Sunday, November 10, 2013

Fenomena orang gunungkidul di Yogyakarta.

Keluyuran dan jogging sudah mendarah daging dalam diri penulis. Memang tidak sesering beberapa tahun yang lalu. Tapi jogging dan keluyuran itulah yang banyak menjadikan penulis menemukan banyak bahan tulisan. Entah hobi ini bisa nggak ya disebut petualangan?
Ah  rasanya tidak sampai seperti seorang adventur yang bepergian mengelilingi dunia dengan berbagai tujuan. Penulis hanya keluar rumah kemudian berjalan kaki atau menggunakan sepeda onthel menuju keberbagai  tempat menarik disekitar Yogya.
Mungkin bisa disebut back paper, tapi juga tak mutlak karena jarang dalam perjalanan penulis membawa perlengkapan lengkap. Pokoknya keluar rumah kemudian bersepeda atau berjalan kaki menyusuri jalan hingga blusukan kekampung orang.
begitu juga beberapa hobi penulis seperti berolah Yoga dan berlatih Pencak Silat, rasanya bentuknya amatir tanpa pernah berkeinginan masuk komunitas manapun. Bahkan latihan sudah berlangsung entah beberapa tahun (mungkin mulai umur delapan tahun), penulis mengenal jenis praktisi dalam berbagai praktek latihan secara massal dan perorangan melalui perguruan dan pendalaman literatur(buku dan artikel dimedia massa). Bisa dikatakan tingkatnya autodidak.
Penulis mulai menyinggung Yoga dan Pencak Silat karena mungkin dalam beberapa tulisan mendatang akan memasuki hal tersebut sebagai bagian kecil hidup penulis.
Sebelum jogging dilaksanakan penulis pasti berlatih campuran antara Jurus dan Asana Yoga. memang penulis mendapatkan keduanya hampir bersamaan dan tak terpisah walaupun sebenarnya bidangnya berbeda. Pencampuran jenis latihan ini tak mengakibatkan pertentangan dalam batin penulis.
Saat ini latihan dipagi hari setelah sholat subuh, penulis keluar menuju teempat favorit di sebuah ruko Perwita Regency disebelah  utara berhadapan dengan padang ilalang eks Sekolah Tinggi Ekonomi Kerja Sama di Salakan.
Yang pertama adalah latihan Jurus, berupa hafalan dua jurus dengan tubuh bagian kanan dan tubuh bagian kiri untuk menyeimbangkan kemampuan (Walaupun dalam kenyataan tetap lebih kuat tubuh bagian kanan).
Setelah itu adalah berbagai jenis pemanasan berupa scot jump, push up dan sit up dengan hitungan tertentu. Barulah setelah itu latihan campuran Asana dan peregangan. Ah nanti dalam tulisan lain kita akan membahas berbagai pendalaman materi Yoga dan Jurus. Soalnya itu adalah termasuk prestasi penulis dalam menapaki hidup.
Ah inilah hasil keluyuran penulis berupa artikel sosial, fenomena orang gunungkidul di yogyakarta.
Ini gara-gara tempat tinggal penulis adalah sebuah kos-kosan yang dominan terdiri dari orang-orang Wonosari.
Seseorang menyapa penulis saat baru pulang dari rutinitas hobi keluyuran dan latihan.
"Jalan-jalan  neng endi Mas?" Pak Min bertanya sebagai basa- basi pertemuan pagi hari. Beliau bekerja sebagai pengrajin kulit untuk disetor keberbagai out let di sekitar Yogya. bahan baku kulitnya sendiri bukan lembaran kulit yang pasti mahal harganya tapi adalah limbah dari berbagai jenis meubel untuk orang kaya, dari limbah kulit tersebut bisa dirangkai dengan dijahit untuk membuat kerjinan tangan berupa tas, ikat pinggang, dompet, gantungan kunci dll.
Itulah kenapa penulis sering kagum terhadap kreatifitas orang Yogyakarta, mereka begitu benyak memiliki ketrampilan sebagai pengrajin untuk industri kreatif. Rasanya disudut manapun di Yogya akan kita temui fenomena tersebut. Dan pastinya sebagian besar adalah pendatang dari Wonosari (istilah untuk orang gunungkidul).
"Oh aku jalan-jalan di Kotagede pak Min." Penulis menjawab pertanyaan tetangga tersebut.
Ya mau apa lagi berbagai kegiatan penulis itu seperti rahasia saja, tak mungkin dibeberkan semua kepada orang lain. Bentuknya yang merupakan audiensi pribadi dengan aktifitas hampir menyerupai ritual menyulitkan penulis berdiskusi dengan orang lain yang tentu hampir seumur hidupnya tak mengenal dunia yang penulis geluti.
"oh hendak setor barang ke Malioboro ya?" Penulis berkomentarr saat melihat tumpukan tas kulit siap dibawa menuju out let."Ha Ha Ha cair nanti nih, langsung dah kita beli bakso kribo." Penulis bercanda.
"Ha Ha Ha memang Mas, setor tapi langsung munggah ke gunung menengok saudara kesripahan(layat)." Pak Min memberitahu.
"Oh langsung ke semanu, wah pasti ramai sekali." Komentar penulis.
Semanu itu sebuah kecamatan kalau nggak salah disebelah timur Wonosari. Daerahnya berupa perbukitan kapur sangat gersang.
"Oh ya nanti semua juga mantuk Mas." Pak Min memberitahu.
