Sunday, October 15, 2017

HATAPRADIPIKA



        HATAPRADIPIKA
Penulis berlatih Yoga, Meditasi, dan Pencak Silat. Sampai saat ini masih berlangsung. Untuk menambah pengetahuan sering hanya mendasarkan pada dunia maya dengan mencari di berbagai media sosial. Salah satunya adalah dari Group Facebook Yoga Indonesia.
Penulis mengambil satu manuskrip karangan Pujangga besar pengajaran Yoga yaitu Begawan Patanjali. Namanya HATAPRADIPIKA, maksud penulis adalah seberapa besar kesesuaian antara manuskrip kuno yang berisi ajaran Yoga dengan praktek latihan Yoga yang sehari-hari dilakukan penulis.
1.69 na vesha-dharanam siddheh karanam na cha’at-kathakriyaiva karanam siddheh satyamatanna samsayah
1.70 pithani kumbhakaschitra divyani karanani cha sarvanyapi ha, habhyase raja-yogha-phalavadhi
“asana (postur), aneka kumbhaka, dan dalam artian sarana ilahiah lainnya, semua harus dilakukan dalam praktek Hatha Yoga, hingga (kemudian) buah dari raja yoga-diraih”
Sedangkan pengertian Raja Yoga terdapat dalam manuskrip dari Patanjali Yoga Sutra, Asthanga Yoga.
11.1 tapah svadyay-esvarapranidharani kriya-yogah
11.2 samadhi-bhavana-attah kiesa tani-karana-arthas ca
11.3 avidya-asmita-raga-dvesa-abhirivesah kiesah
“hidup sederhana dengan penuh kedisiplinan (tapah), mempelajari ajaran-ajaran kebaikan secara mandiri (svdhyay), dan menyerahkan diri, kerja, dan hasil kerja dalam ranah pengabdian kepadanya (esvarapranidharani), ini disebut kriya yoga- hal ini dilakukan untuk melenyapkan kekotoran batin yang menyebabkan penderitaan (karma) dan untuk mencapai kebahagiaan spiritual (samadi)
Kebodohan atau kegelapan batin (avidya), egoisme (asmita), kelekatan atau kecintaan pada ragawi (raga), kebencian (dvesa), dan kecintaan yang sangat pada kehidupan sehingga amat takut mati (abhirivesah) adalah lima kekotoran batin (panca kiesah)”
Penulis mencoba menafsirkannya secara bebas menuruti selera sendiri, jadi jangan menjadikan tulisan ini sebagai pembenaran mutlak. Siapapun boleh menafsirkan karena setiap orang memiliki latar belakang berbeda, kalau untuk penulis mencoba menyesuaikan dengan hasil latihan selama bertahun-tahun yang tidak pernah mencapai kesempurnaan.
Yoga dalam pemahaman penulis berdasarkan praktek latihan adalah Asana Yoga dan Meditasi. Biarpun bercampur dengan latihan Jurus Pencak Silat tapi bidangnya bisa digabungkan tanpa saling meniadakan. Soal metodanya benar atau salah kurang mengetahui, ini akibat latihan didapat secara otodidak dengan petunjuk yang termasuk sembarangan saja mencatut dari berbagai sumber.
Seberapa besar pendekatan Yoga penulis dengan manuskrip kuno Patanjali Yoga Sutera ini?
Masih jauh???? Ya tidak apa-apa!!
Tak mengapa untuk fisik lumayan bisa mencapai kesehatan raga. Lagi pula penulis mendapati latihan asana dan meditasi selama ini lebih banyak untuk hiburan karena dilakukan waktu-waktu senggang.
Juga melatihnya tidak murni asana dan meditasi, bercampur-campur dengan gerak senam aerobik dan bela diri yang semuanya masih tanggung. Tingkat penulis dalam semua jenis latihan hanya sebagai peminat saja. Semuanya diraih penulis hanya untuk mendapatkan semacam identitas diri yang sedikit berbeda dengan orang lain.
Asana-asana yang dikuasai terpotong-potong, tidak ada metoda dalam gerak seperti yang diajarkan lembaga kursus bersertifikat. Lembaga kursus tersebut standarnya sudah sangat aman untuk semua kalangan. Penulis dalam berlatih cuma mencontoh gerak dari gambar-gambar di buku yoga yang banyak beredar di Indonesia.
