Wednesday, July 20, 2022
GAGASAN TARUNG
Gagasan Tarung
Kata Pengantar
Naskah ini sudah lama ditulis, merupakan karya pertama penulis saat mencoba menulis fiksi. Juga sudah beberapa kali dikirim ke agency tanpa ada respon apapun. Jadi nasibnya hanya tersimpan di file komputer belaka.
Beberapa kali naskah ini terhapus di dalam komputer, kemudian ditulis kembali sesuai naskah yang tercetak sebagai simpanan dan kenang-kenangan pertama kali menulis dan belajar mengetik komputer.
Naskah aslinya berupa lembaran di kertas kosong yang diserupakan dengan buku sudah hilang masuk loakan. Untung naskah cetakan pertama masih tersimpan hingga bisa diketik ulang. Mungkin naskah ini sudah yang ketiga kali dketik ulang......bisa jadi bagi penulis begitu bernilainya.
Demikian penulis bisa kisahkan, mungkin termasuk konyol untuk seorang yang mencoba menulis memoar untuk dibaca dan direnungkan.
Soal isinya penulis menyatakan masih ala kadarnya, kemampuan penulis hanya sebagai hobi amatir. Mungkin untuk seumur hidup.......Ah lumayan, dari pada hidup melamun doang tanpa hasil.
Inilah hasil khayalan penulis, boleh dibaca boleh dikritik boleh juga dijiplak.
Yang penting khayalan dituliskan berdasarkan bentuk latihan bela diri sebagai pendamping hidup penulis, silakan orang lain memiliki gagasan yang lebih baik.
Cukup.....eitt ternyata hari ini adalah ulang tahun ke 52 penulis, jadi ini kadonya mtrnwn.
Yogyakarta, 19 Juli 2022
BAB 1
Merintis Jalan
Ratusan orang memadati ruang tunggu pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Kerumunan banyak orang membuat hawa udara demikian panas. Orang lelaki dan perempuan, anak-anak sampai kakek nenek hanya punya tujuan satu, antri dan kemudian menyerbu dahulu mendahului masuk kapal.
Sementara kapal motor yang ditunggu entah jam berapa lagi berlabuh di dermaga. Berita yang berseliweran kapal sedang mendekati pelabuhan masih sejam dua jam lagi melepaskan jangkar di dermaga.
Biarpun manusia-manusia itu tak sabar lagi menunggu, tapi pintu-pintu di ruang tunggu yang luasnya satu hekataran tersebut masih tutup. Orang-orang hanya bisa melihat jajaran kapal dagang berlabuh. Belum saatnya petugas dermaga membukanya karena hanya akan menyulitkan kegiatan mereka. Tapi ada sekelompok orang yang benar-benar memiliki naluri bergerak cepat karena hidup dari kapal ke kapal. Itulah portir pelabuhan, biarpun kapal belum datang mereka sudah menawarkan jasa mengangkut barang penumpang dengan imbalan. Seragamnya kaos orange dengan tulisan portir di belakangnya menunjukan kegiatan mereka legal. Belum kapal berlabuh di dermaga biasanya mereka dengan nyali besar melompati sebuah pintu darurat di belakang buritan kapal untuk segera mencapai tempat-tempat yang menjadi favorit orang-orang yang menyewa jasanya.
Kapal motor Binaiya, sebuah kapal yang dibeli Indonesia dari eks Jerman Timur. Ini dia jasa menristek Habibie, Jerman Timur bubar bersatu dengan tetangganya menjadikan aset-asetnya dijual murah. Kebetulan BJ Habibie yang berpendidikan perguruan tinggi di Jerman ditawari membeli untuk kepentingan perkapalan di Indonesia. Lumayan walau bekas tetapi dipermak lagi sudah bagus untuk melayani penumpang penyeberangan di Nusantara. Sebelumnya di seluruh Indonesia hanya ada kapal dagang, kapal-kapal lokal yang sekaligus menampung penumpang tujuan tertentu. Ada kapal Krakatau, tidak sebesar Binaiya itupun tadinya kapal dagang yang diubah menjadi kapal penumpang. Itulah tahun-tahun awal sembilan puluhan di Indonesia.
Begitu pintu-pintu menuju dermaga terbuka, berhamburanlah penumpang kapal penyeberangan dahulu mendahului menuju tangga masuk kapal. Orang-orang saling dorong mendorong bergerak maju untuk mencari tempat yang baik bagi dirinya di seluruh dek kapal. Tapi cerita ini hanya untuk penupang kelas ekonomi. Kalau yang berkelas atau VIP, mereka sudah tahu dahulu tempat duduknya sendiri di bangsal-bangsal yang paling nyaman karena sudah bernomor seri. Penumpang kelas VIP terpisah bahkan sepertinya memiliki pintu tersendiri yang tidak perlu berdesak-desakan untuk masuk kapal.
Lebih tepat dikatakan berjibaku, itulah penumpang kelas ekonomi. Dahulu mendahului dorong mendorong dengan resiko terinjak-injak. Tangga pintu masuk kapal sangat sempit membuat suasana saat masuk dek kapal begitu gerah. Banyak orang-orang yang mengeluh bahkan mengaduh kesakitan karena tak tahan berjubel dan terhimpit di tengah-tengah tangga sementara kaki hanya bisa melangkah tak mungkin mundur lagi.
Bisa masuk ke kapal, he he he........
Itu portir-portir sudah lebih dahulu berada di tempat-tempat strategis menyambut penumpang yang masuk. Jika ada penumpang bertanya mana tempat yang kosong, jawabannya pasti,
“Sudah terisi Mas, lihat barang-barangnya sudah ada di sini.”
Melongolah sang penanya, terpaksa ia pun pergi ke bangsal lain bahkan berjalan naik turun dari satu dek ke dek lain. Percuma ternyata seluruh tempat-tempat itu sudah terisi penumpang lain karena menyewa jasa portir. Dari pengeras suara kapal terdengar,
“Para penumpang diharapkan mengisi dek-dek yang tersedia, tidak ada pungutan apapun untuk mengisi bangsal-bangsal yang masih kosong!”
Ah yang benar Mas?
Kenyataannya semua tempat dinyatakan sudah penuh. Pengumuman itu jelas aturan ABK kapal, tetapi permainan portir berbeda. Merekalah penguasa medan. Hanya penumpang yang menyewa jasa mereka yang akan mendapatkan tempat-tempat yang tersedia. Yang tidak menyewa jasa mereka silahkan mondar-mandir mencari tempat yang sudah penuh.
Hasilnya sia-sia, penumpang yang tidak kebagian tempat akhirnya pasrah bongkokan. Berjalan-jalan mencari tempat luang, akhirnya dapat juga. Tetapi hanya di lantai-lantai dan di luar dek. Beberapa sudut tempat seperti belakang kapal menjadi tempat favorit orang-orang yang tidak kebagian di dek dalam kapal. Biarlah yang penting tempatnya bisa untuk duduk dan berebah.
Ada beberapa orang yang ternyata bukan penumpang menawarkan koran-koran bekas untuk alas tempat tidur. Dibeli juga akhirnya daripada berada di luar dek kapal yang berlantai besi, pasti menggigil kedinginan nantinya.
Surip yang seumur hidupnya baru sekali ini naik kapal PELNI, terbawa arus berjejalan dengan calon penumpang lain saat masuk dek kapal. Bawaannya berupa ransel berisi pakaian dan celana memang agak ringan. Tetapi berjubel diantara orang-orang antri tetap saja kesulitan bergerak. Beberapa kali ia terdorong membuat badannya terhuyung-huyung, ada juga beberapa portir mengangkut dus besar barang berteriak keras-keras.
“Ayo cepat jangan seperti anak kecil!”
Teriak portir pelabuhan yang terlihat sudah berumur. Barang yang diangkutnya malah jadi senjata untuk merangsek maju beriringan dengan portir lain mengesampingkan calon penumpang asli. Mereka jadi menang di medan yang biasa mereka kuasai.
Surip tak bisa berbuat apa-apa, banyak orang-orang lain merasakan juga tekanan dari portir-portir pembawa barang tersebut sangat kasar kelakuannya. Rupanya itulah saat aksi persaingan perebutan rejeki terjadi. Tenaga mereka dipertaruhkan dengan imbalan uang oleh orang-orang atau penumpang yang menyewa jasa mereka.
Sudah masuk dek kapal, Surip mencari tempat di bangsal. Dihadang oleh portir-portir yang sudah menjejali bangsal-bangsal dengan pernyataannya yang sudah terisi penuh. Jadinya Surip berjalan dari satu dek ke dek lain di kapal tersebut. Naik turun beberapa kali tanpa hasil akhirnya ia bertanya kepada seorang penumpang yang sudah menempati posisi di belakang buritan kapal.
“Pak kok susah sekali dapat tempat di ruang dalam kapal?” Tanyanya dengan lugu dan muka kebingungan.
“Ha ha ha Mas ini baru sekali ini naik kapal ya, percuma Mas. Kalau hendak mendapat ruang di bangsal itu bayar sama portir baru mereka ngasih tempat,” orang lelaki berpakaian tebal ditambah jaket tertawa. Jambangnya menandakan orang tersebut jarang bercukur. “Sudahlah tempati sudut itu saja Mas, seperti saya saja di sini,” katanya seperti mencontohkan dirinya yang seenaknya mengambil tempat.
Sebal sekali Surip mendapati dirinya menjadi orang bebal. Dalam perjalanannya dari depan pelabuhan hingga sudah berada di atas kapal sudah terlalu banyak bertanya saking tidak pahamnya keadaan yang dihadapi.
Sudut yang ditempatinya masih beratap besi tetapi terasa angin meniup membuatnya tahu bakalan tersiksa. Kemungkinan jika hujan bakalan kebasahan. Tetapi pemandangan dermaga membuatnya terpana. Lampu-lampu bangunan rumah di sekitar areal pelabuhan dermaga menyajikan pemandangan indah. Kemudian di bawah kapal tempat dermaga masih berseliweran orang-orang keluar masuk kapal. Itu rupanya rombongan pengantar yang masih belum pergi dari dermaga.
Digelarnya kertas koran untuk alas tidur dan dijadikannya tas ransel sebagai bantal. Orang-orang di dekatnya tak saling peduli dengan kegiatan masing-masing, orang-orang tersebut lebih bergerombol karena kedekatan sesama rombongan.
Sejam dua jam kemudian kapal mulai teratur. Tidak ada lagi terlihat orang-orang atau penumpang mencari tempat tidur. Bahkan sebagian sudah mulai berjalan-jalan keluar dek melihat pemandangan areal pelabuhan. Apalagi setelah terlihat seperti adanya rombongan Nakhoda dan beberapa perempuan cantik berdandan seksi masuk melalui pintu khusus. Ah itu pasti rombongan penghibur penumpang kelas VIP.
Setelah itu suara sirine kapal memberitahukan bahwa kapal mulai bergerak menyeberangi laut Jawa. Tali-tali slank dilepaskan, dilemparkan dan kemudian ditarik oleh ABK kapal. Perlahan namun pasti kapal bergerak menantang ombak lautan. Seiring kapal bergerak kota Semarang semarak gemerlap lampu-lampu kota. Kota Semarang atas terlihat semakin kecil di tengah-tengah kegelapan. Hal-hal yang tak terasa bagi penumpang kapal karena lampu-lampu di seluruh ruang kapal sangat terang benderang. Ya kapal Binaiya bak sebuah kota kecil di tengah-tengah laut. Kota yang tak berdaya karena begitu luasnya laut Jawa, sebuah laut yang terletak antara pulau Jawa dengan daratan Kalimantan.
Pertama kalinya dalam seumur hidup Surip merasakan aura di tanah yang berbeda dengan pulau Jawa. Ada perasaan takjub dengan tanah diinjaknya di kota Banjarmasin. Sebuah kota yang menampilkan dirinya dengan paya-paya pasang surut dan sungai-sungai datar besar kecil yang bisa disandari perahu dan jukung.
Jika melihat kota Banjarmasin terlintas di benaknya,
“Tak mungkin di sini aku hidup sebagai petani sawah. Airnya saja saat surut berasa asin?” Dasarnya Surip orang desa jadi ia berpikir dengan perbandingan sama dengan keadaannya di kampung. Surip berasal dari daerah Banyumas yang berlembah subur sungai Serayu dan lereng-lereng gunung Slamet.
Dan yang membuat Surip tak habis pikir adalah kebiasaan warganya yang semuanya mengandalkan air pasang surut untuk mandi dan mencuci. Hari pertama Surip sampai tak berani menyentuh air yang mengalir di bawah kolong rumah panggung penduduk dengan benda-benda terhanyut sampah berbagai macam.
Dari sebuah ruas jalan di daerah pelabuhan Surip masuk gang kecil. Namanya gang Hadiah, sempit dengan kanan kirinya rumah penduduk. Gang Hadiah berupa timbunan pasir dan semen dengan rumah-rumah penduduk sejajar tinggi timbunan semen. Di bawah-bawah rumah panggung tersebut air pasang surut dari sungai Barito mengalir dan tertahan di bawah kolong dengan tanah kehitaman lumpur. Kota Banjarmasin didirikan di atas lumpur yang berketebalan cukup dalam. Di atasnya terlihat kering tetapi di dalamnya lumpur tetap basah berair.
“Coba kamu mulai hidup di sini Rip, cari kerja di perusahaan Plywood sekitar sini saja tak usah jauh-jauh,” Warso berkata memperlihatkan dirinya yang sudah lebih dulu berada di tanah perantauan. Warso sebenarnya bukan keluarga Surip. Keluarga Warso transmigran Jawa dari kabupaten Banyumas. Dulunya ayah Warso berteman akrab dengan ayah Surip, kemudian mereka terpisah karena keluarga Warso ikut program transmigrasi di daerah Binuang.
Entah di mana daerah Binuang Surip masih asing.
Untuk bisa berada di tempat Warso ia banyak bertanya sana-sini. Walaupun ternyata dari pelabuhan Trisakti hanya berjarak tiga kilometer. Dengan taksi angkutan kota Surip sampai di depan pintu gerbang gang Hadiah yang sempit.
“Plywood itu apa Mas?” Surip bertanya dengan polosnya.
Warso tertawa mendengar pertanyaan Surip, ia maklum juga dengan orang desa semacam Surip. “Hari-hari di rumahmu pasti ada papan triplek. Ya itu yang dimaksud plywood alias kayu lapis,” diterangkannya berbagai benda-benda dari industri kayu.
“Ooh jadi di sini banyak pabrik ya Mas?” Lagi Surip bertanya.
“Iya coba saja kamu nanti melamar kerja di pabrik sekitar sini, banyak kok pasti ada saja nanti diterima,” Warso yang di Binuang sudah beristri dan beranak satu itu menerangkan.
Di kota Banjarmasin Warso hanya benar-benar bekerja mencari uang. Setiap beberapa bulan sekali ia akan pulang kampung di Trans untuk menjumpai anak dan istrinya. Warso sendiri bekerja di pabrik plywood Wijaya Tri Utama.
Surip masih belum paham benar dengan keterangan Warso tentang pabrik plywood. Bayang-bayang tentang pabrik yang pernah dilihatnya di kotanya tidak besar-besar seperti yang diceritakan Warso.
“Kamu itu lulusan apa Rip?” Warso bertanya.
“Aku cuma tamat SMA saja Mas,” Surip menjawab apa adanya.
“Lulus SMA itu sudah bagus Rip, aku saja hanya SMP, tak masalah kerja di plywood biarpun hanya lulusan SD. Pabrik tidak memerlukan tenga kerja yang berpendidikan tinggi,” Warso menerangkan beberapa hal tentang keadaan plywood supaya Surip paham. “Ini uang untuk sarapan di warung, aku besok pagi-pagi sekali berangkat kerja,” Warso menyodorkan uang barang lima ribu rupiah.
Sekarang mulailah Surip resmi menjadi perantau. Kota Banjarmasin semakin gelap biarpun di sudut-sudut jalan terang karena lampu listrik.Ternyata Surip berada di sebuah sudut kota Banjarmasin yang menampilkan beberapa pelabuhan dan areal industri. Surip merasakan hidungnya mencium bau yang menyengat sekali, seperti sejenis bahan plastik dibakar. Itulah santapan sehari-hari Surip di gang Hadiah.
Esok harinya biarpun Surip tahu Warso bergerak meninggalkan kamar ia tetap melanjutkan tidurnya. Mas Warso seorang berumur tiga puluh tahunan, badannya lebih tinggi dari Surip. Kalau Surip badannya ceking kurus dengan tulang pipi menonjol menandakan seorang sering bekerja keras tetapi kurang gizi.
Jam delapan pagi barulah Surip benar-benar bangkit dari tidurnya. Ini tempat kos Mas Warso, sebuah kamar sempit berupa barak dari kayu ulin. Di bawah panggung rumah tersebut air comberan sulit keluar dari gang sempit yang sudah terapit jalan besar dan gang yang tertutup semen. Nyamuk siang malam beterbangan, untuk tidur di ruang kamar orang-orang menutupi lantai kayu dengan karpet plastik. Terkadang pengap sekali di dalam ruangan tersebut. Semua penghuninya ternyata adalah karyawan-karyawan beberapa pabrik plywood di sekitar pelabuhan Trisakti. Pergantian shift siang malam menjadikan aktifitas rutin di setiap kamar yang berpenghuni.
Dari Mas Warso Surip dapat informasi pemilik kamar sewaan itu orang Palangka Raya yang setiap beberapa minggu sekali datang menagih uang kos.
“Bayarnya setiap bulan tiga puluh lima ribu, murah tapi fasilitas hanya lampu untuk penerangan. Jika hendak menambah kipas angin dan televisi ada tambahan sendiri,” Warso memberitahu Surip.
Surip sendiri tak peduli dengan pemberitahuan Mas Warso, sekarang yang dipikirkan adalah bagaimana mulai bekerja dan bertahan hidup di perantauan. Ia menghitung uang saku sisa perjalanannya dari Jawa, sangat minim. Mungkin untuk beberapa bulan ia nanti terpaksa menggantungkan diri dengan Mas Warso yang menjadi tuan penolong karena bersedia menampung sementara.
“Entah bagaimana nanti aku mulai mencari pekerjaan, belum ada sama sekali bayangan tentang apa yang harus kulakukan di kota ini,” Surip membatin. “Sudahlah bagaimana nanti aku bisa hidup, sekarang lebih baik mandi dan keluar melihat kota Banjarmasin.”
Disambarnya gayung berisi sabun mandi dan sikat gigi serta odol yang kemudian digabungkan bersama milik Mas Warso. Lagi-lagi ia hanya mengandalkan pemberitahuan dari Mas Warso jika hendak ke lokasi mandi.
Maka terbentanglah di depan matanya, dermaga taksi kelotok di mana sebelumnya ia harus berjalan menyeberang jalan besar. Kelotok-kelotok itu berjajar menanti penumpang untuk berbagai jurusan. Dermaga kelotok itu lebih berupa kanal yang muaranya bersatu dengan sungai Barito. Jajaran taksi speed berada di muaranya. Konon taksi speed boat itu jurusannya ke Palangka Raya. Dari kanal muara beberapa ratus meter terdapat jembatan penghubung menuju pelabuhan Trisakti. Sedangkan ke hulunya ternyata menjadi semacam genangan kolam besar untuk manuver taksi kelotok berputar. Luasnya genangan mencapai satu hektaran, menuju hulunya lagi kanal tersebut memasuki pusat kota, di pinggirnya selalu bertumpuk kayu-kayu galam untuk tiang cor bangunan atau justru dibenamkan dalam lumpur sebagai dasar lantai beton.
Air sedang surut membuat Surip mandi dengan turun ke tingkat terbawah dari papan dermaga. Dalam keadaan air surut tak banyak orang yang mandi dan mencuci. Lagi pula setelah diciduk oleh Surip, rasanya di kulit begitu licin. Itu air payau, biarpun tidak asin tetapi kadar garamnya tetap tinggi. Beberapa salamander bergerak mencari makan, berarti jika tak ada pemukiman sebenarnya merupakan daerah mangrove. Beberapa tinja manusia tergeletak begitu saja di tumpukan kayu galam menanti hanyut jika air pasang nanti. Menjijikan tetapi Surip pun sama saja akhirnya tetap buang hajat meniru warga sekitar.
Setelah mandi dan berganti pakaian gantian perutnya yang minta isi. Jam sudah menunjukan pukul sembilan, gang sempit itu sepi. Umumnya orang-orang di daerah tersebut perantau dari Jawa bekerja di plywood.
Lagi-lagi plywood, Surip sendiri belum ada bayangan apa-apa tentang pabrik kayu tersebut. Di ujung gang di sebelah jalan yang masih asing bagi Surip terdapat tenda warung kaki lima.
“Minum apa Cil, teh es atau manis?” Bertanya penjual warung kaki lima dengan nada bahasa asing bagi telinga Surip. Surip sadar itulah salah satu bahasa lokal di kota Banjarmasin.
“Teh saja Pak,” gelagapan Surip menjawab. Mulai terasa betapa sulitnya nanti untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang Banjar.
Penjual warung seorang lelaki berbadan kurus berkulit hitam. Yang terlihat menonjol adalah giginya yang ompong beberapa buah. Jika menyeringai pasti terlihat lucu. Sesaat kemudian penjual warung bertampang lucu kurus tersebut membuatkan minum pesanan Surip. Dua orang di dalam warung terlihat ngobrol dengan penjual warung yang semakin tidak dimengerti bahasanya oleh Surip. Rasanya orang-orang tersebut bicara dengan lafal begitu cepatnya hingga Surip tak bisa mengartikannya sama sekali.
Surip hanya bisa berdiam diri sambil menghirup teh dari gelas. Rupanya orang-orang itupun sepertinya tidak peduli dengan kehadiran Surip. Yang membuat Surip getun itu salah satu orang yang ngobrol duduk jongkok di atas bangku panjang. Sepertinya sangat tidak sopan, “Tapi kok orang-orang di warung tak ada yang menegur ya?”
Begitu serunya orang-orang di warung ngobrol, tampaknya mereka pelanggan yang sudah biasa nongkrong di warung tersebut. Yang menarik bagi Surip warung tersebut berlimpah ruah dengan berbagai jajanan pasar. Beberapa jenis Surip tidak tahu lagi jenis penganan tersebut, sampai-sampai ada nasi bungkus tertulis hintalu, haruan dan ayam. Nasinya berupa nasi kuning.
“Uh nasi seperti ini di Jawa adanya pas ada hajatan saja, rupanya di sini nasi kuning jadi santapan harian.”
Ada beberapa jenis telur rebus, ada telur asin itik juga ada telur ayam ras yang diwarnai merah. Entah telur apa namanya itu, Surip tak bisa berpikir macam-macam. Lagi di warung tersebut tersedia petis di mangkuk kecil, setiap dilihatnya orang-orang tersebut makan jajan pasar selalu dicelupkan dalam petis sebelum dikunyah di mulut.
“Sudah dulu Pak berapa semuanya?” Surip minta perhatian pemilik warung dengan menyatakan selesai bersantap.
“Oh sudah Cil, minum sama makan wadai berapa?” Tanya penjual warung yang selalu dipanggil Amang oleh dua orang pengunjung warung dari tadi.
“Teh panas dengan makanan kecil dua Pak,” jawab Surip lagi.
“Oh itu hanya setengah dua ratus Cil,” mudah sekali penjual warung menyebut.
Surip berkeringat dingin tak tahu uang sejumlah itu, dirogohnya uang sebesar dua ratus lima puluh rupiah dari sakunya dan kemudian disodorkan kepada penjual warung.
“Wah ikam orang baru di sini ya, ha ha ha Cil setengah dua ratus itu hanya seratus lima puluh rupiah. Ini lebihnya Amang kembalikan,” Amang penjual warung segera paham keadaan Surip yang tak paham sama sekali hitung-hitungan adat Banjar. Dua orang pengunjung di bangku panjangpun tersenyum tahu bila telah dikunjungi orang asing dari suku lain.
