Sunday, October 15, 2017

Jathilan 2017



JATHILAN
Selama setengah abad Penulis hidup belum pernah menonton apa itu seni Jathilan (Ebeg, Bms). Karena itulah saat peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta tahun 2017 akhirnya tergerak juga untuk menonton seni tradisi yang merakyat ini.
Jujur Penulis menyatakan dari dulu tidak menonton seni ini karena ada efek negatif, menjurus klenik!
Komunitas-komunitas Jawa di perantauan seperti Kalimantan ternyata banyak menjadikan seni jathilan sebagai identitas. Jathilan di tanah rantau lebih sering disebut seni Kuda Lumping.
Biarpun dikenal sebagai seni tradisi Jawa tetapi kuda lumping juga digemari orang-orang dari suku lain terutama warga asli daerah tersebut. Mereka mengagumi karena pertunjukan tersebut memiliki atraksi-atraksi di luar kebiasaan masyarakat.
Seni ini berkembang di tengah masyarakat sama seperti tayub dan reog Ponorogo. Jadi keberadaannya berada di luar istana. Karenanya seni tari ini bersifat egaliter, milik semua kalangan, dan boleh melibatkan semua warga tanpa pandang bulu. Tapi biasanya seni ini berkembang di tengah masyarakat agraris (Kultur Tani).
Seni pertunjukan ini menggambarkan peperangan, ketrampilan para ksatria berperang di atas kuda tunggangan memerangi musuh yang digambarkan menimbulkan huru-hara berupa buta (raksasa) biasanya berkostum topeng barongan.
Penulis pernah membaca artikel tentang sni kuda lumping ini, konon menggambarkan perang di padang Karbala. Ini adalah perangnya cucu nabi Muhammad SAW yaitu Husen RA yang dibantai kaum Muawiyah. Artikel ini mencatat keterangan bahwa asal-usul seni ini mendapat pengaruh kuat aliran Islam Syiah yang pernah berkembang di jaman awal-awal Islam di Nusantara.
Tapi dalam perkembanganya sama sekali tidak berunsur keagamaan. Pengaruh kepercayaan lokal berupa animisme dan dinamisme sangat kental, mungkin akhirnya tumpang tindih menjadi kolaborasi yang unik.
Bahkan kemudian ada tambahan pertunjukan berunsur samanisme (Perdukunan) yang mempraktekan keadaan kesurupan (Intrance) sebagai klimaks acara tarian ini. Di bagian pertunjukan yang mempraktekan para penari kerasukan inilah yang menjadikan jathilan begitu sangat menarik ditonton. Tingkah polah penari yang kerasukan tak mungkin dilakukan dalam keadaan sadar sepenuhnya oleh seseorang. Kerasukan ini dilakukan oleh dukun-dukun yang menjadi pengontrol para penari agar tetap dalam kendalinya.
Saat Penulis menonton tari ini coba menuliskannya dalam beberapa sesi mulai dari awal hingga berakhir.
Sesi pertama adalah persiapan pasukan berkuda hendak maju perang. Delapan penari memperagakan gerak tari dengan kuda kepang dan cambuk yang siap diperagakan sebagai ketrampilan menunggang kuda. Sesi ini menampilkan gerak simbolis ksatria maju berperang menegakan kebaikan dari keangkara murkaan sang musuh.
Bila melihat gerakan tarinya yang berdurasi sekitar sepuluh menit, itu sudah menguras stamina penari. Sesi ini berakhir dalam bentuk barisan berkuda duduk bersiaga sejajar kanan kiri membiarkan lapangan tengah kosong. Penari diberi minum karena memang kehausan, dan juga melepaskan beberapa kostum yang akan mengganggu nantinya bila sampai di acara puncak.
Sesi kedua adalah munculnya empat penari bertopeng barongan yang menggambarkan buta (pasukan raksasa) yang harus diperangi oleh ksatria berkuda. Kostumnya menggambarkan kegemparan, kegelapan dan mengobarkan kerusakan di seluruh arena perang.
Pasukan barongan sebagai buta (Raksasa) menantang perang dengan berbagai manuver di depan pasukan berkuda yang siap memeranginya. Mulai ada atraksi dengan dipantau oleh seorang pawang dengan melakukan sebaran bunga sesaji dan membakar batangan dupa lidi.
Reaksi dari uba rampe yang dilakukan pawang membuat para raksasa bertingkah ganas dan buas walaupun masih terkendali dalam formasi barisan dan gerak tari. Para raksasa menanti perlawanan dari pasukan berkuda yang berada dalam sikap duduk angkuh.
Masuk sesi ketiga,
Pasukan berkuda memperagakan ketrampilannya memerangi pasukan raksasa dengan formasi dua penari maju bertempur, menyerang dan memainkan cambuk sebagai pengusir para buta yang menyebarkan keangkara murkaan.