Tercantum kata aneka kumbhaka- penulis tak tahu artinya, juga tak perlu membahasnya. Jadi biarpun mendekatkan diri dengan Hatapradipika untuk aneka kumbhaka ini penulis tak memahaminya. Apa lagi melatihnya rutin, walaupun mungkin juga tak sengaja telah melakukannya sehari-hari.
Mungkin aneka kumbhaka berhubungan dengan pengaturan nafas yang disebut pranayama. Ini bukan bidang penulis, pengetahuan penulis hanya tahu sedikit dari berbagai artikel yang berhubungan dengan yoga dan kesehatan.
…..dan dalam sarana ilahiah lainnya,…..
Kalimat laanjutan Hatapradipika mungkin mudah ditafsirkan, kata ilahiah menyatakan pendekatan pada Tuhan. Yang dimaksud mungkin adalah ritual ibadah. Soal agama silahkan menyesuaikan dengan yang dianut masing-masing. Seluruh ritual ibadah adalah untuk menghadirkan adanya kekuasaan yang maha mutlak pada setiap umat manusia.
Menurut pendapat penulis kalimat ini bukan menyatakan Hatapradipika lebih tinggi dari ajaran agama tetapi keberadaan manuskrip ini saat agama-agama besar sudah berkembang di seluruh belahan dunia.
Jadi bentuknya hanya sebuah kesimpulan dari fenomena-fenomena yang sudah ada.
Mungkin yang paling mendekati latihan dari penulis untuk kalimat di atas adalah Meditasi. Penulis cukup rutin melakukan meditasi, lebih ke olah pikiran dari pada mendekatkan diri pada mistik agama.
Duduk bersila (Padmasana), bernafas teratur sekedarnya, melakukan visualisasi Grounding (Terhubung ke langit dan bumi), membersihkan cakra, afirmasi (Mantera) dan latihan getaran suara.
Padmasananya bagian dari Asana Yoga, bernafas teratur mungkin masuk Pranayama dan kemudian visualisasi anggap saja itu semacam mistik. Sedangkan Mantera/Afirmasi merupakan bagian bahasa lisan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu contohnya adalah doa, dzikir, mantera berbagai upacara ritual agama atau sekedar memanfaatkannya untuk sarana mengundang roh nenek moyang/klenik.
Kalau untuk penulis saat bermeditasi semuanya bercampur-campur atau sekaligus.
Penulis berpendapat meditasi adalah kelanjutan latihan asana untuk mencapai puncak intelektual dan spiritual. Bukti-bukti tentang kemampuan intelektual dan spiritual bisa dilihat dari monumen kuno yang bertebaran di seluruh Indonesia. Diantaranya adalah semegah-megahnya candi Borobudur, candi Prambanan dll semuanya adalah pengejawantahan atau bisa ditafsirkan sebagai pencapaian laku meditasi.
Stupa, Lingga, Yoni, Meru dll merupakan lambang-lambang pencapaian kesempurnaan. Jalannya adalah laku meditasi yang terprogram, Tentu sebenarnya sangat menarik bila dikaji dari sejarah, kemungkinan besar saat didirikannya berbagai monumen kebesaran Hindu Budha sudah ada sistem pendidikan dengan metoda praktek meditasi. Mungkin bila sistem pendidikannya diterapkan jaman sekarang setara dengan universitas.
Ahli-ahli meditasi mungkin saat itu bertebaran, sekarang metodanya banyak yang lenyap karena terkubur di tanah akibat bencana alam maha dahsyat. Tinggallah yang tersisa berupa monumen bangunan candi yang penuh dengan keheningan para penciptanya.
Soal meditasi penulis sekedar meluangkan waktu melatihnya, bukan inti dari kehidupan sehari-hari, lebih tepatnya adalah sarana hiburan. Lumayanlah keseharian penulis menjadi bervariasi karenanya.
Itulah yang bisa penulis paparkan soal meditasi.
…..semua harus dilakukan dalam praktek Hatha Yoga…..
Menafsirkan kalimat dari naskah kuno memang bisa berubah-ubah, semakin ahli seseorang dalam penguasaan kajian sejarah makin tahu makna yang tersembunyi di kalimat tersebut di atas. Mungkin banyak pujangga yang bisa membuat tafsir yang lebih baik berdasarkan versinya.