Salah seorang diantaranya berbicara terhadap Surip tapi tak paham artinya, “Kena ikam hapal jua di Banjar sini,” Uuuts kalimat apa itu, Surip benar-benar mengerutkan kening.
“Di mana ikam tinggal Cil?”Bertanya Amang penjual warung.
“Oh saya tinggal di kos Mas Warso yang kerja di pabrik Wijaya Tri Utama,” Surip memberitahu keadaan dirinya.
“Kerja di pabrik, itu banyak saja di sini. Pasti ikam dari Jawa ya?” Tebakan yang tepat dilakukan oleh penjual warung. Tentu saja yang setiap hari berseliweran di sekitar daerah tersebut jika itu karyawan pabrik pasti rata-rata dari Jawa.
“Iya terimakasih ya Pak,” Surip mohon diri.
“Terimakasih Cil Amang juallah,” lagi-lagi Amang penjual warung itu berkata hal-hal yang masih tak dimengerti Surip.
Acara jalan-jalan mulai. Surip yang baru pertama kali berada di kota Banjarmasin mulai penasaran dengan seluk beluk kota bernuanssa sungai dan rawa pasang surut. Sungai Barito menjadi inti kehidupan di Provinsi KalSel. Sedangkan kota Banjarmasin sepengetahuan Surip memiliki pasar terapung seperti yang sering dilihatnya di layar televisi swasta. Seorang ibu berkebaya di sebuah jukung berdayung, mengacungkan jempol tanda bahwa televisi swasta tersebut menyentuh sisi-sisi lokal suatu tempat.
Menyusuri jalan aspal lurus, tak terasa kemudian jalan membelok ke kiri dari tempatnya minum di warung tenda yang kemudian diketahuinya sebagai warung wadai. Setelah itu ternyata bertemu jembatan yang tidak asing bagi Surip, itulah jembatan yang malam hari saat tiba pertama kalinya di pelabuhan penumpang Trisakti merupakan daerah Pelambuan tempat kosnya Mas Warso berada.
Perhatiannya lebih terarah menuju jalan lurus di sekitar pelabuhan. Areal pelabuhan teratur di sebelah kanan. Menampakan bangunan-bangunan beton seperti gudang besar dan kantor yang di pinggirnya begitu steril dari pemukiman. Sedangkan sebelah kiri jalan perkampungan kumuh dengan berbagai jenis rumah kayu yang jika dilihat sepintas sejajar lantainya dengan jalan aspal dan trotoar. Tetapi bila masuk gang terasa itu jembatan-jembatan kayu ulin dengan tanah bawahnya hitam berlumpur. Deretan warung makan, toko-toko kecil menjajakan berbagai kebutuhan orang-orang kampung.
Ditelusuri lagi muncul salon-salon yang membuaat mata Surip agak membelak. Seluruh salon berderet di pinggir jalan dilakukan oleh pria-pria berdandan perempuan. Itu mayoritas salon di tempat tersebut. Surip cepat-cepat menghindar karena tawaran beberapa waria untuk potong rambut di salon-salon tersebut.
Di ujung jalan besar sebelah kanan, itulah pintu gerbang keluar masuk kontainer. Mulai terlihat cerobong asap pabrik-pabrrik plywood. Rupanya pabrik-pabrik plywood berdiri seperti membuat komplek di seluruh pinggir sungai Barito.
Surip tak berani masuk pintu gerbang pelabuhan, ia berbelok kiri meneruskan langkah. Beberapa papan nama di kantor-kantor perusahaan swasta Surip tahu namanya adalah kampung Telaga Biru. Jika terdaapat lahan kosong akan menampakan rawa-rawa dengan eceng gondok mendominasi.
“Oh rupanya Mas Warso bekerja di pabrik itu,” Surip memandangi sebuah cerobong asap di kejauhan, di cerobong asap tersebut terpampang tulisan PT WIJAYA TRI UTAMA tampak dari atas menuju bawah cerobong. Tapi Surip agak malu jika meneruskan langkah ke pabrik tersebut, begitu padatnya pinggir jalan dengan warung-warung makanan menandakan orang berjualan mengandalkan karyawan-karyawan pabrik sebagai penopang hidupnya.
Surip lebih memilih jalan yang semakin lama semakin sepi, bahkan setelah berjalan satu kilo meter mulai terdapat kampung-kampung yang agak terpencil yang benar-benar terlihat sebagai rumah adat Banjar. Tempatnya yang berawa-rawa dengan air mengalir menuju sungai Barito alias pasang surut.
Capek berjalan, Surip kembali ke titik awal perjalanannya di gang Hadiah. Itulah pengalaman pertama Surip menginjakan kaki di kota seribu sungai Banjarmasin alias daerah bersuku Banjar di tanah masin alias asin.
BAB 2
Di mana-mana Plywood
Surip sulit bergerak, kamar kos MasWarso malam itu penuh sesak. Teman-teman MasWarso datang berkunjung, sejumlah empat orang malam itu menginap berjubel di ruangan seluas 2,5x 4m. Jadi semuanya berjumlah enam orang.
Entah dari mana saja teman-teman Mas Warso ini, hari itu begitu kompak mendatangi di sore hari saat menjelang maghrib. Mas Warso baru saja mandi sore sehabis pulang kerja.
Surip sedang duduk ketika mendengar ketokan pintu kamar, segera dibukanya,
“Mas Warso ada Dik, kami temannya hendak bertemu,” seorang diantara rombongan tersebut langsung bertanya dalam bahasa Indonesia.
“Oh Mas Warso sedang mandi, mari masuk ke dalam dulu. Paling sebentar lagi datang,” Surip menyambut dan mempersilahkan masuk tamu yang masih asing baginya.
“Sampean ini apanya Mas Warso?” Seseorang bertanya menyelidiki.
“Oh saya cuma bekas tetangganya dulu di Jawa, mau cari kerja di sini Mas, masih penganggguran,” Surip berkata seraya menjelaskan jati dirinya.
“Cari kerja di Plywood?” Orang pertama tadi bertanya sepertinya sangsi terhadap Surip.
Tiga temannya memandangi Surip sepertinya hendak ikut menegaskan keadaan Surip yang bagi mereka kurang berbobot.
“Iya Mas kalau diterima nanti. Aku sendiri belum tahu kerja seperti apa di Plywood itu,” Surip berkata terus terang.
Saat itulah Warso datang dari kanal Pelambuan selesai mandi.
“Oh kalian datang rupanya. Bagaimana di Sei Bangau, sudahkah proyek bangunannya selesai?” Mas Warso berkata mencoba mencari kabar langsung dari temannya yang berkunjung hari itu.
“Hah payah So, di sana pekerjaan tidak menentu. Proyek itu sepertinya kekurangan dana. Masa materialnya jarang datang jadi kami lebih sering menganggur,” Orang yang pertama ditemui Surip memberitahu. Ternyata itu namanya Tejo kemudian yang lain-lain adalah Sukri, Jono dan Runtah.
“Lah terus rencananya kalian hendak cari kerja apalagi?” Warso tanpa tedengan aling-aling bertanya.
“Ya sebisanya nantilah, kami berempat perlu tempat untuk istirahat beberapa malam di Pelambuan ini,” Tejo yang dominan dari tadi bicara.
“Baiklah bila begitu,” Warso tak keberatan tempat tinggalnya jadi penampungan sementara. “Jika tetap kesulitan cari pekerjaan lebih baik kembali melamar di Plywood saja,” ujarnya sebagai tambahan.
“Wah kami tak mau lagi bekerja seperti sapi So, lebih enak kerja lainnya,” kali ini Jono yang bicara.
“Rip ini uang belikan gorengan di depan gang Hadiah ya, tak usah khawatir bakul gorengan itu orang Jawa,” Warso menyuruh Surip membelikan gorengan di tempat yang ditunjuknya.
Surip pun segera menuju depan gang, sudah sekitar jam setengah tujuh. Kanal atau anjir Pelambuan gelap dengan sinar lampu memantul dari airnya yang sedang pasang. Beberapa kelotok yang berjajar bergerak saling menyentuh badan kelotok sebelahnya menimbulkan suara tertentu. Ini hal-hal yang tak ada di kampung Surip. Sebuah dunia yang berbeda walaupun tetap di wilayah Indonesia.
Sebuah gerobag kaki lima berada itulah tempat orang berjualan gorengan. Lampu petromak menyala di dalam kaca penutup yang tersaji berbagai jenis gorengan.
“Nukar berapa Mas?” Penjual gorengan seorang Ibu gemuk menyapa Surip.
“Dua ribu dicampur saja berbagai jenis,” Surip memesan gorengan yang jika dilihat sepintas dominan pisang goreng.
“Mas saya lihat tinggal di kosnya Mas Warso, sampean ini keluarganyakah?” Ibu gemuk bertanya seolah-olah hapal betul dengan penghuni di sekitar gang Hadiah. Berarti perempuan ini hanya tetangga saja di sekitar tempat tinggal Surip sekarang.
“Inggih Bu kula saking Jawa keluargane Mas Warso,” Surip sengaja berbahasa Jawa.
“Oalah pada-pada Jawane Mas, mangga ngersake napa?” langsung Ibu gemuk itu tersebut menyesuaikan keinginan Surip dengan memilihkan dan membungkus gorengan. “Punika petise sisan,” Ibu gemuk tersebut memberikan sebungkus plastik kecil berisi petis teman makan gorengan.
He he he makan gorengan ditemani petis, ini model penganan di Kalimantan. Surip ingat petis banyak digunakan dalam masakan Jawa Timur. Rupanya daerah Banjarmasin lebih terhubung dengan kota Surabaya jadi petis sudah barang biasa. Tapi yang diberikan oleh penjual gorengan ternyata petis bikinan lokal, hanya cocok untuk teman gorengan. Berbeda dengan petis Jawa Timur yang dicampurkan dalam olahan sayur semacam pecel Jawa Timur.
Sempat juga Surip ngobrol dengan Ibu penjual gorengan tersebut. Rupanya ibu itu menceritakan keadaan dirinya yang merantau dan berumah tangga dengan anak yang sudah besar. Tinggal dirinya bersama suaminya yang mencoba usaha kecil-kecilan. Dulunya mereka bekerja di beberapa perusahaan, tetapi seiring usia sekarang mereka tidak laku lagi. Gantian anak-anaknya yang sekarang bekerja di beberapa perusahaan sekitar Banjarmasin. Tempat tinggalnya bersebelahan dengan tempat Mas Warso sekarang.
Keesokan harinya setelah Mas Warso berangkat kerja, empat orang tamunya itupun minggat entah kemana. Kejadian itu berulang sore harinya, menjadikan tempat Warso sebagai tempat penampungan.
Giliran kena shift malam, setelah sarapan di sebuah warung makan milik orang Jawa Warso mengajak ke sebuah tempat di komplek Lumba-lumba cukup dengan berjalan kaki. Sebenarnya jika tak dibatasi dengan kolam dermaga Pelambuan kaki ini bisa langsung ke sebelah kampung. Mereka berjalan di pagi hari yang bagi Surip sudah terasa menyengat.
Menyusuri jalan menuju muara Pelambuan terbentang komplek pelabuhan Trisakti yang sedang dibangun, kata orang itu nantinya untuk pelabuhan penumpang kapal PELNI. Setelah sampai di pertigaan belok kiri terus berjalan sekitar tiga ratus meter. Tempatnya sebuah rumah permanen yang terlihat sederhana, seorang perempuan berumur tiga puluh tahunan menyambut kedatangan Warso dan Surip.
“Lama sekali tidak mampir So, kayak sudah nggak tinggal di Banjarmasin saja,” perempuan berambut sebahu berkata sambil melihat Surip dan mempersilahkan masuk,” Ayo masuk ke dalam.”
Diiringi masuknya Warso dan Surip ke dalam rumah barulah Surip tahu. Ternyata ini semacam markas sebuah perguuruan Pencak Silat. Sebuah logo tertempel di dinding membuat Surip tahu namanya, itu perguruan Pencak Silat “Persaudaraan Setia Hati Terate.”
“Aku mung dolan Mbak, suwe ora ketemu Pak Jarot,” Warso berkata dan duduk di lantai semen. Sebuah ruang besar yang kelihatannya sering terpakai untuk kegiatan. Surip menduga mungkin di sinilah tempat berlatih siswa-siswa perguruan.
Ingatannya segera tertuju kepada dirinya sendiri, ia pun pernah bergabung di sebuah perguruan Pencak Silat yang sampai sekarang masih melekat biarpun kurang dipahaminya karena perguruan tersebut sudah bubar.
“Mas Jarot sedang pergi, kemarin Sukri dengan Tejo datang juga kemari,” rupanya perempuan tersebut sudah sangat mengenal orang-orang yang jadi tamu Mas Warso.
“Ini tetanggaku di Jawa saat masih kecil. Surip ini lagi cari kerjaan. Entah ada nggak lowongan di PT Hendratna?” Langsung Warso berkata perihal Surip dan maksud kedatangannya.
“Oh kalau lowongan kerja tinggal ditunggu So, setiap dua bulan pasti ada saja yang keluar perusahaan. Terutama sekali bagian-bagain yang dominan perempuan. Itu selalu keluar masuk karena banyak yang tidak betah di plywood.”
Terus Warso dan perempuan itu ngobrol tentang berbagai masalah.
Surip yang duduk di samping Warso jarang bicara, matanya lebih tertarik senjata trisula yang terpajang di dinding, sebuah senjata khas bela diri Pencak Silat.
“Rip kamu itu kalau di sini bisa nanti belajar Pencak Silat. Biar tambah banyak temanmu, itu orang seperti Tejo, Sukri dan Jono semuanya berasal dari perguruan ini,” Warso berkata membuat Surip tergagap karena melamun.
Buyar lamunan Surip, agak lama berpikir segera menjawab kata-kata Warso,
“Dulu di Purwokerto saya pernah berlatih Pencak Silat, cuma perguruannya lokal tidak seperti SH Terate yang banyak cabangnya,” jujur Surip berkata.
Warso seperti terkejut mendengar pengakuan Surip.
“Sudah pernah berlatih, wah kukira kamu itu tak pernah olah raga. Badanmu ceking kurang makan,” agak kurangajar kata-kata Warso.
Surip hanya tertawa saja.
“Itu dulu saat masih SMA, sekarang perguruannya sudah bubar. Biarpun seniornya masih ada tapi sudah tidak aktif lagi,” Surip menerangkan perguruan yang pernah dirinya menjadi anggota. Sebuah perguruan Pencak Silat kecil dan sangat lokal yaitu Al-Jurus.
Beberapa kali Warso bertanya tentang perguruan yang pernah diikuti Surip tersebut. Melihat kenyataan tentu tak sebanding.
“SH Terate lebih besar dan muridnya lebih menyebar kemana-mana, kalau Al-Jurus itu hanya di Purwokerto, sekarangpun biar guru besarnya masih ada tapi sudah tidak aktif lagi,” Surip merendah supaya tidak terlalu dicecar oleh Warso.
“Ha ha ha ya sudah tak mungkin lagi perguruan itu berkembang pesat. Sangat jauh dibandingkan perguruan SH Terate ini,” Warso berkata membanggakan perguruan tempatnya bernaung.
Tak ada lagi yang diperbincangkan, Surip berebah di lantai bertikar. Warso sendiri hanya bermain saja di rumah tersebut, tak lama malah saat berebah di pojok langsung tidur nyenyak, rupanya badannya kecapean. Tinggallah Surip sendiri berebah sambil merenung.
“Aku harus mencari pekerjaan, tak nyaman rasanya terlalu bergantung kepada Mas Warso ini,” timbul tekadnya. Tapi ia sekarang masih harus melihat kenyataan di depannya. Sepertinya Warso menganggap rendah dirinya, terutama sekali setelah tahu ia hanya pernah berlatih di sebuah perguruan Pencak Silat kecil.
Malamnya lagi-lagi Surip harus berkumpul dengan teman-teman Mas Warso. Orang-orang ini memang semuanya adalah satu perguruan, terasa benar kompaknya. Yang membuat Surip sulit berbicara adalah bila menyangkut perguruan SH Terate, rasanya Surip menjadi orang paling bodohnya.
Sementara orang-orang seperti Jono, Tejo, Sukri dan Runtah ngobrol ngalor-ngidul sampai kantuk datang. Beberapa batang rokok menghiasi asbak dalam bentuk abu dan puntungnya. Mereka semuanya perokok dan selalu berlomba-lomba menghabiskan malam dengan hisapan nikotin.
Kini giliran Surip berburu pekerjaan.
Tejo pernah berkata, “Gawean neng plywood kaya sapi Rip, akeh sing ora betah.”
Mendengar kata-kata itu Surip keder juga, rasanya nyalinya seperti diuji. Tapi seperti itulah bila menjadi pengangguran, dunia kerja didambakan seolah-olah itulah harapan masa mendatang. Tapi bila mendapat kabar tentang jenis pekerjaan yang dilakoni sedikit buruk, bayangan tentang pekerjaan malah jadi menakutkan. Pokoknya maju mundur jadinya......
“Di Basirih dua hari nanti ada lowongan. Cepat saja kamu kirim lamaran,” nah ini dia info dari Ibu penjual gorengan di depan gang Hadiah.
“Di mana Basirih itu, aku tidak paham tempat-tempatnya?” Surip mencoba bertanya.
“Coba saja berjalan ke pelabuhan, dari sana bila melihat jalan simpang kiri ikuti, nanti belok kanan pasti sampai PT WIJAYA TRI UTAMA. Nah dari situ masih berjalan sekitar setengah kilo sampai Basirih. Kalau nggak salah itu kampung Teluk Tiram Darat,” paham sekali ibu penjual gorengan memberitahu seolah-olah daerah Trisakti daan sekitarnya adalah kampung halamannya sendiri.
Ke sanalah Surip sekarang mengadu untung. Sesuai petunjuk yang didapat sekarang Surip tahu, itu adalah pabrik plywood paling ujung-ujungnya jalan. Sebagian jalannya bahkan tidak beraspal sama sekali, terdiri dari batu-batuan kali kecoklatan.
Hanya terlihat pintu gerbangnya saja yang terbuka sedikit dan dijaga Satpam. Sebuah pengumuman adanya lowongan membuat beberapa orang berkerumun menandakan adanya pelamar kerja mencari informasi, kebanyakan perempuan.
Surip sudah menyiapkan lamaran tetapi nama perusahaan dan alamatnya terpaksa dikosongi, sekarang tinggal diisinya PT Basirih Industrial Corp. Terutama adalah alamat perusahaan yang jelas masih asing baginya.
Setelah itu bersama-sama pelamar lain ia pun antri untuk bisa mengumpulkan surat lamaran yang langsung diterima Satpam yang bertugas khusus. Di papan lowongan tercantum juga tanggal pengumuman diterima tidaknya calon pelamar. Masih dua hari lagi, jadi ada waktu kosong untuk mencari informasi lainnya. Setelah map lamaran tertumpuk di meja pos Satpam barulah Surip meninggalkan lokasi.
Hari sudah siang jalan belum beraspal tetapi sudah tertimbun batu-batu menandakan areal tersebut cukup maju. Sisi kanan kirinya padat penduduk dengan rumah-rumah pangggung hanya setinggi satu meter dari jalan. Banyak barak-barak baru dibangun, rupanya itu untuk bisnis kontrakan pemilik lahan. Adanya pabrik plywood membuat denyut kehidupan di sekitarnya menggantungkan karyawan-karyawan yang mencoba bermukim mendekati tempat pekerjaan. Warung-warung makan pun menjamur, tetapi siang itu sepi. Tentu saja warung-warung itu ramai bila pabrik terjadi pergantian shift karyawan.
Berjalan sampai di simpang pelabuhan peti kemas mau tak mau Surip kemudian masuk areal pelabuhan. Peti-peti kemas kontainer bertumpuk di sisi kanan tempat bersandar kapal-kapal di dermaga. Itu daerah steril, di sisi kirinya pun steril dari berbagai kegiatan. Itu areal kosong yang terdiri dari rawa-rawa dan rerumputan tinggi dengan beberapa bangunan untuk keperluan pelabuhan.
Yang menarik bagi Surip, ujung dari jalan adalah ada pabrik plywood itulah PT Hendratna. Berarti pabrik tersebut menempati areal pelabuhan. Di sampingnya terdapat pelabuhan berisi timbunan batu bara yang menggunung. Di sini Surip paham batu bara itu ditampung sebelum diekspor melalui tongkang-tongkang besar.
Dibandingkan dengan PT Wiajaya Tri Utama PT Hendratna lebih sempit luasnya, Surip tertarik karena perjalanan kapal Binaiya menuju dermaga Trisakti melihat di samping kanan kiri muara sungai Barito terdiri dari rangkaian pabrik-pabrik plywood.
Paling muaranya adalah PT Gunung Meranti, Basirih tak terlihat karena masuk sungai Martapura tepat di daerah gosongnya. Sedangkan saat kapal mendekati pelabuhan Trisakti terlihatlah papan nama PT Hendratna Plywood. Itulah pabrik paling dekat dengan areal pelabuhan. Dari kapal Binaiya Surip melihat tumpukan kayu di dermaga perusahaan dan tongkang besar berisi kayu gelondongan log kayu. Betapa megahnya pabrik-pabrik tersebut, semuanya merupakan cengkeraman kuku-kuku pemodal asing.
Halaman depan PT Hendratna sepi, Pos Satpam terlihat kegiatannya. Di beberapa bangunan besar berderet motor dan sepeda parkir menandakan alat transportasi karyawan pabrik. Surip merasa sendiri jadi ragu-ragu melangkah, rasanya ia menjadi orang asing di sekitarnya. Untunglah ada rombongan orang yang entah memiliki keperluan apa kemudian masuk ke dalam pabrik setelah lapor di Pos Satpam.
Beberapa diantaranya hanya menunggu di luar Pos jaga sehingga secara tak sengaja Surip bergabung dengan rombongan yang sepertinya menunggu sesuatu.
“Masnya menunggu apa di sini?” Setengah menyelidiki Surip bertanya kepada seorang anggota rombongan.
“Kami ini mencari pekerjaan tapi melalui makelar. Itu tadi orang yang masuk katanya yang bersedia memperantarakan kami dengan orang dalam,” seorang berkata perlahan supaya tidak mengganggu orang-orang yang bertugas di Pos jaga.
“Makelar? Oh jadi di luar sini banyak ya yang menjadi makelar lowongan kerja. Berapa bayarannya Mas?” Surip iseng bertanya.
“Bayaran tidak ada Mas, tapi gaji kami nanti yang dipotong,” lagi orang itu berbisik, dari cara bicaranya jelas itu orang Jawa.
“Masnya cari kerja jugakah?” Dari memberitahu orang tersebut sekarang bertanya kepada Surip.
“Oh saya baru saja mengirim lamaran ke PT Basirih, coba-coba sekalian saja ke sini karena berdekatan,” Surip merasa nasibnya sama saja menganggur jadinya bicara blak-blakan.
“Basirih, wah dulu saya pernah kerja di sana tapi kemudian keluar. Peraturannya ketat sekali, karyawan-karyawan di sana seperti hidup ala militer,” rupanya orang yang mencari kerja melalui makelar itu punya pengalaman banyak. Ia menceritakan tentang PT Basirih yang katanya baru berdiri sekitar lima tahunan. Dulunya personil PT Basirih pecahan dari PT Wijaya Tri Utama.
“Kedua perusahaan itu terkenal keras pada karyawannya. Banyak yang keluar gara-gara tak tahan di dalamnya,” lagi orang tersebut menceritakan tentang PT Basirih. “Bagusnya gaji dan upah lembur di sana transparan, jadi kita langsung tahu berapa jumlah upah yang harus diterima dari perusahaan.”
Surip manggut-manggut saja mendapat informasi seperti itu. Baginya ia masih buta terhadap masalah-masalah tersebut. Bahkan dalam pikirannya jika ia mendapat pekerjaan itu lebih baik dari pada hidup menganggur bergantung kepada orang lain.
