Saturday, August 24, 2013

hobi jogging

Di sini penulis mencoba membahas hobi yang dilakukan setiap hari minggu. Dalam seminggu penulis hanya mampu melakukan kegiatan ini sekali saja. Waktunya pagi hari setelah sholat subuh.Hari minggu penulis meliburkan diri dari aktivitas pekerjaan yang tentu sering membuat stress atau tertekan secara kejiwaan. Sebagai pelariannya salah satu diantaranya melakukan jogging. Jogging dalam teks olah raga merupakan jenis lari menempuh jarak cukup jauh tapi dengan irama yang lebih santai dari pada lari maraton. Maraton lebih merupakan lomba lari menempuh jarak yang sudah tertentu yang tentu harus mendapatkan seorang juara.
Setiap melakukan jogging di tempuh dengan jarak tertentu dan rute berganti-ganti. Kali ini penuliss menempuh rute dari depan eks Kampus STIEKERS menuju jalan Malioboro. Sebenarnya rute ini sudah bertahun-tahun di lakukan penulis. Tapi baru kali ini penulis menjadikannya sebagai bahan tulisan.
Sebelum jogging di lakukan sebenarnya penulis melatih berbagai jenis praktisi, tapi pembahasannya nanti tersendiri dalam masalah lain. Tak mungkin mencampuradukan masalah yang bidangnya berbeda dalam sebuah tulisan.
Dini hari saat orang lain masih nyaman berselimut lelap dalam buaian mimpi penulis bergerak melangkahkan kaki lari pelan-pelan menyusuri jalan Parangtritis menuju utara.Eks kampus STIEKERS yang sekarang tak lebih dari padang gersang dengan semak belukar tumbuh karena lapisan tanahnya sudah habis ditambang tinggal lapisan kerasanya yang tidak subur lagi. Beberapa bagian menjadi lokasi buangan sampah mengotori pemandangan. Sebuah telaga kecil menampung air hujan menjadi sebuah areal pemancingan. Depan eks kampus STIEKERS di penuhi pedagang kaki lima yang mencoba mencari peruntungan termasuk penulis yang memiliki sebuah boks kios ditepi jalan.
Lari pagi terasa melelahkan bagi siapapun yang jarang melakukannya. Penulis menghitung sudah dari sejak usia dua puluh lima tahun melakukannya. Jika di hitung sekarang usia penulis mencapai empat puluh tiga tahun, hitung sendiri kegiatan ini sebagai semacam journal yang sudah menetap dalam diri penulis. Mungkin anggap saja sudah mendarah daging.
Apa manfaatnya?
Anggap saja ini bagian hidup yang berhubungan dengan relaksasi kaum spiritual. Ya penulis mendapatkan semaccam kekuatan sspiritual setiap kali berhasil menempuh rute yang rutin dilakukan penulis.
Langkah kaki pelan-pelan dan tidak terburu-buru itu hal yang masih sulit bagi pemula. Penulis sendiri sering menjadikan start melangkah dengan perasaan ragu-ragu akan mampu menempuh rute yang sudah sering dilakukan. Perlahan hambatan ini akan beerkurang karena kaki yang berlari kecil-kecil akan meningkatkan rasa percaya diri melihat berbagai keadaan lingkungan yang didapati dalam perjalanan. Tentu penulis sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang mencoba menikmati pagi cerah dengan aktifitas yang sama. Penulis sedikit merasa bangga karena orang-orang lain tersebut paling-paling hanya mampu menempuh lima ratus meter langsung terhenti. Hampir tak ada orang yang melakukan kegiatan jogging segila peenulis yang rutin meenempuh jarak sekitar lima enam kilmeter.
Oh tak ada yang instan dalam melakukan jogging secara rutin seperti penulis ini. Siapapun seseorang yang hendak mencoba akan mendapatkan hambatan-hambatan yaang luar biasa. Mulai dari rasa malas bangun pagi sampai malu ketika berrjumpa dengan orang lain di jalan. Bahkan  ada rasa gengsi karena ternyata kita tak lebih dari seorang prrimitif yang masih melakukan aktifitas dengan kaki. Tentu itu sangat ketinggalan jaman, buat apa lari seperti itu kalau untuk menempuhnya bisa dengan naik sepeda motorr? 
