Sunday, September 29, 2013

Pandai besi di Krapyak

Hari minggu tempat kos penulis ada kematian tetangga sebelah. Tempatnya persis didepan kamar kos yang penulis tempati. Segera hari yang cerah itu menjadi berkabung dengan berbagai pernik prosesi upacara kematian. Penulis ikut membantu sekedarrnya untuk menambah kerukunan antar warga.
Sehari sebelumnya almarhum saat sore  sudah mulai menunjukan sakit, keluarganya segera membawanya  menuju rumah sakit Wirosaban. Ternyata beliau didiagnosis gula sejak lama, dan pagi harinya ternyata tak mampu lagi menurunkan kadar gulanya yang sangat tinggi. Beliau meninggal dengan tenang sekali dan tidak menimbulkan kerepotan yang berarti. Ah penulis pun berkeinginan bila menuju kematian  secepatnya saja tak perlu lama menderita penyakit yang begitu berat. tentu kasihan  orang lain yang akan merawat penulis bila banyak menderita penyakit. Ah itu sih hanya keinginan penulis,  takdir tentu akan bicara lain.
Yang penulis bahas bukan tentang kematian beliau, tetapi ternyata pekerjaan almarhum merupakan profesi yang sudah langka. Itulah dia beliau ternyata seorang Pandai besi.
Pembaca  tahu profesi semacam  itu?
Biarpun banyak literatur yang membahas tentang pekerjaan yang sudah kuno ini tetapi jaman sekarang mendapatinya lebih susah dari pada bertemu dengan seorang pembuat program komputer.Karena itulah langsung penulis membahas pekerjaan yang sudah langka ini.
Oh ternyata penulis beruntung, bukan cuma bapak yang sudah meninggal itu saja yang bekerja sebagai pandai besi. Ada seorang teman dari kampung krapyak menjalaninya dan penulis mengenalnya dengan baik. Lagi pula bengkel kerjanya  juga hanya dalam jarak lima puluh meter saja. Benar-benar tak pernah memperhatikan  sebuah  obyek yang mungkin ditahun-tahun mendatang sudah lenyap karena regenerasi seorang pandai besi tak  ada lagi.
     Thang!      Thaang!     Thang!
Begitulah bunyi besi  di pukul. itu adalah palu besar untuk meenempa besi yang membara kemerahan panasnya  mencapai lima ratus derajat celcius. He He He kalau seribu derajat jadilah besi itu mencair bisa dicetak menjadi bentuk apa saja.
"Hei Genjuk, isa ra kowe nempa wesi iki?" Lejong berkata saat penulis hadir di bengkelnya.
Huh penulis dipanggil Genjuk ittu nama jelek orang Jawa seperti halnya Lejong itu ya nama jeleknya pandai besi teman penulis tersebut. Kalau nama aslinya penulis pun sering lupa.
"Kene jajalen!" Penulis langsung tertarik mencoba.
Langsung dengan bergaya penulis memegang sebuah palu yang beratnya minta ampun untuk di coba memukulnya kebesi membara yang dipegang oleh  lejong dengan sebuah tang raksasa.
Begitu penulis memukul langsung salah seorang berteriak,
"Hati-hati bisa meleset malah celaka tanganmu!" Katanya dengan muka ngeri saat meelihat gaya pukulan penulis menempa besi. begitu juga dengan Lejong yang memegang besi membara dengan tang, terlihat oleng karena pukulan penulis tak tepat sasaran.
"Wah susah nih anak, tak berbakat menempa besi." Lejong berkomentar menyudahi perintah agar penulis tak meneruskan  memukul palu.
"Wis kene ben wae aku sing neruske gaweane!" Orang yang tadi berteriak memperingatkan penulis segera mengambil alih.
"He He He memang belum pernah menempa  besi kok mass, ya harap maklum kalau salah." Penulis tak mau juga melanjutkan gerakannya yang banyak salah saat menempa. Ia tahu tak gampang memukul palu karena gayanya harus menyesuaikan dengan benda yang di tempa. Resiko kecelakaan termasuk tinggi, itulah pandai besi.
