JATHILAN
Selama setengah abad Penulis hidup belum pernah
menonton apa itu seni Jathilan (Ebeg, Bms). Karena itulah saat peringatan hari
kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta tahun 2017 akhirnya tergerak juga untuk
menonton seni tradisi yang merakyat ini.
Jujur Penulis menyatakan dari dulu tidak menonton seni
ini karena ada efek negatif, menjurus klenik!
Komunitas-komunitas Jawa di perantauan seperti
Kalimantan ternyata banyak menjadikan seni jathilan sebagai identitas. Jathilan
di tanah rantau lebih sering disebut seni Kuda Lumping.
Biarpun dikenal sebagai seni tradisi Jawa tetapi
kuda lumping juga digemari orang-orang dari suku lain terutama warga asli
daerah tersebut. Mereka mengagumi karena pertunjukan tersebut memiliki
atraksi-atraksi di luar kebiasaan masyarakat.
Seni ini berkembang di tengah masyarakat sama
seperti tayub dan reog Ponorogo. Jadi keberadaannya berada di luar istana.
Karenanya seni tari ini bersifat egaliter, milik semua kalangan, dan boleh
melibatkan semua warga tanpa pandang bulu. Tapi biasanya seni ini berkembang di
tengah masyarakat agraris (Kultur Tani).
Seni pertunjukan ini menggambarkan peperangan,
ketrampilan para ksatria berperang di atas kuda tunggangan memerangi musuh yang
digambarkan menimbulkan huru-hara berupa buta (raksasa) biasanya berkostum
topeng barongan.
Penulis pernah membaca artikel tentang sni kuda
lumping ini, konon menggambarkan perang di padang Karbala. Ini adalah perangnya
cucu nabi Muhammad SAW yaitu Husen RA yang dibantai kaum Muawiyah. Artikel ini
mencatat keterangan bahwa asal-usul seni ini mendapat pengaruh kuat aliran Islam
Syiah yang pernah berkembang di jaman awal-awal Islam di Nusantara.
Tapi dalam perkembanganya sama sekali tidak berunsur
keagamaan. Pengaruh kepercayaan lokal berupa animisme dan dinamisme sangat
kental, mungkin akhirnya tumpang tindih menjadi kolaborasi yang unik.
Bahkan kemudian ada tambahan pertunjukan berunsur
samanisme (Perdukunan) yang mempraktekan keadaan kesurupan (Intrance) sebagai
klimaks acara tarian ini. Di bagian pertunjukan yang mempraktekan para penari
kerasukan inilah yang menjadikan jathilan begitu sangat menarik ditonton.
Tingkah polah penari yang kerasukan tak mungkin dilakukan dalam keadaan sadar
sepenuhnya oleh seseorang. Kerasukan ini dilakukan oleh dukun-dukun yang menjadi
pengontrol para penari agar tetap dalam kendalinya.
Saat Penulis menonton tari ini coba menuliskannya
dalam beberapa sesi mulai dari awal hingga berakhir.
Sesi pertama adalah persiapan pasukan berkuda hendak
maju perang. Delapan penari memperagakan gerak tari dengan kuda kepang dan
cambuk yang siap diperagakan sebagai ketrampilan menunggang kuda. Sesi ini
menampilkan gerak simbolis ksatria maju berperang menegakan kebaikan dari
keangkara murkaan sang musuh.
Bila melihat gerakan tarinya yang berdurasi sekitar
sepuluh menit, itu sudah menguras stamina penari. Sesi ini berakhir dalam
bentuk barisan berkuda duduk bersiaga sejajar kanan kiri membiarkan lapangan
tengah kosong. Penari diberi minum karena memang kehausan, dan juga melepaskan
beberapa kostum yang akan mengganggu nantinya bila sampai di acara puncak.