Masa ada yang menyatakan seperti itu di jalan!
Oh ternyata seperti itulah yang di dapatkan oleh penulis, banyak anggapan heran dari sesama pengguna jalan yang lebih memanfaatkan kemajuan teknologi dari pada penulis yang masih primitif sekali.
Tapi pandangan seperti itu sedikit, masih banyak orang mengacungkan jempol terhadap penulis.
Beberapa orang yang melakukan jogging ternyata kemungkinan seorang atlet yang sedang berlatih, mereka mungkin menempuh jarak yang lebih jauh dari penulis. Dan biasanya tak mampu penulis mengungguli langkah kakinya karena memang lebih terlatih.
Oh sudah sampai di mana penulis lari?
Pemandangan pertama langsung tertuju pada pasar tumpah tradisional Prawirotaman. Berbagai kegiatan telah menyebabkan badan jalan menyempit hingga setiap pengguna jalan harus perlahan mengendarai kendaraan apapun jenisnya. Terkadang penulis beertemu dengan tetangga yang sedang berbelanja atau pedagang pemilik kios yang baru tiba di pasar yang dikenal penulis.
Terus penulis lari ke utara, sampai di perempatan Jokteng wetan. Entah pojok wetan ini seperti sengaja menjadi etalase bagi turis asing setiap kali berkunjung. Serasa sudah mendapatkan suasana kerajaan kuno.
Masih pagi beberapa bus jalur dua masih ngetem di jokteng baru melakukan persiapan untuk hari itu memulai berburu rupiah. Penulis melanjutkan langkah kaki yang terkadang membentur kerikil tajam hingga membuat muka menyeringai karena untuk beberapa saat merasakan sakit. Wah iya penulis lupa saat lari pagi ini penulis melakukannya dengan nyeker saja alias tak beralas kaki, memang primitif kok. Akibatnya beberapa kali membentur kerikil dan terkadang bila ada serpihan beling kaca cepat menghindar tak kepingin tergores.
Mulai ada rasa mual di perut, itu biasa karena tubuh terus membiasakan diri terhadap langkah kaki yang sebenarnya seperti di paksakan. Ya lari seperti ini biarpun termasuk olah raga tetapi tubuh tettap melakukan peenolakan. Bagi pemula ya sudah langsung takluk meenghentikan langkah, He He He penulis pun bila startnya sudah dalam suasana tak enak sering juga menyerah. 
Sampai THR tetap berlari, sampai kelenteng terus menyeberang perempatan, apa nafas tak habis berlari seperti itu?
Sekali lagi latihan rutin berpuluh tahun telah mendapatkan hasilnya, inilah panen nya seorang praktisi jogging. Nafas panjang debar jantung tak berdegup kencang, semuanya seperti biasa bagi penulis. Sesuatu yang tenttu tak di dapat oleh mereka yang tak pernah berlatih. Alhamdulillah!
Oh sebenarnya penulis kepingin juga hobi ini menjadi semacam komunitas. Sayang sampai detik ini penulis sendirian saja melakukannya. Memang dasarnya penulis tak pandai berorganisasi He He He.
Beberapa supermarket dan hotel dilangkahi terus oleh penulis, jalanan agak menanjak di perempataan kecil jambu. Sampailah di ujungnya sebuah parkiran luas untuk kendaraan yang berkunjung ke jalan Malioboro. Oh namanya penulis lupa, tapi tempatnya strategis karena berada di staasiun tugu dan rel serta jembatan layang kereta api.Terkadang penulis mendapati kereta api barang atau penumpang sedang langsir ataupun lewat membuat berbagai pengendara di jalan harus menunggu tak sabar karena terasa lambat.
