langsung tancap minta bagian. “Ambil saja tuh sebungkus lumayan buat sehari besok,” Joni ikhlas saja memberikan. Joni sendiri merokok tetapi tidak sampai kecanduan. “He he he kau baik deh Jon,” Gugun memuji. Mereka berjalan melewati mess rumah tangga. Satu dua rumah di dalamnya terlihat mengepul asap tanda ada aktifitas memasak. Saat terakhir itulah rumah Pak Jali, pintu belakangnya terbuka membuat orang bisa melongok ke dalam. “Aduh Ipah tega benar ikau membiarkan kami kelaparan di luar,” Gugun menggoda Ipah yang teernyata sedang mencuci piring di ruang belakang. “Hendak ke kuweh ketun?” Ipah malah bertanya. Senyumnya mengembang melihat Joni dan Gugun yang baru dikenalnya di persemaian tadi pagi. “Kami hendak ke dapur buat makan,” Joni menjawab dan memandang gadis kecil di depannya sayang terhalang daun pintu. “Hendak kuman wah sayang nasi jadi lepah tinggal sisa jawau rebus, hendak dia ketun?” Sedikit malu Ipah menawarkan sesuatu. “Dia usah Pah kami hendak makan di dapur saja, maaf ya bikin repot ikau,” Joni menolak dengan dalih. “Nanti saja Pah terima kasih ya,” Gugun pun menolak halus. Mereka segera berlalu dan langsung menuju dapur umum lewat pintu belakang. Di dalam dapur umum tinggal sisa beberapa orang yang masih makan siang. Joni dan Gugun segera bergabung mengambil nasi dan sayur. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan orang-orang di dalam dapur semua bubar kembali ke mess masing-masing. Joni merasa lelah mencoba untuk tidur, tapi bayangan seraut wajah gadis kecil malah nempel di matanya. Wah ada apa gerang? Joni tak tahu tapi juga menikmatinya. Karena tak dapat tidur juga Joni akhirnya bangkit dan menghampiri lemari pribadinya. Dibukanya pintu lemari yang terkunci dan diambilnya buku tabungan Simpeda BPD Kuala Kurun. Di dalam buku rekening tersebut tercatat saldo tabungan satu juta lima ratus ribu, cukup besar jumlahnya. Joni punya rencana pulang kampung, sudah tiga tahun ia merantau di Kalimantan. Baru bisa mengumpulkan uang setelah bekerja di perusahaan ini. Dibandingkan dengan teman-temannya Joni termasuk bisa menghemat uang. Orang lain begitu terima upah bisa terpotong berbagai macam tagihan. Tapi karena berhemat uang penampilan Joni jadi seadanya. Pakaian dan kaos miliknya banyak yang sudah lusuh, hanya saja karena dipakai di camp jadi tidak terlalu bermasalah. Paling-paling kalau turun ke Kuala Kurun saja Joni memakai pakaian yang cukup pantas. Itupun kemana-mana tetap pakai sandal jepit, ada memang punya sepatu tapi juga barang lama. Benar Joni belum turun ke Kuala Kurun. Ada beberapa barang yang hendak dibelinya. Nanti saja setelah mendapat upah, ah rasanya tak perlu. Bulan ini Joni ikut kegiatan terasering di km satu dan log pond. Bisa setiap hari menyeberang ke Kuala Kurun dengan getek orang kampung atau sesekali ikut kapal perusahaan. Mendengar kata terasering Joni tidak asing. Tapi kegiatan ini jelas berbeda dengan kegiatan sebelumnya. Tujuan kegiatan ini dasarnya pada medan atau kontur tanah. Belum ada bayangan apa-apa Joni terhadap kegiatan terasering, lagi pula ia hanya anak buah. Tanggung jawabnya tidak sampai ke urusan laporan kegiatan bulanan. Kegiatan terasering mulai, Camp sudah sunyi kembali. Orang-orang survey sudah ke hutan di lokasi masing-masing. Joni masih di camp km 4. Kegiatan terasering memang sudah mulai tapi terkendala mobil rimbawan rusak setelah mengangkut orang-orang survey ke hutan. Sebenarnya mudah saja turun ke log pond. Setiap hari ada saja mobil atau dump truk yang menuju log pond. Mobil-mobil itu untuk kegiatan produksi dan bengkel jelas tidak akan mengambil bagian di pembinaan. Satu-satunya mobil fasilitas ya mobil bak terbuka yang asalnya sudah tua, itulah andalan rimbawan dengan sopirnya si Jagau. “He he he lihat ada orang tersesat di mess,” Tobing meledek Joni yang sendirian ditinggal teman-temannya. “Nanti sore kita sepak bola Jon, kamu ikutlah dari pada nganggur tidak karuan sepeti itu,” Tobing mengajak bermain bola di lapangan setiap sore. Saat orang-orang survey masih di camp suasana ramai. Lapangan volley dan meja tenis tak pernah sepi dari orang bermain. Begitu juga lapangan kecil untuk bermain sepak bola penuh pemain bola dan penonton. Hanya saja jumlah pemain jadi bukan kesebelasan lagi. Saking banyaknya yang bermain bola jumlahnya bisa tiga puluh orang. Tak apa yang penting senang. Sekarang setelah orang-orang survey masuk hutan, pemain bola tinggal orang-orang camp saja. Satpam berjumlah delapan orang, Tobing, Imanuel, Mardi dan Hambali ditambah orang-orang bina desa. Tidak semua orang suka sepak bola. Orang-orang seperti Kabag, Asisten tak pernah ikut bermain bola. Menontonpun tidak pernah. Sekarang pemain bola yang ada tinggal berberapa orang. Lapangan tidak penuh mungkin asyik bermain bola. Itulah kegiatan sore di camp km 4. Ternyata setelah dibagi dua tim masing-masing hanya berjumlah enam orang. Satu orang jadi kiper lima orang pemain. Gawang dari balok kayu ditancapkan di tanah. Segera saja mereka bermain. Orang-orang seperti Tobing, Imanuel, Mardi dan Hambali hari-harinya bermain bola. Mereka jelas lincah, Joni yang mati kutu menghadapi kelincahan mereka. Merebut bola dan menendangnya Joni kurang bisa. Sering orang-orang memberi bola kepadanya tetapi sangat mudah direbut. Joni benar-benar kewalahan menghadapi keadaan ini. Apa daya dari pada diam saja di camp lebih baik bermain bola biarpun hanya menjadi bulan-bulanan orang. Beberapa kali kakinya ditekel Imanuel yang kapten kesebelasan lawannya. Tak ada wasit jadi tak pernah ada pelanggaran, kalau Joni terjatuh malah disoraki penonton yang kebanyakan ibu-ibu dan karyawan-karyawan persemaian. Tobing yang jadi kiper menyemangati Joni, “Ayo Jon jangan kalah dengan Imanuel!” Joni mengumpat dalam hati, “Bagaimana bisa mengalahkan Imanuel dari badan saja ukurannya sudah kalah, dasar sialan!” Orang-orang seperti Imanuel dan teman-temannya ini jelas sudah biasa main bola. Setiap hari lawan-lawannya itu juga. Jadi dengan masuknya Joni mereka punya kesempatan mempermainkan orang baru. Yang paling menyebalkan Joni kalau bermain sepak bola adalah benturan antar kaki yang sering membuat cedera. Kalau lagi main bola memang tidak terasa tetapi kalau sudah selesai, Wahhh!!! Sakitnya minta ampun. Imanuel yang orang Timor Timur memang sudah dari sananya berbadan tinggi. Bodinya sudah terlihat seperti atlet. Orang-orang Timor ada di setiap perusahaan. Mereka mendapat kesempatan untuk ditempatkan bekerja di seluruh wilayah Indonesia dengan prioritas utama gara-gara integrasi wilayah. Beberapa kali sudah gawang kebobolan gara-gara timnya kurang solid. Kadang-kadang Joni salah mengoper bola yang yang langsung disambar lawannya. Jadinya teman-temannya yang lain ribut mencoba merebutnya lagi. “Ayo Jon oper ke arahku nanti kubawa ke depan!” Mardi gemas juga melihat kelambanan Joni. “Huuu boro-boro ngoper bola ke arahmu aku saja bingung yang mana teman mana lawan,” Joni terengah-engah menjawab kata-kata Mardi. “Ela kelutek Jon kareh ikau jadi terbiasa pasti mahir main bola,” Mardi berkata menyemangati Joni. Tentunya mereka maklum dengan orang-orang seperti Joni yang tidak tahu menahu permainan masing-masing. Jadinya hanya Joni yang kelabakan karena tidak mampu mengatur irama permainan bola. Menjelang maghrib barulah permainan berhenti, Joni terduduk di tepi lapangan kelelahan. Dilihatnya kakinya yang membiru nanti malam mungkin baru terasa sakitnya. “Huuu tahu kayak gini main bola mending masuk hutan,” dalam hatinya Joni bicara sendiri. “Di camp km 4 makan di dapur pun tidak gratis, akhir bulan akan dipotong setiap piringnya.” Tobing cuma tersenyum-senyum saja saat Joni melangkah dengan menyeret kaki kesakitan. Setelah mandi dan makan malam Joni menolak ajakan Tobing untuk menonton televisi. “Aku mau tidur saja, badanku capek sekali,” Joni beralasan. “Alah baru main bola sekali saja sudah kapok kau Jon,” Tobing berkata memaklumi keadaan Joni. “Sering-seringlah bermain dengan kami nanti pasti kamu bisa,” tambahnya lagi. Joni tak menanggapi kakinya terus saja melangkah ke kamar mess bujangan yang sudah sepi. Orang-orang camp seperti Tobing, Imanuel, Hambali dan Mardi kamarnya di atas bergabung dengan kamar Kabag dan Asisten. Malam semakin larut lamat-lamat Joni mendengar suara mesin genset dimatikan, gelap gulita. Mungkin sudah jam sebelas malam. Mess-mess rumah tangga sudah sepi tak ada orang keluar kamar. Setelah itu tak mendengar apa-apa tidur nyenyak. Pagi-pagi pintu kamar digedor seseorang,” Jon bangun...sudah siang nih!” Itu suara Saiful Bahri. Dengan mata masih mengantuk Joni bangun dan membukakan pintu. “Ah siang apa hari masih subuh dibilang siang,” Joni menyumpahi Saiful Bahri. “Ya deh nanti setelah sarapan kamu siap-siap saja ikut reguku di log pond,” Saiful Bahri memberitahu. “Untuk sementara kegiatan terasering belum final, proposalnya belum turun dari Banjarmasin, jadi untuk sementara kamu diperbantukan di bagian kantor yang baru.” “Oh begitu jadi kegiatan terasering ini belum kelar toh ful?” Joni bertanya. “Belum aku sendiri juga belum jelas seluruh kegiatan lingkungan itu apa saja,” Saiful Bahri menerangkan. “Yang baru bisa kegiatan terasering ini, hanya saja manager camp meminta kita membuat terasering di belakang kantor,” Saiful menjelaskan perkaranya. Setelah itu Saiful Bahri pergi meninggalkan Joni. Ya sudah setelah sarapan Joni mempersiapkan diri. Tobing dan Imanuel hanya tertawa ketika melihat Joni meninggalkan dapur dengan kaki terpincang. Log pond PT Johanes Arnorld Pissy, Dua hari sudah di kegiatan terasering. Terasering apa!! Ternyata Joni dan orang-orang satgas diperbantukan di bagian kantor yang belum selesai. Hari-hari bekerjapun tidak diperintah oleh Saiful Bahri tapi malah diketuai tukang kayu pemborong bangunan. Pekerjaan mengecat dinding kayu kantor yang megah. Urusan makan setiap hari menuju dapur umum log pond cukup jauh, harus melewati tumpukan kayu gelondongan sekira empat ratus meter. Temannya yang satgas delapan orang, Dodo, Ramlan, Ucok, Pak Sandi dll. Bekerja dari pagi hingga sore mengikuti jam kerja orang-orang log pond. “Ful ini sih bukan terasering, kita ini malah jadi kuli tukang,” Joni protes kepada Saiful Bahri setelah melihat pekerjaannya dua hari ini. “Sebenarnya rencanaku hendak membuat terasering di tebing belakang itu, tapi ternyata manager camp malah menyuruhku memperbantukan kalian di kantor jadinya aku tak berdaya.” Saiful sendiri jadi bingung melihat bagian pekerjaannya menjadi tak karuan karena campur tangan atasan, “Manager camp mencoba memanfaatkan pengaruhnya untuk lebih cepat menyelesaikan bangunan kantor dari pada kegiatan baru yang baru percobaan ini,” saiful menerangkan keadaan. “Tahu kita belum mengerti kegiatan terasering langsung saja manager camp membuat insruksi aga orang-orang terasering ditarik ke bangunan kantor.” Beberapa hari pekerjaan tak juga selesai, malah instruksi dari atasan mengharuskan mereka mengikuti perintah tukang kayu pemborong. Nota bene pemborong ini biarpun langganan perusahaan tetapi bukan karyawan. Saiful mengeluh, “Wah kalau seperti ini terus aku yang sulit membuat laporan kegiatanku,” katanya bingung. “Harus bagaimana lagi Ful rasanya aku malah tersiksa bekerja seperti ini,” Ramlan mencoba menyatakan kekesalannya. Joni pasrah bekerja apa saja menuruti keinginan tukang kayu. Seperti hari itu saja seharian ia bekerja memindahkan balok dan papan kayu dari truck ke dekat kantor. Kadang-kadang malah tukang kayu memerintahkan menyapu bagian kantor dari bekas-bekas serpihan kayu berupa potongan dan mengumpulkannya untuk dibakar. Saiful Bahri merasakan juga kalau sebenarnya mereka bukan bagian dari pekerja bangunan. Terpaksa ia menghadap manager camp, mencoba menjelaskan masalahnya. “Itu terserah kamu saja kalau di log pond ini semua orang bekerja atas dasar instruksi dari saya,” diplomatis manager camp menjawab. Saiful Bahri jadi berpikir ulang, rasanya sulit membantah ucapan managernya ini. “Rencana saya itu hendak membuat terasering di tebing sungai bawah kantor Pak, bukan membantu pekerja bangunan,” Saiful Bahri mencoba berkilah. “Ful saya tidak peduli urusan terasering. Itu bagianmu kalau kamu punya rencana segera saja dilaksanakan. Bagi saya orang-orang yang berada di sini bekerja sesuai kapasitasnya,” lagi-lagi manager camp menjelaskan. Sulit, sulit menghadapi atasan. Mereka punya rencana menyesuaikan dengan tujuan keuntungannya sendiri-sendiri. Hendak membantah bisa-bisa dianggap melawan atasan. Rupanya keadaan ini menjadi terkatung-katung. Bos tukang kayupun sudah memerintahkan berbagai pekerjaan untuk bangunan kantor. Joni malah merasa tukang kayu inilah bosnya bukan si Saiful Bahri. “Jon mendingan kamu ikut aku saja, nanti kamu kebagian mengecat dinding di dalam kantor,” Tukang kayu tersebut malah menawari Joni. “Kalau kamu ikut aku nanti tinggal di mess log pond tak usahlah kamu masuk hutan.” Joni bingung mendapat tawaran seperti itu. Ini sih sudah mulai sabot menyabot tenaga kerja. Makanya Joni segera menghubungi Saiful Bahri atas tawaran dari tukang kayu tersebut saat istirahat. “Ful kita pindah lokasi saja kalau di sini terus bisa berantakan kegiatanmu tahu!” Joni menceritakan kepada Saiful Bahri. “Maksudmu bagaimana pindah lokasi ke mana?” Saiful Bahri bertanya. “Kita bikin pondok kerja saja di luar log pond ini jadi tidak bercampur dengan anak buah tukang kayu itu,” Joni mencoba menyampaikan maksudnya. “Benar Ful kalau pindah lokasi kan kita tidak mengikuti jam kerja orang log pond,” Ramlan mendukung gagasan Joni. “Baiklah di km satu nanti kita bikin pondok di pinggir danau,” Saiful Bahri akhirnya berpikir ada benarnya juga pindah lokasi dari pada berbantahan dengan manager camp. “Cuma nanti aku ke km 4 dulu meminjam terpal dan membuat bon logistik untuk kegiatan kita.” Terpecahkan sudah masalahnya, pindah lokasi dan juga memindahkan kegiatan terasering ke tebing pinggir jalan Domas Raya dekat log pond yang strategis. Dari lokasi tersebut nantinya terasering bisa menjadi percontohan atau kunjungan tamu perusahaan yang akan menunjukan letak kegiatan terasering perusahaan. Kalau tebing belakang kantor biarkan sajalah itu bagian manager camp. Akhirnya hari kesepuluh mereka pindah ke telaga km satu simpang log pond Domas raya dan Log pond PT JAP. Rencanapun diubah mengerjakan terasering di tepi jalan perusahaan. Tentunya dari tempat tersebut akan terlihat oleh setiap orang yang lewat. Telaga? Dulunya telaga itu kecil saja. Setelah perusahaan membuat jalan angkutan kayu sungai dari telaga kecil dibuat jembatan. Gelondongan kayu dibenamkan lama-lama membuat sungai kecil itu menjadi bendungan. Naiklah debit airnya hingga menggenangi perbukitan sekitarnya. Danaupun meluas menjadi sekitar tiga hektar. Bekas-bekas tunggul kayu masih ada menunjukan dulunya bekas pohon-pohon hidup. Yang jelas ikan-ikan di danau itu sudah sulit dipancing. Ikan-ikan tersebut cepat curiga akan kedatangan manusia. Perbukitan di sekitar danau sudah ditanam akasi. Tingginya sudah 6-7 meter, sayang tidak merata hingga sebagian gersang. Siang hari panasnya minta ampun, di sinilah pondok kerja dibuat. “Kayu bakarnya yang sulit adanya kayu-kayu kecil seperti ini,” Joni bicara sendiri sambil memperlihatkan kayu-kayu yang ditebangnya. Dijemurnya kayu-kayu tersebut untuk mempercepat kering agar segera bisa digunakan. Enaknya di telaga ini sudah terdapat tunggul kayu yang diberi papan untuk keperluan sehari-hari. Bahkan untuk berenangpun telaga ini cukup memadai. Seharian membuat pondok kerja cukup melelahkan. Tapi bagi Joni malah agak lega tinggal di tepi danau. Rupanya di log pond sekitar sepuluh hari ia seperti diperas tanaganya saja. Lagi pula tidak bisa santai karena jadwal kerja mengikuti jam kantor dan sepertinya diawasi oleh atasan-atasan kantor. “Tahu seperti ini mendingan dari hari pertama saja bikin pondok di tepi danau,” Joni berkata setelah mandi sore. Setelah badannya dikeringkan dengan handuk dan mengenakan pakaian ia merebahkan tubuhnya di palbet. Terasa nyaman tak ada yang mengawasi. Hari sudah sore matahari mulai menghilang di balik bukit, tapi belum gelap. Saat Joni merebahkan tubuhnya terdengar suara cekikikan tertawa perempuan. “Siapa?” Joni bertanya dalam hati. “Cok kau dengar suara perempuan menghampiri pondok tidak?” Joni bertanya kepada Ucok yang tiduran di sebelahnya. “Ya dengar itu perempuan anak buahnya Pak Nardi,” Ucok menjawab pertanyaan Joni. “Mereka hendak ngapain datang ke sini?” Joni heran mendengar anak buah Pak Nardi yang lonte datang ke pondok kerja. “Memangnya mereka tahu dari mana kita di lokasi ini?” “Paling-paling Dodo dan Ramlan yang memberitahu,” Ucok menjelaskan keheranan Joni. “Mereka itu gendak Ramlan dan Dodo.” Benar juga empat orang perempuan sudah beriringan bersama Dodo, Ramlan dan teman satpamnya. “Hei kami hendak bemandian je hitu bolehkan?” Seorang berbadan gendut yang kemudian diketahui bernama Ratna menyapa Ucok, Joni dan Pak Sandi yang terbengong-bengong kedatangan tamu tak diundang. “Mereka hendak mandi di sini tak usah khawatir kalian,” Ramlan yang menjelaskan maksud kedatangan perempuan-perempuan tersebut kepada Joni dan Ucok. Joni, Ucok dan Pak Sandi merasa sungkan juga. Baru sekali ini Joni tahu penghuni lokalisasi di Kuala Kurun. Dari danau tempat mereka tinggal ada beberapa lokalisasi yang semuanya berada di log pond Domas Raya. Konon yang terkenal wanita mudanya adalah tempat Pak Nardi. Yang setengah tua Pak Rindik. Di Kuala Kurun sendiri terdapat lokalisasi yang disebut padang getah karena tempatnya di perkebunan karet menuju daerah transmigran. Di losmen Ratu Zaleha perempuan-perempuan berkeliaran mencari mangsa orang-orang yang menginap. Kota kecil tapi banyak lokalisasinya ya hanya Kuala Kurun. Itu menurut pandangan Joni saja. Joni melotot juga melihat bodi perempuan yang nota bene lonte ini. Ada Neli gendak Dodo, kemudian Nurhayati pacar Ramlan. Mereka langsung menceburkan diri ke danau hingga terlihat pakaian penutupnya yang basah melekat mengikuti badan. Cukup menggairahkan mata lelaki. Hari itu mereka hanya mandi dan kemudian bercakap-cakap dengan pasangannya masing-masing. Setelah itu perempuan-perempuan tersebut diantar Dodo dan Ramlan sampai di tepi jalan untuk pulang. Menjelang maghrib Joni membuat lampu minyak dari kaleng bekas susu. Lumayan bisa untuk penerangan. Jika di log pond terang benderang karena ada listrik, di tepi danau penerangan seadanya. Di log pond bisa menonton televisi di mess untuk hiburan. “Aku hendak naik ke km 4, besok pagi ke sini langsung ikut kerja dengan kalian,” Pak Sandi memberitahu keadaannya yang tanggung. Istrinya jelas menunggu bersama anaknya yang masih balita. Pak Sandi satu-satunya yang sudah berumah tangga. Kalau Saiful Bahri setelahnya pondok kerja selesai dibuat dia sendiri sudah naik ke camp km 4 karena ada beberapa barang yang harus diambilnya. Begitulah malam menjelang makan sore pun sudah tersedia. Joni dan teman-temannya makan bersama. “Jon kami hendak ke log pond nonton televisi, kamu ikut nggak?” Dodo mengajak Joni untuk ikut mereka ke log pond toh ada waktu luang. “Okey aku ikut kalian saja,” Joni senang mendengar tawaran tersebut. Di hutan saat survey mana pernah Joni nonton TV. Bahkan di rumah Pak Mundai pun tak ada hiburan selain bermain kartu atau memainkan kecapi. Joni sendiri sudah beberapa hari ini terbiasa di log pond. Beberapa kamar mess diisi orang-orang Jawa yang bekerja sebagai operator kepiting dan pengupas kulit kayu. Segera saja mereka menuju log pond berjalan di kegelapan membawa senter untuk penerangan. Hanya Joni saja yang punya jadi terpaksa dia jadi pemandu. Dari danau mereka naik menyusuri jalan perusahaan, simpang kiri menuju log pond Domas sedangkan yang kanan log pond PT JAP. Mereka mengambil jalan ke kanan tetapi menanjak di atas bukit. Dari atas bukit terlihat sungai Kahayan dan kota Kuala Kurun saat malam. Masih terdengar suara getek yang menyeberangkan orang menuju Kurun. Setelah itu jalan menurun terlihat tumpukan gelondongan kayu di penampungan. Joni terus berjalan melewati tumpukan kayu yang sudah dipisahkan dalam berbagai jenis. Terlihat di samping kiri di atas bukit bangunan kantor yang megah belum selesai dikerjakan menjadi komplek tersendiri dengan kantor dan mess manager camp. Tapi Joni tidak menuju ke sana sebab bangunan tersebut belum berpenghuni. Yang ramai adalah mess HPH tempat berkumpul segala macam karyawan perusahaan. Dari orang-orang kapal yang tinggal di lanting, kemudian mess operator mesin, koperasi dan dapur umum. Sampai di sana orang-orang menyebar terserah selera masing-masing. Joni dan Ucok menuju ke mess Sihotang, itu teman Ucok dari Tapanuli. “Jon kita ke tempat Sihotang saja, percuma mengikuti rombongan Dodo dan Ramlan. Mereka punya acara sendiri yang kita tidak bisa ikut,” Ucok mengajak Joni ke rumah temannya segera. “Baiklah cuma nanti jam berapa kita pulang ke pondok?” Joni mengiyakan sambil bertanya kepada Ucok. “Kan tidak mungkin jalan sendiri pulang dalam keadaan gelap tanpa senter.” “Ah kau tak tahu ya Dodo dan Ramlan itu hendak menyeberang ke Kurun menginap di tempat Pak Nardi,” Ucok menjelaskan masalahnya. “Loh kenapa mereka tadi tidak langsung ke log pond saja kan tinggal berjalan ke simpang kiri tadi,” Joni keheranan. “Mereka itu malu kepada kita kalau langsung ketahuan tujuannya Jon,” Ucok menjawab keheranan Joni. Pantas saat tinggal di log pond orang-orang satgas ini sering tak ketahuan perginya kalau sudah malam. Orang-orang satgas ini sebagian besar pindahan dari Tumbang Nusa. Mereka jadi terlihat kompak karena tinggal sekampung. “Jadi nanti tinggal kita berdua yang tidur di pondok kerja?” Joni bertanya kepada Ucok. “Wah percuma capek-capek bikin pondok kalau seperti ini,” Joni menggerutu. Ucok hanya megiyakan saja. Resminya ini sudah hari kesebelas untuk kegiatan terasering. Namun untuk di km satu baru dimulai hari ini. Cangkul, parang dan gergaji sudah tersedia. Tebing yang akan dibuat terasering belum diapa-apakan. Hari ini rencananya semua orang mencari batang kayu untuk membuat tanggul. Joni bersama Saiful Bahri naik ke atas bukit di seberang jalan danau. Terlihat dari atas, di bawahnya itulah rumah bordil milik Pak Nardi. Bangunannya terbuat dari kayu terlihat kusam tanpa dicat. Hanya saja kayunya sebagian besar dari kayu ulin. “Di sana rupanya Neli dan Ratna tinggal,” Joni berbicara sendiri melihat tempat persembunyian perempuan-perempuan yang kemarin sore datang dan mandi di danau. Joni sering mendengar nama-nama perempuan penghuni barak tersebut. Tapi kalau melihat orangnya malah baru kemarin sore itu saja. Tentu saja Joni tahu tentang Desi yang sudah diperistri Sahrun. Berarti banyak orang-orang perusahaan yang menjadikan tempat bordil tersebut sebagai hiburan dengan alasan berkaraoke. “Kemarin sore ada empat orang perempuan datang dari Domas mandi di danau,” Joni memberitahu Saiful. “Perempuan datang dan mandi?” Saiful Bahri malah bertanya kepada Joni. “Iya mereka itu pacar-pacar satgas anak buahmu,” Joni memberitahukan perihal datangnya perempuan yang kemudian mandi di danau. “Wah harusnya tidak boleh, kita ini sedang bekerja bukan mencari hiburan,” Saiful Bahri menegaskan. “Kalau begitu nanti akan kuberitahu mereka, memang kalau malam hari terserah mereka sajalah itu bukan waktu kerja.” “Kamu sendiri sering nggak ke tempat Pak Nardi Ful?” Joni bertanya mengira-ngira jawaban Saiful. “Aku pernah beberapa kali dengan asisten lain termasuk Sahrun, ya minum sambil karaoke,” Saiful menjawab. “Nggak ngamar kamu dengan salah satu perempuan di situ?” Joni mendesak Saiful. “Puihh mendingan aku naksir si Ipah di persemaian dari pada main dengan lahong seperti itu,” datar Saiful menjawab. Mendengar disebutnya nama Ipah mendadak berdebar dada Joni. Beberapa kali sudah bayangan gadis tersebut melintas. “Memangnya si Ipah itu sudah punya pacar apa belum?” Joni pura-pura bertanya untuk mengurangi kerisauan hatinya. Rasanya ia menentang keras perasaannya yang bergolak tersebut. “Kelihatannya banyak yang naksir ada saja yang mencoba mendekatinya,” Saiful menjawab. Bergemuruh dada Joni mendengar kata-kata Saiful, rasanya panas hatinya dibakar cemburu. “Benar siapa saja yang mendekati Ipah kamu sendiri suka nggak?” Lagi Joni bertanya. “Lihat saja nanti!” Saiful menjawab pendek. Sebenarnya Saiful dan Joni ini sebaya saja. Mereka berbincang-bincang sambil menebang beberapa batang pohon untuk kemudian dikumpulkan di pinggir jalan. Saiful ini agak melantur bicaranya, Joni sendiri agak heran kadang-kadang. “Jon kamu suka nggak jadi koboi?” Mendadak Saiful bertanya. “Apa Ful, Koboi!” Joni tersentak saat pembicaraan mendadak melenceng jauh. “Di sini mana mungkin ada koboi, itu mah di Amerika sono,” Joni mencoba mengimbangi. “Bah aku serius nih rasanya aku sanggup saja hidup seperti koboi, nanti di sini aku bikin ranch,” Saiful tegas bicara. “Memang kamu tahu apa tentang ranch?” Joni balik bertanya kepada Saiful. “Peduli amat aku hidup bisa bikin apa saja. Jadi konglomeratpun tinggal datang ke Jakarta. Nanti kau tahu sendiri sajalah,” Saiful malah sengit kata-katanya direndahkan oleh Joni. “Kamu berani bicara seperti itu kayak orang sudah bermodal saja Ful,” Joni mencoba menjelaskan. “Tapi setahuku bisa saja kamu bikin ranch di sini, lihat saja orang-orang kampung itu. Setiap tahun mereka membuka ladang dan kemudian meninggalkannya begitu saja. Asal setiap ladang kamu beli dengan harga murah bereslah itu, apa lagi kalau luasnya bisa empat kilo meter wah kamu bisa menjadi koboi di tengah padang ilalang,” Joni jadi ikut-ikutan menerawang. Memang betul di tanah Kalimantan ini tanahnya luas hampir-hampir tak bertuan. Tinggal punya modal berapa milyar bisa beli tanah seluas-luasnya buat ranch. Ranch adalah tanah kapling luas yang menjadi hak milik pribadi. Bisa dimiliki dan bisa disewakan dengan membangun berbagai fasilitas di tengah-tengahnya (tapi di Amerika sana, entah ada nggak di Indonesia). “Nah begitu Jon itu sesuai dengan pikiranku,” Saiful Bahri malah mengepalkan tangannya tanda oke dengan perkataan Joni. Joni membiarkan saja Bosnya yang seperti agak linglung ini dengan membawa dua batang kayu tebangan ke pinggir jalan. “Mana Saiful ini sudah siang kita istirahat saja,” Ramlan terlihat duduk di tepi jalan menunggu orang-orang berkumpul. Joni cuma menunjuk tangannya ke atas bukit tempat Saiful berada. Mereka bersama-sama menunggu di tepi jalan. Saiful datang dan melihati tumpukan batang kayu yang ada. “Wah ini masih kurang banyak, sana cari lagi masing-masing dapat jatah dua batang!” Saiful memberikan instruksinya. Dengan mendongkol terpaksa orang-orang masuk hutan lagi menuruti perintah bosanya. Setelah mendapat dua batang langsung ke pinggir jalan dan pulang ke pondok untuk istirahat dan makan siang. Sore hari Joni mandi di papan kayu telaga. Di pondok kerja berebah Ucok dan Pak Sandi beristirahat. Anggota yang lain di depan jalan entah apa yang dilakukan. Mendadak terdengar suara cekikikan perempuan......Oomaaakk!! Perempuan datang jumlahnya ada sebelas orang. Yang membuat Joni terkejut mereka langsung menceburkan diri ke danau di depan hidungnya tanpa permisi. BYUUURR!! Tubuh perempuan mencebur membuat air menciprat mengenai Joni yang sedang mandi di tepi danau. “Hei Amang kenapa nggak terjun ke danau?” Suara perempuan itu dari mulut kecil Nurhayati. Setahu Joni Nurhayati ini gendak Ramlan. Tidak dijawab oleh Joni malah temannya yang lain ikut menceburkan diri ke danau. Ramailah tempat itu dengan perempuan-perempuan yang statusnya lahong bermandian sore. Joni cepat-cepat menyingkir menuju pondok kerja mendekati Ucok dan Pak Sandi. “Wah tidak bisa dibiarkan orang-orang ini,” Ucok menggerutu sambil melihat ke arah jalan. Ternyata Dodo, Ramlan dan teman-temannya itu sedang ngobrol dengan perempuan lain. Mungkin itu Neli bersama Dodo, ada juga si Gendut Ratna. “Hoi....Aku di sini!!!” Dari atas bukit tempat pondok kerja seorang perempuan berteriak. Segera saja seorang satgas mengejar-ngejarnya berteriak kegirangan. Entah apa yang terjadi selanjutnya Joni, Ucok serta Pak Sandi tak tahu. “Kalau Saiful tahu jelas sudah ditegur mereka itu,” Pak Sandi tak bisa berbuat apa-apa. “Sayang Saiful sudah naik ke km 4.” Ya sudah hari itu ribut pondok kerja kedatangan pelacur-pelacur yang nota bene sangat terkenal di Kuala Kurun. Saat sedang ramainya tiba-tiba Dodo dan Neli seperti bertengkar. Terlihat Dodo seperti sedang mengumbar perasaan kesal pada Neli. Entah apa yang dipermasalahkan tak ada yang tahu. Saking marahnya terlihat Dodo menampar pipi Neli hingga terdengar jerit tangisnya. “Wah Do jangan membuat keributan di sini, kita sedang bekerja!” Ucok mencoba melerai pertengkaran keduanya. “Kalau kalian ada masalah selesaikan di tempat lain.” Dodo yang terlihat marah malah tambah beringas, “Jangan ikut campur urusanku Cok!” Ucok jadi berang juga kata-katanya malah tak dihargai, “Aku bicara itu ada benarnya, tahulah kau mereka ini malah membuat kita sungkan!’ Ucok membela diri, dadanya maju menghadapi Dodo yang sama-sama bidang. Terasa seperti menggertak agaknya Dodo takut juga mendapat tantangan seperti itu. “Sudahlah suruh mereka pulang cepat!!” Ucok membentak Dodo dan kemudian meninggalkannya bergabung dengan Joni dan Pak Sandi. Ramlan, Dodo dan lainnya terdiam. Mereka merasa terhina juga diperlakukan kasar oleh Ucok. Tapi kesalahan juga ada pada mereka. Akhirnya perempuan-perempuan itu pergi sekalian dengan satgas teman-teman Dodo. Pondok menjadi sepi malampun sepi hanya Joni dan Ucok yang tidur di bawah terpal. Esok harinya semua orang berkumpul lagi kemudian bekerja seperti sedia kala, tetapi saling berdiam diri. Namun sejak saat itu perempuan-perempuan tersebut tak muncul. Rupanya orang-orang satgas tersebut kena teguran dari Pak Joko sebagai Kabag pembinaan langsung turun tangan. Kabar-kabar yang ada si Neli minta hubungan antara dia dengan Dodo diresmikan. Dodo yang kebingungan menolaknya hingga keduanya akhirnya bertengkar. Tebing sudah dibuat tanah-tanah bertingkat. Setiap tingkat diberi tanggul yang diperkuat batang-batang kayu yang ditancapkan di tanah. Terlihat dari jalan cukup rapih. Entah benar atau tidak kegiatan terasering dibuat seperti itu. Rasanya membuat terasering belum menemukan cara yang benar-benar tepat. Banyak sekali kemungkinan kekurangannya. Paling jelas adalah berapa lama daya tahannya? Bagaimana jika terjadi hujan deras? Itu benar-benar belum teruji. Cuma yang penting fisiknya sudah kelihatan. Saiful Bahri membuat laporan kegiatan dengan tambahan foto dokumentasi kegiatan....seep banget. “Terasering ini harus dipelihara, nanti bulan ketiga akan ada kegiatan pemeliharaan terasering dan penanaman tebing-tebing curam di sekitarnya,” Saiful Bahri memotret dan membayangkan agenda kegiatan selanjutnya. Anggota yang lain cuma nyengir saja mendengar Bosnya yang suka ngelantur itu berbicara sendiri. Mereka sendiri sibuk mencangkuli tanah meratakan tanggul terakhir yang dibuat. Joni tercenung sendiri, entah di kegiatan apa lagi bulan depan yang akan diikutinya. Pekerjaan terasering dipimpin oleh Saiful Bahri sebagai asisten lingkungan. Anak buahnya adalah satgas dan satpam. Hanya karena kekurangan tenaga kerja ia yang akhirnya direkrut oleh Saiful Bahri. Satpam dan Satgas orang-orang pindahan dari Tumbang Nusa semuanya Dayak, paling cuma Ucok dan Pak Sandi saja yang lain suku. Tumbang Nusa di hilir Kahayan, tempatnya malah sebelum menuju ke Palangka Raya. Mungkin lebih dekat dengan jalan tembus ke Banjarmasin. Di sana ada terusan (anjir) menuju ke sungai Kuala Kapuas. Bayangkan anjir (kanal) tersebut sepanjang puluhan kilo meter. Jadi sejak jaman Belanda kita sudah punya teknologi membuat kanal yang baik. Soal terasering? Di Jawa yang penduduknya hidup dari pertanian sudah membuat lahan sawah bertingkat-tingkat. Irigasi mengalir dari tempat tinggi menuju ke areal sawah sedemikian bagusnya. Konon orang-orang Kalimantan jika datang ke Jawa kemudian melihat sistem sawah bertingkat dan irigasi yang ada menganggapnya sebagai keajaiban. Bagi mereka bisa-bisanya tanah di pegunungan tinggi menjadi sawah. Kalau di daerah perbukitan seperti Gunung Mas ini daerah bukit tak mungkin ada airnya kecuali dari hujan. Jadi logika orang Kalimantan tak mungkin daerah yang tinggi bisa menjadi areal pertanian. Sekarang sudah banyak orang Jawa transmigran di Kalimantan. Mereka mencoba mencetak sawah dan hasilnya di beberapa tempat sudah terlihat. Kalau terasering yang dilakukan regu Saiful Bahri ini tingkatnya hanya akal-akalan. Memangnya bisakah berlanjut menjadi tradisi misalnya akan ditiru oleh orang kampung? Dalam hal ini Joni pesimis. Kegiatan teraseing yang baru percobaan itu tak lebih rekayasa perusahaan untuk bisa melakukan penebangan. Keuntungan di atas segalanya. Terasering hanya kegiatan kecil yang tak mungkin menyelesaikan masalah kehutanan yang sedemikian kompleknya. Ibarat orang kegiatan terasering hanyalah seperti menggarami lautan (sia-sia). Hari-hari terakhir di kegiatan terasering diliburkan oleh Saiful Bahri. Sebenarnya Joni agak heran dengan perangai Saiful Bahri. Sering Saiful Bahri ini berdebat dengannya dalam berbagai masalah. Kalau melihat rasa optimisnya yang tinggi Joni salut, tapi apakah impian orang ini bisa tercapai? Terkadang si Joni didebat tentang masalah asuransi, deposito bank, politik bahkan urusan agama. Rasanya biarpun Joni punya pikiran atau anggap saja pengetahuannya cukup banyak karena suka membaca berbagai berita tetap saja sulit menerka jalan pikiran saiful. Yang sering Joni herankan orang-orang yang nota bene manager camp dan kabag sering menaruh hormat terhadapnya. Kesan yang didapat Joni Saiful Bahri termasuk pemimpi dan sifatnya ngelantur sehingga kurang pas untuk mengetuai sebuah regu kegiatan. Mendapat libur sehari membuat Joni berniat ke Kuala Kurun. Dari danau tempat pondok kerja hanya berjalan sekitar satu kilo meter di log pond Domas Raya. Dari log pond Domas Raya tinggal menyeberang dengan getek sewaan yang sekali menyeberang seribu rupiah. Joni melangkah sendirian saja pagi-pagi ke log pond Domas. Hanya lima belas menit sampai di tepi sungai Kahayan. Dari tepi sungai menuruni tangga dari batang pohon besar yang sudah dibikin takik injakan hingga menyerupai tangga. Di bawahnya sudah menanti beberapa getek yang menyambutnya untuk menyeberang. Belum sampai Joni turun ke sungai datanglah mobil rimbawan membawa rombongan ibu-ibu karyawan turun belanja ke Kurun. Di antaranya terlihat Ipah di belakang bak terbuka. Kulitnya yang putih mengkilat tertimpa matahari pagi. Terlihat potongan rambutnya diponi menutupi dahinya yang lebar serta matanya yang sipit menatap Joni yang sudah di bawahnya. “Kebetulan nih jadi banyak orang hendak menyeberang. Hendak ke kuweh ikau Ipah?” Joni bertanya kepada Ipah. “Kami hendak ke pasar, belanja dan main sebentar je Kurun,” Ipah menjawab pertanyaan Joni sembari turun dengan melompat ke tanah. “Kenapa kamu tidak kerja Jon?’ Seorang ibu istri Pak Sandi bertanya. “Nggak hari ini libur, aku punya kesempatan ke Kurun,” kata Joni. “Hei kenapa gak mampir ke tempat karaoke, kan tinggal jalan kaki sebentar saja?” Seorang ibu yang lain berkata sambil menunjuk ke barak Pak Nardi. Sekitar seratus meter dari tempat mereka naik getek. “Huuu itu sih tempat baru ramai kalau malam, kalau siang begini penghuninya pada tidur kecapaian,” Joni berkata sebaliknya dari pada mengatakan tidak. “Tapi kalau siang begini ikau dapat gratisan Jon,” Jagau malah menambahinya dengan tertawa. “Iyalah ikau te lebih tawa soal itu dari aku,” Joni tidak membantah. Joni segera turun lebih dulu ke getek yang sudah menunggu. “Hei Ipah sini kubantu turun. Kareh ikau jatuh ke sungai!” Joni menggoda Ipah yang sedang manapaki tangga kayu. Si Ipah tertawa dan berkata, “Jon aku tuh sedari kecil hidup je hitu, jangan-jangan malah ikau kareh jatuh ke sungai langsung tenggelam,” Ipah berkata sambil menginjak getek yang sudah ditumpangi Joni. Terasa getek bergoyang karena beban bertambah. Setelah itu menyusul yang lain ikut turun bergabung dalam satu getek. “Hei kareh siang ketun pulang langsung je log pond Tanjung Raya, mobil ini hendak kuparkir je kani!” Jagau berteriak keras suapaya terdengar suaranya oleh ibu-ibu di bawah dermaga, sekitar tempat itu ribut membuat orang agak tuli telinganya. Tidak lama kemudian sampailah mereka di pasar lama. Ibu-ibu dan Ipah segera menyebar menuju los-los pasar membeli keperluannya. Joni sendiri menuju toko buku mencari beberapa novel. Tokonya tepat dalam pasar lama yang bergang sempit. Seorang Amang gendut lelaki berbaju gamis menyapa dalam bahasa Banjar. “Mari silakan Cil, kami sedia buku-buku baru dari Banjarmasin,” tawarnya kepada Joni. Orang Banjar ini sudah sering berjumpa dengan Joni sehingga mengenalinya sebagai pelanggan. Tapi hanya sebatas pembeli dan pelanggan saja. Joni mengambil beberapa buku tentang agama. Rasanya sulit mencari buku-buku di Kuala Kurun. Setahunya hanya di pasar lama ini saja ada satu-satunya toko buku. Setelah memilih beberapa buku tipis Joni membayar harganya. “Lima belas ribu saja Cil, buat ikam aku kasih potongan harga,” katanya dengan logat Banjar. “Terima kasih Pak Haji,” Joni membayar harga buku yang dibelinya. “Aku juallah...’” Amang gendut yang dipanggi haji oleh Joni berikrar jual beli. “Kaena kemari lagi, beberapa hari mendatang ulun bawakan buku-buku baru.” Joni segera keluar dari pasar lama, kakinya melangkah hendak ke hulu jalan. Tapi segera dibatalkan, memang dia teringat dengan Pak Amat yang dulu jadi anak buahnya di perapihan. Entah masih ikut atau tidak orang tua itu di perusahaan. Joni malah bertemu dengan Ipah yang menenteng beberapa barang belanjaan. “Pah sudah belum belanjanya, kareh aku bantu membawa ke getek,” Joni menawarkan diri. “Dia usah Jon aku te dia are belanja,” Ipah menjawab sambil memandangi lelaki di depannya. Joni berdebar hatinya, dicobanya bercakap-cakap dengan Ipah. Tetapi malah terasa agak kaku. Entah kenapa Joni agak berat menyampaikan kata hatinya. Tampaknya Ipah pun merasa hal yang sama. Akhirnya setelah keluar pasar Ipah berpisah dengan Joni untuk bergabung dengan ibu-ibu yang lain. Joni sendiri kemudian berjalan ke sebuah warung wadai dan menghempaskan pantatnya di bangku untuk memesan es teh. Setelah itu terdiam dan pikirannya melayang, selintas bayangan Ipah masuk sehingga dadanya berdebar gelisah. “Entah Ipah punya perasaan yang sama denganku tidak ya?” Joni bertanya sendiri dalam hati. Warung wadai ini khas Banjar, orangnya dari Banjar hulu yang sudah menikah dengan perempuan Dayak. Rasanya warung seperti ini sudah mentradisi di Kalimantan. Konon orang Banjar tidak pernah sarapan pagi. Setiap hari setelah subuh mereka akan datang ke warung wadai untuk sekedar minum dan makan wadai (jajan). Di warung wadai inilah terkadang terjadi transaksi dagang ataupun hanya ngobrol sambil lalu saja. Jam sepuluh siang barulah mereka makan pagi, tradisi orang Banjar ini terbawa ke pedalaman Kalteng. Joni sengaja duduk di depan warung, pandangannya menyapu sekitar pasar. Terlihat banyak pedagang daging babi. Lapak-lapak mereka mendominasi hingga keluar pasar. Kalau daging babi penjualnya banyak orang lokal. Mereka banyak beragama nasrani dan juga sudah dari jaman nenek moyangnya biasa beternak hewan tersebut. Memangnya orang Jawa kuno tidak seperti orang Dayak dulunya? Kemungkinan sama, beternak babi memang paling mudah. Sekali beranakpun cukup banyak. Pakannya bisa apa saja pokoknya pemakan segala. Nasi basi, ampas tahu bahkan saat di Tumbang Alas keladi tak berumbi dan batang pohon pisang batupun jadi pakannya. Mudah sekali bahkan saat dijual dalam pasar pun masih terlihat dengan kulitnya yang bekas dibakar untuk membuang bulu-bulunya. Jalan-jalan di Kuala Kurun? Orang kampung biasa jalan kaki kemanapun pergi. Tapi di Kuala Kurun ini rasanya sungkan. Di setiap sudut ojek sepeda motor selalu menawarkan jasanya. Jarak-jarak yang ditempuh dekat-dekat saja. Pasar menuju RSUD hanya seribu rupiah, ke hulunya hanya tiga ribu. Yang agak jauh ke Tumbang Anjir bisa sepuluh ribu, paling jauh ke daerah transmigran anggap saja lima belas ribu rupiah. Hari sudah siang Joni merasa tak ada yang akan dikerjakannya di Kurun. Dihabiskannya sisa es teh di gelasnya. Pemilik warung wadai kemudian menghitung makanan yang dihabiskan oleh Joni yang segera membayarnya. Joni segera menuju ke dermaga getek untuk neyeberang. Dilaluinya jalan dari kayu melintasi beberapa orang yang sedang asyik berjudi dadu. Sampai di lanting tempat getek berlabuh menyeberanglah Joni kembali ke log pond Domas. Rasanya panas makin menyengat tapi dari log pond Domas ia harus berjalan kaki menuju danau tempat tinggalnya. Sampai di pondok kerja keringat membasahi pakaian yang dikenakannya. Di Kurun panas sampai di pondok kerja terpal penaung kurang tebal tetap saja menyengat kulit. Joni sendirian saja di pondok kerja, temannya si Ucok paling-paling sedang di rumah temannya sesama Batak. Sedang Pak Sandi begitu tahu diliburkan sore hari kemarin sudah ke camp km 4. Di depannya terhampar air danau cukup luas, sunyi.....Ya kesunyian sama dengan sendiri tapi Joni tahu ia masih hidup sebagaimana rimba di sekitarnya. Anak rimba? Joni malah tidak merasa bisa bersatu dengan alam hutan. Tak ada yang ramah di hutan, tujuannya tidak seperti pecinta alam yang selalu mendengung-dengungkan hidupnya selaras dengan alam. Tidak....Tidak seperti itu. Yang dilakukan Joni mencari uang dan sebenarnya juga bosan di hutan. Yang diharapkan Joni kapan gajian, kapan kariernya berkembang, kapan menjadi karyawan bulanan atau kalau bisa diangkat menjadi asisten. Suara mobil menderu kencang sebelum kemudian mengerem dan berhenti di tanjakan jalan setapak menuju pondok. Terdengar suara pintu mobil dibanting menandakan ada seseorang turun. Setelah itu mobil kembali melaju ke log pond Tanjang Raya. Itu pasti Saiful Bahri, mungkin ia dari camp km 4. Saiful Bahri mendapati Joni seorang diri sedang membaca buku. “Mana yang lain Jon apa mereka masih di tempat Pak Nardi?” Saiful Bahri bertanya langsung menjurus kebiasaan anak buahnya yang senang pergi ke tempat hiburan. “Tak tahu Ful di log pond Domas tak kulihat mereka. Tadi aku ke Kurun sendirian saja paling-paling ketemu Ibu Sandi dan Ipah yang belanja ke pasar,” Joni memberitahu Saiful. “Kalau Ucok paling-paling ke tempat Sihotang.” Saiful Bahri mengambil salah satu buku yang tadi pagi dibeli Joni di pasar. “Kau cari buku di pasar lama ya, ada nggak buku karangan Ibnu Taimiyah di sana Jon?” Saiful Bahri bertanya. Buku-buku yang dibaca Joni hanya pecahan kecil dari buku karangan Imam Al Ghazali, jadi hanya saduran saja. “Wah tak ada jarang orang-orang mencari buku karangan Ibnu Taimiyah Ful,” Joni menjawab sambil berpikir sulit mencari buku tersebut karena termasuk jarang. “Ibnu Taimiyah itu idolaku,” Saiful Bahri berkata sendiri. Ibnu Taimiyah konon memang terkenal karena menyerukan pembaharuan Islam. Itu ulama masuk golongan salafiyah, pergerakannya berupa pemurnian agama Islam dan menentang taklid buta terhadap Mazhab. Joni merasakan selera Saiful bahri ini cenderung Wahabi tetapi kelihatannya hanya setengah-setengah belum mendalami. Kalau Joni beragama Islam KTP atau Islam kampung kata orang sekarang ini. Kemudian keduanya ngobrol berbagai macam masalah. Memang otak Saiful Bahri ini encer mungkin pergaulannya banyak dengan orang-orang terpelajar. Di perusahaan ini Joni melihat juga orang yang termasuk pintar seperti Gugun. Banyak keahliannya karena pernah kuliah di UNPAR. Cuma seorang Gugun tidak seoptimis Saiful Bahri menghadapi hidup. Joni meraba-raba kalau Saiful Bahri ini sebenarnya memilik akses penting kepada beberapa pejabat publik di Jakarta. Hari sudah sore Joni menyiapkan makanan untuk malam. Ucok sudah datang disusul Dodo, Ramlan dan teman-temannya. Ini hari terakhir di pondok kerja esok mereka kembali