Sekali lagi penulis jalan-jalan ke Monumen TNI AU di Ngoto. Semuanyaa gara-gara virus flu menyerang lagi. Segala kegiatan langsung terhenti oleh penyakit selesma yang menyerang tubuh penulis. Serasa sia-sia segala latihan yang pernah penulis jalani.
Ya tentu penulis memiliki kegiatan sampingan berupa latihan beladiri Pencak Silat, Yoga, dan Jogging atau keluyuran.
Dan penghambat dari semua itu salah satunya adalah virus flu, kemungkinan juga karena gaya hidup penulis yang sering diluar rumah sebagai pemicunya. Bertahun-tahun penulis hidup dari mengasong koran (Oh ternyata sudah sampai sepuluh tahun, kemudian pernah juga dalam bidang jasa afdruk foto manual yang sekarang sudah tak ada lagi pengusahanya karena kalah dengan foto digital). Dan sebagai lanjutan dari afdruk foto adalah jasa stempel.
Jadi penulis hidup dalam dua jenis pekerjaan setiap harinya, pagi buta di perempatan Ringroad mengasong koran dan siang hari sampai sore di sebuah boks kios PKL usaha kecil-kecilan. Lumayan sampai sekarang penulis bisa bertahan hidup di perantauan Yogya. Kadang-kadang penulis beranggapan itu sebagai bentuk petualangan walaupun tidak seseru tokoh dalam novel.
Cita-cita sih kepengin jadi penulis terkenal, He He He dan sekarang lagi coba nih kirim-kirim naskah novel. Isinya yah sebenarnya memang pengalaman penulis di manapun pernah singgah.
Kalau Yoga, ya ini salah satu asana yang dilatih penulis hampir setiap harinya. Satu persatu saja ya,
Asana PASCHIMOTASANA,
-Duduklah dengan kedua kaki merapat dan lurus kedepan. Lengan menyentuh badan telapak tangan menyentuh lantai. Tulang punggung tegak lurus.
-Angkatlah kedua lengan anda, sehingga sejajar dengan lantai.
-Angkat terus, hingga berposisi vertikal dan menyentuh telinga. Telapak tangan menghadap keluar.
-Bungkukkan badan kedepan, peganglah jempol kaki dengan tangan sambil membungkuk semaksimal mungkin (Mencium lutut).
-Pertahankan postur ini selama beberapa saat (Semampunya).
Itulah salah satu yang penulis latih setiap hari, bila senggang tentunya. Oh latihan Asana ini sudah menjadi semacam journal bagi penulis. Jadi untuk meninggalkannya malah jadi aneh. Serasa bukan diri penulis nantinya.
Biarlah kegiatan tersebut terus melekat pada diri penulis, tambahannya adalah kesenangan penulis berupa hobi keluyuran. Tentu didalam hobi tersebut ada yang didapat, semacam oleh-oleh.
Langsung saat hari subuh, penulis keluar rumah. He He He kali ini sholat subuh tak terlaksana, batuk flu demikian keras membuat tenggorokan penulis sakit dan tidak berkonsentrasi bila sholat.
Seperti biasa keluar rumah jam segitu pasti berjumpa dengan beberapa tetangga yang baru dari sebuah masjid sholat berjamaah. Penulis langsung kabur secepatnya agar tidak kepergok orang-orang tua yang pasti akan menegur karena tak pernah sholat berjamaah.
Jalan terus menuju selatan.Berbelok ke Salakan terus belok menyusuri jalan kecil Saman. Uups sampai di sebuah kuburan Saman, berjumpa seorang lelaki yang dikenal penulis, itu langganan koran Merapi buka bengkel PRES POROKS di jalan Prangtritis depan kompleks Ruko Perwita Regency.
"Hei rep neng ndi esuk-esuk ki?" Tanyanya dari sadel sepeda kayuhnya. Ternyata pengusaha sock breker ini juga hendak bersepeda ria menikmati udara pagi yang menyegarkan. Orang ini memang kemungkinan masuk sebuah club sepeda sport, itu bila dilihat dari model sepedanya yang selalu bermerek mahal jenis sport.