Dari pinggir lapangan dalam formasi sejajar dua penari masuk ke tengah lapangan mengitari sudut-sudut lapangan, maju, mencambuk, berputar di tengah saling mengisi bagian kanan dan kiri posisi kuda masing-masing dan berakhir kembali ke posisi semula di barisan pinggir lapangan. Adegan ini sampai empat kali karena ada delapan penari yang memperagakannya.
Sesi keempat,
Para raksasa memperagakan tarian yang menggambarkan keganasan membuat keonaran di arena medan perang, mengamuk karena diperangi oleh para kesatria, sedangkan pasukan berkuda makin kompak berkumpul menghimpun kekuatan di tengah arena agar bisa terus memerangi amukan para buta yang tak terkendali.
Gendhing dibunyikan monoton namun sangat menghentak. Di sinilah sebenarnya para pawang bergerak di dua sisi yaitu di pihak pasukan buta dan pasukan berkuda. Mempraktekan ritual memasukan makhluk-makhluk alam lain pada para penari.
Gnedhingpun ditabuh bertalu-talu, tahu-tahu kedua pasukan yang saling berhadapan bergerak liar tak terkendali. Arena perang berubah memilukan, pasukan berkuda bergerak liar sebagian menabrak pagar pembatas penonton, kemudian terjungkal tak berdaya.
Arena tari jadi kcau balau dengan tingkah polah penari-penari baik itu para buta maupun ksatria yang kerasukan. Inilah klimaks acara…….
Sinden pun menyanyikan lagu yang memilukan diiringi gendhing yang menyayat hati. Keadaan tersebut menggambarkan peperangan yang tadinya penuh gelora semangat kepahlawanan menjadi medan yang menyedihkan. Tapi bagi penonton justru sangat menarik karena mendapatkan tontonan polah tingkah penari-penari yang dalam keadaan intrance (Kerasukan).
Ada penari yang bertingkah seperti celeng (Babi hutan), anjing, ataupun monyet (kera). Beberapa penari seolah masih kurang manjing jadi akhirnya makan bunga mawar sesaji dan dupa lidi yang masih terbakar.
Dalam adegan di group lain konon lebih mengerikan lagi, ada yang sampai makan pecahan beling torong lampu minyak, sabut kelapa, ayam mentah atau gabah padi mentah dll.
Atraksi inilah yang menjadi ciri khas perbedaannya dengan seni tari rakyat lain. Bagi penulis sendiri,
“Kasihan penarinya, jelas sangat tersiksa seluruh badannya.”
Tak semua penari mencapai kerasukan, tapi terkadang membuat adegan histeris membuat penonton ketakutan. Misalnya muncul tiba-tiba dari dalam kolong bawah panggung, berlari naik panggung dan menabrak beberapa peralatan musik gamelan.
Pokoknya makin kacau balau arena tari makin menarik bagi penonton.
Gambaran kekacauan arena perang dalam tari ini yang membuat stereotipenya mirip dengan peperangan antara cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Husein Ra saat berperang melawan bani Muawiyah.
Bagi kaum syiah itu adalah peperangan yang tak adil, bagi mereka Imam Husein terbunuh sebagai martir suci, sedangkan bagi pihak Muawiyah kemenangan itu dirayakan besar-besaran. Itulah mengapa kaum syiah kemudian memperingatinya sebagai perayaan hari suci mereka, biasanya saat merayakan perkabungan itu kaum syiah melukai dirinya sampai berdarah misalnya di keningnya sebagai ungkapan belasungkawa. Hari suci ini disebut hari Asyura setiap tanggal 10 Muharam.
Ada satu penari yang biarpun kerasukan tetapi terkendali pergerakannya. Ia tetap bisa menari dengan ritme alunan gendhing dengan baik. Penari ini berputar di arena sampai akhirnya duduk bersila diam di sudut paling belakang arena tari, soal kerasukannya itu terlihat dari matanya yang membelak tetapi tak terlihat lagi bola mata hitamnya.
Di sinilah tugas Pawang (Dukun) menyembuhkan masing-masing penari sebagai akhir acara tarian. Satu persatu para penari yang kerasukan disadarkan dengan metode yang mereka kuasai. Mereka yang membuat mereka pula yang harus mengobatinya.
Bila satu penari berhasil disadarkan langsung lemas tak berdaya, bahkan beberapa diantaranya sampai harus digotong keluar dari arena lapangan. Memang setahu penulis seorang yang baru tersadar dari kesurupan harus beristirahat total sampai bugar kembali fisiknya.
Asyiknya bagi penonton memang di bagian-bagian ini. Tingkah polah orang yang kesurupan berbeda-beda, ada yang mudah diobati tetapi ada yang membandel. Misalnya disuruh mendekatpun tidak mau, malah melompat-lompat menjauhi sang Pawang. Maka banyak adegan yang membuat penonton tertawa-tawa geli menyaksikan tingkah orang yang dalam keadaan tak sadarkan diri itu.
Pawang (Dukun) atau samanisme merupakan bagian dari animisme dan dinamisme. Jangan salah kebudayaan manusia purba di semua wilayah dunia pernah mencapai masa ini. Jadi ini bukan kepercayaan asing bagi semua bangsa di dunia. Pawang atau Dukun adalah orang-orang yang menguasai pengobatan berbagai penyakit, terutama untuk kasus-kasus kesurupan, penjinak binatang liar, penjinak hujan, kelahiran bayi (Paraji), atau ramalan masa depan seseorang.
