Sunday, November 17, 2013

Burung-burung beterbangan.

Sekali lagi penulis jalan-jalan ke Monumen TNI AU di Ngoto. Semuanyaa gara-gara virus flu menyerang lagi. Segala kegiatan langsung terhenti oleh penyakit selesma yang menyerang tubuh penulis. Serasa sia-sia segala latihan yang pernah penulis jalani.
Ya tentu penulis memiliki kegiatan sampingan berupa latihan beladiri Pencak Silat, Yoga, dan Jogging atau keluyuran.
Dan penghambat dari semua itu salah satunya adalah virus flu, kemungkinan juga karena gaya hidup penulis yang sering diluar rumah sebagai pemicunya. Bertahun-tahun penulis hidup dari mengasong koran (Oh ternyata sudah sampai sepuluh tahun, kemudian pernah juga dalam bidang jasa afdruk foto manual yang sekarang sudah tak ada lagi pengusahanya karena kalah dengan foto digital). Dan sebagai lanjutan dari afdruk foto adalah jasa stempel.
Jadi penulis hidup dalam dua jenis pekerjaan setiap harinya, pagi buta di perempatan Ringroad mengasong koran dan siang hari sampai sore di sebuah boks kios PKL usaha kecil-kecilan. Lumayan sampai sekarang penulis bisa bertahan hidup di perantauan Yogya. Kadang-kadang penulis beranggapan itu sebagai bentuk  petualangan walaupun tidak seseru tokoh dalam novel. 
Cita-cita sih kepengin jadi penulis terkenal, He He He dan  sekarang lagi coba nih kirim-kirim naskah novel. Isinya yah sebenarnya memang pengalaman penulis di manapun pernah singgah.
Kalau Yoga, ya ini salah satu asana yang dilatih penulis hampir setiap harinya. Satu persatu saja ya,
Asana PASCHIMOTASANA,
-Duduklah dengan kedua kaki merapat dan lurus kedepan. Lengan menyentuh badan telapak tangan menyentuh lantai. Tulang punggung tegak lurus.
-Angkatlah kedua lengan anda, sehingga sejajar dengan lantai.
-Angkat terus, hingga berposisi vertikal dan menyentuh telinga. Telapak tangan menghadap keluar.
-Bungkukkan badan kedepan, peganglah jempol kaki dengan tangan sambil membungkuk semaksimal mungkin (Mencium lutut).
-Pertahankan postur ini selama beberapa saat (Semampunya).
Itulah salah satu yang penulis latih setiap hari, bila senggang tentunya. Oh latihan Asana ini sudah menjadi semacam journal bagi penulis. Jadi untuk meninggalkannya malah jadi aneh. Serasa bukan diri penulis nantinya.
Biarlah kegiatan tersebut terus melekat pada diri penulis, tambahannya adalah kesenangan penulis berupa hobi keluyuran. Tentu didalam hobi tersebut ada yang didapat, semacam oleh-oleh.
Langsung saat hari subuh,  penulis keluar rumah. He He He kali ini sholat subuh tak terlaksana, batuk flu demikian keras membuat tenggorokan penulis sakit dan tidak berkonsentrasi bila sholat.
Seperti biasa keluar rumah jam segitu pasti berjumpa dengan beberapa tetangga yang baru dari sebuah masjid sholat berjamaah. Penulis langsung kabur secepatnya agar tidak kepergok orang-orang tua yang pasti akan menegur karena tak pernah sholat berjamaah.
Jalan terus menuju selatan.Berbelok ke Salakan terus belok menyusuri jalan kecil Saman. Uups sampai di sebuah kuburan Saman, berjumpa seorang lelaki yang dikenal penulis, itu langganan koran Merapi buka bengkel PRES POROKS di jalan Prangtritis depan kompleks Ruko Perwita Regency.
"Hei rep neng ndi esuk-esuk ki?" Tanyanya dari sadel sepeda kayuhnya. Ternyata pengusaha sock breker ini juga hendak bersepeda ria menikmati udara pagi yang menyegarkan. Orang ini memang kemungkinan masuk sebuah club sepeda sport, itu bila dilihat dari model sepedanya yang selalu bermerek mahal jenis sport.