ke camp km 4. Malam itu mereka berkumpul di pondok terasering…… BAB 6 Masuk Kegiatan Pembebasan III Orang-orang survey belum ada yang terlihat di camp km 4. Mereka masih di hutan mungkin dua tiga hari lagi baru turun dari kegiatan masing-masing. Merasa sendirian saja di camp Joni terpaksa bergabung dengan orang-orang persemaian. Memang bukan untuk ikut kerja hanya bermain, ngobrol dan sedikit membantu. Pekerjaan di persemaian selalu ada tetapi tidak pernah tergesa-gesa. Tangan-tangan perempuan terlihat terbiasa mengisi polibag dengan media yang sudah tercampur dengan pupuk. Yang mencari media tanah dan mencampurkan dengan cangkul adalah Tobing dan Imanuel. Mereka tenaga lelaki yang hari-harinya menjadi karyawan resmi di persemaian. Beberapa tugas lain adalah merawat mesin genset, membuat papan kegiatan lapangan. Anak buah Mario Cs ini statusnya sudah bulanan, paling-paling ibu-ibu mess yang masih harian. “Eiit bukan seperti itu caranya mengisi polibag Jon!” Seorang ibu Maesaroh menegur cara Joni yang salah mengisi polibag dengan media. Maesaroh ini orangnya cerewet istri dari Pak Sahid orang Bima. Anaknya sudah dua masih kecil-kecil. Joni cuma nyengir, entah apa salahnya ia pun tak tahu. Tapi kemudian ia menyadari caranya memang tidak efektif. Tangannya cepat sekali merasa sakit dan lagi pula kalah cepat dengan yang lain. Dipandanginya Ipah yang sedang sibuk mengerjakan hal yang sama tapi tetap berbeda. “Pah ajari aku bagaimana caranya mengisi polibag ini, jariku pedih sekali,” Joni mencoba mengalihkan perhatian Ipah supaya bisa diajak ngobrol. “Nih lihat aku caranya Jon,” Ipah akhirnya bersedia turun tangan. “Kalau pakai caramu tadi bisa-bisa target tidak tercapai,” diperlihatkannya tangannya yang mungil dan berjari kecil khas perempuan, tetapi astaga ternyata ia memakai tangan kiri untuk bekerja alias kidal. “Tangan ini dibuat seperti serok Jon, jadi bukan memakai jari-jarimu. Dengan memakai tangan seperti ini lebih banyak tanah yang bisa diraih jadi nanti memsaukan ke polibag cepat terisi,” katanya lagi. Joni manggut-manggut digerakannya tangan mengikuti perintah Ipah, memang benar dengan cara itu tiga kali saja menjumput tanah polibag sudah terisi penuh. “Wow begini toh caranya, tapi omong-omong kemarin ikau jabat tangan pakai tangan kanan kok sekarang kerja pakai tangan kiri?” Joni bertanya sambil lalu. “Aku sudah dari kecil pakai tangan kiri untuk kerja Jon,” Ipah menjawab heran juga dengan pertanyaan Joni. Ini orang terlalu perhatian rupanya terhadap dirinya. “Memang dia itu kidal Jon, di sini orang-orang kampung tidak begitu diajari sopan santun menggunakan tangan kiri atau kanan, semuanya terserah masing-masing saja,” itu suara istri Pak Jali alias kakak Ipah. Beberapa kali Joni sambil membantu mengisi polibag mencuri-curi pandang ke arah Ipah. Ipah rupanya tahu juga, perasaannya bergetar halus membuatnya sulit bicara. Pura-pura saja tangannya sibuk mengerjakan supaya tidak ketahuan isi hatinya. Mereka semua terdiam, pekerjaan hari itu terlihat menumpuk. Nanti setelah istirahat pekerjaan dilanjutkan dengan meletakan polibag yang sudah terisi media menuju bedengan penampungan bibit. Setelah cukup lama di persemaian Joni pulang ke mess. Ia tidak menunggu perempuan-perempuan tersebut yang tinggal duduk santai sambil makan dan minum jatah mereka. Bagi Joni ada perasaan yang menusuk jika berpapasan dengan Ipah. Beberapa kali ia selalu menentang perasaan tersebut dengan dalih bahwa Ipah masih terlalu muda untuk didekati. Perasaannya terus berkecamuk membuat dirinya tidak nyaman beristirahat. Akhirnya ia melangkah menuju jalan logging, sampai di depan pos satpam terlihat Ramlan sedang berjaga-jaga. “Hendak ke kuweh Lek nunggu gajian ya?” Ramlan yang kemarin bersamanya bekerja di terasering sekarang langsung kembali sebagai satpam sesuai tugasnya. “Dia aku hendak ke bina desa kani Lek, pehe kuluk je kamar terus,” Joni berkata sambil berjalan mendekati pos satpam tersebut. “Ha ha ha pehe kuluk atas atau kuluk bawah Jon?” Ramlan bertanya rada ngacau. “Kalau pehe kuluk bawah tege obat je Pak Nardi kani,” katanya lagi. “Sembarang ae kuluk atas nare kuluk bawah obat te perlu duit,” Joni mengikuti saja arah pembicaraan Ramlan. Ia segera duduk di bangku kayu yang tersedia. Terlihat di Pos Satpam tersebut handy talky yang terhubung ke antena. “Saiful paling sedang mengurusi gaji kita di log pond,” katanya sejurus kemudian. “Huh gajiku bulan ini are potongan gara-gara tinggal terlalu lama di km satu,” seperti menyesal Ramlan bicara sendiri. Joni paham apa yang dimaksud potongan gaji. Hutangnya di tempat Pak Nardi jelas menumpuk untuk kencan dengan gendaknya si Nurhayati. “Tapi ikau are senangnya hidup Lan,” Joni berkata sesuai kenyataan. “Bajai ikau Jon are senang nare! Aku te malah tersiksa hidup seperti ini,” Ramlan gusar dibilang Joni kalau hidupnya banyak senangnya. “Sudah terlanjur.....,” katanya disertai helaan nafas. Mereka becakap-cakap lagi beberapa masalah. Joni jadi lupa tujuannya yang hendak menuju bina desa di seberang jalan. “Bulan depan ikau umba eweh Jon?” Ramlan bertanya kepada Joni. “Dia tawa aku Lan, kareh aku bepandir dengan Tobias saja,” Joni menawab pertanyaan Ramlan. “Kalau kegiatan terasering te baru percobaan jadi satu bulan saja dianggap selesasi.” “Makanya menggau uluh bawek Lek, jadi dia puji pehe kuluk,” Ramlan berkata sendiri karena tak tahu juga urusan orang-orang survey. Ada seseorang memanggilnya melalui HT yang langsung diterimanya. Kemudian Ramlan sibuk sengan sobatnya, ternyata si Dodo yang sedang bertugas di Pos Satpam simpang Domas Tanjung Raya di km 5. Merasa tak ada lagi yang dibicarakan Joni turun menuju messnya. Lagi-lagi sepi terpaksa ia duduk di tepi halaman mess tersebut. Di depannya terdapat lapangan bulu tangkis dan voli, di ujung dekat dapur meja tenis semuanya sedang kosong. Joni tak bisa mengajak siapa-siapa untuk bermain tenis meja. Paling nanti sore setelah karyawan persemaian pulang barulah agak ramai. Akhirnya masuk dan tidur di dalam. Sore harinya barulah Joni bermain tenis meja bersama dengan Mardi sampai bosan. Sekitar jam tujuh malam Joni merasa ada yang harus dilakukan. Perutnya melilit minta ke belakang. Sungai kecil sekitar seratus meter di persemaian. Karena itu ia berjalan meraba-raba dalam gelap. Dilewatinya gudang mesin genset, mesinnya sedang menyala membuat telinganya agak pekak. Terus ia berjalan menyeberangi jembatan belok kanan ke persemaian. Terasa nyaman peruntya setelah isinya keluar tuntas. Beberapa kali tangannya menyibak memukuli rangit yang menghisap darah, setelah selesai barulah ia bergerak pulang. Tidak ada sinar bulan gelap, Joni menyapu pandangan ke sekelilingnya. Kalau ia mengingat cerita tentang hantu yang terkadang bisa muncul di mana-mana merinding juga bulu kuduknya. Tapi saat itu ia malah melihat sesuatu benda bergerak....benar ada gerakannya. “Apa itu?” Joni membelakan matanya mencoba melihat jelas benda bergerak itu. “Uh kerahau, mungkin sedang mencari makan,” Joni mengamatinya saja. Percuma memburu binatang dalam keadaan seperti itu kecuali menembaknya. Kerahau atau rusa itu melintas berjalan tak tahu kalau sedang diawasi Joni. Dekat....mendekat Joni tak tahan. Akhirnya bergerak membuat kerahau itu terkejut dan merasa terancam. Kerahau tersebut segera lenyap tanpa suara bahkan kakinya seperti tidak terhalang oleh beberapa bedeng tanaman di persemaian. Hilang jejak menembus kegelapan yang sudah menjadi bagian hidupnya. Entah senang atau susahkah hidupnya Joni tak tahu. Setelah binatang tersebut lenyap di semak belukar barulah Joni kembali ke mess yang di depannya cukup ramai oleh karyawan perusahaan. Segera ia bergabung dengan mereka, ia tidak menceritakan apa yang dilihatnya. Selang sehari orang-orang survey dari berbagai kegiatan semua turun setelah sebulan berada di hutan. Camp km 4 ramai membuat sibuk orang dapur menyiapkan makan karena banyaknya mulut yang harus disuapi. Kalau sudah begini camp jadi gaduh. Setiap hari dari dalam kamar mess selalu terdengar teriakan-teriakan orang ngobrol atau sekelompok orang membanting kartu domino atau remi. Yang iri orang persemaian karena mereka harus tetap mengikuti jadwal kerja yang sudah ditetapkan. Ada lagi orang-orang yang sibuk bekerja setelah orang-orang survey turun di camp. Mereka adalah orang-orang kantor menyiapkan laporan kegiatan dan upah orang survey. Jadi sibuknya gantian, padahal kalau sudah tengah bulan orang-orang kantor ini santai bahkan banyak yang bolos kerja. Di seberang jalan ada pondok orang kampung. Letaknya bersebelahan dengan pondok bina desa. Pemiliknya bernama Pak Agau, di samping pondok merupakan bekas ladang yang sudah ditanami pohon rambutan setinggi tiga empat meter. Sayang belum berbuah karena berasal dari biji. Pak Agau memanfaatkan pondok tersebut dengan membuka warung kecil menyediakan kebutuhan orang camp. Hanya itu satu-satunya orang kampung yang tinggal dekat camp. Sepanjang jalan sekitar empat kilometer menuju Kuala Kurun sudah padang terbuka dengan tanaman karet masih setinggi tiga empat meter. Semuanya bekas ladang tapi sudah dicoba kegiatan penanaman oleh perusahaan. Di km 3 terdapat pondok permanen milik perusahaan untuk kegiatan penanaman sama dengan di km 12 jalan Domas. Pondok-pondok orang kampung tersebar berjauhan tidak sampai membentuk kampung. Praktis yang ramai adalah camp km 4 milik Tanjung Raya, itu bagaikan sebuah dunia tersendiri. Dunia rimbawan, dunia kecil perpanjangan tangan perusahaan untuk tetap bisa menebang kayu mencari keuntungan. Joni berada di sana, tidak sendirian banyak temannya senasib. Terkadang di camp itu terdapat intrik dari penghuninya untuk tujuan masing-masing. Karena sudah berkumpul sepak bola menjadi ramai banyak pemainnya. Sore hari semua orang menonton di lapangan atas mess. Bola hasil iuran orang camp sudah banyak rusaknya tetapi tetap dipakai. Masing-masing kesebelasan terdiri dari orang-orang persemaian yang menjadi pemain inti. Seorang Tobing dengan Mardi di satu sudut gawang, seorang Imanuel dengan Hambali di lain gawang. Orang-orang satgas mengalah memberi kesempatan orang survey ambil bagian menjadi salah satu kubu yang sudah terbentuk. Menang kalah tidak jadi soal, terkadang kubu Tobing yang menang tetapi tak jarang kubu Imanuel memasukan bola ke gawang lebih banyak. Penontonpun tidak henti mendukung salah satu kubu. Mereka hanya menonton dan terkadang bersorak jika seseorang jatuh kena tekel lawannya. Yang kena tekel kakinya menyumpah-nyumpah tapi permainan tetap berjalan terus. Bola mengenai tangan seorang semuanya berteriak hand ball menjadikan orang yang terkena bola tanpa sengaja nyengir tak berdaya kecuali mengakuinya. Terkadang seorang mengocok bola untuk dirinya sendiri tak berbagi dengan teman-temannya membuat yang lain sewot dan berteriak-teriak minta bagian. Seorang wasit tak becus, sering menyemprit hanya kalau bola melesak ke gawang atau permainan dimulai. Saat ada pelanggaran bahkan tidak tahu kriterianya. He he he memang ramai, itulah sepak bola camp. “Jon ke Bina Desa yok, aku hendak menemui Pak Yuli,” Gugun mengajak Joni setelah mereka menonton sepak bola. Pak Yuli, Joni tak tahu nama aslinya. Dipanggil Pak Yuli karena anaknya perempuan bernama Yuli. Ini orang Bina Desa, kalau Gugun jelas mengenal keluarga tersebut masih tinggal sekota di Palangka Raya. Kalau orang seperti Joni benar-benar tak ada kerabat di Kalimantan ini. Tapi Joni tak terasing, banyak saja orang Jawa membuatnya tahu mereka sama dengan dirinya. Terkadang di tempat perantauan ini sesama Jawa yang aslinya berjauhan malah akrab seperti sesama saudara. “Oke Bos siapa tahu ada pisang di Bina Desa,” Joni setuju saja ajakan Gugun. Mereka segera menyeberang jalan kemudian menuruni jalan setapak menuju pondok Bina Desa. Seorang perempuan menyambut kedatangan Gugun dan Joni, itu Mak Yuli istrinya. “Pak Yuli endi Mak, suwe banget aku ra ketemu?” Gugun bertanya dalam bahasa Jawa. “Wah telat Gun, Pak Yuli menyang Kurun golek pupuk kanggo tanduran kacang,” Mak Yuli menjawab dan menggeser tempat duduknya untuk memberi celah Gugun dan Joni ikut duduk di bangku panjang dari kayu buatan sendiri. Karena tidak bertemu Pak Yuli mereka hanya ngobrol keadaan maing-masing. Mak Yuli menawarkan minum kepada Gugun dan Joni. “Wah pancen kuwi sing tak goleki Mak Yuli,” Gugun tertawa senang saat kopi keluar dari dalam rumah. “Dadi kowe teka mrene iki mung arep ngombe kopi toh Gun?” Mak Yuli agak sewot juga. “Ya ora nek bisa aku rep ngutang duit kanggo adikku nang Palangka Raya,” Gugun langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Lah wong aku yo lagi golek utangan kok kowe malah mlayu mrene melu-melu,” Mak Yuli malah kebingungan dengan tujuan Gugun. “Mbok utang karo Joni kuwi loh, wonge ora tau neka-neka mesti nyekel duit akeh,” katanya lagi. “Welah utangku wae maring Joni durung disaur, isin aku Mak!” Gugun berkata tanpa tedeng aling-aling. Joni hanya tertawa geli melihat keduanya bicara soal utang-piutang. Memang pusing kalau hidup dikejar-kejar biaya hidup. Apa saja selalu kurang. “Ngutang wae menyang koperasi Gun,” akhirnya Mak Yuli memberikan solusi. “Aku dudu anggota koperasi Mak,” Gugun jadi bingung. “Ya wis mengko nek Pak Yuli teka ngomongo dewe, Pak Yuli bisa ngusahakae utang nang koperasi kanggo kowe ning yo kepeksa saben wulan kudu dicicil,” Mak Yuli akhirnya membuat keputusan. Sesama mereka memang tidak terlalu ada pembatas. Maklum sesama Jawa tinggal di Palangka Raya setelah itu bertemu di perusahaan. Joni sendiri tak bisa berbuat apa-apa kedua orang di depannya semua berhutang kepadanya juga dan mereka sampai sekarang belum membayarnya. “Mung Joni tok nang kene sing orang utang ngendi-endi, Jon kepenak banget uripmu,” Mak Yuli berkata sambil memandangi Joni. “Yo saiki sesuk suwe mbesuk pada wae karo sampeyan Mak,” Joni hanya bisa menjawab seperti itu. “Nah kae Pak Yuli wis teka ndang ngomong kana Gun,” Mak Yuli menutup pembicaraan setelah kedatangan suaminya. Joni merasa tidak terlibat pembicaraan akhirnya keluar ruangan. Di depan pondok Bina Desa terdapat seekor beruk ditempatkan di tiang dengan rantai melilit perutnya. Binatang itu melotot melihat Joni mendekatinya, sebentar kemudian bergerak kesana kemari memperlihatkan kegelisahannya akan kedatangan makhluk yang tak dikenalnya. Barulah beruk itu berteriak kesenangan saat Joni menyodorkan sebiji pisang. “Paling enak urip dadi kethek,” Joni berkata ditujukan kepada beruk di depannya. “Kowe ora tau mikir urusan duit,” katanya lagi. Setelah itu tertawa ngikik sendiri. Tiba-tiba dari atas terlihat Ipah bersama Hambali. Mereka berjalan berdua terlihat seperti sepasang kekasih. Joni langsung merasa panas hatinya. Degup jantungnya makin kencang ketika Ipah dan Hambali melewatinya. Matanya serasa gelap.....bumi berguncang tetapi ia masih sadar. Dicobanya memandangi wajah Ipah tetapi begitu kedua matanya bentrok segera mengalihkan perhatian. Ipah seperti tahu perasaan Joni. Ipah dan Hambali terus melangkah menuju tempat Pak Yuli. Sesaat kemudian mereka ngobrol sebentar. “Mungkinkah mereka berpacaran?” Joni berkata sendiri dalam hatinya. Rasanya ia tak rela perempuan itu berada di tangan Hambali. Ipah dan Hambali tidak lama di pondok kerja Bina Desa, rupanya mereka hanya mencari sayur untuk dimasak. Setelah itu mereka pulang bersama kembali ke mess pembinaan. Selewat mereka berdua Joni merasa linglung. Perasaan hatinya tak menentu, ajakan Gugun menyadarkannya untuk pulang ke mess tetapi hatinya tidak bisa ditipunya. Joni merasakan ada yang hilang. Karena gelisah Joni mencoba pergi ke warung Pak Agau, sudah jam tujuh malam. Jalan sudah gelap tapi pondok Pak Agau terlihat bersinar karena lampu minyak. Di sana sudah berkumpul beberapa orang, ada Dian, Junaedi, Jagau sopir dan seorang satgas. Joni segera menaiki tangga cukup tinggi, sekitar tiga meter karena rumah Pak Agau ini masih panggung model kampung. “Ada teman baru nih, ayo Lek umba mihup helo,” Jagau langsung menawarkan gelasnya yang harum alkohol, Joni merasa tertantang. “Baik aku umba ketun, ayo tambah ije botol Pak Agau!” Joni mencoba memberanikan diri untuk menyambut gelas yang disodorkan Jagau. Sementara Pak Agau langsung tanggap mengambil satu botol anggur malaga menambahi sebotol yang sudah berada di meja. Junaedi tertawa senang, “Hari ini kita ditraktir Joni rupanya!” Katanya sejurus kemudian. Joni menenggak anggur malaga dari gelas yang tadinya jatah Jagau. Rasanya pahit lidah seperti menolak tapi harus ditelan. Paling-paling yang bisa dirasakan cuma aromanya yang harum alkohol. Setelah minum satu gelas Joni duduk berdampingan dengan Jagau. Yang lain tertawa senang melayani anggota baru. Setelah duduk sebentar terasa kepala memberat badan sulit digerakan. Pandangn matanya menyempit, dunia hanya mereka yang ada di dekatnya. Beberapa suara dari luar tak ditanggapinya. Sementara Jagau kembali mengisi gelas dengan botol baru pesanan Joni. Ia kemudian menenggaknya, mengisinya lagi dan memberikan giliran kepada Junaedi di sebelahnya. Mereka kemudian diam tak banyak berkata. Dian yang sudah terpengaruh melantur bicara sendiri. Dari bawah pondok datang Pak Yuli, melihat kedatangannya Jagau segera menawarkan minumnya. “Ayo Pak Yuli hari ini kita ditraktir oleh Joni!” Pak Yuli melotot tetapi ia tak menolak ditantang seperti itu. Tujuannya yang hendak membeli susu batal akhirnya bergabung dengan kelompok Joni. Dua gelas sudah masuk, Joni seperti di dunia sendiri, hanya saja ia ingin kencing sehingga mengerakan tubuhnya menuruni pondok Pak Agau. Badannya goyang tetapi masih bisa berjalan dan kemudian mengeluarkan hajatnya. Setelah itu kembali ke pondok ikut minum lagi. Malam semakin larut dunia cepat sekali berputar tetapi hanya air memabukan yang ada di depannya. Gugun rupanya tahu Joni tadi pergi ke warung Pak Agau. Karena sudah lama tidak kembali ke mess akhirnya ia pergi melangkah ke warung Pak Agau. Ramlan yang berada di Pos Satpam menyapanya. “Ke kuweh Gun sendirian sajakah ikau nanjung?” Tanyanya sejurus kemudian. “Hai Lan orang-orang pada kemana nih apa kamu tak melihat Joni dan Dian pergi?” Gugun bertanya kepada Ramlan. “Setahuku ada beberapa orang berkumpul di rumah Pak Agau, paling-paling mereka minum Gun,” katanya lagi. “Ya tapi ini sudah malam, kita ke sana untuk mengajak pulang. Siapa tahu ada yang sampai tidak bisa berjalan,” khawatir juga Gugun rupanya. “Baik tidak biasanya orang minum sampai malam seperti ini,” Ramlan juga sadar malam terlalu larut. Tak baik acara di pondok orang tanpa batas waktu. Akhirnya mereka berdua berjalan menuju pondok Pak Agau. Terlihat orang-orang sudah teler, mungkin untuk berjalan saja sudah susah. Gugun menggamit tangan Joni dan berkata, “Ayo Jon pulang istirahat saja di mess.” Joni menatapnya kosong, “Sebentar Lek aku hinde bayar minuman.” Yang lainpun segera tahu kedatangan Gugun dan Ramlan. Pak Agau tahu acara harus berakhir segera menghitung bon minuman. Barulah setelah itu mereka beranjak pulang. Pak Yuli yang rupanya terkapar tak sadarkan diri. Joni melangkah perlahan, ditolaknya ajakan Gugun yang hendak memapahnya berjalan. “Dia usah Gun aku masih kuat berjalan,” katanya tanpa berhenti melangkah. Melihat Joni, Junaedi, Jagau dan Dian masih mampu berjalan, Gugun dan Ramlan terpaksa mengurusi Pak Yuli. Benar-benar terkapar Pak Yuli kalau mabuk. Tak berdaya seperti mayat hingga mereka berdua harus memapahnya pulang ke pondok Bina Desa yang segera disambut istrinya keheranan. “Kukira setelah dari rumah Pak Agau langsung ke camp ternyata malah terkapar mabuk,” Mak Yuli geleng-geleng kepala menyaksikan keadaan suaminya. Joni sendiri melangkah perlahan, beberapa kali rasanya hendak jatuh sehingga terpaksa berhenti. Akhirnya sampai juga di kamarnya. Di kamarnya terdapat Idrus yang sedang berebah melihat kedatangan Joni dan mencium bau alkohol dari mulutnya segera tahu. “Jon istirahat sajalah ingat jangan kemana-mana lagi,” Idrus berkata mempersilahkan Joni ke tempat tidurnya. Joni hanya mengiyakan saja, direbahkannya tubuhnya tapi perutnya malah terasa mual, terpaksa ia bangkit menuju jendela. Di sanalah cairan kecut bercampur ludah menghambur keluar dari mulutnya, benar-benar tak enak. “Keluar sudah isi perutku,” Joni berkata sendiri setelah perutnya agak lega. Tapi rasanya kepala masih terasa berat sehingga terpaksa berebah lagi, akhirnya perlahan-lahan lelap tertidur. Paginya Joni terbangun kesiangan orang-orang sudah keluar ruangan mungkin sudah sarapan di dapur. Badannya masih lemas tapi dipaksanya untuk duduk. Agak lama barulah bisa menyesuaikan diri. Diambilnya sebatang rokok dan dinyalakannya, asap rokok membuat pikirannya sedikit terang, tapi Joni hanya keluar dan duduk di halaman mess bujangan. Duduk bengong memandangi orang-orang yang sedang sarapan di dapur umum. Sekitar jam sembilan siang barulah Joni menuju dapur umum untuk sarapan. Ibu dapur menyapanya, “Jon awan banget menyang kene segane entek nembe arep masak nggo mengko awan,” si Mbok menjelaskan keadaan. “Ana supermie ora Mbok, wetengku ngelih banget,” Joni memaklumi keadaan si Mbok sehingga ia meminta dibikinkan mie rebus. “Ya wis enteni sedilit yo nggaweo wedang dewe wae....,” si Mbok langsung sibuk membuatkan mie instan dicampur sayur. Joni sendiri menuangkan teh ke dalam gelas untuk minum. Tak lama kemudian Joni makan semangkok mie rebus panas. Segar juga rasanya apa lagi ditambah dengan sisa sayur sarapan pagi orang-orang camp. Selesai sarapan Joni masih duduk di tepi bangku dapur yang sudah ditutup pintunya oleh si Mbok. Sementara di mess orang-orang berkumpul dan mengadakan kegiatannya sendiri-sendiri. Mereka berharap upah segera dibagikan untuk keperluan masing-masing. Untuk mengurangi kejenuhan mereka bermain kartu remi dan domino. Saat sedang sibuk bermain lewat Pak Yuli, badannya masih loyo matanya bengkak kurang tidur. “Wah Pak Yuli masih kuat berjalan rupanya...,” Gugun menyapa tahu kalau Pak Yuli ini juga bangun kesiangan akibat mabuk semalam. “Gundulmu! Gara-gara Joni aku sampai dimarahi istriku tahu!” Katanya sewot. “Berantakan kerjaku deh, harusnya aku turun ke log pond ambil barang di koperasi sekarang sudah terlambat,” katanya menyesali perbuatannya semalam. “Mana Joni sekarang?” Tanyanya lagi. Gugun hanya tertawa, tangannya menunjuk ke tempat Joni berada tetapi tidak terlihat dari luar dapur. “Sialan tuh anak!” Pak Yuli menyumpahi Joni, sayang yang bersangkutan tidak mendengar. Setelah itu Pak Yuli beranjak pergi menuju persemaian untuk meminjam beberapa peralatan. Sorenya Mak Yuli sambat, “Pak, Pak wong utange akeh wae isih seneng mendem, njur kapokmu kapan?” Pak Yuli nyengir sendirian membela diri, “Aku iki diajak si Jagau jarene dina kuwi ditraktir Joni.” “Betul si Joni yang mentraktirmu?” Mak Yuli menegaskan pembelaan suaminya. “Takokna wae maring si Jagau,” sulit Pak Yuli memberi pengertian. “Ya sudah kamu tinggal di sini, gantian aku sekarang yang mentraktirmu minum berdua,” ternyata itu maksud Mak Yuli. Kaget suaminya, “Jangan Mak sudahlah aku janji tak mengulanginya lagi,” Pak Yuli bersumpah menyabarkan istrinya. “Aku tak peduli tunggu saja di rumah kita lomba mabuk hari ini!” Bukan Mak Yuli kalau tak keras kepala. Ditinggalkannya saja suaminya di pondok Bina Desa dan Mak Yuli segera ke warung Pak Agau. Saat itu Joni berada di warung sedang minum sprite bersama Gugun. “Ada apa Mak Yuli?” Joni menegur Mak Yuli basa-basi. “Huuu gara-gara kowe bojoku dadi kumat!” Mak Yuli ngomel-ngomel tahu siapa orang di depannya. “Pak Agau minta sebotol malaga ya,” pintanya kepada pemilik rumah. Pak Agau melongo, “Ikau hendak mihup kia Mak?” Tanyanya kemudian, tapi tangannya membuka juga dus berisi anggur malaga. “Bayarnya kareh Kas, masukan bon ayungku helo!” Perintah Mak Yuli lagi. Mak Yuli segera berlalu diiringi pandangan aneh Pak Agau, Joni dan Gugun. Konon Mak Yuli marah besar kepada suaminya. Orang disuruh membeli susu buat anaknya ternyata pulang dengan tangan hampa bahkan sampai terkapar mabuk. Gantian Mak Yuli balas dendam, ditantangnya suaminya untuk minum berdua. Alhasil pondok Bina Desa jadi ajang mabuk-mabukan sepasang suami istri. Kali ini Joni mendapat bagian survey di pembebasan III. Ketua regunya orang baru yang pindahan dari Tumbang Nusa. Dulu di Tumbang Nusa biasa masuk hutan juga. Sebagian dari orang Tumbang Nusa dimutasi ke Kuala Kurun karena HPH Tanjung Raya sudah kehabisan areal tebangan. Masa ijinnya sudah habis, sebenarnya eks HPH tersebut masih ada namun sebagian besar arealnya rawa-rawa sehingga sulit dibuat HTI (Hutan Tanaman Industri). Jadi terpaksa perusahaan tersebut dibekukan. Paling-paling yang masih terpakai adalah areal log pond sebagai transit kayu rakitan untuk dibawa ke perusahaan plywood di Banjarmasin. Tahun-tahun pertama di perusahaan Joni sudah biasa ikut regu pembebasan. Dulu ketua regunya masih dipegang Pak Sahid, Pak Amir yang termasuk senior di perusahaan. Setelah itu datanglah generasi Tobias, Saiful Bahri, Husen, Mario dan Sahrun. Barulah setelah setahun hanya menjadi anak buah Joni, Junaedi, Gugun, dan Boy dicoba memegang ketua regu. Jadi mulai ada peningkatan karier. Tapi baru beberapa bulan berjalan semuanya berantakan. Orang-orang baru pindahan dari Tumbang Nusa menyingkirkan mereka semuanya menjadi anak buah lagi. Bahkan orang-orang ini sering tidak memakai orang-orang yang tinggal di camp malah mengambil tenaga dari luar seperti orang-orang kampung di Kuala Kurun dan bawaan dari kampung di Tumbang Nusa. Entah kenapa sekarang Joni malah direkrut oleh salah satu ketua regu pindahan tersebut. Regu pembebasan terdiri dari sepuluh orang, ketua regunya dikenal Joni bernama Parminto. Sebenarnya dia orang Jawa hanya saja Joni jarang bertemu sebab selama di PT JAP orang-orang baru ini tinggal menetap di log pond bersama orang pindahan bengkel dan mekanik. Jadi mereka seperti membentuk grup sendiri yang cukup berpengaruh di bagian pembinaan. Yang sering jadi pertanyaan Joni Cs adalah setahu mereka Kabag pembinaaan yaitu Pak Joko tinggal di Camp km 4. Tetapi ternyata ada anak buahnya seolah-olah lepas kontrol dari pemimpinnya. Entahlah Joni hanya sekilas saja pengetahuannya. Pembebasan III berada di jalan Domas km 25, melewati rumah Pak Mundai walau sejalur. Tahap pembebasan berlangsung setiap dua tahun. Setelah perapihan selesai kemudian ITT (Inventaris Tegakan Tinggal) yang dilakukan oleh regu perencanaan. Maka masuklah tahap pembebasan I. Karena itu areal yang sekarang dimasuki sudah tahun ke delapan dari kegiatan penebangan. Benarkah kegiatan ini adalah kesinambungan dari kegiatan sebelumnya? Pertanyaan itu langsung terjawab di lapangan. “Jon coba lihat peta ini, kamu hapal atau tidak dengan areal pembebasan ini?” Parminto mulai memaparkan cara kerjanya. “Aku kurang tahu daerah ini, rasanya baru sekali ini masuk kegiatan di jalan Domas,” jujur Joni berkata. “Areal kegiatan terakhir berupa blok penanaman di km 12 di situ masih kelihatan jelas, berarti dari sanalah kita menelusurinya, tapi itu hanya menurut perkiraanku saja.” “Apa tidak terlalu jauh, tidak adakah cara lainnya Jon?” Parminto bertanya lagi. Iapun memperhatikan peta buatan perusahaan ini. “Ini blok N penanaman sebagian berada di blok M, jika kita mengambil dari blok penanaman kemudian menyusurinya ke utara kemungkinan besar akan bertemu dengan pertemuan batas blok kegiatan lain, sayangnya di peta ini tak terlihat jalan penebangan. Rasanya aku seperti buta meraba-raba kegiatan ini,” Joni menerangkan gambar peta di tangan Parminto. Peta yang ada ternyata peta pembukaan wilayah, itu hanya peta awal-awal perusahaan menebang. “Kalau melihat seperti ini berarti areal ini hanya ada kegiatan penebangan saja, setelah itu terlantar tanpa ada tahap pembinaan,” Parminto mulai mengerti kalau mereka langsung masuk kegiatan pembebasan III tanpa pegangan kegiatan sebelumnya. “Kemungkinan besar seperti itu, setahuku bagian pembinaan ada tapi jaman Pak Amir dan Pak Sahid syaratnya masih longgar. Baru sekarang ini saja perusahaan diharuskan membuat bagian pembinaan sebagai syarat perpanjangan ijin penebangan,” Joni membuat perkiraan sendiri karena sebenarnya ia pun tak tahu menahu masa lalu perusahaan ini. Sama-sama buta Parminto dan Joni berpikir keras, “Kalau saja ada salah satu senior itu berada di sini mungkin bisa menunjukan salah satu petak blok tanpa kita ke km 12,” Parminto akhirnya berkata sendiri. “Rasanya sulit memang, coba kalau kita merintis ke salah satu arah mata angin ke utara atau selatan mungkin akan bertemu dengan batas yang sudah ada bekas catnya, kalau ketemu salah satu batas bisa mengurangi jarak yang demikian jauhnya untuk memulai,” Joni mencoba membuat jalan. “Apa!!” Parminto seperti terkejut. Ia sendiri bingung cara apa yang paling baik untuk dilakukan. Setelah berpikir sebentar barulah ia berkata sendiri, “Ya itu bisa dilakukan betapapun kecil kemungkinannya menemukan salah satu batas yang ada.” Dari pada berjalan kaki menuju km 12 yang demikian jauhnya mending berbuat apapun untuk menemukan batas petak. Akhirnya disepakati merintis ke sebelah utara dengan ritnisan tikus sampai menemukan garis batas petak yang biasanya sudah dicat merah. Hari pertama itu saja kerjanya. Syukur memang cara tersebut cukup efektif. Setelah merintis dengan kompas ke arah utara sekitar dua jam ketemu juga batas petak. Jadi dari titik yang ditemukan ini besok menyusuri ke arah barat atau timur untuk menemukan salah satu patok blok. Benar-benar tidak mudah!! Parminto orangnya berkulit coklat kehitaman. Bodinya sedang berotot, terlihat benar kalau ia seorang pekerja keras. Setelah berkumpul dalam satu regu kegiatan barulah Joni tahu orang ini termasuk sudah berpengalaman hidup di hutan. Dari Tumbang Nusa sebenarnya ia sudah keluar masuk perusahaan, semuanya sebagai orang survey. “Di Tumbang Nusa hutannya datar bahkan lebih banyak rawanya, untuk mengangkut kayu dari areal tebangan dibuat jalan berupa rel seperti lori,” Parminto bercerita tentang areal yang pernah dimasukinya. “Untuk beberapa daerah yang berawa kita masuk hutan dengan jukung mulai dari survey mengukur kayu sampai menebang. Setelah kayu terkumpul untuk mengeluarkannya dibuat parit lebar menuju sungai. Baru saat air pasang kayu bisa dihanyutkan,” cerita terus berkembang memaksa Joni mendengarkan. Rasanya syik juga berkumpul dengan seorang yang lebih berpengalaman di hutan. Untuk hutan rawa (mangrove) Joni belum pernah memasukinya. Di PT JAP memang ada areal berawa tetapi tidak luas lebih mirip kubangan air atau sebuah sungai yang genangan airnya melebar. Saking lebarnya orang-orang berjalan di atas kayu kecil tapi tetap hidup, namun hati-hati sekali kecebur ke air bisa terbawa arus. Nah kalau cerita Parminto mirip seperti itu tetapi arealnya sangat luas bahkan dominasinya jenis hutannya seperti itu. Jadi orang-orang hidup selalu di atas air, berpondok di atas air kemudian bergerak kemana-mana harus memakai jukung. Di sana orang tak tahu mana hilir atau hulu, yang terasa hanya air pasang atau surut. Sebagian besar airnya berwarna coklat karena mengandung gambut. Ingatan Joni melayang saat menyusuri sungai Kahayan dari Banjarmasin. Melewati kanal (anjir) sampai ke Tumbang Nusa. Tumbang Nusa memang tempat transit berbagai angkutan sungai seperti bus air, speed boat, atau kapal tangkalasa dan berbagai kapal perahu milik orang Banjarmasin yang terkadang berdagang hingga ke hulu. Tepi sungai di bagian hilir ini sebenarnya tak terlihat. Untungnya ada pohon rimbun di sekitar sungai, jadi anggaplah tepinya itu berupa pepohonan yang menjulur akar-akar udara. Saat air pasang air bisa masuk jauh ke daratan. Jika terdapat areal tanaman karet boleh dianggap daratan. Tapi jika hanya tumbuhan belukar berakar tunjang berarti bisa menggenang sampai berkilo-kilo meter dari tepi sungai. Ada beberapa tempat tertutup rotan, mungkin itu ditanam sebagai tumpang sari. Itu hanya sepintas Joni melihat dari speed boat. Yang jelas pemandangan seperti itu terasa monoton bahkan membosankan. Yang diketahui Joni itu bagian pinggirnya saja karena melihat sungai besar Kahayan, Kuala Kapuas dan Barito. Yang diceritakan Parminto adalah areal sekitar puluhan kilo meter dari sungai besar. Bisa dikatakan bahwa hilir sungai, Kuala Kapuas dan Kahayan membentuk genangan air rawa yang seolah-olah tak bertepi. Hampir ketiga sungai tersebut bersatu karena adanya areal pasang surut yang demikian luas. Karena luasnya rawa (mangrove) tersebut berbagai nama tempat selalu berhubungan dengan sungai. Ada sei, tumbang, pulau, kuala, hurung, anjir. Semua nama-nama tersebut selalu berhubungan berujung bentuk aliran air. Budayanya pun berupa kehidupan sungai. Getek, jukung, kapal kayu semuanya transportasi di daerah sungai. Tak heran Kalteng merupakan gudang atlet dayung. Secara alamiah orang-orang Kalimantan pasti bisa berenang atau mendayung. Kalau Joni belum pernah mendayung terkadaang kepengin tetapi tak punya kesempatan. “Di sini ada beberapa jenis kayu yang sama dengan di hilir. Lihat itu kayu nyatoh bergetah putih memiliki akar tunjang. Orang-orang kampung biasa mengambil getahnya untuk mengikat hulu parang atau beberapa kerajinan,” Parminto bercerita saat pengalamannya di Tumbang Nusa. “Ada juga pohon kayu seperti nyamplung di Jawa itu yang dicari perusahaan. Paling mahal adalah kayu ramin, itulah yang jadi primadona pembalak. Mereka segera menebang kayu ramin untuk berbagai jenis mebel.” “Jangan kira nyaman mengambil kayu ramin, getahnya bisa membuat iritasi kulit. Setiap kali habis menebang gelondongan kayu segera diracun untuk mematikan kutu bubuk. Kalau tidak cepat diracun kayu yang terkena kutu bubuk tak berharga lagi,” terus Parminto bercerita. Kemudian Parminto melihat sekelilingnya, “Nah itu yang disebut kayu ramin gunung, di areal rawa kayu tersebut ada tetapi jumlahnya sedikit. Tapi sebenarnya ramin gunung berbeda dengan kayu ramin di rawa. Yang dicari tetap kayu ramin rawa karena kegunaannya untuk industri mebel.” “Kayu geronggang di sini ada tetapi sedikit, kalau di Tumbang Nusa bisa dikatakan perusahaan pasti mengambilnya untuk plywood. Sayang areal di km 25 ini tak ada kayu geronggang, tapi di km 8 jalan negara kulihat cukup banyak.” “Yang paling jarang itu adalah kayu meranti. Di sana kayu meranti yang ada sering disebut meranti tembaga. Kualitasnya kurang bagus lagi pula tidak besar-besar seperti di kegiatan pembebasan ini.” Begitulah di waktu senggang Parminto banyak bercerita tentang daerah-daerah hilir hingga muara sungai besar di Kalteng. Salah satu kota besar yang terdiri dari daerah rawa ibu kota Palangka Raya. Daerah Palangka Raya bertanah gambut tipis. Jika lapisan gambut habis terkikis terlihat pasir putih mendominasi, jadilah kota Palangka Raya mendapat sebutan kota lautan pasir. Tapi biarpun pasir material tersebut tidak bagus untuk pondasi bangunan. Bekerja di pembebasan harus membuat data sebaran tanaman. Disinilah terlihat keahlian Parminto. Entah bagaimana orang ini bisa menduga jenis tanaman dengan mendasarkan pada daun yang berguguran di bawahnya atau dari kulit kayu dan sosok pohonnya. Terkadang ia bahkan mengambil beberapa jenis daun di tanah dan kemudian membanding-bandingkannya. Sepertinya ia banyak tahu tentang ilmu tanaman dari sudut morfologinya. “Jon sudah berapa kali kamu masuk kegiatan pembebasan?” Suatu kali Parminto bertanya kepada Joni. “Tahun pertama di perusahaan ini aku selalu ikut Tobias di pembebasan, rasanya ada lima enam bulan,” Joni menerangkan keadaannya kepada Parminto. “Areal yang kumasuki itu masih di jalan Tanjung Raya menuju jalan negara.” “Kalau begitu pantas daerah ini tidak tersentuh kalian,” Parminto melanjutkan pembicaraan. “Mungkin saat Pak Amir dan Pak Sahid di sini mereka tidak tahu tentang areal ini kecuali RKT nya yang sudah sepuluh tahun silam. Berarti Pak Amir dan Pak Sahid langsung survey di jalan Tanjung Raya ini.” “Sedangkan areal di jalan Domas sepuluh tahun lalu adanya penebangan dilakukan oleh perusahaan sebelum terbentuk unit pembinaan. Mungkin di awal-awal perusahaan menebang sehingga saat itu yang penting menghasilkan kayu sampai selesai dan kemudian ditinggal begitu saja karena adanya pergantian operasional perusahaan.” Joni manggut-manggut rasanya cukup jelas juga keterangan yang disampaikan ketua regunya ini. “Lagi pula kalau saat itu ada unit pembinaan tentu areal ini sudah dimasuki kegiatan penanaman pengayaan atau kiri kanan jalan,” katanya kemudian. “Ye memang begitu, jadi sepuluh tahun yang lalu belum terbentuk unit pembinaan. Paling-paling dokumentasi yang ada adalah peta pembukaan wilayah, pembuatan tapal batas dan kemudian pembuatan jalan untuk rencana pemngangkutan kayu. Kalau seperti itu yang memiliki peta jelas bagian produksi.” Joni hanya mendengarkan saja kata-kata ketua regunya. Kemudian Parminto melihat sekelilingnya, pondok dibuat di pinggir sungai cukup besar. Melihat keadaannya Parminto meraba-raba adakah orang kampung di sekitar mereka bekerja. Seorang anak buahnya yang asli orang Kurun pernah memberitahu bahwa jalan ini jika diteruskan akan menembus batas areal PT Domas Raya tapi hanya salah satu camp produksinya saja. Menurutnya lagi jalan Domas di km 8 simpang kiri yang menuju hulu Kahayan hingga menembus sungai Tumbang Miri sebuah kecamatan terakhir di Gunung Mas. “Untuk sementara ini kita selesaikan batas utara dan timur dulu. Besok langsung mulai membuat jalur dan mendata tegakan, kita sudah beberapa hari ini saja berkutat tentang bekas areal yang tidak terdefinisikan, hampir-hampir tak mungkin menemukan seluruh areal pembebasan kecuali sebelum sebulan ini hanya itu-itu saja kerjanya,” Parminto akhirnya mmebuat keputusan. Memang seharusnya pembuatan batas blok dilakukan oleh unit perencanaan. Sayangnya unit perencanaan yang ada sekarang tidak bisa disalahkan karena orang-orangnya sudah berganti generasi. Baru sekarang Joni merasakan kerja berat sedemikian kerasnya. Ketua regu kali ini tipe pekerja keras, orangnya rajin, disiplin dan jujur juga menguasai bidang kehutanan. Ibarat ada lalat ditemuinya langsung Parminto tahu itu jenis apa, kemudian membedakan jenis meranti mulai dari meranti merah, kuning kekerabatannya dengan tengkawang atau marganya yang semua jenis kayu di hutan selalu marga dipterocarpaceae. “Ini meranti batu,” Joni menunjuk salah satu tegakan cukup besar mungkin sekitar 30 cm. Dilabelinya pohon tersebut dengan nomor urut pohon untuk peta sebaran tanaman. Dilihatnya Parminto memperhatikan tanaman tersebut dan kemudian berkata, “Benar itu meranti batu. Tapi sebenernya kayu meranti batu bukan termasuk meranti.” Uuups Joni pusing jadinya. Meranti batu tapi bukan meranti bagaimana ini? “Kamu tahunya pasti dari orang kampung benar tidak!” Katanya kemudian diiringi tawa pelan. “Meranti batu itu nama kampungnya, kalau dalam ilmu taksonominya malah masuk jenis bengkirai.” Yang membuat kewalahan Joni adalah disiplinnya. Saat pembebasan mengikuti ada seorang bertugas mematikan tanaman yang didata. Misalnya jika terdapat tegakan kayu komersial tapi di sampingnya terdapat pesaing dari jenis lain maka jenis pesaing tersebut dikupas kulitnya kemudian diracun dengan roundup. Sekitar tegakan ditebas untuk memberi ruang tumbuh. Tegakan yang didata diukur kelilingnya untuk mendapatkan diameter batang. Satu tegakan diperlakukan demikian membutuhkan waktu cukup lama. Akibatnya mereka di hutan terkadang sampai sore. “Uuuh uyuh benar Aku Jon....,” seorang dikenal Pak Ramli berkata. Ia berkata demikian sambil menjatuhkan pantatnya ke batang pohon rebah di pinggir jalan. “Memang ketua regu kita ini seperti inikah kerjanya?” Lagi beliau melanjutkan pembicaraan. “Kalau seperti ini terus lebih baik aku jadi tukang masak saja.” Semua anggota regu berbisik seperti itu diam-diam di belakang Parminto. Joni sendiri baru kali ini ikut dan mengenal Parminto tidak bisa berkomentar apa-apa. Pertengahan bulan di pembebasan III, anggota regu mulai merasakan berat dan kerasnya ketua regu mereka bekerja. Mereka sendiri heran dengan Parminto, sepertinya tak pernah kenal lelah. Dalam pembebasan sebenarnya penebasan hanya dilakukan sekitar tegakan yang didata untuk memberi ruang tumbuh. Tapi Parminto mengharuskan penebasan setiap unit luasan kerja 20x20 meter harus bersih. Mungkin itu memberatkan anggota regu, bagi Joni membandingkan di perapihan pernah melakukan hal sama, tetapi setelah tahu beratnya lebih baik melakukan kompromi. Sekarang yang dilakukan Parminto ternyata lebih berat, tuntutannya harus terpenuhi. Tapi harus diakui pula kejujurannya, seperti itulah sebenarnya perlakuan terhadap hutan untuk menunjang konservasi. Hanya saja kemampuan manusia yang terbatas menolak. “Aku sendiri baru sekali ini ikut Parminto, selama ini bahkan mengenalpun tidak jadi ya adanya saja aku ikut, entah nanti kuat atau tidak,” Joni menyatakan keadaan. “Enak kowe Jon,” seorang lagi si Zaenal orang trans bicara. “Kerja nggak kerja entuk upah, nek kaya aku mung ngetung pirang dina yo semono upahe,” katanya lagi. Joni pusing juga mendengar keluhan orang-orang ini. Ia sendiri tidak berdaya, dalam bekerja orang harus mengikuti perintah atasan. Di regu pembebasan ini juga berlaku aturan tersebut. Semua orang hanya berani berkata di belakang Parminto. Anggota regu pembebasan ini hanya Joni yang orang camp selebihnya adalah orang Kurun dan Trans Jawa. Mereka semuanya diupah harian. “Terus terang saja aku tak berani menyampaikan keluhan kalian kepada ketua regu, keadaanku sama dengan kalian. Hanya bedanya Parminto tak mungkin memecatku itu saja,” karena bingung Joni menyerah. “Kalau kalian memang tidak betah boleh tak ikut regu ini mungkin di regu lain nanti pekerjaan tak seberat ini,” hanya itu saja jawaban Joni. Yang lain terpaksa mengikuti saran Joni. Nah.... “Pak Zaenal mengko sore melu aku ngukur dalan ya......!” Terdengar suara Parminto meminta kesediaan anggota regu yang sama-sama Jawa. “Nggih Pak Min mangke kulo tumut sampean!” Pak Zaenal menjawab tetapi hatinya kebat-kebit juga karena merasa sudah capek. Parminto melanjutkan kata-katanya, “Areal ini belum ada peta jalan, terpaksa kita mengukur jalan yang ada dengan tali dan kompas setiap sore barang satu dua kilo meter.” “Aduh mati Aku!!” Pak Zaenal menggerutu dalam hati tak mampu menolak. “Jon kamu ikut juga bawa seorang anggota yang lain untuk mengukur, ini tali sepanjang 20 m bisa kamu pakai!” Parminto memberi perintah tegas kepada Joni yang sedang makan di dapur untuk ikut mengukur. Mengukur jalan yang ada terkadang sulit. Jalan-jalan bekas angkutan logging banyak yang sudah tertutup rimbunnya semak belukar. Beberapa jalan bekas pengambilan kayu oleh traktor bahkan sudah tertutup tumbuhan merkuwung dan jenis perdu. Sepertinya sudah tak terlihat lagi bekas tebangan puluhan tahun lalu. Hanya tinggal kayu besar masih ada, itulah penanda kalau daerah tersebut sudah pernah membuat perusahaan ini jaya. Dengan secarik kertas tally sheet Joni diikuti Tinjak yang orang Kurun asli mengukur panjang jalan. Joni mengambil dari bekas batas blok yang pernah dijelajahinya. Dari sanalah Joni mengukur panjang jalan dengan tali, Tinjak di depan memegang tali berjalan kemudian berhenti setiap 20 meter. Joni mencatat berapa bilangan rentangan tali yang sudah didapat. Hanya saja ia tak memegang kompas jadi tak tahu arah. Ini berbeda dengan Parminto yang membawa kompas, ia betul-betul mencari bentuk jalan berbelok kemana hingga akhirnya bisa dibuat peta jalan. Joni paling-paling hanya mencatat belok kanan kiri. Akhirnya kedua tim tersebut bertemu di tengah-tengah blok hingga bisa diketahui persisnya jalan-jalan bekas angkutan kayu di dalam blok. “Bagaimana Jon mana catatanmu? Kumpulkan nanti aku yang membuat petanya di pondok kerja,” tanpa banyak basa-basi Parminto minta catatan Joni. “Hampir-hampir aku tak mengenali jalan Pak Min,” Joni berkata sambil menyerahkan catatannya. “Sebagian jalan sudah tertutup semak, lagi saat ada