Akhirnya penulis hanya menjadi penonton, 
Itu bengkel kerja milik Lejong, orangnya tinggi besar tapi kurus kering karena terampas oleh kebiasaannya minum alkohol, orangnya selalu terlihat mabuk. Mungkin bila tak minum malah orangnya tak percaya diri. Dari jalan nya yang sering goyang kemudian dari mulutnya yang bau harum, ya sudah inilah manusia yang bisa disebut pendekarr mabuk........ Jadi bukan hanya Jacky Chan saja yang berhak mengklaim julukan itu. 
Saking seringnya mabuk beberapa kali kecelakaan selalu berhubungan dengan kondisinya yang terpengaruh alkohol. Pokoknya posisinya selalu disalahkan. Mungkin bila dituntut hukuman pidana ya sudah mendekam beberapa kali di istana gratis tersebut.
Ah lebih menarik  profesinya ini, kali ini orangnya sedang mendapat order membuat linggis dari besi yang sudah berbentuk lingkaran dengan diameter tiga cm.Lumayan besar unttuk ukuran sebuah linggis, Ujung besi yang biasanya penulis lihat sering untuk tulang beton cor tersebut di panggang dalam bara arang dari kayu yang dikipasi dengan sebuah kipas angin listrik. 
Dulunya alat pengempos angin agar bisa mendapat nyala besar dengan batang bambu petung yang dilubangi, jadi semacam alat pompa besar untuk mendapatkan angin lebih besar. kini semuanya tergantikan oleh adanya kipas angin listrik. Sudah kemajuan juga rupanya.....
Tapi teknik menempa dari dahulu hingga sekarang tetap sama. Disinilah yang tak bisa di hapus, kerja manual seorang pandai besi tetap tak tergantikan oleh mesin yang paling canggih seperti apapun.
Begitu juga cara meemotong lempengan besi maupun besi lingkaran,  semuanya ada tekniknya yang mana cara tersebut adalah ada sudah sejak jaman purba. He He He jadi lejong dan pandai besi lainnya termasuk benda langka yaa.
Terkadang ada juga teknik untuk membuat semacam kunci sederhana, baut sederhana, patok besi dan berbagai benda yang sudah kekinian. Kalau benda sepeti cangkul, sabit, parang wah sudah tidak jaman lagi. Jarang orang memesan barang seperti itu. Paling banyak justru menempa besi untuk ujung pagar. Hiasannya sering tak bisa dengan cara dilas, nah ujung yang besi pagar yang tak bisa dibentuk dengan teknik mengelas itu menjadi bagian tukang pandai besi.
Sebaliknya pandai besi juga menyerah bila melihat hiasan yang harus dibuat, itu harus dengan cor-coran cetak tak mungkin ditempa teknik pandai besi.
Thang!     Thaang! Thang!
Itulah bunyi khas besi beradu besi, sebuah ujung besi membara ternyata bisa dipotong menjadi dua dan masing-masing diantara keduanya kemudian dibentuk menjaddi benda yang berguna bagi misalnya seorang tukang kayu dan tukang batu.
Kalau peenulis selalu berimaginasi bagaimana bila punya sebilah samurai, tentu sangat gagah menyandang samurai Jepang. Padahal penulis bukan seorang ahli mengayunkan senjata tersebut. Ah beegitulah dari benda berfungsi perang ternyata hasil pandai besi ini juga kebanyakan hanya menjadi setingkat souvenir, nah kalau jadi souvenir biarpun kita bergaya perang atau bergaya pendekar, seorang samurai atau ninja semuanya hanya gaya belaka. Tak ada orang yang akan menantang duel karena tak mungkin anda seorang ahli pedang.
uuuts kalau keris sih itu kehormatan seorang Jawa. Lebih sulit lagi menempa besi menjadi sebuah keris. Diperlukan tingkat seorang empu sebagai keahlian khusus. Yang penulis saksikan ini cuma seorang pandai besi yang mencari order kepasar setempat untuk membuat barang yang laku dipasar. Untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja ia masih kekurangan, apa lagi ditambah dengan kebiasaannya mabuk ya sudah order pun jarang mampir dan dapurnya selalu terancam tak berasap. Dalam hidupnya si Lejong ini lebih mementingkan mabuknya ketimbang keluarganya. itu terlihat dari kebiasaanya yang tak pernah bisa lepas dari oplosan.....(mengikuti lagunya sagita).