Sampai di belakang hotel garuda Inn, belok kiri inilah ujungnya jalan Malioboro dari sebelah utara, tapi lari penulis belum berhenti. Kawasan wisata ini masih sepi, pedagang kaki lima masih mempersiapkan lapak dan boks dorong miliknya karena setiap malam hari harus di bongkar pasang.
Malioboro massih sepi, penulis nyaman saja berlari ditengah jalan tersebut. Beberapa group senam memadati jalan karena hari minggu diadakan event Car freeday. Penuliss kurang melihat gregetnya Car ffreeday yang diadakan oleh Pemkot Yogyakarta ini. Yang teerlihat benar-benar hidup hanya acara senam pagi rutin itu-itu saja.
Lari penulis berakhir di depan sekumpulan orang bersenam aerobik tepat depan istana presiden Geedung Agung. Badan penulis meenghangat kepala pun terjalar rasa hangat tersebut. Oh nyamannya perasaan tersebut, inilah yang membuat seorang praktisi jogging sering ketagihan. Tak percayaa!! ya silakan melakukannya sebagai hobi.
Duduk nonton orang senam terkadang melihat cewek seksi lewat dan mulai banyak wisatawan datang. Beberaapa kelompok orang biassa begadang dengan kegiatan rupa-rupa termasuk mabuk dll. Ada orang-orang Papua yang rupanya menjadikan Malioboro ini sebagai ajang pertemuan untuk kebutuhan mereka dalam bersosialisasi.Mungkin termasuk demo pemisahan negarra dari NKRI.
Selesai, penulis tinggal berjalan kaki pulang menuju tempat tingggal penulis di Krapyak Wetan. Tak lupa mampir di sebuah warrung untuk merestorasi tubuh biar tidak kosong perut biarpun hanya dengan minum teh hangat dan makan penganan.

Friday, August 16, 2013

Tinjauan Lapangan Keadaan Kota Banyumas Lama.

Saat melewati kota Banyumas Lama pasti setiap bus umum akan meneriakan kata-kata "Karesidenan siapa yang turun!". Rupanya itulah yang menarik penulis untuk mencoba melaporkan keadaan kota Banyumas Lama sebagai bahan tulisan.
Semoga pembaca berkenan melihat isi tulisan ini, tentu saja penulis berharap mendapat masukan soal yang lebih mendalam nantinya dari pembaca, Oke!
Kembali ke kota Banyumas Lama,
Penulis menginjakan kaki beberapa hari setelah lebaran sebagai kunjungan untuk mencari hiburan. Tadinya hendak ke tempat wisata yang ramai, tapi penulis akhirnya lebih tertuju menuju Banyumas lama karena berkaitan dengan ketertarikan penulis akan bidang sejarah.
Status Banyumas Lama hanya sebuah kecamatan di kabupaten Banyumas yang ber ibukota di Purwokerto.Perpindahan ibukota telah menjadikan Banyumas lama memiliki banyak sekali peninggalan berupa bangunan kuno yang sebagian besar menjadi cagar budaya. Penulis dari bus umum turun di pasar Banyumass. Bayangkan itu berarti sebuah pasar yang sudah tua umurnya mengikuti usia kota Banyumas dari sejak berdirinya sekitar enam ratus tahun yang lalu.
Konon berdirinya Banyumas mengikuti perluasan wilayah kerajaan Pajang yang masuk pedalaman di selattan Jawa. Jadi kota Banyumas hampir seumur dengan Kota gede sebagai tanah perdikan Mataram. seiring berkuasanya kerajaan Mataram di Kota Gede, Banyumas juga menjadi wilayah yang tunduk di bawah Mataram. Statusnya wilayah negara manca Mataram.
Entah bener nggak ya paparan penulis ini?
Yang penting sekarang mulai penulis menelusuri kota ini, He He He ini hobi sejak kecil, berjalan kaki melancong keberbagai tempat biarpun itu hanya di sekitar kota kelahiran penulis. Setiap melihat KTP tertera kota kelahirran, tapi ternyata yang tertera bukan kota Purwokerto melainkan Banyumas sebagai kabupaten. Jadinya penulis tertarik menjadikan Banyumas Lama sebagai semaccam oleh-oleh dari melancong terutama sebagai hadiah lebaran tahun 2013.