"Jalan-jalan ae, biasa esuk dina minggu mesti metu olah raga." Penulis menjawab, rupanya orang ini sudah biasa melihat penulis memang memiliki agenda saben minggunya jadi tidak bertanya macam-macam. Sering mereka berjumpa dijalan saat hari minggu diberbagai ruas jalan Yogyakarta ini, jadi tidak pernah mencurigai penulis.
"Ayuh aku disitan." Katanya sambil terus meninggalkan penulis yang juga meneruskan langkah.
Cepat saja penulis sampai kesebuah tempat yang termasuk sering singgah. Itulah Monumen TNI AU di Ngoto. Masih sedikit orang yang mengunjunngi monumen tersebut. Beberapa cewek ABG terlihat bergerrombol sambil memainkan HP saling memotret profile sendiri. Penulis menghindari perjumpaan dengan anak-anak ABG tersebut. Tujuan penulis langsung menuju kebelakang monumen memandang sebuah lanskap berupa perkebunan tebu dan pinggir sungai Code yang rimbun.
Sebuah tempat pojok cukup memadai untuk penulis melihat pemandangan alam. Dari ketinggian tempat monumen yang sudah seperti tempat datar karena di beton semen penulis leluasa memandang berbagai lokasi yang mengesankan. Tak lama kemudian tempat tersebut menjadi ramai oleh pengunjung, untung penulis agak tersembunyi tempatnya hingga tak akan ditegur sembarangan oleh orang yang lewat. Bahkan dari jarak beberapa puluh meter terdapat pasangan lelaki dan perempuan pacaran.
Apa yang didapat penulis?
Ya sabar tak gampang memfokuskan masalah di sebuah tempat yang sebenarnya untuk orang lain tak menarik, biasa-biasa saja kesan mereka, itu kemungkinannya.
Selemparan pandang dari rimbunnyaa rumpun tebu, keluar satu, dua terus sampai beberapa kali burung kuntul.
Nah ini dia fokus masalah yang dijadikan bahan tulisan.
Apa yang dicari burung kuntul dibawah kerimbunan batang tebu yang demikian lebat?
Sementara sudah beberapa puluh kuntul tersebut beterbangan keluar dari kerimbunan batang tebu yang belum menua, mungkin awal februari baru dipanen karena belum terlihat bunga bermekaran.
Oh kemungkinan itu lahan mencari makanan untuk burung kuntul tersebut, hal yang menarik karena kuntul adalah burung ukuran besar yang sampai sekarang belum punah oleh perburuan terus menerus manusia. Dari masa kecil penulis sampai sekarang burung tersebut maih mendominasi kerimbunan pohon beringin dan bambu diberbagai tempat untuk bersarang.
Dan yang penulis lihat ini adalah tempat burung tersebut mencari makanan. Terlihat satu dua burung kuntul tersebut keluar dari kerimbunan batang tebu, satu kemudian langsung meninggalkan tempat terbang entah mungkin menuju sarangnya untuk menyuapi piyik yang menantinya disarang.
Sedangkan burung yang lain kleuar dari rimbunnya batang tebu langsung bertengger di beberapa rumpun bambu dan pohon tinggi kalbasia. Satu burung sempat menclok disatu rumpun kecil bambu paling dekatnya dengan penulis. Tapi begitu menclok sepertinya tahu tanda bahaya sehingga langsung terbang menjauh menjangkau teman-temannya yang lebih dahulu bertengger.
Ngapain ya burung-burung itu bertengger seperti istirahat,
Ya mungkin memang istirahat kekenyangan setelah mencari makan di bawah rumpun tebu yang terhampar luas. Berarti sumber makanan dibawah rimbunnya batang tersebut cukup melimpah, sungguh penulis belum tahu apa-apa yang dicari oleh burung kuntul tersebut.
Ini sebenarnya fenomena yang menakjubkan, bukankah Charles Darwin mendapatkan teori tentang evolusi spesies dari pengamatan terhadap keaneka ragaman burung di suatu lokasi. Yah penulis ingin mencoba menemukan sebuah hal yang sama. Oh paling tidak sedikit membuka tabir rahasia alam. Di kamar kos penulis ada sebuah buku ensiklopedia burung di Jawa dan Bali, sayangnya berbahas Inggris jadi sulit menerjemahkannya. Ya biar sajalah tak usah kita menjadikan bukui tersebut sebagai rujukan, mungkin dari peristiwa yang penulis lihat sudah berkesan sebuah keindahan tersendiri. Itu sudah cukup karena penulis tak memiliki referensi lain untuk menambah pengetahuan lain.