Biasanya Pawang (Dukun) ini dalam praktek kemampuannya selalu mengadakan upacara ritual mengundang roh nenek moyang. Roh-roh ini bersemayam di gunung, hutan, batu besar, pohon besar, sampai sungai atau tempat-tempat yang dianggap wingit oleh masyarakat biasa. Pawang bisa berkomunikasi dengan roh-roh tersebut, inilah yang dianggap kelebihan mereka. Untuk mengundang roh-roh tersebut berupa upacara sederhana dengan sesaji, aroma dupa dan membaca mantera. Ritual-ritual Pawang ini penuh dengan pamali (pantangan) dan takhayul.
Keberadaannya sangat menyesuaikan dengan lingkungan, jadi seperti di Jawa maka ritualnya banyak mengundang roh dengan berbagai nama lokal seperti demit, prewangan dll. Setahu penulis saat di Kalimantan ada Dukun yang mengundang warik (Beruk) dalam upacara penyembuhannya. Jadi riwayat samanisme ini sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia seni jathilan.
Bagi Penulis pribadi berpendapat,
“Intrance atau kesurupan seperti seni jathilan tidaklah masuk sebagai tingkatan spiritual.”
Intrance hanya mencapai ekspresi seni, merupakan pengaruh lingkungan karena lebih mirip undangan pesta dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar alam bumi ini.
Intrance atau kesurupan disebabkan pengaruh lingkungan. Unsur-unsurnya diambil dari berbagai media yang ada di alam. Jadi tidak heran saat kesurupan seseorang ada yang bisa bicara dengan berbagai bahasa sekitar, ada juga yang bertingkah seperti monyet, celeng, anjing dll. Unsur-unsur tersebut ada di lingkungan komunitas manusia dan bisa mempengaruhi seseorang yang biasanya berbakat kesurupan.
Unsur-unsur di alam sekitar yang disebut roh dalam kepercayaan animisme dan dinamisme inilah yang dimanipulasi oleh para dukun untuk berbagai kepentingannya. Ada yang lari ke penyembuhan, ramalan nasib, penjinak binatang liar, penjinak hujan. Dan yang disaksikan penulis sekarang adalah dimasukan dalam sesi seni tari jathilan.
Kalau melihat sekilas saat menyadarkan para penari yang kesurupan, unsur-unsur dari alam sekitar yang disebut roh-roh tersebut hanya menempel, tak sampai merasuki jiwa penari. Bila sampai merasuk badan efeknya tentu mengerikan sekali, lebih merusak dari obat narkoba atau alkohol yang dikonsumsi manusia. Buktinya saat Pawang menyadarkan penari yang kesurupan selalu berusaha menarik dan membuang keluar seolah-olah ada makhluk yang telah menempel di badan sang penari agar lepas dari ikatan. Makhluk-makhluk yang menempel itu bisa berupa jenis binatang atau manusia.
Untuk budaya animisme dan dinamisme itu sudah merupakan tinggalan nenek moyang kita. Bisa dilihat dari instrumen musik yang ada  berupa gamelan. Bahannya yang berasal dari perunggu (campuran seng dan tembaga) sudah menunjukan keberadaan sebuah kebudayaan purba yaitu jaman logam perunggu.
Alat musik dari perunggu menyebar di seluruh Nusantara. Nadanya non diatonik, jadi biarpun getaran nadanya berbeda dan janggal tetap teratur karena ada perhitungannya. Jangan heran bila peralatan musik gamelan ini bisa melagukan lagu daerah hingga sampai lagu pop dan lagu barat. Saat penulis menonton seni jathilan alat musiknya sudah ditambah drum dan keyboard. Jadi kedua alat musik berbeda aliran ini bisa saja berpadu padan.
Kalau seni tari jathilan, he he he ini cuma imaginasi penulis saja. Coba lihat kudanya, kuda palsu ini kok bisa ada padahal hewan tersebut bukan asli Indonesia?
Di sinilah kemungkinan tari ini diperagakan memang oleh kelompok-kelompok agama Islam Syiah. Mungkin itu untuk peringatan gugurnya Imam Husein di padang Karbala. Namun karena penganutnya sedikit dalam kelompok-kelompok kecil maka perkembangan aliran ini tidak dominan di Nusantara.
Apa lagi kemudian pengaruh agama Islam Syiah memudar, maka tari perang ini akhirnya kemasukan berbagai unsur lokal. Tak heran akhirnya dikomandani oleh pawang-pawang  (Dukun) hingga sekarang ini. Maka keberadaannya mudah diterima masyarakat Nusantara yang sejak jaman dahulu masih memegang tegeuh tradisi animisme dan dinamisme.
Kalau ini tak perlu diperdebatkan, itu cuma ulasana pribadi penulis saja.


No comments:

Post a Comment