Terbaca seolah-olah Hatha Yoga adalah yang terbaik, padahal itu hanya penggambaran dari hasil latihan. Bagi penulis cukuplah mencakup apa-apa yang dipraktekan sehari-hari. Jadi penulis berlatih asana, aneka kumbhaka, meditasi, dan berbagai ritual ibadah menurut ajaran agama berjalan terus, menjadi kebiasaan atau kemampuan.
Hatha Yoga di sini adalah kemampuan, kekuatan, di artikel lain adalah Matahari dan Bulan (Persatuan), silahkan membuat penafsiran sendiri.
Kebiasaan tentu akan mencapai kemampuan, penguasaan, dan pengalaman. Cakupannya sederhana saja untuk penulis, yaitu dari hasil latihan asana yoga selama ini.
Sudahkah penulis mencapainya?
Oh tak perlu sesempurna naskah Hatapradipika ini. Satu dua kemampuan mencukupilah, penulis menyatakan tak mampu menguasai semua bidang yang sangat idealis tersebut. Tapi kalau ikhtiar atau usaha boleh dong…..
Soal kekurangan di sana-sini itu manusiawi sekali.
…..hingga (kemudian) buah dari Raja Yoga-diraih….
Mudah menggambarkan seorang raja. Seorang yang duduk di kursi singgasana yang dipenuhi kekayaan dan kekuasaan serta kehormatan. Paling mudah menggambarkan raja adalah pasti secara materi sangat berlimpah. Sangat banyak contohnya, rata-rata orang yang sukses dalam bisnis pun disebut raja.
Penulis tentu saja tak menyebut diri mencapai Raja Yoga. Berlatih asana, aneka kumbhaka, meditasi, dan ritual ibadah cukup sebagai tabungan masa depan. Karena melatihnya mulai umur likuran maka saat mencapai umur setengah abad ini tahu saja hasil tabungannya sudah seberapa…..lumayan ternyata.
Kesehatan masih memadai, bisa menjadi modal kegiatan lain tanpa banyak hambatan, Alhamdulillah.
Raja Yoga itu bagaimana sih?
Keterangannya dijelaskan pada Yoga Sutra karangan Begawan Patanjali, Hasthanga Yoga.
……hidup sederhana dengan penuh kedisiplinan (Tapah), mempelajari ajaran-ajaran kebaikan secara mandiri (svdhayay), dan menyerahkan diri, kerja, dan hasil kerja dalam ranah penyerahan kepadanya (esvarapranidhanani), ini disebut kriya yoga…..
Perhatikan kata yoga, bisa tersirat di bagian mana saja. Dari awal ada asana yoga, raja yoga, hasthanga yoga, sekarang kriya yoga. Bila membaca naskah Bhagavad Gita maka dari bab 1 sampai berakhir semua judulnya selalu berakhir kata yoga.
Bagi penulis sekarang yoga adalah prosesnya, bukan tujuan akhir. Jalannya macam-macam, sekarangpun jalannya melalui kriya yoga seperti yang tertulis di atas.
Kriya Yoga ada tapah, penulis tahunya itu Tapa dalam budaya Jawa. Hidup mengasingkan diri mencapai tataran spiritual. Budaya Jawa sarat dengan laku tapa ini, boleh dikata setiap tempat yang berkaitan dengan leluhur orang Jawa bisa menjadi wisata spiritual ala Jawa.
Tapi dari naskah Hatha Yoga ini penulis melihat hidup sederhana dan disiplin sudah bisa disebut tapah. Cukuplah itu menjadi rujukan dari berbagai fenomena tapa yang ada di Jawa.
Kemudian swdhayay, mudah saja membahasakannya dalam bahasa Indonesia, swadaya. Kalimat ini adalah program-program kemandirian dalam berbagai bidang untuk mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini lebih ke urusasn kejiwaan mencapai kebaikan di masyarakat.
…..dan menyerahkan diri, kerja dan hasil kerja dalam ranah pengabdian kepadanya….
Bayangkan tentu sempurna sekali seseorang yang bisa mencapainya. Idealisme seperti ini yang belum bisa dilakukan penulis. Bilapun mencapainya dengan tertatih-tatih sudah harus bersyukur.
Bila ketiganya bisa dilaksanakan bersama disebut Kriya Yoga.