Sampai di kota Banyumass sudah siang, beberapa dokar sudah mulai menghilang dari pasar, biasa suasana pasar tradisional selalu ramai berdesak-desakan. Tapi penulis tak massuk ke passar cukup menyusuri jalan di sekitarnya.Dari jalan beraspal yang sebagian sudah rusak karena hanya tambal sulam cukup menggambarkan kota yang sedikit sekali mengalami perubahan modernitas. Becak berseliweran membawa barang dan peenumpang warga sekitar. Beberapa supermarket dan POM bensin menjadi pemandangan biasa tentang banyaknya jaringan waralaba pasar berjejaring. Penulis tak tertarrik melihat supermarket yang tentu lebih banyak bertebaran di kota Purwokerto. Penulis berjalan kaki menuju kebarat mengikuti alur hilir sungai Serayu yang menjadi sungai terbesarr di seluruh eks Karesidenan Banyumass.
Tepat sesuai perkiraan kota lama, setiap pasar pasti ada pemukiman Tionghoa, keberadaannya pasti tidak jauh dari sebuah kelenteng untuk umat Tri Darma. Ya sebuah kelenteng berdiri sudah tua sekali, tapi juga sudah mengalami pemugaran karena baru mendapat musibah kebakaran entah beberapa bulan yang lalu. Cukup megah dengan warga sekitar beretnis cina. Mereka tentu turun temurun tinggal di sekitar kelenteng dan menjadi pemilik beberapa toko dengan bangunan tua yang sudah kusam di makan usia. Di utaranya sebuah sungai mengalir besar sekali menjadikan penulis tertarik mencoba mendekatinya. Ada sebuah gang menuju tepi sungai Serayu, di bawah rimbunnya rumpun bambu penulis memandangi air sungai serayu yang membiru, tampak tak ada banjir yang membuat air bah ganas menenggelamkan siapapun yang mencoba berenang. He He He siapa berani menyeberang sungai dengan berenang di sungai sebesar itu?
Sungai Serayu biarpun besar bukan sungai yang ideal untuk pelayaran, arusnya deras dan banjir besar tak bissa di perkirakan, kalau musim kemarau surut membuat kandas perahu besar. Yang ada perahu kecil warga setempat untuk mencari pasir sebagai penghasilan utama. Lainnya hanya pemancing dan penjala ikan yang mencoba mencari peruntungan, lumayan kata orang banyak ikan sidatnya sungai Serayu ini. Tapi dari tepian sungai inilah dulu tercipta lagu berjudul "Di Tepinya Sungai Serayu" dari pujangga Banyumas, entah penulis tak tahu namanya.
Puas melihat sungai Serayu penulis kembali melangkah, kali ini menyusuri jalan yang menunjukan arah Kebasen.Jalan tersebut berbelok  sendiri menuju ke selatan mengikuti bentuk kota Banyumas Lama. Tujuan penulis adalah alun-alun kota Banyumas.Lumayan jauh sekitar satu kilo menyusuri jalan dengan beberapa bangunan yang sudah di makan usia dan kusam sekali karena tak pernah di sentuh cat atau kapur. Oii ada sebuah bangunan lama yang berketerangan sebuah tulisan, Dalem Kepatihan. Wah berarti itu sebuah bangunan penting saat masa jayanya kota Banyumas, itu tempat tinggal seorang pejabat setingkat perdana menteri untuk sebuah negara saat ini. Bangunannya berupa pendapa besar untuk pertemuan dan dibelakangya menyatu menjadi tempat tinggal yang megah saat itu. Pekarangannya luas saat ini menjadi taman bermain sebuah PAUD. Gaya bangunannya atap limas dengan seng yang sudah menghitam.Tentu itu bangunan yang paling megah di jalan Pakundan berseberangan dengan masjid dan alun-alun. Gapuranya sudah hampir roboh di cat kapur putih tanpa banyak merubah gaya bangunan. Itu masuk benda cagar budaya, di seberangnya sudah masuk kompleks cagar budaya yang lain yaitu masjid raya Nur Sulaiman.