Tapi rombongan tersebut tidak lama di luar, sesaat kemudian mereka dipersilahkan masuk oleh penjaga Pos Satpam. Tinggallah Surip sendirian di luar, ia pun kemudian meninggalkan PT Hendratna dengan pikiran berkecamuk.
Berbagai perasaan bermunculan, terasa beban mental menghadang. Ingin ia mundur saja saat-saat seperti ini. Baginya informasi yang didapatnya membuat dirinya berpikir mampukah ia bekerja di pabrik yang kata orang bila terlalu lama di dalamnya bakalan sepeti robot. Sampai di tempat kos Mas Warso Surip terbaring di lantai kayu dengan badan lesu ditindih beban mental. Perasaannya menyatakan ia pesimis dengan masa depannya.
“Oh kamu baru pulang Rip, melamar kerja di Basirih ya, aku dengar kabar dari ibu penjual gorengan,” Warso berkata dengan nada tak percaya terhadap kemampuan Surip. “Banyak orang tidak betah kerja di Basirih dan Wijaya. Biasanya hanya masuk kemudian keluar lagi. Jadi lowongan yang ada itu karena tidak ada yang tahan kerja,” kata-kata Warso makin membuat Surip meringis, sulit juga posisinya jika seperti itu.
“Ah Mas biar sajalah dulu, bila tak tahan di Basirih aku akan mencoba di tempat lain. Di toko atau di Mall tak apa. Aku pernah kerja di toko Sri Ratu bagian gudang,” Surip berkata membela diri karena merasa tersudut.
Agak terkejut Warso mendengar kata-kata Surip, tak dikiranya anak ini punya pengalaman kerja di bidang yang lain. Bayangannya Surip ini pengangguran yang tak menentu walaupun sekolahnya setingkat SMA. “Surat dari toko ada nggak Rip, itu bisa jadi tambahan referensi dalam lamaran kerja,” katanya lagi.
“Ada Mas semoga saja bisa diterima,” Surip mencoba tegar.
Banyak orang meremehkan dirinya, itu terjadi di mana saja. Mungkin orang melihat keadaan badannya yang kurus dengan pipi cekung kurang makan. Yang paling sering jadi momok bagi Surip adalah bicaranya yang sering ditertawakan orang karena cadel dan cara berjalannya yang sering agak membungkuk. Hal-hal yang tidak bisa Surip mengubahnya karena sudah takdir.
Pertaruhan nasib dimulai,
Pengumuman penerimaan karyawan di PT Basirih digelar hari itu. Ratusan orang lelaki perempuan berkumpul menanti namanya dipanggil untuk mendapatkan tes tahap selanjutnya. Sekarang Surip jadi tahu kenapa orang-orang seperti Jono mengatakan pekerja plywood itu seperti sapi. Begitu banyak pelamar kerja berkumpul, ternyata jumlah pelamar kerja selalu lebih banyak daripada lowongan yang diterima.
Semua orang berharap dirinya dipanggil namanya hari itu. Jika melihat berjubelnya pelamar kerja Surip pun pesimis. Pesaingnya sangat banyak dan mungkin lebih banyak yang memenuhi kriteria lowongan yang ada.
Surip memandangi orang-orang di sekitarnya, orang lain lebih terlihat banyak bergerombol karena mungkin saat-saat melamar sudah menjadi kelompok dengan latar belakang tertentu. Berbagai bahasa bercampur diantara kelompok-kelompok yang ada. Bagi Surip mudah saja membedakan antara orang Jawa dengan suku-suku lain.
Tiba-tiba terdengar namanya dipanggil dari pengeras suara. Orang-orang pun menoleh ke samping kanan kiri melihat siapa orang yang beruntung mendapatkan pekerjaan. Bergemuruh dada Surip mengetahui dirinya diterima hari pertama itu. Berturut-turut nama-nama orang lain dipanggil dan langsung disuruh maju untuk masuk melalui pintu pagar berteralis besi. Selanjutnya Surip tak mengetahui nasib orang-orang yang seperti sapi-sapi mencari makan di sebuah padang rumput. Masih sempat terdengar suara dari pengeras suara yang memang sengaja dipasang segala sudut luar dan dalam pabrik untuk menyampaikan pengumuman.
“Nama-nama yang sudah dipanggil harap berkumpul, sedangkan untuk yang lain besok silahkan hadir kembali untuk mengetahui seleksi hari selanjutnya, terimakasih!!”
Setelah itu Surip mulai merasakan beberapa tes yang sangat berbeda dengan keadaan di luar lingkungan pabrik. Pertama dimulai dengan pengukuran tinggi badan, di mana seorang pelamar langsung dicek antara tinggi badan yang diukur dengan data KIR kesehatan yang terlampir dalam lamaran.
Beberapa orang ternyata dinyatakan gugur karena tidak sesuai dengan data yang ada. Terus Surip melalui tes selanjutnya, tes detak jantung, tekanan darah dan tes mata telanjang tentang buta warna dan perbedaan huruf besar kecil. Ah ternyata Surip masih sulit membedakan antara Q dengan O, he he he dasar buta huruf!
Terakhir ini tradisi seluruh karyawan PT Basirih, menghafalkan gerakan senam versi SPI, kemudian aturan perusahaan yang mengharuskan seseorang berhadapan dengan siapapun selalu dalam posisi barisan militer.
Capeknya minta ampun!
Menjelang maghrib tes selesai dan Surip pulang menuju tempat penampungannya di gang Hadiah. Sampai di tempat kos, Warso memandanginya dengan muka aneh. Tidak ada perkataan apapun keluar dari mulutnya. Sikapnya terhadap Surip berubah, mukanya masam terus dan acuh terhadap kehadiran Surip di dalam kamar tersebut.....Ada apa ya?
Pagi hari Surip cepat bangun, ia merasakan sendi-sendi tubuhnya ngilu. Semalam badannya pegal-pegal dan nyaris tak bisa tidur. Tubuhnya kaget mendapatkan bentuk-bentuk kegiatan fisik yang begitu drastis. Dari jarang bergerak dalam waktu sehari penuh digenjot dengan berbagai tes fisik. Badan tidak mampu merespon sehingga Surip tidur tak bisa nyenyak.
Dalam saat-saat seperti itu Surip tak mampu memikirkan masalah lain. Ia hanya bisa bergerak untuk melakukan kegiatan rutin seperti mandi di dermaga Pelambuan. Setelah itu hari masih gelap tujuannya menuju ke pabrik memulai kerja.
Plywood itu industri kayu lapis, bahan bakunya dari kayu yang ditebang di hutan pedalaman Kalimantan. Seluruh industri terpusat di muara sungai Barito dengan ekspor ke luar negeri.
Belum ada pembagian kerja, orang-orang training yang baru diperbantukan di semua bagian yang membutuhkan. Hari pertama Surip berada di bengkel kerjanya hanya mengangkat dan membersihkan pecahan-pecahan mesin dari besi.
“Hei itu dikumpulkan jadi satu di sini, setelah itu disapu sampai bersih seluruh lingkungan bengkel!” Seorang berkata memberitahu pekerjaan yang harus dilakukan.
Tak ada lagi yang bisa dibantah, perintah harus dikerjakan. Orang-orang training baru tak tahu mana pemimpin yang sebenarnya di bagian-bagain yang mereka kerjakan saat itu. Yang ada siapapun bisa memerintah bahkan seorang harian umum yang pekerjaannya paling tidak bergengsi bisa berlagak menjadi Bos.
Ini ujian untuk orang training, dan ternyata pekerjaan yang langsung dirasakan berat dan mengejutkan karena tidak tahu kemana sebenarnya nanti ditempatkan itulah yang banyak membuat gugur orang training seperti mereka. Sangat tersiksa bahkan nyaris tak berperi kemanusiaan.
“Kalian ikut aku ke atas, ini bawa alat dan rantai ke tingkat dua!” Seorang bertubuh gemuk berhelm merah memberi perintah kepada rombongan Surip berlima.
“Siap Pak!” Surip Cs hanya bisa berdiri tegak ala tentara.
Mereka berlima dibawa naik ke tingkat atas yang panasnya bukan main karena sering terpanggang sinar matahari siang. Sampai di tempat yang dituju, semuanya memandang ke bagian yang akan dikerjakan. Itu sebuah tempat di pinggir mendekati mesin boiler cerobong asap, sangat berbahaya.
“Kalian coba lihat pipa-pipa itu, salah satunya ada kebocoran. Tugas kalian memegangi pipa sedangkan kami memasang baut yang lepas, mengerti!” Teriak orang berhelm merah.
“Memegang pipa?” Surip bertanya, “Yang mana Pak, ini ada beberapa pipa berjajar” Tanyanya sambil melihat ke bawah, sekali jatuh ya sudah tamat riwayat.
“Ngeyel kamu, ayo naik dan segera pegangi pipa paling kecil!” Lagi orang tersebut memerintah.
Terpaksa Surip naik dan tak ada pilihan lain menginjak pipa besar, langsung terkejut. Pipa besar tersebut terasa panas, beberapa kali kakinya berpindah-pindah tempat sambil menjaga keseimbangannya supaya tidak terjatuh dari ketinggian. Beberapa rekannya melakukan hal yang sama juga dengan muka ngeri.
Tidak sampai bekerja Surip dan seorang diantaranya naik papan lantai tak berani meneruskan.
“Pak ini tak mungkin dikerjakan, sepatu kami saja mulai gosong menginjak pipa air panas itu, mana mungkin bisa bekerja!” Surip berkata keras, orang yang berada di sampingnya mengiakan dengan nada protes. Juga yang tiga orang segera tak berani melanjutkan berdiri di pipa yang panas sekali.
Rupanya orang gemuk berhelm merah tahu juga perintahnya sangat tidak manusiawi. Dari muka keras agak melunak sekarang,
“Ya sebenarrnya itu bukan pekerjaan kalian, tunggu saja beberapa saat ada tenaga ahlinya,” katanya tanpa rasa bersalah. “kalian kembali ke tempat semula, bawa lagi beberapa peralatan seperti ini, itu tugas kalian yang sebenarnya.” Itulah perintah yang sebenarnya.
Memang mana mungkin mengerjakan pekerjaan yang bersifat khusus seperti itu tanpa ketrampilan orang bengkel, menjadi pembawa peralatan yang diperlukan itulah bisanya.
Jadinya Surip Cs pulang balik beberapa kali naik turun tangga membawa peralatan. Setelah tenaga ahlinya datang mereka bekerja lebih santai karena hanya disuruh ini itu melayani tukang-tukang yang lebih tahu medan pekerjaan. Bahkan saat menjelang sore mereka berlima tinggal duduk-duduk saja di lantai atas memandangi orang-orang yang bekerja di bawahnya.
“Kalian tinggal saja di sini sampai pulang nanti, ingat jangan kemana-mana banyak sekali pengawas kerja yang akan menyuruh kalian pindah bagian,” Orang berhelm merah itu berkata sepeerti tahu kondisi orang-orang seperti Surip yang lebih sering ditekan dengan tugas-tugas berat karena statusnya tenaga baru.
Barulah setelah itu Surip Cs bisa saling bertanya keadaan masing-masing sebagai orang baru di perusahaan.
“Aku dari Pleihari orang trans, coba-coba saja kerja di sini, tampaknya berat sekali,” kata seorang dari empat orang yang bisa langsung akrab. Ternyata empat orang lainnya berbicara dengan bahasa yang belum diketahui Surip. Makanya tadi hanya dengan orang yang kemudian berkenalan Surip ngobrol.
“Pleihari itu di mana, aku buta sama sekali di daerah ini?” Surip bertanya.
“Oh Pleihari itu di kabupaten Tanah Laut, dari terminal km 14 ada colt trayek menuju ke sana,” katanya mencoba akrab. “Rip di mana kamu tinggal di Banjarmasin?”
“Aku di gang Hadiah Pelambuan, ikut bekas tetangga di Jawa katanya trans di Binuang sekarang,” Surip ngobrol berbagai hal selanjutnya.
Mereka berlima saat ini berada di lantai dua, bangunan pabrik sangat luas mungkin menempati satu hektar itupun hanya bagian produksi. Terlihat di bawahnya beberapa alat pengepres lapisan kayu, pengering lembaran kayu berjajar menyesuaikan tahap order yang didapat pabrik.
Surip merasa dirinya kecil di ruangan yang demikian luas, jumlah orang yang bekerja shift saat itu dari depan sampai belakang lokasi pabrik mungkin mencapai seribu lebih.
“Nanti kalian bakalan sama nasibnya dengan orang-orang di bawah itu, bekerja melayani mesin. Berhati-hatilah jangan sampai kalian kecelakaan saat berada dekat mesin,” seorang bagian bengkel berkata memberitahu keadaan yang membuat pikiran Surip jadi membayangkan hal-hal yang mengerikan.
Dan hari kedua Surip benar-benar berada di mesin rotary, itu awal gelondongan-gelondongan kayu yang telah dipotong sesuai ukuran produksi order. Mesin rotary merupakan awal produksi dengan mengupas log kayu menjadi lembaran tipis ukuran milimeter. Tapi itu tugas mesin dan operatornya, tugas Surip dan orang-orang di bagain rotary adalah mengumpulkan kupasan-kupasan kayu yang tidak berupa lembaran saat pertama log mulai masuk mesin kupas.
Begitu mesin menyala dan log berputar keluarlah lembaran-lembaran tipis permukaan kayu. Langsung menggunung jumlahnya, dan itulah tugas Surip Cs mengumpulkan dan membawanya ke bagian tertentu berdasarkan lebar dan tipisnya.
Enak! Wah jauh dari kata tersebut.
Surip menyentuh lembaran kayu kemudian diangkatnya, langsung tercium bau busuk kayu dan disadarinya baju dan celananya banyak tertempel minyak-minyak yang keluar dari lembaran kayu yang masih basah, kotor sekali.
“Itu tumpuk di sana! Sesuaikan dengan lebar lembarannya. Setiap lapisan kayu itu tebal tipisnya setiap produk berbeda, ayo kerjakan!” Seorang perempuan berhelm merah setingkat operator atau kepala kerja memberi perintah. Kalau Surip masih berhelm kerja putih, belum berseragam. Kartu tanda pengenalnya masih tertulis Training.
Perempuan itu terus memerintah orang-orang di sekitarnya yang menjadi bawahan. Terlihat berkulit putih pucat dengan pipi cekung, berarti badannya termasuk kurus. Rambutnya tidak terlihat karena diikat dan tertutup helm merah. Semua perempuan di pabrik memang diwajibkan mengikat rambut agar terhindar dari kecelakaan misalnya rambut tersebut tertarik mesin, tentu sangat berbahaya.
Mesin rotary terus menyala, gulungan-gulungan yang dihasilkan sudah mencapai puluhan. Sementara Surip Cs hilir mudik mengangkuti lembaran yang tidak mungkin menjadi gulungan ke tempat tersendiri. Tumpukan lembaran kayu terus menggunung, orang-orang pun tak mampu lagi bekerja karena kelelahan. Deru mesin rotary dengan pisau kupasnya membuat telinga Surip pekak, suara-suara dari orang sekitarnya hampir-hampir tak terdengar. Padahal mereka masing-masing sudah berteriak keras-keras supaya teman-temannya mengerti.
Itulah suasana pabrik plywood.
Sirine berbunyi tanda istirahat terdengar keras, tapi bukan berarti pekerjaan berhenti. Mesin tetap terus bekerja mengupas log dan hanya operatornya yang berganti memberi kesempatan istirahat rekannya. Begitu juga dengan Surip Cs, mereka bergiliran istirahat dengan kesempatan waktu masing-masing setengah jam untuk makan siang di kantin. Saat giliran Surip menuju kantin segera makan sesuai yang tersedia. Dari seluruh kegiatan untuk berbagai keperluan harus menunjukan kartu-kartu tertentu. Ke kamar kecil ada kartunya, ke kantin ada kartunya dengan bergiliran. Gantian hendak makan pun ada kartu yang di dalamnya tertera nilai-nilai potongan gaji yang nantinya akan dipotong. Petugas kantin akan mencoret harga-harga tertera di kartu sesuai nilai makanan yang dikonsumsi, ketat sekali!
Di pojok kantin Surip menghirup teh dan makan dengan lahap saking laparnya. Beberapa hari ini tenaganya begitu terforsir membuatnya kurang istirahat. Misalnya begitu sampai di kamar kos paling-paling cuma cuci kaki dan tangan langsung berebah tidur ngorok. Paginya bangun jam empat langsung mandi dan bersiap-siap berangkat kerja lagi.
Selesai makan di kantin pekerjaan menanti lagi. Hanya mengumpulkan lembaran-lembaran kayu tipis ke tempat tertentu yang sudah tersedia. Boleh dikata jika terlalu banyak omong di pabrik apalagi sampai ngobrol tak mungkin terjadi. Beberapa pengawas pun akan cepat menegur, pameo waktu adalah kerja berlaku di sini. Dan Surip masuk golongan buruh (proletar) dalam istilah Marxsisme.
Saat itu komunisme mulai ambruk, Uni Soviet bubar menjadi beberapa negara dengan Rusia sebagai pewarisnya. Itu sudah dimulai tahun 1990 an dengan runtuhnya Tembok Berlin dan menyatunya Jerman Timur dengan Jerman Barat karena kalah dalam perang dingin.
Sebelumnya saat Surip masih duduk di bangku SD, SMP hingga SMA seluruh dunia sangat terancam dengan ideologi komunisme, terutama Uni Soviet dengan militer dan inteligennya dulu sangat mencemaskan dunia. Saat-saat jayanya Uni Soviet seperti hadir di manapun dengan organ inteligen berupa mata-mata ideologi ini. Digambarkan orang komunis itu bertampang dingin, tak berperasaan, namun pekerja keras, selalu terkontrol dan di bawah sebuah komando rahasia. Itulah kejayaan Uni Soviet.
Hari ke delapan ternyata Surip ditarik ke kantin sebagai tenaga pembantu bersama seorang temannya dari daerah Gambut asli suku Banjar. Hanya sehari tapi lumayan,
“Kalian ini ditarik ke sini upah jadi dobel, soalnya kantin dengan bagian produksi berbeda. Kantin ini usaha kontrakan tersendiri tidak berkaitan dengan pabrik, walaupun peraturan dan waktu kerja menyesuaikan dengan bagian produksi. Sementara kalian ditarik ke kantin gara-gara dua karyawan kami absen hari ini,” pengelola kantin memberitahu penyebabnya.
Asik benar-benar lumayan saat itu. Pekerjaan tetap berat karena kantin dengan dapur umum selalu menyiapkan segala sesuatunya secara massal. Jam-jam makan karyawan bukan main sibuknya, hampir tak ada jeda istirahat. Setelah itu harus mencuci piring makan gelas dan peralatan dapur lainnya. Kesibukan tak kalah dengan bagian produksi, hanya setelah waktu istirahat usai gantian orang-orang kantin melepas lelah, bahkan bisa tidur satu dua jam. Memang sih untuk bagian cateringnya tetap bekerja menyiapkan menu masakan untuk shift selanjutnya. Tapi Surip dan seorang temannya hanya disuruh berjaga-jaga sambil merebahkan badan di bangku kantin.
Kantin terletak di tempat strategis, menghampar di depannya lapangan yang biasa untuk meeting dan bersenam pagi. Di samping kantin ada sebuah tempekong yang sepertinya merupakan bangunan baru di lingkungan pabrik, kecil memanjang dan sangat bersih.
Tempekong itu berisi patung Dewi Kwan Im Powsat atau dewi kebijaksanaan. Wah mayoritas pemimpin group Basisih dari Korea Selatan. Mereka seing dipanggil mister sebagai panggilan kehormatan. Tentunya tempekong itu dipakai untuk sembahyang penganut agama orang Korea itu. Itu sebabnya peraturan perusahaan menyesuaikan dengan tata tertib wajib militer ala Korea. Wah kalau Korea selatan ada wajib militer bagaimana dengan saudara tetangganya Korea Utara itu?
Konon di Korea Utara satu dari dua puluh penduduknya pasti tentara. Tidak mengherankan jika disiplin militer diterapkan mulai dari balita sampai tua. Tapi Korea Utara kalah maju dibandingkan tetangganya yang sekuler. Korea Selatan sudah menjelma menjadi negara industri jauh meninggalkan Indonesia.
Salah seorang tarining dipekerjakan di tempekong. Waktunya dihabiskan dengan membersihkan tempat ibadah tersebut. Mengepel, mengelap meja altar dll. Beberapa kali terlihat kecanggungannya di tempat ibadah yang jelas asing sekali baginya. Beberapa kali ia terlihat keluar dari tempekong dan bertanya ke Satpam harus bekerja apalagi di termpat tersebut. Soalnya itu bagian yang tidak ada pengurusnya sama sekali bahkan merupakan areal steril di perusahaan.
Rupanya Satpam-Satpam itu bingung juga bila ditanya urusan tempekong. Mereka terpaksa harus menghubungi seorang pimpinan yang biasa bersembahyang di dalamnya. He he he perintahnya kepada karyawan training tersebut makin membuat pusing kepala sang karyawan. Kemungkinan besar orang training tersebut tidak akan tahan di pekerjakan di tempat tersebut. Baginya itu juga berkaitan dengan perbedaan keyakinan. Sesuatu yang asaznya memang sangat bertolak belakang.
“Mending aku besok pindah ke harian umum dari pada terus di tempekong itu,” orang training tersebut sempat berkomentar saat berpapasan dengan Surip di luar dapur. Surip pun tak bertanya apa-apa lagi, tahu saja kalau orangnya tak akan betah di dalamnya.
Sorenya sebungkus wadai diberikan oleh karyawan kantin sebagai oleh-oleh karena telah membantu bagian mereka.
“Besok kalian kembali ke bagian produksi, shift malam kantin sudah datang. Jika nanti ada lowongan di kantin boleh saja kalian nanti mengisinya,” ujar pemilik kantin ramah walaupun jika sedang bekerja galaknya minta ampun.
Kembali ke bagian produksi pekerjaan pun sangat menyiksa. Beberapa kali Surip harus berganti-ganti bagian, pembagian shift belum ada. Jadi nasib Surip hari-hari pertama kerja di Basisih menjadi tenaga serabutan.
Hari ke lima belas gajian, sistem gaji di bagain produksi ternyata setiap dua minggu sekali. Surip menerima upah dengan potongan makan di kantin cukup besar. Tenaganya habis terkuras hingga perlu pemasukan dari lahapnya cara makan setiap hari. Sampai di tempat indekos Surip mendapati surat dari Mas Warso,
“Rip aku pulang dulu ke Binuang beberapa hari. Kamu sudah kerja kan? Jadi tolong nanti bayar kos bulan ini jatahmu mulai sekarang.”
Ttd, Warso
Singkat dan jelas isi suratnya, selang sehari kemudian seorang pria berusia lanjut datang dari Palangka Raya langsung menagih ongkos sewa kamar. Ya itulah hari-hari pertama Surip di Banjarmasin.
BAB 3
Suka-duka menjadi Teller di gudang Plywood
Bus-bus karyawan setiap pagi dan sore mangkal di beberapa tempat. Tidak hanya perusahaan Basirih tapi hampir semua plywood memiliki. Jadi bus-bus besar dengan trayek dalam kota milik perusahaan mendominasi keramaian di Banjarmasin. Bagaimana dengan angkutan trayek milik pemerintah dalam kota?
Yahhh pemda Kodya banjarmasin hanya memiliki jenis-jenis Colt sebagai sarana transportasi. Bus AKAP masih bisa dihitung dengan jari itupun masih kalah jauh dengan colt L 300 yang menuju antar kabupaten.
Plywood menempati pinggir sungai Barito, sebuah sungai terbesar di dua provinsi Kalsel dan Kalteng. Beberapa perusahaan plywood untuk mencapainya harus menyeberang dengan kapal. Lagi-lagi juga sudah disediakan perusahaan. Sementara sebuah pulau berisi monyet bekantan berada di tengah-tengah aliran sungai, pulau Kembang.