Bila membaca naskah-naskah kuno memang banyak berkaitan dengan spiritual, tingkatan penulis dalam menapakinya baru sekedar coba-coba. Tak ada peningkatan berarti, hidup biasa-biasa saja, artinya masih jauh dari pencapaian yang disebut oleh pengarangnya Begawan Patanjali.
Kelanjutan Hasthanga Yoga,
….hal ini dilakukan untuk melenyapkan kekotoran batin yang menyebabkan penderitaan (karma) dan untuk mencapai kebahagiaan spiritual (samadi)…
Inilah kondisi seseorang yang mencapai hatapradipika. Lepas dari penderitaan di dunia dan mendapatkan nikmat yang digambarkan situasi samadi (keheningan yang dalam). Tapi terserah pembacca saja menafsirkannya berdasarkan latar belakang dan pengetahuannya.
Bagi penulis naskah ini lebih baik mendekatkan diri pada budaya Jawa yang bisa sangat fleksibel karena pernah mendapatkan pengaruh budaya Hindhu Budha. Jadi jangan kaget dalam keseharian orang jawa istilah karma dan samadi sudah melekat banyak sekali dalam adat. Kisah-kisah dunia pewayangan didominasi laku budaya ini, dan bisa diterima semua kalangan.
Gara-gara penulis berlatih asana dan meditasi maka begitu ada naskah hatapradipika dicoba sebagai pembanding. Bayangkan sudah rutin melatihnya tapi tidak tahu apa-apa yang ditujunya, mau tersesat ke mana ya?
Toh setelah membaca dan sedikit mempelajarinya penulis yakin bukan seorang Pakar Yoga, mungkin cukup sebagai penikmat karena dalam melatihnya mendapat sedikit manfaat……
Penulis mengakhiri tulisan dengan tambahan tentang apa yang disebut kekotoran batin menurut Asthanga Yoga yang disebut Panca Klesah,
Kebodohan atau kegelapan batin (avidya), egoisme (asmita), kelekatan atau kecintaan pada ragawi (raga), kebencian (dvesa), dan kecintaan yang sangat pada kehidupan sehingga amat takut mati (abhinivesah).
Namaste.




Jathilan 2017



JATHILAN
Selama setengah abad Penulis hidup belum pernah menonton apa itu seni Jathilan (Ebeg, Bms). Karena itulah saat peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta tahun 2017 akhirnya tergerak juga untuk menonton seni tradisi yang merakyat ini.
Jujur Penulis menyatakan dari dulu tidak menonton seni ini karena ada efek negatif, menjurus klenik!
Komunitas-komunitas Jawa di perantauan seperti Kalimantan ternyata banyak menjadikan seni jathilan sebagai identitas. Jathilan di tanah rantau lebih sering disebut seni Kuda Lumping.
Biarpun dikenal sebagai seni tradisi Jawa tetapi kuda lumping juga digemari orang-orang dari suku lain terutama warga asli daerah tersebut. Mereka mengagumi karena pertunjukan tersebut memiliki atraksi-atraksi di luar kebiasaan masyarakat.
Seni ini berkembang di tengah masyarakat sama seperti tayub dan reog Ponorogo. Jadi keberadaannya berada di luar istana. Karenanya seni tari ini bersifat egaliter, milik semua kalangan, dan boleh melibatkan semua warga tanpa pandang bulu. Tapi biasanya seni ini berkembang di tengah masyarakat agraris (Kultur Tani).
Seni pertunjukan ini menggambarkan peperangan, ketrampilan para ksatria berperang di atas kuda tunggangan memerangi musuh yang digambarkan menimbulkan huru-hara berupa buta (raksasa) biasanya berkostum topeng barongan.
Penulis pernah membaca artikel tentang sni kuda lumping ini, konon menggambarkan perang di padang Karbala. Ini adalah perangnya cucu nabi Muhammad SAW yaitu Husen RA yang dibantai kaum Muawiyah. Artikel ini mencatat keterangan bahwa asal-usul seni ini mendapat pengaruh kuat aliran Islam Syiah yang pernah berkembang di jaman awal-awal Islam di Nusantara.
Tapi dalam perkembanganya sama sekali tidak berunsur keagamaan. Pengaruh kepercayaan lokal berupa animisme dan dinamisme sangat kental, mungkin akhirnya tumpang tindih menjadi kolaborasi yang unik.