"Jalan-jalan ae, biasa esuk dina minggu mesti metu olah raga." Penulis menjawab, rupanya orang ini sudah biasa melihat penulis memang memiliki agenda saben minggunya jadi tidak bertanya macam-macam. Sering mereka berjumpa dijalan saat hari minggu diberbagai ruas jalan Yogyakarta ini, jadi tidak pernah mencurigai penulis.
"Ayuh aku disitan." Katanya sambil terus meninggalkan penulis yang juga meneruskan langkah.
Cepat saja penulis sampai kesebuah tempat yang termasuk sering singgah. Itulah Monumen TNI AU di Ngoto. Masih sedikit orang yang mengunjunngi monumen tersebut. Beberapa cewek ABG terlihat bergerrombol sambil memainkan HP saling memotret profile sendiri. Penulis menghindari perjumpaan dengan anak-anak ABG tersebut. Tujuan penulis langsung menuju kebelakang monumen memandang sebuah lanskap berupa perkebunan tebu dan pinggir sungai Code yang rimbun.
Sebuah tempat pojok cukup memadai untuk penulis melihat pemandangan alam. Dari ketinggian tempat monumen yang sudah seperti tempat datar karena di beton semen penulis leluasa memandang berbagai lokasi yang mengesankan. Tak lama kemudian tempat tersebut menjadi ramai oleh pengunjung, untung penulis agak tersembunyi tempatnya hingga tak akan ditegur sembarangan oleh orang yang lewat. Bahkan dari jarak beberapa puluh meter terdapat pasangan lelaki dan perempuan pacaran.
Apa yang didapat penulis?
Ya sabar tak gampang memfokuskan masalah di sebuah tempat yang sebenarnya untuk orang lain tak menarik, biasa-biasa saja kesan mereka, itu kemungkinannya.
Selemparan pandang dari rimbunnyaa rumpun tebu, keluar satu, dua terus sampai beberapa kali burung kuntul.
Nah ini dia fokus masalah yang dijadikan bahan tulisan.
Apa yang dicari burung kuntul dibawah kerimbunan batang tebu yang demikian lebat?
Sementara sudah beberapa puluh kuntul tersebut beterbangan keluar dari kerimbunan batang tebu yang belum menua, mungkin awal februari baru dipanen karena belum terlihat bunga bermekaran.
 Oh kemungkinan itu lahan mencari makanan untuk burung kuntul tersebut, hal yang menarik karena kuntul adalah burung ukuran besar yang sampai sekarang belum punah oleh perburuan terus menerus manusia. Dari masa kecil penulis sampai sekarang burung tersebut maih mendominasi kerimbunan pohon beringin dan bambu diberbagai tempat untuk bersarang.
Dan yang penulis lihat ini adalah tempat burung tersebut mencari makanan. Terlihat satu dua burung kuntul tersebut keluar dari kerimbunan batang tebu, satu kemudian langsung meninggalkan tempat terbang entah mungkin menuju sarangnya untuk menyuapi piyik yang menantinya disarang.
Sedangkan burung yang lain kleuar dari rimbunnya batang tebu langsung bertengger di beberapa rumpun bambu dan pohon tinggi kalbasia. Satu burung sempat menclok disatu rumpun kecil bambu paling dekatnya dengan penulis. Tapi begitu menclok sepertinya tahu tanda bahaya sehingga langsung terbang menjauh menjangkau teman-temannya yang lebih dahulu bertengger.
Ngapain ya burung-burung itu bertengger seperti istirahat,
Ya mungkin memang istirahat kekenyangan setelah mencari makan di bawah rumpun tebu yang terhampar luas. Berarti sumber makanan dibawah rimbunnya batang tersebut cukup melimpah, sungguh penulis belum tahu apa-apa yang dicari oleh burung kuntul tersebut.