Tempat Surip bekerja jauh dari pulau Kembang, Basirih terletak di Teluk Tiram Darat di tanah gosong (delta) muara sungai Martapura. Sebagai karyawan dengan tanda pengenal Training pekerjaan masih berpindah-pindah. Hari ini ia bekerja di gudang pengemasan. Pekerjaan menumpuk karyawan gudang benar-benar kewalahan, entah ini order dari mana semuanya merupakan plywood tipis dua milimeter.
Yang digunakan mengemas adalah plywood afkir, orang-orang gudang terdiri dari lelaki semua, berhelm putih dan merah, kalau helm kuning berarti sudah Asisten atau bahkan kalau helm biru sudah Kabag.
“Berapa yang training baru, coba ikuti saya!” Seorang bermata sipit memanggil anak buahnya dan segera tahu kelompok orang training yang diperbantukan.
Sementara forklift bolak-balik mengangkut produk plywood. Demikian banyak hingga memenuhi areal gudang dan sekitarnya.
“Hai kamu sini kumpul, hei dengar tidak kamu dari tadi dipanggil!” Berteriak orang bermata sipit dengan logat Pontianak, wuih Cina Sambas rupanya.
“Wah maaf Pak suara sekitar bising sekali, telinga saya sampai tuli rasanya,” Surip yang terkena panggilan terpaksa mendekat. Lagi-lagi ia harus menyesuaikan peraturan, berdiri tegak ala militer siap mendapat instruksi. Sementara sebenarnya ia sudah kepayahan karena menjadi kuli pengangkut plywood kemasan.
“Kamu sekolahnya apa?” Cina sipit itu bertanya menyelidiki.
“SMA Pak,” Surip menjawab bingung tak tahu arah pertanyaan kabag Gudang, yang lain menyebut berbeda.
“Nah yang SMA besok coba tugas mencatat dan memberi nomor kode di setiap plywood yang sudah dikemas,” perintah itu rupanya mendesak karena tak ada yang bersedia ditempatkan di Teller gudang.
“Siap Pak!” Surip hanya bisa berkata. Setelah itu meeting selesai semua bekerja kembali. Seperti itulah plywood, tenaga habis untuk memenuhi order dari beberapa buyer.
Pekerjaan di seluruh departemen bagian plywood terasa monoton. Jika itu di bagian dempul, ini bagian perempuan paling banyak, pegangannya hanya adonan lem dempul dan kuas pelepa plywood. Jari-jari tangan sampai pegal dan kram memegangnya. Begitu juga bagian Hot pres maupun asembling, tak bisa beranjak dari tempatnya kecuali itu saja yang dikerjakan. Semuanya jenuh tak berdaya.
“Eh kenapa kamu duduk saja di belakang sini Mas?” Surip menegur seseorang yang dari tadi tidak bekerja.
“Badanku demam hendak berobat tapi tidak boleh oleh kepala kerja. Disuruh nanti saat jam istirahat,” berkata orang tersebut dengan wajah putih pucat.
“Hei jangan urusi orang itu, bantu angkat papan balok kemasan ini!” Kata-kata kasar terdengar dari jauh, itu rupanya kepala kerja yang berkuasa di bagian gudang. Tampaknya orang-orang memang begitu sibuknya di gudang. Semuanya mengikuti irama kerja mesin yang hitungannya ribuan jam kerja nonstop dua puluh empat jam perhari.
Sempat Surip berbisik kepada orang yang sakit, “Demam apa sih kamu itu?”
Lirih suara orang itu menjawab, “Thypus Mas, hati-hati di pabrik semuanya bisa kena mendadak.”
Setelah itu Surip hanya bisa bekerja keluar tenaga mengikuti perintah kepala kerja, sangat menjemukan.
Masih masa Training tetapi harus menjadi teller gudang, itulah Surip di plywood. Jika melihat sepintas akan terasa berbeda dengan departemen lain. Teller selalu dipegang perempuan. Nah di gudang tak ada karyawan yang kemayu, jadinya tenaga yang ada di gudang itu saja yang diambil menjadi teller. Kalau di staff gudang ada perempuan tapi tak mungkin terjun di lapangan yang penuh debu dan bising karena suara mesin bekerja.
Menjadi teller gudang ternyata cukup banyak kegiatannya. Berbagai jenis plywood menjadikan Surip heran. Paling tipis plywood dua milimeter, juga paling lebar dan panjang. Masih mending tebal 4-5 mm biasanya inilah plywood yang banyak di pasaran di Indonesia. Kemudian plywood sampai 2-3 cm, ini biasanya untuk papan pintu dengan berbagai grade kualitas. Yang paling tebal bisa sampai ketebalan 10 cm dengan berbagai ukuran sesuai order, biasa disebut counteiner flooring. Mungkin digunakan untuk landasan mesin pabrik yang tentunya berukuran besar-besar. Ada juga peti teh, produk afkir yang diseleksi kemudian dipotong ukuran tertentu bujur sangkar untuk peti kemas.
Setiap satu jenis produk keluar, bukan main! Seluruh tenaga seperti habis diperas untuk menanganinya. Tak terkecuali Surip biarpun hanya menjadi tenaga pencatat dan pemberi kode di plywood. Pekerjaan Surip sebagai teller setiap unit plywood yang sudah dikemas dilihat dulu bermasalah atau tidak. Jika masalah dari bagian Hotpres belum kelar tak mungkin dikemas biarpun barang menumpuk. Jika sudah dikemas giliran Surip memerintah operator forklift memindahkan ke gudang raw material.
Tumpukan plywood menggunung terkadang tak tersisa tempat menumpuk lagi. Orang-orang gudang yang menjadi tukang kemas ya hanya itu-itu saja pekerjaannya, merekapun sudah kehabisan tenaga menyelesaikan pengemasan.
Bila kena shift siang orang-orang seperti terpanggang di bawah atap seng. Biarpun wajah sudah bermasker tetap saja debu-debu yang keluar dari mesin pemotong atau bagain Hotpres menerpa setiap sudut pabrik. Terkadang sangat menyiksa. Berada di ruang tertutup terus menerus tetapi tetap gerah kepanasan membuat karyawan-karyawan plywood berkulit pucat seperti tak berdarah. Banyak perempuan yang segemuk apapun menjadi kurus kering bahkan berpipi kempot. Perangai orang pun berubah, menjadi pelayan mesin dan cukup menjadi robot yang bisa diperintah kesana kemari.
Yang sangat terasa bagi Surip bekerja di plywood sangat tertekan. Berbagai perintah atasan seperti beban yang harus dikerjakan. Hari-hari mendapat omelan dan perintah kasar. Dunia pabrik keras dan sangat memeras buruh, itulah kapitalisme. Pemodal harus mendapat keuntungan sebesar-besarnya walaupun dengan menginjak-injak kaum buruh.
Di negara-negara maju perserikatan buruh menjadi penyeimbang kaum kapitalis. Mereka merupakan badan yang membela kaum buruh bahkan menjadi partai-partai politik berkuasa. Terkadang ada tudingan miring serikat buruh itu berpaham marxisme, ekstrim dll. Bentuk-bentuk seperti itulah yang membuat kaum buruh di Indonesia tak punya pegangan. Ada SPSI semoga saja benar-benar mampu membela kaum buruh. Ini jaman Orde Baru, apapun yang berbau kiri atau kanan langsung disubversif. Terlalu mudah bagi penguasa menelikung gerakan-gerakan solidaritas buruh.
Eh gerakan kanan atau kiri di Indonesia itu seperti apa sih?
Ini yang menyulitkan, semuanya subyektifitas dari penguasa Orde Baru. Mungkin nasionalisme berbasis agama bisa dianggap terlalu kanan, sedangkan yang berbau sosialistis dianggap berbau kiri.
Lucunya Repelita adalah program pemerintah Orde Baru mengadopsi gaya Stalin di Uni Soviet. Pemerintahan selalu terpusat di Jakarta dan militer menjadi semacam alat mobilisasi umum. Anti komunis tapi hanya untuk segelintir kepentingan sebuah golongan.
Hari-hari di Basirih dalam seminggu ada saja terjadi kecelakaan, di bagian dekat gudang yaitu bagian dempul sering hal tersebut terjadi. Mungkin banyak kelengahan karyawan di bagain ini, misalnya tertabrak forklift atau tersenggol plywood saat diangkat dan diturunkan ke lantai.
Disinyalir angka kecelakaan di pabrik plywood ini sangat tinggi, perminggu selalu ada saja terjadi kecelakaan. Inilah pabrik dengan sistem kerja dua belas jam perhari. Sangat memeras tenaga karyawan, semuanya hanya untuk mengejar target produksi.
Memang kelebihannya ada yaitu dari dua belas jam kerja, delapan jam upah harian sedangkan sisa empat jam dihitung lembur. Ini sangat berbeda dengan pabrik plywood lain yang sering hanya memberi upah harian saja, lembur hanya ada bila order sedang menumpuk. Jadi sistem di Basisih menunjukan tingkat kesejahteraan yang relatif lebih tinggi dibandingkan pabrikan lain.
Surip merasakan pekerjaan demikian berat, tubuhnya terasa cepat sekali susut berat badannya. Menjadi tukang teller gudang memang tidak sampai mengangkat papan dan balok kayu atau memotong tripleks dengan mesin. Tetapi mengecek kondisi plywood, mendata dan menghitung di raw material sering mmebuat Surip bertindak sendiri. Misalnya pengecekan dilakukan tidak olehnya sendiri, harus dengan TQC (Total Qualty Control). Biasanya harus bekerja sama dengan bagian lain. Tapi itu tak mungkin dilakukan, plywood yang sudah Surip kemas jika menunggu TQC bagian lain bakalan kelamaan. Tenaga pengemas bakalan gusar menanti hal yang tak pasti. Akibatnya Surip memutuskan pemalsuan tanda tangan yang penting semua bagian berjalan tanpa prosedural berbelit-belit.
Caci maki antar bagian, pelanggaran prosedural terus terjadi. Semuanya terjadi karena hitungan jam mesin produksi yang sangat cepat. Kemampuan manusia ternyata sangat terbatas, tak terelakan lagi terkadang Surip terkena sanksi dari bagian lain.
Tapi bagi Surip rasanya biarpun banyak mendapat peringatan ternyata tak pernah dihukum. Jadi semuanya jalan terus, diam-diam semua bagian juga melakukan hal yang sama. Lebih baik mendiamkan seluruh pelanggaran prosedural terjadi yang penting target pekerjaan sehari-hari selesai.
***
Di gang Hadiah Surip kebingungan. Mas Warso sudah setengah bulan ini tidak kembali ke tempat indekosnya.
“Bagaimana kabar Mas Warso? Aku benar-benar tak tahu keadaannya sekarang. Terakhir dua minggu yang lalu ia pulang ke rumahnya di Binuang. Entah di mana Binuang itu?” Bertanya Surip tanpa ada jawaban.
Jika kena shift siang berarti ia bisa pulang sore sebelum jam tujuh. Di depan gang Hadiah sering ia bertanya kepada Ibu penjual gorengan yang rasanya bisa dijadikan tetangga dekat.
“Mas Warso sudah dua minggu ini tidak kembali bekerja, Ibu tahu kabarnya sekarang?” Akhirnya suatu ketika sambil membeli gorengan Surip bertanya.
“Kok lama banget Mas Warso pulang kampung Rip. Kalau libur tanpa keterangan sudah dikeluarkan dari perusahaan,” Ibu gemuk penjual gorengan berkata tentang lamanya Mas Warso tidak bekerja.
“Terus bagaimana tempat kosnya ini? Yang sulit itu teman-temannya juga tidak tahu kabar apa-apa dari Mas Warso. Padahal mereka masih sering tidur di kamar kos bila malam hari,” Surip benar-benar bingung sekarang. Mulai banyak timbul masalah sementara dirinya hanya seorang yang baru pernah merantau di Kalimantan. Semuanya masih terasa asing. “Jangankan Binuang yang jauh sekali tempatnya, Banjarmasin juga paling-paling baru singgah di Mitra Plaza,” katanya dalam hati.
“Aku sendiri belum pernah ke Binuang Rip. Kami sekeluarga bukan orang Trans tetapi memang merantau mencari pekerjaan langsung di kota,” Ibu penjual gorengan menerangkan. Makin pusing Surip mendengar keterangan ini.
Kini Surip harus sabar menunggu kabar Mas Warso. Sementara teman-teman Mas Warso seperti Tejo, Sukri, Jono dan Runtah menjadikan kamar kos tersebut sebagai markas. Bila siang hari orang-orang itu entah kemana pergi, tapi bila malam mereka berjubel tidur di dalamnya.
“Kalian itu teman-teman Mas Warso tentunya tahu kabarnya sekarang?” Lagi Surip bertanya mengenai orang yang punya kamar kos. Saat itu Tejo dan teman-temannya muncul untuk ikut menumpang di kamar kos.
“Aku sih tahunya Warso itu ke tempat bininya di Batu Hapu, tapi kalau soal berapa lamanya kami yang tidak tahu Rip,” Tejo memberitahu Surip kepergian Mas Warso.
Surip tidak tahu menahu lagi, malah sekarang melihat Tejonya sendiri semakin menjadi-jadi bila berada di kamar kos Surip. Mereka sekarang tak segan-segan lagi meminta kunci dan terkadang membuka lemari milik Mas Warso. Ada beberapa barang seperti sandal dan pakaian Mas Warso yang dipakai teman-temannya ini. Benar-benar Surip berada dalam situasi dilematis. Memangnya orang-orang ini hendak dilarang masuk oleh Surip?
Menurut perkiraan Surip selama tinggal Mas Warso ada beberapa barang yang mereka ambil tanpa ijinnya. Surip belum lama di Banjarmasin dan baru berkumpul dengan Mas Warso dan teman-temannya ini, ia tak tahu sama sekali watak mereka masing-masing. Lebih mirip Surip dijadikan pelampiasan permainan teman-teman Mas Warso ini.
“Bagaimana nanti aku bilang kepada Mas Warso, aku benar-benar tak berdaya sekarang,” terkadang Surip berbicara seperti itu dalam hati.
Begitulah Surip menjalani hari-harinya bekerja di PT Basirih dan indekos di gang Hadiah Pelambuan Banjarmasin. Ditunggu-tunggu sampai sebulan Mas Warso tak muncul-muncul juga. Dan ini sudah yang kedua kalinya Surip membayar kos sementara orang-orang lain seenak udelnya sendiri menumpang hidup.
“Huh nyaman bubuhannya sekarang ini,” Surip menggerutu saat ditagih pemilik kos, bahasa Banjarnya agak lumayan tapi hanya bahasaa Indonesia dilogatkan Banjar.
Yang membuat Surip meringis bila pinjam uang kepadanya karena mereka tahu Surip baru gajian.
“Pinjam duitnya barang sepuluh ribu Rip. Kena aku kembalikan bila sudah dapat pekerjaan,” berkata Tejo suatu kali, dan akhirnya bertumpuk sampai lima puluh ribu dengan sekali dua kali dibayarnya seperti cicilan.
Yang jelas orang-orang ini belum bekerja. Ada bentuk kerja serabutan yang mereka lakukan, tetapi terlihat benar-benar memilih jenis pekerjaan,
“Ah dari pada aku jadi kuli bangunan yang terkena panas tengah hari mending aku kerja borongan memasang tegel pasti lebih nyaman,” Sukri berkata suatu kali.
Sedangkan borongan-borongan memasang tegel tidak setiap hari ada. Paling-paling hanya tiga empat hari kerja setelah itu menganggur lagi. Lucunya sekarang mereka begitu mengandalkan Surip bila ada masalah keuangan dan berbagai keperluan mendesak. Mereka sekarang memuji Surip yang berani bekerja di plywood.
“Kamu itu hebat Rip, dulu kami masuk plywood hanya berani bertahan sebulan setelah itu mundur teratur. Lebih enak hidup di Trans Rantau sana,” Tejo menyebut tempatnya di Rantau kabupaten Tapin, lebih jauh dari pada kabupaten Banjar.
“Rantau itu pasti lewat Binuang, pasti kalian tahu rumahnya Mas Warso kan?” Kesempatan Surip bertanya tentang Warso.
“Ya tentu saja, Binuang tempat Warso itu jalannya menuju tambang batu bara. Kami pernah tinggal lama di rumah Warso,” Tejo menerangkan tempat tinggal Warso yang konon daerah trans Jawa mengandung banyak batu bara. Beberapa pemilik lahan trans telah merelakan tanahnya diganti rugi karena adanya kandungan batu bara di bawahnya. Tapi Tejo juga tak mau didesak lebih dalam bila ditanya keadaan Mas Warso dan kemungkinannya sekarang sampai tidak kembali bekerja di PT Wijaya Tri Utama.
Tiga bulan sudah berlalu Surip resmi menjadi karyawan gudang PT Basirih bagian Teller. Dan juga hari-hari kesibukannya antara pabrik dan tempat kosnya di gang Hadiah. Yang tidak berubah-ubah itu teman-temannya Mas Warso, mereka benar-benar tergantung hidup menumpang di kamar bekas Mas Warso.
GUDANG PT Basirih,
Di mana-mana bila namanya departemen gudang pasti menjadi bagian belakang perusahaan. Terdapat shift A dan B untuk setiap minggunya bergantian bekerja siang malam. Orang boleh berganti mesin tetap hidup, orang boleh sakit mesin bisa rusak. Bila rusak tenaga ahli didatangkan dari luar negeri. Terlihat teknisinya orang-orang sipit berbahasa Jepang.
Yang jelas biarpun perusahaan raksasa tetapi sebenarnya mesin-mesin yang ada di Basirih bukan barang baru. Semuanya merupakan barang second impor dari Jepang sekaligus dengan teknisinya. Pokoknya orang-orang Indonesia tahu beres saja produksi jalan dan kayu dari hutan dieksploitasi untuk kebutuhan mesin-mesin itu. Jangan-jangan mesin itupun sebenarnya teknologi bekas saja sehingga Indonesia dijadikan lemparan limbah dari negara asal produksi mesin tersebut.
Yang menyebalkan setiap kali produksi, terjadi perbedaan kriteria kualitas antara shift A dan B. Shift A menyatakan kualitas plywood dengan grade AA, oleh shift B terkadang masuk grade A. Tak jarang kedua shift tersebut beradu argumentasi tentang kebenaran kualitas masing-masing. Tak ada yang kalah pokoknya.
Dengar-dengar kabar shift A lebih mengutamakan kuantitas produksi, sedangkan shift B lebih mengutamakan kualitas. Entah yang benar mana, tapi tidak setiap produksi semuanya berkualitas seragam tergantung kualitas kayu dan lem yang menjadi bahan baku. Jadi klaim kedua shift selalu ada pembenarannya.
Surip berada diantara kedua shift tersebut, terkadang terjadi salah paham.
“Hei ini siapa yang menjadikan kualitas AA, jangan ditumpuk di gudang raw material tahu!” Teguran datang dari Kabag Cina sipit terhadap Surip yang sedang menumpuk jumlah tiap pack siap kemas.
“Waduh ini Pak di laporan shift A memang grade AA, ini kerjaan siang hari shift A,” Surip bingung juga ditanya soal kualitas. Soalnya sebenarnya dia belum paham kriteria plywood baik itu grade AA maupun sampai disebut Rejeck.
“Kamu tentu saja belum tahu apa-apa, ayo sini perhatikan!” Cina sipit itu mendelik dan membentak Surip tetapi tahu Surip juga masih bloon. “A itu tiap sisi plywood tanpa cacat, jika kedua sisi tanpa cacat jadinya AA bila salah satu cacat berarti rejeck. Bila terlihat produksi seperti gosong masukan grade B dan BB. Apabila hanya satu sisi A sedangkan sisi lainnya polos cukup di tulis A atau B, ayo kutunjukan contohnya!” Berkata Cina sipit memberitahu Surip.
Orang-orang di sekitar gudang mau tak mau ikut menyeleksi plywood yang sudah terlanjur disebut grade AA oleh shift A. Jadinya pekerjaan seperti diulang dari awal. Surip pun kelabakan harus mengontrol plywood jenis lain yang saat itu sudah harus dikemas ditambah pekerjaan seleksi grade jenis produk plywood lain.
Melelahkan sekali, fisik terforsir setiap hari. Bila pulang ke tempat kos malam maupun siang hari waktunya banyak tersita untuk tidur. Bila siang hari ia agak lega, teman-teman Mas Warso biasanya sedang keluar entah kemana. Tapi bila malam hari kamar tersebut berjubel penuh tak menyisakan tempat luang istirahat.
“Uh orang-oraang ini benar-benar hanya mencari tumpangan tempat untuk bermalam saja. Sehari-harinya paling menganggur mangkal di beberapa tempat. Aku yang sulit menghindari mereka karena ini adalah tempat kos Mas Warso,” begitulah kesimpulan Surip terhadap orang-orang yang sekarang seperti ditanggungnya tanpa sengaja.
Dunia yang melelahkan, lebih mirip robot itulah pabrik. Semuanya menjadi pelayan mesin. Jauh di dalam hati Surip merasakan kejenuhan. Pekerjaan yang dilakukannya setiap hari hanya itu-itu saja. Lebih dominan tenaga dari pada pikiran. Tak ada kreatifitas yang dinilai, tidak ada sentuhan estetika. Perasaan keindahan sudah tergadaikan dengan bilangan rupiah dari hari ke hari yang didapat.
Surip merasakan tertekan jiwanya. Perasaannya mengatakan ia tak cocok dengan pekerjaan seperti itu. Kalau kedisiplinannya Surip mengakui salut. Tetapi kedisiplinan seperti militer itu ternyata hanya berlaku di Basirih dan PT Wijaya Tri Utama yang satu group. Di perusahaan plywood lain peraturan berbeda-beda. Yang jelas baru beberapa bulan di Basirih Surip mengetahui sudah terjadi dua pergantian karyawan. Jadi masuk cepat keluarnya juga cepat. Tercatat hanya satu dua orang yang mampu bertahan hingga bertahun-tahun di perusahaan.
Sudah tiga bulan dan Surip mulai merasakan badannya semakin kurus. Pipi cekung dan kulit memucat.
“Kamu tuh pertama masuk gemuk Rip, tapi sekarang kurus kurang makan. Kamu kurang gizi kelihatannya,” seorang cewek di bagian dempul pernah berkata demikian.
Kurang makan?
Atau kerja terlalu berat?
Yang pasti Surip setiap hari masih mampu bekerja. Shift siang maupun malam dilakoninya. Banyak orang memuji ketahanannya bekerja. Jika ada libur itu hanya pada saat jadwal libur jatahnya saja. Surip merasakan sesuatu, itukah yang disebut gila kerja?
Konsekuensinya mulai terasa, bekerja giat tampak disiplin membuat dirinya melupakan sesuatu yang penting juga. Sudah beberapa minggu ia merasakan nafsu makannya berkurang. Bila waktu istirahat tiba ia ke kantin memesan minum dan hanya makan beberapa wadai saja. Tak ada seleranya menyentuh nasi dan lauk pauk.
Surip merasa asing dengan dirinya sendiri, pabrik itu demikian besar, kemampuannya tidak sebanding dengan kemegahannya. Surip menjadi manusia palsu, bekerja keras melupakan semuanya. Bahkan terlalu gila kerja juga tak disadarinya. Ia beranggapan nanti semuanya akan berlalu dengan sendirinya.
Jiwanya bisa berkata demikian tapi tidak dengan tubuhnya. Tubuhnya menuntut istirahat dan itu tak pernah dipenuhinya. Hal yang tak diinginkan terjadilah.......
Saat jatah liburnya diambil, Surip mulai merasakan badannya memanas. Dicobanya tidur, sangat lelap bahkan ia tahu bahwa ia mengigau sesuatu. Orang-orang yang menemaninya sekaranglah yang tahu, Surip jatuh sakit.