Masuk kompleks alun-alun, inilah landskap kota Banyumas yang sebenarnya. Kota Banyumas ternyata menghadap selatan membelakangi sungai Serayu dan gunung Slamet nan jauh di utara sana. Justru kemudian peenulis membayangkan sebuah kota ideal menurut budaya Mataraman, ya ini sebuah kota yang masih asli belum banyak perubahannya. Di tengah-tengahnya alun-alun terbagi dua dengan dua buah pohon beringin seperti di alun-alun keraton Yogyakarta. Di sebelah barat tentu itu sebuah masjid besar untuk warga seluruh Banyumas. Dan di timurnya sebuah penjara untuk perkara kejahatan di jaman lampau. Penjara ini sudah banyak perubahannya karena sudah berupa bangunan baru. tapi lokasinya tetap sebagai salah satu kelengkapan kota kuno di Jawa. Eh dengan adanya penjara berarti kota kecil ini juga  memiliki pangadilan negeri? Ya ternyata statusnya yang eks kota kabupaten menjadikan Banyumas tetap memiliki lembaga dan berbagai instansi yang bila ditelusuri sama dengan lembaga pemerintahan di Purwokerto. Cuma lingkupnya menjadi sub bagian dari pemerintahan di pusat Purwokerto.
Beberapa baangunan kuno lainnya sudah menjadi lembaga pendidikan dari SD, SMP, SMA, Bahkan SMK yang menempati bekas SMKI (Sekolaah Menengah Karawitan Indonesia), rupanya sekolah tersebut sudah dihapus menjadi SMK negeri.
Ya terakhir adalah sebuah jalan menuju balai kota Banyumas Lama. Sebuah tugu berlambang gambar sila Pancasila menyambut penulis mulai menyusuri areal penting pemerintahan eks kabupaten Banyumas.Dari jalan menuju keutara ini sudah terlihat sebuah balai besar pertemuan sebagai inti pusat administrasi kabupaten. Itulah balai si Panji, Pekarangannya luas dengan berbagai kantor luas. Dibatasi tembok keliling balai kota Banyumas ini menjadi kompleks yang megah walaupun tingkatnya hanya sebuah kecamatan belaka. Gaya bangunannya tembok tinggi walaupun sederhana, ini bangunan tembok ala Belanda. Yang asli Jawa hanya balai Kotanya karena masih berstruktur kayu.
He He He dari gaya atapnya balai kota Banyumas ini bukan joglo,semuanya bentuk limas yang menjadi ciri khas tingkat strata warrga Banyumas. Tentu atap joglo adalah atap untuk orang setingkat bangsawan seperti banyak di dirikan oleh warga Kota Gede. Ya kota Banyumas ini dahulunya adalah sepenting Kota Gede saat jaman Hindia Belanda terutama dalam perekonomian. Dan  menjadi kota tertua yang terpengaruh Islam jaman Mataram dan Pajang. Sebelumnya daerah Banyumas adalah beberapa kadipaten yang berdiri sendiri dengan pengaruh besar dari Pajajaran dan Galuh di Jawa Barat.
Gaya bangunan yang sederhana ini yang menjadikan Banyumas Lama biarpun kuno tapi tak setenar Kota Gede ataupun keraton di Yogya dan Solo. Tentu sebagai bawahan kerajaan Mataram tak sepatutnya membangun kota semegah Yogya atau Solo, bisa kualat nantinya. Begitu juga Hindia Belanda tak mau membangun kota Banyumas lebih megah karena secara politik kurang memadai. Penulis menilai secara arsitektural kota Banyumas ini biasa-biasa saja.
Kembali ke kompleks balai kota Banyumas lama, penulis terus melangkah mendekati balai si Panji yang konon ini hanya tiruannya saja, karena yang aslinya sudah di pindah ke balai kota Purwokerto. Konon pindahnya balai si Panji ini tak boleh menyeberangi sungai Serayu langsung jadi terpaksa harus di pindah menjauh melalui beberapa kabupaten di Kedu.