Ya benar tetangga dikamar sebelahpun semua orang Semanu. Mereka ternyata berkumpul disebuah deretan kamar untuk bernaung dan mencari penghasilan. Kok nggak dikampung sendiri saja ya?
Itulah fenomena orang-orang gunungkidul, mereka merantau dari tempat kelahirannya, menyebar diberbagai daerah sekitarnya yaitu Bantul, Kodya Yogyakarta, Sleman dan berbagai daerah sekitar Jawa Tengah dengan ikatan famili dan kedaerahan yang sangat kuat.
"Di gunung bertemu di kota bertemu lagi" Penulis sering berkata seperti itu.
Bagaimana lagi, orang-orang ini merantau mencari pekerjaan diberbagai kota bahkan hingga ibu kota Jakarta tapi tetap dalam ciri khasnya, sebuah daerah bergunung-gunung rangkaian gunung seribu sebagain diantaranya adalah bukit karst. Mereka begitu tegar mencari pekerjaan bahkan tak peduli biarpun hanya menjadi tukang rosok (pemulung), penjual makanan (bakso, mie ayam, penjual angkringan sampai pengrajin kulit dan menjadi buruh apa saja. Yang tak pernah ketinggalan adalah mereka tetap berkumpul dalam komunitas pergaulan pedesaan. Tak pernah tercerabut dari akar asal-usulnya.
Hidup mereka menurut pendapat penulis adalah menomor satukan acara desanya, jadi jangan heran apapun bila ada sebuah acara didesa yang harus melibatkan keikutsertaan mereka langsung berbondong-bondong pulang kedesa.
Acara-acara itu bisa berupa bersih desa (Rasulan), yang menjadi even semacam festival. Kemudian tradisi rewang (membantu gotong royong)dalam setiap hajat keluarga besar. Misalnya perkawinan, kematian, kelahiran. Nyadran setiap menjelang bulan puasa atau bahkan hal remeh temeh seperti menengok orang sakit tetap dilakoni mereka walaupun harus meninggalkan pekerjaan utama.
Tak heran dalam sebulan pasti ada seorang atau sebuah keluarga yang mudik kembali kekampung walaupun itu hanya sehari atau hitungan jam saja (soalnya jarak antara yogyakarta dengan semanu contohnya, itu hanya ditempuh dua jam saja dengan mengendarai motor).
Anehnya mereka tetap menyatakan diri mereka merantau, mereka membentuk paguyuban perantau dari Gunungkidul dalam bentuk acara arisan, halal bihalal atau semacam perkumpulan kesejahteraan berbentuk satu profesi.Dan tak pernah ada seorangpun dari gunung kidul itu menghindari dari komunitas masyarakat tersebut, bahkan untuk orang yang sudah lahir di Yogyakarta sekalipun. Mereka diusahakan tetap kembali kekampung halamannya atau dianggap sebagai berasal dari Wonosari. Soalnya penulis mengenal beberapaa teman yang semuanya kelahiran Yogyakarta tetapi mereka tetap ber KTP Gunungkidul. Rupanya tetap ada kebanggaan diri sebagai orang gunungkidul walaupun tahu kota Yogyakarta merupakan kota yang lebih besar dari kampungnya sana.
Dan disudut manapun di kota Yogyakarta pasti mendapati mereka dalam berbagai pekerjaan. Beberapa stereotip mereka adalah berpendidikan rendah, pekerja kasar tak menyurutkan mereka untuk tetap merantau. Tapi juga tetap kembali kekampung bila ada sebuah acara didesanya. Gunungkidul adalah kabupaten gersang yang masuk kategori tertinggal. Konon pendapatan anggaran belanja daerah tersebut tujuhpuluh persennya hanya untuk upah pegawai negerinya saja. Karena itulah daerah ini sangat terkenal dengan fenomena kemiskinannnya, kekeringan yang melanda berbulan-bulan hingga harus mendapat dropping air dari luar daerah dll. Kalau pemandangan alamnya cukup menjual untuk daerah wisata, kemudian mungkin berbagai festival kedaerahan mungkin bisa untuk dijadikan agenda pariwisata. sampai saat ini Gunungkidul masih mengandalkan wisata pantai sebagai primadona.
Fenomena lain ya itu thiwul, makanan ini adalah nasi palsu, orang Indonesia kalau belum makan nasi belum makan namanya. Karena sulit menanam padi bahkan dominan singkong maka hasil tersebut dibuat sebagai pengganti nasi. Nasi thiwul, berupa gaplek di tumbuk menjadi butiran sehingga menyerupai nasi. Itulah makanan pokok orang gunungkidul saat paceklik melanda, dan hampir setiap tahun pasti ada daerah kecamatannya yang mengalami kekurangan pangan tersebut. Karenanya secara lokal mereka bertahan dengan mengkonsumsi thiwul.
Oh kalau melihat bagaimana keadaan tanahnya, penulis pun terbelak.
Hampir-hampir tak percaya akan penglihatan tersebut.
Tanah-tanah berupa batu digempur untuk mendapatkan sejengkal tempat menanam singkong atau kacang tanah begitu keras menghitam hingga disebut batu bintang.Pepohonan hanya berupa hutan jati yang toleran dengan tanah berkapur tinggi, air sebenarnya ada tapi jauh berada dalam tanah dibawah bukit, hampir tak mungkin mengangkatnya keatas tanpa bantuan mesin penyedot.
Dan rumah-rumah kuno berbahan kayu menyambut penulis bila berkunjung kedaerah tersebut.

No comments:

Post a Comment