“Rip sudah bangun kamu, badanmu panas sekali tampaknya demam, istirahat sajalah,” suara Tejo terdengar di telinganya. Surip tak lagi bisa merespon suara-suara di sekitarnya. Kepalanya berdenyut-denyut terasa berat. Yang jelas otaknya tidak jernih lagi saat berpikir. Tak ada yang bisa diperbuat, takluk oleh jenis bakteri yang tumbuh dan berkembang dalam tubuhnya.
Surip mencoba bangkit, Tejo yang bergiliran menemaninya hanya memandanginya dan membiarkan melakukan sesuatu. Langsung tubuhnya terhuyung menahan kesimbangan. Dunia yang terlihat di mata Surip remang-remang mengikuti hidupnya penyakit yang bercokol menggerogoti tubuhnya. Itulah penyakit orang-orang pabrik, orang menyebutnya Thypus.
Surip menyadari sekarang dialah yang terkena, sering bahkan settiap hari di lingkungan pabrik ia mendapati teman-temannya sakit mungkin seperti yang dirasakannya sekarang. Saat mendapati orang lain sakit ia menganggapnya remeh bahkan berpikiran tak akan terkena. Rada angkuh dan semuanya seperti balasan terhadap dirinya sendiri.
Berjalan perlahan keluar menuju kamar WC, hajatnya terlampiaskan. Gelontoran air seni begitu keruh menunjukan kerja liver dan ginjal yang demikian keras menyaring darah kotor.
“Ini obat penurun panas, coba kamu telan Rip,” Tejo lagi-lagi memberikan perhatiannya. Hampir setiap hari mereka berkumpul di kamar kos. Tentu Tejo dan teman-temannya empati terhadap dirinya yang mengalami sakit mendadak.
Mendadak!
Ah tidak, Surip tahu gejalanya sudah sebulanan ini, dimulai dari nafsu makannya yang jauh merosot. Diharapkannya bakalan pulih sendiri tapi ternyata sekarang inilah akibatnya.
“Aku tak selera makan, kepalaku berdenyut berat sekali. Tolong belikan saja aku aqua dan buah. Lidahku pahit sekali tak mungkin makan nasi,” Surip mengeluh minta perhatian dan pertolongan.
Segera Jono membelikan permintaan Surip. Mulai saat itu kamar kos lengang, orang-orang yang biasa keluar masuk kamar sepertinya menghindar. Ada orang sakit dan mungkin takut ketularan, mungkin juga tahu diri tak mungkin mau ikut repot-repot merawat Surip.
Panas memuncak di hari ketiga, bukan main. Surip tahu jika panas tersebut tidak turun-turun lagi, syarafnya yang bakalan banyak rusak. Mungkin dirinya hanya menjadi manusia yang berkeliaran di kota dengan pikiran kosong alias gila. Terkadang ia sampai mengerang lirih tak tahan, berbaringpun sangat tidak nyaman.
Hanya obat-obat pereda panas yang ditelannya. Tak terbersit Tejo dan teman-temannya berinisiatif membawanya ke dokter. Surip tak bisa berbuat apa-apa, hanya meminta sesuatu bila terpaksa saja. Bila dirunut-runut orang-orang di sekitarnya menghindarinya ia maklum. Berapa hari ia tak mandi, bau mulutnya mungkin juga sangat busuk. Tak bakalan tahan orang-orang tinggal di kamarnya.
Hari keempat panas menurun, begitu juga kepalanya yang berdenyut-denyut. Tapi belum sembuh, proses pemulihan tidak semudah itu. Biarpun dengan tubuh sempoyongan Surip mencoba untuk mandi ke sungai. Dengan gayung berisi alat mandi ia berjalan di siang bolong menuju dermaga Pelambuan. Mobil dan sepeda motor hilir mudik memaksanya berhati-hati menyeberang.
Di lantai dermaga kelotok ia pun lagi-lagi memaksakan diri buang air besar. Bisa keluar tidak banyak terlihat hitam gosong. Mungkin tinja itupun terpanggang di dalam perutnya hingga menjadi seperti arang.
Air sedang pasang walaupun siang, terlihat jauh masuk ke hulu membawa sampah-sampah yang seharusnya terbuang ke sungai Barito. Eceng gondok ikut-ikutan hanyut mungkin nanti bertambah banyak di aliran kanal dermaga Pelambuan.
Mandi gosok gigi setelah badan sakit, Uuuiiih segarnya. Selesai mengeringkan badan dengan handuk beberapa lapisan kulit mati begitu mudah digosok membuat lapisan-lapisan kerak yang harus dibersihkan tersendiri. Ah yang penting sudah bisa mandi, itulah ritulal pertama yang sukses dilakukan setelah menjalani situasi kritis demam yang luar biasa.
Setelah bersalin sesi selanjutnya mengisi perut. Warung makan ala Banjar yang menyediakan soto Banjar menjadi sasarannya. Bisa masuk perut dengan lancar walaupun lidah masih pahit. Kembali ke kamar kos Surip duduk bengong di depan pintu.
Hari sudah siang tejo dan teman-temannya entah kemana. Kamar-kamar kos yang menjadi barak bertingkat dua berstruktur kayu ulin sepi. Mungkin sebagian besar penghuninya tidur siang melepaskan lelah sehabis kerja di plywood malam harinya.
“Sudah berapa hari aku tidak bekerja? Entah bagaimana nanti bila aku masuk lagi?” Seribu pertanyaan diiringi rasa cemas timbul karena empat hari absen.
Kamar Surip pintunya tepat menghadap gang Hadiah. Begitu lengang gang dari timbunan beton semen ini. Lebarnya hanya sekitar satu setengah meter. Mungkin panas demikian menyengat membuat orang-orang lebih baik berdiam di dalam rumah.
“Mungkin aku harus berobat ke dokter. Nanti sore aku coba saja, sekalian meminta surat keterangan berobat untuk kuberikan ke perusahaan,” kembali Surip bertekad membuat langkah-langkah yang memungkinkan untuk kelanjutan hidupnya di perantauan.
Panas dan kepala berdenyut makin berkurang. Tetapi badan kurus dan pipi kempot, masih lemas sekali rasanya. Yang membuat Surip sebal sering antara jalan pikiran dengan kata-katanya tak seirama bahkan mungkin pelo bicaranya.
Begitulah sorenya Surip mencoba berobat, dari ibu penjual gorengan lagi-lagi dia tahu dokter swasta yang praktek paling dekatnya dengan tempat kosnya.
Tepat di tepi jalan tempat dokter praktek. Dokter umum tertera namanya di papan kecil buka praktek. Surip masuk di ruang depan rumah panggung sejajar dengan jalan di ruang tunggu. Tampaknya hanya ada dua orang pasien yang menunggu giliran. Ia pun antri tidak lama, segera disuruh masuk ke ruang praktek.
“Sakit apa Masnya ini?” Bertanya dokter muda dengan alat stetoskop di depan dadanya. Tangannya langsung meraba tubuh Surip yang kurus dan meletakan stetoskop ke dada Surip, mungkin menghitung detak jantung.
“Thypus Pak sudah empat hari ini,” Surip menjawab tanpa kira-kira.
“Lah Masnya langsung tahu penyakitnya, memangnya sudah pernah berobat di rumah sakit?” Justru dokter itu keheranan karena jawaban Surip, tapi kemudian dokter itu berkata, “Saya dokter umum, yang saya tanya itu gejala sakitnya bukan penyakit apa yang kamu derita,” katanya menjelaskan dengan tawa simpul.
“Ya Pak gejala demam panas sampai kepala berdenyut-denyut sudah empat hari ini,” Surip akhirnya berkata menjawab.
“Nah begitu Mas, kalau penyakit Masnya ini harus ke rumah sakit periksa urine dan tes darah baru ketahuan penyebabnya. Saya cuma dokter umum tak bisa sembarangan mendiagnosis penyakit kecuali ada surat antaran dari rumah sakit,” begitulah si dokter bicara soal-soal yang Surip sendiri tak paham dunia kedokteran.
“Nah ini resep yang harus ditebus nanti di apotek setelah mendapat suntikan serum. Semoga cepat sembuh Masnya dan bisa bekerja kembali,” dokter yang ramah dan tak mudah marah itu membuat surat keterangan berobat sesuai keinginan Surip.
Itulah bekalnya hari keenam menuju tempatnya kembali bekerja di PT Basirih. Surip sudah tak tahu lagi kena shift siang atau malam yang penting berangkat kerja. Pagi itu Surip masuk melalui pintu gerbang yang terbuka sedikit dan langsung menuju tempat kartu absensi berada. Sudah tidak ada kartu teersebut di papan biasa meletakan.
Seorang Satpam yang akhirnya menegur Surip karena mondar-mandir di ruangan jaga,
“Ada Mas, sudah mengisi absensi apa belum?” Tegurnya dengan suara mulai mengeras, hanya karyawan-karyawan bermasalah saja yang bakalan kesulitan lepas dari areal kerjanya.
“Absensi saya kok nggak ada Pak?” Surip pun bertanya tahu dirinya sudah ada tanda-tanda tak beres.
“Kalau tak ada absensi di papan berarti Masnya tinggal langsung menghadap ke personalia, ayo siapa namamu!” Satpam itu menghardik garang, tak salah sasaran lagi menghadapi karyawan bermasalah. Kena tegur atau bahkan sanksi berat, Surip menjawab apa adanya tentang keadaan dirinya beberapa hari absen dari kerja.
“Kalau sakit harus ada surat ijin tahu, atau Masnya punya surat berobat dari dokter?” Terus Surip dicecar dipilah-pilih kesalahannya.
“Ini Pak saya membawanya,” Surip menyerahkan surat berobat dari dokter ke tangan Satpam.
Satpam itu menerima dan kemudian meneliti surat berobat dari Surip. Beberapa Satpam lainnya sudah tahu Surip karyawan bermasalah. Yang diteliti itu di mana kesalahannya dijadikan alasan menyerang Surip lagi.
“Ini surat baru kemarin dibuat, lah berapa hari sebelumnya kamu kemana saja!” Satpam-satpam itu jadi mengeroyok Surip yang tak punya argumentasi kuat lagi.
“Ayo langsung menghadap personalia, ini kubuatkan surat antar bagian departemen. Paling-paling kamu disuruh langsung keluar hari ini!”
Tak mampu lagi Surip berbuat apa-apa, orang-orang di depannya lebih kuat kedudukannya karena punya wewenang. Segera seorang Satpam mengantarnya masuk ke ruang sebelah yang lebih ekslusif. Satpam yang mengantar sudah lebih ramah, seperti tahu langsung nasib Surip.
“Sudahlah Mas peraturan di sini memang seperti itu. Cari kerja lagi di perusahaan lain.”
Surip masuk ruang personalia. Pertama diterima di Basirih ruang personalia ini tampak ceria. Saat itu semua orang yang terseleksi merasa terbantu dan dihargai orang-orang departemen ini. Tentu saja Surip saat itu disambut dengan tangan terbuka karena tenaganya sangat dibutuhkan pabrik.
Sekarang ruang personalia sangat menyeramkan, bak algojo mengasah pisau pemenggal kepala.
“Namamu Surip, sekarang apalagi alasanmu untuk bertahan bekerja di sini?” Kata-kata itu keluar dari mulut orang-orang berseragam biru langit dan bercelana panjang biru tua. Di depan mejanya ada tertulis nama dan jabatannya yang berkaitan dengan pilih memilih tenaga kerja.
“Ya salah Pak, jika memang harus keluar dari pekerjaan biar saya tanggung sendiri!” Surip berkata tapi perasaannya mengatakan nasibnya tidak beruntung.
“Ya jelas anda salah, prosedural apapun di sini sudah tercatat. Tak ada yang meringankan anda, ini surat pernyataan yang harus anda tanda tangani,” personalia itu berkata sebagai vonis terakhir untuk kasus Surip.
Surip sempat meneliti surat pernyataan yang harus ditandatanganinya. Ternyata ada juga satu pelanggaran serius saat di lapangan tercatat di komputer. Ditanda tanganinya dan kemudian diserahkan kembali kepada personalia.
“Silahkan Mas tunggu di luar, nanti bagian keuangan akan memberi sisa gaji dan uang asuransi tenaga kerja yang sempat dicicil saudara.”
Beres sudah urusannya, menunggu dipanggil bagian lain untuk menerima haknya. Surip memandang areal sekitarnya. PT Basirih Industrial Corp, baru berdiri sekitar lima tahun. Boleh dikata itu pabrik plywood paling anyar di Banjarmasin. Pabrik-pabrik lain sudah berdiri puluhan tahun dan biasanya sebagai group perpanjangan tangan hak pengusahaan hutan (HPH). PT Basirih tidak memiliki areal HPH, jadi kehadirannya sangat beresiko. Tapi itulah dunia usaha, mungkin penanam modalnya memiliki spekulasi yang tinggi tentang keuntungan.
Surip pernah mengalami hal sama di Purwokerto, bila ada kesalahan sekecil apapun di perusahaan maka tak ada jalan lain. Keluar dan carilah pekerjaan lain, tentu dengan perasaan pesimis karena sulitnya lowongan pekerjaan yang nanti diburunya lagi.
Siang itu Surip berjalan kaki menuju tempat kosnya, biasanya setiap hari ia berombongan dengan teman-teman kerja sesama perusahaan menunggu bus karyawan yang melewati Pelambuan. Terbayang berbagai kesulitan yang akan dihadapinya di tanah Kalimantan ini. Pengangguran lagi statusnya, sementara badannya masih terasa lemah belum pulih saat ini. Hal-hal seperti itulah yang terkadang Surip tidak terima diperlakukan tidak adil saat berhadapan dengan Satpam dan berlanjut ke personalia. Benar-benar saat dirinya dalam keadaan tak berdaya. Tapi ternyata tidak ada ampun baginya!
Cerobong-cerobong asap mesin boiler mencuat tinggi mengeluarkan asap hitam tanda plywood beraktifitas. Dunia pabrik hanya sekejap dicicipinya, sementara sampai di tempat kosnya di gang Hadiah bau menyengat menusuk tajam hidungnya. Tapi sekarang Surip tahu tempat asalnya, tak lain tak bukan keberadaan pabrik pengolah karet sekitar dua ratus meter dari gang Hadiah. Sebenarnya aroma itu sangat mengganggu entah ada protes masyarakat atau tidak?
Masuk ke dalam kamar dan kemudian merebahkan tubuhnya di lantai kayu. Rasanya nyaman karena lembab. Lantai panggung dari papan kayu ulin, di bawahnya lumpur hitam bercampur sampah. Bila air pasang air mengalir membersihkan buangan-buangan rumah tangga di seluruh daerah Pelambuan. Tapi bila air surut, masih banyak genangan terjebak seperti kolam karena banyak dibatasi beton jalan, gang atau timbunan-timbunan material untuk mendapatkan sejengkal tanah bangunan.
Dibandingkan dengan kota-kota manapun kesimpulannya Banjarmasin kota jorok. Air minum hanya dari PAM, air hujan atau terpaksa membeli dari penjual keliling. Seluruh sungai kanal dan genangan pasang surut digunakan untuk mandi dan buang air. Benar-benar belum ada pembatasan bagian-bagian tersebut.
“Bisakah aku bertahan di kamar kos ini, aku tak tahu lagi kemana mencari pekerjaan,” Surip membatin sambil memejamkan matanya. Pikirannya tertuju pada Tejo, Jono dan teman-temannya yang selama ini selalu bermalam di kamarnya.
“Nanti sore mereka tahu aku sudah berhenti bekerja. Apa sih sebenarnya yang mereka cari di kota ini?” Selama ini Surip sering bertanya tentang pekerjaan mereka, tetapi jawabannya selalu berbeda-beda. Yang pasti orang-orang ini biarpun orang Jawa tetapi bertempat tinggal di daerah transmigrasi. Ada yang di Rantau ada juga yang di Pleihari. Jadi di kota Banjarmasin ini mereka hanya mencari uang untuk sesekali waktu pulang ke trans.
“Nyaman bubuhannya, orang-orang itu sudah punya rumah dan tinggal mencari uang untuk bekal pulang kampung. Kerja di sini mereka mencari tumpangan gratisan biar bisa hemat.”
Perlahan ia tertidur untuk terus memulihkan badannya yang masih lemas bekas digerogoti penyakit. Sorenya ia dibangunkan karena panggilan alam yang memaksanya langsung menuju dermaga Pelambuan.
Di depan gang Hadiah ia melihat banyak orang berkumpul.
“Ada apa Bu, kok ramai sekali?” Surip bertanya kepada ibu penjual gorengan yang sedang bersiap-siap mmebuka gerobag dagangan.
“Ada tabrakan, seorang pengendara motor mati terlindas truck batu bara,” Ibu tersebut memberitahu dengan muka ketakutan.
Memang Surip tadi juga mencium bau anyir yang membuat bulu kuduknya meremang. Ternyata itu pasti dari mayat pengendara motor yang terlindas.
“Sering Nak truck batu bara menabrak orang lewat. Sopir-sopirnya sangat ganas dan berani menentang siapapun. Aparatpun sering tak berkutik menghadapi mereka,” lagi Ibu tersebut berkata.
“Kenapa bisa begitu Bu?” Surip bertanya bingung. Setiap hari ia melihat truck-truck batu bara lewat, hampir-hampir truck itu menguasai separuh jalan mengakibatkan kendaraan lain mepet ke pinggir memberi jalan lewat.
“Ini jalan umum, truck milik pertambangan sebenarnya tidak boleh lewat. Tapi truck-truck tersebut selalu dilindungi pejabat elit. Jadinya mereka seenaknya sendiri mengendarai,” Ibu penjual gorengan menegaskan lagi.
Surip kini tahu sedikit keadaan di KalSel. Tambang batu bara merupakan penghasilan penting untuk provinsi ini. Saking pentingnya tentu banyak permainannya, dan yang jelas memakan korban rakyat kecil. Terdengar kabar perusahaan-perusahaan tambang batu bara menggunakan jalan-jalan milik pemda di seluruh pedalaman mengakibatkan kerusakan di mana-mana. Tak terkecuali di kota Banjarmasin ini, konon perusahaan tambang batu bara enggan membuat jalan angkutan sendiri karena sangat memakan ongkos. Lebih mudah mereka menyuap pejabat setempat untuk ikut menggunakan jalan umum.
Akibatnya bila terjadi tabrakan antara truck batu bara dengan pengguna jalan lain kasusnya menjadi gelap. Tak pernah terdengar masuk ranah hukum. Yang geram adalah penduduk sekitar jalan yang sering mengalami kerusakan jalan dan kecelakaan warga sekitar.
Dan dunia itu berbisik-bisik, korupsi pertambangan batu bara mengakar di segala lini pejabat daerah hingga pusat Jakarta. Surip hanya menjadi saksi mata adanya kecelakaan di jalan raya Pelambuan ini. Dunianya kecil tak mengerti permasalahan daerah, ia hanya bergidik ketika melihat mayat tergeletak bersimbah darah telah ditutupi lembaran kertas dan beberappa polisi lalu lintas yang demikian sibuk mengatur arus lalu lintas yang mendadak macet.
Sejam kemudian jalan menjadi normal kembali, suara ambulans meraung menyayat hati memberi tanda kematian bisa di mana dan kapan saja. Orang-orang lewat pun sudah berganti, paling-paling hanya tahu sekitar sejam yang lalu terjadi musibah tabrakan di tempat itu.
Malamnya Tejo dan teman-temannya berkumpul lagi di kamar kos.
“Hari ini aku sudah diberhentikan dari PT Basirih, mungkin sebulan atau dua bulan mendatang masih di Banjarmasin. Aku haarus cari pekerjaan lain mulai sekarang,” Surip berkata menegaskan keadaan dirinya agar teman-teman Mas Warso ini bisa memakluminya.
“Rip cari kerja di plywood lain saja, peraturannya banyak yang tidak sekeras PT Basirih,” Jono berkata mencoba memberi saran.
“Iya di Gunung Meranti banyak teman Mas Warso, mungkin bisa membantumu,” Runtah pun mendukung.
“Pekerjaan apa saja tak masalah buatku. Yang bingung sampai saat ini kenapa Mas Warso tidak kembali ke Banjarmasin. Jelas ada masalah dengannya di Binuang sana, aku belum tahu apa-apa daerah ini tak berani menyusul ke tempat tinggalnya,” Surip berkata mencoba mengajukan masalah penting. Sudah berapa bulan ia tinggal di kamar kos yang sebenarnya bukan atas namanya, bahkan berkumpul dengan teman-teman yang juga statusnya hanya menumpang tanpa tahu jejak pemiliknya.
“Sudahlah Rip tak usah kamu memikirkan Kami, orang-orang seperti kami ini terus terang lebih sering keluyuran di mana-mana. Kami ini menghindari kerja tani di Trans, hanya sayang sekolah kami rendah jadi paling-paling dapat pekerjaan serabutan. Itu yang kami tidak betah, kebetulan ada Mas Warso dan sekarang kamu di sini,” Jono berkata tentang keadaan mereka.
Surip tahu sekarang, orang-orang ini sudah merasa nyaman dengan keadaan mereka sekarang. Mungkin untuk makan mereka sering datang ke berbagai tempat kos teman-teman lainnya sekampung yang bekerja di berbagai perusahaan dan tukang bangunan proyek. Toh setahunya awal berkenalan mereka sudah biasa di proyek bangunan. Sayang banyak yang tidak betah hingga pemborong-pemborong bangunannya enggan mengambil tenaga mereka lagi.
“Lebih baik sekalian saja kutinggalkan orang-orang ini bila nanti dapat pekerjaan lain. Percuma berkumpul dengan orang-orang pemalas seperti ini,” begitu Surip berkata dalam hati.
BAB 4
Kenangan Lama Timbul Kembali
Tidak dinyana Surip sekarang berada di Banjar Baru. Sebuah kota administratif yang terletak antara kota Banjarmasin dengan ibu kota kabupaten Banjar yaitu Martapura.
Berburu pekerjaan atau bertahan hidup.
Lebih tepat bertahan hidup, tak ada pilihan lain sekarang. Ada dua bulan Surip bertahan di gang Hadiah Pelambuan. Sisa gaji dicoba berhemat, namun Surip akhirnya menyerah, rasa was-was hidup tanpa pekerjaan jauh lebih mengerikan.
“Kalau caranya seperti ini jika ada pekerjaan bangunan di manapun harus cepat kuambil Bu,” suatu ketika Surip bicara dengan Ibu penjual gorengan.
“Coba nanti Rip, tunggu kabar dari anakku ya, bila ada pekerjaan borongan bangunan di proyek. Tapi ikam kena sekalian bertempat tinggal di lokasi begawai,” Ibu penjual gorengan berkata seolah-olah menghibur.
Surip jelas gelisah hidup luntang-lantung di Banjarmasin. Serasa di ujung tanduk karena perutnya jelas menuntut diisi terus. Lagi dalam hidup tanpa pekerjaan seperti halnya setelah dipecat dari sebuah supermarket di Purwokerto. Bak orang kehilangan pegangan hidup. Padahal saat kerjapun sebenarnya gaji tak seberapa. Tapi itulah manusia, sebenarnya sudah kodratnya mencari eksistensi dirinya terhadap lingkungannya di masyarakat.
“Aku tak mungkin hanya mengandalkan kata ibu penjual gorengan ini, orangnya memang baik lagi anaknya pasti memiliki kesulitan sama denganku sehingga saat aku kena pecat dari PT Basirih tak ada menyalahkan diriku, malah langsung menghibur,” Surip bicara sendiri, kegiatannya sekarang keluyuran di sudut-sudut kota Banjarmasin.
Salah satunya duduk di tepi sungai Martapura, sebuah taman kota yang sempit tapi memanjang. Di seberang jalannya terdapat sebuah masjid yang menjadi rujukan seluruh kota banjarmasin. Ada juga di sudutnya terdapat taman suaka berisi hewan-hewan ikon KalSel.
Dari tempat duduknya sebuah bangku dari semen cor kelotok berseliweran dari hulu ke hilir atau sebaliknya. Di seberangnya lagi adalah bangunan-bangunan tua dari kayu sebagai semacam masa kejayaan warga Banjarmasin jaman dahulu. Konon di ruas jalan di seberang sana terdapat tempekong yang menjadi komplek warga Tionghoa.