tanjakan rasanya sampai aku yakin kalau itu benar-benar jalan dulunya.” “Makanya aku terpaksa mengukurnya, hasil pengukuran ini saja aku tak yakin benar-benar akurat,” Parminto berkata sendiri. “Besok masih harus diukur simpangan-simpangan yang tadi kamu ketemu, salah benar tak terlalu masalah,” katanya lagi. Hari sudah senja udara sudah sejuk di jalan yang saat siang sangat panas. “Kita pulang ke pondok sekarang,” Parminto berkata. Itu saat yang ditunggu Joni, Pak Zaenal dan Tinjak. “Kalian pulang saja lebih dulu aku hendak ke sungai sebentar,” Parminto malah menyuruh mereka berjalan lebih dulu. Mungkin ia hendak buang hajat dulu. “Lek kalau seperti ini terus aku tak tahan kia,” Tinjak berkata kepada Joni. “Dari pagi sampai sore hampir-hampir tak ada istirahatnya.” “Bagaimana lagi, Parminto memang sudah seperti itu orangnya,” Joni menjawab tahu keadaan Tinjak dan teman-temannya ini. Semuanya mengeluh ikut dengan Parminto bekerja merasa berat. Mereka berjalan ke pondok sudah remang-remang, beberapa tanjakan harus dilalui di samping jembatan kayu yang sebagian sudah rusak. Sekian tahun tak terpakai jelas jembatan tersebut tidak terawat. Pondok kerja ternyata dibuat di luar blok kerja, terlanjur karena pertama kali menginjak areal tersebut mereka tak tahu apa-apa. “Mana Parminto Jon, kok tidak bersama kalian?” Pak Ramli seperti keheranan saat Joni cs pulang tanpa ketua regu. “Paling masih di belakang, tadi Pak Min ke sungai dulu jadi kami tinggal saja,” Pak Zaenal kemudian ngobrol dengan anggota regu yang lain. Cuma kali ini mereka seperti tak ingin diketahui masalahnya oleh Joni. Malam harinya Pak Zaenal menghadap Parminto untuk berbicara empat mata. Entah apa yang mereka bicarakan Joni tak tahu. Hanya paginya pekerjaan diliburkan oleh Parminto karena empat orang diantaranya turun tak kembali lagi. Rupanya Pak Zaenal minta turun kembali ke Kurun karena ada keperluan. Tapi teman-temannya juga ikut bersama. “Pak Zaenal mengeluh terus kepadaku, katanya tak tahan ikut Parminto,” Pak Ramli memberitahu Joni. “Jangankan dia akupun rasanya tersiksa,” lanjutnya kemudian. “Aku tadi sudah memberitahu Parminto mulai besok jadi tukang masak saja.” Joni terdiam. Urusan kerja memang berbeda-beda untuk setiap orang. Bagi Joni pribadi pekerjaan ini biarpun berat tapi masih mampu dilakukan. Sepeninggal pak Zaenal dan teman-temannya pondok kerja menjadi sepi. Parminto tak bisa berbuat apa-apa, berkurangnya anggota regu membuat pekerjaan terganggu. “Pak Zaenal ini aneh-aneh saja, bicara denganku tadi malam minta upah dinaikan,” Parminto bicara sendiri. “Dikiranya urusan gaji aku yang mengatur rupanya,” katanya kemudian. “Di hutan ini maunya ada hiburan, wah jangan disamakan kerja di Kurun yang lebih ramai.” Joni sendiri merasa lega, diberi kesempatan libur membuat dirinya leluasa istirahat. Rupanya anggota regu yang lainpun sama, mereka memanfaatkan benar waktu istirahat yang diberikan ketua regunya. Di pondok sekarang tinggal enam orang. Ketika bekerja di log pond ikut Saiful Bahri pekerjaan bahkan lebih berat dari ini. Di log pond bekerja membantu tukang kayu, mereka memanfaatkan tenaga orang-orang seperti dirinya karena kontrol manager langsung. Saat itu Saiful bahri menyadari keadaan sehingga ia secepatnya bertindak menjauhi lokasi. Kalau di pembebasan ini hanya memenuhi tuntutan Parminto saja. Mungkin yang memberatkan, Parminto ini begitu betah di hutan sehingga anak buahnya yang sebagian besar kewalahan melayaninya. “Jon umba aku mengangkat banjur,” Tinjak berkata kepada Joni setelah tidur siang. “Aku pasang banjur kemarin sore, lumayan kalau dapat iwak untuk teman nasi.” “Baik Lek, ikau pasang banjur je kuweh hilir atau hulu?” Joni mengiakan saja ajakan Tinjak. Setelah tidur rasanya badannya cukup segar, jadi kalau jalan-jalan untuk mengambil ikan kena banjur rasanya sepadan. Tinjak menunjuk ke hulu sungai, mereka berjalan beriringan sambil membawa parang. Tinjak tentu lebih hafal di mana saja ia memasang banjur. Itu joran pancing yang diberi umpan tetapi dipasang di tepi sungai tanpa ditunggu. Nantinya tinggal dilihat dapat ikan atau tidak. Tinjak rupanya membawa mata kail dari Kurun sehingga bisa membuat banjur. Tidak semua banjur mengenai ikan, banyak juga yang nihil, bahkan ada yang putus talinya karena gerakan ikan meronta. Mungkin ikan besar sehingga saat berontak tali senar pancing putus. Tapi lumayan juga beberapa ekor baung dan lele (pentet) didapat Tinjak dan Joni. “Kalau tege waktu kareh aku pasang jerat Lek, aku tureh je hitu are jejak bawoi,” Tinjak berkata sambil menunjuk bekas tapak kaki babi hutan. Bekas jejak babi hutan tersebut sepertinya masih baru, mungkin binatang tersebut mencium kehadiran mereka sehingga cepat beranjak pergi. “Eh Jon kinan dia ikau dengan bawoi?” Tinjak bertanya kepada Joni sepertinya ingat sesuatu. “Dia kinan Lek lebih baik binatang lain saja,” Joni tertawa mendengar teguran Tinjak yang sepertinya ingat kalau ia beragam Islam. “Kareh dapat bawoi ikau jual je Kurun kani dia nare,” Joni memaklumi kebingungan Tinjak. Mereka terus berjalan ke hulu, sekitar empat ratus meter dari pondok kerja. Terakhir banjur diangkat hanya mendapat tujuh ekor ikan cukup besar. Terlihat masih banyak kumpulan ikan berenang jenisnya ikan putih. “Kapan-kapan kita mancing je hitu Lek,” Joni menunjuk sekumpulan ikan yang sedang berenang menetang arus sungai. Ada ikan seluang, pondong besar kecil dan ikan jenis tombro. Yang sulit dilihat adalah ikan yang hanya berkeliaran malam hari saja. Sampai di pondok kerja ikan-ikan hasil membanjur disiangi Pak Ramli. Mulai hari itu Pak Ramli resmi jadi tukang masak. Rupanya beliau merasa badannya yang sudah tua tak mampu lagi untuk ikut masuk hutan sehingga menyerah. Cuma Pak Ramli ini orangnya sering berlagak muda. Kalau untuk bicara dan diajak ngobrol sepertinya tak ada habis-habisnya dan lama kelamaan hanya beliau sendiri yang dominan bicara. Untungnya jika bercerita cukup bermutu. Ia sering mengisahkan masa mudanya yang sering ikut beberapa Bos perusahaan. Dulu masih banyak tenaga kerja didatangkan dari malaysia dan Filipina. Pergaulan sehari-harinya dengan orang-orang dari negara tetangga tersebut membuat Pak Ramli bisa berbahasa Filipina dan logat Malaysia. “Are jejak binatang je hulu Kas,” Tinjak bicara dengan Pak Ramli yang sedang menggoreng ikan hasil membanjur tadi. “Bulan depan jika aku umba je hitu hendak kupasang jerat.” Pak Ramli menyahut, “Behalap Lek, kareh aku dohop ikau nampa jerat. Sayang kia Pak Zaenal jadi mohon helo, sekarang aku te jadi paling tua je hitu,” katanya kemudian. “He ie iwak jadi matang besanga, ayo ketun kuman helo!” Malam itu anggota regu makan nasi dengan lauk ikan segar. Biarpun ada sarden dan ikan asin tetap saja lebih enak ikan yang didapat dari sungai. Terasa gurih dan kesegarannya tak bisa ditipu. “Ayo Pak Min kuman helo kareh nasi jadi lepah!” Pak Ramli menyodorkan ikan goreng di dalam piring kosong kepada Parminto. “Terima kasih Kas sisakan saja nasi dan ikan buatku, aku hendak sholat dulu,” Parminto tidak menolak tetapi lebih dulu ia mengerjakan sholat maghrib. Sekarang mereka berenam saja di pondok kerja, pekerjaan tak mungkin selesai sesuai target. “Besok kita tetap bekerja seperti biasa, untuk urusan menebas dan meracun ditiadakan dulu, yang penting kita mendata tegakan setiap hari paling tidak mendapat dua jalur,” Parminto berbicara kepada anggota regu tentang rencana yang akan dilakukannya mengingat tak mungkin lagi mencapai target membuat keringanan dalam bekerja. Malam itu orang-orang cepat tidur. Tak terbersit lagi keinginan untuk bermain kartu seperti malam sebelumnya. Kartu yang ada sudah lusuh tak nyaman lagi buat bermain remi karena terlalu sering dipegang-pegang. Keesokan harinya mereka mulai bekerja lagi seperti biasa. Hanya saja untuk menebas ditiadakan. Orang-orang sekarang konsentrasi ke data tegakan tanaman. Pembebasan mensyaratkan pendataan sebaran tanaman. Tegakan yang ada kemudian diberi label dan nomor pohon. Yang dicari adalah tegakan di bawah diameter 50 cm. Anggap saja itu adalah tegakan-tegakan yang punya potensi sepuluh tahun mendatang bisa ditebang. Untuk menandainya terdapat kriteria tegakan. Di bawah 5 cm disebut semai, ini tegakan kecil mulai dari biji tunas sampai tumbuh dengan diameter kurang dari 5 cm. Tegakan ini kecil tak perlu dilabel. Dalam peta jalur sering hanya ditandai bentuk centang. Biasanya jika bertemu semai bergerombol tumpang tindih di bawah naungan pohon induk atau daerah bekas tebangan yang sudah terbuka. Biji-biji dari tegakan induk menyebar ke sekelilingnya, berbagai jenis dipterocarpaceae memiliki biji unik. Setiap biji memiliki dua sayap seperti kitiran (baling-baling). Jadi biji tanaman tersebut tidak langsung jatuh ke bawah tetapi melayang dulu menyebar di areal sekitar. Pemandangan seperti ini sangat khas, tak setiap hari bisa menyaksikannya. Mungkin karena biji dan penyebarannya yang demikian tanaman tersebut dianggap sebagai tumbuhan tingkat tinggi. Meranti, tengkawang, keruing, sampai jenis-jenis bengkirai memiliki biji bersayap seperti itu. Itulah ciri-ciri hutan hujan tropis di Indonesia. Setelah semai mulai biji hingga tanaman kecil, barulah tegakan berdiameter lebih besar yaitu pancang. Diameternya 5-15 cm, yang ini sosoknya sudah terlihat jelas sebagai tegakan. Hanya saja hidupnya banyak berada di bawah naungan. Tegakan pancang sering bercampur dengan perdu-perdu. Antara keduanya sulit dibedakan sebabnya tegakan pancang yang berada dalam naungan biasanya pertumbuhannya hanya meninggi saja. Jadi bentuknya tinggi langsing, perdu paling 3-4 m biarpun berumur panjang atau tua. Barulah setelah itu tegakan tiang, diameternya di atas 15 cm. Beberapa tiang dari jenis tumbuhan tingkat tinggi sudah mulai mendapat sinar matahari. Setelah mendapat limpahan sinar matahari barulah pertumbuhannya melebar. Batangnya yang sudah tinggi langsing mulai membulat untuk menegakan pertumbuhannya. Percampuran antara pohon besar tiang, pancang, dan semai kemudian berbagai jenis perdu membuat kerapatan tanaman yang luar biasa. Tak ada celah untuk orang melewatinya tanpa halangan. Kemudian ditambah lagi berbagai epifit seperti rotan, akar berbagai jenis yang melilit pohon besar membuat naungan terasa gelap. Di dalam literatur yang pernah Joni baca, di dalam kanopi tumbuhan itulah tercipta iklim mikro. Hewan seperti burung dan serangga memiliki areal hidup sesuai habitatnya masing-masing. Peluh membasahi seluruh pakaian orang-orang survey. Mereka hanya berlima sekarang. Parminto mendata tegakan sedangkan Joni memegang kompas membuat jalur. Sisanya memasang label dan mengukur keliling batang pohon jenis-jenis komersial yang dicari perusahaan. Joni memegang kompas, benda tersebut bertulisan made in Finland. Diarahkannya kompas ke arah utara, pandangannya menyapu lurus melihat sebatang pohon besar yang bisa dijadikan patokan arah. Barulah setelah dilihatnya antara kompas dengan pohon tersebut ternyata lurus sesuai keinginannya Joni melangkah merintis tikus dengan parang di tangan kanan. Parang mandau itulah satu-satunya jalan untuk bisa berjalan dengan leluasa di kerapatan tegakan besar kecil hutan. Satu kali tebas perdu penghalang harus putus. Karena arah lurus ke utara berbagai medan ditemuinya. Terkadang menanjak bukit, menggiring tebing sungai, melompati batang pohon roboh, areal terbuka bekas jalan traktor, sungai besar kecil bahkan di waktu tertentu terjun menyeberangi sungai. Untunglah sepatu boot yang dikenakannnya melindungi dari tajamnya duri rotan. Duri rotan ini sering mengait kaos lengan panjangnya membuatnya harus menyingkirkannya dengan tangan tersendiri. Merintis tikus dengan kompas bisa lebih cepat dari pada yang mendata pohon. Maka Joni jelas lebih dulu sampai di batas blok. Terpaksa ia menunggu di batas cukup lama barulah anggota regu lain muncul. Tinjak datang paling cepat nafasnya memburu seperti habis berlari. “Heh kira-kira Jon, ikau merintis pilih jalan yang nyaman dong!” Tinjak seperti protes, ada sesuatu rupanya di lehernya terlihat bengkak. “Ha ha ha dapat penyengat ikau Lek!” Joni tertawa terbahak-bahak tapi diapun memperlihatkan tangannya yang ternyata juga membengkak disengat tawon daun. “Aku te merintis juga kaget Lek, tanganku disengat tawon daun sampai sekarang sakit kia, tak tahan disengat lebih baik aku cepat-cepat lari menghindar.” “Ikau kawa lari cepat, kami yang di belakang tak tahu apa-apa. Begitu melewati jalur rintisanmu, kami yang diserbu penyengat daun,” Tinjak berkata sambil mengelus-elus lehernya yang pedih terkena sengat. Ternyata di belakangnya orang-orang juga banyak yang kena amukan penyengat. Semuanya meringis kesakitan, terlihat hanya Parminto saja yang tidak terkena. “Untung aku di belakang Tinjak begitu tahu Tinjak disengat segera saja aku lari menghindar menjauhi sarang mereka,” Parminto berbicara sambil senyum-senyum melihat penderitaan anak buahnya. Memang lucu kejadian-kejadian di hutan. Joni tidak sengaja menebas batang perdu yang ada sarang penyengat. Lebahnya kecil tapi nylekit, sering bikin bengkak bagian yang tersengat. Jalan satu-satunya jika mendapat sarang penyengat hanyalah lari menghindar. Terpaksa mereka istirahat dulu di batas blok, paling tidak menghisap rokok barang sepucuk. Setelah itu mereka melanjutkan mendata pohon, kali ini dari arah utara ke selatan. “Jon gantian aku yang pegang kompas. Badanku sakit semua nih,” Tinjak minta kepada Joni menggantikannya mencari tegakan. “Boleh saja aku maklum dengan keadaanmu Lek. Cepat saja ikau merintis setelah itu langsung pulang ke pondok kerja. Kareh lehermu olesi dengan balsam,” Joni tahu diri melihat temannya yang menderita bengkak di beberapa tempat hingga harus diolesi dengan balsam untuk mengurangi penderitaannya. “Ayo kembali bekerja. Agak cepat lebih baik, selesai satu jalur ini cukuplah!” Parminto kasihan melihat anak buahnya yang menderita karena serbuan penyengat daun segera bekerja kembali. Orang-orang yang sudah kena musibah tak akan konsentrasi lagi dalam pekerjaannya. Pikiran mereka ingin cepat pulang dan istirahat. “Ini baru terkena penyengat daun yang kecil, bagaimana kalau jenis naning atau tawon ndas, bisa-bisa ada yang pingsan dalam hutan,” Parminto berkata ditujukan kepada dirinya sendiri. Yang lain cuma meringis beneran karena bekas sengatan baru bisa sembuh sehari dua hari lagi. Sampai di pondok kerja Pak Ramli tertawa ngakak saat melihat penderitaan orang-orang yang terkena sengat lebah. “Ha ha ha sudahlah Wal jatun bepatoi penyengat te, mending ketun melawan uluh bawek!” Sambil bercanda Pak Ramli mencarikan balsam kemudian membalurkannya ke badan dan leher Tinjak. Paling banyak terkena memang Tinjak, rupanya ia langsung menabrak sarangnya sehingga bagian badannya bengkak-bengkak. Dua orang temannya hanya kena sekali sengat di badan langsung berhamburan lari menjauh. “Aku hari ini hendak istirahat saja,” Tinjak berkata sambil meringis. Rasanya badan menjadi aneh karena bengkaknya cukup merata di sekujur tubuh. “Jon kareh ikau angkat banjur yang kupasang ya,” katanya lagi memohon kesediaan Joni untuk mengangkat banjur yang terlanjur dipasang. Siang hari habis makan Joni menyisir hulu sungai untuk mengangkat banjur. Ada sekitar dua puluh joran pancing yang dipasang, Joni yang kemarin ikut bersama Tinjak tahu letak-letaknya. Berjalan perlahan di tepi sungai melihat ada batang tertancap di tanah itulah joran yang dipasang Tinjak. Banjur adalah pancing yang dibiarkan di satu tempat. Itu salah satu teknik mencari ikan yang dilakukan oleh orang-orang lokal. Tidak semua banjur mendapatkan ikan, Joni berhasil mengangkat sekitar delapan ekor ikan baung. Matanya beberapa kali melihat ikan-ikan putih berkeliaran. Daerah ini belum terjamah oleh orang kampung. Ikan baung nama lainnya patin, jika salah memegang ikan tangan bisa kena sirip yang tajam sampai luka. Itu adalah senjata khas ikan tersebut, mungkin sama dengan patil lele. Joran-joran banjur diangkat langsung dikumpulkan. Tak mungkin memasang banjur lagi karena Joni tidak membawa umpan berupa cacing. Sebenarnya bisa saja mencari cacing di sekitar tanah humus tetapi tangannya yang tersengat lebah terasa pegal sehingga timbul rasa malasnya. Tiba-tiba matanya melihat sedompol buah memanjang. “Ah itu seperti petai, benar atau tidak ya?” Joni membatin. Ia mendongak ke atas, memang benar di depannya sekitar sepuluh meter adalah pohon petai. Jika tidak melihat buahnya Joni tak akan mengenalinya sebagai pohon petai. “Benar-benar petai tapi sayang tinggi sekali....” Diukur-ukur tingginya pohon tersebut sekitar 20 m. Diameternya sudah 50 cm. Di atas dahan petai tersebut menjulur beberapa jenis akar melilit batang. Setelah yakin atas penglihatan matanya Joni pulang ke pondok kerja. “Pak Ramli aku tadi ada melihat pohon petai berbuah di hulu,” Joni memberitahu Pak Ramli. “Petai ikau tureh buah petai Jon?” Pak Ramli minta diyakinkan. “Benar ikau tureh buah petai Jon?” Tinjak yang mendengar dari palbet tidurnya langsung bertanya. “Aku yakin Lek, tak salah mataku melihat. Itu pasti buah petai,” Joni meyakinkan mereka berdua. Tinjak bangkit semangatnya langsung bangun, “Ayo kita tengok Jon, jewu baru kita petik,” langsung saja ia memaksa Joni berangkat ke hulu sungai. Selang sejam kemudian mereka kembali ke pondok kerja. “Benar-benar petai Pak Ramli, are buah mungkin ini sedang musimnya,” Tinjak seperti lupa akan rasa sakitnya bekas sengatan lebah. “Sayang sudah sore tak mungkin lagi memanjat pohonnya.” “Tebang saja batang pohon te memang ikau kawa memanjat?” Pak Ramli memberi usul. “Dia usah Kas, jewu aku coba memanjat helo,” Tinjak menolak cara seperti itu. Parminto akhirnya tahu kemudian berkata, “Kalau memang ada petai berbuah lumayan juga, besok habis begawai kita semua ke sana.” Akhirnya esoknya setelah selesai bekerja di blok mereka berlima mencoba memanen buah petai. “Wah tinggi sekali Jon, tak mungki dipanjat!” Parminto terbelak melihat tingginya buah-buah bergelantungan. Ditebangpun sepertinya sulit. Begitu banyak akar-akar melilit sehingga pohon sulit rebah sempurna. Jalan satu-satunya dipanjat, ternyata hanya Tinjak saja yang bersedia. “Memanjat pohon seperti itu taruhannya nyawa Lek,” Joni berkata kepada Tinjak saat akan memanjat pohon. “Dia usah khawatir Jon akan kupanjat melalui akar-akar itu,” Tinjak menunjuk akar-akar yang bersilangan di ketinggian 20 m. Tinjak benar-benar membuktikan omongannya. Mulailah memanjat pohon di samping pohon petai. Setelah itu melalui akar-akar yang saling bersilangan diketinggian 20 m ia menyeberang menggapai pohon buah tersebut. Benar-benar mendebarkan, mereka yang di bawah mengakui betapa besar nyali si Tinjak memanjat pohon hanya untuk memanen buah petai. Rupanya Tinjak kelelahan juga berada di atas, untuk sesaat ia berhenti mengatur nafas. Baru setelah itu mulailah tangannya meraih satu persatu tangkai buah petai. Beberapa kali ia berganti posisi, buah petai yang berhasil diraihnya segera dijatuhkan ke bawah diterima Joni dan Parminto. “Njak sudahlah, sudah cukup banyak!” Parminto berkata kepada Tinjak memberi perintah untuk turun. Saat dikumpulkan buah petai itu memang lumayan. Mungkin bisa dipikul oleh mereka berlima. Tinjak yang mendengar perintah Parminto akhirnya turun dari pohon. Apa-apa yang dilakukannya tadi benar-benar bentuk uji nyali. Joni mengakui benar keberanian Tinjak memanjat dengan bergelantungan diantara akar-akar pohon. Biarpun tidak sehebat film Tarzan tapi yang dilihat Joni benar-benar nyata di depannya. Baru setelah Tinjak turun mereka membawa pulang hasil panen petai hutan. Satu diantara kemungkinan bila hidup di hutan adalah menemukan pohon yang sedang berbuah. Beberapa diantaranya adalah kebetulan, yang lainnya bisa mendapat karena sedang musimnya. Buah petai termasuk jarang didapat jika bertemu belum tentu bisa dipanjat karena tingginya. Musim buah lain misalnya cempedak dan durian lebih mudah dipetik. Ada paken (lai) jika ketemu pohonnya tinggi sekali, paken yang jatuh banyak yang sudah dimakan habis warik. Setelah membawa buah petai cukup banyak, orang-orangpun berpesta. Petai sedemikan banyak tidak untuk campuran lauk melainkan langsung dikupas diambil bijinya digoreng dijadikan cemilan. Bisa saja dimakan sebagai teman nasi. Tak terpikir oleh mereka untuk dibawa ke camp ataupun dijual. Tapi makan petai begitu banyak juga tidak terlalu nyaman di tubuh. Lagi pula tidak semua orang Dayak suka petai. Yang ditemui di hutan jenis petai, kalau jengkol selama di hutan Joni belum pernah menemui. Mungkin jengkol tidak tumbuh alami di hutan. Di pasar Kuala Kurun orang lazim menjual petai atau jengkol. Joni membandingkan dengan di Jawa yang tentu saja berbeda adat istiadatnya. Tiba-tiba pondok kerja bergetar..... “Hei dengar sepertinya ada suara mobil datang!” Pak Ramli berteriak sambil mencoba melebarkan telinganya. Benar suara mobil bahkan tidak hanya satu dua saja. Mobil rimbawan kalaupun datang biasanya jika perlu saja. Mungkin logging truck PT Domas Raya. Tapi itu juga tak mungkin, pondok kerja yang mereka bikin sudah bukan jalan utama lagi. Lama-lama mendekat juga barulah mereka paham. Semua orang keluar jalan untuk melihat. Tak lama kemudian lewat satu mobil doble gardan dengan peralatan lengkap sampai-sampai tali slank dari kawat terlihat di belakang bamper mobil. Rupanya itu rally Jelajah Borneo mulai dari Pontianak menuju Kalteng, terus menuju Samarinda Kaltim. Seorang berkulit putih tinggi berambut pirang melambaikan tangan tanda mereka minta lewat. Bendera-bendera beberapa mobil menunjukan asal mereka dari berbagai negara. Tak ada bendera merah putih berarti orang asing semua. Satu mobil lewat keumudian diiringi mobil selanjutnya. Tertulis spanduk di bodi mobil Tour de borneo. “Rupanya mereka dari hulu Tewah, menembus jalan perusahaan Domas akhirnya lewat di depan kita,” Pak Ramli bicara memperkirakan tujuan rally itu. “Paling mereka menuju Palangka Raya, kebetulan ternyata rute yang mereka lalui tepat di depan kita,” Parminto juga menduga hal yang sama. “Tampaknya mereka mengambil jalan pintas, coba mereka mengambil jalan logging utama pasti harus menyusuri tepi Kahayan dulu,” lagi Pak Ramli menduga. Apapun dugaan mereka mobil terus bertambah, satu persatu mereka melewati jembatan dekat pondok kerja. Joni melihat perlengkapan yang dibawa mobil tersebut. Semuanya memungkinkan untuk saling bantu membantu jika salah satu mobil terperosok di suatu tempat. Belum lagi lengkapnya alat komunikasi radio mereka. Orang-orang sepondok kerja menonton saja di tepi jalan. Mereka menonton atau malah ditonton oleh peserta rally tersebut. Rasanya Joni memperkirakan mereka seperti orang lokal yang jadi santapan turis asing. Dari mobil yang bisa dijadikan terbuka tertutup tersebut beberapa kali kilatan lampu blits menyala. Tak salah lagi merekalah yang jadi obyek fotografi mereka. Mungkin mereka dianggap orang kampung yang mencoba bertahan hidup dengan mencari gaharu atau orang kampung pejalan kaki menuju kampung lain. “Huh kita ini kayak warik saja buat mereka!” Tinjak mencibir setelah beberapa kali bule-bule itu melambaikan tangan. “Coba tadi kau ancam mereka dengan tombak, tambah yakin mereka kalau kita ini suku terasing,” Joni menambahi kata-kata Tinjak tadi. “Iya ya saking takjub kita tadi mobil-mobil itu lewat tak terbersit pikiranku sama sekali berbuat iseng,” Tinjak jadi tertegun sendiri. Benar-benar mereka hanya menjadi penonton saja tak sempat berpikir macam-macam. Sementara mobil yang lewat sudah habis menyisakan bekas ban yang melesak di jalan tanah. Ada kurang lebih tiga puluh mobil yang berbendara berbagai negara lewat. Ketika ngobrol membicarakan rally mobil yang lewat di depan pondok kerja tadi mereka semua mencium bau busuk. “Bah ikau kentut Lek!” Tinjak menunjuk Joni yang mesam-mesem saja. Orang kentut biasa setiap hari bisa melakukannya. Tapi hari itu baunya khas, tak salah lagi petai yang mereka santap mulai mengeluarkan reaksi kimia. Semua orang langsung bubar kembali ke pondok kerja. Tapi malamnya orang sepondok kerja berlomba-lomba buang angin. Entah siapa juaranya!! BAB 7 Bayang-bayang Hati Mendapati Cinta Parminto memandangi Joni yang sedang menurunkan tas dan peralatan ke kamarnya di mess. Yang dilihatnya bukan orangnya yang jelek tetapi satu slop rokok merk Crystal 16. “Jon masih banyak rupanya rokokmu, satu slop buatku ya nanti kuganti uang,” teriaknya senang, tangannya meraih satu slop sisa rokok milik Joni. Parminto ini perokok berat, hidup tanpa asap bagaikan makan sayur tanpa garam. Saking kuatnya merokok bibirnya hitam dengan gigi berplak kehitaman. Mereka sudah di camp km 4. Tinggal di hutan lebih lama dari pada di camp berarti rumah selalu berpindah alias nomaden. Tapi biarpun biasa berpindah-pindah tempat dalam hati kecilnya Joni mendambakan rumah tinggal yang layak. Sayang hal tersebut tidak didapatkan baik itu di hutan maupun di camp km 4. Di camp rimbawan ini entah sudah berapa kali Joni pindah kamar. Jadi di camp maupun di hutan sama-sama tak nyaman. Rupanya itu salah satu alasan kenapa orang seperti Parminto dan kawan-kawannya tidak ikut tinggal di camp km 4. Dengan tinggal di log pond mereka memilik kamar yang sudah menetap dan untuk kemanapun mudah, termasuk ke Kurun. Setelah mendapatkan rokok Joni Parminto bersama dengan anak buahnya yang lain langsung turun ke log pond. Mereka orang-orang Kurun dan Trans Tumbang Anjir jadi harus diantar ke log pond Domas untuk menyeberang. Pak Ramli dan Tinjak melambaikan tangan dari bak terbuka mobil rimbawan. Sepintas mata seorang perempuan memandangi kedatangan Joni. Berdesir dada Joni saat bertatap muka. Ipah, rasanya sosok perempuan tersebut mengisi bagian hati Joni. Ipah cepat menghindari pandangan matanya setelah sesaat bentrok dengan mengalihkannya ke lapangan bola voli. Terlihat beberapa orang survey sudah turun dari hutan bermain bola voli. Gugun, Dian, Boy dan beberapa orang Lombok. Di sudut mess bangunan Tobing dan Imanuel sedang memperbaiki mesin genset yang ngadat. Joni menghampiri Tobing, “Ayo Bing main bola, tinggalkan saja mesin itu. Biarkan Imanuel yang menyelesaikannya,” Joni menggoda Tobing yang sedang sibuk menyetel mesin diesel. “Bah kamu Jon, kalau mau gelap malam ini biar kami tinggal mesin ini!” Imanuel melotot digoda Joni. “Bantu kami sebentar Jon, pegangkan kunci ini aku akan memutar rodanya untuk menghidupkan mesin,” Tobing serius tak peduli godaan Joni. Terpaksa Joni mengikuti perintah Tobing. Segera Tobing memutar tali penggerak mesin. Sekali dua kali masih gagal, dicobanya lagi menyetel beberapa baut seperti ada yang kurang pas, “Huh mesin ini harusnya sudah diganti, ini bekas mesin dari camp produksi km 7,” Tobing menggerutu karena capek menyetel mesin sana-sini. “Ayo kita coba lagi sepertinya sudah pas aku memperbaikinya,” Tobing bersemangat setelah setelannya terasa pas. Mesin diesel ini berbahan bakar solar ukurannya sama dengan mesin dongfeng getek. Karena itu generatornya juga kecil hanya untuk penerangan di camp. Berbeda dengan genset di camp produksi atau di log pond yang dua puluh empat jam hidup dengan cadangannya. Konon di camp produksi genset dari bekas mesin traktor yang kuat tenaganya. Tidak heran di camp produksi siang malam bengkel dan kantor terpenuhi kebutuhannya. Mesin menyala berhasillah Tobing dan Imanuel memperbaikinya. Terlihat kelegaan menyelimuti wajah keduanya. “Malam ini kita bisa nonton sepak bola liga Inggris Lek,” Tobing yang paling girang bukan main segera membasuh tangannya yang penuh oli dengan bensin yang tersedia. Setelah itu Imanuel mencoba menyalakan lampu yang ada di sudut mesin untuk mengecek seberapa kuat mesin harus menyala. Sesaat kemudian seluruh lampu di camp menyala menyambut hari yang mulai gelap. Suara mesin membuat pekak telinga, tetapi kamar Joni memang bersebelahan dengan mesin genset tersebut. Itulah yang membuat Joni jadi kepengin pindah tempat. Sayang keinginannya harus diredam karena kamar-kamar yang sudah penuh. Joni masuk ke dalam kamar mess, mengambil handuk dan gayung berisi perlengkapan mandi. Menjelang maghrib rasanya malas untuk ke sungai besar, jadi akhirnya memilih sungai kecil yang mengalir di persemaian. Sampai di sungai Joni tertegun, Ipah terlihat sedang mengguyur badannya yang terbungkus kain sarung dengan air. Rupanya Ipahpun merasa terusik sehingga menoleh. “Tunggu dulu Jon, aku belum selesai!” Teriaknya agak rikuh. Terpaksa Joni menunggu di tepi sungai, “Sendirian sajakah ikau Pah?” Joni bertanya tapi agak menjauh untuk memberi kesempatan Ipah mandi. Tak ada jawaban, “Eii ikau dengar dia suaraku Pah!” Agak keras Joni berkata. “Maaf Jon suaramu kalah dengan gemericik air sungai,” akhirnya Ipah menjawab. “Wah kukira ikau sedang mengkhayal pacar,” Joni jadi usil. “Pacar? Aku hinde berisi Jon,” Ipah seperti bingung dengan kata-kata Joni. “Ie te are uluh naksir denganmu Pah,” Joni jadi berani menyampaikan maksudnya. “Eweh Lek?” Ipah seperti bertanya menegaskan. Saat Joni hendak menyampaikan niatnya, terlihat sepucuk surat ditujukan untuk Ipah. Jantung Joni berdebar keras, rupanya ada seseorang yang sudah mendahuluinya. Rupanya Ipah tahu yang dilihat Joni. Cepat-cepat tangannya bergerak menyembunyikan amplop ke ranjang cucian yang dibawanya. Joni terdiam tingkahnya jadi kikuk, ia merasa serba salah. Tentunya itu surat cinta seseorang terhadap Ipah, tak perlu Joni meminta surat itu perasaannya tahu. Gundah rasanya hati Joni, apa yang hendak dilakukan di tempat itu. Tak sadar tercetus perasaannya yang paling dalam. “Aku suka denganmu Pah,” hanya itu saja kalimat yang keluar. Ipah seperti terkejut mukanya memerah, sesaat bingung. Hanya gerakannya mempercepat hajatnya mandi. Setelah selesai dengan berjingkat kaki cepat meninggalkan Joni sendirian. Joni tercenung dengan kalimat terakhir yang keluar ditujukan kepada Ipah membuat pikirannya galau. Sepeninggal Ipah dirinya merasa kacau. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Ipah. Sesaat Joni merasa terlanjur, tapi tak bisa menarik kata-kata itu lagi. Entah bagaimana tanggapan Ipah Joni merasa bersalah. Ada rasa sedih di hati Joni dadanya seperti dicabik-cabik puluhan pisau, setelah tahu ada seseorang yang mendahuluinya. Di dalam hatinya Joni berbisik, “Siapa, siapa gerang orang yang disukai Ipah? Tentu orang yang memberi surat itu sangat dihargai Ipah. Tak salah lagi Ipah mungkin menyukainya.” Mandipun Joni tak konsentrasi, saat makan malam rasanya tak bernafsu. Tapi tak ada yang tahu kegalauan hati Joni. Bahkan malam itu Joni tak bisa tidur, kepalanya terasa panas seperti hendak pecah. Joni malah menjauh berjalan menuju jalan logging dan terduduk di atas tebing terbuka. Di sanalah isak tangisnya terdengar, seluruh hidupnya mendadak hancur. Lelaki menangis? Oooohhh ternyata itu gara-gara seorang perempuan. Air mata Joni keluar tapi tak ada yang menyaksikan. Hanya tanah tebing pohon di tepi jalan dan bintang di langit, tak ada yang peduli. Setelah cukup lama di jalan dicoba meredakan kesedihannya. Sulit, sulit dadanya tetap berdesir tak karuan. Tapi air matanya bisa dihentikan dan dikeluarkannya cairan dari hidungnya dengan bersin. Setelah itu mengendap-endap kembali ke kamar. Sesaat di luar dilihatnya rumah Pak Jali, tentu di sana Ipah sudah terlelap tidur. Menjelang pagi barulah Joni bisa sedikit memejamkan mata. Ada orang berkhayal malam Itu orang sedang kasmaran Entah apa yang dikhayalnya Kalau bukan gadis tersayang Itu lagu kerungut yang terdengar di radio RRI Palangka Raya. Beberapa kali sudah didengarkan, hanya Joni kurang bisa memahaminya. Bahasa Dayaknya kurang fasih jika dinyanyikan. Tapi ia bisa menduga isinya. Orang-orang di sekelilingnya yang mahir bahasa Dayak malah tertawa mengolok-olok orang yang dikisahkan dalam kerungut di radio. “Huu itu yang dikisahkan pasti orangnya mudah putus asa Lek!” Boy bicara dan tertawa terbahak-bahak. “Kalau jatuh cinta ya dikejar, kok malah mencari tempat sepi mengkhayal, kapan dapatnya!” Teriaknya lagi. Joni jadi tak tahan kata-kata olokan Boy, memang tak sengaja lagu kerungut itu sesuai dengan keadaan Joni saat ini. Orang-orang bersendau gurau mendengar kisah Dayak, suatu acara yang diprogramkan RRI Palangka Raya. Rata-rata orang Dayak menyukainya. “Boy syair kerungut itu seperti apa sih, aku tuh bingung kalau menyimak isinya?” Joni bertanya kepada Boy yang sedari tadi asyik mendengarkan kerungut dan kisah di radio. “Hah iya, jadi ikau hinde tawa Jon,” Boy seperti kaget ditanya seperti itu oleh Joni. “Itu seperti pantun tahu,” sesaat Boy memberitahu. Joni tertegun, benar jika dilagukan rasanya itu sastra pantun. Cuma Joni belum paham pantun Dayak bisa dinyanyikan. Pelajaran sastra di sekolah mengajarkan pantun sebagai sastra Melayu. Seluruh Indonesia mengenal pantun, jadi orang Dayak ini juga termasuk Melayu? Melayu? Kok janggal. Kenapa orang Dayak tidak suka disebut Melayu, dan kenapa orang Melayu seperti Banjar mengakui Dayak sebagai bagiannya? Joni tak paham...... Di camp km 4 Joni jadi murung. Pengakuannya terhadap Ipah membuatnya malu. Ipah memang tidak bicara kepada siapa-siapa tetapi tetap saja itu bukan jaminan suatu ketika terbongkar isi hatinya. Sekarang jika ada sekelebatan saja bayangan Ipah melintas itu sudah membuat dadanya berdesir. Jika seorang perempuan lewat rasanya ia harus selalu memastikan itu bukan Ipah supaya perasaannya tidak kalut. Lagi saat berpapasan dengan Ipah, sekarang perempuan tersebut selalu menghindar. Pandangannya seperti takut, entah kenapa Joni merasa sakit hatinya mendapati perlakuan Ipah yang tidak memberi simpati kepadanya. “Apa salahku, salahkah aku menyatakan perasaanku kepadanya?” “Apakah pengakuanku di sungai saat mandi itu sangat kasar?” Berbagai pertanyaan meluncur dari hati sanubarinya. Tak ada yang menjawab, tak pula ada keajaiban, entah sampai kapan. Ada pengakuan Ipah yang membuatnya semangatnya menyembul, Ipah mengatakan belum baisi alias ia masih kosong (ini pengakuan seorang perempuan di Kalimantan jika merasa belum punya pacar), ya Joni merasa ada harapan. Di lain bagian Ipah sedang bekerja di persemaian. Hari itu mereka menanam bibit sungkai di polibag yang sudah tertata di bedeng. Sungkai ditanam dalam polibag selalu berupa stek batang. Mudah tumbuh tanpa perlakuan istimewa. Tobing mengangkat batang-batang sungkai yang sudah dipotong sepanjang 20 cm. Diletakannya di pinggir bedeng dan membiarkan Ipah dan ibu-ibu lainnya menancapkan bibit stek ke polibag. “Sudah berapa bulan kamu di sini Pah?” Terdengar suara berat Tobing memecahkan kesibukan bekerja orang-orang persemaian. Ipah seperti terkejut, “Nare Bing aku dia dengar?” Keluar juga suara dari mulut mungilnya. Tobing terbelak ia merasa bicara sudah keras ternyata orangnya seperti tuli. “Bah masih kurik ikau sudah tuli Pah?” “Ela kelutek Bing benar-benar aku dia dengar ikau bepandir,” Ipah menyahut menegaskan posisinya. Terpaksa Tobing mengulangi pertanyaannya tadi. Ipah baru tahu, “Oo begitu paling-paling baru empat bulan, tege nare ikau bepandir urusan te?” Ipah jadi bertanya. “Are uluh naksir denganmu Pah,” Tobing berkata seperti menyelidiki. Imanuel yang dari jauh juga ikut mendekati. Seketika merah muka Ipah, ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. “Ha ha ha hayo Ipah, mulai main dengan cowok ya,” Imanuel ikut nimbrung. Tak perlu banyak rahasia di camp ini sebagian besar Tobing dan Imanuel tahu. “Jatun, jatun uluh naksir Lek, aku te mikeh dengan Pak Jali,” sungguh-sungguh suara Ipah menolak tuduhan Tobing dan Imanuel. “Alah dia usah berahasiaan segala, tuh ada Johan kirim salam, juga ada Toni Lombok. Mereka sering pura-pura datang ke sini untuk membantu kita. Tapi yang dilihati cuma kamu,” Tobing membantah kata Ipah. Tak bisa lagi Ipah mengelak, tapi ia juga sulit menjawab. Memang ada beberapa lelaki mendekatinya dengan berbagai cara mencari perhatian, cukup banyak dan ia bingung untuk membuat keputusan. Ibu-ibu yang ikut mendengar cuma tertawa-tawa saja. Bagi mereka itu tidak mengherankan. Di persemaian hanya ada Ipah yang masih gadis bahkan masih kecil, jelas di camp sekarang menjadi primadona. Banyak tingkah lelaki yang memperhatikan Ipah, bagi ibu-ibu yang sudah berpengalaman seperti mereka jelas tahu. “Eh itu Johan datang Pah, wah terpaksa kita pergi dulu,” Imanuel berbisik membuat orang-orang persemaian terdiam dan pura-pura melanjutkan pekerjaannya. “Cari apa Han kok sampai ke sini?” Tobing pura-pura bertanya. “Aku mencari Joni biasanya kan ke sini membantu kalian,” terbata-bata Johan menjawab. Tapi matanya melihat lurus ke arah Ipah. “Ngapain mencari Joni di sini paling-paling tuh anak tidur di mess. Ayo bantu kami menanam bibit di sini!” Tobing malah memberi komando, wah Johan seperti mendapat durian runtuh, segera saja tangannya disisingkan untuk membantu tapi juga langsung mendekati Ipah. Mereka yang ada di persemaian kemudian ngobrol sampai bel istirahat berbunyi. Beberapa hari sudah di camp km 4, Joni kepengin cepat masuk hutan saja. Tidak ada yang dicurinya tetapi malu hatinya tak bisa disembunyikan. Tidak ada yang berubah di camp, semuanya berjalan seperti biasa. Hanya saja mulai tumbuh perasaan tak nyaman Joni menghadapi beberapa orang. Seperti terhadap Pak Jali yang di perencanaan dan kakak dari Ipah. Terus memangnya bagaimana? Satu-satunya jalan mencari hiburan. Mau minum lagi seperti dulu di tempat Pak Agau? Tidak, cukuplah sekali itu saja. Hanya gara-gara kesediaan Joni mentraktir beberapa orang, keluarga Pak Yuli jadi ribut. Padahal soal mabuk untuk urusan orang camp sudah biasa tetapi orang seperti Joni yang mendadak ikut-ikutan membuat orang lain terlalu memperhatikan. Satu-satunya jalan ke Kurun biarpun tak ada pula yang dikerjakan. Akhirnya Joni menunggu mobil yang sekiranya hendak turun ke log pond. Di bawah pohon akasia di pinggir jalan agak menjauh dari Dodo yang sedang berjaga di Pos Satpam. Mereka tadi sempat bercakap-cakap sebentar. “Jon hendak turun ke log pond kah?” Dodo menyapa ramah. Dibandingkan Ramlan Dodo ini lebih kalem. Jika berbicara Ramlan seperti meledak-ledak mengeluarkan emosinya seperti saat di terasering sehingga membuat suasana kerja jadi tak enak. “Tege mobil dia kareh, aku hendak menyeberang ke Kurun?” Joni bertanya mencoba wajar di depan orang. “Umba Jagau kareh Lek, ewen bara camp produksi mengantar Pak Joko menemui manager camp,” Dodo memberitahu. Joni pun sabar saja menunggu. Ada mobil tapi bukan orang Tanjung Raya. Dump truck milik orang Domas. Tangan Joni melambai memberi perhatian untuk sopir turck. Orang-orang perusahaan sudah biasa membawa orang-orang kampung yang hendak ikut turun ke log pond jadi segera berhenti memberi kesempatan Joni ikut naik ke bak terbuka belakang. Setelah itu derum mesin truck menyapu jalan meninggalkan debu berhamburan ke sekelilingnya. Tak ada yang dikerjakan di Kurun, Joni menyendiri di dermaga speed Kuala Kurun. Jam sudah menunjukan pukul dua belas siang. Sebentar lagi speed pertama dari Palangka Raya datang. Taksi speed selalu pagi-pagi baik dari Kurun maupun Palangka Raya menempuh waktu antara empat sampai lima jam. Sungai Kahayan berwarna kecoklatan, beberapa burung elang terbang rendah mencari mangsa. Joni di demaga seperti orang yang sedang pura-pura menjemput speed datang. Di sudut dermaga terdapat Pos Polisi yang sudah kosong. Polisi hanya menjaga saat speed dari Kurun meluncur ke hilir. Beberapa orang sama serius menunggu. Saat speed datang orang-orang pun turun ke bawah sesuai tujuannya sendiri-sendiri. Seorang mengangkat berlembar-lembar surat kabar. Ini dia yang dicari Joni. Suntuk di demaga tanpa tujuan akhirnya ada pengisi waktu. Dibelinya koran lokal tipis yang sudah kesiangan, tak apa yang penting waktu tidak terbuang sia-sia, Joni lahap membaca berita sampai menjelang sore. Kegiatan survey mulai lagi. Joni ikut regu pembebasan III Parminto. Ada pergantian orang, untuk orang kampung adalah Tinjak, Pak Ramli, Supono, Helmi dan sisanya orang camp. Ada Gugun, Junaedi, Idrus dan Yanter. Lokasinya masih blok kemarin yaitu blok yang belum selesai dikerjakan karena susahnya mencari batas blok awal dan berkurangnya tenaga kerja yang tidak tahan di hutan. Karena hanya menempati bekas pondok kerja yang sudah ada pekerjaan hari pertama jadi ringan. Mereka hanya memasang terpal, memasang palbet tidur masing-masing dan kemudian mencari kayu bakar. “Itu di sana kayu kumpang (darah-darah) jika kita tebang bisa untuk sebulan,” Gugun menunjuk sebatang pohon darah-darah di seberang sungai berdiameter 40cm. Batang kayu lurus dan bagus seperti itu memudahkan untuk membelahnya. Orang-orang survey biasa mencari kayu yang baik untuk kayu bakar. Hutan masih menyimpan aneka kayu dan dari sekian jenis kayu terpilih yang paling baik untuk kayu bakar. Ada kayu darah-darah, disebut demikian karena bergetah merah mirip darah. Kayunya jika sudah kering dan dibakar akan meninggalkan arang yang menyala cukup lama. Setelah itu kayu pisang-pisang disebut demikian karena kayu ini batangnya sangat mudah dibelah bahkan seolah-olah kayunya berbelah-belah seperti sisiran pisang. Karena di seberang pondok mereka membelahnya langsung di tempat. Menebang dengan parang cukup lama dilakukan Gugun. Teknik menebang harus mengikuti kemiringan tajuk hingga memudahkan roboh. Setelah itu dipotong sepanjang setengah meter, setiap potongan kemudian baru dibelah. Sebenarnya setiap pohon bisa saja dibuat kayu bakar. Hanya jenis yang komersial seperti meranti dan keruing cepat sekali habis terbakar menjadi abu. Jadi tetap saja paling bagus kayu seperti kumpang dan pisang-pisang. Jika terpakasa barulah kayu lain diincar. Bandingkan di Jawa kayu bakar banyak diambil dari ranting, dahan kayu atau perdu tanpa mematikan tegakan. Di Kalimantan orang-orang masih pilih-pilih kayu yang baik mulai dari bangunan rumah, perahu atau sirap atap rumah. Seluruh pekerjaan dilakukan dengan parang, mereka tak membawa kapak belah. Karena itu pekerjaan jadi lambat. Mungkin hari itu Gugun dan Joni hanya bisa membelah separohnya saja. Pak Ramli yang langsung ambil bagian jadi tukang masak menghampiri mereka berdua. “Ketun kuman helo, biari aku yang mengangkat kayu ke dapur,” dilihatnya belum seluruhnya potongan batang terbelah. “Biar te sisa kayu jewu hinde.” Diangkatnya kayu yang sudah dibelah menyeberangi sungai dan diletakannya di atas perapian untuk mendapatkan panas dari bara yang masih menyala. Gugun dan Joni ikut menyeberang dan kemudian menyerbu nasi dan ikan asin yang sudah tersedia. Di sebuah ceret sudah tersedia kopi susu yang tinggal dituang ke gelas. Panas yang menyengat di jalan tidak terasa karena pondok kerja didirikan di kerimbunan tajuk pohon besar. Parminto dan yang lainnya sudah tiduran di palbet istirahat. Tinjak di palbet sedang menganyam mata kail dengan senar yang dibawanya dari Kurun. Setelah makan siang Joni membuka tas ransel yang diletakan di atas palbet. Diambilnya handuk yang masih agak basah setelah itu meraba-raba mencari sabun dan sikat gigi. “Lah kok nggak ada sikat gigiku?” Joni terkejut, barang yang dicarinya ternyata tidak ada. Dibongkarnya isi tasnya, nihil. Beberapa barang pribadinya hilang. “Ada apa Jon memangnya ada yang hilang?” Parminto bertanya saat Joni seperti orang bingung. “Sikat gigiku hilang, juga batu baterai dan bohlamnya. Ada lagi cotton bud, korek gas dan pemotong kuku,” Joni memberitahu orang-orang sekitarnya. “Ah paling-paling kamu saja yang lupa Jon, mungkin ketinggalan di camp,” Junaedi berkata. “Entahlah rasanya sebelum berangkat semua sudah kumasukan tas,” Joni membantah. Tapi benar-benar tidak ada barangnya. Joni bingung memangnya sebulan ini tidak menyikat gigi? Karena tak ada barangnya Joni akhirnya menganggap memang ketinggalan. Terpaksa selama sebulan ini ia pinjam sikat gigi Gugun bergantian. “Tak mungkin aku turun ke camp hanya dengan alasan sikat gigi ketinggalan,” Joni memberi pengertian atas masalahnya. Gugun