Ini sebenarnya fenomena yang menakjubkan, bukankah Charles Darwin mendapatkan teori tentang evolusi spesies dari pengamatan terhadap keaneka ragaman burung di suatu lokasi. Yah penulis ingin mencoba menemukan sebuah hal yang sama. Oh paling tidak sedikit membuka tabir rahasia alam. Di kamar kos penulis ada sebuah buku ensiklopedia burung di Jawa dan Bali, sayangnya berbahas Inggris jadi sulit menerjemahkannya. Ya biar sajalah tak usah kita menjadikan bukui tersebut sebagai rujukan, mungkin dari peristiwa yang penulis lihat sudah berkesan sebuah keindahan tersendiri. Itu sudah cukup karena penulis tak memiliki referensi lain untuk menambah pengetahuan lain.
Terus ada sejam keluar burung dari kerimbunan batang tebu, berarti jauh sebelum subuh burung-burung tersebut sudah ketempat ini berburu makanan. Jika saja burung tersebut berbudaya, mereka hanya masuk burung pemburu dan pencari makan. Tapi itu semua penggeraknya hanya sebuah naluri, jadi tak ada unsur intelektualitasnya.
Seekor burung berteriak keras meninggalkan kerimbunan kebun tebu, oh itu jenis burung pelatuk. Itu bisa dilihat dari paruhnya yang lebih besar dan runcing untuk menemukan sarang ulat mangsanya di batang-batang pohon. Ternyata penulis masih sempat melihat burung tersebut sebelum mengalami kepunahan dimasa mendatang. Semoga tak terjadi peristiwa seperti itu, karena betapa gersangnya alam tanpa burung yang beterbangan. Bahkan biarpun itu adalah alam gurun sekalipun.
Sekelebatan penulis melihat seekor burung besar sama dengan elang, tapi bergerak meninggalkan kebun tebu menghilang cepat sekali. Warna burung tersebut memang sangat gelap, mungkin untuk bersembunyi dari serangan pemangsa atau pemburu. Itu memang jenis burung yang hidupnya soliter, mereka hidup sendiri individu dan hanya berkumpul saat musim kawin. setelah itu tidak saling mengenal lagi, dan penulis beruntung sempat melihat sekelebatan bayangannya. Biasanya burung tersebut mampu juga merayap cepat di tanah sehingga tak terdeteksi orang-orang yang lewat. Jumlah burung ini memang relatif sedikit, tidak pernah bergerombol seperti burung kuntul yang penulis saksikan saat ini.
Ada lagi burung puyuh liar, mereka bergerombol anak beranak, berpasangan mencari makanan. Burung ini masih lestari dan tak pernah bisa dikurung manusia, bila ada sedikit lahan kosong cukup luas pasti segera berkembang biak menurunkan keturunan. Diladang-ladang pertanian pun mereka sering terlihat, bergerak cepat saat didekati sempat terbang tapi hanya beberapa meter setelah itu berlari sembunyi memanfaatkan bulu-bulunya yang sesauai dengan rerumputan sekitar.
Cukuplah penulis melihat gejala alam di sebuah tempat yang tidak sengaja telah menjadi komunitas hewan. Padahal di seberang sungai beberapa ratus meter, kendaraan bermotor lalu lalang menimbulkan polusi dan mengancam hewan liar yang terdesak bingung saat tak bisa lewat menyeberang. Banyak binatang seperti katak tak mampu menyeberang langsung disambar mati begitu saja oleh pengendara yang lewat. Dan sedikit tempat aman ternyata itu adalah kerimbunan kebun tebu dan pinggir sungai Code, aman tentram dan sunyi tanpa kegaduhan dunia manusia. Mereka tak peduli akan kehancuran masa mendatang, asal kodratnya terpenuhi mereka berkembang dalam keterbatasan kemampuan yang mereka miliki.
Penulis merasakan panas mulai menyengat, beberapa pengunjung silih berganti berdatangan mengunjungi tempat wisata gratis ini. Penulis beranjak pergi, menyusuri sebuah jalan didalam monumen yang sangat teratur rapi melebihi jalan kampung. Mungkin karena anggarannya di turunkan langsung dari sebuah instansi militer di Indonesia.