Sunday, September 1, 2013

Panahan gaya Mataraman.

Ini oleh-oleh penulis saat jogging di alun-alun selatan kota Yogyakarta.
Hari minggu tanggal 1 september 2013. Pagi hari seperti biasa rutinitas jogging telah mengantarkan penulis di lokasi alun-alun selatan. Sambil berlari-lari kecil mengitari lapangan Alun-alun.Setiap hari minggu biasanya ada penyelenggara senam aerobic yang mempergunakan lahan lapangan untuk kegiatannya. Biasanya kegiatan senam masal tersebut di lakukan tepat di depan Sitihinggil Dwi Abad.
Tapi hari itu senam massal tersebut tidak terselenggara, yang ada justru persiapan even olah raga dari sebuah aula milik keraton yang dijadikan sebagai markas KONI. Nah kali ini ternyata even tersebut bernuansa tradisional yaitu lomba memanah.
Sambil melakukan jogging penulis memperhatikan berdirinya sebuah panggung yang sudah berisi seperangkat gamelan dan berbagai sarana berupa sasaran peluncuran anak panah. Ada terdengar lagu-lagu pop dengan iringan musik gending lelagon. Cukup membuat penulis tahu sebenarnya betapa banyak kreatifitas yang berbasis kebudayaan Jawa yang mampu bertahan dijaman modern  ini.
Pernah dengar olah raga panahan?
Oh itu termasuk jenis beladiri kuno, hampir setiap kebudayaan dari yang paling primitif sampai yang berkembang sekarang ini semuanya mengenal panahan sebagai salah satu alat perang dan alat berburu untuk bertahan hidup.
Dari jaman kejaman ternyata bentuk senjatta traadisional panah sama di manapun berada baik itu ddidalam neegeri maupun luar negeri. Ibarrat senjata itu adalah  tonggak keemajuan sebuah bangsa teernyata panah adaalah hassil kebudayaan yang meengglobal sejak dari jaman purbakala. Jadi tak heran biarpun seorang misalnya di Amerika serikat yang paling maju sekalipun tak akan tidak tahu senjata tradisional ini. Simbol-simbol tertentu yang memakai tanda anak panah berada dimanapun tak terkecuali dalam gagget pembaca.
Dalam olimpiade cabang panahan selalu terselenggara tak pernah ada suara sinis untuk menghapus sebagai kejuaraan walaupun penggemarnya minim. Ya di manapun berada sekarang olah raga panahan dilakukan oleh seglintir orang. Kemungkinan itulah yang menjadikan olah raga ini sebenarnya harus di lestarikan untuk mendulang prestasi.
Beberapa bangsa menjadikan panahan ini sebagai simbol negara, salah satunya adalah Bhutan. Di Indonesia berbagai daerah menjadikan tombak dan tameng sebagai simbol identitas daerahnya. Tapi dalam kesehariannya sulit merealisasikan simbol tersebut sebagai jenis olah raga. Oh ada itu di Nusa Tenggara ada lomba tarung dilakukan diatas kuda dengan senjata tombak untuk menyerang lawan. Tapi yang dipentingkan  adalah lomba mengendalikan kudanya. Itu karena barkaitan dengan daerahnya yang memang menghasilkan kuda jempolan.
Jadwal penyelenggaraan lomba memanah ternyata jam delapan WIB, tak mungkin penulis bisa menyaksikan ketrampilan meluncurkan anak panah kesasaran. Soalnya penulis sudah kecapean, pulang kemarkas mengistirahatkan tubuh.
Tak apa-apa, lomba ini adalah berupa panahan gaya Mataraman.