“Ah ya kata orang di jalan Piere Tendean terdapat banyak kantor HPH, mungkin di sana aku bisa melamar pekerjaan,” Surip teringat kata-kata Mas Warso tentang cabang-cabang perusahaan kayu.
“Kenapa aku tertarik dengan perusahaan kayu ya?” Katanya lagi dalam hati. “Memang rasanya hidup di Kalimantan tanpa pernah menginjak hutannya berarti belum pernah hidup di tanah ini.”
Tapi sekarang Surip berada di kota Banjarmasin, orang-orang kota ini tak pernah menyinggung masalah hutan. Ibaratnya Banjarmasin adalah barometer kemajuan daerah ini, untuk apa hidup di pedalaman yang sunyi dan ketinggalan jaman fasilitasnya.
Ternyata Surip tidak sendirian duduk di bangku taman di tepi sungai Martapura ini. Seorang berpakaian PNS rupanya juga melepas lelah, di sampingnya sekitar sepuluh meter. Di tangannya memegang mangkuk berisi es campur untuk menyegarkan badan.
“Minum Mas,” tawarannya ditujukan kepada Surip yang menganggukan kepala tanda mempersilahkan. Tapi akhirnya orang itu mendekati Surip dan duduk di sampingnya. “Masnya ini dari mana?” Tanyanya berbasa-basi.
“Oh saya dari Pelambuan Mas, ke sini cuma jalan-jalan saja. Saya sedang bingung cari pekerjaan,” Surip bicara memberitahu hal pribadinya.
“Ikam orang mana gerang?” Tanyanya lagi menyelidiki.
“Saya orang Jawa Mas, baru lima bulan merantau di sini,” Surip menjawab berharap ada informasi yang diperlukannya.
“Wah kukira ikam ini orang kampung, aku cuma mencari orang-orang kampung yang sekiranya hendak berumah tangga. Kaena kubantu mendaftar,” katanya serius ditujukan kepada Surip.
Surip yang jadi geli dalam hatinya, bisa-bisanya ia diincar untuk mendaftar merubah status bujangan.
“Ikam begawai di mana Mas?” Surip bertanya menduga-duga.
“Aku di KUA, itu dia kantornya di seberang jalan beberapa blok dari komplek masjid,” ditunjuknya kantor yang tidak terlihat dari taman, tapi mudah menduga di sana terdapat kantor-kantor pemerintah setingkat kecamatan.
Masih mereka berbincang menghabiskan waktu di taman sampai akhirnya orang tersebut pamit pulang tanpa pernah menyebutkan namanya kepada Surip.
Selama menganggur di Banjarmasin hanya itu kegiatan Surip. Luntang-lantung tanpa tujuan, dan akhirnya sebuah tawaran pekerjaan langsung dikejarnya biarpun hanya menjadi kuli bangunan di Simpang Empat Banjarbaru.
Melayani tukang-tukang yang juga diawasi mandor pemborong bangunan. Pekerjaan Surip mengaduk semen, membawakan material batu atau bata untuk digunakan membuat bangunan taman. Proyek tidak besar, paling-paling hanya dua bulan selesai.
Simpang Empat Banjar Baru. Ada beberapa titik keramaian di kota ini, untuk keramaian transportasi adalah di Simpang Empat ini, seluruh moda transportasi ke seluruh daerah kabupaten pasti melewati Simpang Empat. Ada ke Martapura dari Banjarmasin dengan colt L 300. Juga dengan berbagai jenis kendaraan yang sama menuju ke hulu sungai atau Benua Lima. Simpang yang lain menuju dam Riam Kanan dan hutan pendidikan UNLAM Mandi Angin. Ruas jalan lain menuju Pleihari kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Pulau Laut.
Simpang Empat Banjar Baru di tengahnya berupa lingkaran taman dengan monumen intan sebagai ikonnya. Nah Surip berada di proyek pembuatan taman untuk publik warga kota ini. Hanya membuat pondasi taman dan memasang tegel lantai. Jadi pekerjaannya sederhana saja, apalagi Surip hanya kebagian laden. Tukanglah yang lebih tahu konstruksi bangunan yang direncanakan.
Tukang yang sering dilayaninya bernama Pak Sastro orang Guntung Payung, ”Mengko ana wektu dolan gonaku Rip, nganggo taksi kota jurusan Landasan Ulin gutul omah,” enak saja orangnya bekerja memasang batu-batu pondasi. Pondasi yang dibuat hanya mendatar untuk pagar taman jadi tidak dalam. Ikon kota Banjar Baru ini jika malam hari sangat ramai, warga Banjar Baru banyak yang menjadikan monumen intan Simpang Empat sebagai tempat jalan-jalan.
“Nggih Pak kapan prei kulo dolan nggene sampean,” Surip menjawab tetap mengaduk semen dan pasir dengan cangkul.
“Hei kene adukan semen gawa sebelahku! Ayo rada dicepetke gaweane, dina ini kudu rampung sepuluh meter!” Lagi tukang lainnya berteriak minta dilayani.
Surip megap-megap melayani tukang yang lebih berpikiran cepat selesainya borongan. Beberapa kali dirinya menjadi tukang mengaduk semen sampai tiga orang.
“Kamu itu masuk bangunan melalui siapa Rip?” Pak Sastro bertanya mendadak.
“Gak tahu ngarannya Pak, pokoke disuruh berangkat dari Banjarmasin menemui mandor, ada surat antarannya,” Surip berkata menebak pembicaraan dengan Pak Sastro.
“Akeh sing sirik sama kamu Rip, soalnya beberapa tukang sudah mencoba keluarganya dimasukan. Hati-hati ya bergaul dengan tukang-tukang lainnya,” Pak Sastro berkata memberitahu.
“Nggih Pak di Banjarmasin saya cuma kenal dengan anak penjual gorengan, itu saja yang menyuruh berangkat. Selain itu saya tidak paham,” Surip coba menjelaskan.
Ternyata pekerjaan seperti itu menjadi rebutan antar tukang bangunan. Entah Suripnya yang beruntung atau orang yang memasukan dirinya yang hebat sehingga mandor bangunan mendapati surat sakti dari seseorang tak keberatan menjadikan Surip sebagai anak buahnya.
Hari pertama bekerja Surip seperti tak tahu medan, beberapa kali diomeli tukang karena bekerja tidak beraturan.
“Sudah pernah jadi kuli bangunan sampean apa belum!” Tegur seorang tukang kecewa melihat Surip salah mengambil barang.
“Itu benang dibentangkan ke sebelah sana, tancapkan dulu patok-patok itu!” Hardikan tukang ini benar-benar emosi. Tukang ini terlihat masih muda bahkan mungkin umurnya hanya diatas Surip dua tahunan, kalau tak salah panggilannya Jahid.
“Ah aku baru sekali ini jadi kuli bangunan Mas, harap maklum,” surip sebenarnya sewot juga, tukang yang satu ini terasa sekali seperti mengincar dirinya untuk diperintah kesana kemari. Tidak seperti Pak Sastro yang jika memerintah sesuatu memberi pengertian dulu apa yang harus dikerjakan.
Ada beberapa orang laden seperti dirinya di proyek ini, tetapi semuanya sepertinya sudah menjadi langganan masing-masing tukang, jadi yang nyelonong masuk tanpa dikenal oleh tukang-tukang itu hanya Surip sendirian.
Kalau mandornya sih tenang-tenang saja, paling-paling datang menjenguk pagi hari, setelah itu pergi entah kemana. Sorenya datang lagi memeriksa sudah seberapa banyak target yang tercapai. Ia sebagai mandor lebih melihat ke hasil dan seberapa banyak anggaran keluar. Paling-paling ia baru kelabakan jika material ada yang kosong karena beberapa hal sehingga pekerjaan terhenti. Alamat proyeknya juga macet anggarannya.
Setelah melayani Jahid bekerja, barulah Surip agak lega. Sekarang ia bekerja dengan laden lain mengaduk semen dan pasir untuk pasang bata di bawah tukang Pak Sastro. Orangnya lebih kalem biarpun saat memasang bata ia selalu bergerak cepat karena hitungan meter persegi yang harus didapat seharian.
Dari jam delapan sampai jam dua belas tak terasa. Di lapangan orang-orang bekerja tanpa banyak berpikir. Sampaipun mengantisipasi panas terik matahari orang-orang sudah memiliki cara-cara tersendiri. Tak ada orang yang mengeluh, mereka menyadari hanya inilah yang bisa dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Jam dua belas pas istirahat makan. Bungkusan nasi dibagi semuanya pun menikmati. Beberapa bilah rokok tersedia untuk mmengurangi rasa asam di mulut. Jatah tidak banyak sepucuk saja, bila ingin merokok terus dipersilahkan membeli sendiri.
Terlihat tukang-tukang itu sambil bekerjapun merokok. Itu beli sendiri, bahkan Pak Sastro menghisap lintingan tembakau untuk menghemat pengeluaran. Jauh sekali dibandingkan dengan bekerja di PT Basirih. Karyawan tak mungkin merokok di tempat kerja, karyawanpun tak boleh duduk, harus tetap berdiri. Pengawas ada di mana-mana, tetapi pengawas tersebut juga diawasi bagian lain.
Kalau untuk produksi, disiplin pabrik Basirih luar biasa. Itu harus dicontoh, berbeda dengan kerja bangunan ini. Biarpun pekerjaan keras tak lebih dari pagi jam delapan sampai sore jam empat jadi tidak terforsir, tampaknya PT Basirih yang bekerja hampir dua belas jam itu sangat mempengaruhi kesehatan karyawannya. Surip mencoba membandingkan dirinya yang sekarang bekerja serabutan di proyek bangunan.
“Bekerja di pabrik dan di gudang supermarket banyak sekali tekanan dari atasan. Sekarang di sini lebih ringan, hanya saja pekerjaan ini tidak berlanjut terus menerus. Proyek ini selesai entah kemana lagi aku bekerja?”
Selesai istirahat makan, Jahid memintanya lagi dilayani.
“Kamu ikut aku saja dulu, ukur dulu pintu taman sebelah utara ini,” Jahid memberitahu keadaan bagiannya yang baru memulai membuat gerbang tanpa gapura taman. Gerbang taman dibuat empat arah setinggi satu meter, kemudian setiap beberapa meter terdapat lagi pembatas untuk estetika taman.
“Ya Mas,” Surip tak berani membantah. Dirinya sekarang tahu sebagai laden ia harus bisa mengambil hati tukang. Sekali saja seorang tukang tidak senang alamat laporan ke mandor jelek. Tak bakalan lama cuma diberi upah harian dan selanjutnya tenaganya tak terpakai.
Jahid tukang yang rewel, ada empat tukang dan semuanya menempati empat penjuru mata angin. Jadi setiap arah ada gerbangnya, terlihat Jahid dilayani seorang laden tapi sudah berganti dua kali.
He he he ini mungkin yang jadi sebabnya. Laden yang dipimpin si Jahid tak betah dengan omelan-omelan dari tukang yang masih muda ini. Jahid bila ngomel sering tak terkontrol, kata-katanya jorok berbau rasial.
“Lagi-lagi yang masuk orang Jawa, coba kemarin ading biniku dimasukan, pasti aku bisa begawai lebih cepat,” kata-kata itu selalu keluar dari mulut Jahid.
Sekarang Surip merasakan dirinyalah yang dimaksud oleh tukang ini. Jahid biarpun bisa berbahasa Jawa tetapi dari turunan asli Banjar. Lingkungan tukang mengakrabkan dirinya dengan orang-orang Jawa karena tukang batu jarang ada di Kalimantan.
“Ikam ini begawai ceroboh sekali Rip, kadak kawakah mengiringi aku. Lihat ikam selalu lambat mengaduk semen dan pasir. Huh bila saja kemarin mandor memasukan iparku pasti semua cepat selesai,” begitulah omelan-omelan dari mulut Jahid. Selalu orang lain dibandingkan dengan seorang anggota keluarganya yang gagal dijadikan kelompok pemborong kerja.
Surip samar-samar tahu, dirinyalah yang menjadi kambing hitam di bagian tukang batu Jahid ini. Ia adalah orang asing diantara laden-laden lain yang biasanya menjadi langganan tukang. Seperti Pak Sastro, sepertinya sudah memiliki beberapa orang yang tinggal sewaktu-waktu dipanggil untuk ikut bekerja borongan.
Nah dengan keadaannya ini Surip berhati-hati sekali bila menanggapi kata-kata Jahid. Menjadi laden seorang tukang yang masih emosional apalagi mungkin tujuannya membawa anak buah sendiri telah gagal. Suriplah yang jadi pelampiasan kekesalan hatinya.
Hari Sabtu ini dia, orang-orang mendapat upah. Ditambah lagi Minggunya libur. Jadwal pekerja bangunan bentuknya seperti itu dimanapun. Hari Senin sampai Sabtu bekerja, setelah itu libur barang sehari. Sebagian tukang dan pekerja lainnya pulang dulu ke kampung masing-masing. Selama bekerja di bangunan Surip tidur di barak darurat di tengah-tengah taman. Di dalamnya selain untuk tempat tidur juga peralatan tukang-tukang disimpan.
Hampir seluruh tukang dan laden tidur di barak tersebut, cukup tertutup karena dinding dilapisi gedeg anyaman bambu. Atapnya dari seng tidak terlalu tinggi menyebabkan panas menyengat di siang hari. Semuanya terbiasa tidur dengan kondisi seadanya. Masih lebih baik dari pada tidur beratap langit terbuka.
“Nih bagianmu Rip, jangan dihabiskan semuanya. Bila ikam bisa bertahan kaena ada lemburan,” Mandor menyodorkan upah harian Surip. Mandor saja yang tahu berapa besar anggaran borongan. Tukang hanya tahu upah dari permeter persegi hasil pencapaiannya. Semakin luas semakin bertambah uang didapatnya.
Yang cemberut terus itu si Jahid, kedapatan pekerjaannya tidak memuaskan. Dipandanginya Surip dengan muka kesal,
“Rip besok lebih cepat lagi begawainya, lihat sulit sekali aku mencapai target!” Kata-kata itu meluncur menyalahkan Surip yang hanya pasrah diomeli tukang yang satu ini, tapi dalam hatinya Surip membatin.
“Kalau ini salahku kenapa laden anak buahmu dulu pada keluar tidak mau ikut denganmu. Pasti sikapmu saja yang terlalu kasar kepada bubuhannya,” hendak dilontarkannya kata-kata tersebut, tetapi Pak Sastro sudah mendekatinya dan berkata,
“Ayo Rip main ke rumahku dulu, ini masih sore, biarpun ikam bermalam di barak masih tetap sempat singgah ke rumah. Tak usah khawatir taksi angkot masih ada sampai jam delapan malam,” Wah tawaran yang menarik, Pak Sastro orang Jawa tetapi sudah kelahiran Kalimantan. Rumahnya di Guntung Payung bisa menambah banyak kenalan Surip di perantauan.
“Baik Pak ulun umpat bapak saja,” Surip pun bersiap-siap mengikuti Pak Sastro.
“Kaena ikam mandi di rumahku saja Rip, lebih nyaman di rumah daripada di sini,” Pak Sastro berkata langsung mengajak Surip meninggalkan taman Simpang Empat Banjar Baru.
Masih jam lima sore, taksi angkutan kota masih berseliweran di Banjar baru. Tidak ada terminal di Banjar Baru, trayek yang ada bermuara dari Martapura dan Banjarmasin. Taksi melayani trayek dari Martapura di sekitar pasar kemudian menyusuri jalan menuju Simpang Empat, setelah itu jalan lurus melewati tempat-tempat strategis di Banjar Baru berupa kampus UNLAM, Minggu Raya, Pasar Banjar Baru, beberapa kantor Pemkot hingga mencapai Landasan Ulin di km 27, Simpang Empat sendiri berada di km 35 sedangkan Martapura dari Banjarmasin kena di km 40.
Guntung Payung berada di km 30, rumah Pak Sastro harus melalui sebuah perumahan milik perusahaan swasta.
“Kukira sampean itu rumahnya di sana tadi Pak, ternyata masih jauh ke dalam,” Surip berkata saat sampai di halaman rumah Pak Sastro. Rumah kecil panggung dari papan kayu, sangat berbeda dengan perumahan yang berlantai tanah bertegel.
Pak Sastro yang tertawa mendengar kata-kata Surip,
“Aku cuma kebagian membangun rumah-rumah itu Rip, kalau disusurh kredit penghasilan bapak kadak mencukupi soalnya hasil borongan tak selalu ada,” katanya mempersilahkan Surip masuk rumahnya.
Ada satu pohon cempedak memperlihatkan pentil buahnya. Cuma itu saja kerindangan rumah Pak Sastro. Tetangga kanan kirinya cukup berjauhan juga berupa rumah panggung tradisional Banjar dengan jalan berbatu dan banyak tertutupi ilalang.
He he he di mana-mana Surip melihat hamparan ilalang di padang terbuka sepanjang jalan Banjarmasin-Banjar Baru. Tak tanggung-tanggung kadang-kadang tingginya sama dengan orang dewasa berdiri. Tanah asam terbuka dan saat kemarau sering kebakaran itulah daerah-daerah di KalSel.
Ujar orang semuanya itu dulunya adalah hutan. Eeiit nanti dulu, kerajaan Banjar itu semuanya mengandalkan sungai sebagai roda pengerak segala sendi kekuasaan. Boleh dikata hutannya aman, jadi kerusakan hutan terjadi justru setelah Indonesia merdeka. Kalau boleh penulis bicara, pengaruh Belanda lebih tertuju mengeksploitasi perkebunan di Jawa. Entah adakah bentuk eksploitasi alam di bumi Lambung Mangkurat ini?
Taruh kata yang terkenal adalah intan Martapura. Mungkin itulah incaran kaum kolonial Belanda saat itu. Mungkin di bidang politik Belanda banyak ikut campur tangan di daerah KalSel ini.
Pemberontakan Pangeran Antasari menjadi bukti perlawanan terakhir di bumi KalSel terhadap kekuasaan Belanda, coraknya masih militer feodal. Kerajaan Banjar sendiri terus berdiri di pedalaman dengan Martapura sebagai ibu kotanya sampai Sultan Adam, kemudian berakhir sampai tak berbekas sama sekali. Sedangkan Pangeran Antasari membuat basis perlawanan di Martapura jauh di hulu sungainya. Jadilah Martapura sebagai kota kedua feodalisme setelah Banjarmasin.
Bagaimana dengan Banjar Baru?
Banjarmasin sebagai ibu kota KalSel ternyata memilik masalah dalam infrastruktur bangunan. Tanah-tanah yang ada diprediksi sulit membangun bangunan tingkat karena di bawahnya terdiri dari lumpur. Nah Banjar Baru dipersiapkan sebagai kota alternatif untuk perpindahan ibu kota provinsi.
Singgah di rumah Pak Sastro yang Jawa tapi asli KalSel karena kelahirannya benar-benar di daerah Banjar. Guntung Payung hanya kecamatan di Banjar Baru.
“Orang Banjar Baru itu bisa dikatakan tak ada yang asli, rata-rata perantauan dari seluruh wilayah KalSel bahkan dari KalTeng dan KalTim,” Pak Sastro bercerita tentang pengetahuannya sebagai warga Banjar Baru.
“Aku juga sebenarnya orang Pleihari, menjadi tukang di seluruh daerah Banjar. Rasanya untuk tempat tinggal dan strategi menuju daerah manapun di seluruh KalSel lebih nyaman di Banjar Baru.”
“Banyak orang Jawa gak di sini Pak?” Surip bertanya.
“Banyak Rip, tetanggaku di sini rata-rata orang Jawa. Mereka ada pengrajin tempe, tahu, beternak ayam dan bertani,” Pak Sastro menunjuk rumah tetangganya yang lebih besar dan mewah. “ Itu malah pengusaha catering untuk maskapai penerbangan Merpati Nusantara Air Lines. Sistemnya kontrak jadi ada pesawat atau kadak da yang penting setiap hari membuat berbagai makanan sesuai pesanan.”
Surip mengangguka-anggukan kepala, mulai terpetakan bentuk masyarakat di Banjar Baru ini. Masih mereka ngobrol sampai jam tujuh sore. Merasa sudah malam Surip mohon diri kembali ke barak Simpang Empat.
“Silahkan Rip, masih ada saja taksi angkutan kota malam ini. Pandai-pandailah ikam membawa diri di perantauan,” kata-kata itu mengakhiri acara Surip di rumah Pak Sastro.
Sampai di Simpang Empat masih ramai. Namanya malam minggu banyak orang keluar jalan-jalan di seputaran lingkaran taman berisi air mancur. Teman-temannya sesama laden ada empat orang entah kemana, sepertinya mereka memiliki acara sendiri di tempat lain.
Surip termenung seorang diri di taman Simpang Empat.
“Apa yang harus kulakukan lagi, tujuanku merantau untuk mencari pekerjaan dan bila mampu tentu tinggal di suatu tempat entah di mana.”
Beberapa kali dilihatnya di taman ada beberapa orang duduk ngobrol di salah satu sudut taman. Surip sering menganggapnya preman, mereka itu selalu begadang sampai jauh malam. Biasanya gerombolan orang-orang ini terdiri tiga empat orang yang semuanya masih muda.
“Aku heran dengan pemuda-pemuda itu, kalau preman ya itu biasa saja dimanapun berada. Tapi tampaknya mereka kalau ngobrol seru banget ya. Apa lagi yang dibicarakan sepertinya intelek banget,” Surip mulai mengerti ada yang ganjil dari orang-orang ini. Biasanya mereka akan menyapanya bila lewat di depannya. Pernyataannya selalu basa-basi dengan bahasa Banjar.
“Belum guring Mas sudah malam lo,” berkata seorang diantaranya menyapa Surip.
“Belum Mas, kalian ini penguasa tempat ini ya, setiap malam selalu hadir di taman?” Surip bertanya mencoba ramah.
“Ah kami ini gaweannya ya seperti ini, begayaan,” kata orang tersebut tertawa kecil.
“Lah tinggalnya di mana Mas ini?” Lagi Surip bertanya.
“Oh kami ini kos di beberapa tempat di dekat kampus UNLAM, wah sori kami ini masih mahasiswa,” nah pengakuan terakhir ini jauh di luar dugaan Surip.
“Oh yang kuliah di sana itu,” Surip menunjuk kawasan di sisi jalan jurusan Pleihari-Banjarmasin berupa komplek bangunan universitas UNLAM.
“Ya setiap hari kami pasti berada di sana. Cuma kami ini di fakuiltas Kehutanan,” lagi orang itu membenarkan. “Ayo Mas kita begadang sampai pagi,” ajaknya seolah-olah sudah jadi teman akrab.
Surip menggelengkan kepala, “Aku cuma kuli bangunan Mas, bila malam harus tidur. Besok biarpun libur tetap saja harus jaga kesehatan,” Surip mempersilahkan orang-orang yang sebenarnya setiap hari bertemu di taman tapi tidak saling mengenal selama seminggu ini. Orang-orang itupun tak perlu memaksa apa-apa, mereka sudah punya gerombolan sendiri kalau hanya untuk menghabiskan malam.
Surip masih termenung seorang diri.
“Kegiatan apa lagi yang bisa dilakukan di sini? Rasanya selain bekerja tak ada lagi ketrampilan lain,” Surip merasa tak punya hobi banyak untuk menghibur diri sendiri. “Dulu di Puwokerto aku sempat berlatih pencak silat. Bisa nggak itu dilakukan di sini,” mulai Surip berpikir.
Kenangannya terhadap kota kelahirannya dengan segala suka dukanya terbayang, juga sekolahnya yang hanya sampai lulus SMA.
“Ya paling aku cuma punya aktifitas olah raga Pencak Silat, lain itu tak bisa apa-apa.”