Bahkan kemudian ada tambahan pertunjukan berunsur samanisme (Perdukunan) yang mempraktekan keadaan kesurupan (Intrance) sebagai klimaks acara tarian ini. Di bagian pertunjukan yang mempraktekan para penari kerasukan inilah yang menjadikan jathilan begitu sangat menarik ditonton. Tingkah polah penari yang kerasukan tak mungkin dilakukan dalam keadaan sadar sepenuhnya oleh seseorang. Kerasukan ini dilakukan oleh dukun-dukun yang menjadi pengontrol para penari agar tetap dalam kendalinya.
Saat Penulis menonton tari ini coba menuliskannya dalam beberapa sesi mulai dari awal hingga berakhir.
Sesi pertama adalah persiapan pasukan berkuda hendak maju perang. Delapan penari memperagakan gerak tari dengan kuda kepang dan cambuk yang siap diperagakan sebagai ketrampilan menunggang kuda. Sesi ini menampilkan gerak simbolis ksatria maju berperang menegakan kebaikan dari keangkara murkaan sang musuh.
Bila melihat gerakan tarinya yang berdurasi sekitar sepuluh menit, itu sudah menguras stamina penari. Sesi ini berakhir dalam bentuk barisan berkuda duduk bersiaga sejajar kanan kiri membiarkan lapangan tengah kosong. Penari diberi minum karena memang kehausan, dan juga melepaskan beberapa kostum yang akan mengganggu nantinya bila sampai di acara puncak.
Sesi kedua adalah munculnya empat penari bertopeng barongan yang menggambarkan buta (pasukan raksasa) yang harus diperangi oleh ksatria berkuda. Kostumnya menggambarkan kegemparan, kegelapan dan mengobarkan kerusakan di seluruh arena perang.
Pasukan barongan sebagai buta (Raksasa) menantang perang dengan berbagai manuver di depan pasukan berkuda yang siap memeranginya. Mulai ada atraksi dengan dipantau oleh seorang pawang dengan melakukan sebaran bunga sesaji dan membakar batangan dupa lidi.
Reaksi dari uba rampe yang dilakukan pawang membuat para raksasa bertingkah ganas dan buas walaupun masih terkendali dalam formasi barisan dan gerak tari. Para raksasa menanti perlawanan dari pasukan berkuda yang berada dalam sikap duduk angkuh.
Masuk sesi ketiga,
Pasukan berkuda memperagakan ketrampilannya memerangi pasukan raksasa dengan formasi dua penari maju bertempur, menyerang dan memainkan cambuk sebagai pengusir para buta yang menyebarkan keangkara murkaan.
Dari pinggir lapangan dalam formasi sejajar dua penari masuk ke tengah lapangan mengitari sudut-sudut lapangan, maju, mencambuk, berputar di tengah saling mengisi bagian kanan dan kiri posisi kuda masing-masing dan berakhir kembali ke posisi semula di barisan pinggir lapangan. Adegan ini sampai empat kali karena ada delapan penari yang memperagakannya.
Sesi keempat,
Para raksasa memperagakan tarian yang menggambarkan keganasan membuat keonaran di arena medan perang, mengamuk karena diperangi oleh para kesatria, sedangkan pasukan berkuda makin kompak berkumpul menghimpun kekuatan di tengah arena agar bisa terus memerangi amukan para buta yang tak terkendali.
Gendhing dibunyikan monoton namun sangat menghentak. Di sinilah sebenarnya para pawang bergerak di dua sisi yaitu di pihak pasukan buta dan pasukan berkuda. Mempraktekan ritual memasukan makhluk-makhluk alam lain pada para penari.
Gnedhingpun ditabuh bertalu-talu, tahu-tahu kedua pasukan yang saling berhadapan bergerak liar tak terkendali. Arena perang berubah memilukan, pasukan berkuda bergerak liar sebagian menabrak pagar pembatas penonton, kemudian terjungkal tak berdaya.
Arena tari jadi kcau balau dengan tingkah polah penari-penari baik itu para buta maupun ksatria yang kerasukan. Inilah klimaks acara…….