Terus ada sejam keluar burung dari kerimbunan batang tebu, berarti jauh sebelum subuh burung-burung tersebut sudah ketempat ini berburu makanan. Jika saja burung tersebut berbudaya, mereka hanya masuk burung pemburu dan pencari makan. Tapi itu semua penggeraknya hanya sebuah naluri, jadi tak ada unsur intelektualitasnya.
Seekor burung berteriak keras meninggalkan kerimbunan kebun tebu, oh itu jenis burung pelatuk. Itu bisa dilihat dari paruhnya yang lebih besar dan runcing untuk menemukan sarang ulat mangsanya di batang-batang pohon. Ternyata penulis masih sempat melihat burung tersebut sebelum mengalami kepunahan dimasa mendatang. Semoga tak terjadi peristiwa seperti itu, karena betapa gersangnya alam tanpa burung yang beterbangan. Bahkan biarpun itu adalah alam gurun sekalipun.
Sekelebatan penulis melihat seekor burung besar sama dengan elang, tapi bergerak meninggalkan kebun tebu menghilang cepat sekali. Warna burung tersebut memang sangat gelap, mungkin untuk bersembunyi dari serangan pemangsa atau pemburu. Itu memang jenis burung yang hidupnya soliter, mereka hidup sendiri individu dan hanya berkumpul saat musim kawin. setelah itu tidak saling mengenal lagi, dan penulis beruntung sempat melihat sekelebatan bayangannya. Biasanya burung tersebut mampu juga merayap cepat di tanah sehingga tak terdeteksi orang-orang yang lewat. Jumlah burung ini memang relatif sedikit, tidak pernah bergerombol seperti burung kuntul yang penulis saksikan saat ini.
Ada lagi burung puyuh liar, mereka bergerombol anak beranak, berpasangan mencari makanan. Burung ini masih lestari dan tak pernah bisa dikurung manusia, bila ada sedikit lahan kosong cukup luas pasti segera berkembang biak menurunkan keturunan. Diladang-ladang pertanian pun mereka sering terlihat, bergerak cepat saat didekati sempat terbang tapi hanya beberapa meter setelah itu berlari sembunyi memanfaatkan bulu-bulunya yang sesauai dengan rerumputan sekitar.
Cukuplah penulis melihat gejala alam di sebuah tempat yang tidak sengaja telah menjadi komunitas hewan. Padahal di seberang sungai beberapa ratus meter, kendaraan bermotor lalu lalang menimbulkan polusi dan mengancam hewan liar yang terdesak bingung saat tak bisa lewat menyeberang. Banyak binatang seperti katak tak mampu menyeberang langsung disambar mati begitu saja oleh pengendara yang lewat. Dan sedikit tempat aman ternyata itu adalah kerimbunan kebun tebu dan pinggir sungai Code, aman tentram dan sunyi tanpa kegaduhan dunia manusia. Mereka tak peduli akan kehancuran masa mendatang, asal kodratnya terpenuhi mereka berkembang dalam keterbatasan kemampuan yang mereka miliki.
Penulis merasakan panas mulai menyengat, beberapa pengunjung silih berganti berdatangan mengunjungi tempat wisata gratis ini. Penulis beranjak pergi, menyusuri sebuah jalan didalam monumen yang sangat teratur rapi melebihi jalan kampung. Mungkin karena anggarannya di turunkan langsung dari sebuah instansi militer di Indonesia.
"Zaah....Huszaaahhhh!!" Terdengar teriakan seorang petani yang sedang menunggui bulak sawahnya. Padi mulai menguning membuat burung pipit beterbangan mencari makan biji-bijian. Itu lagi jenis burung pemakan biji-bijian yang mungkin membuat inspirasi Darwin untuk menyimpulkan sebuah teori evolusi spesies. Burung pipit kecil ini menjadi hama pertanian, terkadang diburu oleh manusia untuk dijual untuk mainan anak kecil atau ditembak sebagai olahan lauk nasi.
Sekian dulu, hujan deras mulai mengguyur, penulis sudah tentram dalam buaian alam mimpi.By by