Balai kota ini baru terasa megahnya saat berada di dalamnya, tiang saka gurunya berjumlah empat dari kayu jati semua. Bayangkan diameternya saja sekitar enam puluh sentimeter, tentu kayu jati sebesar itu sudah sangat jarang di temui. Makanya kalau disebut balai si Panji itu sebagai bangunan berstruktur kayu termegah di Banyumas itu bukan omong kosong. Silakan cari perbandingannya sekarang dengan bangunan di manapun. Paling-paling cuma kalah dengan milik keraton diYogya dan Solo. Kompleks balai kota ini di lengkapi bangunan dibelakangnya bergaya Hindia Belanda dan sebuah museum wayang serta memiliki sayap bangunan yang lebih sederhana. Ya semua sederhana tampaknya tak menjual untuk di jadikan paket wisata. tapi kalau untuk fungsi dan administrasi tetap memadai.Mungkin untuk pengembangan kota Banyumas selanjutnya jadikanlah kota ini sebagai Taman Hiburan Rakyat. Jadi banyakilah taman untuk warga beraktifitas atau tambahan acara seperti pasar malam dan pameran. Tak kalah kok dengan kota besar lainnya, lagi pula berbagai ruas jalan menuju selatan yang menjadi jalan antar kota antar provinsi itu bisa jadi sebagai Malioboro nya Banyumas di masa mendatang. Dan He He He belum ada pertikaian rebutan lahan yang kompleks di Banyumas lama ini karena memang belum dikembangkan pemerintah daerah. Coba kalau dijadikan kota museum dan berbagai sarana hiburan juga pasar malam setiap taahun diagendakan pasti sip, sederhana saja dan kalau bisa merakyat soalnya penulis melihat ccocoknya acara di Banyumas Lama jangan sampai seperti metropolitan yang sedemikian komersial.
Terakhir penulis berkesempatan masuk lebih kebelakang areal balai kota melalui sebuah pintu tembusan kecil yang terbuka. Tampaknya lagi sepi mungkin karena masih libur lebaran. Bangunannya tembok tinggi dengan pekarangan luas berisi rumpun pisang berbagai jenis. Oi ternyata itu adalah milik balai pertanian Banyumas untuk budi daya jenis pisang, ada rumpun pisang ulin, pisang ambon nangka, pisang raja berbagai nama dan pisang kapok. Ya fungsinya hanya setingkat itu karena bila dibiarkan tenttu halaman dalam balai kota ini bakalan terbengkalai. Entah bagaimana pengembangan selanjutnya penulis sendiri tak tahu, lumayan kota Banyumas ini memiliki rumah sakit daerah sendiri karena menyesuaikan dengan strategis wilayahnya yang mendekati beberapa kabupaten sekitarnya seperti Cilacap,Banjarnegara, Kebumen dan Purbalingga. Dengan adanya rumah sakit daerah ini pelayanan kesehatan untuk wilayah Banyumas selatan dan kabupaten sekitarnya menjadi terjangkau.
Oi ada tempat sakralnya juga di halaman dalam balai kota Banyumas ini, itu sebuah sumur yang mungkin terkecil di dunia karena diameternya hanya dua puluh sentimeter saja. Letaknya persis di halaman belakang bangunan kompleks balai kota. Di beri pagar kayu beberapa sesaji bunga telon atau setaman penulis tak paham, kemudian bekas bakaran kemenyan setinggi setengah meter, cukup membuat merinding penulis dan langsung tak berani berbuat sembarangan. Apa fungsinya sumur dan ritual di kompleks kecil ini penuliss tak tahu, tapi itu cukup menjadi bukti adanya kepercayaan setempat terhadap kekeramataan situs balai kota.
Cukuplah penulis berkunjung di Banyumass Lama ini, mungkin lain waktu mampu membahas masalah lebih mendalam.