Dilihatnya sekeliling taman, timbul rasa malunya. Tak mungkin berlatih jurus silat di sebuah taman terbuka seperti Simpang Empat ini. Bisa ditertawakan orang banyak, tapi semuanya sudah cukup, ada niatnya melakukan latihan untuk mengurangi rasa bosan menghadapi rutinitas kerja di perantauan.
Minggu kedua Surip mulai bisa mengikuti gaya hidup sebagai kuli bangunan. Antara plywood dengan borongan bangunan rutinitasnya sama. Bekerja di bagian tertentu dan itu-itu saja. Tapi di pabrik tekanan atas produktifitas karyawan begitu tinggi. Semua karyawan merasakan kontrol dari atasan terhadap produktifitas mereka.
Setiap kali ada meeting di suatu ruangan atau apel pagi di lapangan. Kabag-kabag memberi pengarahan dan menekankan disiplin kerja yang menjadi kewajiban. Yang paling terasa justru adanya ancaman bila salah dalam suatu tindakan bekerja, salah sedikit terancam dipecat.
Suatu ketika saat meeting berlangsung, seorang staff produksi yang orang Korea berkata dalam bahasa Indonesia beraksen Mandarin.
“Kalian itu bekerja sering sekali seperti orang buta matanya. Jika ditanya gajah itu seperti apa kepada orang buta pasti jawabannya berbeda-beda. Seorang buta begitu memegang gajah di bagian hidungnya pasti jawabannya gajah itu bulat panjang. Lainnya yang memegang telinganya cuma bilang lebar tapi tipis. Lainnya lagi bingung karena tak sampai badannya tersentuh apapun,” dengan muka serius orang Korea itu berkata. Bila bertanya kepada orang-orang yang hadir semua orang berharap dirinya tidak ditunjuk menjawab. Ada rasa takut bila menjawab salah, semua atasan itu seperti malaikat penentu nasib mereka.
Yang jelas di pabrik bila ada meeting berarti ada kesalahan prosedural. Nah itulah yang menjadi momok bagi karyawan. Mereka langsung seperti terpojok sebagai kambing hitam kesalahan. Makanya orang Korea saat bertanya kepada seorang kayawan,
“Kamu tahu kenapa kamu dikumpulkan di sini?”
Seorang karayawan yang tahu akan terjadi kesalahan menjawab segera berkata,
“Hanya Tuhan yang tahu masalahnya Mister,” he he he tepat sekali jawabannya, ini budaya orang Indonesia yang religius. Tapi itu tidak sesuai dengan keinginan si orang Korea yang rasional realistis.
“Ya tentu saja hanya Tuhan yang tahu,” si orang Korea membenarkan. “Berada di departeman mana kamu itu?” Nah lebih menjurus mister itu bertanya.
“Bagian dempul mister,” jawab sang karyawan.
“Saya tanya ada berapa warna kayu untuk plywood?” Agak lebih akrab bertanya. Rupanya jawaban pertama yang berurusan dengan Tuhan itu juga menyadarkan sang mister bila orang-orang di depannya sudah terancam dipersalahkan.
“Banyak mister, putih, coklat, merah, kuning dan abu-abu,” wah serasa mudah sekali jawabannya sang karyawan langsung menjawab pasti benar.
“Bodoh, benar-benar orang buta kamu!” Mister itu benar-benar menyalahkan sang karyawan yang menjawab. “Siapa di sini yang bisa menjawab pertanyaan saya?” Tanyanya lagi kepada yang hadir. Langsung begitu dibodoh-bodohkan semua orang tak ada yang berani menjawab juga takut ditunjuk untuk menjawab karena sudah tahu salah.
Kenapa karyawan memiliki perasaan takut terhadap pimpinan di perusahaan?
Sekali lagi struktur jabatan di perusahaan mengandung kekuasaan hukum. Jadi seorang pemimpin perusahaan terasa sekali bisa menaikan juga menurunkan derajat seseorang.
Di Indonesia jumlah tenaga kerja melimpah, perusahaan jual mahal setiap kali merekrut karyawan. Juga sangat mudah menyingkirkan karyawan. Tenaga kerja bisa diganti semudah membalik telapak tangan. Juga upahnya murah meriah. Sedangkan seseorang yang menjadi karyawan lebih baik bertahan dalam tekanan dari pada mengalami nasib menjadi pengangguran. Persaingan tenaga kerja di Indonesia sangat ketat, sedangkan lapangan pekerjaan sangat sempit.
Sementara semua peserta meeting tak berani menjawab, barulah sang mister berkata,
“Warna kayu itu hanya digolongkan dua yaitu merah dan putih. Jadi apapun yang terlihat di matamu langsung saja dimasukan ke salah satu golongan warna tersebut. Ingat jangan seperti orang buta yang ditanya tentang gajah lagi ya,” itulah penentunya, seorang yang selalu dipanggil dengan nama kehormatan mister. Apapun kata-kata yang keluar dari mulutnya akan menjadi alat kekuasaan menekan.
Bila membantah keluar kata-kata saktinya,
“Anda minta saya pecat?”
***
Sementara Surip makin akrab saja dengan teman-teman barunya di taman Simpang Empat Banjar Baru. Terutama sekali dengan mahasiswa-mahasiswa yang sering begadang di tengah bundaran ikon taman air mancur. Mereka itu sepertinya berhubungan dengan masyarakat luas tanpa memandang kelas-kelas di masyarakat.
“Ikam sorangan sajakah merantau di sini Rip?” Bertanya seorang yang kemudian dikenalnya bernama Irhamna.
“Sorangan ae tapi pertama kali di Banjarmasin aku tinggal di gang Hadiah bersama seorang Trans di Binuang. Tapi aku sendiri kadak tahu di mana Binuang apa lagi rumahnya,” Surip bercerita panjang lebar tentang dirinya yang mulai mencoba peruntungan hidupnya di KalSel. Diceritakannya tentang Mas Warso yang tidak kembali lagi bekerja di Banjarmasin.
“Binuang, wah itu Agus Lenong pasti tahu. Agus orang Batu Hapu malah masuk lebih ke dalam lagi di areal tambang batu bara dan perkebunan karet,” Irhamna memberitahu seorang yang berasal dari Binuang. “Kaena kuperkenalkan dengan Agus Lenong, pasti tahu tempat sanak familimu itu.”
“Terima kasih Mas, jangan sampai aku mengganggu acara kalian di sini ya,” Surip mengucapkan terima kasih karena ada perhatian dan sebuah titik terang masalah yang dihadapinya di Banjarmasin.
“Eh Rip masa ikam kadak da keinginan begawai di sebuah perusahaan. Tak mungkin ikam hanya menjadi kuli bangunan seperti ini terus,” Irhamna berkata kepada Surip, ia tahu pekerjaan proyek bangunan tak pasti penghasilannya.
“Ya kepengin Mas, nantilah aku cari informasi lowongan kerja di sini,” Surip menjelaskan. “Untuk sementara ini biar sajalah aku menyelesaikan gawean di taman Simpang Empat ini.”
“Kaena kuberi informasi bila ada,” Irhamna berkata mengakhiri pertemuan mereka di Simpang Empat.
Biarpun bisa menjadi teman Surip tahu sulit bergabung dengan orang-orang ini. Mereka ngobrol lebih tertuju pada pelajaran mata kuliah fakultas masing-masing. Surip jauh dari kehidupan seorang pelajar. Punya pekerjaan dengan upah dari hasil memeras tenaga saja Surip sudah beruntung.
Hari makin malam Simpang Empat menjadi sepi, lampu ikon air mancur dimatikan oleh seseorang yang bertugas dari Pemda setempat. Yang ada hanya beberapa kelompok orang-orang berbeda tujuan di kanan kiri jalan. Kelompok Irhamna berjumlah empat orang berada di taman. Sedangkan di simpang jalan menuju Riam Kanan terdapat kelompok tukang ojek dan penjudi mengadu nasib. Kalau yang menuju Pleihari itu berupa kios kaki lima untuk buah-buahan yang berjualan dari pagi sampai malam. Apa lagi bila sedang musim buah seperti durian, cempedak, langsat, dan rambutan. Bahkan ada ramania itu buah mangga berbau harum. Mungkin bahasa Indonesianya mangga kasturi yang langka. Tapi buah mangga di Kalimantan selalu disebut buah asam.
Bila malam minggu teman Surip sesama laden rupanya tidak tidur di barak darurat. Mereka ke tempat salah satu laden di kampung terdekat masih daerah Banjar Baru, kalau tak salah itu sebuah desa bernama Cinde Alus.
Di sebuah tikar yang digelar dalam barak, Surip tidur sendirian. Seharian bekerja menjadi laden menguras tenaga. Malam-malam itulah pembayaran lunas untuk menjaga tubuhnya supaya tetap sehat.
Paginya Surip mendengar adzan subuh, tetapi malas menyergap membuatnya tetap berebah. Ah Surip memang pemalas. Ajaran agama Surip tahu hanya sedikit saja. Lingkungan di desanya Beji sebatas Islam kampung dengan kegiatan paling-paling pengajian membaca Al-Quran.
Tapi Surip bangun juga, “Ah masih remang-remang apa yang harus kukerjakan?”
Surip melongo bertopang dagu. Pikirannya berputar-putar bingung karena merasa banyak menyia-nyiakan waktu. Sempat berputar-putar di sekeliling taman. Belum ada orang berkunjung sebagaimana tukang-tukang lain belum berdatangan. Waktu bekerja tukang-tukang itu nanti sekitar jam delapan pagi waktu Indonesia Tengah.
Akhirnya Surip berdiri di belakang barak tertuju pada monumen intan. Perlahan-lahan digerakannya tubuh seperti senam. Lanjutannya terus berkembang menghafal beberapa gerakan dari sebuah perguruan Pencak Silat yang pernah diikutinya Al Jurus.
“Ah aku mulai dari jurus satu dulu,” Surip berkata dalam hati. Perlahan ia meletakan kuda-kuda pasangan jurus. Beberapa saat satu sesi jurus dilakukan biarpun tak bisa sempurna. Perasaan Surip mengatakan ia sudah tak hafal gerakan-gerakan tersebut.
Lama-lama nafasnya tersengal-sengal dan kepalanya pening. Surip segera berhenti, satu jurus tadi dilakukannya. Tetapi setelah berhenti Surip terlongong-longong, ia merasa ganjil dengan dirinya sendiri.
“Buat apa sih jurus-jurus ini, memangnya seberapa manfaatnya bila diterapkan di masyarakat?”
Rasa pesimisnya timbul dan selanjutnya ia berhenti dan melamun saja. Khayalannya melambung dirinya diterima menjadi karyawan dengan jabatan cukup tinggi di perusahaan. Dalam bekerja ia tinggal memerintah anak buahnya. Acaranya selalu padat dengan agenda kemajuan perusahaan.
He he he siapapun boleh berkhayal demikian. Itu semacam pelampiasan dari perasaan tertekan karena nasib yang didapatinya terasa tidak ideal. Menjadi orang lain yang dikagumi dan bila perlu menjadi seorang tokoh populer di masyarakat adalah hal yang biasa. Selama-lamanya kita memandang orang lain dari segi baiknya, tak terkecuali Surip sekalipun.
“Hei siapkan peralatan di sana, jangan melamun saja ikam Rip!” Jahid berteriak keras membuyarkan lamunan Surip.
Ia pun beranjak mematuhi perintah tukang yang mencoba mempengaruhinya untuk mendapatkan wibawa karena lebih tinggi tugasnya dibandingkan Surip yang menjadi laden. Setelah itu Pak Sastro memerintahkan yang lain.
“Kamu beli nasi bungkus buat kami semua dulu Rip, jangan lupa sebungkus rokok surya 16,” Pak Sastro memberi sejumlah uang menyuruh Surip membeli nasi bungkus di sebuah warung.
“Ah nasibku sekarang cuma kuli bangunan. Mungkin juga selama-lamanya tak lebih dari ini,” Surip beranjak pergi menuju warung makan di jalan menuju Riam Kanan. “Modalku cuma tenaga dan sekarang hanya dihargai upah harian,” lagi ia berujar sendiri dalam hati.
Sudah minggu kedua di proyek bangunan taman Simpang Empat. Bekerja sebagai kuli bangunan membuat badan Surip terbentuk otot. Mengolah campuran pasir dengan semen, membawa material batu atau bata ke tempat terdekat seorang tukang, semuanya menjadi kebiasaan, yang pasti makan terjamin.
Pagi hari tak terpikir mandi, paling-paling gosok gigi dan cuci muka. Setelah itu tinggal menuruti perintah-perintah tukang menyesuaikan kebutuhannya yang berbeda-beda. Tapi bekerja saja tidaklah membuat Surip puas, ada kehampaan pada dirinya. Kekosongan jiwa yang bila dilihat dari luar tak tampak. Surip merasakan sebagai masa lalu yang buruk.
Ingatannya melayang saat di Purwokerto. Pengalamannya di sekolah SMA yang sering memalukan karena prestasinya begitu rendah. Kemudian bekerja di gudang Sri Ratu yang berujung kasus pemecatan dirinya hingga berurusan dengan polisi. Juga sebagai lelaki ternyata begitu terkejut mengalami perasaan jatuh cinta kepada seorang perempuan. Sulit mengontrol dirinya saat itu. Semuanya sekarang masih terbawa di perantauan. Pesimis dan trauma hingga bila melakukan tindakan apapun sudah memvonis diri sendiri.
Pasti gagal!
“Ibuku masih ada tetapi aku tidak memberi kabar apa-apa sampai setengah tahun ini, entah bagaimana kabarnya?” Surip merasa gagal memenuhi harapan ibunya untuk bisa menopang keluarga mereka yang termasuk melarat. “Sudah tidak memberi kabar apa-apa juga aku tidak pernah bisa mengirim uang, benar-benar anak durhaka aku ini!” Surip bicara sendiri dengan perasaan bersalah.
Ibunya Surtinah seorang janda di desa Beji. Seorang tua yang bekerja hanya untuk bertahan hidup. Hari-harinya ke sawah atau ke pasar, dan bila ada acara di desanya hanya ikut kegiatan RT. Paling-paling kegiatan PKK kemudian sekedar membantu bila ada hajatan perkawinan. Ada Dasa Wisma cuma jadi anggota saja.
“Aku harus mencari pekerjaan betapapun sulitnya,” Surip kembali bertekad.
Sekarang dirinya di Banjar Baru, kota yang masih asing. Bertahan di kota ini baginya masih meragukan. Ia belum tahu apa lagi yang akan dikerjakannya di sini.
Suatu sore sehabis bekerja disempatkannya berjalan-jalan ke sebuah supermarket. Namanya Assuada, jaraknya dari bundaran Simpang Empat hanya dua ratus meter. Sebuah swalayan alias minimarket bernuansa islami. Halaman depannya luas untuk parkir kendaraan bermotor. Di sampingnya tanah belukar berpagar kawat karena masih kosong.
Di dalam minimarket Surip jadi ingat saat bekerja di Sri Ratu. Biasanya banyak SPG berdandan seksi. Tapi ia sekarang kecewa, tak ada perempuan berseragam seksi itu di Assuada. Malah di beberapa sudut terpampang foto besar seorang ulama berpengaruh di KalSel. Surip ingat foto tersebut juga ada di rumah Pak Sastro. Tampaknya setiap orang Banjar menjadikannya sebagai panutan. Tokoh tersebut ujar orang memiliki karomah luar biasa, panggilannya Guru Ijei yang mengajar ilmu Tasaawuf.
“Loh Masnya di sini sedang belanjakah?” Surip segera mengenal seorang pengunjung. Itu si Yani salah seorang yang biasa begadang bersama Irhamna.
“Ikam Rip mencari apa gerang, biasanya jam segini sudah guring di barak?” Yani bertubuh gempal. Sepintas matanya selalu terlihat mengantuk. Rambutnya lurus dengan brewok yang selalu tercukur rapi. Di sampingnya seorang berperawakan kecil tapi necis sekali.
“Jalan-jalan ae sekalian nukar sikat gigi dan sabun mandi,” Surip menjelaskan kunjungannya di minimarket.
“Siapa orang ini Yan?” Orang berperawakan kecil bertanya kepada Yani. Ia memperhatikan Surip yang sama-sama berbadan kecil. Cuma Surip ini agak pemurung sedangkan teman Yani terlihat supel.
“Oh Surip ini begawai di bundaran Simpang Empat,” Yani menjawab pertanyaan teman di sampingnya.
“Kerja proyek maksudnya?” Lagi teman Yani bertanya.
Mereka bercakap-cakap sebentar di ruangan ber AC di deretan rak-rak tempat berbagai sabun dan parfum. Mereka kemudian saling memperkenalkan diri.
“Surip,” Surip menyebut nama dirinya saat berjabat tangan.
“Agus,” ternyata itulah si Agus Lenong, “Saya dari Batu Hapu.”
“Batu Hapu? Ikam mungkin kenal dengan Mas Warso katanya tinggal di Binuang?” Surip merasa ada harapan mendapat kabar tentang seseorang yang pertama diketahuinya di Banjarmasin.
“Ah Binuang itu luas banyak jua orang dari Batu Hapu begawai di plywood Rip, jelas aku kurang paham. Kaena bila jelaas alamatnya mungkin langsung ketahuan,” Agus berkata menjelaskan dirinya yang biarpun orang Binuang tapi tidak semua dikenalnya. Setelah cukup lama di dalam minimarket barulah masing-masing ke base camp tempat tinggal masing-masing.
“Rip kaena singgah ke wadahku, parak saja dari sini. Ikam tinggal masuk gang itu ada Silva Computer. Di situlah biasanya kami berkumpul,” Yani menunjuk sebuah jalan seperti gang tetapi tak terlihat karena tertutup tanah kosong yang penuh semak belukar.
“Terima kasih kaena aku pasti ke sana,” Surip berkata dengan semangat. Rasanya ada jalan untuk mencari teman di kota Banjar Baru.
Mereka berpisah karena berbeda jalan. Surip melihat di depan mini market Assuada. Itu pintu gerbang beberapa fakultas UNLAM. Ada beberapa perempuan terlihat menunggu sesuatu di depan jalan utama. Mungkin mereka itu mahasiswi di dalam kampus tersebut. Tak lama sebuah colt L 300 berwarna orange berhenti. Sesaat perempuan-perempuan yang bercelana jeans dan bertas ringan tersebut masuk ke mobil. Ya rupanya itulah pelajar-pelajar yang hendak pulang kampung menuju hulu sungai.
Agus Lenong ternyata jadi rajin ke bundaran Simpang Empat. Seperti saat maghrib sore itu,
“Wong ngapak paling-paling dimek-mek mlethek dewek, ngantek kesasar neng kene. Ayo dolan, aja nang barak wae!” Ternyata Agus Lenong ini fasih bahasa Jawa. Tidak seperti saat-saat pertama berkenalan selalu berbahasa Banjar.
Barak tempat Surip tinggal selama ini hanya berukuran 4x6m, jika sore beberapa tukang dan laden meninggalkannya untuk berbagai keperluan. Soalnya orangnya kebanyakan tinggal di sekitar kabupaten Banjar, seperti Gambut atau bahkan Martapura.
Barak hanya dijadikan tempat tidur saat malam hari. Semuanya pasti sudah tidur jam sepuluh, itu jadwal tidak sengaja kuli bangunan karena besoknya bekerja memeras keringat.
“Dolan neng endi Gus, kok ya kamu bisa bisa bahasa Jawa?” Surip menjawab dengan beberapa pertanyaan.
“Dancuk aku ini ya orang Surabaya Cak, asline Probolinggo,” Agus berkata menerangkan dirinya. Baru Surip paham sedikit keadaan Agus Lenong. “Jane aku wong Batak, margane Harahap,” katanya lagi.
Ya ampun ini orang rupanya borongan latar belakangnya. Lebih mirip gado-gado ketimbang pecel Madiun.
“Ikam itu begawai di mana Gus?” Surip bertanya, rasanya tak mungkin Agus ini seorang pengangguran.
“Begawai apa, orang cuma senangnya begayaan dibilang kerja, isih mending kowe nyambut gawe borongan,” Agus berkata tak ada kata-katanya mengeluh walaupun pengangguran.
Surip melengak heran juga, di dunia ini rasanya buat dirinya pekerjaan adalah hal yang paling penting. Tapi orang di depannya ini sepertinya meremehkan bentuk pekerjaan.
“Ayo ngancani aku neng UNLAM, aku arep nemoni dosen Hydrologi,” Agus mengajak Surip bermain ke suatu tempat yang makin membuatnya terbengong-bengong.
“Neng UNLAM? Nemoni dosen, kaya wong penting wae kowe Gus?” Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut Surip karena bingung. Tak disangkanya orang ini luwes sekali pergaulannya.
Akhirnya Surip membuntuti kemana perginya teman barunya itu menuju kampus UNLAM yang merupakan komplek sangat luas. Pertama adalah kampus fakultas Pertanian, itu yang terlihat dari jalan utama di balik pagar dengan jajaran tanaman akasia yang rindang. Makin ke dalam ada fakultas Perikanan dan Peternakan, yang dituju adalah fakultas Kehutanan terletak paling belakang sendiri.
“Banjar Baru ini seperti Purwokerto saja, tampaknya bernuansa kota pendidikan, beberapa perguruan tinggi tingkat akademi dan universitas cukup banyak di sini,” Surip berkata sendiri dalam hati.
Benar-benar terbukti kata-kata Agus Lenong. Orang yang ditemuinya memang benar-benar seorang dosen. Itu terlihat di mana Agus Lenong menjumpainya di sebuah ruang rektorat.
“Aku di luar saja Gus, ikam gin yang kenal dengan dosen itu. Apa sih urusanmu dengan beliau?” Surip tak berani masuk lebih dalam, perasaannya takjub dengan keadaan teman barunya di Banjar Baru ini.
“Baiklah ikam tunggu saja di kursi taman itu, kaena habis selesai urusanku kita langsung bulik,” Agus begitu optimis, tak terbersit rasa rendah diri di sekitar gedung-gedung perkuliahan yang sore itu terdapat beberapa kegiatan ekstra.
Surip sempat melihat Agus menjumpai sang dosen. Seorang tinggi kurus berjanggut lebat. Sempat diketahuinya dari Agus Lenong dosen yang ditemuinya itu bernama Sasirang. Jabatannya bergengsi sekali, Kepala Hutan Pendidikan UNLAM. Berarti membawahi seluruh wilayah KalSel dan KalTeng. Konon hutan pendidikan di KalSel namanya Mandi Angin tempatnya menuju Dam Riam Kanan.
Eit lama sekali menunggu, Surip jadi gelisah. Bangku yang didudukinya terasa tidak nyaman. Itu bangku dari beton cor di bawah rindangnya pohon akasia. Terlihat kurang terawat, beberapa ilalang tumbuh di sudut taman. Bahkan dari kejauhan Surip tahu masih banyak lahan tertutup semak belukar di komplek UNLAM ini. Yang paling menyebalkan tempat Surip duduk dilewati semut-semut merah yang dengan enaknya menyebar di bawah bangku hingga kaki Surip beberapa kali mengibas dan menginjak hingga mati puluhan ekor. Dari ruang rektorat Surip melihat gedung perkuliahan. Fakultas memiliki kelas untuk masing-masing angkatan dan terdapat beberapa laboratorium yang terbengkalai. Di sudut kejauhan ternyata terdapat bangunan dari atap seng terbuka, itulah kantin untuk setiap fakultas.
“Dari tadi aku melihat kantin di setiap fakultas, orang-orang Banjar ini doyan sekali jajan,” Surip berkata sendiri dalam hati. Kantin-kantin tersebut sore-sore seperti inipun masih buka walaupun mahasiswa yang kuliah hanya ramai di pagi dan siang hari.
Beberapa bulan di Banjarmasin Surip tahu kebiasaan warga kota ini. Tak ada istilah sarapan bagi orang Banjar. Adanya makan pagi jam sepuluh siang, bahkan banyak orang Banjar sehari hanya makan besar atau makan nasi dengan lauk pauk dua kali saja. Anggap saja itu siang dan malam hari atau sore saja. Pagi-pagi orang Banjar terbiasa membeli penganan yang disebut wadai di setiap warung yang tersedia hampir di setiap sudut gang manapun. Warung wadai menyediakan berbagai jenis penganan untuk mengurangi rasa lapar orang pagi hari. Temannya berupa minum teh hangat, kopi atau es teh.