Sesi kedua adalah munculnya empat penari bertopeng
barongan yang menggambarkan buta (pasukan raksasa) yang harus diperangi oleh
ksatria berkuda. Kostumnya menggambarkan kegemparan, kegelapan dan mengobarkan
kerusakan di seluruh arena perang.
Pasukan barongan sebagai buta (Raksasa) menantang
perang dengan berbagai manuver di depan pasukan berkuda yang siap memeranginya.
Mulai ada atraksi dengan dipantau oleh seorang pawang dengan melakukan sebaran
bunga sesaji dan membakar batangan dupa lidi.
Reaksi dari uba rampe yang dilakukan pawang membuat
para raksasa bertingkah ganas dan buas walaupun masih terkendali dalam formasi
barisan dan gerak tari. Para raksasa menanti perlawanan dari pasukan berkuda
yang berada dalam sikap duduk angkuh.
Masuk sesi ketiga,
Pasukan berkuda memperagakan ketrampilannya
memerangi pasukan raksasa dengan formasi dua penari maju bertempur, menyerang
dan memainkan cambuk sebagai pengusir para buta yang menyebarkan keangkara
murkaan.
Dari pinggir lapangan dalam formasi sejajar dua
penari masuk ke tengah lapangan mengitari sudut-sudut lapangan, maju,
mencambuk, berputar di tengah saling mengisi bagian kanan dan kiri posisi kuda
masing-masing dan berakhir kembali ke posisi semula di barisan pinggir
lapangan. Adegan ini sampai empat kali karena ada delapan penari yang
memperagakannya.
Sesi keempat,
Para raksasa memperagakan tarian yang menggambarkan
keganasan membuat keonaran di arena medan perang, mengamuk karena diperangi
oleh para kesatria, sedangkan pasukan berkuda makin kompak berkumpul menghimpun
kekuatan di tengah arena agar bisa terus memerangi amukan para buta yang tak
terkendali.
Gendhing dibunyikan monoton namun sangat menghentak.
Di sinilah sebenarnya para pawang bergerak di dua sisi yaitu di pihak pasukan
buta dan pasukan berkuda. Mempraktekan ritual memasukan makhluk-makhluk alam
lain pada para penari.
Gnedhingpun ditabuh bertalu-talu, tahu-tahu kedua
pasukan yang saling berhadapan bergerak liar tak terkendali. Arena perang berubah
memilukan, pasukan berkuda bergerak liar sebagian menabrak pagar pembatas
penonton, kemudian terjungkal tak berdaya.
Arena tari jadi kcau balau dengan tingkah polah
penari-penari baik itu para buta maupun ksatria yang kerasukan. Inilah klimaks
acara…….
Sinden pun menyanyikan lagu yang memilukan diiringi
gendhing yang menyayat hati. Keadaan tersebut menggambarkan peperangan yang
tadinya penuh gelora semangat kepahlawanan menjadi medan yang menyedihkan. Tapi
bagi penonton justru sangat menarik karena mendapatkan tontonan polah tingkah
penari-penari yang dalam keadaan intrance (Kerasukan).
Ada penari yang bertingkah seperti celeng (Babi
hutan), anjing, ataupun monyet (kera). Beberapa penari seolah masih kurang
manjing jadi akhirnya makan bunga mawar sesaji dan dupa lidi yang masih
terbakar.
Dalam adegan di group lain konon lebih mengerikan
lagi, ada yang sampai makan pecahan beling torong lampu minyak, sabut kelapa,
ayam mentah atau gabah padi mentah dll.
Atraksi inilah yang menjadi ciri khas perbedaannya dengan
seni tari rakyat lain. Bagi penulis sendiri,
“Kasihan penarinya, jelas sangat tersiksa seluruh
badannya.”
Tak semua penari mencapai kerasukan, tapi terkadang
membuat adegan histeris membuat penonton ketakutan. Misalnya muncul tiba-tiba
dari dalam kolong bawah panggung, berlari naik panggung dan menabrak beberapa
peralatan musik gamelan.