Sekali lagi ini hal yang di ketahui oleh peenulis, gaya panahan Mataraman di lakukan dengan duduk bersila dilapangan. Jadi jangan kaget bila dalam lomba tak ada peserta yang memakai standar olah raaga panahan yang di selengarakan dalam Olimpiade.
Disinilah bedanya lomba teerssebut dengan jenis olah raga ini dimanapun. Peserta duduk bersila, oi itu mirip sebuah sikap meditasi dalam olah spiritual.
Ya disinilah tradisi panahan gaya Mataraman menemukan metode melepaskan anak panah mencapai sasaran. Bersila merupakan upaya menghormati kepada sesuatu baik itu terhadap yang maha kuasa maupun kepada seorang raja. Dan yang paling penting duduk bersila adalah khas semadi spiritual yang dimiliki budaya Mataram. Sikap ini sudah dilakukan berabad-abad lalu jauh sebelum agama islam mempengaruhi orang Jawa.
Penuliss di Alun-alun masih berlari-lari kecil sambil berpikir tentang adanyaa  lomba panahan gaya Mataraman ini. Ternyata masih terselenggara baik walaupun tingkatannya tak mungkin mencapai kejuaraan Nasional. Ini karena biarpun sesama Jawa tak semuanya menjadikan keraton sebagai pemersatu kebudayaan. Semua orang tahu keraton tingkatannya adi luhung, tetapi untuk kekuasaan dibeberapa wilayah misalnya di Banyumaas semuanya adalah keebudayaan rakyat. Keraton menjadi kebudayaan tersendiri yang dianggap adi luhung tapi tidak akan di lakukan oleh kawulnya yang memiliki tradisi sendiri walaupun dianggap lebih rendah.
Buktinya adalah beberapa tari seperti jathilan, lengger, tayub tak ada di keraton. Jenis tari tersebut berada di masyarakat walaupun ketika terselenggara sering dikonotasikan kebiasaan negatif seperti prostitusi dan ritual kerasukan.
Beberapa pengunjung yang heran telah bertanya tentang adanya even unik ini. Tak semua orang tahu agenda kejuaraan panahan gaya Mataramaan ini. Begitu juga siapa saja atlet  yang menjuarainya. Mungkin pesertanya adalah partisan, datang dan langsung mendaftarr unttuk kemudian mengikuti tingkatan juaranya. Tak apa lah paling besok sudah ada beritanya di media daerah.
Sebelum pulang penulis menyempatkan diri beristirahat di sebuah warung angkringan. Segelas teh hangat di seruput pelan-pelan untuk mendapatkan sensasi segar. Sebagian pengunjung adalah pelanggan termasuk penulis walaupun tidak setiap minggu di alun-alun ini. Penulis cukup mengetahui beberapa pengunjung seperti gerombolan perempuan cerewet adalah menjadikan warung angkringan ini  sebagai tempat arisan kecil-kecilan.
Beberapa pengunjung lelaaki pasti bertanya tentang even panahan gaya Mataraman tersebut, inilah catatan penulis.
"Wah kok tempat sasarannya sampai ke pinggir seperti itu? Apa tidak berbahaya untuk penonton nantinya? Berkata seorang pengunjung warung meengomentari beberapa kekurangan penyelenggara.
Seorang yang lain  juga berkomentar," Ya itu bagaimana nanti kalau ada angin besar, tentu anak panahnya akan meluncur keluar dari sasaran tembak." Katanya memandang sebuah resiko yang bisa terjadi dalam sebuah kejuaraan.
Penjual warung pun berkomentar, "Mungkin nanti pinggir lapangan itu akan di tutupi saat lomba sudah  terselenggara. sayang waktunya sudah siang jadi nanti penonton pasti banyak yang kepanasan karena berada di tempat terbuka."
Seseorang lain berkata, "Bawa saja peserta dari Papua, mereka punya jenis panah yang sangat besar tentu sangat ramai nanti." Katanya sambil bergaya membetot busur untuk melepaskan anak panah sesuai gambar dari suku pedalaman di salah satu provinsi Indonesia.
Begitulah penulis mengakhiri jogging hari minggu itu dengan oleh-oleh  sebuah tulisan dalam blogg.