yang diberitahu mesam-mesem saja, “Tapi akhir bulan bayar ya....,” katanya spontanitas. Joni cemberut, “Huuu pukinindu!” Teriaknya kesal. Joni mencoba-coba mengingat-ingat saat berangkat dari camp. Ia tahu betul sebenarnya tidak lupa, jadi benar-benar hilang. Mungkin saat di mobil sikat gigi tersebut jatuh di tumpukan barang kemudian saat diangkat ke pondok kerja sudah tak diketahui lagi rimbanya. Malam itu hujan deras, ternyata terpal yang mereka pakai ada beberapa bagian yang bocor. Joni menggigil terkena air terus menerus. Beberapa kali tangannya mencoba menutupi terpal yang bocor dengan lakban yang tersedia tetapi tetap saja akhirnya tembus. Parminto yang di sampingnya sama saja kerepotan. “Terpal ini sudah lama dipakai, sulit sudah memperbaikinya dalam keadaan hujan. Coba ada tambahan terpal bisa dibuat dobel baru agak nyaman,” katanya sambil sibuk menutupi bocoran air yang tidak tertahankan. Tapi sudah terlanjur, malam itu mereka tak bisa tidur nyenyak karena palbet basah semua. Joni menggerutu dalam hati, “Aku ini sedang sial rupanya, perlengkapanku banyak hilang sekarang kehujanan lagi,” gerutunya dalam hati. Hujan tak berhenti-henti juga, air sungai meluap mulai naik ke pondok kerja. Mereka semuanya sibuk mengangkati barang logistik ke tempat yang aman dari luapan. Pak Ramli melihat dapur, tak mungkin lagi menyelamatkan perapian. Segala panci, wajan diangkat ke atas tumpukan kayu. Semuanya basah yang diselamatkan hanya bahan makanan seperti beras, ikan asin, dan bumbu-bumbu. Paling-paling tas masing-masing yang bersisi baju dicoba ditutupi dengan daun pisang batu. “Jon kau taruh di mana jerigen solar?” Pak Ramli bertanya. Matanya jelalatan di kegelapan. “Aduh rasanya aku tak mengambil Pak Ramli, berabe kita kalau sampai solar tumpah,” Joni menjawab dengan gemeretak kedinginan. “Untung banjur belum kupasang, bisa hanyut semua kena banjir,” Tinjak berkata sendiri. Orang-orang tak bisa berbuat apa-apa, itu sudah kodrat alam. Dua jam hujan mulai reda banjir juga mulai surut, cukup melegakan penghuni pondok. “Besok kalau ada sinar matahari baru bisa dijemur nih,” Gugun memperlihatkan sarungnya yang tetap dipakai walau basah. Ah hujan sudah berhenti tapi mendung tetap tebal sampai pagi. Semalam tak bisa tidur membuat orang kecapean. Paginya hujan gerimis matahari tak muncul-muncul juga. Tak ada suara owa-owa di hutan menunjukan hujan belum berhenti. “Kalau hujan seperti ini bisa dua tiga hari baru cerah,” Parminto melongok keluar biarpun gerimis masih berlangsung. “Itu dia jerigen solar, rupanya tertahan di atas batang mati dekat dapur!” Teriaknya senang. Dalam keadaan banjir seperti ini sulit membuat perapian tanpa tambahan solar. Kalau kayu bakar sebagian sudah tertata di atas perapian tak terkena hujan sehingga tetap kering. Segera Pak Ramli mencoba membuat perapian lagi di tempat yang masih basah. Bekas-bekas abu dan arang sudah tersapu bersih sehingga harus membuat dari awal lagi. Junaedi, Pono dan Helmi membantu Pak Ramli di dapur membenahi barang-barang yang berantakan. Joni dan Parminto mengeluarkan barang-barang dari tasnya. Sebagian basah paling banyak bocor memang palbet Joni dan Parminto. “Terpaksa baju ini kupanggang di dapur saja,” Joni bicara sendiri. Tiga empat baju dan celana basah harus segera dikeringkan. Tak ada jalan lain kecuali menjemurnya di tumpukan kayu bakar untuki mengeringkan baju karena masih gerimis. Parminto sudah tidak memaksa lagi hari itu untuk bekerja. Idrus dan Yanter meringkuk di sudut memeluk lutut dan berbalut handuk. Mereka hanya menonton saja membuat orang lain melotot sengit. Terlihat sifat asli dua orang ini yang enggan diajak kerja sama. Baru setelah Pak Ramli selesai menyiapkan sarapan mereka berdua bergerak antusias. Perut lapar Joni makan dengan lahap. Nasi campur mie goreng dan sarden membuat kenyang. Di mana-mana terasa lembab, kaos yang dipakainya tadinya basah sudah kering karena panas badan. Tapi keadaan seperti itu malah membuat badan seperti demam. Akhirnya Ia mendekati perapian menghangatkan tubuh. “Biari aku yang menunggu danum menggurak Pak Ramli, aku kedinginan sekali,” katanya saat sudah jongkok di dapur. “Oh ikau Jon, silakan saja kareh danum menggurak beritahu aku,” katanya kemudian. “Hujan seperti ini biasanya banyak binatang berkeliaran,” Pak Ramli bicara melihati awan yang masih kelabu. Gerimis masih terjadi dan mungkin sampai beberapa hari. “Aku semalam te mikeh kalau pondok kerja kebanjiran. Untung hujan selutut saja, padahal pondok sudah cukup tinggi ya?” Gugun yang sedari tadi berada di pinggir sungai tiba-tiba bicara, “Justru bahalap habis hujan seperti ini ikan-ikan pada naik ke hulu mudah dipancing.” “Benar Gun kareh hari sudah sore kita mancing saja,” Tinjak ikut nimbrung. Seharian mereka libur menunggu hujan gerimis reda. Mendung masih tebal membuat seluruh hutan lembab. Tampaknya yang dikatakan Pak Ramli benar adanya. Binatang berbagai jenis berkeliaran seolah-olah menyambut hari kegembiraan. Tanah lembab dan tegakan yang agak basah justru membuat binatang berbagai jenis terlihat. Di jalan beberapa kali melintas kerahau, musang dan pelanduk. Pak Ramli yang jadi senewenm, “Coba kalau sudah kupasang jerat, kita bisa pesta daging buruan.” “Pono tuh katanya bisa pakai tangan kosong menangkap pelanduk di Trans,” Junaedi bicara menggoda Pono. Pono orang Trans Jawa di Tumbang Anjir bersama Helmi. Mereka menggantikan Pak Zaenal yang ikut bulan sebelumnya. “Dia...dia! Junaedi te tanjaru uluh,” Pono membantah. Gerimis reda orang-orang bisa keluar pondok kerja. Mereka menuju jalan yang licin dan basah. Tanda-tanda hujan lagi masih terlihat, mendung masih tebal seharian itu sebentar-sebentar gerimis. Esok harinya pekerjaan mulai. Parminto langsung tancap dengan menargetkan empat jalur perhari. Berbeda dengan bulan sebelumnya, kali ini yang ikut adalah orang-orang yang cukup pengalaman di hutan. Orang-orang seperti Junaedi, Gugun, Idrus, Yanter dan Tinjak sudah biasa di hutan. Sedangkan Pono dan Helmi orang Trans Tumbang Anjir biasa bekerja di ladang. Jadilah pekerjaan bulan itu melebihi target. Caranya orang-orang dibagi dua tim. Satu tim menyelesaikan dua jalur bolak-balik. Tapi sekarang juga mereka tahu Parminto ini seorang pekerja keras. Bisa dikatakan lebih banyak kerjanya ketimbang bicaranya. Orang-orang seperti Joni, Gugun, dan Junaedi sering kewalahan juga jika sudah bersama di hutan. “Jon rasanya aku sulit mengimbangi Parminto ini,” suatu ketika Junaedi bicara dengan Joni. “Bulan kemarin aku ikut perapihan, temannya Parminto si Udeng tidak seberat ini, malah banyak malasnya,” lanjutnya lagi. “Jadi ikam lebih suka umpat perapihan dari pada pembebasan Nae?” Joni bertanya. Junaedi dipanggil singkat Nae. Saat itu mereka berdua kebagian merintis jalur sehingga lebih cepat sampai batas. Junaedi tertawa kemudian berkata, “Kerjanya nyaman lebih mudah dari caramu saat jadi ketua regu perapihan, cuma orangnya menuntut anak buahnya seperti pelayan. Itu yang menyebalkan.” Jika masih mendung dan terkadang hujan gerimis seperti ini owa-owa tak bersuara, kera tak berekor dengan tangan lincah yang bergerak dari satu dahan ke dahan lain itu seperti sembunyi. Mereka baru mengheluarkan suara khasnya bila terlihat sinar matahari. Suaranya keras bisa terdengar dari jarak dua tiga kilo meter untuk menandakan daerah kekuasaannya. Karena suaranya khas yang selalu di hari cerah sesudah hujan deras membuat orang-orang survey selalu menjadikannya rujukan hari hujan atau cerah. Selesai merintis jalur Joni dan Junaedi segera pulang ke pondok kerja. Rasanya badan berkeringat memanas terkena daun-daun basah mmebuat badan agak merinding. Keadaan seperti itu membuat mereka cepat-cepat melepas baju dan celana kerja mengganti dengan yang masih kering. Hari itu Pak Ramli memasak istimewa, jamur kuping dengan ikan asin goreng dikuah campur asam jawa. “Di seberang sungai kani kudapat kulat, lumayan banyak untuk beberapa hando kareh,” Pak Ramli berkata sambil menunjukan masakannya. Hari-hari mendung hujan gerimis menumbuhkan jamur di mana-mana, semuanya tumbuh di atas kayu lapuk. Yang ditemukan Pak Ramli adalah jamur kuping warnanya coklat berbentuk seperti telinga dengan rasa lunak kenyal. “Akoi nyaman Pak Ramli!” Junaedi mencicipi masakan yang terhidang. Tangannya meraih piring plastik dan mengisinya dengan nasi yang masih hangat. Setelah itu ia makan dengan lahap. Joni justru melihat panci berisi nasi yang masih mengepul hangat. “Ada keraknya nggak Pak Ramli?” Joni bertanya mengaduk nasi sampai ke dasar panci. Ada juga ternyata, panci diletakan di atas bara membuat lapisan kerak yang bagus. Setelah nasi diangkat ke tempat lain terlihat bagian keraknya. Itu jatah Joni, kerak nasi campur ikan asin berkuah asam, wuiiih nikmatnya! “Nasi masih banyak ikau malah cari kerak?” Junaedi mencela, “Hidup jangan terlalu prihatin Jon,” katanya lagi. “Memang nyman kok, mau coba?” Joni menyodorkan piringnya. Junaedi menolak, “Ini saja sudah cukup.” Saat makan barulah muncul Parminto, Gugun, Yanter dan Idrus dari hutan, wajah-wajah mereka terlihat lelah habis bekerja. Gugun membawa sprayer berisi racun roundup. Herbisida itulah yang digunakan untuk membunuh pohon pesaing. Dia terlihat kerepotan membersihkan tangannya dengan sabun cuci dari cairan lengket roundup. Baru setelah itu bergabung dengan teman-temannya makan siang bersama. Setelah makan siang orang-orang istirahat. Ada yang mandi ada juga yang langsung merebahkan tubuhnya di atas palbet tidur. Tinjak dan Gugun sudah menghilang menyusuri sungai memasang banjur. Yanter, Idrus, Junaedi dan Pak Ramli bermain kartu remi. Joni sendiri duduk di tepi sungai, setelah agak lama datang supono dan Helmi. Mereka bertiga ngobrol dalam bahasa Jawa. “Enak kowe Jon, neng Kurun langsung dadi karyawan perusahaan,” Pono berkata sambil menghisap rokok. “Enak apane?” Joni bertanya. “Dadi wong trans malah langsung duwe tanah karo omah, nek kaya aku mung urip sekang upah harian.” “Dasar ora reti kowe iki,” Helmi menyela kata-kata Joni. “Trans neng Kurun iki elek banget, lemahe ora bisa ditanduri pari terus-terusan,” Helmi menerangkan. “Mung tahun pertama wae kaya aku kepenak. Diwenehi omah terus dibiayai urip setahun gratis, ning seteruse ora ana fasilitas apa-apa, saiki wis pada urip seanane kaya wong kampung Dayak.” “Masalahe apa sih ngantek pada kangelan urip?” Joni bertanya. “Lemah sing didadeke proyek trans iki elek, ora bisa ditanduri apa-apa. Pertama dibuka subur selak suwe mung gari pasir putih,” Pono menerangkan keadaan Trans di Tumbang Anjir. Tidak semua daerah Transmigrasi berhasil baik. Contoh yang terlihat adalah di Kuala Kurun. Program transmigrasi membuat pemerintah daerah Kuala Kapuas membuka beberapa lahan di sejumlah daerah. Daerah Trans di Gunung Mas dibuatkan proyek di Tumbang Anjir. Sayang areal yang diberikan kepada orang Trans cepat sekali gersang. Kedalaman tanah suburnya tipis. Orang-orang trans menjadi kecewa, sebagian kembali ke Jawa, sebagian menjual tanah dan rumah kepada tetangganya seterusnya pergi ke kota Palangka Raya mengadu nasib. Yang masih bertahan tidak mampu bertani akhirnya hidup dengan cara berladang pindah mengikuti orang kampung. Orang yang bertahan ada juga yang membuka usaha di Kurun, sebagian diantaranya berhasil menjadi pedagang, tukang kayu, penjahit dll. Jadi rumah-rumah di Trans hanya menjadi tempat bernaung saja. Nah yang ditemui Joni adalah anak-anak orang Trans yang sudah lahir di Kurun. Mereka sudah tak tahu Jawa tetapi adat dan budayanya masih asli Jawa. “Kowe pada kepengin bali maring Jawa ora?” Joni menyambung obrolan mereka bertiga. “Wah wis ora ngerti asale aku Jon, lahir wis nang kene,” Helmi berkata bingung kalau ditanya soal Jawa. “Jarene asale wong tuaku kuwi sekang Wonogiri.” “Wonogiri yo neng Jawa Tengah, daerah Solo,” Joni menerangkan keadaan Jawa. Pono dan Helmi hanya mendengarkan kata-kata Joni. Apa yang diceritakan Joni tentang Jawa hanya hiburan belaka. Itu tanah leluhur di seberang pulau. Sekarang mereka sama-sama terdampar di Kurun dengan nasib berbeda-beda. “No ayu-ayu ora wedok nang Trans?” Senyum-senyum Joni bertanya. “Oakeh Jon, dolano wae nang trans mengko tak kenalke tanggaku,” Pono menjawab dengan antusias. Membicarakan perempuan di manapun pasti tak ada habis-habisnya. Urusan yang satu ini khas milik kaum Adam. Lari-larinya selalu mengarah ke arah seks. Mereka terus ngobrol sampai sore hari. Menjelang maghrib Pono menyalakan lampu minyak. Malam hari orang-orang di pondok kerja sibuk dengan kegiatan masing-masing. Parminto menyendiri dengan menyalakan lampu sendiri untuk mengerjakan tally sheet laporan jalur hari itu. Sebagian bermain remi, dan sebagian lainnya berebah sambil ngobrol. “Jon pinjam senter perutku mules nih,” Junaedi mendekati Joni meminjam senter. “Senterku gak ada batunya Nae, coba pinjam Gugun saja,” Joni berkata tanpa beranjak dari palbet tempat tidurnya. Gugun yang berada paling ujung menyerahkan senter kepada Junaedi. Dengan senter menyala Junaedi pergi menuju sungai. “Benar-benar kamu kehilangan batu baterai Jon?” Gugun berkata sambil mendekati Joni. “Uh ngapain aku bohong, entahlah di mana hilangnya aku benar-benar tak tahu,” Joni mengeluh, urusannya sepele tapi membuat hati tidak nyaman. “Nih aku masih punya satu, biar saja diisi dulu yang penting bisa menyala,” Gugun menyerahkan satu baterai yang baik satunya lagi baterai bekas. “Aduh terima kasih Gun,” Joni segera mencoba menyalakan senternya. BRUUS! BYUUR....! Mendadak dari sungai terdengar orang seperti jatuh tercebur ke air. Seseorang berteriak seperti terkejut. Selanjutnya Junaedi muncul basah kuyup berlari. “Heehh heh, Ular....Ular besar!!” Katanya dengan terengah-engah. Orang-orang sepondok segera tanggap. Ada yang langsung memegang parang, senter dinyalakan ditujukan ke sungai. "Di mana Nae?” Parminto yang memegang parang bertanya. Gugun segera mengambil senter Joni dan bergerak menuju sungai. Mereka beramai-ramai mendekati sungai sambil menyinari dengan senter arah yang ditunjuk Junaedi. Ular bisa muncul di mana-mana, tidak terpikir rasa takut, hanya bila bersua ular pasti kaget dan timbul rasa terancam. Sinar lampu senter menyorot ke arah sungai, tak terlihat lagi bayangan ular, namun mereka tetap berusaha mencari. “Ularnya besar mendekatiku tadi,” Junaedi berbicara menunjukan arah datangnya ular besar. “Senter sampai jatuh ke sungai saking terkejutnya aku.” “Sayang sudah tak terlihat lagi,” Parminto mengayunkan parang ke kedalaman kubangan air. Jelas ular tersebut sudah lari menghindar. Akhirnya mereka kembali ke pondok kerja lagi. “Sentermu jatuh ke sungai Gun, maaf ya,” Junaedi berkata sambil mengangkat bahu. Bajunya yang masih basah dilepaskannya untuk bersalin. Ketegangan pondok reda, tidak terjadi musibah yang mengerikan. Namun di hutan harus selalu waspada. Ada sesuatu yang mencurigakan harus segera diantisipasi. Hari makin malam udarapun makin dingin dan lembab, semua orang mulai ngantuk, tak ada yang dikerjakan lagi mereka mulai tidur. Angin bertiup semilir membuat orang di pondok kerja mendirikan kelambu masing-masing. Semuanya tidur, tapi tidak bagi binatang-binatang malam. Beberapa kalong mengepakan sayapnya terdengar di atas atap terpal pondok kerja. Terkadang terdengar suara kayu rapuh roboh, biasanya orang-orang menduga selain kayu roboh itu adalah beruang madu yang menjatuhkan diri ke tanah. Beruang madu mencari sarang lebah dan semut untuk makan. Mereka bisa memanjat pohon tinggi tetapi untuk turun justru tidak bisa, jalansatu-satunya terjun dari ketinggian, ajaibnya jatuhnya tidak pernah terluka. Setelah tiga hari berturut-turut cuaca lembab dan mendung mulai terlihat matahari bersinar. Suara nyaring owa-owa terdengar dari jauh saling bersahutan. Yang khas jika pagi hari di hutan adalah suara-suara burung puluhan jenis, dari yang kecil hingga besar menunjukan aktifitasnya. Burung-buurng itu memiliki warna-warna bulu yang mencolok. Warnanya itu seperti mengimbangi hijaunya daun yang mendominasi kawasan. Regu pembebasan III sudah bersiap-siap berangkat kerja. Joni mengasah parang dengan batu asah yang tersedia. Parang mandau itu dibelinya di Kuala Kurun seharga sepuluh ribu rupiah. Parang mandau khas bentuknya, lebar di ujung mengecil di hulu, bentuk panjang lurus seperti itu menyesuaikan dengan fungsinya yaitu menebas. Dengan ujung yang lebar sedemikian rupa jika diangkat akan terasa berat, jika diayunkan menebas ujung yang berat tidak memerlukan tenaga besar untuk memutuskan batang pohon. Kemudian yang khas lagi adalah hulunya alias kayu pegangan parang. Tidak semua orang bisa mmebuat hulu parang yang bagus. Syarat hulu parang yang bagus adalah kecil mengikuti besar genggaman tangan. Jika kebesaran hanya membuang tenaga sia-sia. Lingkungan hutan telah membuat suku Dayak menemukan senjatanya yang khas sangat berbeda dengan senjata-senjata suku lain. Parang mandau terlihat primitif tetapi serba guna ternyata hanya memiliki ketajaman di satu sisi. Keadaan seperti ini membuat cara mengasahnya tidak terlalu sulit. Itulah kelebihan parang mandau. Selesai mengasah parang Joni mendekati Pono, “No aku pinjam sarung tangannya ya,” Joni langsung meraih tas Pono di sudut palbet tempat tidur. Jatah sarung tangan selalu ada untuk mengurangi rasa sakit atau lecet akibat terlalu sering memegang parang. Jika terjadi benturan dengan kayu terlalu keras telapak tangan bisa lecet. “Eh jangan Jon, jangan buka tasku!” Pono terkejut dan buru-buru melindungi tas dari tangan Joni yang hendak meraih tas miliknya. “Ah masa pinjam sarung tangan saja tidak boleh?” Joni protes merasa janggal, “Memangnya tasmu ada isi emas sekilo,” lagi Joni berkata. “Ora, ora ana apa-apa maaf ya,” Pono segera merogoh isi tasnya dan menampakan sarung tangan yang diminta Joni. “Wong ana barange wae ndadak nglarang-nglarang,” Joni geleng-geleng kepala saat Pono menyerahkan selembar sarung tangan tapi melarang Joni mengintip isinya. “Wis ayo ndang mangkat kerja!” Joni berkata kemudian beranjak pergi menyusul orang-orang yang sudah mendahului mereka. Dipimpin Parminto mereka bekerja keras. Mencari kayu tegakan, mengukur lingkar batang, mengupas kulit pohon kemudian menyemprotnya dengan cairan roundup. Daerah sekeliling tegakan kemudian dibersihkan dengan menebas memberi ruang tumbuh tegakan terpilih. Sekarang Joni menjadi pencari tegakan. Gugun dan Yanter bertugas membuat jalur. Mereka berdua sudah bergerak lebih dulu meninggalkan orang-orang yang mencari tegakan. Sebuah pohon menghadang di depan membuat Joni berhenti melangkah. Parang di tangannya mencoba membuka jalan menebas satu dua batang perdu tinggi kurus. “Coba kamu perhatikan jenis apa itu Jon?” Parminto seperti menguji Joni yang sedang mencoba mengenali jenis pohon. “Mungkin itu jenis bengkirai,” Joni berkata mencoba memegang tegakan tiang yang ditemukannya. “Wah salah lagi kamu tuh, coba perhatikan daun yang jatuh itu,” Parminto menunjukan daun yang sudah coklat kering. “Kalau begitu itu pasti meranti,” Joni menduga lagi. Dipungutnya daun dari tanah dan diperhatikannya lagi. “Ha ha ha kapan kamu pintarnya Jon!” Parminto tertawa mengejek kebodohan Joni yang makin kebingungan karena salah mengenal pohon. “Itu pohon tengkawang tahu,” akhirnya Parminto memberitahu. Memang kalau tidak cermat perbedaan-perbedaan pohon-pohon jenis dipterocarpaceae tidak banyak. Meranti, tengkawang, bengkirai, dan keruing hampir-hampir tak bisa dibedakan. Hanya orang-orang di lapangan saja yang lengsung bersentuhan akan mengetahuinya. Tidak mungkin hanya dengan melihat dari teori buku-buku. Nama-nama latinnya pun semua jenis tersebut hampir mirip. Meranti dan tengkawang Shorea Spp. Misalnya Shorea seminis adalah tengkawang, meranti merah shorea parviflora, meranti kuning atau putih shorea multiflora. Pusing orang kalau hanya menghafal, padahal di hutan itulah mata langsung membuat pengamatan. Hanya saja tidak mudah menduga langsung. Semuanya harus dilihat detailnya. “Eit nggak usah kecewa kalau salah Jon,” Parminto berkata saat Joni terdiam. “Tak mungkin kita mengenal seluruh jenis pohon di hutan ini. Apa lagi sampai perdu yang kita tebas atau kayu yang tidak komersia,” Parminto menghibur Joni. Mereka terus melanjutkan pekerjaan. Pekerjaan selalu dimulai dari batas petak di selatan. Kemudian menyusuri jalur ke utara sepanjang seribu meter. Sampai di batas petak utara istirahat. Joni mendekati Helmi di jalur sebelahnya bersama Junaedi. “Hel, Pono tuh punya apa rahasia apa sampai-sampai aku mengambil sarung tangan di tasnya saja dilarang?” Joni bertanya hati-hati terhadap Helmi. Helmi tertegun, “Masa seperti itu Jon?” Katanya kemudian. Joni menceritakan kejadian tadi pagi kepada helmi. Helmi mengerutkan keningnya, “Wah aku tidak tahu apa-apa Jon,” hanya itu Helmi menjawab. Joni sudah tidak bertanya lagi smapai pulang ke pondok kerja. Di luar pondok kerja panas menyengat, apa lagi di jalan bekas logging. Jalan logging sudah terbuka hanya tertutup semak belukar. Beberapa ruas jalan sudah banyak berlubang karena erosi saat diguyur hujan. Bekas jalan logging menyisakan tunggul-tunggul batang pohon di tepinya. Ada saja beberapa tempat yang masih rimbun karena tidak diambil kayunya. Daerah-daerah seperti itu menunjukan tak ada tebangan, tak ada kayu komersial di sana atau ada kayu tetapi belum memenuhi syarat tebang. Sementara di sudut lain Yanter dan Idrus ngobrol berdua saja. “Yan aku minta jatah rokokmu dulu, punyaku tinggal dua bungkus,” Idrus berkata perlahan supaya tidak terdengar oleh yang lain. “Enak saja ikau Drus, orang lain diminta punya sendiri disimpan,” Yanter mencela Idrus. “Di sini yang tidak merokok tuh si Joni.” “Iya ya tuh anak bisa hemat sekali merokok. Tidak seperti kita,” Idrus melihati Joni yang kemungkinan besar masih punya stok rokok cukup banyak. “Sana minta sama Joni saja!” Yanter merasa terbebas dari permintaan Idrus langsung menyodorkan usul. “Aku nggak enak sama Joni, bulan kemarin saja sudah minta sebungkus sampai sekarang belum kukembalikan,” Idrus geleng-geleng kepala. “Kalau memang tak mau minta permainkan saja si Joni itu,” Yanter berbisik kepada Idrus membicarakan sebuah rencana. Yanter termasuk pintar kalau urusan akal mengakali. Idrus mendengarkan saja kata-kata Yanter sambil menganggukan kepala. Mereka punya rencana menjebak Joni untuk membagi jatah rokoknya. Malamnya Idrus dan Yanter mulai menjalankan rencananya. Saat Joni berebah di palbet kedua orang tersebut mengajak Tinjak dan Helmi bermain remi. Yanter tepat berada di sisi Joni yang sebenarnya merupakan palbet Helmi. Saat mereka sedang asyik bermain tiba-tiba Yanter memanggil Joni. “Jon gantikan aku dulu, aku hendak makan di dapur,” Yanter meminta Joni menggantikannya. Joni yang tak tahu sedang disiasati bersedia saja. Diambilnya kartu milik Yanter dan dicoba mengurutkannya. Kalau untuk hiburan saja siapa yang menolak. Asik juga Joni memainkan kartu. Akhirnya selesai makan Yanter kembali ke palbet tapi membiarkan Joni bermain terus. “Kalau cuma remi saja aku sudah jenuh, coba ganti permainan lain Lek,” Yanter berkata mencoba mempengaruhi orang-orang yang sedang memegang kartu. Pandangannya dialihkan ke Idrus untuk mendapatkan respon. “He he he permainan apa saja oke Lek yang penting ramai,” Idrus juga tahu situasi untuk menambah panas suasana. “Bagaimana kalau main selikur, taruhannya sepucuk dua pucuk rokok,” Yanter terus mempengaruhi pemegang kartu termasuk Joni yang sudah tanggung dalam keadaan bermain. Mendengar kata taruhan Tinjak dan Helmi antusias, rasanya itu permainan yang menarik karena bakalan mencari menang kalah. “Ayo siapa takut main selikur!” Tinjak mulai panas dipengaruhi Yanter. “Taruhannya rokok sajalah, kalau uang kita semua belum gajian,” Idrus senang bukan main jebakannya mulai membuat Joni terlibat. Permainan berganti, sekarang Yanter ikut bermain juga di samping Joni yang berada bersebelahan dengan Idrus. Joni oke saja, baginya main selikur taruhannya rokok tak terlalu merugikan dari pada bertaruh uang. Cuma kali ini ia tak menyadari permainan tersebut sudah direncanakan oleh Yanter dan Idrus. Dibukanya sebungkus rokok sepucuk dua pucuk. Mereka mulai bermain selikur. Masing-masing menaruh satu pucuk di tengah sebagai penentu pemenangnya. Permainan cukup seru jika taruhan dilakukan dengan orang-orang di sebelah kanan kirinya. Di sinilah Joni tak tahu permainan orang, ibaratnya ia menjadi mangsa oleh Yanter dan Idrus yang duduk di kanan kirinya sebagai lawan. Hanya Tinjak saja yang netral tapi tak tahu urusan apa-apa. Permainan selikur berujud dua kartu, kartu satu terbuka dan satunya tertutup. Siapa paling dulu mencapai angka dua puluh satu dinyatakan pemenangnya. Berhak mengambil rokok di tengah, di samping itu juga bermain taruhan dengan membandingkan nilai kartu dengan Yanter dan Idrus berupa dua pucuk masing-masing. Pemenangnya berhak menjadi bandar dan mengocok kartu. Joni kebagian pertama sebagai bandar. Dikocoknya kartu dan dibagikan. Satu kartu tertutup dan kemudian satu kartu terbuka ke masing-masing pemain. Setelah terbagi Joni mengangkat, diintipnya kartu tertutup, perasaannya berdebar saat mengintip tetapi segera lega setelah tahu kartunya cukup. Dilihatnya orang-orang sekitar, kartu Yanter menunjukan angka tujuh hingga membuat berkerut keningnya. “Aku tambah kartu Lek,” pintanya kepada Joni. Sesaat diterimanya kartu ketiga dan dengan serius diintipnya, sayang jumlahnya melebihi dua puluh satu. “Huuu matoi kartu ayungku!” Yanter berkata pasrah. Tinggal Tinjak terlihat sama kartunya lebih genit lagi ternyata terdiri angka tujuh dan dua jadi mau tak mau harus nambah. Tapi setelah ditambah wajahnya cukup cerah. Kartu datang sepuluh menjadikannya sembilan belas. Kini tinggal Idrus yang blingsatan, kartunya sembilan belas serba tanggung. Diperkirakannya paling-paling seri dengan Tinjak saja. Sedangkan Joni terlihat satu gambar alias sepuluh. “Ya aku minta satu kartu Jon,” akhirnya Idrus mencoba peruntungannya. Diambilnya kartu dari tangan Joni dan diintipnya. Wajahnya kecut tak bisa lagi berpura-pura. “Huuu mati dah aku, tinggal kau Jon!” Finalnya Joni mengangkat kartu, diperlihatkannya kartu tertutup tadi. Ternyata semua berujud gambar alias total dua puluh. Tak ada yang mencapai dua puluh satu jadi rokok di tengah tak ada yang bisa mengambil, tetapi Joni bisa mengambil taruhannya dari Yanter dan Idrus yang memang di sebelahnya karena mereka berdua mati kartu. Masih Joni jadi bandar, begitulah permainan terus berlanjut sampai tengah malam. Malam dingin menggigit tetapi tidak terasa karena badan malah panas dipermainkan angka-angka kartu. Menang kalah sudah berpindah tangan, bandarpun sudah bergantian karena ada saja yang mencapai angka selikur lebih dulu. Tidak terasa sebungkus dua bungkus rokok sudah terpasang di depan kartu untuk taruhan. Lama-lama Jonilah yang paling banyak kalah. Tak terasa empat bungkus rokok sudah dibuka untuk pasangan taruhan. Yanter dan Idrus jelas menjepit gerakan Joni demi tipuannya. Tak sadar sudah Joni terperosok oleh kedua orang yang sudah bersekongkol. Kalau seperti itu keadaannya kemenangan jangan diharap. Parminto yang sudah tidur lebih dulu terbangun tengah malam. Dilihatnya orang-orang masih bermain kartu. “Hei cukuplah sudah kalian bermain. Besok pagi kita masih begawai!” Tegurnya sekaligus komando kalau permainan harus diakhiri. Mendengar teguran Parminto mereka akhirnya tersadar hari sudah larut malam. Mereka berhenti bermain mengemasi kartu dan rokok taruhan. Setelah itu merebahkan tubuh untuk tidur. Esoknya di dalam petak kerja, Idrus dan Yanter tersenyum penuh kemenangan. “Ie te hasil kita mengerjai Joni,” Yanter menyodorkan tangan tanda keberhasilan. Idrus menyambut genggaman tangan Yanter, “Kita kerjai lagi Joni malam nanti.” Yanter malah tidak setuju, “Jangan malam ini, bisa-bisa Joni curiga, lebih baik ajak dia bermain remi dulu.” Malamnya saat Joni berebah ternyata Gugun yang mengajak bermain kartu. “Jon kita bermain selikur, aku kepengin taruhan rokok juga seperti kemarin.” “Iya aku umba kia Lek!” Junaedi juga antusias. Mereka penasaran melihat serunya permainan malam kemarin. “Ajak Idrus sama Yanter saja, mereka tuh yang menang banyak kemarin,” Joni sebenarnya enggan diajak terus-terusan. Matanya terasa mengantuk. “Dia Lek aku uyuh, malam te aku betiru saja,” Yanter menolak dengan alasan dibuat-buat. Yanter dan Idrus malah tak mengira ada orang lain yang akhirnya mengajak Joni bermain taruhan sama seperti yang kemarin. Kali ini Gugun, Junaedi dan Pono yang mengajak. Idrus dan Yanter cepat-cepat berkilah karena rencana mereka malam ini jadi berantakan. Lebih baik mundur teratur. Biarpun mengantuk tetapi akhirnya Joni memaksakan diri bermain. “Bisa saja aku ikut tetapi batasi waktunya ya,” Joni minta keringanan. Tak mungkin bermain penuh malam itu. “Kita cuma hiburan saja Jon, cukuplah sampai jam sebelas malam,” Junaedi berkata sambil memegang kartu. “Aku pertama bandar ya,” katanya sambil meletakan sepucuk rokok di tengah arena. Akhirnya mereka berlima bermain selikur dengan taruhan bilahan rokok. Tapi malam itu mereka bermain santai. Junaedi dan Gugun rupanya bermain kartu memang hanya untuk hiburan belaka. Ini berbeda dengan Idrus dan Yanter yang begitu serius seperti benar-benar bertaruh. Bandar sudah beberapa kali berganti. Saat ini Joni jadi bandar. “Awas Jon, kalau jadi bandar ela gugup ikau kareh kalah gertak uluh!” Junaedi mengamati permainan Joni sambil berkomentar. “Iya Jon, salah hitung ya kalah taruhan,” Gugun menambahi. Terlihat Pono yang malah serius karena sudah habis rokoknya sebungkus. Kartunya dapat jelek terus. Joni membagi kartu, disodorkannya kartu ke masing-masing orang dalam keadaan tertutup. Setelah itu sebuah kartu lagi masing-masing terbuka. Masing-masing menghitung peruntungannya. “Kartuku bagus, ada gambar cukuplah tak usah nambah,” Gugun yang berada di samping Joni langsung menutup kartu. Tinggal melihat kartu Joni sebagai bandar dan Pono yang di sampingnya untuk mengetahui perolehan Pono. “Aduh Poki Mae! Sulit aku mendapat kartu seperti ini terus, ini paling Joni yang mengocok kartunya sengaja memojokan aku!” Pono protes tapi tak bisa berbuat apa-apa selain minta kartu tambahan. Pono harus berhitung ulang terhadap Gugun yang lebih dulu menyatakan cukup dua kartu. Diperhitungkannya kartu Gugun sudah jelas dua puluh jadi kecil kemungkinan menang taruhan. Kartu di depannya tujuh sedangkan di tangannya berupa gambar. Kartu yang diminta akhirnya diintip, tetapi wajahnya tetap kecut, ternyata datang dua angka. Sekarang ia hanya berharap menang dari bandar atau berhasil selisih angka dengan Junaedi. Giliran Junaedi, “Waduh ngalih kia aku menduga kartu ketun, terpaksa kubuka saja nah!” Junaedi memperlihatkan dua kartu. Dua-duanya angka tujuh dan sembilan. “Ayo Jon minta satu kartu langsung buka saja!” Pintanya pasrah. Joni menyodorkan kartu dan kemudian membantingnya di depan Junaedi. “Dasar jelek dapat gambar jelas matoi!” Junaedi berkomentar sambil menyerahkan dua pucuk rokok ke Joni dan Pono. “He he he sekarang tinggal giliranku Lek,” Joni sebagai bandar berkata. Langsung dibukanya kartu tertutup. Angka tujuh dan dua berarti lima. Ditambahnya kartu lagi hanya bertambah menjadi sepuluh. Ditambahnya lagi malah dapat As sehingga berjumlah sebelas. Satu kartu lagi tak tercapai selikur, tetapi sudah menang jumlah kartu. Segera saja Joni mengambil rokok pasangan di tengah dan di sampingnya yaitu Gugun dan Junaedi. Pono pun harus merelakan taruhannya dengan Gugun diambil karena selisih angka. Tak dinyana-nyana malam itu Joni menang besar. Sepuluh bungkus bersih, itupun Junaedi dan Gugun sudah meminta jatah untuk dihisapnya sendiri. “Akoi kharat permainan ikau malam te Lek,” Junaedi berkomentar. “Aku laku sebungkus buat kuhisap jewu ya,” dihitungnya belahan rokok mencapai satu bungkus untuk dirinya. “Ha ha ha wah aku te dia mengira sampai bisa menang. Ambil saja Nae!” Senang bukan main Joni. “Yang menang kasih aku sebungkus juga Jon,” Gugun yang kehabisan rokok smapai tiga bungkus pun minta jatah. Idrus dan Yanter yang berada dalam kelambu pura-pura tidur terbelak. Mereka tak mengira malam itu Joni bisa menang besar. Keduanya saling memberi isyarat untuk meneruskan rencananya besok. Dengan kemenangannya malam itu Joni bisa tidur nyenyak. Apa lagi mereka membatasi bermain sampai jam sebelas malam jadi esoknya badan segar bugar saat bangun pagi. Bekerja dengan Parminto harus ekstra keras badan terlalu loyo karena begadang akan terlalu kelihatan. “Berapa bungkus ikau menang Jon?” Yanter bertanya memancing Joni. “Yang ada tinggal sepuluh bungkus. Sebenarnya sayang juga rokok dibuka Lek, aromanya jadi hambar,” kata Joni sambil menghisap sepucuk rokok. Rokok yang dibuka dan diangin-anginkan untuk jadi taruhan jelas banyak rusaknya terutama sekali aromanya jadi menguap. “Kareh malam main lagi Jon,” Idrus berkata juga dengan harapan bisa mempermainkan Joni lagi. “Ah rokok sebanyak itu tak akan habis terhisap Lek. Biar sajalah nanti malam buat taruhan lagi,” Joni berkata tak menyadari kata-katanya itulah yang dinantikan oleh Idrus dan Yanter. Malamnya Joni bersedia saja diajak taruhan rokok. Idrus dan Yanter benar-benar menjepit si Joni di tengah-tengah mereka. Dalam bermain jika salah satu dari dua orang ini menjadi bandar hampir tak mungkin lagi buat Joni kecuali menyerah. Mula-mula Joni tak curiga, tapi lama-lama mulai merasakan kejanggalan tersebut. Jika malam bermain dengan Junaedi dan Gugun suasananya santai sekarang ternyata begitu serius. Tak sekalipun terdengar Idrus atau Yanter berkomentar ringan jika kalah atau menang untuk mencairkan suasana. Beberapa kali Joni merasa seperti dibantai jika mendapat kartu jelek. “Jangan-jangan mereka sengaja melakukannya?” Joni membatin. Dia berada tepat di tengah antara Idrus dan Yanter. Kedua orang ini paling banyak mendapatkan rokok dari Joni jika kartunya jelek. Jika baguspun ia hanya mendapat dari samping kanannya sesuai putaran kartu. Kesadarannya tumbuh mulai perasaannya tidak enak. “Hanya taruhan rokok saja mereka seperti judi bener-beneran. Rasanya aku ini yang dijadikan korban.” Perasaannya berkecamuk kartu yang dipegangnya tak terlalu diperhatikan lagi. Ia pasrah saja malam itu kalah banyak. Sampai lima bungkus disikat Idrus dan Yanter. Percuma permainan dilanjutkan. Esoknya saat bekerja di hutan Joni mengeluh pada Gugun, “Wah Gun, Idrus dan Yanter bersekongkol mengalahkan aku,” hati-hati Joni membicarakan masalah dengan Gugun. “Mereka bermain seperti judi sungguhan, aku merasa seperti dipermainkan saja oleh mereka.” Gugun tertegun kini ia tahu juga keadaan Joni dua harian ini. Bermain kartu dan berjudi sudah biasa dilakukan oleh Yanter dan Idrus, terutama Yanter yang termasuk ahlinya dalam berbagai permainan. “Mereka itu paling mengincar rokokmu Jon,” Gugun menduga maksud mereka mempermainkan Joni. “Wah kalau seperti itu biar saja malam nanti aku ikut bersama Junaedi.” Joni tersenyum juga, “Kalau begitu biar saja saat pertama aku berada di tengah mereka berdua, setelah itu gantikan aku Gun.” Benar malamnya mereka bermain lagi, tapi Joni hanya sebentar saja ikut. Dengan alasan hendak buang air ke sungai, Gugun menggantikannya. Posisipun berubah, Yanter dan Idrus kehilangan mangsa. Sekarang Idrus dan Yanter berhadapan dengan Gugun dan Junaedi yang juga sudah saling memberi isyarat. Setelah itu Joni malah cukup jadi penonton saja di belakang Idrus. “Ayo Drus jangan kalah dengan Gugun, paling kartu Gugun cuma tujuh belas!” Teriaknya menyemangati Idrus. Dalam kondisi seperti itu Joni adalah orang netral hingga ia sengaja di belakang Idrus untuk menghilangkan kecurigaan mereka berdua. “SAPI!” Idrus berteriak, “Mana kutahu kartu Gugun!” Idrus menggerutu kesal. Mereka sekarang bermain dengan pakarnya. Tidak seperti Joni yang bertaruh sekedar hiburan. Junaedi dan Gugun biasa juga bermain judi. Sampai-sampai taruhan dengan uangpun berani mereka tantang. Setelah malam itu berakhir Joni sudah tidak bersedia lagi bertaruh. Paling-paling bermain kartu remi itupun di siang hari sehabis kerja. Suatu ketika Tobias datang ke pondok kerja bersama Jagau sopir rimbawan. Biasa....Asisten pembebasan itu pasti hendak meninjau hasil pekerjaan selama ini. Parminto biarpun berpengalaman di hutan kariernya tidak secermelang orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi. Parminto hanya lulusan SMP di kotanya Solo. Terlihat Junaedi yang akrab dengan Tobias. Dua-duanya orangnya berpostur tinggi. Junaedi asli Banjar, melihat sepintas orangnya elegan hanya kurus dengan gigi yang sedikit rusak khas orang Kalimantan karena mudah keropos. Tobias berbadan tinggi berkulit hitam, rambut ikal. Konon Ia adalah blasteran Dayak dengan Timor Barat (Kupang). Kumisnya lebat diperliharanya sebagai ciri khasnya. Kalau Jagau yang sopir rimbawan adalah orang kelahiran Palangka Raya, Dayak tetapi menurut riwayat malah masih keturunan seorang berdarah Jepang saat PD II. Kalau melihat riwayatnya, rasanya di hutan Kalimantan merupakan bentuk urbanisasi dari berbagai suku dalam mencari pekerjaan. Entah apakah perpindahan penduduk dari berbagai pelosok Indonesia masuk ke hutan bisa disebut sebagai urbanisasi? Kenyataan yang ada penghuni camp terdiri dari berbagai suku dari seluruh Indonesia. Tobias duduk di samping palbet Junaedi. Berhadapan dengan Junaedi dan Parminto. “Bulan depan akan ada pengiriman tenaga dari Kuala Kurun ke PT Sikatan Wana Raya,” kata Tobias membuka percakapan. “Pengiriman tenaga buat apa Yas?” Junaedi bertanya memanggil nama singkat Tobias. “PT Sikatan Wana Raya akan ada kegiatan Eko Labeling, kegiatan dari badan nasional untuk sertifikat produksi kayu TPTI.” Tobias mulai menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi perusahaan jika mengajukan ijin usahanya tetap diperpanjang. “Dengan Eko Labeling produksi kayu di perusahaan tersebut dianggap legal karena telah memenuhi persyaratan kayu konservasi.” “Wah berat juga sekarang urusan jual beli kayu Yas,” Junaedi berkata membayangkan sulitnya lika-liku kehutanan Indonesia. “Itu sudah aturan badan dunia, jadi kita harus melakukannya,” Tobias melanjutkan keterangannya. “Yang susah itu ternyata PT Sikatan Wana Raya masih memiliki banyak kekurangan prosedural TPTI, padahal tahun ini giliran mereka akan mendapatkan penilaian tingkat nasional.” “Baru tingkat nasional saja sudah begitu rumit apalagi tingkat dunia ya?” Parminto yang mendengarkan saja dari tadi akhirnya berkomentar. “Kalau mengikuti badan Eko Labeling dunia mungkin bisa terhapus perusahaan ini gara-gara tak mencapai satu syaratpun,” Tobias menerangkan lagi. “Ha ha ha ya jual kayu ilegal saja yang penting hidup,” Jagau tertawa tak peduli urusan nasional atau dunia. “Bagi kita yang penting perut kenyang.” “Kesimpulannya nanti sebagian dari tenaga survey di camp akan dikirim ke PT Sikatan Wana Raya begitu?” Junaedi bertanya kepada Tobias. “Ya sebagian, rencana dua bulan jadi nanti bergantian,” Tobias menerangkan rencana perusahaan. Tapi urusan ini lebih banyak menyangkut bagian pembinaan. Untuk bagian produksi tak akan ada pengiriman. Konon kabarnya PT Sikatan Wana Raya produksi kayunya jauh lebih besar daripada PT JAP di Kuala Kurun. Arealnya lebih luas yaitu 80. 