"Zaah....Huszaaahhhh!!" Terdengar teriakan seorang petani yang sedang menunggui bulak sawahnya. Padi mulai menguning membuat burung pipit beterbangan mencari makan biji-bijian. Itu lagi jenis burung pemakan biji-bijian yang mungkin membuat inspirasi Darwin untuk menyimpulkan sebuah teori evolusi spesies. Burung pipit kecil ini menjadi hama pertanian, terkadang diburu oleh manusia untuk dijual untuk mainan anak kecil atau ditembak sebagai olahan lauk nasi.
Sekian dulu, hujan deras mulai mengguyur, penulis sudah tentram dalam buaian alam mimpi.By by

Sunday, November 10, 2013

Lanjutan situs beteng Mataram Kota Gede

Penulis mulai menjabarkan tentang Yoga, inilah hasil latihan selama beberapa puluh tahun. Penulis mengenal Yoga sejak kecil, tetapi melatihnya secara intensif baru tahun 1998 saat merantau dan bekerja di sebuah peerusahaan HPH di Kuala Kurun.
Apa itu yoga?
Penulis tak perlu menrangkan dari definisi  atau apapun pengetahuan masalah Yoga. Tidak perlu membahas dari asal-usul sampai pertentangannya dengan agama. Penulis menyadari bahwa yang didapat dari praktisi Yoga ini hanya berupa latihan rutin, itupun hanya sebagian kecil daari bidang Yoga yang demikian luas sesuai versi ahli Yoga yang lain.
Bagaimana cara laatihannya?
Sederhana saja, penulis mulai  menerangkan dari segi praktek yang dilakukan. Inilah teknik-tekniknya,
Sikap atau postur dalam bahasa sansekerta di sebut Asana. Nah inilah Yoga yang dilatih penulis hingga menjaddi jenis praktisi. Oh ya penulis tak pernah berpikir tentang apakah berlatoih yoga berarti menjaddi pertapa? Ya tidak pernah sampai kesana, juga bila disebut sebagai asketisme pun penulis sering bingung. Soalnya hingga detik ini biarpun berlatih yoga tetap saja hidup penulis normal di masyarkat.
Memang dalam berlatih sering sembunyi-sembunyi karena tak bisa memamerkan latihan tersebut sebagai konsumsi umum. Sangat tidak logis menjadikan latihan untuk ajang pamer "(itu pendapat penulis).Penulis mencoba membeberkan  jenis Asana saja, itupun tidak langsung semuanya.
Oke....
Asana versi I,
-Paschimotasana (Mencium lutut)
-Padmasana (Teratai)
-Postur menyilangkan kaki
-Vakrasana I (Miring)
-Mahamudra (Sikap utama)
-Vakrasana II
-Sirsana
-Halasana (Postur cangkul)
-Pada Hastasana
-Virasana
Penulis belum akan menerangkan jenis asana yang dilatih tersebut. Biarkan semuanya menjadi sebuah tulisan berdasarkan peristiwa atau kegiatan penulis yang lain.
HAri minggu hobi penulis jalan-jalan pasti ada sebuah oleh-oleh. Itulah yang lebih suka penulis terangkan untuk menjadi semacam artikel.
Kali ini penulis jogging menyusuri ring road selatan menuju timur.Start dari eks akmpus STIEKERS menuju selatan sampai ringroad. Dari perempatan jalan Parangtritis belok ke timur mencapai hotel Ros Inn. Setelahnya terus penulis berlari kecil mencapai perempatan Wojo kemudian melibas jembatan kali Code menyusuri sebuah kebun tebu desa tamanan bahkan akhrinya sampai di kampus Universitas Ahmad Dahlan. sampailah penulis di terminal Giwangan. Masih diteruskan lari pagi.
Stop!!
Jogging tak bisa dilanjutkan, ternyata sebuah proyek perbaikan jalan yang mengalami kerusakan sedang berlangsung. Tak mungkin kaki ini berlari dijhalan yang demikian kasar berbatu berlari. yah kaki penulis memang tak beralas alias nyeker.