Sinden pun menyanyikan lagu yang memilukan diiringi gendhing yang menyayat hati. Keadaan tersebut menggambarkan peperangan yang tadinya penuh gelora semangat kepahlawanan menjadi medan yang menyedihkan. Tapi bagi penonton justru sangat menarik karena mendapatkan tontonan polah tingkah penari-penari yang dalam keadaan intrance (Kerasukan).
Ada penari yang bertingkah seperti celeng (Babi hutan), anjing, ataupun monyet (kera). Beberapa penari seolah masih kurang manjing jadi akhirnya makan bunga mawar sesaji dan dupa lidi yang masih terbakar.
Dalam adegan di group lain konon lebih mengerikan lagi, ada yang sampai makan pecahan beling torong lampu minyak, sabut kelapa, ayam mentah atau gabah padi mentah dll.
Atraksi inilah yang menjadi ciri khas perbedaannya dengan seni tari rakyat lain. Bagi penulis sendiri,
“Kasihan penarinya, jelas sangat tersiksa seluruh badannya.”
Tak semua penari mencapai kerasukan, tapi terkadang membuat adegan histeris membuat penonton ketakutan. Misalnya muncul tiba-tiba dari dalam kolong bawah panggung, berlari naik panggung dan menabrak beberapa peralatan musik gamelan.
Pokoknya makin kacau balau arena tari makin menarik bagi penonton.
Gambaran kekacauan arena perang dalam tari ini yang membuat stereotipenya mirip dengan peperangan antara cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Husein Ra saat berperang melawan bani Muawiyah.
Bagi kaum syiah itu adalah peperangan yang tak adil, bagi mereka Imam Husein terbunuh sebagai martir suci, sedangkan bagi pihak Muawiyah kemenangan itu dirayakan besar-besaran. Itulah mengapa kaum syiah kemudian memperingatinya sebagai perayaan hari suci mereka, biasanya saat merayakan perkabungan itu kaum syiah melukai dirinya sampai berdarah misalnya di keningnya sebagai ungkapan belasungkawa. Hari suci ini disebut hari Asyura setiap tanggal 10 Muharam.
Ada satu penari yang biarpun kerasukan tetapi terkendali pergerakannya. Ia tetap bisa menari dengan ritme alunan gendhing dengan baik. Penari ini berputar di arena sampai akhirnya duduk bersila diam di sudut paling belakang arena tari, soal kerasukannya itu terlihat dari matanya yang membelak tetapi tak terlihat lagi bola mata hitamnya.
Di sinilah tugas Pawang (Dukun) menyembuhkan masing-masing penari sebagai akhir acara tarian. Satu persatu para penari yang kerasukan disadarkan dengan metode yang mereka kuasai. Mereka yang membuat mereka pula yang harus mengobatinya.
Bila satu penari berhasil disadarkan langsung lemas tak berdaya, bahkan beberapa diantaranya sampai harus digotong keluar dari arena lapangan. Memang setahu penulis seorang yang baru tersadar dari kesurupan harus beristirahat total sampai bugar kembali fisiknya.
Asyiknya bagi penonton memang di bagian-bagian ini. Tingkah polah orang yang kesurupan berbeda-beda, ada yang mudah diobati tetapi ada yang membandel. Misalnya disuruh mendekatpun tidak mau, malah melompat-lompat menjauhi sang Pawang. Maka banyak adegan yang membuat penonton tertawa-tawa geli menyaksikan tingkah orang yang dalam keadaan tak sadarkan diri itu.
Pawang (Dukun) atau samanisme merupakan bagian dari animisme dan dinamisme. Jangan salah kebudayaan manusia purba di semua wilayah dunia pernah mencapai masa ini. Jadi ini bukan kepercayaan asing bagi semua bangsa di dunia. Pawang atau Dukun adalah orang-orang yang menguasai pengobatan berbagai penyakit, terutama untuk kasus-kasus kesurupan, penjinak binatang liar, penjinak hujan, kelahiran bayi (Paraji), atau ramalan masa depan seseorang.
Biasanya Pawang (Dukun) ini dalam praktek kemampuannya selalu mengadakan upacara ritual mengundang roh nenek moyang. Roh-roh ini bersemayam di gunung, hutan, batu besar, pohon besar, sampai sungai atau tempat-tempat yang dianggap wingit oleh masyarakat biasa. Pawang bisa berkomunikasi dengan roh-roh tersebut, inilah yang dianggap kelebihan mereka. Untuk mengundang roh-roh tersebut berupa upacara sederhana dengan sesaji, aroma dupa dan membaca mantera. Ritual-ritual Pawang ini penuh dengan pamali (pantangan) dan takhayul.