000 Ha, dengan kondisi jarang penduduk. Jadi produksi di sana lebih besar dan menjadi tumpuan group Tanjung Raya. Setelah ngobrol lama di pondok kerja barulah sorenya mereka pulang. “Kalian tahu nggak tadi Tobias bilang, sebagian dari orang survey akan dikirim ke PT Sikatan Wana Raya?” Junaedi memberitahukan Gugun dan Joni yang baru pulang dari mengambil banjur. “Memangnya dikirim ke sana untuk kerja apa?” Joni bertanya. “Kalau tetap survey seperti ini ya sama saja Nae.” “Entahlah mungkin sama saja kerjanya,” Junaedi bingung juga karena informasi yang didapatnya kurang lengkap. “Mau dikirim kemanakah yang penting gajinya Nae,” Gugun bicara dengan santai. “Kalau dikirim berarti upah kita dobel dong,” lanjutnya penuh harap. “Maunya memang begitu ya,” Junaedi bicara sendiri seperti orang baru sadar kalau pemberitahuannya kepada mereka justru menambah banyak pertanyaan seputar gaji, bidang kerja dll. Padahal pemberitahuan dari Tobias hanya sebentar saja masih banyak kelanjutannya. Melihat kebingungan Junaedi, Gugun dan Joni menyadari juga tak perlu mendesak lebih lanjut. “Nggak penting soal dikirim ke Sikatan Wana Raya, sekarang siapa saja yang bakalan dikirim. Apakah kita ini termasuk atau tidak?” Gugun bicara mencairkan suasana. “Iya sekali-kali kita ganti suasana tempat,” Joni menambahi. “Kalau di Kurun kita ini cuma itu-itu saja yang dilihat.” Mereka kembali dengan kesibukannya masing-masing. Joni, Gugun dan Tinjak membawa parang dan mata pancing ke hutan. Hari itu mereka mencoba membuat jerat sambil memasang banjur. Lokasinya mendasarkan bekas jejak binatang yang lewat. Sebenarnya urusan memasang jerat susah-susah gampang, faktor keberuntungan sangat berperan. Binatang seperti kerahau, babi hutan, pelanduk bisa dijumpai di jalan logging. Tapi di bidang terbuka seperti itu binatang-binatang tersebut sangat waspada, jadi hanya dipandangi saja. Di kerimbunan tegakan, terutama areal yang belum kena tebang jejak binatang memiliki beberapa ciri khas. Tegakan perdu yang rapat akan membentuk semacam gua memanjang karena binatang-binatang tersebut biasa melewatinya. Jika sudah terbentuk jejak binatang lewat di situlah sasaran membuat jerat. Pemasangan jerat di hutan memanfaatkan tegakan dan semak-semak. Di sekitar tegakan perdu yang tinggi tak perlu ditebang, tetapi dipilih, dibersihkan dan kemudian dilengkungkan ke jejak binatang. Batang perdu kecil yang dilengkungkan inilah yang kemudian diberi tali jerat dengan ikatan tertentu. Selanjutnya tali yang sudah dibuat melingkar untuk menjebak binatang ditutupi dengan daun dan ranting kering. “Gun mana ada jejak binatang di sini, kita dibohongi Pak Ramli saja,” Joni memperhatikan daerah sekeliling sungai. Cukup jauh mereka berjalan ke hulu. Gugun mencoba memperhatikan, “Soal binatang pasti tetap ada cuma mungkin mereka jarang lewat sini karena tak ada sumber makanan.” “Terus tali jerat ini kita pasang di mana Gun?” Joni sudah lelah berjalan. “Pasang jerat terlalu jauh dari pondok kerja sia-sia saja, memang siapa nanti yang akan mengangkatnya?” “Aku sendiri baru belajar bikin jerat Jon,” Gugun bingung juga. “Yang namanya tempat banyak jejak binatang atau sedikit aku buta sama sekali,” katanya lagi. “Wah kukira kamu itu sudah ahlinya,” Joni sewot juga dengan lagak Gugun. “He he he kena kubohongi juga Kau...,” Gugun terkekeh melihat Joni kena kibul. “Sudahlah kita coba di areal ini saja Jon, spekulasi.” “Sialan tapi kalau nanti dapat gajah kamu saja yang mengangkat ya?” Joni akhirnya menyerah, mulai membuat areal untuk jerat. “Di Kalimantan mana ada gajah Jon, paling-paling di kebun binatang,” Gugun kalem saja diumpati Joni. Mereka mulai membuat jerat, Joni membabat semak memanjang sedang Gugun mencari perdu dan kemudian dilengkungkan untuk memasang tali jerat. Panjang tebasan sekitar seratus meter dapat dipasang lima belas jerat sesuai yang dibawa mereka dari pondok kerja. Sambil kerja Joni bicara sendiri, “Coba kita pasang jerat di kampung, pasti dapat ayam tetangga,” kata Joni sambil melihati Gugun yang sibuk mencoba kelenturan tali jerat. “Kalau di kampung nggak usah pakai jerat seperti ini Jon, pakai uang dan traktir makan bebinian kampung pasti mereka mau,” Gugun malah menambahi gurauan Joni. “Kalau mengganggu bebinian kampung kena jipen tahu rasa kau Gun,” Joni tambah ngelantur. “Lihat bebiniannya dong, kalau cantik biar kena jipen berapapun tak masalah,” Gugun terus nyerocos menyelesaikan pekerjaannya. Hutan hanya ada mereka berdua. Di hilir sana pondok kerja sekitar lima ratus meter, cukup jauh. Makhluk seperti Joni dan Gugun mungkin dianggap makhluk asing bagi penghuni hutan. Tak ada binatang hutan menyukai kehadiran mereka. Bila tercium bau yang asing binatang-binatang itu ngacir pergi. Sedangkan pohon-pohon di sekitar mungkin mengejek Joni dan Gugun, “Uh manusia bisanya cuma merusak kami saja.” Di hutan yang gelap dan lembab itulah ternyata tersimpan begitu banyak spesies tumbuhan dan binatang. Jenisnya ribuan dan mungkin dari jenis yang langka karena hanya masuk dalam otak ilmuwan. Sayangnya tak sengaja Joni dan Gugun ikut andil merusaknya, urusan mereka berdua cuma demi perut. Biarpun di hutan tidak panas, tetapi menebas dan memasang tali jerat tetap saja mengeluarkan keringat deras. Ini bedanya dengan di dalam rumah, di hutan tercipta iklim mikro yang sejuk namun di atas pucuk-pucuk pohon panas matahari memanggang mempengaruhi Joni dan Gugun yang di bawahnya. Pengaruhnya tak langsung tetapi terasa saat bergerak yang langsung keringat bercucuran. “Sudah sore Gun kita pulang saja,” Joni berkata memecahkan keheningan di hutan. Tak perlu menjawab Gugun pun berjalan menuju ke sungai. Dari sungai itu asal berjalan menyusuri ke hilir pasti sampai ke pondok kerja. Sepanjang mereka berjalan beberapa kali menemui batang-batang banjur yang dipasang Tinjak. Mungkin Tinjak sudah pulang lebih dulu membawa perolehannya hari itu. Joni melepaskan kaosnya yang basah oleh keringat, sekalian saja telanjang rasanya sejuk. Dengan hanya mengenakan cawat ia merebahkan tubuhnya di palbet yang dibuatnya sendiri. Selisih dua palbet dari tempatnya Idrus, Yanter, Junaedi dan Helmi sedang bermain remi. Asap rokok mengepul memenuhi ruangan tertutup terpal. “Drus malam nanti main selikur berdua saja dengan Yanter ya, aku cukup jadi penonton,” Joni berkata tetap rebah di palbet, santai sekali. “Sapi kau Jon!” Idrus berkata keras paham ke arah mana pembicaraan Joni. “Kalau ada sapi tuh masukan ke hulu sungai biar nanti kena jerat Gugun,” Joni berkata sendiri sudah biasa dengan umpatan Idrus. “Biar jewu tame hutan Idrus tesesat masuk jerat Gugun,” Yanter malah memanasi Idrus biar tambah keki. Sifat Yanter ini suka memanfaatkan kelemahan orang lain. “Bah, ayo Drus aku nunggu kartu buanganmu!” Junaedi tak sabar Idrus terpengaruh oleh kata-kata Joni hingga memperlambat permainan. Terpaksa Idrus tak melayani Joni lagi. Konsentrasinya buyar membuat permainannya kacau. Hari makin sore, lampu solar sudah dinyalakan. Tinjak dan Gugun entah ke mana, rupanya mereka sepakat memancing ke hilir sungai. Parminto sedang sholat maghrib, di pondok kerja pembebasan ini hanya Parminto seorang saja yang rajin sembahyang, lainnya nol besar. Pondok kerja dibuat menghadap ke timur dengan kompas yang ada hingga arah kiblat bisa menyesuaikan. Pono dan Helmi asyik ngobrol dengan bahasa Jawa membuat orang lain yang tak paham meleletkan lidah. Pono berkulit hitam kecil kurus kering. Sebenarnya ia mahir bahasa Dayak jauh melebihi Joni. Pono orang Trans kelahirannya sudah di Kalimantan. Hidupnya beradat Jawa tetapi berladang pindah karena tanah Trans yang tersedia tidak subur. Kalau Helmi kecil agak gemuk, anaknya terlihat lebih periang dari Pono. Suatu ketika Joni pernah bertanya kepada Helmi, “Aku dengar Pono pernah kerja di camp produksi, kenapa sekarang keluar?” “Pono itu orangnya agak nakal, sering merugikan orang lain Jon. Jadi orang yang diikutinya di camp produksi tidak menyukainya,” Helmi menjawab pertanyaan Joni. “Nakal, nakal seperti apa?” Joni tak paham. “Ah nanti kamu tahu sendiri Jon,” Helmi tak meneruskan kata-katanya. Cuma seperti itu keterangan yang didapat. Selama di hutan dilihatnya Pono bekerja seperti biasa. Tak ada yang istimewa dari anak ini, mungkin yang dikagumi Joni adalah penguasaan bahasa Dayaknya yang begitu fasih. “Kalau turun ke Kurun singgah di Trans Jon, setiap tujuh belasan ada acara kuda lumping,” Helmi berkata perihal orang-orang Trans. “Kuda lumping?” Joni teringat daerahnya sendiri. Itu kesenian yang menampilkan penari di atas kuda yang kemudian pelakunya kesurupan hingga bisa makan sabut kelapa dan beling kaca. “Iya bahkan Pak Yuli Bina desa sering ikut juga,” Helmi terus bicara. “Pono tuh kalau mendem malah lucu Jon, orang-orang tak ada yang takut padanya,” Helmi tertawa ditahan seperti teringat kejadian saat acara kesenian kuda lumping. “Pono nek mendem mringis kaya jaran dadi diguyu sing do nonton, jare Pono dewe ora ndadi mung kebanjur lagi nang lapangan sidane pura-pura mendem.” Joni jadi ikut tertawa juga, “Jangan-jangan dikasih silet atau kaca beling saat itu Pono malah lari ya....,” Mereka tertawa terbahak-bahak kemudian ngobrol sampai jauh malam. Rasa kantuk yang timbul membuat mereka berdua menuju palbet dan selanjutnya menjemput mimpi masing-masing. BAB 8 Bunga-bunga Camp Rimbawan Saat itu di rumah Pak Jali, Ipah sedang duduk di teras mess. Di depannya orang-orang camp sedang bermain volley. Mardi, Tobing, Hambali, Imanuel dan beberapa Satpam. Seperti biasa mereka berbagi tim. Kedua tim ini sepertinya abadi di camp. Anggota-anggota yang lain biasanya hanya insidentil ikut bermain. Penontonnya ibu-ibu mess, merekapun terbagi menjadi dua suporter. Tim dibagi dua memang supaya seimbang. Tobing, Imanuel, Mardi dan Hambali setiap hari bermain volley dan sepak bola. Boleh dikata merekalah yang selalu menjadi penggerak tim. Kalau orang survey biarpun ada yang pandai bermain bola atau volley sering dijadikan kapten untuk menambah ramai suasana. “Huuuuu!!!” Ibu-ibu berteriak menyoraki Mardi yang gagal servis. Bola terlalu jauh keluar lapangan. Mardi yang gagal servis kecewa melihat pukulan bolanya melenceng jauh. Terjadi pergantian servis, sekarang giliran Hambali. Dipukulnya bola ke tengah bidang tim Mardi. Bola disambut Tobing yang berada di belakang mencoba dilambungkan ke depan seorang Satgas. Sayang Satgasnya kurang tanggap bola malah lari ke belakang membuat Mardi gelagapan memukul bola ke bidang tim Imanuel. Imanuel tanggap, bola menyeberang diarahkannya ke Hambali di mana orangnya langsung menyarangkan ke depan net yang segera disambar Imanuel melakukan smesh. Masuk......bola jadi poin. Tepuk tangan langsung bergemuruh, suporter Imanuel bersorak. Yang sewot Mardi dan Tobing karena pemain garis depannya mendapatkan orang-orang yang kurang trampil menyambut bola. Beberapa kali Mardi dan Tobing bekerja keras menyelamatkan bidang lapangan supaya tidak kebobolan. Tapi permainan apapun harus ada yang kalah dan menang. Hari itu Tobing dan Mardi hanya bisa tersenyum kecut. “Ha ha ha kalah ketun, jangan lupa spritenya ya!” Imanuel tertawa menyambut kemenangannya karena mereka bertaruh minuman kaleng. “Embit kareh je Pak Agau, masukan bonku ya,” Mardi menjawab dnegan peluh bercucuran. Hari sudah menjelang maghrib permainan berhenti. Tobing dan Imanuel harus menyalakan mesin genset. Hambali mendekati Ipah, mereka berdua ngobrol di depan teras. “Pah sekali-kali umba volley, biar ikau menggantikan aku,” Hambali membuka percakapan dengan Ipah. “Kalau yang main horas bawek aku pasti umba Li,” Ipah menjawab. “Benar nih,tapi bisa dia ikau memukul bola?” Hambali bertanya. “Ayo coba latihan memukul bola denganku,” Hambali menawarkan diri. Diambilnya bola diperlihatkan di depan Ipah posisi bola. Kemudian dilemparnya bola ke atas. Kedua tangannya dijulurkan sejajar menyambut bola hingga saat bola terkena punggung tangan melambung ke atas beberapa kali. Ipah pun akhirnya mencoba, dicontohnya gerakan Hambali. Dengan sabarnya Hambali mengajari Ipah bermain volley. Beberapa pasang mata Satpam menonton kedua orang berlainan jenis itu bermain. Hambali siapapun tahu siapa dia. Seorang pemuda berawak sedang, Ia teman Mardi di Green House. Kalau Mardi di dalam Green House maka Hambali bagian kebun steck pucuk. Keduanya menjadi tim di bagian persemaian urusan pendederan bibit hasil semacam laboratorium Green House. “Hai, wah ketun pacaran ya!” Imanuel mengejutkan Ipah dan Hambali. Ipah pura-pura cemberut, “Huu ikau Lek, bikin aku kaget saja.” “Eit Pah kuweh janji ikau denganku. Katamu akan setia denganku seumur hidup,” Imanuel menggoda Ipah. “Huuu kapan aku janji denganmu, aku te masih bebas,” Ipah sewot dan malu. Ia langsung beranjak meninggalkan Hambali dan Imanuel ke rumahnya. Imanuel dan Hambali hanya saling pandang saja, setelah itu mereka berlalu dari depan rumah Ipah untuk mandi. Di dalam rumah Ipah jadi blingsatan. Pikirannya berkecamuk, berbagai perasaan muncul. Terbayang beberapa lelaki yang pernah menyatakan isi hatinya. Ia menghela nafas, “Aku di sini bekerja memang untuk mencari jodoh.” Ia dulu pernah bersekolah di SMP Kuala Kurun, tetapi kemudian berhenti karena masalah keluarga. Ya kakak perempuannya yang diharapkan bisa bersekolah tinggi malah hamil di luar nikah. Itulah yang menyebabkan ayahnya menjadi murka. Kemarahan ayahnya membuat mereka sekeluarga menjadi ricuh. Ayahnya membuat keputusan menghentikan pendidikan anaknya. Akibatnya Ipah yang saat itu di bangku SMP langsung terhenti. Saking kecewa terhadap kakak Ipah, ayahnya menuduh tak ada gunanya lagi menyekolahkan anaknya yang perempuan. Jadilah Ipah tinggal di rumahnya saja. Kedua adiknya masih kecil perempuan dan masih SD kelas 1 dan 3. Akhirnya atas saran Pak Jali suami dari kakak pertama Ipah ditampung sekalian bekerja di persemaian. Di persemaian inilah akhirnya kehidupannya sekarang, dan mulailah masa-masa indahnya dengan bertemu beberapa lelaki yang memberikan perhatiannya. “Pah melamun ya?” Seorang bertanya di dekatnya. Itu Pak Jali yang baru saja datang dari log pond. Pakaiannya masih kotor terkena debu jalanan. “Dia Kas, dia aku dia melamun,” Ipah menyahut menyembunyikan keterkejutannya. Tapi tetap ketahuan kalau ia memikirkan sesuatu. “Ikau te dititipkan je hitu begawai menggau laki, dia nare ikau pacaran Pah,” Pak Jali mulai mengajukan masalah. “Cobai ikau dengan Hambali, ie te uluh bahalap.” Ipah tercenung, ia tahu siapa hambali. Pak Jali jelas mengajukan seseorang yang dekat dengan keluarganya. Hambali adalah keponakan Pak Jali. Tapi jika ia menerima Hambali malah ayah kandungnya yang tidak setuju. Salah satunya adalah masalah agama. Kakaknya yang pertama menikah dengan Pak Jali mengikuti agama Islam. Ipah sudah diwanti-wanti untuk menerima lelaki yang seagama oleh orang tuanya. “Ikau pikir saja helo Pah, kareh pilihlah Hambali,” Pak Jali berkata tanpa tedeng aling-aling untuk memulai penawaran. Ipah tak perlu menjawab, ia hanya beranjak ke belakang untuk mencuci peralatan dapur. Kakaknya sedang menyiapkan makan sore, keponakannya si Ita merengek-rengek minta jajan, tapi tak digubrisnya. “Ita kamu ikut tantemu sana, ibu lagi tanggung berapi!” Terdengar suara kakaknya seperti agak jengkel. Ipah yang mendengar kata-kata kakaknya segera mendekati keponakannya. Diajaknya keluar mess duduk di teras. Untuk sementara ia bebas dari tekanan kakak iparnya. Kamar mess yang ditempatinya tidak luas, paling hanya ukuran 3x5m merupakan bekas camp tarik. Itu mudah dilihat dari dua kayu gelondongan besar memanjang sebagai dasarnya. Bekas tali kawat penarik traktorpun masih ada. Hanya saja bekas camp tarik ini sudah dimodifikasi. Ruang belakangnya sudah ditambahi ruang dapur dan drum penampung air hujan. Di sampingnya adalah kamar milik Pak Sahid. Maesaroh istrinya memiliki dua anak kecil lelaki dan perempuan. Di sanalah Ipah bermain, Pak sahid sedang masuk hutan ikut survey membuat istrinya kesepian. “Pah masuk sini, jangan di luar angin agak keras!” Maesaroh langsung mengajak Ipah masuk, Ipah datang menggendong Ita keponakannya. “Mak Andri sedang apa, menderu dia aku main je hitu?” Ipah mencoba berbasa-basi sejenak. “Welah aku ini pengangguran Pah, mana ada yang dilayani kalau Bapak sedang masuk hutan,” Maesaroh berkata memecahkan keraguan Ipah. “Ayo ngobrol denganku di dalam, di luar nggak enak tuh Tobing melotot melihatmu,” Maesaroh menunjuk Tobing yang sedang berjalan keluar dapur sebenarnya hendak ke mess kamar atas. Tetapi sempat menengok ke arah Maesaroh dan Ipah. “Ada apa Mak Andri?” Tobing jadi agak heran merasa dirinya jadi obyek pembicaraan mereka. “Nggak Bing, kamu tuh bikin takut Ipah tahu!” Maesaroh bercanda. “Ipah masih kecil jelas penakut, awas kamu Pah jewu ketemu di persemaian aku permainkan!” Tobing malah mengancam. “Huu dia bisa Lek!” Ipah mencibir sengit. Mereka setiap bertemu sudah tak ada sekat yang terlalu kaku. Setelah itu tobing melanjutkan langkahnya menuju atas tanpa pamit kepada mereka berdua. Di dalam rumah Pak Sahid Ipah ngobrol dengan Mak Andri. Ipah membeberkan sedikit masalahnya. Mendengar urusan yang agak penting Mak Andri jadi terdiam, kemudian berbisik, “Pah ikau te bebas saja kalau hendak memilih, dia usah kata-kata Pak Jali jadi beban buatmu,” hanya itu yang bisa disampaikan oleh Maesaroh. Mereka ngobrol sambil nonton televisi. Tidak semua rumah tangga di camp memiliki TV. Selain listriknya yang terbatas juga karena kondisinya yang bak penampungan pengungsi. Mereka membiarkan Ita dan kedua anak Pak Sahid bermain di luar. Baru setelah di atas jam delapan Ipah pulang untuk makan dan tidur. Pagi harinya seperti biasa mereka bekerja di persemaian. Ipah mengenakan kaos oblong bergambar ukiran Dayak. Celananya bentuk training, yang menarik dari Ipah adalah kulitnya yang putih dan matanya yang sipit seperti Cina. Itu adalah bagian ciri khas Dayak. Sebenarnya cara berjalan Ipah kurang serasi. Ternyata kakinya jika dilihat dari belakang seperti membentuk huruf O. Tetapi kekurangannya tertutupi oleh wajahnya yang berponi menutupi dahinya yang lebar. Tobing dan Imanuel sibuk mengangkati tanah humus yang digalinya di sekitar areal persemaian. Tanah subur didapat di kerimbunan tegakan menuju ke atas areal persemaian. Beberapa kali sudah mereka mengangkut dengan tandu berdua, tanah-tanah tersebut nantinya untuk mengisi polibag. Sedangkan ibu-ibu dan Ipah sibuk memotong stek batang sungkai, yang lain menyapu lingkungan persemaian dari daun-daun tajuk pohon yang jatuh dari ketinggian. Perempuan biar seperti apapun makhluk ini tetap menarik. Rata-rata perempuan di camp itu biasa-biasa saja. Cuma mereka dibalik itu memiliki kisah cinta yang sering dramatis. Kalau sudah seperti itu mereka bakalan menggosip orang terutama jenis laki-laki. Mereka bicara tentang masa lalunya atau kelakuan orang-orang camp terhadap masing-masing. “Aku tuh sering diintip Imanuel kalau sedang mandi,” Mak Yanto anak dari si Mbok dapur bicara. Segera saja yang lain antusias untuk mendengarkan. Tentu Imanuel tidak mendengar, orangnya sedang sibuk mencangkul tanah di dalam hutan bersama Tobing. “Di mana dia biasa ngintip?” Maesaroh langsung bertanya. “Itu kalau aku sedang mandi di bilik belakang dapur, matanya itu hampir-hampir tak berkedip kalau mengintip,” Mak Yanto terus bercerita. Mak Yanto ini janda satu anak, tetapi hanya pisah ranjang. Suaminya Trans Jawa entah di mana, konon sekarang kembali ke Jawa. “Pernah saking kesalnya aku, kusiram orangnya dengan air, dasar mata keranjang,” Mak yanto bersungut-sungut tetapi matanya berbinar-binar karena merasa masih laku. “Mungkin dia itu suka denganmu Mak Yanto,” Ipah jadi tertarik mendengar kelakuan temannya si Imanuel. Orang Timor Timur itu kiriman dari daerah asalnya. “Kalau kamu bagaimana Pah, kulihat banyak laki-laki yang suka denganmu?” Mak Yanto bukannya membicarakan masalah kelakuan Imanuel tapi balik bertanya kepada Ipah. “Ah aku masih ingin sendiri, belum terpikir buat nikah,” tersipu-sipu Ipah menjawab. “Wealah, ikau te pacaran dulu bukan langsung kawin Pah,” Mak Yanto menyela. Ipah jadi sulit bicara, di depan perempuan-perempuan yang jauh berpengalaman jelas sulit menutup rahasia. Akhirnya dibeberkannya beberapa lelaki yang mencoba menarik simpatinya. “Jadi ada Johan si Madura itu,” Maesaroh terkekeh mendengar pengakuan Ipah. “Iya ada lagi si Bardi yang sering kirim surat,” kata Ipah. Bardi adalah orang Dayak Dusun yang tinggal di Kurun. Disebutnya lagi beberapa orang yang sudah menyatakan perasaannya termasuk Joni. Semua yang berada di pondok kerja persemaian tertawa terbahak-bahak setiap kali mendengar cerita dari mulut Ipah yang notabene sering dialami juga oleh mereka. Gosip baru terhenti saat Tobing dan Imanuel datang bergabung di persemaian. “Wel dicari Mak Yanto tuh...!” Maesaroh berteriak kepada Imanuel saat sudah bergabung. “Ah Mak Andri jangan disinggung lagi urusanku dengan Mak Yanto!” Imanuel hanya bisa mencoba menepis masalah yang membuatnya malu. Ternyata Mak Yanto hanya tertawa cekikikan saja. “Awas kamu Wel kalau berani ngintip aku mandi!” Maesaroh mengacungkan kepalan tangan ke arah Imanuel. “Nggak, nggak aku nggak berani Mak,” Imanuel gelagapan, nyalinya ciut juga dikeroyok begitu banyak perempuan. Tobing tak bisa membela temannya yang sudah tersiar kabar kelakuannya itu. Sebenarnya soal intip-mengintip di camp ini banyak pelakunya, apalagi kalau orang-orang survey sudah berkumpul di camp. “Berapa hari lagi orang-orang keluar dari hutan, ramai lagi camp km 4 ini,” Tobing mencoba mengalihkan pembicaraan agar Imanuel yang tersudut terhindar karena mati kutu. “Iya lama sudah aku tidak main bola,” cepat Imanuel menanggapi lontaran Tobing untuk mencairkan suasana kikuk yang dirasakannya. “He he he dan pacar-pacar Ipah siap menyerbu persemaian ini,” Tobing tertawa menggoda Ipah. Ipah hanya mengacungkan kepalan tangannya karena dirinya yang kini diserang. Orang-orang di persemaian kembali tertawa terbahak-bahak. “Kalian yang sering main bola rame-rame, kalau kami yang di dapur kepayahan menyuapi sekian banyak mulut orang,” Mak Yanto gantian yang cemberut. Dapur umum jelas tambah banyak pekerjaan karena harus mempersiapkan makanan untuk puluhan orang. Mereka terus ngobrol sampai jam istirahat terdengar, setelah bel terdengar mereka kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Dari jauh terlihat Hambali dan Mardi berjalan menuju ke arah persemaian akhirnya bergabung dengan perempuan-perempuan di camp. “Pah mencari sayur apa nggak?” Hambali bertanya sekaligus sebuah ajakan untuk mencari tambahan sayur. Ipah terdiam, ia teringat kata-kata Pak Jali semalam. Hambali salah satu lelaki yang diinginkan Pak Jali untuk berhubungan lebih serius. Tak mungkin ia menolak kasar maksud baik tersebut. “Baiklah aku mencari cabe saja buat sambal nanti sore,” Ipah menjawab dan kemudian minta ijin kepada kakaknya untuk pergi dengan Hambali. “Kalau kalian ke Bina Desa tolong carikan gergaji kecil ya,” Mardi meminta tolong kepada Hambali dan Ipah. “Ikau umba sekalian Mar?” Ipah mencoba mengajak Mardi bersama ke Bina Desa. “Dia Pah, aku diajak Tobing main catur di kamar atas,” Mardi menolak dengan alasan. Akhirnya Ipah dan Hambali berjalan bersama menuju Bina Desa. Beberapa jenis sayur, singkong, keladi, kacang panjang dan berbagai sayur lainnya ditanam oleh Pak Yuli. Hasil kebun ladang sering dibeli dapur umum untuk konsumsi orang-orang camp. Dari persemaian ada jalan tembus tersendiri yang biasa digunakan mobil rimbawan mengangkut bibit. Jalan tersebut langsung menuju jalan logging dan kemudian menyeberang untuk menuju jalan Bina Desa yang menurun seperti tangga. Selain Bina Desa yang pondoknya buatan perusahaan di sampingnya ada jalan setapak menuju pondok Pak Agau. Inilah satu-satunya orang lokal yang tinggal paling dekat dengan camp km 4. Ipah dan Hambali terus berjalan sambil bercakap-cakap hingga mendekati pondok Bina Desa, Pak Yuli yang sedang duduk di teras pondok menyambut. “Wah serasi banget kalian jadi pasangan, cepat diresmikan saja Li!” Pak Yuli berkata langsung ditujukan buat Hambali. “Nggak Pak Yuli, kami cuma cari sayur saja kok,” Hambali menepis anggapan Pak Yuli tapi matanya melirik Ipah. Dari dalam pondok Mak Yuli keluar, “Hei Pah kebetulan aku baru memetik kacang panjang, coba ikau pilih sendiri!” Ipah langsung bergabung dengan Mak Yuli di dalam pondok membiarkan Hambali dan Pak Yuli ngobrol. “Bagus sekali kacang panjangnya Mak, aku ambil ya tapi uangnya nunggu minggu depan saja,” Ipah memilih beberapa kacang panjang. “Soal bayar te mudah, toh ikau tidak bakalan lari Pah,” Mak Yuli membantu Ipah memilihkan kacang panjang. “Yang sering ke sini tuh si Joni, dia paling suka kacang panjang masih di rambatan, biasanya langsung dimakan mentah-mentah saja.” “Joni, Joni suka kacang panjang mentah?” Ipah tertegun perasaannya berdebar juga teringat pengakuan Joni saat ia mandi di persemaian. “Iya si Joni. Anak itu kalau makan kacang panjang kayak kambing saja,” Mak Yuli tidak tahu perasaan Ipah yang galau. Yang dibicarakan adalah Joni yang sama-sama Jawa jadi tentu sudah biasa ke Bina Desa bahkan sering makan bersama keluarga Pak Yuli. Segera Ipah jadi gelisah, ia tak tahu kenapa ia jadi begitu perhatian saat disebut nama Joni. Tapi ia menahan diri, setelah mendapatkan sayur dan segenggam lombok Ipah segera mengajak Hambali untuk pulang ke mess. Selama perjalanan Ipah tak terlalu banyak bicara lagi. Sepeninggal Ipah dan Hambali Pak Yuli berkata kepada istrinya, “Dengar-dengar banyak orang camp yang suka dengan Ipah, entah siapa yang akan mendapatkannya.” “Tapi Pak Jali sepertinya lebih suka Ipah dengan Hambali saja,” Mak Yuli menukas perkataan suaminya. “Ah belum tentu, itu kan di camp sini. Memangnya orang tua Ipah semudah itu menyetujui?” Pak Yuli berkata sendiri. Tak menunggu jawaban istrinya ia beranjak ke sungai di belakang pondok untuk mandi. Beberapa hari kemudian orang-orang survey mulai turun dari hutan. Regu penanaman yang diketuai Husen lebih dulu sampai di camp. Menyusul kemudian regu perapihan, setelah itu selisih sehari menyusul regu perencanaan yang mengadakan cruising (mencari kayu tebangan), barulah setelah itu regu pembebasan Parminto. Kalau orang survey turun ke camp, gantian orang kantor seperti Tobias, Sahrun, Mario dan Pak Joko yang sibuk. Mereka harus pulang pergi ke log pond untuk membuat berbagai laporan kegiatan dan catatan gaji orang survey. Padahal saat tengah bulan di mana camp sepi orang-orang kantor ini lebih sering bolos kerja. Husen yang sudah terbiasa di km 12 jalan Domas Raya mencoba menemui Sahrun. Urusannya terkait dengan bagian penanaman yang dipegang Sahrun. “Run aku dengar kabar ada pengiriman tenaga bulan depan ke PT Sikatan Wana Raya?” Husen yang masih mengenakan pakaian survey dan sepatu boot bertanya saat bertandang ke mess Sahrun. “Ada Sen, nanti dipilih orang-orangnya. Mungkin sebagian dari penghuni camp km 4 ini bakalan dikirim ke Tewah,” Sahrun yang sedang meneliti tally sheet penanaman berkata tanpa menoleh ke Husen. “Terus kegiatan TPTI ini bagaimana?” Husen bertanya. “Tentunya banyak sekali kekurangan tenaga kerja nanti.” “Dari manager segala urusan kegiatan TPTI hanya mengerjakan sebagian saja, semua difokuskan ke Tewah. Di sana perusahaan sedang ada Eko labeling. Katanya perusahaan tersebut tidak memiliki kegiatan selengkap di sini,” Sahrun mencoba memberi penjelasan. “Salah satu orangnya nanti kamulah yang dikirim,” katanya kemudian. “Sebenarnya buatmu sudah waktunya memegang jabatan asisten, sayang di sini sudah terlalu sesak orangnya.” Dari beberapa orang kiriman yang melamar dari kantor pusat Jakarta, hanya Husen saja orangnya yang masih ikut survey di hutan. Salah satunya adalah Saiful Bahri dan temannya yang di bagian perencanaan sudah memegang asisten Litbang dan Perencanaan. Mereka semua menjadi bagian tersendiri dikepalai Kabag perencanaan. “Eiiit si Bahar bagaimana urusannya?” Tiba-tiba Sahrun bertanya soal bekas anak buah Husen di km 12. “Wah sulit sudah Run, dari Pak Mundai sudah menyatakan harus dikawinkan,” Husen berkata tanpa banyak pikir. “Pak Mundai tampaknya tidak tega kalau membiarkan Bahar terus bermasalah di km 12. Anaknya seperti sudah tak punya pendirian lagi.” Sahrun geleng-geleng kepala, “Aku yang nggak enak dengan keluarga Bahar di Lombok Sen, ibunya terus menanyakan kabar sedangkan anaknya sepertinya tidak peduli.” Bahar sudah dikeluarkan dari perusahaan. Ini yang susah, biarpun tidak berstatus karyawan tapi tetap tinggal di pondok km 12, ikut makan dan tinggal di pondok kerja kadang-kadang juga tinggal di rumah Pak Mundai. “Kalau begitu kapan si Bahar dikawinkan dengan Mira?” Sahrun mendesak Husen. “Mungkin bulan depan, Pak Mundai sudah meminta kesediaanku untuk menjadi saksi dari Bahar,” serius Husen menerangkan. “He he he Run sebenarnya masalah ini kamu ikut serta juga, aku ini tidak berpengalaman sama sekali tentang urusan nikah.” “Ya nantilah Bahar itu termasuk tanggung jawabku sesama orang Lombok. Sayang terlalu banyak bikin masalah,” Sahrun berkata sungguh-sungguh. Husen seperti merasa lega mendengar pernyataan Sahrun. Tiba-tiba mereka dilewati seseorang. “Sssstt Udeng perapihan datang, rasanya aku muak dengan orang itu,” Sahrun berbisik ke telinga Husen. “Ya kudengar lagaknya di hutan sering mempermainkan anak buahnya,” Husen menambahi kata-kata Sahrun. Yang dibicarakan orangnya lewat di depan dan berhenti sebentar. Udeng berperawakan gemuk sepintas melihat mukanya galak membuat orang-orang kurang simpatik terhadapnya. “Maaf Lek saya tanya siapa yang dulu memegang kegiatan perapihan sebelum aku?” Udeng bertanya kepada Sahrun. “Si Joni orangnya masih di hutan ikut Parminto, paling besok sudah turun,” Sahrun menjawab pertanyaan Udeng. “Memangnya ada apa Lek?” “Oh tidak ada apa-apa, cuma kalau bisa bulan depan biar si Joni ikut aku saja. Anak buahku banyak berkurang,” kata Udeng menjelaskan. Setelah bercakap-cakap sebentar Udeng minta undur diri. “Mendingan si Joni dikirim ke Tewah saja dari pada ikut orang itu,” Husen berkata setelah Udeng pergi. “Biarkan saja Udeng mencari anak buah sendiri, biar merasakan sulitnya membina anak buah.” “Ya itu orang datang-datang seperti Big Bos, aku heran juga dengan keadaannya. Kita melihat perbedaannya begitu besar dengan Parminto yang sama-sama kiriman dari Tumbang Nusa,” Sahrun berkata geleng-geleng kepala melihat Udeng yang meminta sesuatu karena urusan di bagiannya. Keesokan harinya barulah regu Parminto sampai di camp km 4. Hari sudah sore, camp km 4 sudah ramai dengan orang-orang survey yang turun lebih dulu. Mereka banyak yang bergerombol di teras mess. Sebagian bermain bola di lapangan mess atas. Mobil rimbawan yang disopiri Jagau mengakhiri tugasnya menurunkan orang-orang survey yaitu regu pembebasan III. Parminto turun dari mobil memerintahkan orang mengemasi peralatan camp dan dimasukan ke gudang dengan tulisan kegiatan masing-masing. “Tas kutaruh di kamarmu saja Jon, bulan depan toh aku diikutkan lagi oleh Parminto,” Helmi berkata sambil mengangkat tas ranselnya untuk dimasukan ke kamar Joni. “Boleh saja Hel, coba taruh di atas lemariku saja,” Joni tak menolak keinginan Helmi. “Bagaimana denganmu No, bulan depan masih ingin ikut regu pembebasan nggak?” Pono seperti ragu-ragu dengan tawaran Joni. Tapi akhirnya ia bersedia juga untuk meninggalkan tasnya di kamar Joni. “Si Jagau nanti baru mengantar kalian ke log pond sejam lagi, coba saja bikin teh di dapur sana,” Joni berkata memberi kesempatan teman barunya untuk ke dapur umum. Sebenarnya Helmi dan Pono sudah kenal baik dengan si Mbok dapur karena mereka sama-sama dari Trans Tumbang Anjir. Rupanya ada seseorang yang memperhatikan Joni saat mengantar Helmi dan Pono ke dapur umum. Pak Sahid mendekati Gugun dan berbisik ke telinganya. “Benarkah itu si Pono orang Trans?” Pak Sahid bertanya kepada Gugun. “Betul Kas, memangnya kenapa?” Gugun agak heran dengan pertanyaan Pak Sahid. “Hati-hati dengannya Gun, aku dengar anaknya suka jahil,” Pak Sahid menjelaskan. “Dia itu dikeluarkan dari camp produksi gara-gara suka mengambil uang mandor di sana.” “Aku kurang tahu Kas, rasanya di hutan kelakuannya biasa-biasa saja,” Gugun tak berani menduga sembarangan. Dilihatnya Joni dan Pono masuk dapur umum mungkin sedang minum sekedarnya untuk menunggu Jagau mengantar ke log pond. Tak berapa lama terlihat Pono keluar dari dapur umum menuju ke kamar Joni. Pak Sahid menggamit tangan Gugun. “Coba tanya orangnya itu, apa yang dilakukannya di kamarmu itu?” Gugun agak kebingungan juga, akhirnya mencegat Pono setelah di luar kamar. “Cari apa No, apa ada yang ketinggalan?” Gugun basa-basi bertanya. “Iya Lek aku ambil celana dalamku untuk dibawa ke Kurun,” Pono seperti tercekat karena ketahuan masuk kamar orang tanpa ijin. Gugun sendiri tak berani gegabah asal menuduh, siapa tahu apa yang dikatakan Pono benar. Dibiarkannya saja Pono melanjutkan langkahnya meninggalkan kamar menuju dapur umum. Tak lama kemudian Jagau sudah siap mengantar Parminto, Pak Ramli, Tinjak, Pono dan Helmi turun ke log pond Domas. Joni mengantar mereka ikut berangkat ke log pond. Di atas mobil Pak Ramli berkata, “Kareh aku dapat duit upah langsung potong saja untuk bayar hutangku padamu Jon.” “Beres Pak Ramli kareh aku bepandir dengan Parminto,” Joni berkata seperti tak terlalu peduli urusan utang piutang. Setelah mengantar orang-orang turun ke tujuan masing-masing barulah Joni ikut lagi ke camp km 4. Dapur umum terlihat ramai karena orang-orang survey banyak yang makan. Perlahan Joni masuk kamar, direbahkannya tubuhnya untuk mengurangi rasa capek. Dilihatinya beberapa baju yang tergantung di paku dinding. Sekejap kemudian Joni bangkit mengambil dompet dari celana yang tergantung. Ia seperti terkejut karena merasa ada yang janggal. Dibukanya dompetnya, beberapa lembar uang puluhan ribu sudah lenyap. Rasanya ia tak percaya, dirogohnya lagi ke saku celananya hasilnya tetap. Berarti ada yang mencuri. Banyak orang yang biasa keluar masuk kamar mess. Tapi kebanyakan orangnya masih bisa dipercaya karena hari-hari di camp bergaul dengan baik. Saat itulah Gugun masuk ke kamar sambil menenteng gelas berisi minuman kopi. “Gun tadi ada orang yang masuk ke kamar kita atau tidak?” Joni bertanya untuk menyelidiki. “Ada apa Jon, kelihatannya kamu seperti kebingungan?” Gugun malah balik bertanya karena tidak seperti biasanya Joni bertanya tantang hal-hal yang terlihat remeh. “Uang dalam dompetku ada yang hilang!” Joni memberitahu Gugun. “Ada tiga puluh ribu Gun, pasti ada yang mengambilnya tadi.” “Benar uangmu ada yang hilang Jon, setahuku selain orang-orang camp sini yang biasa keluar masuk kamar kita tadi sore ada si Pono yang menyelinap sendirian,” Gugun memberitahu peristiwa tadi sore dan juga kecurigaannya terhadap Pono setelah ada pemberitahuan dari Pak Sahid. “Memang ada si Helmi memberitahu juga kalau si Pono ini orangnya agak nakal, tetapi kenapa barangku yang jadi sasaran?” Joni geleng-geleng kepala. “Oh iya itu tas Pono ditinggalnya di sini,” Joni jadi curiga akan isi tas Pono. Ransel milik Pono sudah lusuh tetapi itu tidak penting. Hidup di hutan tidak terlalu memerlukan tas mewah karena barang-barang yang ada dilihat dari fungsinya belaka. Joni penasaran jadinya, dibukanya tas Pono. Ia terbelak melihat isinya. “Wah ini sikat gigi yang hendak kubawa ke hutan bulan kemarin Gun. Sialan anak itu!!” Dibongkarnya lagi isinya ada pemotong kuku dan batu baterai serta bolamnya yang masih utuh. “Jadi yang nyolong barangku-barangku selama ini si Pono!” Gusar bukan main Joni. Rasanya selama di hutan ia merasa seperti sungkan kepada siapapun karena untuk keperluan pribadinya harus pinjam sana-sini. Ternyata semua itu ditemukannya begitu saja di tas Pono. “Kurang ajar anak itu, enak saja mengambil barang milik orang lain untuk dirinya sendiri. Aku tak mengira kalau ternyata anak itu yang punya sifat jahil seperti itu!” saking marahnya si Joni membanting tas ransel Pono. Dibantingnya beberapa kali seakan-akan melampiaskan kekesalannya. Terakhir dilemparkannya tas Pono keluar jendela belakang mess. Gugun sudah tahu keadaan sekarang. Ia membiarkan saja Joni melampiaskan amarahnya. Siapa yang tidak jengkel selama sebulan di hutan untuk menyikat gigi saja Joni pinjam sana-sini. Sekarang ketahuan biang keladinya. “Kudengar dari Pak Sahid memang si Pono itu sering mencuri, ternyata sekarang yang menjadi sasaran itu kamu Jon,” Gugun geleng-geleng kepala. “Rasanya aku juga tak percaya Gun, tetapi sekarang sudah terbukti,” Joni merebahkan tubuhnya di lantai. Rasanya kemarahannya belum reda. Berbagai pikiran melintas di kepalanya. Ingin dihajarnya si Pono begitu saja, hanya sayang orangnya sudah tak berada di depannya lagi. “Sudahlah besok kalau kita bertemu Pono kita tanyakan saja ke orangnya,” Gugun akhirnya membujuk Joni untuk mendinginkan hatinya. Joni pun tak terlalu banyak bicara lagi. Perutnya terasa lapar dan belum makan malam. Sementara orang-orang sudah berkumpul di kamar mess dengan berbagai kegiatannya sendiri-sendiri. Junaedi, Idrus dan Boy masuk kamar, sementara Joni beranjak pergi ke dapur untuk makan. Dibiarkannya saja Gugun yang menceritakan perihal kehilangan uang dan barangnya selama ini. Sekarang Joni tahu siapa si Pono. Selama di hutan ia telah bergaul dengan seorang maling. Orangnya kecil kurus kulitnya hitam....Uuuuhhh menyebalkan sekali. “Pono, Pono sampai hati kamu melakukan perbuatan itu kepadaku....,” dalam hatinya Joni menggerutu. “Tahu aku ini orangnya lugu akhirnya dipermainkan olehnya juga.” Selama sebulan di hutan mereka bergaul seperti teman karib saja. Bagi Joni bertemu dengan sesama Jawa terasa seperti ketemu saudara. Tak peduli biarpun di Jawa sana ternyata saling berjauhan tetapi jika bertemu di perantauan jadi saling bantu membantu. Persahabatan adalah sesuatu yang berharga, tapi sekarang semuanya jadi berubah dalam sekejap. Gara-garanya hanya urusan pencurian, sungguh tercela perbuatan Pono yang merusak keakraban di antara mereka. Joni merasa seperti dikhianati oleh temannya sendiri. Setelah makan dan masuk kamar mess, sudah tak ada lagi yang menyinggung urusan Joni dengan Pono. Semua jelas tahu seperti apa kalau seseorang sudah dikecewakan oleh temannya sendiri. Kantuk mendera orang-orang camp membuat malam itu sebagian orang survey tidur nyenyak. Di beberapa kamar mess masih terdengar bantingan kartu domino dan remi membuat orang-orang yang bermain bukannya kedinginan tapi malah panas badan. Hasilnya gantian mereka yang siang-siang tidur dengan mata menebal. Terus hari-hari di camp km 4 menunggu upah dibagikan. Tak ada yang dikerjakan. Kegiatan orang-orang survey jika sudah di camp hanya pengangguran. Untuk harian tetap sebenarnya diwajibkan membantu di persemaian. Tetapi itu tergantung Mario Cs yang mengkoordinir. Untuk mengurangi kejenuhan di camp biasanya Joni sering bertandang ke persemaian. Temannya seperti Gugun, Juaedi, Dian dan lainnya juga pura-pura ke persemaian. Semua orang melakukannya untuk pura-pura ikut kerja di persemaian, padahal cuma main belaka bahkan hanya bercanda dengan ibu-ibu muda di persemaian. Kalau Joni sering ke persemaian itu gara-gara Ipah, rasanya itulah yang mengisi hati paling dalamnya saat ini. He he he cuma juga tak segampang itu mendekati perempuan. Joni mengakui kalau kemampuannya mendekati perempuan juga terbatas bahkan banyak kekurangannya. Ia tak pandai merayu, lagi penampilannya kurang mendukung, terlalu apa adanya. BAB 9 Ekolabelling di PT Sikatan Wana Raya Sambil menunggu upah di camp km 4. Beberapa orang sudah mulai kasak-kusuk mencari berita tentang tenaga kiriman ke PT Sikatan Wana Raya. Orang-orang berharap mendapat bagian dikirim karena tahu upah bakalan dobel. Untuk PT Sikatan Wana Raya sendiri ekolabbeling menjadi taruhan berjalan tidaknya usaha mereka di masa mendatang. “Yas aku umba dikirim dia?” Junaedi bertanya kepada Tobias saat mereka duduk berdua di teras depan kantor. “Sabar Nae, kita dikirim ke Tewah hanya untuk membantu jadi siafatnya cuma sementara saja,” Tobias menjelaskan keadaan. “Rencana positifnya dua bulan jadi nanti bisa dikirim sebagian bergantian.” “Bagaimana lagi Yas, kerja di hutan tetap nggak ada tambahannya. Ini kesempatan buat kami untuk menambah penghasilan,” Junaedi berkata mengungkapkan pikiran sebagian besar orang survey. Dengan adanya pengiriman tenaga ke Tewah penghasilan mereka terdongkrak bertambah. “Namanya mereka yang mengundang jelas nanti mereka harus membayar, itu sudah konsekuensinya,” Tobias bicara sendiri. “Untuk urusan siapa-siapa yang dikirim semua sudah di tangan Pak Joko.” Sementara di mess bujangan orang-orangpun berharap-harap cemas mereka tercantum atau tidak sebagai tenaga kiriman. “Gara-gara urusan kiriman tenaga kita jadi seperti rebutan nih,” Idrus berkata kepada Gugun dan Joni seperti orang gelisah. “Lah kamu kepengin nggak ikut dikirim ke Tewah Drus,” Joni bertanya tahu kegelisahan Idrus. “Kepengin sih kepengin, memangnya siapa yang tidak mau diupah dobel,” Idrus nyengir. Saat itu Boy masuk bersama Dian mendengar kata-kata Idrus. “Hei Drus aku dengar dari Pak Joko orang yang pertama sudah tercantum itu kamu!” Boy mulai usil. “Benar Boy, jangan bikin aku bingung nih,” Idrus seperti lega mendengar kabar tersebut. “Iya nih yang pasti kamu itu cocoknya dikirim ke akherat,” Boy berkata sambil mulutnya menahan tawa. “Ah mauk kau Boy!” Idrus sewot. Joni yang tadi diam saja sekarang bicara, “Dikirim atau tidak itu bukan urusan kita, sekarang yang penting gaji kita mana? Aku hendak ke Kurun barang sehari,” Desas-desus memang santer tetapi urusan gaji untuk orang survey ini sering telat. Semua selalu harus menunggu asisten keuangan dari log pond sementara orangnya belum muncul-muncul juga. “Memang bagian pembinaan macam kita ini sering jadi proyek, sampai-sampai gaji pun banyak yang ikut campur tangan,” Gugun berkata seperti kecewa. “Mending ketun kalau aku mah bisa-bisa tidak pegang uang sama sekali. Setiap kali gajian sudah dipotong sana-sini,” Dian jadi ikut mengeluh. “Itu sih salah ikau sendiri Lek, besar pasak dari tiang,” Boy menyahut suara Dian. Dian nyengir kuda. Semua orang tahu sifatnya yang boros. Saking borosnya anak ini, Pak Agau sering sambat kepada ketua regu sebuah kegiatan untuk meminta tolong memotongkan gajinya untuk bayar bon utang. Sementara mereka ngobrol di kamar, Pak Joko dan Mario berjalan di depan kamar mess. Pak Joko dan Mario sepertinya bicara serius. Terdengar Pak Joko berbicara, “PT Sikatan Wana Raya ini aneh, bertahun-tahun membuka areal kegiatan TPTI nya banyak berantakan. Waktu sudah mepet seperti ini baru mereka berteriak minta tolong,” suaranya yang berat khas watak Bos terdengar jelas. “Kukira tadinya mereka hanya minta tambahan tenaga kerja, ternyata juga minta petunjuk segala cara kita mengelola pembinaan selama ini.” Mario hanya mendengarkan saja ucapan Bosnya. Sekarang semua tergantung komando Pak Joko. “Terpaksa untuk kegiatan pembinaan dikurangi saja dulu, itu si Mardi juga harus dikirim ke sana untuk ditempatkan di Green House. Ternyata mereka selama ini Green Housenya terbengkalai.” “Ya Pak cuma persemaian ini juga jangan sampai kosong dari tenaga lelaki. Nanti siapa yang menjaga kalau sampai dikirim semua ke Tewah,” Mario jadi berhitung karena banyaknya tenaga yang terkirim. Green House tak mungkin ditinggal begitu saja tanpa ada yang merawat, bisa-bisa stek pucuk di dalamnya banyak mati. “Untuk sementara Hambali saja yang menangani, dia kan setiap hari bersama Mardi,” Pak Joko membuat keputusan. Begitulah sambil berjalan Pak Joko dan Mario menuju kantor dekat dapur umum. Di sana sudah menunggu beberapa asisten untuk rapat. Setelah Pak Joko dan Mario menjauh barulah orang-orang mess melanjutkan ngobrolnya. “Ke kani Drus, umba rapat ikau te uluh penting je hitu!” Dian mengolok-olok Idrus tapi dia sendiri berlagak jadi atasan mengikuti gaya Pak Joko. “Nyaman jadi Bos ya, tidak seperti kita yang begawai keluar keringat sebesar jagung,” Idrus melongok keluar menatap pintu kantor yang sudah tertutup. Kuala Kurun bukan kota besar. Pusat perekonomiannya terletak di pasar lama dan pasar baru. Bisa dikatakan itulah jantung kehidupan Kuala Kurun. Getek dari berbagai penjuru kampung pasti singgah ke salah satu pasar tersebut. Mereka membawa berbagai jenis sayur dan binatang buruan atau ternak dari berbagai ladang. Mudah saja membedakan orang kampung dengan pendatang. Orang-orang dari kampung yang menuju pasar dengan getek bermesin kecil biasanya membawa berbagai sayur dengan lanjung. Lanjung diangkat seperti tas di punggung. Sayur-sayurnya sudah tertentu, misalnya terong asam, genjer, kelakai atau pakis, rotan muda dan berbagai jenis umbut hutan. Perbekalan lain yang tidak ketinggalan adalah parang mandau. Bisa dikatakan di lanjung atau di pinggang tertutup sarung kayu. Jangan berpikiran aneh terhadap orang yang membawa parang. Mereka biasa membawanya bukan karena terancam atau bermusuhan tetapi memang untuk berbagai keperluan sehari-hari. Setiap pagi pasar lama terlihat ramai. Kios-kios di dalamnya sempit dengan luas hanya setengah hektar saja. Yang terlihat megah adalah Bank BPD dan hotel. Itupun di seberang jalan pasar. Ke BPD Kalteng itulah Joni melangkah. Biarpun punya gaji tidak seberapa tetap dicobanya uang untuk ditabung. Itu sudah dilakukan sekitar tiga tahun. Hidup di perantauan kalau tidak hemat tidak bisa pulang kampung. Padahal Joni sudah merantau di Kalimantan sekitar tiga tahun. Itu yang memaksanya untuk menabung uang agar bisa pulang ke Jawa saat cuti nanti. Gedung BPD belum lama dibangun. Paling sekitar setahun ini pindah dari kantor pembantu bupati di sampingnya. Dulu menempati ruangan kecil dari kantor pembantu bupati. Sekarang bank BPD justru menjadi gedung paling terawat bahkan bila dibandingkan dengan kantor pembantu bupati yang aktifitasnya sedikit. Gedung baru dan halaman luas dengan pohon gmelina yang sudah setinggi dua meter membuat panas matahari terasa menyengat. Tidak lama menunggu antrean di BPD. Seorang kasir memanggil namanya sesuai KTP untuk maju dan menyerahkan uang untuk disimpan di Simpeda. Setelah itu Joni bergegas keluar menuju ke pasar lama membeli berbagai keperluan. “Sudah Jon, lama juga aku menunggu di sini,” suara Gugun terdengar saat Joni mendekatinya di warung wadai. “Nggak lama kan, wong aku cuma nabung saja urusannya tidak berbelit-belit,” Joni berkata sambil menyambar wadai goreng pisang. Dicelupkannya goreng pisang itu dengan petis yang tersedia. Sementara gadis anak pemilik warung membuatkan es teh. “Apa yang kamu beli Gun?” Joni memperhatikan barang bawaan Gugun. “Ya barang untuk di hutan. Nih ada pancing dan senar berbagai ukuran juga tali senar gitar,” Gugun memperlihatkan barang belanjaannya. “Coba beli senapan angin Gun, bisa nggak kamu menembak burung?” Joni berkata seperti memberi usul. “Wah mahal Jon, tapi nantilah kita jalan-jalan dulu ke hilir. Ada toko yang memajang senapan angin. Kira-kira suatu ketika bisa kubeli nanti,” Gugun hanya mencoba menjelaskan tetapi terlihat ia antusias karena merasa tertantang. “He he he Gun, aku cuma ngomong doang kok, tidak serius,” Joni menanggapi pernyataan Gugun yang mulai berhitung untuk membeli senapan angin. Gugun ini orangnya punya banyak keahlian. Olah raga saja di camp km 4 hampir semua bisa, belum lagi main gitar. Setiap kali ada bidang baru yang dianggap menantang pasti dicobanya. “Aku perlu kelambu baru, di dalam pasar pasti ada kamu tunggu dululah,” Joni bangkit saat mereka sudah membayar harga makanan di warung wadai. “Kalau begitu aku tunggu di dermaga getek saja Jon,” Gugun pun segera berjalan meninggalkan Joni yang melangkah ke dalam pasar. Joni berjalan sekitar lima puluh meter menuju pintu gerbang pasar. Seorang anak kecil perempuan dari kampung membawa lanjung berisi buah rambai mencegat dan menawarkannya ke Joni. “Rambai Lek cuma seribu saja,” tawarnya tanpa basa-basi khas Dayak. “Bara kuweh Cil ikau te masih kurik berjualan?” Joni tertegun memandangi anak kecil yang belum saatnya menerima susahnya hidup. Bukannya menjawab pertanyaan Joni anak tersebut tetap menawarkan buah rambai jualannya, “Pire ikau hendak menukar Lek?” Lugu anaknya mendesak Joni. Joni tersenyum melihat anak tersebut memaksanya membeli buah rambai yaang dibawanya, “Dia Cil, aku jadi kuman. Tapi nih buat ikau saja,” Joni memberi uang seribu rupiah tanpa membeli. Ada rasa kasihan di hatinya. “Terima kasih Lek,” Anak perempuan yang masih kecil itu berbinar matanya sambil menerima uang dari Joni. Setelah