Jalan rusak itu dahulu karena erosi saat hujan beberapa bulan yang lalu, ternyata kerusakan termasuk parah hingga perbaikan cukup lama sampai lebih dari dua bulan. Ini yang tidak diketahui penulis dulu saat habis hujan dan penulis jogging di areal tersebut ternyata telah memakan korban jiwa penduduk setempat. Orang tersebut bersepedda onthel mungiin karena hari massih gelap (Subuh) jadirnya tak melihat di depannya jalan telah menganga lebar sekali. Jatuhlah oraang tersebutt tanpa diketahui siapapun. Dan ternyata orang tersebut dittemukan telah meninggal dunia siang harinya. Ah kejadian tak terduga siapapun bisa menemui ajal dimanapun berada.
Tak bisa melewati jalan tersebut akhirnya penulis berbelok menuju sebuah gang kecil menuju utara. Oh sebenarnya penulis sudah tak tahu arah, belok kekiri itu menurut penulis menuju utara. Ini jalan kecil yang bila ditelusuri kemudian belok lagi kegang sempit yang tak beraspal hanya jalan berkonblok masih di wilayah Umbulharjo. Tepatnya di tepi kali gajah Wong.
Segera penulis menemui suasana teduh tepian sungai besar yang mengalir membelah kota dan kecamatan Banguntapan. Jalan ini menyusuri saaluran irigasi untuk lahan pertaanian. sangat teduh hingga membuat hati adem tentrem.
Ya ini sungai gajah Wong merupakan sambungan sungai dari kodya Yogyakarta yang mengalir membelah kota gede. Jadi merupakan sungai yang pasti dulunya bercerita tentang sebuaah keraton bekas Mataram. Keadaan sungai masih asri walaupun air sungai tak lagi bersih karrena sampah cukup banyuak dialirannya. Yang berkesan bagi penulis adalah disaluran irigasi ini seperti menjadi destinassi wisata sungai seperti Code. ya tetapi wisata di sungai gajah Wong bagian hilirnya ini terassa bersuasana pedesaan. Umbulharjo dan Jagalan, teernyata nama umbul mengena di tempat ini. Penulis langsung melihat sebuah papan nama yang menyatakan adanya sebuah mata air (Umbul) di bawah saluran air tepat dibawah jalan kecil yang penulius sedang menyusurinya. Terdata itu mata air yang diresmikan oleh Keraton Yogyakarta tertanggal 21 april 20013. Jadi merupakan sebuah umbul yang pasti memiliki kaitan dengan keraton yang masih eksis tersebut. Padahal sepintas melihat dari atas umbul tersebut biarpun berair tapi alirannya tak deras mungkin hanya bisa untuk cuci muka saja. Entahlah penulis mungkin salah perkiraan, soalnya beberapa meter dari umbul tersebut ada banguanan tertutup yang kemungkinan merupakan tempat penampunagn air untuk berbagai keperluan masyarkat. tak ada petunjuk mistik terkait dengan umbul tersebut.
Terus penulis menyusuri tepian kali gajah Wong tersebut, beberapa bangunan rumah seperti di kali Code tidak seberapa banyak. Rupanya banyak larangan mendirikan rumah mengahdap tepi sungai untuk pelestaarian sempadan sungai. Mungkin yang berani membangun orang-orang yang telah memiliki sertifikat tanah.Keadaan tepi sungai ini masih asri sampai dijalan beraspal menuju Jagalan. sampai di jembatan penulis sempat memandangi lanskap yang ada, ada kampung tepat berada di ujung bendungan irigasi hulu saluran pertanian. Kesanalah penulis menyusuri, bangunan rumah yang ada termasuk kumuh biarpun semuanya semi permanen. Kemungkinan tanah tersebut sebenarnya bukan hak milik karena tepat di saluran irigasi yang tentu akan bertabrakan dengan ebrbagai proyek perbaikan nantinya.