Keberadaannya sangat menyesuaikan dengan lingkungan, jadi seperti di Jawa maka ritualnya banyak mengundang roh dengan berbagai nama lokal seperti demit, prewangan dll. Setahu penulis saat di Kalimantan ada Dukun yang mengundang warik (Beruk) dalam upacara penyembuhannya. Jadi riwayat samanisme ini sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia seni jathilan.
Bagi Penulis pribadi berpendapat,
“Intrance atau kesurupan seperti seni jathilan tidaklah masuk sebagai tingkatan spiritual.”
Intrance hanya mencapai ekspresi seni, merupakan pengaruh lingkungan karena lebih mirip undangan pesta dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar alam bumi ini.
Intrance atau kesurupan disebabkan pengaruh lingkungan. Unsur-unsurnya diambil dari berbagai media yang ada di alam. Jadi tidak heran saat kesurupan seseorang ada yang bisa bicara dengan berbagai bahasa sekitar, ada juga yang bertingkah seperti monyet, celeng, anjing dll. Unsur-unsur tersebut ada di lingkungan komunitas manusia dan bisa mempengaruhi seseorang yang biasanya berbakat kesurupan.
Unsur-unsur di alam sekitar yang disebut roh dalam kepercayaan animisme dan dinamisme inilah yang dimanipulasi oleh para dukun untuk berbagai kepentingannya. Ada yang lari ke penyembuhan, ramalan nasib, penjinak binatang liar, penjinak hujan. Dan yang disaksikan penulis sekarang adalah dimasukan dalam sesi seni tari jathilan.
Kalau melihat sekilas saat menyadarkan para penari yang kesurupan, unsur-unsur dari alam sekitar yang disebut roh-roh tersebut hanya menempel, tak sampai merasuki jiwa penari. Bila sampai merasuk badan efeknya tentu mengerikan sekali, lebih merusak dari obat narkoba atau alkohol yang dikonsumsi manusia. Buktinya saat Pawang menyadarkan penari yang kesurupan selalu berusaha menarik dan membuang keluar seolah-olah ada makhluk yang telah menempel di badan sang penari agar lepas dari ikatan. Makhluk-makhluk yang menempel itu bisa berupa jenis binatang atau manusia.
Untuk budaya animisme dan dinamisme itu sudah merupakan tinggalan nenek moyang kita. Bisa dilihat dari instrumen musik yang ada  berupa gamelan. Bahannya yang berasal dari perunggu (campuran seng dan tembaga) sudah menunjukan keberadaan sebuah kebudayaan purba yaitu jaman logam perunggu.
Alat musik dari perunggu menyebar di seluruh Nusantara. Nadanya non diatonik, jadi biarpun getaran nadanya berbeda dan janggal tetap teratur karena ada perhitungannya. Jangan heran bila peralatan musik gamelan ini bisa melagukan lagu daerah hingga sampai lagu pop dan lagu barat. Saat penulis menonton seni jathilan alat musiknya sudah ditambah drum dan keyboard. Jadi kedua alat musik berbeda aliran ini bisa saja berpadu padan.
Kalau seni tari jathilan, he he he ini cuma imaginasi penulis saja. Coba lihat kudanya, kuda palsu ini kok bisa ada padahal hewan tersebut bukan asli Indonesia?
Di sinilah kemungkinan tari ini diperagakan memang oleh kelompok-kelompok agama Islam Syiah. Mungkin itu untuk peringatan gugurnya Imam Husein di padang Karbala. Namun karena penganutnya sedikit dalam kelompok-kelompok kecil maka perkembangan aliran ini tidak dominan di Nusantara.
Apa lagi kemudian pengaruh agama Islam Syiah memudar, maka tari perang ini akhirnya kemasukan berbagai unsur lokal. Tak heran akhirnya dikomandani oleh pawang-pawang  (Dukun) hingga sekarang ini. Maka keberadaannya mudah diterima masyarakat Nusantara yang sejak jaman dahulu masih memegang tegeuh tradisi animisme dan dinamisme.
Kalau ini tak perlu diperdebatkan, itu cuma ulasana pribadi penulis saja.