itu melangkah meninggalkan Joni yang masuk ke dalam pasar. Setelah mendapatkan barang yang dicarinya Joni melangkah menuju dermaga getek. Seseorang menegurnya, “Jon piye kabare, kapan mlebu alas meneh?” Itu suara Pono. Joni terhenyak ia memandangi lawan bicaranya yang sekarang berhadapan dengannya. Entah si Pono ini dari mana Joni tidak memperhatikan. “Pono!” Mendadak timbul amarahnya. Pono mencegatnya di simpang jalan menuju dermaga getek yang berupa jalan dari papan kayu. Rupanya mungkin tadi bertemu dengan Gugun yang sudah tak terlihat orangnya lagi. “Dadi kowe wonge sing nyolong barangku neng alas!” Joni berteriak gusar. Mendadak tangannya bergerak menampar muka Pono. “Aduh! Aduh! Kenapa Jon apa salahku!” Pono berteriak kesakitan, ia tidak mengira Joni ternyata menampar pipinya. “Salah!Salah! Kowe jelas sing salah. Senenge nggawe susahe wong!” Joni berteriak gusar. Dilihatnya keterkejutan Pono sebagai muka pura-pura. “Ngaku ora kowe, duit karo barangku kowe sing nyolong!” Terus Joni mencecar Pono dengan kata-kata keras dan sekali lagi tangannya menggampar wajah Pono. Pono terlihat masih pura-pura tidak bersalah, “Dudu aku sing nyolong Jon, kowe aja nuduh sembarangan!” Teriaknya. Beberapa orang yang lewat mendekati keributan. Mereka yang tidak tahu urusan mencoba melerai dalam bahasa Dayak. “Sudahlah, sudahlah ketun ela berkelahi je hitu. Malu are uluh!” Seseorang berkata menyudahi perkelahian antara Joni dengan Pono. Pono yang merasa mendapatkan kesempatan tidak menyia-nyiakannya. Segera berlari cepat meninggalkan tempat. Orang-orang merubungi Joni yang terpaksa kemudian menerangkan musababnya sebisa-bisanya. Karena Pono sudah pergi orang-orangpun bubar dengan sendirinya. Gugun rupanya sudah melihat kejadian dari jauh, setelah orang-orang bubar barulah ia mendekati Joni. “Aku tadi bertemu dengan Pono. Jadi kusuruh saja ia menunggumu di sini,” Gugun berkata setelah mereka tinggal berdua saja. Beberapa orang yang melintas masih memperhatikan Joni tapi tak bisa bertanya apa-apa lagi. “Aku benar-benar jengkel Gun. Baru sekali ini aku sampai memukul orang,” Joni bicara sambil mengepalkan tangannya, kemarahannya masih tersisa. “Sudahlah yang penting Pono sudah kau hajar. Kalau aku jelas tidak punya masalah dengannya jadi hanya bisa kupancing saja untuk bertemu denganmu,” Gugun berkata menerangkan. “Ayo kita menyeberang saja!” Ajaknya kepada Joni. Sejurus kemudian Gugun mengajak Joni yang masih terlihat emosinya. “Kukira si Pono malu juga kau permalukan seperti itu. Semoga kapok tidak berbuat seperti itu lagi,” Gugun berkata saat mereka sudah di atas getek menyusuri hulu Kahayan. “Kejadiannya tadi cepat sekali. Orang-orang yang melihat hanya bisa melerai tanpa tahu masalahnya. Itu memang tempat umum, tak mungkin orang-orang tega melihat seseorang dihajar di depan sekian banyak orang,” Joni berkata sendiri menganalisa pertengkarannya dengan Pono. “Makanya begitu ada yang mencegah langsung saja Pono lari.” “Kalau kamu tadi berteriak copet atau maling bisa langsung diamuk massa si Pono itu,” Gugun menambah perkiraan kejadian. “Cuma peristiwa tadi urusan pribadi antara kamu dengan Pono sehingga orang seperti aku tak bisa membantu.” Mereka terus bercakap-cakap berbagai urusan. Tak terasa getek sudah mendekati log pond Tanjung Raya. Beberapa kapal berlabuh di lanting milik perusahaan. Itu tempat orang-orang kapal tinggal, mereka merupakan unit tersendiri yang berhubungan dengan perakitan kayu. Lanting besar itu ditambatkan dengan tali slank ke pohon berakar tunjang yang biasanya tumbuh secara alami di pinggir sungai. Beberapa parabola untuk menangkap siaran TV terlihat di atas atap menunjukan kemakmuran mereka. Orang-orang kapal tinggal di lanting yang selalu bergoyang jika dilewati kapal besar. Mereka hidup berumah tangga hingga beranak pinak. Hidup di atas lanting membuka warung, bekerja di antara kapal dengan kapal lain adalah budaya orang lokal. Tapi jangan kaget sebagian diantaranya adalah orang-orang Jawa. Itu adalah orang Jawa yang mencoba peruntungannya mengais rejeki dengan merakit kayu. Setelah itu adalah kayu tebangan yang sudah dirakit dengan cara diceburkan dari log pond oleh operator kepiting (cater pilar). Joni jadi teringat tokoh si Dul anak sekolahan yang diperankan Rano Karno. Si Dul anak sekolahan bekerja di perusahaan yang merentalkan alat-alat berat untuk keperluan perusahaan penebangan kayu dan perusahaan konstruksi. Nah alat-alat seperti traktor, cater pilar sebagian yang ada di perusahaan tempat Joni bekerja juga merupakan sewaan dari perusahaan rental tersebut (PT Trakindo). Beberapa jenis kayu yang tidak bisa dirakit masih menumpuk menggunung. Kayu-kayu seperti jenis keruing bakalan tenggelam kalau diceburkan ke air. Itu nanti giliran tongkang yang akan mengangkatnya. Tongkangnya mirip dengan tongkang batu bara hanya ukurannya lebih kecil. “Lihat rupanya Dian Kancut sudah di koperasi menunggu mobil yang hendak ke camp km 4,” Gugun menunjuk seseorang yang sedang duduk bersama beberapa orang sepertinya bertujuan sama. “Makhluk aneh senangnya begayaan,” Joni tersenyum saat Dian melambaikan tangannya seperti menyambut kedatangan mereka berdua. Joni terus melangkah menghampiri Dian. “Hei Jon, nih tege uluh bara Tumbang Tembira. Ie te kakak Ipah,” Dian memperkenalkan dua orang lelaki yang terlihat bersamanya. “Memang ikau jadi kesena dengan ewen Lek?” Joni bertanya kepada Dian yang sepertinya sudah akrab dengan orang yang masih terasa asing. “Huh dasar uluh Jawa, kurung parang je hitu selalu mrana-mrene dia kesena!” Dian mencela Joni. Mrana-mrene dia kesena itu pandangan orang Dayak terhadap orang Jawa yang artinya di mana-mana tidak saling mengenal. Joni paham saja maksudnya. Di perantauan ini Joni banyak melihat keanehan suku-suku lain. Orang-orang Lombok misalnya, kalau ada seseorang yang sudah sukses di suatu perusahaan di manapun berada, orang-orang Lombok lainnya akan mengakuinya sebagai saudaranya. Kalau orang Jawa? Biarpun banyak orang Jawa tinggal di Kalimantan bahkan menjadi Gubernur sekalipun kalau tidak ada hubungan kekerabatan seperti keluarga tidak akan merasa orang Jawa yang sudah berhasil tersebut akan diaku saudaranya. Akibatnya orang Dayak menyindir orang-orang Jawa sebagai mrana-mrene dia kesena. Joni hanya nyengir saja disinggung seperti itu. Disodorkannya tangan kanannya terhadap seorang diantaranya memperkenalkan diri. “Eweh ngaran Lek?” Sambil berjabat tangan Joni bertanya dalam bahasa Dayak. “Ikau bisa bahasa Dayak Lek, aku Ipei dan ini Teja kakakku,” orang yang menyebut diirnya Ipei itu memperkenalkan diri. “Wah bahasa Dayak aku dia mahir, paling hanya sekedarnya saja,” Joni agak tersipu-sipu juga karena modal bahasanya memang kurang. Mereka akhirnya bercakap-cakap sambil menunggu mobil yang akan membawa mereka ke camp km 4. Semakin banyak saja yang menunggu mobil. Beberapa perempuan dari camp km 4 pun rupanya banyak yang berbelanja berbagai keperluan di Kuala Kurun. “Kalau kita jadi dikirim ke Tewah kareh singgah di rumahku Jon,” tiba-tiba Dian berkata urusan pengiriman tenaga ke PT Sikatan Wana Raya. “Ikau te bepandir denganku berasal bara Tumbang Miri, memangnya pire are rumah ikau Yan?” Joni memanggil Dian dengan Yan saja. “Ha ha ha yang benar aku te are keluarga je Tewah, tapi kalau PT Sikatan Wana Raya malah di hulu sungai Tumbang Miri,” Dian menerangkan daerah yang jauh di hulu Kahayan. “Tumbang Miri kecamatan terakhir di hulu Kahayan,” seperti itu keterangannya. Orang-orang yang menunggu mobil semakin banyak. Saat mobil rimbawan datang menjemput tak mungkin muat untuk semua orang. Terpaksa rombongan Joni yang lelaki semua mengalah terutama untuk yang perempuan duluan. Jagau sopir berkata, “Ketun umba mobil dari camp produksi saja ya.” Begitulah Joni, Gugun, Dian dan beberapa orang lagi menunggu. Kendala di camp adalah transportasi. Hanya ada satu mobil untuk keperluan camp km 4. Dari log pond ke km 4 berjalan kaki sebenarnya tak lama. Paling banter antara satu jam. Ini hitungan Joni pribadi saja. Lama menunggu muncul dump truk Suroto (sesuai nama sopirnya). Nah kalau dump truk besar ini biar orang sekampung pun muat. Jadilah Joni Cs naik ke dump truk untuk mencapai camp rimbawan. Oktober 1997 kemarau panjang. Menunggu curah hujan datang orang-orang kampung membakar hutan untuk menjadi ladang. Ribuan tahun orang Dayak membuka areal pertanian dengan cara itu. Tapi soal membakar hutan ternyata bukan cuma dilakukan orang kampung. Perusahaan-perusahaan perkebunan, hutan tanaman industri juga mencari cara termudah membuka areal. Saat kemarau tanah mengering daun dan ranting yang menumpuk di bawahnya mudah sekali terbakar. Buang saja puntung rokok menyala, entah bagaimana kemudian bisa menyebar menjadi api demikian cepatnya. Menuruti tradisi orang Dayak, bulan-bulan Juli orang sudah mulai menebang areal hutan. Setiap kampung memiliki areal yang dibagikan sendiri-sendiri. Jadi warganya akan mendapat kapling sesuai pembagian yang sudah tertentu sesuai kesepakatan warga. Nah masing-masing warga akan menebang areal yang sudah menjadi jatahnya setiap tahun. Anggap saja setiap tahun sebuah keluarga mendadpat jatah satu dua hektar ladang. Semuanya itu hanya untuk bertanam padi. Ditebanglah areal tersebut mulai dari tegakan-tegakan kecil semak belukar lebih dulu. Selesai merebahkan semak dan perdu barulah giliran pohon-pohon besarnya. Orang-orangpun mendirikan pondok di pinggir sungai untuk menunggu acara selanjutnya yaitu membakar ladang. Akhir Agustus mulailah orang-orang berlomba-lomba membakar hutan yang sudah terbuka. Api demikian besar membuat asap membubung tinggi menimbulkan iklim yang aneh. Matahari seperti tertutup di seluruh Kalimantan meninggalkan bulatan kuning yang harusnya bersinar cerah. Api yang membakar kayu-kayu rebah akan meninggalkan lapisan hitam abu di tanah. Itulah harapan orang karena menjadikan tanah subur. Tidak semua kayu terbakar, kayu-kayu yang besar dari jenis keras sulit habis dalam sekali bakar. Akibatnya kayu rebah tersebut terlihat malang melintang di tengah ladang. Orang boleh berencanan tapi Tuhan juga yang menentukan. Bulan september orang-orang berharap hujan datang untuk mulai menugal benih padi. Apa lacur rencana tersebut tidak kesampaian. Hujan tak datang-datang juga sementara api di areal ladang banyak yang masih menyala. Nyala api itu terus menyebar membuat rencana berantakan. Sebarannya melampaui areal yang sudah direncanakan, merembet ke arah hutan yang masih perawan. Asappun makin tebal di Kalimantan. Seluruh kota-kota di Kalimantan tertutup kabut asap. Para pejabat sudah saling tuding menuding biang keladinya tanpa bisa menyelesaikan masalahnya. Konon asap tersebut diekspor ke Sabah dan Serawak sehingga Indonesiapun disalahkan karenanya. Kok asap tidak lari ke Jawa ya? Teorinya begini, garis katulistiwa berada di atas pulau Kalimantan. Setiap angin bergerak (ingat loh angin bergerak dari daerah dingin ke daerah yang lebih panas) dari utara Pasifik menuju katulistiwa. Sampai di katulistiwa angin akan berbelok ke utara menuju Asia, termasuk Malaysia, Singapura dan Brunei. Pas di Kalimantan membubung asap tebal larilah asap tersebut terbawa angin ikut menutupi daerah-daerah Malaysia. Dengan demikian tak mungkin pulau Jawa terkena kabut asap dari Kalimantan. Jawa terletak di sebelah selatan garis katulistiwa, kecuali kebakaran terjadi di Australia utara mungkin barulah Jawa terkena kabut asap. Terus....tahun 1997 sampai bulan Oktober ternyata hujan belum turun-turun juga. Makin teballah asap hingga pandangan mata di hutanpun hanya berjarak 50 meter. Matapun terasa agak pedih karena pertikel asap. Bagi mereka yang memiliki masalah dengan pernafasan jelas banyak kambuh penyakitnya. Saat musim kabut asap itulah kegiatan pengiriman tenaga kerja ke PT Sikatan Wana Raya berlangsung. Dengan dump truk yang disopiri Suroto lima puluhan orang survey dilepas menuju Tewah melalui jalan logging antar perusahaan kayu. Bukan main bisingnya suara dump truk tersebut. Orang-orang survey yang berada di dalamnya biasa mengalami hidup keras dengan keselamatan minim. Orang-orang survey dari camp km 4 tak terbiasa hidup teratur. Di dalam bak dump truk yang berdebu tebal Joni merasakan kerasnya angin menerpa. Untungnya Joni memakai celana jeans dan jaket yang digunakan untuk menutupi kepalanya. Dian dan Gugun rupanya lebih siap lagi, mereka mengenakan tambahan kaca mata hitam membeli di Kuala Kurun hingga pandangannya tidak terhalang. Tapi pemandangan apa yang terlihat di sepanjang jalan logging? Hanya hutan yang sebagian sudah rusak dan jalanan yang hanya terdiri dari tanah, tertutup kabut asap. Sesekali melewati kampung yang hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Di mana-mana terlihat hutan terbakar dengan asap membubung tinggi menjadi kabut. Orang-orang lokal tersebut membakar ladang seluas-luasnya sebagai kesempatan belum datangnya curah hujan. Dump truk terus melaju membelah jalan, menyeberangi sungai seolah-olah membanggakan keahlian manusia yang sudah menang atas alam. Suara bak terbuka terkadang berderit keras karena gesekan logam. Untung sopir tidak berpikiran sedang mambawa pasir atau tanah. Boleh jadi kalau yang terbawa itu hanya material mati bisa langsung ditumpahkan di pinggir jalan dengan sekali angkat. Sudah tak ada yang mampu bersuara akibat kerasnya suara dump truk menerjang jalan. Sesekali orang-orang terlonjak jika ban truk menyentuh jalan berlubang atau bergunduk meninggi. Kalau diteruskan lima jam perjalan turun nanti badan sudah terasa remuk. Untung jarak Kurun Tewah dengan menyusuri alur Kahayan tidak lama paling-paling hanya dua jam. Joni tak tahu berapa kilometer jarak Kurun Tewah karena tak ada tanda pal kilometer dibuat. Akhirnya sampailah dump truk di sebuah camp besar. Saat di jalan camp tersebut terlihat seperti kota kecil di bawah jalan logging. Dump truk menyusuri jalan mencapai camp saat sore sekitar jam empat. Dibandingkan camp rimbawan km 4, Camp PT Sikatan Wana Raya ini sangat luas. Berhektar-hektar bahkan mencapai setengah kilometer luasnya. Setelah orang-orang Yohanes turun dari dump truk barulah paham kenapa camp tersebut demikian luas bahkan lebih mirip kota kecil di tengah hutan. Camp tersebut merupakan gabungan dari camp produksi, camp pembinaan bahkan bengkel, gudang, pangkalan truk logging dan kantor, minus tumpukan kayu gelondongan karena log pond perusahaannya berada di tepi sungai Kahayan. Itu masih ditambah beberapa kampung di sekitarnya. Sungainya disebut Tumbang Miri merupakan anak sungai Kahayan. Nun di hilirnya di muaranya adalah sebuah kecamatan terakhir di Kahayan Hulu. Jika diteruskan ke hulunya akan bertemu dengan pegunungan yang berbatasan dengan Kalimantan Barat. Sesama orang perusahaan menyambut biasa saja kedatangan rombongan dari PT JAP. Manager camp langsung memerintahkan rombongan untuk ditempatkan di bagian kantor dan mess sekitarnya. Rombongan dari PT JAP mulai dari Husen, Pak Amir, Pak Sahid, orang-orang survey, Pak Joko dan beberapa asisten, orang-orang satgas berkumpul di teras mess dan kantor. Tentu saja yang berbicara dengan manager dan pejabat perusahaan Sikatan Wana Raya orangnya sudah tertentu.Yang lain orang seperti Joni dan teman-temannya kebingungan. Mereka hanya bisa menunggu dan akhirnya membuang kegelisahan hatinya dengan keluar ruangan mess. “Yas nanti kita tidur di mana nih, rasanya aku asing sekali di sini?” Joni bertanya kepada Tobias saat sudah di luar. Ada beberapa tempat duduk dari papan kayu di bawah pohon akasia. “Ah aku juga bingung Jon, tapi kalau aku hanya ikut mengantar kalian saja. Besok sudah kembali ke Kurun. Kegiatan di camp juga harus tetap jalan,” Tobias berkata pandangan masih ke ruangan kantor karena Pak Joko dan manager camp sedang ngobrol. “Kalau malam dan jelas tempat tidur masing-masing gampanglah kita bisa keliling camp ini,” Joni berkata sendiri. Camp Sikatan Wana Raya ini terlihat berpetak-petak luas, biarpun sama-sama group Tanjung Raya orang seperti Joni hanya sedikit mengetahui masalah antar perusahaan. Di Kuala Kurun perusahaan yang aktif hanya PT JAP dan PT Domas Raya, jadi hanya dua perusahaan itulah yang banyak diketahui Joni. Yang agak mengejutkan ternyata Gugun sepertinya banyak kenal dengan penghuni camp. Oh ternyata itu gara-gara banyak tetangga Gugun di Palangka Raya yang bekerja di PT Sikatan Wana Raya. Terlihat ia langsung lenyap tak ketahuan batang hidungnya. Adalah Dian Kancut entah kemana sekarang, bisa jadi daerah tersebut sudah sangat dikenalnya. “Jon kamu kan orang Jawa di sini pasti mudah saja kamu bergaul,” Tobias berkata kepada Joni karena dilihatnya orangnya seperti kebingungan. “Biar banyak orang Jawa di mana-mana kalau tak punya keluarga atau tetangga tetap saja seperti orang terasing Yas,” Joni jadi seperti merasa ditegur oleh Tobias. Tobias dan Joni hanya bisa menunggu dan menunngu, rasanya tak ada yang bisa dikerjakan oleh mereka berdua. Hari mulai gelap, perut mulai terasa lapar. Dapur umum ternyata tidak jauh dari tempat mereka duduk. Dipandanginya saja orang-orang camp Sikatan masuk lebih dulu. Rupanya ada juga orang yang memperhatikan kecanggungan Joni dan Tobias, seorang Satgas si Dodo datang dan berkata, “Lek umba aku kuman je dapur kani!” Katanya. He he he rupanya Dodo tahu juga keadaan mereka yang dari tadi menyendiri berdua. “Nyaman ikau Lek, are kesena dengan uluh lewu je hitu,” Joni seperti lega juga karena yang mengajak si Dodo yang jelas-jelas masih satu camp dengan mereka. Ternyata orang-orang satgas ini banyak mengenal orang-orang perusahaan bahkan sepertinya sudah biasa ngobrol tak ada jarak. “Sebetulnya aku asing kia Lek, tapi antar satgas dari perusahaan biasa bepandir dengan HT,” Dodo menerangkan keheranan Joni. Ya memang seperti itu, biarpun tidak berkenalan langsung, tapi di udara orang-orang berkomunikasi dengan gelombang radio. Lebih mudah akrab berbicara di depan HT daripada langsung berbicara empat mata yang membutuhkan kontak batin. “Kalian nanti tidur di mana Do, biar aku umba ikau kareh?” Joni seperti mendapat kesempatan untuk menemukan jalan keluarnya masalah. “Kareh taruh tas ikau je kantor kani Lek,” Dodo menunjuk sebuah mess yang agak sempit menyendiri. Ini dia yang dicari Joni, sebuah tempat yang bisa menyembunyikan tubuhnya dari pandangan aneh orang-orang yang belum dikenalnya. “Ayo kuman helo,” Dodo berjalan lebih dulu yang akhirnya diikuti Tobias dan Joni. Di dapur umum sudah berkumpul banyak orang, terlihat ibu dapur sibuk. Mereka tak mengira akan kedatangan begitu banyak orang-orang. “Nasi jadi lepah, buat ketun terpaksa rebus mie saja ya,” seorang ibu menawarkan kepada Tobias dan Joni yang terlihat antri di belakang beberapa orang. Di dalam seorang ibu yang lain sedang membuka bungkusan mie instan demikian banyaknya. Semuanya dicampurkan ke dalam satu wajan besar. Tampaknya orang-orang dapur ini kewalahan karena banyaknya orang-orang asing yang minta jatah makan. Cukup lama menunggu akhirnya sepiring mie rebus dengan beberapa potong ikan asin tandas di sikat Joni, Dodo, dan Tobias. Habis makan Joni dan Tobias cepat-cepat membawa tas dan perlengkapannya menuju mess yang ditunjuk Dodo. Di sana sudah berkumpul orang-orang satgas seperti Ramlan bahkan Saiful Bahri pimpinannya. Di sanalah malam itu Joni merebahkan tubuhnya berhimpitan dengan orang-orang satu camp. Esok paginya barulah ada meeting untuk pembagian regu kegiatan. Tidak semua anggota rombongan dipanggil ikut pertemuan. Rupanya hanya beberapa orang yang dianggap bisa membawa regu kegiatan saja yang dikumpulkan. Itu memang kelanjutan dari pertemuan antar manager dan kabag saat malam hari. Pertemuannya singkat saja tidak bertele-tele. Salah seorang dari kabag pembinaan PT Sikatan Wana Raya membacakan orang-orang yang mendapatkan sebuah regu kegiatan. “Mana yang namanya Joni?” Kabag pembinaan itu langsung mengarahkan pandangannya kepada yang hadir. “Saya Pak!” Joni mengangkat jarinya sebagai tanda kehadirannya. “Ini daftar nama-nama orang yang akan kamu bawa dalam kegiatan pembebasan III, hari ini regu pembebassan yang pertama berangkat!” Datar saja kabag pembinaan itu bicara. Sepengetahuan Joni kabag tersebut biarpun orang Jawa tapi belum saling kenal. Hanya diketahui namanya Pak Supriyadi. Dalam hati Joni terkejut hari pertama itu langsung ditunjuk untuk berangkat. Rasanya persiapannya tidak banyak. Diterimanya daftar nama-nama orang yang akan jadi anak buahnya. Nama-namanya terasa singkat semua langsung diketahui itu nama orang sebuah kampung. Setelah itu kabag tesebut memanggil orang lain seperti Husen, Pak Sahid, Pak Amir dll untuk membawa regunya sendiri-sendiri. Saat mulai menyimak nama-nama di catatan kertas itu Husen berbisik ke telinganya. “Ingat Jon jaga baik-baik nama perusahaan kita.” Joni hanya bisa menganggukan kepalanya. Pertemuan dibubarkan dan Joni melangkah keluar untuk menemui beberapa orang kampung yang sudah berkumpul untuk mulai kegiatan survey. “Dohop aku Lek lah, aku panggil nama ketun yang tercantum dalam catatan ini untuk kumpul denganku!” Joni segera mencoba mendekati seseorang yang bergerombol untuk meminta perhatiannya. Bukannya menjawab orang tersebut berbicara dengan bahasa Dayak yang terasa asing di telinga Joni. “Wah aku dia paham bahasa ikau Lek, pakai bahasa Indonesia saja ya?” Nah baru orang itu sedikit menganggukan kepalanya. “Tolong yang kupanggil namanya kareh umba kegiatanku!” Joni segera memanggil satu persatu nama orang yang dimaksud. “Oh itu aku Lek!” Seseorang menyahut dan mendekati Joni. Terus Joni memanggil beberapa nama hingga akhirnya terkumpul delapan orang. Setelah terkumpul semua barulah Joni menggiring orang-orang untuk mempersiapkan peralatan dan logistik. Ternyata tidak mudah mempersiapkan peralatan dan logistik yang sebenarnya sudah tersedia. Bukannya Joni yang bingung untuk mempersiapkan tetapi malah karyawan PT Sikatan yang tergagap. “Butuh apa saja untuk masuk hutan Jon?” seseorang yang dikenal Joni sebagai asisten persemaian itu bertanya. “Yang sudah tersedia itu apa saja, ada terpal nggak?” Joni mulai repot juga mempersiapkan. Dicarinya beberapa peralatan yang tersedia di gudang dan dikeluarkannya. “Ya ini.....,” Joni menunjuk panci, wajan, sendok, gelas, terpal dll. Disuruhnya orang-orang yang sudah menjadi anak buahnya untuk mengumpulkannya terpisah dengan peralatan yang masih acak. Saat masih memilih beberapa barang ada Pak Amir juga mulai membuat persiapan. “Pak Amir, mereka kok malah seperti bingung menghadapi kita?” Joni berbisik saat berdekatan. “Iya ternyata orang-orang ini sepertinya malah tidak pernah masuk hutan, sampai-sampai tidak tahu apa saja yang harus dipersiapkan,” Pak Amir pun sepertinya merasakan hal yang sama. “Jon kita tahu diri sajalah jangan terlalu banyak menuntut.” Mereka sekarang jadi maklum kenapa orang-orang PT Sikatan Wana Raya ini mengundang orang-orang survey dari PT JAP untuk membantu saat ada Ekolabelling tingkat nasional. Setelah semua persiapan logistik dan peralatan camp siap barulah diangkat ke mobil bak terbuka. “Rasanya semua sudah siap, bisa saja diberangkatkan. Soal kekurangan nanti bisa diantar menyusul,” begitulah Joni berkata sendiri mencoba memimpin beberapa orang disaksikan orang-orang PT Sikatan Wana Raya. “Pak kalau bisa saya pegang peta lokasi pembebasan III barang selembar saja,” Joni meminta suatu hal. Hampir-hampir lupa, lebih penting peta dari pada peralatan camp karena itulah satu-satunya petunjuk lokasi kegiatan. “Wah petanya nanti saja Jon, menyusul setelah regu kalian berangkat,” Pak Supriyadi seperti terperanjat diminta peta lokasi. Segera ia memerintahkan anak buahnya untuk mencari peta di kantor. Berangkatlah Joni dengan anak buahnya diantar mobil rimbawan PT Sikatan Wana Raya. Tercatat di papan kegiatan yang sudah tertancap menunjukan Joni dan anak buahnya berada di km 35. Jadi jarak dari kegiatan hanya sekitar lima kilo meter. Sopir mencarikan tempat menurunkan barang persis di pinggir jembatan sungai. Jaraknya ternyata hanya lima puluh meter dari papan nama kegiatan. Bergegas Joni dan anak buahnya mendirikan pondok kerja. Soal memerintah anak buah Joni sudah terbiasa, yang sering membingungkan ternyata orang-orang yang dibawa oleh Joni berbahasa tersendiri. Saat joni mencoba berbicara bahasa Ngaju mereka paham saja tetapi menjawabnya kemudian dengan bahasa yang asing bagi Joni. Urusan pondok selesai, masing-maing sudah membuat palbet tempat tidur. Dapur darurat dengan kayu bakar seadanya sudah beres. Joni masih menunggu datangnya peta lokasi kegiatan, ternyata tetap tak ada yang mengantar. Ini benar-benar membingungkan, hanya karena tak ada peta pekerjaan bisa berantakan. Benar-benar buta masalah. “Kalau aku mendapat masalah di Kurun bisa melihat dari peta PT JAP, tapi di sini aku benar-benar tak tahu keadaan,” Joni mengeluh dalam hati. Dilihatnya beberapa anak buahnya yang sedang menyelesaikan palbet tidur dan membelah kayu. Beberapa di antaranya sudah dikenal namanya. Begitu keluar kantor saat meeting Joni langsung bekerja mempersiapkan segala sesuatunya. Berbicara dengan orang-orang yang masih asing hanya berupa perintah-perintah singkat. Mungkin orang-orang ini juga belum tahu namanya dan hanya tahu bahwa ia sebagai ketua regu itu saja. “Lek ketun teruskan helo nampa pondok, aku terpaksa bulik ke camp dulu untuk minta peta kerja kita,” Joni berkata kepada salah satu anak buahnya yang baru, saat di camp tadi sempat berkenalan namanya Engga. Untungnya orang yang tadi menyebut dirinya Engga ini kemudian berkata dengan bahasa Indonesia. “Tinggal saja Lek, kami bisa saja menyelesaikannya sendiri,” katanya tetap sambil membelah kayu bakar. Joni agak lega mendengar jawaban dalam bahasa Indonesia tersebut. Terbayang sulitnya berkomunikasi jika memakai bahasa yang mereka pakai. Joni baru sekali ini pergi ke daerah hulu Kahayan jauh meninggalkan Kurun dan Palangka Raya. Sepanjang yang didengarnya, hulu Kahayan orang-orangnya disebut orang Keduri. Entah seperti apa mereka itu, mungkin seperti inilah sekarang yang berhadapan dengan Joni. Saat berangkat dari camp sekitar jam sepuluh siang, sekarang hari sudah sore. “Lek nanti sore jam setengah lima biasanya mandor Tardi turun, ikut mobil mereka saja nanti,” Engga memberitahu Joni. “Benarkah itu? Biar sajalah aku jalan kaki dulu. Kalau nanti ketemu di jalan bisa ikut menumpang,” Joni menjawab sambil memasang sepatu bootnya. Jalan angkutan kayu dari tanah yang disapu grader. Tanah hutan Kalimantan ini mirip lempung, warnanya coklat kuning bahkan banyak yang putih hingga bila tertimpa sinar matahari membuat silau mata. Joni berjalan kaki menyusuri hutan PT Sikatan Wana Raya. Di kanan kirinya sudah banyak yang terbuka bekas tebangan. Beberapa bagian masih bagus, mungkin di areal yang rimbun tersebut kayunya banyak yang cacat. Jadi malah selamat tidak diproduksi. Melihat tipe hutan dan tanahnya sama dengan hutan di PT JAP yang berbukit-bukit. Belum pernah Joni melihat gunung tinggi di Kalimantan seperti di Jawa. Tak ada gunung api, bukit-bukit yang ada merupakan sebuah rangkaian patahan kecil menyimpan butir-butir emas. Di beberapa tempat terdapat gundukan batu bara muda yang kurang komersial jika ditambang. Saat berjalan Joni hanya berpatokan jalan yang mulus-mulus saja, jalan-jalan yang bisa dilewati mobil terlihat jelas. Patokan itu dibuat karena ia masih asing di sini. Jangankan di daerah PT Sikatan yang baru dijelajahinya, di PT JAP pun belum semua areal dijelajahinya. Dua tiga kilo meter berjalan terdengar suara mobil di belakngnya. Benar juga kata Engga tadi di pondok, itu kemungkinan mobil mandor Tardi. Segera dicobanya menyetop kendaraan yang lewat. Tahu ada orang berjalan kaki mobil tersebut juga berhenti, sopirnya seorang berbadan gemuk terlihat jelas ia orang camp. “Mau kemana kamu, kok jalan kaki sendirian saja?” Orang tersebut bertanya menyelidiki. “Ikut ke Camp Pak, saya orang survey dari Kurun,” Joni mencoba menerangkan dirinya. “Ooo yang kiriman dari PT Johanes, tapi kenapa jalan kaki, mbok tunggu mobil pasti ada!” Agak berangasan suaranya. Biasa menolong tapi juga tak senang diganggu, entah kenapa. “Ayo masuk sudah sore!” Ternyata benar itu mandor Tardi. Aksennya Jawa tapi mungkin sudah lama di Kalimantan. Segera Joni masuk mobil jeep tertutup itu. Segera saja mandor tardi tancap gas. Di dalam mobil mandor Tardi sempat berkata, “Kukira tadi kamu itu orang kampung. Kalau orang kampung bisa kubiarkan saja kecuali kenal.” Mulailah Joni merasakan aroma perbedaan antar perusahaan. Orang perusahaan belum tentu berbaikan dengan orang-orang lokal bahkan sering saling melecehkan. Mungkin PT Sikatan Wana Raya ini kurang bertoleransi terhadap penduduk sekitar. Sampai juga di camp. Ternyata Gugun masih di mess. Sampai sore hari itu baru beberapa regu yang bisa masuk hutan. Tapi Joni maklum, saat persiapannya pagi tadi saja semrawut terasa begitu lama. “Gun kamu bawa regu nggak?” Joni bertanya saat mereka berdua bertemu di mess. “Lah kamu kenapa malah turun, kan besok bisa langsung kerja?” Gugun malah seperti heran melihat Joni turun ke camp. “Kerja sih bisa, tapi aku nggak pegang peta memangnya mana petak yang hendak dikerjakan?” Joni menjawab, “Coba aku ke kantor buat menemui Pak Supriyadi dulu.” Ditinggalkannya Gugun langsung beranjak menuju kantor dekat mess. Dilihatnya masih ada beberapa tamu hingga ia menunggu di luar dulu. Tapi orang-orang di dalam yang karyawan perusahaan tahu juga Joni hendak ke kantor sehingga salah satunya segera memanggil. “Ada apa Lek, memangnya masih ada kekurangan logistik?” Itu asisten persemaian yang tadi pagi mempersiapkan logistik di gudang. “Maaf Pak aku belum pegang peta kerjanya, padahal besok kalau bisa sudah langsung begawai,” Joni mengemukakan masalahnya. “Oh ya kamu tunggu dululah, duduk saja di sini biar kucarikan,” asisten persemaian itu bergegas mencarikan peta pembebasan III. Sudah ada berarti kegiatan lain juga sudah lengkap. Hanya Joni seorang yang berangkat pertama belum mendapat bagian. “Ini Jon maaf ya kami harus mencarinya dulu dalam arsip,” Asisten persemaian itu berkata sambil menyerahkan selembar kertas peta. “Oh ya kami masih kurang label sama pakunya Pak,” Joni meminta kekurangan alat kerja di hutan. “Paku, buat apa Jon?” Lagi-lagi orang itu seperti terkejut. “Ya buat memaku label di pohon buat data di tally sheet,” Joni terpaksa menerangkan. Blaik!! Tampaknya orang-orang ini tidak terbiasa dengan barang seperti itu. “Wah label langsung saja di taruh di kulit pohon, kupas saja kulitnya sedikit,” Asisten itu seperti membantah. Terlalu ngotot rupanya si Joni ini. Joni melongo mendengar ucapan asisten tersebut. Peralatan penting seperti itu tidak tersedia bahkan menyarankan pekerjaan yang harusnya jadi prosedural malah ditiadakan. “Ya ya baiklah....,” hanya itu saja Joni menjawab maklum. Percuma meminta lagi. Malam itu Joni tidur di camp, malam pertama Joni tidur dengan orang-orang satgas di salah satu ruangan kantor. Kini ia bersama Gugun di pondok kerja persemaian. Rupanya Gugun sudah lebih dahulu menemukan tempat persembunyian. Pondok kerja persemaian ini di hulu sungai berseberangan jalan dengan kantor dan mess orang-orang produksi. Jadi lebih terasa menyendiri. Camp PT Sikatan Wana Raya ini bukan main luas. Hampir menjadi sebuah kota kecil yang lengkap jauh lebih lengkap fasilitasnya dari pada kota kecamatan bahkan Kurun sekalipun. Hari pertama kerja Joni memperhatikan peta di tangannya. Petunjuk yang terlihat adalah papan nama kegiatan. Ia menganggap salah satu petak yang terlihat paling mendekati jalan ini berarti tidak jauh patok bloknya. Kemungkinan masuk ke kiri jalan hanya 50 m. Diperhatikan juga areal jalan, ternyata sudah pernah masuk kegiatan penanaman di kanan kiri jalan yang berupa tanaman sungkai. Berarti tepat batas bekas petak tidak jauh. Tapi di mana? “Ketun tureh batas cat merah dia Lek?” Joni bertanya menunjukan kepada anak buahnya yang iktu mencari batas blok. “Jatun Lek, jatun petak bercat merah je hitu,” seorang anak buahnya bernama Rifai berkata dalam bahasa Ngaju. Rupanya mereka tahu juga lawan bicaranya si Joni hanya bisa berbahasa tersebut. “Wah aneh kalau seperti ini,” Joni bergumam sendiri. “Ketun puji umba kegiatan perusahaan dia Lek?’ Dicobanya bertanya. “Kami baru sekali ini ikut kegiatan perusahaan Lek,” Engga berkata menjawab pertanyaan Joni. “Selama ini jatun uluh lewu ditarik perusahaan.” Nah ini, rupanya sedikit terkuak masalahnya. Perussahaan PT Sikatan Wana Raya kegiatannya lebih banyak di bagian produksi. Kegiatan TPTI nya mungkin banyak manipulasi saja. “Kalau seperti ini ya sudah, langsung saja kita bikin batas petak mengikuti petak ini!” Joni akhirnya membeberkan caranya untuk membuat batas petak. Begitulah Joni membagi tugas, karena orang-orang belum terbiasa memegang kompas terpaksa ia yang berada paling depan merintis jalan. Yang lain disuruhnya memperlebar dan mengecat batas. Jadi hari itu seharian mereka hanya membuat batas petak. Kenyataan yang ada benar-benar terjadi, tak pernah ditemuinya bekas-bekas batas maupun patok blok sebagai areal kerja. Yang ada kegiatan yang dianggap mudah yaitu penanaman pengayaan kanan kiri jalan. Itupun tak lebih hanya sekitar satu kilo meter. Selebihnya tak ada lagi, padahal kalau melihat blok penebangan areal ini luasannya 800 hektar. Sungguh tak sebanding produksi kayu dengan kegiatan pembinaannya. Jelas kemungkinan kegiatan TPTI nya hanya berupa laporan di atas kertas tanpa realisasi apa-apa di lapangan. Suatu bentuk permainan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan oknum sebesar-besarnya. Joni sendiri berpikir secara logika. Jika dirinya dahulu adalah orang survey pembukaan wilayah hutan ini jelas hafal lika-likunya. Tapi Joni terjun di suatu lokasi yang mana ia tak tahu ujung pangkal awalnya sedangkan ia dituntut menyelesaikan suatu pekerjaan betapapun ala kadarnya. Dalam hati Joni membatin, “Urusan pekerjaan seperti ini jangan salahkan aku kalau hasilnya jelek atau nanti tumpang tindih dengan petak lain kegiatan.” Begitulah di lapangan seorang surveyor harus membuat keputusan biarpun itu jelas banyak menyalahi prosedural. Cuma anehnya biarpun banyak mengarang laporan kegiatan, orang-orang kantor sama sekali tak pernah bertanya. Lagi-lagi ini memang permainan orang-orang perusahaan. Terkadang laporan di lapangan dengan laporan kegiatan untuk ditembuskan ke kantor pusat sudah sangat berbeda. Di pusat sana laporan sudah mulus dan selalu menyenangkan Bos. Sekali pekerjaan di hutan seperti membuat batas petak tak pernah sempurna. Jika sekarang membuat batas selatan utara, jika itu rintisan pertama anggaplah itu yang paling valid. Mulai ke barat timur sudah menyimpang bisa cukup jauh. Kadang-kadang sudah dibuat batas blok saat dipertemukan ternyata tidak bertemu, sehingga sebenarnya seberapa jauhnya selisih jarak simpangannya tidak diketahui. Itu yang membuat orang-orang seperti Joni ketika membuat peta sebuah petak kegiatan tertawa duluan. Lebih banyak bohongnya, kalau kepengin petak sempurna harus dengan peralatan yang lebih baik dan untuk ukuran seperti itu diperlukan seorang ahli. Membawa regu kegiatan semua anak buahnya ternyata dari kampung Tumbang Tajungan. Mereka memang memiliki ragam bahasa sendiri, suaranya agak aneh bagi Joni. Banyak kata-katanya berbunyi gabungan R dan L. Bunyi kata sepeti itu seperti orang kelelap dalam air. Orang-orang ini termasuk sub suku Dayak tersendiri yang disebut Ot Danum (danum artinya air, jadi benar-benar sesuai dengan bahasanya). Kalau orang Kahayan menyebut mereka sebagai orang Keduri, Orang-orang Keduri ini meliputi Kahayan Hulu, daerah Murung Raya (Barito Hulu), hingga tembus ke Mahakam hulu di Kaltim. Seminggu sudah mereka berkumpul, Joni mulai akrab dengan orang-orang ini. “Lek kita kerja setiap hari cukup sampai jam dua siang saja, habis itu silakan masing-masing membuat kegiatan sendiri-sendiri,” suatu ketika Joni berbicara kepada seorang anak buahnya bernama Tanjung. “Terima kasih Lek, buat aku dia masalah kerja seharian yang penting sore ada istirahatnya,” Tanjung berkata senang dengan sistem yang diberlakukan Joni. Engga mendekati Joni, “Lek kalau begitu habis begawai aku bisa pulang ke rumah buat merawat ladangku ya?” “Boleh saja Lek, tapi malamnya tetap kembali berkumpul di pondok kerja. Ingat jangan sampai ketahuan orang camp,” Joni tidak menolak jika ada orang memiliki waktu senggang. “Dia usah khawatir Lek, aku pulang ke rumah kareh sekalian membawa sayur,” Engga berkata sepertinya sesuai dengan harapannya. “Supaya pondok tidak kosong ketun bergantian saja setiap hendak pulang kampung,” Joni menambahi aturannya lagi. Dengan cara demikian pekerjaan terasa lancar saja. Pagi semua orang masuk hutan bekerja kegiatan pembebasan III, jam satu dua pulang ke pondok sebagian kemudian ke rumah masing-maisng yang ternyata bisa ditempuh berjalan kaki melalui jalan setapak. Malamnya mereka berkumpul lagi di pondok kerja dan tidur istirahat. Musim menugal sudah berlalu, padi ladang sedang tumbuh. Hujan merata di mana-mana membuat kabut asap menghilang. Dibandingkan hutan di PT JAP, PT Sikatan ini memiliki areal kayu produktif lebih baik. Kayu-kayunya berkualitas lebih merata bahkan Joni sering heran saat masuk hutan. Kayu ulin di mana-mana bertebaran seolah-olah tak ada habisnya. Di beberapa tempat terdapat kayu ulin yang dibuat sirap, memang tinggal bekas-bekasnya saja. Hanya saja sisa-sisa sirap yang ditinggal menunjukan kualitas yang dihasilkan sangat berkelas. Sering anak buahnya ini habis bekerja kembali ke hutan kemudian mengambil sisa-sisa sirap untuk kemudian diangkat ke kampung sedikit-demi sedikit. Pernah Joni bertanya kepada Engga, “Ketun te bisa menebang ulin untuk sirap Lek, buhen ikau dia nampa?” “Perusahaan sering melarang kami maasuk hutan, mereka mengancam dengan melaporkan kami ke Polisi,” Engga menjelaskan. Joni jadi tertegun mendengar jawaban Engga, “Terus yang bikin sirap ini siapa?” Joni mendesak Engga. “Itu orang-orang yang mendapat ijin dari perusahaan, orang-orangnya sudah tertentu. Mereka itu punya modal dan bekerja sama dengan perusahaan,” lagi Engga menerangkan. “Kecuali kami membikin areal ladang di hutan dekat kampung, yang lain itu harus dengan ijin perusahaan.” Joni hanya menganggukan kepalanya saja. Kini ia sudah bisa meraba-raba bagaimana hubungan perusahaan dengan orang-orang kampung di sekitarnya. Terjadi suatu bentuk perselisihan tetapi dimenangkan perusahaan. Sedang mereka berdua ngobrol Rifai menenteng tiga ekor burung besar. “Wah Fai, burung apa itu yang kamu bawa?” Joni baru sekali ini melihat jenis burung seperti ayam dengan bulu yang indah. Bagus jika menjadi burung hias di sangkar. “Ie te burung siau Lek, aku dapat dengan jerat,” Rifai orangnya paling muda di pondok kerja masih keponakan Engga. “Dijerat?” Joni menegaskan, “Jeratnya seperti apa?” Joni bingung burung yang terbang bisa dijerat, bayangannya jerat tersebut dipasang di atas pohon. “Burung siau te dia bisa terbang Lek, hanya berjalan dan berlari. Paling kalau terbang hanya jarak dekat,” Rifai tahu juga keheranan Joni hingga menerangkannya. “Jeratnya cukup dengan tali rafia ini,” katanya lagi sambil menunjukan tali plastik sisa bungkus logistik. “Mudah sekali Lek, je Kurun aku dia puji tureh burung siau,” Joni masih penasaran. “Di sini masih banyak binatang Lek, aku saja pasang jerat baru dua jam sudah dapat,” Rifai makin semangat menerangkan. Rasanya ia sangat dihargai oleh Joni yang jadi mandornya. Joni sendiri sangat kagum. Di PT JAP saat masuk hutan ia dan Gugun kemudian Boy dan Dian sering mencoba pasang jerat. Tetapi hasilnya tidak menentu. Bisa jadi hutan PT Sikatan ini memang kaya sekali ragam flora faunanya. Pertanyaan keheranan Joni sendiri sering terjawab saat masuk hutan. Burung-burung siau itu sering ditemuinya bergerombol saat bekerja. Jika didekati gerombolan burung-burung itu segera lari dan sebagian terbang jarak dekat saja. Belum lagi esoknya ternyata Rifai lagi-lagi membawa hasil jerat berupa ayam hutan. Hari-hari di pondok kerja Joni makan daging burung yang segar. Kalau melihat logistik yang diberi perusahaan, Joni miris hatinya. Sangat jauh bila dibandingkan di PT JAP. Setiap regu di PT JAP biasa membawa delapan sampai sepuluh dus mie instan, di sini mereka hanya membawa empat dus. Di sini ikan asin yang tersedia adalah ikan peda yang asinnya bukan main. Masih lebih beragam di PT JAP yang sering mengambil ikan asin haruan (gabus) atau ikan sarden. Paling beras saja yang tercukupi untuk kebutuhan selama sebulan. Tapi buat orang-orang kampung regu Joni, makanan tersebut dianggap sangat mewah. Terutama sekali mie instan, bisa dikatakan itu barang mewah. Mereka jarang mengkonsumsinya. Sedangkan ikan asin peda, di Jawa Joni sering makan ia tak begitu suka dengan ikan asin jenis ini, rasanya asin minta ampun kemudian di langit-langit mulut terasa agak gatal-gatal. Yang membuat Joni kaget adalah orang-orang kampung ini begitu kuatnya makan. Bisa dikatakan beras yang tersedia cepat sekali habis. Setiap kali masak nasi banyak, tapi juga cepat tandas. Rupanya mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan langka makan gratis dari perusahaan. Di kampungnya orang-orang ini berpikiran sederhana. Rata-rata jika mereka masak bisa dianggap boros bumbu. Sayur berkuah bisa diberi bawang merah dan putih segenggam. Jelas sedap sekali biarpun sayurannya hanya daun singkong. Joni tahu prinsip orang kampung, mereka tidak akan berhemat untuk soal makan. Hasil padi ladang orang kampung setiap tahunnya hanya bertahan untuk empat lima bulan. Setelah itu mereka terbiasa makan apa saja yang ditemui di ladang seperti singkong, keladi dan berbagai buah hutan dll. Dalam masa-masa seperti itu sebagian orang kampung akan bekerja apa adanya untuk mendapatkan uang. Untung tanah mereka biasanya luas membentuk jenis perkebunan acak. Berbagai jenis tanaman keras bisa menghasilkan uang seperti karet, rotan, buah durian, manggis, langsat bisa dijual saat musim. Tak lupa orang-orang ini mahir mengiwak, berbagai cara menangkap ikan sudah merupakan didikan hidup di Kalimantan. Beberapa kali sehabis kerja anak buahnya ini menuba ikan di berbagai kubangan air dalam hutan. Yang dipakai oleh mereka benar-benar tuba dari kulit pohon. Mereka sangat mengenali jenis kayu tersebut. Kalau di PT JAP orang-orang menuba ikan di hutan menggunakan potas, sabun cuci campur solar dll. Sedikit kesulitan Joni bila hendak makan, beberapa jenis binatang seperti kura-kura, kodok dicampur jadi satu panci direbus dengan berbagai rempah dan bawang. Rasanya Joni masih sayang dengan agamanya yang mengharamkan kodok, terpaksa Joni memilih salah satu saja biarpun bercampur. Juga burung atau ayam hutan sudah jadi bangkai lama terkadang membuat Joni geleng-geleng kepala. Suatu ketika Joni pulang agak terlambat dari hutan, anak buahnya sudah lebih dulu sampai di pondok kerja. Ternyata orang-orang ini banyak usilnya, tas ranselnya digerayangi oleh mereka, tidak ada yang dicuri tapi rokok dan korek api batangan yang sedianya untuk persediaan ternyata raib. Begitu juga peralatan dapur seperti wajan, sendok dan piring ternyata semakin berkurang jumlahnya. Itu jelas dibawa sedikit demi sedikit oleh orang kampung. Sulit menuduh mereka mencuri kalau seperti itu, dalam keadaan seperti itu Joni berpikir mencari amannya saja. Asal mereka masih mau bekerja dan pekerjaan tidak terbengkalai maju terus. Suatu hari Tanjung membuat keributan di dapur. Emosinya meledak, sepertinya ia telah dilecehkan temannya. Saking emosinya Tanjung menantang berkelahi, tapi temannya tak terlalu menggubris. Karena tak ada pelampiasan akhirnya Tanjung menendang ceret berisi air rebus. Saat itu Joni sedang bersiap berangkat kerja, “Hei ada apa ini, kalau ada masalah langsung bicara denganku!” Joni menegur Tanjung. “Dia Lek aku jatun masalah dengan ikau!” Tanjung menyangkal