Kesanalah penulis menyusuri hingga mencapai bendungan tersebut. kali ini bendungan tersebut menampilkan genangan air seperti kolam yang luas hingga kemungkinan biassa orang memancing didam tersebut. Buktinya ada sebuah warung angkringan yang pagi itu mmasih tutup, kemungkinan mengandalkan ramianya pehobi mancing.
Dipinggir bendungan tersebut ada beberapa mata air yang digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan, juga beberapa kolam pemeliharaan ikan. Semoga mata air yang ada ini tetap lestari, soalnya melihat perkembangan bangunan yang ada diatasnya jelas bakalan menghisap air bawwah tanah sampai habis, itulah perkembangan pesat kota besar di Indonesia. 
masih penulis menysurinya sampai masuk kampung Jagalan, baru berakhir di jalan besar dimana terdaapt hotel besar Omah Duwur. Berakhirlah acara jalan-jalan penulis.
Yang berkesan dari penulis adalah setiap masuk kampung tentu merasakan keakraban dan keindahan tata kampung, mungkin inilah sebabnya biarpun seorang turis bule mencoba masuk kampung supaya mereka lebih mendapatkan kesan mendalam urusan kehidupan langsung di depan matanya. Jadi asalkan kita menata kampung biarpun tidak wah tetap saja akan berkesan bagi pendatang.

Fenomena orang gunungkidul di Yogyakarta.

Keluyuran dan jogging sudah mendarah daging dalam diri penulis. Memang tidak sesering beberapa tahun yang lalu. Tapi jogging dan keluyuran itulah yang banyak menjadikan penulis menemukan banyak bahan tulisan. Entah hobi ini bisa nggak ya disebut petualangan?
Ah  rasanya tidak sampai seperti seorang adventur yang bepergian mengelilingi dunia dengan berbagai tujuan. Penulis hanya keluar rumah kemudian berjalan kaki atau menggunakan sepeda onthel menuju keberbagai  tempat menarik disekitar Yogya.
Mungkin bisa disebut back paper, tapi juga tak mutlak karena jarang dalam perjalanan penulis membawa perlengkapan lengkap. Pokoknya keluar rumah kemudian bersepeda atau berjalan kaki menyusuri jalan hingga blusukan kekampung orang.
begitu juga beberapa hobi penulis seperti berolah Yoga dan berlatih Pencak Silat, rasanya bentuknya amatir tanpa pernah berkeinginan masuk komunitas manapun. Bahkan latihan sudah berlangsung entah beberapa tahun (mungkin mulai umur delapan tahun), penulis mengenal jenis praktisi dalam berbagai praktek latihan secara massal dan perorangan melalui perguruan dan pendalaman literatur(buku dan artikel dimedia massa). Bisa dikatakan tingkatnya autodidak.
Penulis mulai menyinggung Yoga dan Pencak Silat karena mungkin dalam beberapa tulisan mendatang akan memasuki hal tersebut sebagai bagian kecil hidup penulis.
Sebelum jogging dilaksanakan penulis pasti berlatih campuran antara Jurus dan Asana Yoga. memang penulis mendapatkan keduanya hampir bersamaan dan tak terpisah walaupun sebenarnya bidangnya berbeda. Pencampuran jenis latihan ini tak mengakibatkan pertentangan dalam batin penulis.
Saat ini latihan dipagi hari setelah sholat subuh, penulis keluar menuju teempat favorit di sebuah ruko Perwita Regency disebelah  utara berhadapan dengan padang ilalang eks Sekolah Tinggi Ekonomi Kerja Sama di Salakan.
Yang pertama adalah latihan Jurus, berupa hafalan dua jurus dengan tubuh bagian kanan dan tubuh bagian kiri untuk menyeimbangkan kemampuan (Walaupun dalam kenyataan tetap lebih kuat tubuh bagian kanan).
Setelah itu adalah berbagai jenis pemanasan berupa scot jump, push up dan sit up dengan hitungan tertentu. Barulah setelah itu latihan campuran Asana dan peregangan. Ah nanti dalam tulisan lain kita akan membahas berbagai pendalaman materi Yoga dan Jurus. Soalnya itu adalah termasuk prestasi penulis dalam menapaki hidup.