Pokoknya makin kacau balau arena tari makin menarik
bagi penonton.
Gambaran kekacauan arena perang dalam tari ini yang
membuat stereotipenya mirip dengan peperangan antara cucu Nabi Muhammad SAW
yaitu Husein Ra saat berperang melawan bani Muawiyah.
Bagi kaum syiah itu adalah peperangan yang tak adil,
bagi mereka Imam Husein terbunuh sebagai martir suci, sedangkan bagi pihak
Muawiyah kemenangan itu dirayakan besar-besaran. Itulah mengapa kaum syiah
kemudian memperingatinya sebagai perayaan hari suci mereka, biasanya saat
merayakan perkabungan itu kaum syiah melukai dirinya sampai berdarah misalnya
di keningnya sebagai ungkapan belasungkawa. Hari suci ini disebut hari Asyura
setiap tanggal 10 Muharam.
Ada satu penari yang biarpun kerasukan tetapi
terkendali pergerakannya. Ia tetap bisa menari dengan ritme alunan gendhing
dengan baik. Penari ini berputar di arena sampai akhirnya duduk bersila diam di
sudut paling belakang arena tari, soal kerasukannya itu terlihat dari matanya
yang membelak tetapi tak terlihat lagi bola mata hitamnya.
Di sinilah tugas Pawang (Dukun) menyembuhkan
masing-masing penari sebagai akhir acara tarian. Satu persatu para penari yang
kerasukan disadarkan dengan metode yang mereka kuasai. Mereka yang membuat
mereka pula yang harus mengobatinya.
Bila satu penari berhasil disadarkan langsung lemas
tak berdaya, bahkan beberapa diantaranya sampai harus digotong keluar dari arena
lapangan. Memang setahu penulis seorang yang baru tersadar dari kesurupan harus
beristirahat total sampai bugar kembali fisiknya.
Asyiknya bagi penonton memang di bagian-bagian ini.
Tingkah polah orang yang kesurupan berbeda-beda, ada yang mudah diobati tetapi
ada yang membandel. Misalnya disuruh mendekatpun tidak mau, malah
melompat-lompat menjauhi sang Pawang. Maka banyak adegan yang membuat penonton
tertawa-tawa geli menyaksikan tingkah orang yang dalam keadaan tak sadarkan
diri itu.
Pawang (Dukun) atau samanisme merupakan bagian dari
animisme dan dinamisme. Jangan salah kebudayaan manusia purba di semua wilayah
dunia pernah mencapai masa ini. Jadi ini bukan kepercayaan asing bagi semua
bangsa di dunia. Pawang atau Dukun adalah orang-orang yang menguasai pengobatan
berbagai penyakit, terutama untuk kasus-kasus kesurupan, penjinak binatang
liar, penjinak hujan, kelahiran bayi (Paraji), atau ramalan masa depan
seseorang.
Biasanya Pawang (Dukun) ini dalam praktek
kemampuannya selalu mengadakan upacara ritual mengundang roh nenek moyang.
Roh-roh ini bersemayam di gunung, hutan, batu besar, pohon besar, sampai sungai
atau tempat-tempat yang dianggap wingit oleh masyarakat biasa. Pawang bisa
berkomunikasi dengan roh-roh tersebut, inilah yang dianggap kelebihan mereka.
Untuk mengundang roh-roh tersebut berupa upacara sederhana dengan sesaji, aroma
dupa dan membaca mantera. Ritual-ritual Pawang ini penuh dengan pamali
(pantangan) dan takhayul.
Keberadaannya sangat menyesuaikan dengan lingkungan,
jadi seperti di Jawa maka ritualnya banyak mengundang roh dengan berbagai nama
lokal seperti demit, prewangan dll. Setahu penulis saat di Kalimantan ada Dukun
yang mengundang warik (Beruk) dalam upacara penyembuhannya. Jadi riwayat
samanisme ini sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia seni jathilan.