menyembunyikan sesuatu. Temannya yang tadi bertengkar pun membenarkan. “Benar Lek ini hanya masalah salah paham antar kami saja,” keduanya tidak mengakui, Joni pun tidak mendesak lagi. “Kalau begitu urusannya coba jangan diteruskan, aku menuntut kalian untuk tetap bisa bekerja sama denganku,” Joni mencoba menyampaikan keputusannya. “Baik Lek ini hanya urusan pribadi antar kami saja,” Tanjung reda juga emosinya, keputusan Joni agaknya cukup menyadarkannya untuk tidak memperpanjang masalah. Hari itu mereka bekerja seperti biasa tapi dengan jalan pikiran berbeda-beda. Joni merasa agak kacau juga hatinya. Orang-orang ini banyak menyembunyikan masalah di belakang sepertinya mempermainkan dirinya. Yang sulit jika mereka berbicara dengan bahasa mereka, bukan main! Joni seperti tersisih benar-benar tak paham. Cuma dilihat dari raut muka mereka sepertinya sering mudah tersinggung. Baru beberapa hari kemudian Rifai yang memberitahu, “Lek kemarin ewen te berselisih gara-gara soal piring, ewen hendak mengambil diam-diam piring tersebut cuma ternyata yang mengambil lebih dulu itu temannya Tanjung. Jadilah Tanjung besingi, ewen mikeh bepandir dengan ikau.” Rifai bisa dikatakan paling jujurnya, dia masih kecil. Jadi Tanjung dan temannya itu berselisih soal kepemilikan piring plastik yang diam-diam sering mereka bawa ke kampung. Joni tahu sulit juga menegur orang-orang yang ternyata banyak mencuri barang logistik. Tapi antar mereka sendiri ternyata juga jadi berselisih paham karena kepentingannya berbeda-beda. Sore hari Joni duduk di palbet. Orang-orang entah kemana, mereka tadi beralasan ada yang pulang kampung dan sebagian lagi mengangkat jerat. Ini waktu yang paling baik bagi Joni menyelesaikan data sebaran pohon di Tally Sheet. Sebuah penggaris dari kayu sirap cukup membuat pekerjaan lancar. Tally sheet berupa sebaran tegakan tiang, pancang, dan semai terdiri dari lima puluh jalur. Yang penting dibuat garis dan keterangannya dahulu, baru saat di hutan setiap pohon dilabel dengan nomor pohon berurutan dan diberi keterangan nama jenisnya. Tegakan-tegakan itulah yang dimasukan setiap unit luasan 20x20 m. Jika dalam unit kecil tersebut tedapat sungai atau jalan bisa diberi keterangan garis alur sungai atau jalan. Dengan memberi keterangan sungai atau jalan hal tersebut memudahkan pembuatan peta. Terkadang unit kecil tersebut hanya berupa padang terbuka karena bekas areal tebangan bisa menghabiskan sampai tiga ratus sampai empat ratus meter kosong. Tegakan tidak ada paling-paling jenis semai yang biasanya bercampur dengan belukar. Di PT JAP perusahaan terkadang mencetakan tally sheet dari kertas buram. Dengan adanya kertas cetakan yang diklip lebih memudahkan membuat sebaran tegakan. Tapi dengan buku tulispun masih mencukupi. Hanya saja nanti di kantor tally sheet akan dibuatkan peta penyebaran pohon yang berukuran besar. Itulah pegangan perusahaan untuk menilai keberhsailan suatu kegiatan. Sedang asyik membuat tally sheet di palbet datang Rifai, Tanjung dan Engga. Rupanya mereka berhasil membawa beberapa ekor burung siau hasil mengangkat jerat. Engga berteriak kepada Joni, “Lek lihat hasil tangkapan kami!” Engga mengangkat langsung di depan Joni sambil memperlihatkan empat ekor burung siau. Wajahnya terlihat seperti mengancam. Joni merasa ada yang janggal dalam suara Engga, rasanya dia seperti ditakut-takuti. Dilihatnya isi lanjung yang berupa burung siau. Astaga!! Burung-burung tersebut masih hidup tetapi bulunya digunduli semua. Joni terperanjat, perasaannya mengatakan orang-orang ini berbuat seperti itu untuk maksud tertentu. “Akoi! Buhen ketun siksa burung te Lek, aku dia tega tureh!” Joni berkata sambil memegang burung yang sudah gundul tersebut. Kini ia tahu orang-orang ini memberi isyarat mengancam dan menakut-nakuti dengan ketegaan mereka mencabuti bulu-bulu buurng siau. Itu semacam teror untuk dirinya yang orang luar bahwa mereka bisa saja berbuat yang sama seperti terhadap burung tersebut. Benar-benar menjengkelkan!! “Lek kalau ketun dia suka denganku silakan bicara secara pribadi saja, aku siap mendengarkan!” Tegas suara Joni. Ia memandang tajam setiap orang di depannya menunggu apakah ada yang beraksi atau tidak. Ditunggu-tunggu rupanya rupanya orang tidak ada yang beraksi. Akhirnya Joni memegang keempat ekor burung di depannya. Dipelintirnya leher burung hingga terdengar suara tulang patah dan dibuangnya ke tanah. Mati langsung!! “Mana ikau Lek, aku dia mikeh dengan ketun!” Joni bersiap jika salah satu dari mereka menyerangnya. Di mulut Joni masih mampu bicara tetapi terasa juga kakinya bergetar menahan emosi. Rasanya was-was juga hatinya, ia tahu resiko dikeroyok orang-orang kampung ini. Rupanya Engga Cs juga kaget dan tidak mengira dengan reaksi Joni yang tidak gentar dengan mereka. Ciutlah nyali mereka dengan ketegasan Joni. “Dia Lek aku jatun masalah dengan ikau!” Engga berkata menutupi rasa takutnya. “Kita berbaikan hinde Lek,” akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutnya. Tangannya diulurkan berjabat tangan. “Baiklah kalau begitu,” Joni menyambut tangan Engga. Di pondok ini hanya Engga saja yang cukup terdidik. Tapi ketegangan masih terasa Joni terpaksa berdiam diri mengurangi rasa takutnya dengan pura-pura sibuk membuat tally sheet. Orang-orang ini rupanya benar-benar menggertaknya, burung siau dijadikan sarana bahasa isyarat mengarah ke ancaman boikot. Setelah Joni diam tak beraksi orang-orangpun mundur kembali ke palbet masing-masing. Rifai yang paling kecil kemudian mengambil bangkai burung yang sudah mati dan kemudian memasaknya di dapur. Malam itu Joni merasa harus waspada terhadap anak-anak buahnya. Hari-hari mendekati akhir kegiatan, Joni mulai berpikir untuk turun. Sisa logistik masih bisa untuk empat hari. Biarlah Joni akhirnya meliburkan anak buahnya. Dipersilahkannya mereka tidak bekerja dengan catatan malam hari harus berkumpul di pondok. Sementara tally sheet diselesaikannya. Di akhir halaman dibuatnya peta ukuran 10x10 cm lengkap dengan jalan, alur sungai bahkan beberapa lokasi yang terdapat rawa-rawanya. Iseng saja! Benar juga terlihat mobil rimbawan PT Sikatan sudah mulai menurunkan orang-orang survey dari beberapa kegiatan. Joni merasa lega, keesokan harinya setelah dilihatnya ada yang turun, giliran Joni yang minta agar regunya diturunkan. Pekerjaan dianggapnya selesai. Ternyata setelah regunya sampai di camp PT Sikatan ia adalah regu yang terakhir turun, heran juga Joni jadinya. Ditemuinya Gugun yang sudah dua hari di pondok persemaian. “Sialan kalian tuh, aku yang pertama berangkat ternyata juga yang paling terakhir turun!” Joni menyumpahi Gugun yang sedang memancing di tepi sungai Miri, airnya keruh bekas hujan mengguyur di malam hari. “Ha ha ha buat apa terlalu serius bekerja Jon, yang penting kelihatan kerja setelah itu santai, mereka juga nggak pernah mengontrol pekerjaan kita kok,” Gugun mentertawakan Joni yang telat datang. “Kamu enak Gun, lokasinya jauh tidak seperti aku yang petaknya dekat camp. Aku khawatir banyak yang mengawasi diam-diam,” Joni duduk di papan kayu melihati joran pancing Gugun. “Selama di hutan dua kali petak kerjaku didatangi kabag cabang Banjarmasin.” Mereka berdua ngobrol sambil mancing. Beberapa kali joran pancing diangkat Gugun sayang hari itu tidak beruntung. Tak seekor ikan pun didapat. “Huh di hutan setiap hari aku mencari ikan Jon, hasilnya lumayan....Tidak seperti ini!” Katanya mengeluh. “Mancing cewek kampung saja Gun, cewek kampung di sekitar sini banyak keluyuran di camp setiap malam,” Joni berkata sambil matanya menatap ke arah hilir. Ya di seberang camp terlihat beberapa rumah orang kampung, itu yang terlihat dengan mata telanjang. Sedangkan sungai di depannya beberapa kali dilewati getek bermesin membawa orang kampung ke hilir dan ke hulu. Setiap mereka lewat pasti melambaikan tangannya ke arah mereka berdua yang duduk di tepi sungai. Ini adalah sungai Miri. Di muaranya sana bertemu dengan sungai Kahayan membentuk kampung besar setingkat kecamatan yaitu kecamatan Tumbang Miri. Tapi log pond PT Sikatan tidak di hilir sungai Tumbang Miri. Malah justru berada di Tewah di hilirnya. Konon jika log pond di daerah Tumbang Miri alur sungainya banyak riamnya sulit untuk merakit kayu. Sedangkan camp produksi PT Sikatan ini berada di hulu sungai Tumbang Miri. Sungainya cukup besar tapi tak mungkin merakit kayu di sini karena hanya getek kecil saja yang bisa melintas. Terkadang getek-getek itu harus mencari celah air dalam karena banyaknya batu-batu besar di pinggir sungai. Saat Joni dan Gugun duduk di tepi sungai musim hujan sedang berlangsung. Air meninggi hingga getek-getek itu lancar menyusuri sungai. Sekali lagi musim hujan di akhir tahun membuat daun-daun mulai bersemi. Terlihat serempak pertumbuhannya membuat tepi sungai Miri yang banyak pohon-pohon menciptakan pemandangan yang indah. Mungkin sama seperti musim semi di negara empat musim. Pembaca jangan kaget, yang ini fakta bukan karangan. Sesuai aslinya di lapangan. Sedang asyik-asyiknya ngobrol datang seseorang dari camp mendatangi mereka berdua. “Mana yang namanya Joni?” Orang tersebut bertanya. Setelah dekat Joni mengenalnya sebagai seorang asisten Litbang (Penelitian dan Pengembangan). “Itu saya Pak, ada apa rupanya?” Joni bertanya sambil berdiri menyambut. Orang tersebut terlihat tidak ramah. “Hei Jon aku ingatkan kamu ya, kalau membawa regu orang kampung jangan dikasih hati. Aku dengar habis kerja terus kamu bebaskan mereka pulang, begitu ya!” Orang tersebut berkata-kata tanpa basa-basi langsung menegur Joni. Joni tertegun ada juga rupanya orang yang mengawasi kegiatannya selama ini. “Pak saya itu kerja keras di hutan dengan waktu tertentu, asal kegiatan selesai urusan lain orang kampung bisa mengerjakan yang lain,” Joni coba berkilah mencari alasan yang tepat. “Lagi pula kampung mereka memang dekat jadi bisa saja langsung pulang selesai kerja.” “Alasan kau Jon! Di sini kami tidak pernah membawa orang kampung untuk masuk hutan. Gara-gara ada ekolabeling saja jadi kekkurangan tenaga, terpaksa kami mendatangkan orang kampung seperti mereka!” Orang tersebut berkata tetap dengan nada marah, “Urusan ini nanti akan kulaporkan ke manager camp!” Ancamnya. “Pak setiap ketua regu punya cara-cara sendiri mengatur anak buahnya. Coba Bapak jangan ikut campur urusan orang lainlah!” Joni jadi ketus juga bicaranya. Makin marah orang tersebut, “Ini perusahaan kami tahu! Kami yang berhak mengatur kalian!” Melengking suaranya tidak enak didengar, orang tersebut terus memarahi Joni. Gugun hanya menjadi penonton saja, ia kenal dengan orang ini tetapi hanya sebatas sebagai karyawan PT Sikatan. “Tampaknya Bapak salah alamat, coba bicarakan masalah ini dengan Pak Sahid, Pak Amir, atau Husen. Mereka itu lebih tinggi jabatannya dari kami,” Gugun mencoba menengahi perselisihan Joni dengan asisten Litbang tersebut. “Kami di PT JAP masih karyawan harian saja Pak.” Kaget asisten Litbang mendengar kata-kata Gugun. Jadi orang-orang seperti Joni dan Gugun yang menjadi ketua regu di PT JAP ternyata pangkatnya rendah sekali. Tak sebanding dengan orang-orang PT Sikatan yang rata-rata semuanya sudah bergaji bulanan. Di camp PT Sikatan ini hanya orang-orang baru yang menjadi harian tetap. Kalau orang kampung tak ada yang dipandang sebelah mata karena tenaga mereka tidak pernah diambil perusahaan. Memang ada tenaga lokal direkrut tapi biasanya menjadi operator mesin tertentu. Kalau untuk survey tenaga cukup dari orang camp toh kegiatan tersebut tidak banyak. Merasa percuma berdebat dengan Joni orang tersebut pergi kembali ke camp. Joni masih tergetar hatinya mendapat teguran dari orang itu. Di dalam hatinya Joni mengeluh, “Banyak sekali sih orang menyalahkan diriku, orang lain kok dibiarkan saja seolah-olah tak ada kekurangannya.” “Kamu kenal dengan orang itu Jon?” Gugun bertanya setelah orang itu meninggalkan mereka berdua. “Setahuku itu asisten Litbang, kegiatannya bulan ini berada di km 32 jadi paling dekat dengan lokasi kegiatanku,” Joni menerangkan. “Setahuku seharusnya petak kegiatan pembebasan III dengan kegiatan Litbangnya itu bertemu, tapi aku tak pernah menemui batas petak bikinannya.” “Aku pun di sini bikin petak baru Jon, tak ada bekas sama sekali,” Gugun berkata seolah-olah sadar juga keanehan perusahaan ini. “Atau memang di sini tak pernah ada pembukaan wilayah?” Tercenung Gugun dengan kata-katanya sendiri seolah-olah sangsi. “Mana kutahu,” Joni menjawab singkat. HARI GAJIAN Orang-orang berkumpul di depan kantor pembinaan, Engga juga datang tapi sendiri saja. Ia rupanya mewakili anggota yang lain. Joni sengaja ngobrol dengan Engga. “Upah kami te siapa yang memberi Jon, terus terang aku lebih suka ikau saja yang mengambil,” Enggan memulai percakapan. “Dia Lek urusan gaji tergantung Kabag Pembinaan. Pasti ikau jadi kesena dengan Pak Supriyadi,” Joni duduk di bangku dekat kantor. Orang-orangpun antri, terlihat malah Husen, Pak sahid dan Pak Amir berada di dalam kantor. Joni berkata sendiri saat ngobrol dengan Engga, “Lagi pula mungkin aku hanya sebulan di sini Lek, kareh tege uluh menggantikan.” Gugun terlihat berjalan mendekati Joni bersama Dian. Melihat Dian Joni ingat sesutu, “Ngga kesena dia ikau dengan Dian?” “Oh Dian te uluh Tumbang Miri, tapi dulu sekolahnya di SD Tewah, je hitu tege sepupu bebinian begawai je Camp,” Engga melihat Dian yang kemudian menyapanya dalam bahasa Keduri. Mereka tahu sama tahu tapi baru sekali ini bertemu di perusahaan. Gugun menggamit lengan Joni, “Kamu sudah dapat upah belum Jon?” Gugun bertanya dilihatnya masih banyak yang antri. “Belum Gun, tampaknya di dalam masih dihitung, belum ada yang dipanggil ke dalam.” Joni yang sedari tadi duduk di kantor saja belum di panggil apa lagi Gugun yang baru datang. Mereka akhirnya berkumpul di luar kantor sedikit menjauhi kerumunan orang-orang kampung yang juga menunggu. Akhirnya mulai juga ada yang dipanggil satu persatu. Dimulai dari Pak Amir yang paling senior, kemudian Pak Sahid, Husen beberapa orang yang membawa regu kegiatan dari PT Sikatan, baru setelah itu Gugun, Joni, Dian dll. Saat menghadap pak Supriyadi Joni ditanyai, “Kenapa kamu pulang paling akhir Jon?” Ditanya seperti itu Joni jadi heran. “Memangnya ada apa Pak, setahuku kerja di hutan sebisa-bisa 25 hari kerja penuh.” Pak Supriyadi memandang Joni, “Itu aturan siapa Jon?” “Setahu saya itu kebiasaan di PT JAP Pak, saya sih tidak tahu urusan di sini.” Pak Supriyadi mengangguk-anggukan kepala, “Aku dengar laporan dari Asisten Litbang tentang kelakuanmu di hutan. Kalau aku secara pribadi itu tak masalah Jon. Cuma asisten Litbang itu melaporkanmu ke manager. Entah bagaimana tanggapan beliau aku tak tahu.” Rupanya telah terjadi hal-hal seperti itu di kantor. Joni merasa tak tahu apa-apa, “Pak menurutku wewenang saya di sini tak sampai ke manager camp. Mungkin asisten Litbang itu terlalu subyektif menilai saya. Bagi saya setiap ketua regu memiliki cara sendiri mengatasi masalah di lapangan.” Pak Supriyadi lagi mengangguk-angukan kepala, “Ya itu susahnya, asisten Litbang itu terlalu memandang masalah ini berdasarkan kepentingan pribadi. Sudahlah Jon, aku tetap menghargaimu. Urusan asisten Litbang itu biar nanti aku yang menyelesaikannya. Asisten Litbang itu mungkin tidak terlalu senang denganmu Jon. Buktinya orang lain yang punya masalah lebih parah dengan regunya tidak pernah disinggungnya sama sekali.” Kemudian Pak Supriyadi menyerahkan segepok uang, disertai kwitansi dan kertas berurutan nama-nama anak buah Joni dengan angka-angka tertera sebagai upah. “Ini bonus buatmu, sayang kamu menyelesaikan pekerjaan paling lambat jadi tidak sebesar bonus ketua regu yang lain. Ingat ini urusan yang menghitung bagian keuangan bukan pribadi aku Jon,” Pak Supriyadi mengakhiri pembicaraan dan mempersilahkan Joni meninggalkan ruangan. He he he Joni meringis mendengar urusan berbelit-belit seperti itu. Sampai-sampai sekarang ia jadi tahu perbedaan managemen antara perusahaan yang satu dengan yang lain. Di PT JAP orang yang masuk kegiatan diharuskan tinggal paling minim 25 hari. Untuk orang-orang harian lepas jika kurang dari hari yang ditetapkan jelas akan dipotong upah hariannya, kasihan sekali mereka. Tapi di PT Sikatan Wana Raya kegiatan tidak melihat dari orang-orang harian lepas. Camp Sikatan lebih sering menggunakan orang-orang harian tetap atau bulanan yang tinggal di camp. Bagi mereka suatu pekerjaan siapa yang paling cepat selesai itulah yang akan menerima bonus paling besar. Tidak mengherankan kalau asisten Litbang itu menilai Joni sebagai orang lemah hati. Asisten Litbang kemungkinan mengerahkan anak buahnya yang orang-orang kampung bekerja keras mengejar target cepat selesai, setelah itu segera turun untuk mendapatkan bonus yang menanti. Kasihan anak buahnya yang orang-orang kampung itu, mereka hanya mendapatkan upah enam ribu dikalikan berapa hari masuk hutan. Mungkin mereka hanya masuk lima belas hari saja sehingga upahnya tak lebih sembilan puluh ribu rupiah, benar-benar permainan perusahaan. Gugun memandangi Joni dengan penuh pertanyaan. Mereka sudah membagikan upah kepada anak-anak buahnya. Joni langsung saja menyerahkan sejumlah uang kepada Engga, toh hanya dia seorang yang datang. Nanti urusan biar Engganya saja sendiri yang mengantar ke kampung masing-masing. “Berapa bonus yang kamu dapat Jon?” Gugun seperti menyelidiki. “He he he bonusku paling sedikit Gun, malah bonusmu yang bisa dapat sebulan gaji penuh,” Joni nyengir ditanya hal sensitif seperti itu. Dilihatnya Dian yang baru keluar dari kantor menerima gajinya, “Nah kalau Dian bonusnya bisa lipat tiga punya kita Gun!” Joni berteriak keras saat Dian menghampiri. “Bonus apa? Orang aku cuma jadi anak buah Husen mana mungkin dapat bonus seperti kalian!” Bersungut-sungut Dian, tahu temannya mengolok-olok. Mereka bertiga tertawa bersama-sama. “Jon mana kunci tasmu, aku mau ambil beberapa bajuku,” Dian berkata kepada Joni. Beberapa bajunya memang dititipkan dalam tas ranselnya. Joni menyerahkan kuncinya kepada Dian. “Eh Jon bajumu yang kotor gabungkan saja dengan punyaku, biar saudara sepupuku nanti yang mencucikan,” Dian menawarkan jasa. “Yang mana saudara sepupumu Yan?” Gugun jadi latah bertanya. “Itu yang begawai di persemaian, yang sudah janda beranak satu,” Dian menunjuk jauh seseorang di kebun pangkas. Seorang perempuan berbadan sedang wajahnyapun sedang-sedang saja. Biasanya perempuan itu tinggal bersama ibu dapur. “Jadi yang sering mengajak ngobrol kalau aku ke dapur umum itu saudara sepupumu toh Yan?” Joni jadi paham kenapa perempuan itu sering bertanya tetek bengek tentang dirinya. Rupanya Dian sudah memberitahu kalau mereka itu teman akrabnya di PT JAP. Beberapa hari sudah di camp Sikatan Wana Raya. Tak ada lagi yang dikerjakan, paling-paling keliling camp atau masuk green house pura-pura membantu atau malah lari ke pondok persemaian yang berada jauh dari keramaian. Beberapa isu muncul tapi simpang siur, ada kabar kalau mereka akan dipertahankan tapi ada juga yang memberitahu bahwa ada pergantian personil terutama dari orang-orang PT JAP. Dian jadi gelisah sendiri, menurut pikirannya kalau ada pergantian orang ya pasti dirinya yang kena, tapi Dian juga tak sendiri Gugun dan Joni merasakan keberadaaan mereka sudah tak diperlukan. “Jon buat apalagi kita di sini, mending balik ke Kurun saja toh nanti ada yang menggantikan kita,” Gugun melepaskan kegelisahannya saat ngobrol dengan Joni. “Memangnya kamu saja yang bingung Gun, kalau menurutku memang harus ada pergantian. Kabar dari Tobias terakhir berkumpul kita akan digantikan Junaedi, Boy, dan Idrus. Rasanya memang lebih baik langsung saja kembali ke camp Kurun,” Joni berpikir juga. “Coba kita datangi Husen siapa tahu ada keputusan buat kita.” Mereka akhirnya mendatangi Husen. Orangnya sedang berbicara dengan asisten persemaian di dekat green house. Melihat kedatangan Gugun dan Joni Husen segera memanggil mereka berdua. “Hei dari pada kalian nganggur coba cari kesibukan di green house ini saja!” Kata Husen mengajak. “Ah sebagian orang sudah turun ke Tewah Sen, kami ini cuma cari kabar saja kalau mobil yang kembali ke Kurun,” Gugun langsung berterus terang mengemukakan persoalan mereka. Husen sepertinya paham apa yang dimaksud kata-kata Gugun. Orang-orang ini jelas bingung menanti kepastian ada tidaknya pergantian tenaga dari camp km 4 PT JAP. Sebagian orang sudah lebih dulu pergi ke Tewah dari pada menanti hal yang tak pasti. “Aku sendiri tak tahu kabar jelasnya Gun, semua menanti keputusan dari manager camp.” “Orang sepertimu jelas tetap dipertahankan Sen, kalau kaya kami lebih baik menunggu di Kurun saja,” Joni menambahi pemikiran mereka. “Terserah kalian saja Jon, kalau memang kembali ke Kurun besok ada mobil ke kantor di Kurun, kalian bisa ikut mereka,” Husen mempersilahkan mereka kembali ke camp km 4 dari pada tak ada kepastian. Camp km 4 PT JAP masih sepi orang-orang survey belum turun dari hutan. Joni, Gugun, Dian dan beberapa orang sudah di mess. Tidak ada yang dikerjakan di mess tapi setidaknya bisa leluasa. Di PT Sikatan Wana Raya mereka merasa tidak nyaman karena hari-hari menganggur. Kemana lagi pelariannya kalau bukan ke persemaian. Dari jauh Joni sudah melihat bayangan Ipah melintas lewat depan mess menuju persemaian. “Hei Ipah aku umba ke persemaian ya!” Disapanya Ipah dengan pandangan tajam. Mata itu memang bagus langsung memandang tajam Joni juga. “Ikau Jon, kapan jadi dumah? Ikau te dikirim ke Tumbang Miri?” Heran Ipah bertanya. “Aku dumah je hitu jadi malem, ikau te jadi betiru,” Joni menjawab sambil mengikuti langkah Ipah menuju persemaian. Di pondok kerja persemaian sudah menunggu Tobing dan Imanuel. Ibaratnya kedua orang inilah penjaga camp siang malam. “Jon kok sudah di sini katanya kalian kerja sampai dua bulan?” Tobing heran melihat Joni sudah di camp. Waktu malam hari sampai di camp mobil rimbawan PT Sikatan berhenti di Pos Satpam jadi tidak ada yang tahu kedatangan mereka. “Aku datang ke camp sudah sepi. Jadi langsung saja kami masuk ke kamar masing-masing,” Joni berkata sambil mengambil bangku kecil untuk duduk. Ibu-ibu persemaian sebagian sedang menyapu, sedangkan gundukan tanah bercampur kompos sedang diaduk-aduk dengan cangkul oleh Imanuel. “Nyaman di mana Jon, di sini atau di PT Sikatan?” Tobing bertanya sambil lalu. “Iya di Tumbang Miri te are uluh bawek behalap,” Ipah berkata seperti menyindir Joni. “Wah aku tahunya cuma begawai, di camp sana cuma semalam paginya langsung naik ke hutan, aku tak tahu apa-apa,” Joni mencoba menceritakan keadaan saat pertama di PT Sikatan. Ia pun bercerita mulai dari camp dan daerah sekitarnya. “Yang sudah paham itu paling Dian, ada saudara sepupunya di sana.” Imanuel yang sudah selesai mencangkul kemudian duduk di samping Joni, “Harusnya kamu bawa oleh-oleh dari sana Jon,” katanya dengan antusias. “Oleh-oleh apa, paling dapat capeknya saja!” Joni berkata sambil melihati Ipah. Tiba-tiba timbul sifat usilnya. “He he he aku ada hadiah tapi cuma buat Ipah saja.” Ipah terhenyak dilihatinya si Joni seperti bertanya, “Buatku apa itu?” Penasaran si Ipah. Dengan nakal Joni bicara, “Aku bawakan BH buatmu tapi aku harus mengukurnya ya,” Joni langsung menggerakan kedua tangannya seperti hendak menggenggam kedua belah dada Ipah. “Joni jangan kurang ajar Kau!” Ipah menjerit kaget campur geli saat Joni mendekatkan tangannya seperti hendak meraih dadanya. Terburu-buru Ipah menghindar hingga kemudian lari ke kakaknya yang sedang menyapu. Tobing dan Imanuel serta Joni tertawa terbahak-bahak. Mereka terus ngobrol di persemaian. Setelah itu datang anggota yang lain seperti Gugun dan beberapa orang Lombok bergabung, makin ramai persemaian jadinya. Pak Joko sudah tahu kalau sebagian orang kiriman sudah datang di camp km 4. Gugun dipanggil ke kantor ditanyai keadaan orang-orang di PT Sikatan Wana Raya. Setelah mendengar kata-kata Gugun beliaupun berkata, “Dengar ya Gun, kalau rencana dari aku sih bergantian. Tapi ada kabar dari radio SSB kalian akan dipertahankan untuk bulan kedua!” Akhirnya Pak Joko memberitahu masalah yang membingungkan sebagian orang itu. “Soalnya kalau diganti orang baru yang menggantikan mungkin kesulitan karena harus dari awal lagi.” “Pak orang seperti kami mana tahu urusan di atas. Jika rencana bulan lalu diganti ya kami lebih baik segera pulang. Di sana kalau diteruskan tanpa pekerjaan uang cepat habis,” Gugun berkata soal-soal di camp Sikatan yang berkaitan dengan biaya hidup. “Nah sekarang kan sudah jelas berita dari aku, kalau diteruskan kan nyaman buat kalian. Gaji dari sini tetap di sana digaji lagi dan mungkin dapat bonus,” Pak Joko menerangkan berbagai masalah di PT Sikatan yang mengharuskan mereka mempertahankan orang-orang survey. “Itu keputusan dari manager camp PT Sikatan, tapi keputusannya juga baru pagi tadi.” Gugun jadi terdiam, pikirannya berputar-putar karena sudah terlanjur di camp km 4. “Kalau diteruskan di sana buat transport ke sana kami ikut siapa Pak?” Akhirnya kena juga problemnya. “Besok kalian siap-siap saja. Beberapa mobil dari PT Sikatan ada yang menuju Log pond, jadi langsung ikut mereka nanti,” Pak Joko memerintahkan Gugun dan lainnya untuk bersiap berangkat hari esok. Esok harinya saat Joni hendak menuju persemaian Gugun langsung mencegatnya. “Eit jangan ke sana lagi, persiapkan dirimu untuk berangkat hari ini juga!” Gugun tahu keinginan Joni yang hendak bermain ke persemaian. “Loh siapa yang menyuruh Gun, kan katanya ada pergantian?” Joni protes malam hari tadi tak ada pembicaraan apa-apa dari Gugun. “Iya aku sengaja tidak memberitahumu, kamu itu semalam cuma melamun saja, he he he hati-hati Jon kesurupan nanti kamu,” Gugun terkekeh melihati Joni yang tak kuasa menyembunyikan perasaannya. Joni seperti bimbang, ada perasaan berat meninggalkan camp. Sesuatu telah membebani diirnya sebagai seorang lelaki dewasa. Akhirnya dengan perlahan mulai dikemasnya barang-barangnya. “Memangnya ada mobil yang akan mengantar kita ke Tewah Gun?” “Ada saja Jon, mobil PT Sikatan ada yang hendak singgah ke log pond. Paling mereka nanti singgah di camp km 4,” Gugun sudah menyiapkan perlengkapannya lebih dulu dari malam tadi. “Tapi kalau kamu hendak pamitan dengan Ipah silakan saja,” he he he Gugun seperti menyinggung Joni tanpa sengaja. “Bah terlanjur sudah, biar sajalah kapan-kapanpun bisa,” Joni merasa sebal disinggung seorang perempuan yang sudah mengisi hatinya. Tapi ia pun mengumpat Gugun dengan beberapa makian khas Dayak, “Puki nindu kuam!” Setelah mandi dan sarapan mereka cuma duduk-duduk saja di teras mess. Terlihat Dian keluar dari rumah istri Pak Sahid. Di tangannya tergenggam segelas kopi panas. Sampai di depan mereka Joni langsung saja menyambut gelas dan menghirup isinya. Dian melotot merasa haknya direbut, “Wah enaknya kamu Jon, aku susah-susah bikin kopi ikau yang menghabiskannya!” “Salahmu sendiri bikin kopi cuma buat saikong, coba bawa dua gelas kek!” Joni tak peduli diprotes Dian. “Hei sini aku juga belum ngopi nah!” Gugun ikut saja menyeruput isi gelas milik Dian. Tak kuasa lagi Dian pasrah kopinya dihabisi Joni dan Gugun. Benar juga tengah hari kemudian sebuah mobil dengan logo PT Sikatan sudah menanti mereka di Pos jaga. Hari itu sekitar sepuluh orang yang sudah kembali ke camp km 4 harus berangkat. Kerja di hutanpun kembali dijalani Joni. Ekolabeling, kegiatan ini berkaitan dengan standar produksi kayu. Jika syarat ekolabeling dipenuhi berbagai bentuk ekspor kayu olahan akan mendapat sertifikat legal. Artinya kayu diproduksi hutan perusahaan tersebut telah memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan. Bagaimana syarat-syaratnya? Joni tak tahu bahkan sebagian besar karyawan perusahaan tak tahu apa-apa. Bagi mereka kegiatan seperti itu tidak penting. Lebih penting kapan mereka survey untuk mempertahankan hidupnya. Karier saja tak bisa berharap naik apa lagi mempersoalkan lingkungan. Orang seperti Joni merasa dihidupi perusahaan yang mendapatkan ijin. Baginya berarti apa yang dilakukannya di hutan adalah sah. Bahkan ia merasa berhak menyalahkan orang-orang kampung yang mencuri kayu di lahan perusahaan. Sering jika ada kerusakan hutan karena terbakar di areal perusahaan orang tinggal menuduh orang kampung sebagai pelakunya. Sayangnya orang-orang kampung juga banyak sekali kelemahannya. Mereka jika dituduh tidak bisa menolak karena kenyataannya seperti itu. Juga bila diberi bantuan dari perusahaan sering hanya habis untuk bermabukan. Atau sudah diberi bantuan tetapi warganya tetap menuntut perusahaan. Kalau seperti itu perusahaan gantian yang menuduh kepala kampung menyelewengkan uang bantuan. Masuk hutan kedua kalinya di PT Sikatan Wana Raya Joni sudah paham dengan karakter pimpinannya. Ikuti saja gaya mereka toh yang penting posisinya aman. Caranya karena sudah tahu kalau di tepi jalan logging ia bakalan diawasi orang, lebih baik membuat pondok kerja masuk hutan lebih dalam sehingga kalau didatangi pimpinan mereka harus menempuh rintangan yang tidak sedikit. Rasain Lu! Kerja.....Uh lihat-lihat anak buahnya. Bulan lalu ia membawa beberapa anak buah orang dari Tumbang Tajungan. Sekarang ia minta dicarikan orang-orang yang berbeda kampung. Mereka yang tadinya orang dari Tumbang Tajungan hendak ikut, diberikannya kepada Husen. Di samping itu ia minta ditemani seorang dari camp km 4 seorang Lombok yang biasa ikut Sahrun untuk jaga-jaga bila terjadi sesuatu. Kegiatan pembebasan III di petak baru. Sengaja dikerjakan di atas petak sebelumnya. Petak ini sudah teraba bentuknya, jalan logging yang melaluinya hanya terkena pinggiran utara selatan. Jadi saat membuat batas petak yang difokuskan hanya yang terlintasi jalan tersebut. Batas lain timur barat ditiadakan. Hasilnya peta yang benar-benar buta (ditanggung tidak akan ketemu batas tersebut kalau dicari). Pekerjaan dimulai, Pondok kerja terkena sungai cukup besar. Beberapa orang anak buahnya sudah mempersiapkan tali jerat dan pancing untuk mencari ikan. Joni sudah memberitahu dahulu, “Selama ikut denganku kalian cukup bekerja setengah hari. Kupersilahkan kalian memiliki kegiatan sendiri-sendiri. Boleh pulang ke kampung tetapi malam kembali ke pondok kerja!” Orang-orang kelihatannya memang menunggu pernyataan seperti itu keluar dari mulut Joni. Saat siang Budi yang orang Lombok sering bertanya kepada Joni karena aturan itu. “Jon ringannya kamu membuat aturan di sini? Bulan kemarin aku ikut Pak Amir setiap hari kerja sampai sore.” “Sssst ikuti saja perintahku, kita jangan banyak bikin masalah dengan orang-orang ini. Aku menjaga kegiatan ini tidak sampai diboikot orang kampung,” Joni menjelaskan kondisi saat membawa regu kegiatan bulan kemarin. Orang-orang kampung di sekitar camp produksi PT Sikatan ini banyak membenci keberadaan perusahaan. Orang-orang kampung tidak berdaya dan silau melihat camp yang begitu megah. Dibandingkan dengan keadaan kampung sungguh tikus melawan gajah. Yang sering membuat orang-orang kampung iri terhadap perusahaan justru pemuda-pemudanya. Gara-gara ada camp perempuan-perempuan kampung berseliweran dan banyak yang mencari perhatian orang-orang perusahaan. Jadinya pemuda-pemuda kampung tersebut merasa kalah bersaing. Hujan deras mengguyur pondok kerja. Sungai banjir membuat Joni malas beranjak dari palbet tidurnya. Kelambu yang dipasang masih menutupi tubuhnya untuk mencari kehangatan. Biarlah hari itu diliburkan. Ini sudah hari ke sepuluh, pekerjaan banyak dimanipulasi, bukankah kegiatan di PT Sikatan selama ini tidak beres. Dari tanda-tanda yang ada orang PT Sikatan saat pertama kali ditunjuk sebagai ketua regu karyawannya seperti terkagum saat pertama ia memberi perintah kepada anak buahnya. Mereka rupanya tidak biasa melakukan survey di hutan. Joni pun mendengar kabar selentingan bagian pembinaan sebenarnya tidak ada orangnya. Semua karyawan ditempatkan di camp dan baru digerakan jika ada tamu dari luar. Jangankan bekasnya di hutan, di camp yang bergabung dengan persemaian, Green House dibuat secara mendadak. Bibit stek pucuk diambil dari PT JAP dan areal sekelilingnya ditanami sungkai terlihat baru ditancap dengan sungkai setinggi tiga meter kemudian menutupinya dengan rerumputan supaya tersamar. Paling yang mengagumkan produksi kayunya, sungguh jumlah kayunya sangat menguntungkan perusahaan. Dibandingkan di PT JAP hutan di Tumbang Miri ini kayunya benar-benar terpilih. Mungkin dari sinilah kayu produksi group Tanjung Raya terpenuhi. Ah urusan kayu produksi Joni buta, itu bukan bidangnya. Joni bangkit dari palbet dilihatnya Budi Lombok terbaring tetapi matanya sudah terbuka lama tanda tak bisa tidur. Seorang anak buahnya berada di dapur memasak nasi. “Nyaman tidurmu Jon, aku malah terbangun dari tadi. Rasanya malah capek tidur-tiduran terus,” Budi menghampiri Joni. “Ssst Jon, peralatan dapur tinggal sedikit, bagaimana ini?” “Jangankan peralatan dapur seperti piring, sendok, gelas. Korek gas dan obat-obatan juga rokok di tasku habis, ini rokok tinggal sebungkus,” Joni berkata pelan. Anak buahnya banyak yang pulang kampung sore hari sebelumnya karena diliburkan. Peralatan dari camp saat dibawa jumlahnya dilipatduakan. Sendok misalnya menyesuiakan dengan jumlah orang yang sepuluh membawa dua puluh biji. Piringpun demikian, sekarang menyusut tak tahu rimbanya. Bahkan kaleng bekas susupun diminta orang-orang ini, katanya buat bikin lampu minyak di rumah. “Kamu merasa gatal nggak Bud?” Joni menggaruk punggungnya. “Ah kamu tuh kena ulat bulu Jon,” Budi memperhatikan bekas garukan Joni di punggungnya, terlihat berbintil-bintil merah. “Dari mana ada ulat bulu di palbet?” Joni bertanya. Tanpa menunggu awaban Budi ia melihat ke atas terpal. “Ini dia ulatnya!” seekor ulat berbulu kecil menjatuhkan tubuhnya ke palbet tidur Joni. Segera dimatikannya ulat tersebut. Tapi kemudian seisi pondok menyadari tak mungkin menghindar dari ulat-ulat yang menjalar jatuh dari dedaunan di atas pondok. Beberapa kali sudah mereka mendapati ulat yang merayap ke palbet, tas, dan sekitar pondok. Tak terhindar betapa rasa gatal selalu menyertai mereka beberapa hari kemudian. Itu fenomena di hutan saat musim hujan awal, semua serangga bertelur menjadi musim tersendiri. Siang hari barulah orang-orang dari kampung kembali. Seorang diantaranya membawa pucuk singkong dan umbinya yang sudah matang. “Jon kubawakan singkong rebus, silakan dicicipi,” Bejo nama orang itu memberi singkong rebus yang dibuat seperti getuk. Joni menerima dan kemudian mencicipinya. Singkong rebus seperti itu jarang didapat saat survey, hanya orang kampung saja yang menanamnya. “Nyaman Lek are ikau bawa?” Joni menikmati getuk ala Dayak ini. Bejo kemudian mengambil minyak goreng dari dapur. Dicampurkannya ke getuk sampai menjadi satu kemudian dilahapnya juga. Joni heran dengan tingkah Bejo ini, “Buhen ikau campur singkong dengan minyak Lek?” “Di sini biasa Jon orang makan jawau dengan minyak lamak,” Bejo terlihat lahap makan, Joni yang tidak selera, rasanya perutnya jadi enek. “Namamu Bejo itu nama Jawa siapa yang memberimu nama itu?” Joni jadi tergerak bertanya. Bejo tertawa mendengar pertanyaan Joni. “Memang aku ini orang Jawa Jon, aku berasal dari Madiun,” jawabnya kemudian. Joni terbelak matanya, sialan orang ini! Sehari-harinya berbicara bahasa Dayak begitu fasihnya ternyata orang Jawa juga toh. “Kenapa kamu sampai di daerah ini, tidakkah kepengin pulang ke Jawa?” Dicecarnya Bejo dengan berbagai pertanyaan. “Ha ha ha......!” Bejo tertawa terpingkal-pingkal melihat Joni yang penasaran. Ia pun kemudian bercerita kenapa sampai begitu jauh di Tumbang Miri. Bejo bukan merantau atau Transmigran di Kalimantan ini. Tapi ia adalah pelarian atau buronan kepolisian di Jawa. Sampai di kota Palangka Raya ia pun berbuat kriminal lagi. Jadinya di Jawa dicari-cari di kota Kalimantanpun dicari Polisi. Tak ada tempat lagi baginya kecuali lari menjauh sembunyi di Tumbang Miri hidup seperti orang Dayak. Sekarang ia tinggal di sebuah kampung kecil menikahi seorang perempuan Dayak. “Dulu bapakku di Jawa Islamnya taat, kalau aku di sini apa saja kumakan,” katanya sebagai perbandingan keadaan dirinya di Jawa dengan dirinya yang sekarang seperti tidak beragama sehingga ia pun tak lagi memperketat aturan soal makan. Jadi babi anjingpun dimakan menyesuaikan dengan lingkungan. “Jon untung kamu membuat anak buahmu kerja lebih ringan. Di regu-regu lain orang-orang kampung banyak yang mengamuk tidak terima diperlakukan mandor mereka.” “Sampai terjadi seperti itu Jo?” Joni mulai merasakan suasana tidak enak. “Iya orang-orang kampung menuntut upah besar karena kerja keras,” Bejo yang orang Jawa inipun bicara sengit seperti tidak terima perlakuan orang-orang perusahaan. “Di regu mana saja yang kamu tahu terjadi keributan?” Joni seperti menyelidiki. “Itu yang orangnya gemuk setahuku di km 32, itu orang sudah dari dulu kami incar Jon.” Eiiit Bejo malah seperti biasa-biasa saja terhadap Joni. Padahal ia pun termasuk mandor yang membawa regu. “Kemudian ada lagi di km 28 di bawah camp produksi juga bubar regunya.” Hmmmm di km 28 bawah camp berarti kegiatan penanaman pengayaan, itu regunya Husen. Benar Joni membawa regu boleh jelek tetapi tak ada yang protes. Joni tahu resiko membawa orang-orang pedalaman ini, mudah tersulut emosi. “Jon kita masih berapa hari lagi di sini?” Bejo bertanya seperti ada yang dipikirkannya. “Kita penuhi saja dua puluh hari sampai logistik habis, baru setelah itu turun,” Joni menjawab menghitung kemungkinan bisa tinggal di hutan. “Jon kalau ada sisa logistik aku minta ya?” Bejo berkata menatap Joni. “Kalian bagi saja sisanya, aku juga sudah tak akan berada di sini lagi bulan depan,” Joni tak banyak bicara lagi, pikirannya tertuju pada bubarnya beberapa regu walaupun itu hanya kabar dari Bejo. Tinggal dua hari lagi pekerjaan selesai. Joni meliburkan anak buahnya. Justru karena tahu akan berpisah Bejo dan teman-temannya jadi kompak tetap di pondok kerja. Musim hujan berlangsung Desember akhir 1997 padi ladang sudah sekitar sebulan tumbuh. Pemandangan akhir tahun di hutan menonjolkan musim kupu-kupu. Itulah ulat-ulat yang bertebaran di daun-daun pohon. Mereka telah membuat kepompong dan kemudian pecah bergiliran menerbangkan serangga berkaki empat. Begitu banyaknya kupu-kupu sampai setiap sudut hutan terdapat kupu-kupu yang beterbangan. Ada yang kecil berwarna kuning itu yang mendominasi. Jenis lain berwarna cerah menandakan populasi mereka belum tercemar pulusi udara. Kupu-kupu itu bekas ulat bulu yang tak terlihat di tas, palbet dan batang pohon atau tiang pondok kerja. Enak menggaruknya meninggalkan bintil-bintil merah di kulit. Seharian mereka ngobrol di pondok kerja. Seorang yang paling dituakan di pondok kerja tiba-tiba bicara kepada Joni, “Jon puji ikau nampa apoi dengan kayu?” Katanyasambil membuat sebilah kayu membulat yang diruncingkan ujungnya. “Narare nampa apoi dengan kayu Kas?” Joni malah balik bertanya. “Ie te gawaian uluh bahari Jon, ewen hindae kesena dengan korek api,” orang tua itu menerangkan suatu cara membuat api dengan bilah kayu di tangannya. “Ooo begitu aku dia puji mencoba Kas. Tapi di buku pelajaran SD tege kia cara nampa apoi seperti itu,” Joni teringat buku pelajaran IPA yang membahas cara membuat api yang dilakukan orang-orang jaman purba. Semua orang di pondok kerja jadi tertarik. Mereka duduk berkeliling melihati orang tua yang mencoba membuat api dengan bilah kayu. Bilah kayu bulat itu ditancapkan di papan kayu kering yang dilubangi sedikit. Kemudian dengan kedua telapak tangan diputar-putarnya tanpa henti. Semua orang tegang menunggu orang tua itu membuat api. Terlihat lubang di papan kering itu seperti memanas, lama-lama menghitam hingga keluar asap. Itu berarti ada api di lubang kayu tersebut. “Ikau tiup kayu yang membara Jon! Api pasti mulai timbul seperti nyala arang!” Orang tua tersebut tiba-tiba memerintahkan Joni meniup papan kayu yang berasap. Segera Joni meniupnya dengan hembusan kuat. Benar juga timbul nyala seperti arang biarpun kecil. Orang-orang yang menonton bertepuk tangan, sementara orang tua itu kemudian memberi beberapa rumput kering dan serbuk kayu. Makin teballah asap menandakan bara api telah jadi. “Ayo siapa mau mencoba nampa apoi hindae?” Setelah jadi api dimatikan lagi untuk memberi kesempatan yang hadir mencoba. Maka seharian orang-orang mencoba tantangan ketrampilan membuat api. Joni dan Budi ikut mencoba. Sungguh ternyata tidak mudah. Memutar bilah kayu yang ditancapkan di papan kayu kering membuat tangan pegal. Bahkan biarpun orang-orang bergantian memutar bilah kayu tetap saja gagal. Mungkin irama memutar bilah kayu setiap orang berbeda-beda sehingga bara api malah mogok tak mau timbul. Yang senang melihati kegagalan orang-orang adalah orang tua tersebut. Ia tertawa terbahak-bahak, pertama-tama menyemangati orang yang mencoba memutar bilah kayu, tetapi setelah kecapean dan berhenti disorakinya karena gagal. “Ha ha ha ketun te harus berlatih lama baru bisa!” Katanya dengan senyum simpul penuh kemenangan. “Ketun te kalau hidup sendirian di hutan suatu ketika harus menampa apoi seperti uluh bahari,” katanya menasehati. Bejo yang mencobapun menyerah, ia tak tahu tekniknya. “Kuberitahu ketun ya....., ketrampilan memutar bilah kayu runcing ini harus dengan perasaan seperti menyatu. Jadi tidak terburu-buru seperti ketun,” Orang tua itu mencoba menerangkan caranya. Biarpun diberi keterangan seperti apapun tetap saja gagal. Tidak semudah yang terlihat seperti saat orang tua itu menyalakan api. “Akoi pemuda-pemuda sekarang memang gampang putus asa.....,” akhirnya setelah semua menyerah orang tua itupun tak lagi mengejek mereka. BAB 10 Bukit Berbunga Husen memandangi Joni yang sedang mencuci di sungai belakang pondok kerja persemaian. Air sungai sedang meluap membuatnya berwarna kecoklatan. Tapi kalau untuk mencuci baju semua orang mengandalkan air alami ini. Camp produksi PT Sikatan Wana Raya ramai, kegiatan ekolabeling masih ada biarpun hanya menerima tamu dari berbagai tim penilai. Untuk orang-orang survey pembinaan semua sudah turun bahkan setelah terima gaji bubar dengan sendirinya untuk pulang ke Kurun. Joni punya rencana kembali ke Kurun, tapi pikirannya berkeras menuju Tewah untuk sekedar mencari hiburan setelah sekian lama di hutan. “Jon dari pada kamu pulang ke camp bantu aku kerja borongan di green house!” Husen setengah berteriak supaya suaranya terdengar oleh Joni yang berada di papan kayu terapung. “Oh kamu Sen, aku tidak melihat kedatanganmu. Bagaimana yang lain?” Joni mengangkat cuciannya dan berjalan naik ke tangga kayu yang tersedia. Dijemurnya pakaian basah di jemuran tali bekas masuk hutan. “Sebagian sudah turun ke Tewah, paling tinggal kamu saja di sini,” Husen berkata membiarkan Joni menyelesaikan pekerjaannya. “Sudahlah kamu ikut aku saja beberapa hari ini, lumayan untuk tambahan upah.” “Memangnya green housenya belum selesai Sen? Bagaimana dengan Mardi di sana?” Joni bertanya teringat Mardi yang kerjanya selalu di dalam ruangan sehingga kulitnya tidak menghitam seperti orang-orang survey. “Mardi hanya mengerjakan urusan stek pucuk, itu saja dia sudah repot karena harus menerima tamu yang beberapa kali datang. Ini cuma buat kotak beton sisa yang harus diselesaikan dua tiga hari ini Jon,” Husen menerangkan detil pekerjaan yang belum selesai. “Bulan ini anak buahku berontak, mereka ngamuk di pondok kerja Jon, seluruh barang logistik dan tenda disikat oleh orang kampung. Aku heran dengan orang-orang itu, mereka begitu mudah sekali meledak emosinya.” “Jadi berapa hari kalian di hutan Sen?” Joni sudah mendengar keributan beberapa regu yang berantakan kegiatannya dari Bejo. “Paling dapat sepuluh hari setelah itu Pak Supryadi menghentikan kegiatanku,” Husen seperti tak bersemangat kalau mengingat urusan kegiatannya yang gagal total. “Kuakui Jon, kamu membuat orang-orang PT Sikatan Wana Raya kagum kepadamu. Mereka tidak