Ah inilah hasil keluyuran penulis berupa artikel sosial, fenomena orang gunungkidul di yogyakarta.
Ini gara-gara tempat tinggal penulis adalah sebuah kos-kosan yang dominan terdiri dari orang-orang Wonosari.
Seseorang menyapa penulis saat baru pulang dari rutinitas hobi keluyuran dan latihan.
"Jalan-jalan  neng endi Mas?" Pak Min bertanya sebagai basa- basi pertemuan pagi hari. Beliau bekerja sebagai pengrajin kulit untuk disetor keberbagai out let di sekitar Yogya. bahan baku kulitnya sendiri bukan lembaran kulit yang pasti mahal harganya tapi adalah limbah dari berbagai jenis meubel untuk orang kaya, dari limbah kulit tersebut bisa dirangkai dengan dijahit untuk membuat kerjinan tangan berupa tas, ikat pinggang, dompet, gantungan kunci dll.
Itulah kenapa penulis sering kagum terhadap kreatifitas orang Yogyakarta, mereka begitu benyak memiliki ketrampilan sebagai pengrajin untuk industri kreatif. Rasanya disudut manapun di Yogya akan kita temui fenomena tersebut. Dan pastinya sebagian besar adalah pendatang dari Wonosari (istilah untuk orang gunungkidul).
"Oh aku jalan-jalan di Kotagede pak Min." Penulis menjawab pertanyaan tetangga tersebut.
Ya mau apa lagi berbagai kegiatan penulis itu seperti rahasia saja, tak mungkin dibeberkan semua kepada orang lain. Bentuknya yang merupakan audiensi pribadi dengan aktifitas hampir menyerupai ritual menyulitkan penulis berdiskusi dengan orang lain yang tentu hampir seumur hidupnya tak mengenal dunia yang penulis geluti.
"oh hendak setor barang ke Malioboro ya?" Penulis berkomentarr saat melihat tumpukan tas kulit siap dibawa menuju out let."Ha Ha Ha cair nanti nih, langsung dah kita beli bakso kribo." Penulis bercanda.
"Ha Ha Ha memang Mas, setor tapi langsung munggah ke gunung menengok saudara kesripahan(layat)." Pak Min memberitahu.
"Oh langsung ke semanu, wah pasti ramai sekali." Komentar penulis.
Semanu itu sebuah kecamatan kalau nggak salah disebelah timur Wonosari. Daerahnya berupa perbukitan kapur sangat gersang.
"Oh ya nanti semua juga mantuk Mas." Pak Min memberitahu.
Ya benar tetangga dikamar sebelahpun semua orang Semanu. Mereka ternyata berkumpul disebuah deretan kamar untuk bernaung dan mencari penghasilan. Kok nggak dikampung sendiri saja ya?
Itulah fenomena orang-orang gunungkidul, mereka merantau dari tempat kelahirannya, menyebar diberbagai daerah sekitarnya yaitu Bantul, Kodya Yogyakarta, Sleman dan berbagai daerah sekitar Jawa Tengah dengan ikatan famili dan kedaerahan yang sangat kuat.
"Di gunung bertemu di kota bertemu lagi" Penulis sering berkata seperti itu.
Bagaimana lagi, orang-orang ini merantau mencari pekerjaan diberbagai kota bahkan hingga ibu kota Jakarta tapi tetap dalam ciri khasnya, sebuah daerah bergunung-gunung rangkaian gunung seribu sebagain diantaranya adalah bukit karst. Mereka begitu tegar mencari pekerjaan bahkan tak peduli biarpun hanya menjadi tukang rosok (pemulung), penjual makanan (bakso, mie ayam, penjual angkringan sampai pengrajin kulit dan menjadi buruh apa saja. Yang tak pernah ketinggalan adalah mereka tetap berkumpul dalam komunitas pergaulan pedesaan. Tak pernah tercerabut dari akar asal-usulnya.
Hidup mereka menurut pendapat penulis adalah menomor satukan acara desanya, jadi jangan heran apapun bila ada sebuah acara didesa yang harus melibatkan keikutsertaan mereka langsung berbondong-bondong pulang kedesa.