Bagi Penulis pribadi berpendapat,
“Intrance atau kesurupan seperti seni jathilan
tidaklah masuk sebagai tingkatan spiritual.”
Intrance hanya mencapai ekspresi seni, merupakan
pengaruh lingkungan karena lebih mirip undangan pesta dari makhluk tak kasat
mata yang ada di sekitar alam bumi ini.
Intrance atau kesurupan disebabkan pengaruh lingkungan.
Unsur-unsurnya diambil dari berbagai media yang ada di alam. Jadi tidak heran
saat kesurupan seseorang ada yang bisa bicara dengan berbagai bahasa sekitar,
ada juga yang bertingkah seperti monyet, celeng, anjing dll. Unsur-unsur
tersebut ada di lingkungan komunitas manusia dan bisa mempengaruhi seseorang
yang biasanya berbakat kesurupan.
Unsur-unsur di alam sekitar yang disebut roh dalam
kepercayaan animisme dan dinamisme inilah yang dimanipulasi oleh para dukun
untuk berbagai kepentingannya. Ada yang lari ke penyembuhan, ramalan nasib,
penjinak binatang liar, penjinak hujan. Dan yang disaksikan penulis sekarang
adalah dimasukan dalam sesi seni tari jathilan.
Kalau melihat sekilas saat menyadarkan para penari
yang kesurupan, unsur-unsur dari alam sekitar yang disebut roh-roh tersebut
hanya menempel, tak sampai merasuki jiwa penari. Bila sampai merasuk badan
efeknya tentu mengerikan sekali, lebih merusak dari obat narkoba atau alkohol
yang dikonsumsi manusia. Buktinya saat Pawang menyadarkan penari yang kesurupan
selalu berusaha menarik dan membuang keluar seolah-olah ada makhluk yang telah
menempel di badan sang penari agar lepas dari ikatan. Makhluk-makhluk yang
menempel itu bisa berupa jenis binatang atau manusia.
Untuk budaya animisme dan dinamisme itu sudah
merupakan tinggalan nenek moyang kita. Bisa dilihat dari instrumen musik yang
ada berupa gamelan. Bahannya yang
berasal dari perunggu (campuran seng dan tembaga) sudah menunjukan keberadaan
sebuah kebudayaan purba yaitu jaman logam perunggu.
Alat musik dari perunggu menyebar di seluruh
Nusantara. Nadanya non diatonik, jadi biarpun getaran nadanya berbeda dan
janggal tetap teratur karena ada perhitungannya. Jangan heran bila peralatan
musik gamelan ini bisa melagukan lagu daerah hingga sampai lagu pop dan lagu
barat. Saat penulis menonton seni jathilan alat musiknya sudah ditambah drum
dan keyboard. Jadi kedua alat musik berbeda aliran ini bisa saja berpadu padan.
Kalau seni tari jathilan, he he he ini cuma
imaginasi penulis saja. Coba lihat kudanya, kuda palsu ini kok bisa ada padahal
hewan tersebut bukan asli Indonesia?
Di sinilah kemungkinan tari ini diperagakan memang
oleh kelompok-kelompok agama Islam Syiah. Mungkin itu untuk peringatan gugurnya
Imam Husein di padang Karbala. Namun karena penganutnya sedikit dalam
kelompok-kelompok kecil maka perkembangan aliran ini tidak dominan di
Nusantara.
Apa lagi kemudian pengaruh agama Islam Syiah
memudar, maka tari perang ini akhirnya kemasukan berbagai unsur lokal. Tak
heran akhirnya dikomandani oleh pawang-pawang
(Dukun) hingga sekarang ini. Maka keberadaannya mudah diterima
masyarakat Nusantara yang sejak jaman dahulu masih memegang tegeuh tradisi
animisme dan dinamisme.
Kalau ini tak perlu diperdebatkan, itu cuma ulasana
pribadi penulis saja.
No comments:
Post a Comment