paham kenapa orang sepertimu mampu membawa regu tanpa keributan. Apa lagi saat Pak Supriyadi dan tamu-tamu tim ekolabeling membuka Tally Sheet yang kamu buat. Mereka kaget karena di dalamnya ada peta begitu rinci yang memperlihatkan keadaan petak yang kamu kerjakan,” Husen bicara dengan tulus atas prestasi Joni. “Itu cuma kerjaan iseng saja Sen, lagi pula sebenarnya banyak manipulasinya,” Joni merendah dipuji seperti itu oleh Husen. “Sudahlah mulai sekarang kamu kerja di green house. Paling-paling cuma dua hari lumayan buat tambahan,” Husen segera mengajak Joni menuju tempat kerja di seberang jalan logging. Di dalam green house orang-orang sedang bekerja melepa kotak beton untuk stek pucuk baru. Ruangan itu luas terasa panas dan pengap karena dibuat dari seng tembus cahaya. Mardi sedang mengecek stek pucuk dengan menghitung hidup dan mati. Kemudian memasukan ke data di papan khusus dengan spidol. Seperti itulah kegiatan utama Mardi. “Jon kebetulan nih, bantu aku membersihkan tempat ini ya. Urusan membuat kotak biar saja tukang yang membereskan,” langsung Mardi mengajak Joni membersihkan lantai green house dari bekas-bekas bahan bangunan yang berserakan. “Kalau sudah bersih kita kembali ke camp km 4. Paling-paling dua hari saja Jon.” Hari-hari di camp produksi terutama di green house Joni membantu Pak Sahid, Husen dan Mardi. Green house sebenarnya masih jauh dari selesai. Kotak stek pucuk yang ada sebenarnya adalah stek pucuk yang sudah tumbuh bagus bawaan dari camp km 4. Makanya hanya Mardi yang menangani. Orang-orang persemaian PT Sikatan ini sepertinya baru belajar sekarang. Kotak-kotak yang lain baru dibangun untuk nantinya ditangani oleh karyawan PT Sikatan jika orang-orang dari PT JAP ini sudah selesai kegiatannya. Saat sedang istirahat siang di bawah pohon akasia yang tumbuh di camp Joni malah bertemu dengan bekas anak buahnya yang sering dianggap paling tua. “O Kas sedang menggau nare ikau je hitu?” Joni bertanya dan mendatangi orang tua tersebut. “Jon kamu masih di sini? Kukira sudah kembali ke Kurun,” Orang tua itu berkata tanpa menghentikan pekerjaannya. Ia menggaruk tanah merah di camp dan memasukannya ke dalam sebuah ember. “Untuk apa tanah ini Kas. Begitu repotnya ikau menggau tanah?” Joni heran juga dengan yang dikerjakan orang tua tersebut. “Ikau dia tawa Jon, di camp ini tanahnya are pilau,” Orang tua itu menjawab. “Kareh tanah te aku bawa ke sungai buat didulang,” terangnya lagi. “Emas Kas, wah bagus sekali....Buhen ikau malah umba survey di hutan. Lebih baik te mendulang emas je hitu?” Joni jadi banyak bertanya. “Menggau pilau te hanya sambilan Jon. Hari-hari aku di ladang, menggau pilau te hasilnya hanya kemujuran,” begitulah mereka berbicara urusan macam-macam. Tanah di camp PT Sikatan Wana Raya ini memang mengandung emas. Orang-orang kampung biasa mendulangnya sejak sebelum didirikan camp. Jadi di setiap sudut bangunan kayu sebenarnya terkandung emas. Wah betapa kayanya sebenarnya PT Sikatan ini. Hanya saja menurut cerita orang tua tersebut perusahaan tambang emas tidak tertarik berinvestasi di situ karena kalau diproduksi besar-besaran dengan mesin hasilnya tidak mencukupi ongkos produksi. Orang-orang kampungpun tidak menjadikan mendulang sebagai produksi utama karena mencari emas adalah pekerjaan berat dan harus punya modal besar. Mereka hanya mengandalkan tempayan dulang terbuat dari banir kayu. Hasil mendulang tidak pasti. “Paling hai aku dapat pilau puji sebutir benih Jon,” Orang tua itu meneruskan ceritanya. “Hari lain seminggu mendulang sudah beruntung dapat dua gram.” Satu gram emas paling dijual dua puluh ribu karena masih mentah dan tercampur dengan logam lain. Jadi untuk diproduksi memang hasilnya tidak besar kecuali hanya sebagai pekerjaan sambil lalu. Dua hari selesailah sudah. Joni memutuskan pulang, tetapi keinginannya singgah dulu di Tewah. Dian sudah memberitahu kalau Gugun dan sebagian orang-orang sudah berencana liburan di Tewah. Sayang mereka sudah turun tanpa mengajak Joni. Kalau orang seperti Mardi, Husen, Pak Amir berencana langsung ke camp km 4, tetapi kegiatan mereka memang perlu selesai sampai tamu-tamu meninggalkan PT Sikatan Wana Raya. Dikemasinya tas ransel, dibungkusnya parang mandau dengan kertas karton. Sayang parang mandau tersebut tidak bisa dimasukan dalam tas, jadi hanya ditenteng saja. Pagi tadi sehabis makan di dapur umum Joni sudah pamitan ke orang-orang PT Sikatan. Dari mereka ia mendapat kabar kalau siang ini ada beberapa logging turun membawa kayu. Karena itulah dengan sabar ia menunggu di jalan logging dekat pondok persemaian tempat bermalam selama di camp ini. Logging truk hanya bisa jalan jika tanah kering. Ini musim hujan, kesemapatan yang ada jelas dimanfaatkan perusahaan saat tidak hujan. Tanah basah membuat truck logging berbahaya untuk kesemuanya. Terus menanti di pinggir jalan, panas mulai menyengat membuat Joni menyingkir mendekati pohon akasia berteduh. Menunggu sesuatu yang tidak pasti sering menjengkelkan. Kesabaran Joni terbayar saat sebuah truck membawa kayu melintas. Distopnya truck tersebut, sopir tahu saja membukakan pintu dan mempersilahkan masuk. Lega hati Joni saat duduk di samping sopir. Tapi perjalanan cukup jauh sekitar 30 km sampai log pond. Di dalam truck Joni terguncang-guncang merasakan kemahiran sopir menjelajahi jalan tanah. Jika menanjak mesin seperti menderu mengeluarkan tenaga berat, lain saat menurun truck dipacu untuk persiapan saat menanjak supaya tidak kehabisan tenaga. “Lek kareh ikau pindah mobil je km 20 lah, logging te harus diistirahatkan dahulu saat estafet,” Sopir memberitahu Joni kalau truck ini hanya sampai di penampungan kayu estafet. Jelas jarak cukup jauh. Kayu produksi di km 65, untuk sampai log pond mobil pengangkut ngos-ngosan. Terpaksa dilakukan estafet di km 20 sebagai penampungan kayu. Dari km 20 baru ada logging tersendiri yang dipacu ke log pond. Biasanya dari areal produksi kayu yang diangkut lebih sedikit karena menempuh jarak jauh dan medan berat. Sedangkan dari km 20 tanahnya banyak datar sehingga logging berani mengangkut lebih banyak kayu gelondongan. Terlihat estafet kayu itu menunggu beberapa logging truck. Sebuah kepiting menaikan dan menurunkan kayu dari beberapa tumpukan gelondongan. Sampai di estafet Joni turun dan berjalan menuju truck yang sedang menyusun kayu untuk dibawa ke log pond. Orang-orang yang bekerja itu seperti tak peduli dengan kehadiran Joni. Mereka berurusan dengan kayu saling memberi aba-aba. Mungkin salah sedikit saja bisa lengser kayu tersebut membuat celaka beberapa orang di sekitarnya. Di sudut lain seorang tua berkulit hitam sedang menumbuk kulit batang dengan linggis. Sistem mereka borongan berdasarkan jumlah kubik kayu yang dikupas. Kayu-kayu seperti meranti, keruing, resak dan pantung mudah dikupas. Beberapa kayu tak mungkin seperti itu karena kulitnya seperti pasir saat dilinggis. Joni masih beruntung karena turun saat produksi kayu sedang dilaksanakan. Jika produksi kayu belum mulai, mobil melintas bisa berhari-hari baru ada. Makanya di penampungan kayu sementara inipun harus menunggu lagi, tidak tanggung-tanggung sampai dua jam. Kalau sudah seperti itu yang ada cuma capek, padahal tidak ada yang dikerjakan. Yang ada di penampungan kayu sementara cuma pos jaga dan beberapa pondok terpal orang-orang perusahaan istirahat. Terkadang orang-orang kampung melintas berjalan kaki. Berarti tidak jauh dari sekitar tempat estafet terdapat kampung. Kalau seperti ini Joni pun agak gelisah. Orang-orang produksi itu tak ada yang mengajaknya bicara. Mereka rupanya hanya fokus pada pekerjaannya. Antar mereka pun lebih sering hanya aba-aba atau isyarat untuk saling komunikasi. Dunia yang keras sekeras kayu yang menjadi tumpuan harapan berupa uang. Akhirnya ada juga logging truck yang mulai turun setelah muatannya mencukupi, sudah jam dua siang. Rasanya untuk menuju log pond yang berjarak 20 km itupun perlu perjuangan tersendiri. Padahal setelah logging truck menuju log pond hanya ditempuh sekitar satu jam saja. Log pond PT Sikatan Wana Raya terlihat luas. Tumpukan kayu menggunung menunggu dirakit. Berbeda dengan logging truck yang memerlukan jalan kering tidak terkena hujan, kayu rakitan untuk menghilir harus dalam keadaan air banjir. Jadi saat bulan kemarau seperti Juli, Agustus kegiatan merakit kayu terhenti. Orang-orang kapal gigit jari, bukan saja tidak ada pekerjaan tapi juga utang menumpuk. Saat kemaraupun harga-harga bahan pokok naik, karena angkutan dari Palangka Raya tersendat. Joni merasakan tetap asing di log pond PT Sikatan Wana Raya ini. Selain tidak terbiasa juga tidak ada yang dikerjakan. Joni merantau seorang diri, berbeda dengan Gugun dan beberapa orang Jawa lainnya. Mereka banyak tetangga atau bahkan familinya. Hanya kebiasaan di Kurun asal turun di lanting orang kapal, kemungkinan nanti ada getek orang kampung lewat yang bisa ditumpanginya. Ke sanalah Joni sekarang mencoba. Sekali lagi keberuntungan di tangan Joni, sebuah speed kecil perusahaan menghilir ke Tewah memberikan tempat buat Joni. Speed kecil itu biasanya dipakai manager camp jika menghilir ke Palangka Raya bahkan sering menuju kantor cabang Banjarmasin. Dengan speed lebih cepat sampai di Tewah. Lagi-lagi itu kota yang asing buat Joni. Baru sekali inilah ia menginjak kaki di kota kecil di sepanjang Kahayan. Ternyata speed merapat jauh di hilir Tewah, mendekati pasar. “Kamu orang baru di sini, kelihatannya masih bingung di Tewah?” Sopir speed seperti tahu keadaan Joni yang ragu-ragu turun di dermaga. “Iya Lek baru sekali ini aku di Tewah, tapi banyak temanku yang sudah menginap di losmen Karya Sempurna,” Joni menjawab mencoba memandangi dermaga tempat speed merapat. “Losmen Karya Sempurna ada di hulu Lek, terpaksa kamu nanti jalan kaki dari pasar ke hulu sekitar dua kilo,” Sopir speed menunjuk arah jalan menuju hulu. Berarti tadi speed melewati losmen Karya Sempurna yang disebut Joni. “Terima kasih tumpangan speed nya Lek,” Joni berkata seraya beranjak naik tangga dermaga menuju jalan. Sementara awak speed yang beberapa orang menurunkan barang mungkin berupa dokumen untuk dibawa ke tempat tersendiri. Asing benar-benar asing, tempat yang asing. Dibenak Joni terpikir juga betapa jauhnya ia merantau. Ini tempat seperti dunia tersendiri. Bukan tempat sepi tetapi merupakan tempat yang berlainan budaya. Sebuah tempat yang hanya bisa ditempuh dengan jalur sungai, penamaan seluruh tempat berhubungan dengan sungai sampai cara menyatakan arahpun merujuk ada aliran air sungai. Tak mungkin Anda di Kalimantan akan ditunjukan arah berdasarkan mata angin. Di suatu tempat manapun Anda berdiri selalu di hilir atau di hulu. Jika bertanya arah mata angin orang-orang geleng kepala tak tahu. Joni maklum dengan gelengan kepala orang-orang yang ditanya seperti itu. Kenapa? Seluruh jalur sungai berkelok-kelok melingkar dari hilir menuju hulu. Jika kita berada di atas kapal atau speed sepertinya lurus saja, yang tahu sopir speed atau nakhoda kapal. Kemudi mereka berputar-putar mengikuti kelokan sungai. Jika diukur dengan kompas jarumnya akan terus bergerak arah utara selatan baru tahu bagaimana alur sungai berkelok-kelok. Jadinya hanya hilir dan hulu yang paling tepat sebagai penunjuk arah. Seorang diri berjalan kaki kearah hulu, tas ransel di punggung dan parang ditenteng di tangan kanan. Membedakan dengan gaya orang-orang di Tewah adalah sepatu boot yang terasa berat di kaki membuat jalannya agak lebih lambat. Uuups ternyata kota Tewah terasa lebih ramai dari Kuala Kurun. Pasarnya lebih luas dengan komplek pertokoan lebih besar. Berbeda dengan Kuala Kurun yang tanahnya banyak menanjak seperti berbukit-bukit, Tewah terasa datar nun di kejauhan pegunungan tampak biru berarti benar-benar sebuah lembah di tepi Kahayan. Kalau jalan beraspal sama saja dengan Kurun. Jalan kelas empat dengan sedikit mobil melintas, yang banyak adalah sepeda motor yang meraung-raung keras merajai jalan karena belum ada rambu-rambu lalu lintas yang memadai. Bahkan mungkin belum ada polisi lalu lintas di seluruh daerah Gunung Mas ini. “Huh dasar orang hutan! Primitif sekali ikau Jon,” seseorang menyapa, itu suara Dian Kancut. Joni segera merasa lega, dari tadi berjalan rasanya seperti terasing. “Hei Yan di mana kalian menginap. Aku tak tahu losmen Karya Sempurna?” Joni langsung bertanya mengurangi kegugupannya karena terkejut. “Sebenarnya dari tadi aku sudah melihatmu Jon. Coba ikau terus ke hulu pasti tersesat,” Dian menjejeri langkah terus menuju ke hulu. “Eiit belok kiri Jon, wah benar-benar tak tahu jalan!” Dian terus menggiring Joni yang mulai kebingungan tak tahu arah. “Yang benar Yan, jangan buat aku semakin menjauh dari tempat menginap kalian!” Dongkol juga Joni diperlakukan seperti itu oleh Dian. Memang ia buta sama sekali di Tewah sini. Gang-gangnya sempit berjubel rumah panggung. “Kalau kamu tadi belok kanan, mentok di rumah orang Jon,” akhirnya Dian menggiring Joni ke sebuah gang. Tak lama kemudian terdapat gang dari papan kayu cukup lebar yang menunjukan arah tepi sungai. Benar juga terpampang nama losmen Karya Sempurna. Sebuah losmen dari kayu bertingkat dua. Dua orang perempuan menyambut kedatangan Joni dan Dian. Rupanya mereka sudah mengenal Dian hingga langsung ngobrol, kemudian salah satu di antara perempuan muda tersebut memberikan sebuah kunci untuk Joni kamar nomor 10. “Kamar ikau je tingkat atas Lek, di samping kamar Dian,” Perempuan muda tersebut tersenyum manis seperti sudah kenal lama dengan Dian. “Wah ketun te seperti sudah kenal, apa memang berteman ya?” Joni menanggapi sambutan kedua perempuan sepertinya tidak canggung dengan mereka berdua. “Jangankan dengan Dian yang orang Tumbang Miri, kami kenal juga dengan Ramlan dan Dodo. Mereka te biasa bepandir dengan kami lewat HT,” Perempuan itu menjawab keheranan Joni. “Ooo begitu....,” Joni hanya bisa menyatakan kagum. Joni tak mengira perempuan-perempuan muda tersebut malah lebih akrab dengan orang-orang Satpam dan Satgas itu. Ternyata bukan cuma perempuan penyambut tamu itu saja yang kenal, bahkan pemiliknya yang konon janda kaya raya pemilik losmen mengenal Satpam tersebut. Ck ck ck kadang-kadang mengherankan, orang-orang seperti Satpam dan Satgas itu terkenal di mana-mana tidak hanya di tempat Pak Nardi yang mesum tapi juga sampai terkenal dan menjadi idola anak buah losmen Karya Sempurna. Sangat jauh dibandingkan dengan orang-orang survey seperti Joni, Gugun, Junaedi atau asisten-asistennya semacam Tobias, Sahrun atau Husen. Orang-orang survey tenggelam namanya di sela-sela tegakan kayu di hutan. “Gugun paling di kamar sedang tidur Jon,” Dian memberitahu Joni saat hendak ke kamar untuk meletakan tas bawaannya. Setelah selesai dengan urusannya Joni berniat mandi, sebelumnya ia masuk ke kamar Gugun di sebelahnya. Memang sedang tidur, satu ruangan kamar berisi dua ranjang bisa untuk berdua. Di tingkat dua terdapat teras yang memaparkan pandangan ke arah sungai Kahayan. Di sanalah Joni duduk di bangku kayu memandang suasana sore. Di bawah sungai terdapat lanting milik losmen dan beberapa getek. Lanting-lanting itu ternyata berisi drum-drum minyak tanah. Jadi juragan losmen ini nyambi jual minyak tanah yang dikelola beberapa anak buahnya yang lelaki. Dari sebuah kamar bersebelahan kamar Dian keluar seorang yang segera dikenal Joni. “Wah Senip, belum kembali juga sampean ke Kurun?” Joni menyapa saat Senip orang Lombok mengucak-ucak matanya habis tidur siang. “Sampean Jon, dengan siapa sampai di sini?” Heran senip karena tak mengira Joni yang jarang keluyuran ternyata sudah di tingkat atas losmen. Senip yang masih harian lepas berani-beraninya menyewa kamar losmen, jelas uangnya banyak habis untuk bayar sewa nanti. Tapi dari kamar Senip keluar juga teman-temannya orang Lombok, ternyata malah satu kamar tersebut dihuni empat orang mungkin patungan. “Aku baru sampai di sini, sendiri sejak dari camp produksi,” Joni berkata mempersilahkan Senip duduk di sampingnya. “Buat kami ini serba salah Jon, di sini terus menghabiskan uang ke Kurun di camp km 4 juga tentunya belum ada kegiatan jadi ya sudah mejeng dulu di Tewah hitung-hitung melihat acara Natalan di sini,” Senip berkata tangannya menyalakan rokok. Kamar mandi dan WC ada di kamar atas tetapi airnya sudah habis karena hanya dijatah pagi hari saja. “Ayo mandi Nip, nanti malam kita jalan-jalan di Tewah,” Joni yang sudah memegang gayung berisi sabun dan pasta gigi mengajak Senip untuk mandi di lanting. Tidak menunggu jawaban Senip Joni turun ke tingkat bawah, dari sana masih melangkah turun lagi dengan tangga sampai di lanting. Lanting itu berada di genangan air cukup nyaman karena ada tempat terbuka untuk menempatkan getek dan mengangkut barang. Seorang penjaga drum minyak menyapa dalam bahasa Ngaju tapi kemudian mempersilahkan Joni setelah tahu kehadirannya sebagai tamu losmen. Tanpa sungkan lagi Joni mengguyur badannya dengan air sungai Kahayan. Segar rasanya, seharian dari camp Sikatan hingga ke log pond waktu habis di perjalanan. Badannya jelas penuh bekas keringat mengering dan debu jalanan. Senip menyusul mendatangi Joni sekalian mandi di sampingnya. “Jon Pak Sahid datang juga ke losmen ini,” Senip memberitahu akan kedatangan Pak Sahid dari camp produksi PT Sikatan Wana Raya. “Pak Sahid? Wah katanya beliau hendak pulang langsung ke Kurun ikut rombongan Husen?” Joni jadi tercengang juga ternyata setelah sampai di Tewah masih ada orang yang menyusulnya. “Iya Pak sahid tidak jadi ikut rombongan Husen. Katanya terlalu lama menunggu,” terus memberitahu Joni kedatangan senior orang survey di camp km 4. “Kamarmu masih kosong Jon, biar kalian berdua saja,” Senip berkata lagi. “Ya biar saja Pak Sahid bersamaku nanti,” Joni senang juga ada teman dalam kamar. Pak Sahid mungkin berpikiran sama dengan orang-orang seperti Joni, Gugun dll. Pekerjaan habis apa lagi yang ditunggu. Akhirnya lebih baik turun menyusul rombongan yang sudah ada di Tewah. Biar nanti semuanya ramai-ramai turun di log pond PT JAP. Setelah selesai mandi Joni segera menemui Pak Sahid yang sedang duduk di kamar Gugun. “Pak kalau aku tahu bapak hendak ke Tewah, sekalian bersama tadi dari camp,” Joni langsung berkata saat sudah berkumpul dengan Gugun. “Biar bapak tidur saja denganku di kamar sebelah,” lanjutnya lagi sembari memberikan kunci kamar. “Terima kasih Jon, aku memang mendadak membuat keputusan. Orang-orang tinggal di camp produksi nanti sampai habis natal. Aku tak mungkin ikut mereka,” Pak Sahid menjelaskan keadaan di camp produksi PT Sikatan Wana Raya. “Hari-hari natal di sini mungkin ramai silakan kalau kalian hendak jalan-jalan, aku malah mau tidur saja di kamar,” Pak Sahid berkata mengakhiri pertemuan sore itu. Karena masih sore semua orang sepakat jalan-jalan di Tewah. Sasaran utama daerah pasar, di sana cukup banyak barang-barang yang menarik. Berjalan kaki di kota kecil seperti Tewah tidak terasa capek. Jaraknya dekat-dekat dan jalan utama yang beraspal hanya dua tiga kilo meter. Selebihnya jalan tanah ke kampung. Bedanya pertokoan di Tewah ini terasa lebih ramai. Meneydiakan barang kelontong, elektronik, pakaian dan alat-alat rumah tangga. Joni mencoba menawar sebuah celana jeans yang bermerk, rasanya cukuplah, Joni coba menawar. Cukup mahal bila dibandingkan di Jawa. Setelah mendapat satu stel Joni melangkah berkumpul ke tempat Dian dan Gugun berada. “Tewah ini cukup ramai dari pada Kurun ya, lebih banyak barang tersedia di sini,” Joni berkata sambil mengamati gang-gang pertokoan yang ada. “Tentu saja Jon, kota ini ramai karena banyaknya perusahaan kayu dan pertambangan emas yang mencari kebutuhan pokok di sini,” Dian menjawab keinginan tahuan Joni. “Tambang emas, maksudmu orang kampung yang biasa mendulang di sungai?” Joni makin tertarik. “Bukan, semua tambang emas perusahaan besar, lihat gunung yang terlihat dari sini. Itu salah satu areal milik mereka,” Dian menunjuk ke arah pegunungan yang terlihat membiru dari lembah kota Tewah. “Pantas saja kalau begitu,” Joni jadi tahu sekarang kenapa kota kecil ini terasa lebih ramai. Perusahaan kayu saja terlihat bertebaran di seberang Tewah mungkin terdapat enam perusahaan. Bandingkan dengan Kuala Kurun yang hanya ada Tanjung Raya dan PT Domas Raya. Setelah itu adanya tambang emas milik perusahaan yang semua besar. Jelas untuk segala kebutuhan logistik semua lari ke Tewah. Gugun sendiri dari tadi berada di salah satu toko elektronik, entah apa saja yang dicarinya. “Ayo ikut aku Jon, aku hendak menggau obat,” Dian mengajak Joni menuju salah satu toko obat. “Cari obat apa Yan, memang kamu sakit?” Joni terpaksa mengikuti Dian. Tapi Joni segera menyadari arah pembiacaraan Dian. Obat itu tersedia melimpah di mana-mana di Kalimantan. Sampai di toko obat seseorang menyambut ramah kedatangan Dian. “Menggau obat nare Lek?” Ditanyanya Dian yang antusias mendapatkan obat aneh. “CTM tege Lek?” Dian langsung menyebutkan sesuatu. “Oh obat tidur, are Lek hendak pire ikau nukar?” Penjual obat itu mengambil satu botol berisi pil CTM. “Sebutir pire rega obat te Wal?” Dian bertanya harganya. “Murah Lek hanya lima ratus saja,” terus penjual obat membeberkan obat di depan Dian. “Bungkuskan aku tiga puluh butir Lek,” berbisik Dian berkata supaya tidak terdengar orang-orang di sekitar yang sedang berbelanja. Penjual obat itu agak terperanjat. Cukup banyak permintaan Dian, tapi segera saja orang itu tahu maksud Dian membelinya. Joni hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Dian ini. Orang ini sudah kecanduan obat. Banyak orang di camp yang diketahuinya suka mabuk minum obat. Tapi Dian termasuk yang paling parah. Setelah mendapatkan barang Dian segera berlalu dengan mengajak Joni cepat-cepat ke losmen. Lagi-lagi terpaksa Joni mengikuti saja. Tak lupa diajaknya Gugun untuk pulang. Sampai di losmen Senip sedang duduk di teras tingkat dua. Dian langsung mendekati Senip dan mengajaknya minum. Joni dan Gugun tahu apa yang hendak mereka lakukan. Dibiarkannya saja kedua orang itu masuk kamar. Di dalam kamar itu obat pasti dicampur ke dalam sprite kaleng yang sudah dibeli dulu oleh Senip. Cukup lama akhirnya keluar juga dua sosok orang yang mulai terpengaruh obat. “Tidak lama kalian menunggu Jon, urusan cuma sebentar kok,” Senip berkata, suaranya belum terpengaruh obat. “Ayo kita jalan-jalan malam ini. Di Gereja kani tege perayaan natal pasti ada keramaian,” Dian juga masih gagah segera mengajak Joni dan Gugun. Gugun dan Joni hanya saling pandang saja. “Aku lapar Yan, kita kuman helo kareh ke gereja bersama,” Joni mengusulkan sesuatu. Dari tadi perutnya belum terisi makanan. “Wah kalau makan di lantai bawah saja bisa pesan Lek, ayo kita turun,” Dian antusias juga diajak makan oleh Joni. Akhirnya mereka berempat memesan makanan di lantai bawah. Dua orang pelayan perempuan memandangi aneh melihat kelakuan Senip dan Dian. Tapi lama-lama mereka paham juga. Mereka berempat kemudian makan dengan lahap. Lebih tepat Joni dan Gugun yang makan karena lapar. Dian dan Senip tak berselera apa-apa. Lagi-lagi dua pelayan perempuan itu maklum, mereka malah tertawa cekikan di belakang melihat kedua orang yang teler. Paling-paling Dian dan Senip hanya kuat minum-minuman yang bergula saja, yang lain nasi dan ayam tak mampu hanya dipegang-pegangnya kebingungan. Gugun akhirnya berkata, “Yan kalau ikau tidak kuat jalan-jalan lebih baik masuk kamar saja,” dilihtanya kemudian Dian dan Senip yang sudah mulai teler akibat obat yang mereka minum. “Dia Lek, aku te masih kuat biar sampai jewu!” Dian sesumbar entah sadar tidak dengan kata-katanya sendiri. Cepat-cepat Joni berdiri membayar harga makanan. Gawat deh mereka membawa orang mabuk jalan-jalan. Tapi Dian dan Senip tetap ngotot melihat keramaian natal di gereja. Ya sudah mereka berempat jalan kaki ke paasar. Letak gereja yang ada acara natalan tidak terlalu jauh dari pasar. Sampai di dekat gereja sudah ramai orang berkumpul. Harusnya ini waktu ibadah orang kristen tapi itu rupanya sudah berlalu. Kebanyakan orang-orang berharap lebih pada pestanya yang mengadakan pertunjukan band musik di panggung terbuka. Rupanya itulah tujuan Dian dan Senip mabuk-mabukan. “He he he Gun orang tua itu kepalanya kok besar ya....?” Dian berkata sambil menunjuk ke arah seseorang berjalan. Nah nah Gugun dan Joni jadi was-was. Ini dia yang dikhawatirkan kedua orang ini. Jika mabuk obat Dian malah terhalunisasi. Entah mungkin karena syarafnya ada yang rusak saking seringnya menggunakan obat. Ini berbeda dengan Senip, dia hanya bergoyang-goyang badannya mengikuti irama musik seperti menghayati benar. “Sudahlah sudahlah ayo kita pulang saja ke losmen!” Gugun mencoba membujuk kedua orang yang mabuk obat untuk cepat berlalu. Tak enak mendengar kata-kata Dian yang sudah tak terkontrol. Rupanya Senip juga merasakan kepalanya memberat rasanya kemampuannya jauh berkurang. “Ah biar aku pulang saja Gun, kepalaku rasanya berat lebih baik aku di dalam kamar saja. Menyesal aku tak bisa menemani kalian,” katanya terus terang. “Kamu bisa pulang nggak?” Joni segera menggamit tangan Senip. “Biar kuantar sampai ke losmen,” terus ditariknya tangan Senip untuk berjalan menyusuri gang-gang menuju hulu. Senip yang terpengaruh obat mengiyakan saja mengikuti langkah Joni yang mengantar sampai losmen. “Jon aku masih bisa jalan kok, tunjukan saja arah yang benar,” rada ngotot Senip berucap supaya tidak terlihat kelemahannya. Joni sudah tidak peduli kata-kata Senip terus berjalan menggamit lengan Senip supaya tidak terjatuh. Lama juga rasanya mengantar orang yang mabuk berat. “Biar aku jalan sendiri Jon, aku tidak akan tersesat,” Senip mencoba ngotot untuk sendiri. Baru setelah dekat losmen Joni melepaskan tangan Senip. Dibiarkannya orang itu berjalan sempoyongan. Setelah bayangan Senip lenyap masuk losmen barulah Joni kembali ke keramaian di dekat gereja. Gugun dan Dian tidak di belakangnya berarti kedua orang tersebut masih di sana. Dilihatnya Dian terduduk di batu dekat panggung hiburan. Beberapa orang di sekitar itu juga sebenarnya banyak yang minum-minuman beralkohol tetapi pengaruhnya tidak separah Dian yang mabuk obat. Gugun mencoba membujuk Dian untuk kembali ke losmen, tetapi Dian rupanya ngotot sampai acara berakhir. Sudah jam sebelas malam, acarapun sudah mulai bubar, “Ayo Yan kita pulang saja, tak ada apa-apa lagi di sini!” Gugun mencoba berkata kepada Dian yang terduduk di batu. “Aku dia nare Lek, masih kuat nanjung. Ayo kita ke tempat kakakku di sebelah sana!” Wah ternyata Dian ini ngotot begadang. Entah dari mana timbul pikirannya hendak berkunjung ke salah satu tempat keluarganya. “Ayo kita ke tempat kakakku saja, kareh kukenalkan dengan kakak sepupuku di sana,” Dian bangkit sempoyongan tetapi dipaksanya berjalan. Gugun dan Joni geleng-geleng kepala melihat keras kepalanya orang ini. “Memangnya kamu hafal jalan di sini Yan?” Akhirnya Gugun membiarkan saja Dian berjalan mencari tempat yang diinginkannya. “Aku te bara kurik tege je Tewah, jelas hafal seluruh tempat,” Dian berjalan menyusuri gang yang akhirnya menuju padang ilalang. “Benar-benar kamu tahu tempatnya Yan. Ini padang ilalang terus berjalanpun sampai di sungai. Bisa-bisa ikau tercebur kareh,” Joni berkata sambil mengira-ira penglihatan di depannya yang gelap. Kemungkinan di depannya ada sungai karena jalan menurun. “Kalau benar ada sungai ya benar itu tempatnya, kareh tinggal menyeberang jembatan pasti sampai!” Dian masih mampu bicara dan bergerak menuruni jalan. Gelap....gelap, memang ada jembatan tapi hanya titian dua papan kayu. Di seberang sana terdapat pondok kecil mungkin rumah dengan lampu minyak. “Kuweh jembatan Jon?” Dian meraba-raba bahkan jelas sudah tak mampu berjalan lagi. “Ini jembatannya Yan, bagaimana ikau hendak menyeberang?” Gugun juga jadi senewen melihat kelakuan Dian. “Biar aku menyeberang dulu, ketun di belakangku,” Dian berkata kemudian bergerak maju, tangannya meraba-raba hingga menyentuh papan jembatan. Masya Allah ia membungkuk kemudian merangkak menyeberangi jembatan tersebut. Heh dasar mabuk!!! Joni dan Gugun hanya geleng-geleng kepala, setelah Dian berhasil menyeberang barulah mereka kemudian bergantian mengikuti langkah Dian, tentu tidak merangkak karena bisa meniti papan kayu jembatan. Kali ini Gugun sudah tidak peduli lagi keadaan Dian. Langsung dipapahnya Dian supaya bisa berjalan biarpun tertatih-tatih. “Ya ya itu rumahnya,” kata Dian menunjuk sebuah rumah. Joni dan Gugun lega mendengar kata-kata Dian kalau mereka sudah sampai di rumah keluarganya. Joni segera mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat. “Oiii orangnya adakah!” Joni setengah berteriak mengharapkan penghuninya keluar. Dua tiga kali barulah ada yang membukakan pintu. Seorang lelaki keluar, yang diperhatikannya adalah Dian yang segera dikenalinya. “Oh ikau Yan...Wah ayo tame helo. Lama Dian te dia puji dumah hitu,” nyerocos orang tersebut sambil mempersilahkan mereka bertiga masuk rumah. Barulah lega Gugun dan Joni, berarti tidak salah kalau ini memang rumah keluarga Dian. Gugun dan Joni jelas tak tahu apa-apa di Tewah ini. Andalannya hanya Dian yang keluyurannya biasa di daerah ini. “Kalau tadi ketun dia menyeberang jembatan, bisa-bisa dapatnya sepondo Lek,” keluarga Dian menerangkan saat Gugun menyeberangkan Dian tadi Hiiiyyyy merinding juga Joni mendengar kata sepondo. Itu tiang kayu berupa patung yang biasanya bersanding dengan sandung tempat tulang-tulang orang yang ditiwahkan. Dian sendiri tak banyak bicara lagi, kedatangannya ke tempat keluarganya ini juga untuk menunjukan bahwa ia banyak memiliki teman di perusahaan. Berada di tempat yang masih asing kemudian mengalami kejadian yang aneh-aneh sepertinya menjadi kejutan bagi hidup Joni. Inilah tempat yang berlainan sekali budayanya. Dari bahasa, kehidupan sehari-hari sampai pelosoknya masih baru bagi Joni. Tetapi Joni dan Gugun tambah melongo saat seorang perempuan masuk ke dalam rumah menyapa mereka dalam bahasa Jawa. “Mas-mase niki bener saka Jawa ya?” Perempuan yang masuk langsung menyapa Joni dan Gugun. “Loh Mbak sampean kok bisa basa Jawa?” Gugun yang langsung keheranan. “Kula nggeh asli Jawa Mas, neng kene maune nyambut gawe. Mung saiki kula sampun krama kalian sedulure mase Dian,” katanya lancar dalam logat Jawa Timuran. “Lah asline pundi Mbak?” Joni jadi bertanya juga. “Kok ngantek adoh banget anggone golek gawean?” “Kula niku saking Lumajang, tumut tiyang ngantek mriki.....,” diceritakannya asal mula dirinya merantau hingga terdampar dan menikah dengan orang lokal. Ternyata yang dimaksud bekerja itu adalah menjadi penghuni lokalisasi di suatu tempat di Tewah. Dulu ia dibawa oleh seseorang di Palangka Raya untuk bekerja dengan gaji yang besar, tetapi pekerjaannya tak lebih sebagai pelacur. Manggut-manggut Joni dan Gugun mendengar cerita perempuan mantan pelacur yang berada di depannya. Biarpun terjebak dalam kubangan lumpur perempuan itu tidak merasa telah pernah ditipu orang dalam kasus human traficking. Rupanya perempuan itu juga merasakan senangnya ada orang Jawa yang berkunjung di tempatnya sekarang. Rasanya rasa rindunya terhadap Jawa terobati sekarang. Tak terasa malam sudah larut, rasanya kantukpun tak tertahan. Joni memberi isyarat kepada Gugun untuk pulang kembali ke losmen. Akhirnya mereka berdua pamit untuk pulang karena tidak enak meninggalkan teman-temannya di losmen. “Kapan-kapan ketun singgah hinde je hitu lah,” terakhir saudara sepupu Dian berucap saat Joni dan Gugun keluar rumah. Sempat ditunjukan jalan yang lebih mudah menuju losmen. Hah ternyata jalan yang ditunjukan Dian biarpun lebih dekat tetapi juga lebih menyeramkan. Dasar badung anak itu! Dian sendiri sudah terkapar di kamar merasakan kerasnya reaksi obat. Sampai di losmen Gugun dan Joni langsung masuk dan merebahkan tubuhnya. Malam itu juga Joni ngorok di ranjang Dian yang kosong di losmen. Pagi hari lonceng gereja terdengar sekitar setengah kilo dari losmen. Orang-orang kristiani berdatangan ke gereja menyambut natal. Losmen jadi sepi karena sebagian besar karayawannya orang kristen termasuk dua orang perempuan yang bertugas menyambut tamu. Pak Sahid yang akhirnya bangun paling pagi jadi termangu-mangu duduk sendirian di teras. Orang tua itu maklum saja dengan pemuda seperti Joni, Gugun, Senip yang semalam pasti begadang di keramaian panggung terbuka biarpun acara dari sebuah gereja. Jam sembilan siang barulah Joni keluar kamar. Matanya masih merah terasa pedih karena begadang semalaman. “Pak lama menunggu, maaf kami sampai kesiangan,” Joni berkata mendekati Pak Sahid yang sedang menghisap rokok. “Ha ha ha kamu Jon, dapat bebinian kadak malam tadi?” Pak Sahid malah menggoda Joni yang masih mengantuk. “Berapa botol malam tadi habis Jon?” Malah bertanya soal minuman memabukan beliau. “Nggak Pak aku dia mihup. Malah Dian sama Senip yang mabuk obat, sekarang Dian paling di rumah keluarganya di hulu sana,” Joni mencoba menunjukan arah kemungkinan rumah keluarga Dian yang dikunjunginya semalam. “Pantas tadi malam aku mendengar bunyi gelas jatuh di kamar sebelah. Berarti Senip yang lagi mabuk,” kata Pak Sahid lagi. Berarti keadaan Senip sama saja dengan Dian. Masuk losmen terhuyung-huyung kemudian menabrak perabotan kamar. Kalau teman sesama Lomboknya paling-paling hanya minum anggur malaga saja. Orang mabuk alkohol dengan obat memang berbeda. Yang minum perut terasa mual sebagian pasti muntah di tempat atau kencing sembarangan karena kebanyakan air. Kalau mabuk obat kelakuannya yang jadi macam-macam. Senip masih mending paling-paling tubuhnya terasa nyaman dengan pikiran mengkhayal seperti nyata. Kalau Dian mungkin syaraf-syarafnya sudah banyak rusak, ia sampai terhalusinasi terhadap benda dan orang yang melewatinya. Dalam pandangan Dian orang-orang yang lewat tiba-tiba saja kepalanya bisa besar, mencong kanan kiri, meringis bengis dan kadang-kadang membuat Dian tertawa, lain saat cemas dan seperti ketakutan. Mereka berdua ngobrol di teras sampai orang-orang dari kamar sebelah terbangun semua. Hari sudah siang tentu panggilan alamiah dari perut membuat mereka membuka mata. Senip pun sudah bangun matanya kuyu tetapi badannya seperti terasa ringan. Sisa-sisa reaksi obat di dalam darahnya masih ada. Itu justru yang membuat tubuhnya terasa nyaman sebelum akhirnya habis kemudian tersiksa meminta jatah obat lagi. “Mana Dian Jon?” Senip bertanya saat dilihatnya Joni dan Pak Sahid sudah berkumpul dengan Gugun dan teman sesukunya. “Dian nggak usah dipikirkan Nip. Itu orang nyaman saja tinggal di kampungnya sendiri,” Joni menjawab pertanyaan Senip. “Yang penting kita ini sekarang bagaimana, memangnya kamu hendak terus-terusan menginap di losmen?” “Ya nggak Jon, cepat kita kembali ke Kurun. Rasanya tak ada gunanya juga kita di sini terus-terusan,” Senip berkata tangannya digerak-gerakan seperti senam. Sisa-sisa obat membuat darahnya mengalir lancar mungkin terasa nikmat biarpun nantinya berganti dengan nyeri-nyeri di tulang. Nikmat tapi menyengsarakan itulah obat. “Aku tadi malam minum sprite yang dikasih obat oleh Dian, entah berapa biji masuk. Kalau hanya satu dua biji tak mungkin seperti ini,” katanya lagi. “Setahuku Dian beli obat itu sampai tiga puluh butir, jika yang dicampurkan sepuluh biji saja dalam sprite jelas teler kamu Nip,” Joni memberitahu Senip. Sekarang Senip jadi tahu, ia hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja. “Biar kita pulang ke Kurun agak sorean saja. Ketun silakan saja mandi dan makan-makan dulu. Setelah itu bayar sewa kamar masing-masing. Jika sempat kita ke pasar berbelanja dulu habis itu carter saja getek beramai-ramai ke hilir,” Pak Sahid akhirnya memberi komando untuk orang-orang supaya berbenah. Kini tak ada lagi yang membantah ucapan orang yang dituakan oleh mereka di camp km 4. *** PT JAP Camp km 4, Tak ada lagi yangd diurus Joni hari ini kecuali surat ijin cuti. Tiga tahun merantau di Kalimantan baru sekali inilah hatinya mantap untuk pulang ke Jawa. Rasanya tabungannya mencukupi untuk perjalanannya pulang pergi biarpun rencananya hanya memakai kapal penyeberangan antar pulau. Tapi ada yang menggelisahkan hatinya. Sebuah perasaan seorang lelaki yang mendambakan cinta seorang perempuan. Hari-hari di camp sambil mengurusi ijin cuti selalu diperhatikannya sesosok perempuan yang mengisi hatinya. Ipah di mess, entah apa yang dilakukannya selalu membuat Joni tertarik. Ia mencoba memberi isyarat kepada pujaan hatinya dengan berbagai cara. Terkadang mendatangi ke persemaian dengan pura-pura ikut membantu, duduk di teras dapur menunggu kemunculan Ipah di luar mess atau menyapanya malam hari sebelum Ipah lenyap masuk kamar tidurnya. Bagaimana tanggapan Ipah? Joni merasa peluangnya tetap ada. Tapi perasaan rindunya terkadang meledak tak tertahan. Saking gelisahnya akhirnya malam-malam membuat surat dan menyelipkannya di jendela kamar Ipah, singkat saja. To Ipah di tempat, Dengan memberanikan diri Joni memberi Ipah surat, sekian lama di camp mungkin telah memiliki perasaan suka terhadap Ipah. Segala masalah sekarang tergantung Ipah menerima atau tidaknya...... Terima kasih. Ttd.... Dengan perasaan yang sulit dikatakannya esoknya Joni sengaja bangun paling pagi dan duduk di teras dapur. Padahal dapur umum biarpun sedang sibuk tetapi pintunya tetap tertutup belum menerima orang-orang sarapan. Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul, jendela kamar Ipah terbuka. Kepalanya melongok keluar karena matanya membentur sesosok tubuh yang sedang menantinya. Ipah memandang tajam Joni, tak berkata apa-apa......, kemudian tersungging sebuah senyuman sebelum akhirnya lenyap menuju dapur belakang. Bagi Joni dunia serasa bergoyang, senang sungguh senang. Ini pertama kalinya Joni mengungkapkan perasaan terhadap perempuan. Ada juga perasaan malu, yang tidak bisa dimengertinya jantungnya berdebar-debar membuat darahnya mengalir deras menjadikan rona mukanya kemerah-merahan. Pintu dapur akhirnya terbuka. Seorang perempuan si Mbok dapur menyapa Joni. “Kowe Jon, arep sarapan apa gawe wedang?” Si Mbok mempersilahkan Joni masuk. “Aku gawe wedang teh disik Mbok, sarapane mengko wae,” Joni tak sungkan langsung masuk dan membuat teh manis dari air termos yang tersedia. “Sida bali ora kowe nang Jawa Jon?” Si Mbok bertanya lagi. “Aja lali gawa oleh-oleh kanggo si Mbok.” “Ngge mangke Mbok, aku bali langsung wae nek surat cutine wis metu sekang kantor. Jarene telung dina maneh,” Joni terus berbicara seputar rencananya hari-hari belakangan ini. Setelah membuat air minum Joni segera melangkah keluar. Sambil berjalan menuju mess bujangan ditengoknya jendela kamar Ipah. Tak ada orangnya, tetapi perasaannya menyatakan Ipah di belakang sedang memasak. Lagi-lagi berdesir hatinya. Perasaannya terus bergelayut membuat kegiatannya hari-hari ini seperti ragu-ragu. Makan kadang tak berselera membuat Gugun dan teman-temannya sekamar heran. Kalau sedang bermain kartu remi, wah permainannya berantakan dan kalah terus. Oh dunia kenapa diciptakan makhluk perempuan yang membuat lelaki jatuh cinta..... Sorenya saat Ipah mandi di sungai di belakang persemaian, Joni mengendap-endap mendatanginya. Ipah tahu saja dan sepertinya tidak menolak kehadiran Joni. “Maaf Pah aku menderu ikau,” Joni mulai mengajak bercakap-cakap Ipah yang sibuk mengguyur tubuhnya yang terbungkus kain jarit untuk mandi. “Dia nare Jon, aku sudah terima suratmu semalam,” Ipah berkata melegakan hati Joni yang sebenarnya kikuk. “Aku dengar ikau hendak bulik ke Jawa, wah tentu senang hatimu Jon.” “Iya aku sudah tiga tahun dia bulik Pah, hari ini kesempatan buatku saat cuti tahun ini,” Joni mulai bisa berkata sepertinya percakapan mereka jadi nyambung. “Eh Jon, di Jawa kani pasti are uluh bawek behalap. Pastinya bisa lupa ikau dengan bawek Kurun,” Ipah menggoda Joni. “Ah yang benar Pah, uluh bawek te are, tapi ewen belum tentu suka denganku,” Joni berterus terang menyampaikan keadaan. “Ikau te terlalu pesimis, belum mencoba sudah berpikir yang bukan-bukan,” terus Ipah menggoda Joni. Mereka bercakap-cakap sampai Ipah selesai mandi. Hari menjelang maghrib seperti kedatangannya ke sungai tempat Ipah mandi kali ini pun Joni mengendap-endap pulangnya. Tak berani dia mengiringi Ipah pulang, bisa-bisa dicurigai orang camp, gawat bisa-bisa dikenai hukum adat nanti. Dunia seperti milik Joni, hari-harinya senang menunggu surat cuti keluar. Angan-angannya tentang masa depan melambung. Inilah dirinya sebagai lelaki, bekerja di rantau jauh menyeberang pulau dengan segudang harapan. Bisa pulang ke kampung halaman di Jawa dengan gagah tidak membuat malu karena keberhasilannya dalam bekerja. Jiwanya berbisik, “Hutan inilah duniaku, petualanganku dan mungkin matiku nantinya.” Esok siangnya sehabis makan di dapur, lagi-lagi Joni memandangi jendela kamar Ipah. Ah ada orangnya, tetapi terlihat bersama kakaknya yang istri Pak Jali di belakang dapur. Sedang apa mereka berdua? Joni langsung mendekati Ipah, “Nare gawe ikau Pah?” Tanyanya sejurus kemudian. Ipah dan kakaknya ini sedang membersihkan drum kosong. Terlihat agak menggelikan ketika Ipah yang berbadan kecil sampai tenggelam di dalam drum. “Ikau Jon kami sedang mengecat isi dalam drum ini. Lumayan bisa untuk menampung iar hujan,” Kakak Ipah yang menyambut Joni langsung menghentikan kegiatan mereka berdua. Joni melihat isi drum, berkarat berarti drum bekas oli ini lama tak terpakai. “Bara kuweh drum te Mak?” Joni bertanya kepada kakak Ipah, “Biar te aku dohop mengecat,” katanya lagi menawarkan diri. Ipah tersenyum mendengar kata-kata Joni. Seorang perempuan dibantu lelaki yang menyukainya sangat menyenangkan. Diberikannya kuas yang dipegangnya kepada Joni. “Coba ikau Jon, tanganku dia sampai menyentuh dasar drum,” Ipah berkata dan membiarkan Joni meneruskan pekerjaannya. Drum memang sudah berkarat, harapannya dengan dicat agak tebal air yang ditampung tidak tercampur karat. Di mana-mana di Kalimantan orang memasang drum di rumah-rumah untuk menampung air hujan. Air inilah yang dipergunakan sehari-hari mulai mandi, mencuci dan memasak. Sibuklah Joni membantu kedua perempuan itu mengurusi drum. Hatinya senang karena bisa mendekati Ipah. “Kudengar ikau hendak bulik ke Jawa Jon?” Kakak Ipah bertanya sepertinya ingat kalau Joni beberapa hari ini keluar masuk kantor mengurusi cuti. “Iya Mak paling besok siang aku sudah turun buat persiapan,” Joni memberitahukan perihal keberangkatannya. Untuk ke Jawa mulai dari Kurun memakai taksi speed harus pagi-pagi sekali jadi terpaksa harus menginap dulu di Kuala Kurun. “Ohe begitu, selamat jalan Jon,” kakak Ipah memberi ucapan selamat. Lamat-lamat Joni mendengar nyanyian di radio. Syairnya yang mudah dicerna membuat dirinya berkali-kali mendendangkannya, Di bukit indah berbunga Kau mengajak aku ke sana, memandang alam sekitarnya Karna senja tlah tiba......dst... TAMAT Tentang Penulis Penulis dilahirkan di Purwokerto tahun 1970 jadi sudah bau bangkai wkwkwk, penulis profilnya pengkhayal berat hari-hari kegiatannya melamun terus sampai sering ditegur orang kurang kerjaan. Satu pekerjaan yang sia-sia ya ini menulis fiksi...... Tadinya maunya penulis biar terkenal jadi AUTHOR, pengarang hebat. Kenyataannya menulis cuma sambilan saja sambil buka usaha kios stempel di pinggir kota Yogyakarta. Bla bla bla demikian semuanya tidak perlu detail urusan profil....Oke. Yogyakarta, 9 Spetember 2023 SINOPSIS : ........Joni tahu dirinya hanya karyawan biasa di perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Kayu), berbagai peristiwa dilaluinya, Bulan pertama perapihan hanya mendapat lima belas jalur. Bulan ini kelihatannya sama saja. Jadi total tiga puluh jalur selesai. Ck ck ck inilah kerja yang sejujurnya. Sisanya yang dua puluh jalur dimanipulasi dengan membuat tanda-tanda di tepi jalan berupa patok jalur dengan membuat nomornya dan penebasan di pinggir jalan untuk mengelabui mata. Seperti itulah prestasi Joni menjadi karyawan perusahaan.......