Acara-acara itu bisa berupa bersih desa (Rasulan), yang menjadi even semacam festival. Kemudian tradisi rewang (membantu gotong royong)dalam setiap hajat keluarga besar. Misalnya perkawinan, kematian, kelahiran. Nyadran setiap menjelang bulan puasa atau bahkan hal remeh temeh seperti menengok orang sakit tetap dilakoni mereka walaupun harus meninggalkan pekerjaan utama.
Tak heran dalam sebulan pasti ada seorang atau sebuah keluarga yang mudik kembali kekampung walaupun itu hanya sehari atau hitungan jam saja (soalnya jarak antara yogyakarta dengan semanu contohnya, itu hanya ditempuh dua jam saja dengan mengendarai motor).
Anehnya mereka tetap menyatakan diri mereka merantau, mereka membentuk paguyuban perantau dari Gunungkidul dalam bentuk acara arisan, halal bihalal atau semacam perkumpulan kesejahteraan berbentuk satu profesi.Dan tak pernah ada seorangpun dari gunung kidul itu menghindari dari komunitas masyarakat tersebut, bahkan untuk orang yang sudah lahir di Yogyakarta sekalipun. Mereka diusahakan tetap kembali kekampung halamannya atau dianggap sebagai berasal dari Wonosari. Soalnya penulis mengenal beberapaa teman yang semuanya kelahiran Yogyakarta tetapi mereka tetap ber KTP Gunungkidul. Rupanya tetap ada kebanggaan diri sebagai orang gunungkidul walaupun tahu kota Yogyakarta merupakan kota yang lebih besar dari kampungnya sana.
Dan disudut manapun di kota Yogyakarta pasti mendapati mereka dalam berbagai pekerjaan. Beberapa stereotip mereka adalah berpendidikan rendah, pekerja kasar tak menyurutkan mereka untuk tetap merantau. Tapi juga tetap kembali kekampung bila ada sebuah acara didesanya. Gunungkidul adalah kabupaten gersang yang masuk kategori tertinggal. Konon pendapatan anggaran belanja daerah tersebut tujuhpuluh persennya hanya untuk upah pegawai negerinya saja. Karena itulah daerah ini sangat terkenal dengan fenomena kemiskinannnya, kekeringan yang melanda berbulan-bulan hingga harus mendapat dropping air dari luar daerah dll. Kalau pemandangan alamnya cukup menjual untuk daerah wisata, kemudian mungkin berbagai festival kedaerahan mungkin bisa untuk dijadikan agenda pariwisata. sampai saat ini Gunungkidul masih mengandalkan wisata pantai sebagai primadona.
Fenomena lain ya itu thiwul, makanan ini adalah nasi palsu, orang Indonesia kalau belum makan nasi belum makan namanya. Karena sulit menanam padi bahkan dominan singkong maka hasil tersebut dibuat sebagai pengganti nasi. Nasi thiwul, berupa gaplek di tumbuk menjadi butiran sehingga menyerupai nasi. Itulah makanan pokok orang gunungkidul saat paceklik melanda, dan hampir setiap tahun pasti ada daerah kecamatannya yang mengalami kekurangan pangan tersebut. Karenanya secara lokal mereka bertahan dengan mengkonsumsi thiwul.
Oh kalau melihat bagaimana keadaan tanahnya, penulis pun terbelak.
Hampir-hampir tak percaya akan penglihatan tersebut.
Tanah-tanah berupa batu digempur untuk mendapatkan sejengkal tempat menanam singkong atau kacang tanah begitu keras menghitam hingga disebut batu bintang.Pepohonan hanya berupa hutan jati yang toleran dengan tanah berkapur tinggi, air sebenarnya ada tapi jauh berada dalam tanah dibawah bukit, hampir tak mungkin mengangkatnya keatas tanpa bantuan mesin penyedot.
Dan rumah-rumah kuno berbahan kayu menyambut penulis bila berkunjung kedaerah tersebut.