Ini oleh-oleh penulis saat jogging di alun-alun selatan kota Yogyakarta.
Hari minggu tanggal 1 september 2013. Pagi hari seperti biasa rutinitas jogging telah mengantarkan penulis di lokasi alun-alun selatan. Sambil berlari-lari kecil mengitari lapangan Alun-alun.Setiap hari minggu biasanya ada penyelenggara senam aerobic yang mempergunakan lahan lapangan untuk kegiatannya. Biasanya kegiatan senam masal tersebut di lakukan tepat di depan Sitihinggil Dwi Abad.
Tapi hari itu senam massal tersebut tidak terselenggara, yang ada justru persiapan even olah raga dari sebuah aula milik keraton yang dijadikan sebagai markas KONI. Nah kali ini ternyata even tersebut bernuansa tradisional yaitu lomba memanah.
Sambil melakukan jogging penulis memperhatikan berdirinya sebuah panggung yang sudah berisi seperangkat gamelan dan berbagai sarana berupa sasaran peluncuran anak panah. Ada terdengar lagu-lagu pop dengan iringan musik gending lelagon. Cukup membuat penulis tahu sebenarnya betapa banyak kreatifitas yang berbasis kebudayaan Jawa yang mampu bertahan dijaman modern ini.
Pernah dengar olah raga panahan?
Oh itu termasuk jenis beladiri kuno, hampir setiap kebudayaan dari yang paling primitif sampai yang berkembang sekarang ini semuanya mengenal panahan sebagai salah satu alat perang dan alat berburu untuk bertahan hidup.
Dari jaman kejaman ternyata bentuk senjatta traadisional panah sama di manapun berada baik itu ddidalam neegeri maupun luar negeri. Ibarrat senjata itu adalah tonggak keemajuan sebuah bangsa teernyata panah adaalah hassil kebudayaan yang meengglobal sejak dari jaman purbakala. Jadi tak heran biarpun seorang misalnya di Amerika serikat yang paling maju sekalipun tak akan tidak tahu senjata tradisional ini. Simbol-simbol tertentu yang memakai tanda anak panah berada dimanapun tak terkecuali dalam gagget pembaca.
Dalam olimpiade cabang panahan selalu terselenggara tak pernah ada suara sinis untuk menghapus sebagai kejuaraan walaupun penggemarnya minim. Ya di manapun berada sekarang olah raga panahan dilakukan oleh seglintir orang. Kemungkinan itulah yang menjadikan olah raga ini sebenarnya harus di lestarikan untuk mendulang prestasi.
Beberapa bangsa menjadikan panahan ini sebagai simbol negara, salah satunya adalah Bhutan. Di Indonesia berbagai daerah menjadikan tombak dan tameng sebagai simbol identitas daerahnya. Tapi dalam kesehariannya sulit merealisasikan simbol tersebut sebagai jenis olah raga. Oh ada itu di Nusa Tenggara ada lomba tarung dilakukan diatas kuda dengan senjata tombak untuk menyerang lawan. Tapi yang dipentingkan adalah lomba mengendalikan kudanya. Itu karena barkaitan dengan daerahnya yang memang menghasilkan kuda jempolan.
Jadwal penyelenggaraan lomba memanah ternyata jam delapan WIB, tak mungkin penulis bisa menyaksikan ketrampilan meluncurkan anak panah kesasaran. Soalnya penulis sudah kecapean, pulang kemarkas mengistirahatkan tubuh.
Tak apa-apa, lomba ini adalah berupa panahan gaya Mataraman.
Sekali lagi ini hal yang di ketahui oleh peenulis, gaya panahan Mataraman di lakukan dengan duduk bersila dilapangan. Jadi jangan kaget bila dalam lomba tak ada peserta yang memakai standar olah raaga panahan yang di selengarakan dalam Olimpiade.
Disinilah bedanya lomba teerssebut dengan jenis olah raga ini dimanapun. Peserta duduk bersila, oi itu mirip sebuah sikap meditasi dalam olah spiritual.
Ya disinilah tradisi panahan gaya Mataraman menemukan metode melepaskan anak panah mencapai sasaran. Bersila merupakan upaya menghormati kepada sesuatu baik itu terhadap yang maha kuasa maupun kepada seorang raja. Dan yang paling penting duduk bersila adalah khas semadi spiritual yang dimiliki budaya Mataram. Sikap ini sudah dilakukan berabad-abad lalu jauh sebelum agama islam mempengaruhi orang Jawa.
Penuliss di Alun-alun masih berlari-lari kecil sambil berpikir tentang adanyaa lomba panahan gaya Mataraman ini. Ternyata masih terselenggara baik walaupun tingkatannya tak mungkin mencapai kejuaraan Nasional. Ini karena biarpun sesama Jawa tak semuanya menjadikan keraton sebagai pemersatu kebudayaan. Semua orang tahu keraton tingkatannya adi luhung, tetapi untuk kekuasaan dibeberapa wilayah misalnya di Banyumaas semuanya adalah keebudayaan rakyat. Keraton menjadi kebudayaan tersendiri yang dianggap adi luhung tapi tidak akan di lakukan oleh kawulnya yang memiliki tradisi sendiri walaupun dianggap lebih rendah.
Buktinya adalah beberapa tari seperti jathilan, lengger, tayub tak ada di keraton. Jenis tari tersebut berada di masyarakat walaupun ketika terselenggara sering dikonotasikan kebiasaan negatif seperti prostitusi dan ritual kerasukan.
Beberapa pengunjung yang heran telah bertanya tentang adanya even unik ini. Tak semua orang tahu agenda kejuaraan panahan gaya Mataramaan ini. Begitu juga siapa saja atlet yang menjuarainya. Mungkin pesertanya adalah partisan, datang dan langsung mendaftarr unttuk kemudian mengikuti tingkatan juaranya. Tak apa lah paling besok sudah ada beritanya di media daerah.
Sebelum pulang penulis menyempatkan diri beristirahat di sebuah warung angkringan. Segelas teh hangat di seruput pelan-pelan untuk mendapatkan sensasi segar. Sebagian pengunjung adalah pelanggan termasuk penulis walaupun tidak setiap minggu di alun-alun ini. Penulis cukup mengetahui beberapa pengunjung seperti gerombolan perempuan cerewet adalah menjadikan warung angkringan ini sebagai tempat arisan kecil-kecilan.
Beberapa pengunjung lelaaki pasti bertanya tentang even panahan gaya Mataraman tersebut, inilah catatan penulis.
"Wah kok tempat sasarannya sampai ke pinggir seperti itu? Apa tidak berbahaya untuk penonton nantinya? Berkata seorang pengunjung warung meengomentari beberapa kekurangan penyelenggara.
Seorang yang lain juga berkomentar," Ya itu bagaimana nanti kalau ada angin besar, tentu anak panahnya akan meluncur keluar dari sasaran tembak." Katanya memandang sebuah resiko yang bisa terjadi dalam sebuah kejuaraan.
Penjual warung pun berkomentar, "Mungkin nanti pinggir lapangan itu akan di tutupi saat lomba sudah terselenggara. sayang waktunya sudah siang jadi nanti penonton pasti banyak yang kepanasan karena berada di tempat terbuka."
Seseorang lain berkata, "Bawa saja peserta dari Papua, mereka punya jenis panah yang sangat besar tentu sangat ramai nanti." Katanya sambil bergaya membetot busur untuk melepaskan anak panah sesuai gambar dari suku pedalaman di salah satu provinsi Indonesia.
Begitulah penulis mengakhiri jogging hari minggu itu dengan oleh-oleh sebuah tulisan dalam blogg.
No comments:
Post a Comment