Inilah tradisi orang Banjar, mengadopsi pekerjaan yang berkutat pada perdagangan pasar. Jadi tradisi seperti ini ada karena orang-orang Banjar kebanyakan pedagang harus memenuhi hajat laparnya sambil menawarkan komoditas yang dibawanya dari kampung. Alhasil tradisi tersebut hidup sampai di kampung pedalaman sekalipun. Itulah warisan kerajaan Banjar. Puing-puing kerajaan sekarang hanya berupa pasar terapung di Kuin dan makam raja-raja Islam Banjar.
Akhirnya keluar juga Agus Lenong dari ruang rektorat. Di tangannya menggenggam segebok kunci rumah.
“Ini dia urusanku di sini, aku sekarang jadi punya tempat tinggal bila ada di Banjar Baru,” Agus berkata memperlihatkan kunci kepada Surip. “Aku dititipi rumah oleh dosen itu untuk ditempati sekaligus dirawat, lumayan kan.”
“Heh begitu percayanya dosen itu kepadamu Gus, kamu itu berapa lama sudah kenal dengan dosen itu?” Lagi-lagi Surip takjub, orang di depannya benar-benar luas sekali pergaulannya. Sebuah rumah dititipkan untuk ditempati paling-paling disuruh merawatnya tentu besar sekali kepercayaan dosen itu kepada Agus.
“Aku tuh sering membantu di kantor mereka Rip, terkadang juga di konsultan kehutanan yang didirikan beliau,” Agus sedikit memberikan keterangan yang membuat Surip kian maklum. “Jika ada kegiatan di kantor konsultan aku sering ikut diperbantukan.”
“Lantas bagaimana dengan bubuhan Irhamna yang sering bertemu denganku di Simpang Empat?” Surip penasaran sekali.
“Oh mereka itu anak buah Bapak Sasirang. Mahasiswa sekaligus ikut mengerjakan proyek kantor,” Agus Lenong ternyata begitu banyak pengetahuannya akan konsultan kehutanan dan fakultas Kehutanan. Bahkan setiap mahasiswa, dosen-dosen mengenalnya dan menghormatinya.
“Bagaimana Agus ini bisa bergaul dengan akrabnya dengan orang-orang penting di UNLAM?” Dalam hati Surip bertanya. Baginya sekarang Surip tahu telah berjumpa dengan seseorang yang masuk jajaran elit di sebuah fakultas Kehutanan. Ia merasa betapa sempitnya pergaulan di lingkungannya saat di Purwokerto.
“Ayo Rip kita lihat rumah titipan di jalan Purnama, tempatnya persis di depan Silva Computer wadah Yani begawai,” Uuuts jadi Yani membuka usaha rental komputer di jalan Purnama dan itu dekat dengan rumah titipan yang sekarang akan ditempati Agus Lenong. “Barang bawaanku ada di di Silva Computer jadi kaena singgah di wadah bubuhannya.”
Begitulah Surip yang wong ndeso tiba-tiba seperti mendapat lahan baru di sebuah kota yang cukup menyenangkan, Banjar Baru.
Jalan Purnama nomor dua, sebuah rumah berdinding tembok permanen. Ada gang kecil di sebelahnya untuk lewat orang yang memiliki rumah di belakangnya. Berpagar dengan halaman sempit, sebuah pohon mangga masih setinggi dua meter belum berbuah sama sekali.
Ke rumah itulah Surip diajak masuk. Pengap sekali, debu-debu berserakan tanda rumah tak terawat. Tapi perabotan berupa mebel dan ranjang di sebuah kamar sampai sova di ruang depan masih lengkap. Begitu juga dengan listrik yang masih menyala dan air PAM masih mengalir. Jadi untuk tagihan listrik dan PAM semuanya ada yang menutupi.
“Tak mungkin membersihkan sehari Gus, apakah kamu hendak bermalam di sini malam ini/” Surip bertanya kepada Agus.
“Ha ha ha ya itulah pentingnya punya teman, malam ini temani aku di sini Rip. Besok baru aku mulai membersihkannya,” Agus berkata dan memeriksa setiap sudut ruang masih kotor dan berdebu. “Aku pinjam sapu dulu di Silva Computer, malam ini tidur saja di ruang tengah, itu kulihat ada lampit rotan di kamar belakangnya.”
Malam itu dengan lampu tetap menyala Surip tidur di ruang tengah bersama Agus Lenong. Cukup banyak nyamuknya membuat bentol-bentol di badan. Esoknya cepat Surip pulang ke barak untuk mulai bekerja di proyek bangunan.
Sebuah rumah bertingkat dibatasi gang lewat untuk rumah di belakang jalan Purnama. Terlihat ramai, itu sebuah rumah indekos mahasiswi di banjar Baru. Surip merasa diintip oleh beberapa perempuan yang seolah-olah ingin mengetahui siapa tetangga barunya di rumah yang selama ini kosong dan terkesan menyeramkan.
Sementara rumah yang ditempati Agus Lenong belum seluruhnya bersih. Beberapa semak belukar di depan halaman serta samping rumah yang berhadapan dengan tempat kos mahasiswi-mahasiswi tersebut.
“Tak mungkin aku membersihkan seluruh ruang di dalam rumah ini Rip, tolonglah bantu aku,” suara permohonan datang dari Agus Lenong.
“Bisa saja Gus, tapi waktu libur nanti hari Minggu. Hanya hari itu ada waktu luang,” Surip berkata tidak bisa menjanjikan tetapi memberitahu kemungkinan membantu Agus.
“Okelah hari Minggu ikam pagi-pagi ke sini. Pokoknya setiap malam temani aku dulu,” Agus Lenong lebih berpikir kegiatannya yang berhubungan dengan sebuah proyek di konsultan kehutanan. “Rip aku ini hanya membantu di konsultan, upah tidak pasti mereka hanya mengandalkan kepercayaan kepadaku saja,” Agus berkata mengenai keadaan dirinya yang tampaknya menjadi orang penting di sebuah kantor.
Sementara terdengar tawa cekikikan di luar pagar, rupanya beberapa perempuan di tempat kos sebelah mengenal Yani yang berkunjung ke rumah Agus ini. Percakapan terdengar seru, membuat Agus keluar dan bergabung dengan Yani dan perempuan-perempuan yang jelas sudah dikenal orang-orang Silva Computer setiap harinya.
“Hei tetangga baru, mana Mas Agus kok kadak memperkenalkan diri pada kami di sebelah?” Seorang cewek menyapa Surip biarpun Agus sebenarnya sudah dari tadi bersama Yani di halaman rumah.
Surip gelagapan juga menghadapi cewek yang baginya pasti baru pernah berjumpa sekali. Tapi tampaknya cewek ini sudah tahu duluan keadaan dirinya.
“Ayo kenalan Rip, mereka kos di rumah samping kita kok,” Agus tidak canggung memberi kesempatan Surip berkenalan.
“Tampak sekali Agus ini dikenal banyak orang, sampai-sampai cewek-cewek ini tak sungkan bersama mereka,” Surip membatin sendiri. Diulurkannya tangan kanan berjabatan tangan dengan salah satu cewek tersebut.
“Surip,” disebutnya namanya, selanjutnya cewek-cewek tersebut menyebut namanya masing-masing, ada Evi, Iyut, dan Lesli.
Di teras rumah tersebut mereka ngobrol seru sekali. Surip yang canggung karena merasa bukan levelnya. Orang-orang ini semuanya berpendidikan, diketahuinya Iyut dan Lesli dari Palangka Raya, sedangkan Evi dari Tamiang Layang Barito Timur. Semua cewek Dayak cuma sedikit berbeda bahasa.
Surip sekarang memaklumi dengan keadaan Agus, orangnya mudah dikenal di sekitar lingkungan kampus UNLAM sekaligus juga sering berada di Silva Computer. Tentunya mahasiswa seperti Iyut, evi dan Lesli sering singgah di Silva Computer untuk berbagai keperluan. Di sanalah cewek-cewek tersebut terbiasa bergaul dengan Yani, Irhamna dan Agus Lenong.
“Hei ikam kuliah di mana Rip?” Evi mendadak bertanya.
Wah Surip kebingungan menjawab, “Kadak aku kadak kuliah, aku begawai di proyek bangunan taman Simpang Empat,” Surip menjawab dengan perasaan rendah diri.
Mendengar jawaban Surip cewek-cewek tersebut memandang dengan iba. Tak dikiranya seorang yang sekarang bertemu dengan mereka tak lebih hanya tenaga upah harian. Pantasan orangnya pendiam dan rikuh bila ditanya pendidikannya.
“Ah begawai apapun berarti sudah mandiri Rip, senang bertemu denganmu,” nah Evi rupanya memotong suasana tak enak yang hinggap di dada Surip supaya tidak bertambah canggung. “Kaena aku singgah di Simpang Empat.”
Apa sih kerja Agus Lenong dengan rumah barunya itu?
“Rip pokoknya temani aku di rumah ini. Ikam boleh saja sekalian tinggal di rumah ini bersamaku. Aku sendiri tak mungkin merawat rumah ini sendirian. Terus terang aku di sini juga belum bekerja apa-apa,” Agus Lenong berkata kepada Surip saat bermalam.
“Berani-berraninya ikam dititipi rumah ganal ini Gus?” Surip mulai membahas masalah. “Masih mending kos di sebuah kamar kecil dan bayar perbulan seperti Evi itu,” ditunjuknya rumah yang menjadi tempat kos teman baru mereka sekarang.
“Bagaimana lagi Rip, Pak Sasirang itu menitipkan dan menyuruh menjaga rumah ini dulu. Rencananya beliau hendak menjadikan rumah ini sebagai kantor konsultan kehutanan. Saat ini kontraknya di komplek Pinus Indah masih setahun lagi,” Agus menerangkan kondisi yang terjadi. “ Aku terkadang ditarik ke konsultan kehutanan bila ada kegiatan survey di hutan, di situlah aku dapat uang cukup untuk beberapa bulan.”
“He he he sugih benar ikam Gus, punya rumah ganal juga begawai jadi surveyor,” Surip akhirnya memberi aplaus kepada Agus Lenong. Benar-benar seorang yang hebat reputasinya.
“Bah gundulmu!” Agus tak senang malah sewot dengan kata-kata Surip.
Begitulah malam-malam Surip lebih sering menemani Agus dari pada tidur di barak proyek bangunan. Memang lebih nyaman kok!
BAB 5
Mulai berlatih Pencak Silat
“Ada perusahaan baru berkantor di Banjar Baru Rip, coba ikam melamar di sana,” Yani memberitahu Surip saat singgah di Silva Computer. “Perusahaan HTI di Kintap Pleihari namanya PT Hutan Menara Buana.”
“Benarkah, dimana kantornya Yan?” Surip semangat mendengar ada informasi. Apa lagi yang dicarinya kalau bukan lowongan kerja di kota Banjar Baru ini.
“Jalan Panglima Batur, dari kantor pembantu gubernur susuri sampai ujungnya pasti ketemu. Itu perusahaan baru milik Probosutejo. Disinyalir group usaha tersebut mengambil dana reboisasi negara yang tadinya diambil BJ Habibie saat mendirikan perusahaan pesawat terbang,” informasi mengalir cepat.
Surip bergerak cepat, menulis lamaran dan siang hari minta ijin tidak bekerja untuk mendatangi kantor perusahaan HTI baru.
Hmmmm sial tak ada taksi angkutan kota masuk ke jalan Panglima Batur, seorang diri ia menyusuri jalan utama Banjar Baru, melewati sebuah komplek yang kemudian diketahui Surip sebagai Pastoran Katolik, sangat megah. Ada belokan jalan menuju kanan, jalan Panglima Batur bisa dilalui dari jalan tersebut. Tapi itupun ketemu ujungnya saja, nah dari ujung jalan Panglima Batur yang dilihatnya adalah sebuah kantor jaringan PDAM dengan perumahannya yang sebagian terbengkalai ditumbuhi ilalang.
Jalan Panglima Batur lebar sekali, bisa selebar lebih dua puluh meter memanjang sampai dua kilo. Di tengah-tengahnya itulah kantor pembantu gubernur menghadap jalan utama jurusan Banjarmasin, Hulu sungai atau Martapura. Jalan selebar itu ternyata sangat sunyi, di depan kantor pembantu gubernur seperti terdapat alun-alun, kemudian taman kota dan komplek taman hiburan rakyat Minggu Raya.
Dari ujung hingga ujung lagi barulah benar-benar sampai tujuan Surip. Hanya sebuah rumah permanen yang terlihat ramai kegiatan di dalamnya. Tak ada papan nama perusahaan, jika tak diberitahu Yani Surip pun tak tahu. Paling-paling di depan kantor terparkir beberapa mobil jeep beroda besar yang berlepotan tanah lumpur.
Ternyata informasi lowongan kerja cepat sekali menyebar, padahal perusahaan ini tak mempublikasikan di media massa. Hanya saja gaungnya terasa secara nasional, terutama sekali oleh pihak fakultas Kehutanan UNLAM.
Sekitar dua puluh orang berada di depan tidak sampai antri untuk memasukan berkas lamaran kerja. Dari Irhamna ada informasi, “Seorang temanku sudah bekerja di sana, bila singgah di Silva Computer aku bisa mengajukan dirimu umpat bekerja.”
Satu persatu pelamar kerja menghadapi personalia. Yang membuat Surip mulai pesimis ternyata setiap kali menghadap personalia sepertinya langsung sudah kenal. Mereka langsung bisa ngobrol karena kedekatan orang-orang dalam perusahaan.
Ketika Surip duduk di depan meja personalia, lelaki yang dihadapinya sudah berkerut kening,
“Ikam ini melamar gawean di sini dapat informasi dari mana Mas?” Bertanya lelaki berkemeja resmi seperti menimbang-nimbang. Dibukanya berkas lamaran kerja Surip.
“Saya dapat dari teman saya Pak, orang di UNLAM,” Surip menjawab bingung. “Uh siapa sih orang di UNLAM yang bisa dijadikan gantunganku?” Dibatin saja Surip bicara sendiri.
“Oh kukira ikam ini ada orang dalam yang memasukan. Tak apa Mas kaena kami pertimbangkan. Berkas Mas ini kami terima dulu. Bila ada panggilan bakalan sampai di tangan Mas sesuai alamat ini,” lelaki yang ditaksir berumur empat puluhan tahun itu berkata mempersilahkan yang lain untuk bergantian menghadap.
Ya sudah hanya sampai itulah perjuangan Surip memulai mencari pekerjaan.
Setahu Surip di ruas jalan Panglima Batur sebelum kantor pembantu gubernur terdapat mess sebuah HPH, nama perusahaannya PT Daya Sakti, bila saja Surip bisa melamar di HPH tersebut, tapi dari Irhamna infonya itu hanya mess persinggahan bukan kantor pusat.
“Ini strategi dari PT Hutan Menara Buana. Probosutejo mengambil alih dana reboisasi yang cair setiap tahun untuk kepentingan groupnya, tentu karena beliau dekat dengan presiden. Padahal dana reboisasi selamanya digunakan untuk reklamasi lahan karena laju pengrusakan hutan yang cepat. Selama ini dana reboisasi dilarikan ke proyek perusahaan pesawat terbang milik BJ Habibie,” Irhamna berkata tentang perusahaan baru berupa hutan tanaman industri.
Suatu bentuk perusahaan kehutanan yang lebih didominasi penanaman lahan kritis. Tentu proposal usaha tersebut di laporan Jakarta sana sangat hebat. Bila laporan itu dibaca dana reboisasi akan menghijaukan bekas-bekas tebangan yang menjadi lahan kritis menjadi ijo royo-royo.
Tapi kok dana reboisasi hanya terpakai oleh satu group usaha saja?
Seberapa luas lahan yang akan digarap PT Menara Hutan Buana?
Dana Reboisasi dihitung dengan skala nasional. Berarti dana tersebut bisa dipakai oleh setiap daerah provinsi untuk kepentingan reboisasi di wilayahnya sesuai lahan kritis yang dimiliki. Jika sekarang dana reboisasi tersebut dipakai oleh suatu group usaha berarti group usaha tersebut sangat berlimpah modal.
Bah Surip tak pernah berpikir sampai di situ.
Saat ini Surip lebih tertarik dengan artikel sebuah koran Banjarmasin Pos yang mengulas tentang banyaknya tenaga kerja asing ilegal di pabrik-pabrik plywood Banjarmasin. Orang-orang tersebut semuanya datang dengan paspor wisata, sangat berbeda dengan kenyataannya yang bercokol di sebuah perusahaan kayu besar di Banjarmasin.
Surip hanya melihat inisialnya saja yang sering disebut Mr X, ah itu salah satu petinggi di PT Basirih Industrial Corp. Orang tersebut kemudian dideportasi ke negara asalnya, tetapi kemudian kembali lagi ke Indonesia dengan nama lain dan juga paspor lain. Dunia begitu banyak permainannya!
Sampai di rumah jalan Purnama Surip mendapati Agus Lenong sedang sibuk di belakang rumah.
“Sibuk benar ikam begawai apa gerang?” Surip langsung masuk tanpa permisi di dalam rumah tersebut karena tak terkunci. Didengarnya ada suara berisik di belakang hingga menuju dapur atau kamar mandi. Ruang dapur kosong belum terisi apa-apa, tapi sekarang Surip mengerti Agus Lenong rupanya sedang memasak.
“Dari mana kompor ikam dapat Gus?” Surip bertanya basa-basi.
“Nukar bekas milik anak kos, lumayan tiga ribu dapat peralatan lengkap. Kebetulan ikam datang nah tolong nukar minyak gas di warung. Kita bemasakan bersama saja sore ini,” Agus yang sedang sibuk rupanya masih repot dengan barang-barang barunya.
“Hah wadahnya pakai apa Gus, adakah jerigennya?” Surip bersedia, dengan mata melihat ke sekelilingnya jika ada tempat untuk minyak tanah.
“Wah iya aku lupa, aduh pakai apa ya?” Agus pun kebingungan. Kerepotan urusan dapur ternyata rumit. Dicari-carinya di sekeliling ruangan. “Ah adanya ini Rip, bisakah dipakai?” Di tangannya sebuah botol bekas topi miring.
“Bisa saja tapi nanti dikira kita mabuk-mabukan Gus,” Surip menerima botol bekas minuman beralkohol.
“Ya gak papa paling itu bekas mahasiswa kos yang alat masaknya kubeli, sesekali mabuk kan enak,” Agus Lenong berkata kemudian. “Pakai uangmu dulu Rip aku bokek nih,” diperlihatkannya isi dompetnya yang hanya terisi foto ceweknya dan KTP nya saja.
“Baiklah aku ke warung depan jalan saja,” Surip bergerak ke luar menuju ke warung tepat di jalan utama menuju jalan Purnama. Ketika lewat depan Silva Computer yang hanya kios ukuran 4x6 m di depannya terdapat pohon melinjo.
“Ah kaena aku ambil sayur juga di Silva Computer.” Bayangannya nanti bisa masak sayur cukup enak. Apa lagi saat ditelusuri pekarangan luas kosong terisi tanaman singkong liar begitu banyaknya. Tentu itu bisa jadi sumber makanan nantinya.
Lumayan hari itu Surip memulai hidup baru bergaul dengan orang-orang Banjar Baru. Pekerjaannya di proyek taman Simpang Empat kemungkinan seminggu lagi selesai. Surip hanya seorang laden, dirinya hanya akan dipanggil tukang jika diperlukan saja. Nah problemnya sudah nampak.
“Proyek bangunan lain sedang sepi Rip, kami yang tukang saja setelah ini tidak ada pekerjaan. Mana mungkin mencari tenaga lagi,” Pak Sastro menyatakan keadaan beberapa bulan mendatang.
Proyek-proyek bangunan juga terkadang musiman, paling banyak proyek di Banjar Baru ini proyek perumahan. Tapi proyek tersebut sudah memiliki tenaga ahli sendiri. Tukang-tukang seperti Pak Sastro hanya bisa dihubungi jika dikenal oleh perusahaan real estate tersebut. Tidak semua tukang kenal dengan orang-orang perusahaan pendiri perumahan di Banjar Baru.
“Kaena ikam sering main ke rumahku Rip, jadi bila ada gawean lagi lekas aku memanggilmu,” Pak Sastro berkata terakhir kalinya.
Pekerjaan terus berlanjut, Surip terus mendekati Agus Lenong. Ternyata Agus Lenong punya rumah biarpun hanya titipan juga sering tongpes alias kantong kering. Jadinya Surip menumpang tidur sekalian membeli bahan-bahan makanan dari uangnya sendiri. Tapi lumayan tidur Surip jauh lebih nyaman sekarang, rumah tersebut menyediakan kamar tidur dan kamar mandi besar. Dulunya mungkin terpakai oleh keluarga besar anak beranak.
“Sebelum dibeli Pak Sasirang rumah ini milik pegawai negeri di Dinas Pengairan. Orangnya meninggal dunia masih muda, istrinya sekarang mudik ke Jawa dengan anak-anaknya masih sekolah,” Agus Lenong bercerita tentang masa lalu rumah yang sekarang menjadi hak pakainya.
“Minggu depan borongan bangunan di Simpang Empat selesai Gus, aku belum dapat pekerjaan lain sekarang,” Surip berkata tentang masalah yang dihadapinya.
“He he he memangnya aku ini bergawai Rip?” Agus Lenong tidak menjawab tapi langsung membandingkan dengan dirinya. “Kerjaku serabutan, apa saja kujalani demi uang. Tinggal sajalah bersamaku di sini. Nanti kita mencari pekerjaan bersama,” Agus Lenong berkata tak keberatan Surip tinggal bersama di rumahnya.
“Jika saja aku sudah bekerja biar nanti mencari tempat kos yang murah. Untuk sementara aku mengganggumu di rumah ini,” basa-basi Surip karena mendapatkan kelonggaran numpang hidup bersama Agus Lenong. Jaman sekarang hidup di perantauan bertemu dengan seorang teman yang langsung mau ditumpangi hidup sungguh sangat langka. Tapi itulah kenyataan yang didapat Surip sekarang ini.
Sebagai konsekuensi hidup menumpang tentu Surip harus ikut menyisihkan penghasilannya untuk biaya hidup di rumah tersebut. Mereka berdua berhemat walaupun kemudian Surip tahu Agus Lenong tak pernah bisa menyimpan uang. Sekali dapat uang ia menghambur-hamburkannya untuk bersenang-senang, apa lagi kalau bukan dengan teman mahasiswa UNLAM.
“Orang ini gaya hidupnya mengikuti lingkungan di kampus yang kebanyakan mendapat kiriman uang dari orang tua. Agus tidak menyadari hal sebenarnya jika ia tidak selevel dengan bubuhannya,” Surip membatin sendiri.
Suatu kenyataan Surip sering melihat Agus Lenong tak betah tinggal di rumah, setiap hari bila bicara selalu tentang adanya teman yang dikenalnya di suatu tempat dan akan dicobanya untuk menemuinya walaupun tanpa tujuan. Pikirannya selalu terbayang di tempat orang yang dikenalnya pasti selalu menyenangkan dan ia berharap ikut terlibat kegiatan mereka.
“Gus ikam itu kenal banyak orang kenapa tak satupun yang memberi pekerjaan tetap kepadamu?” Akhirnya Surip bertanya setelah sekian lama menjadi tanda tanya.
“Aku ingin merubahnya Rip, aku lihat ikam lebih mampu bertahan bekerja di satu tempat,” tampak Agus menyatakan tekadnya. “Ada kegiatan konsultan, besok aku akan ikut terlibat di dalamnya. Lumayan kaena menjadi tamu ikut masuk pabrik plywood di PT GIAT. Hanya jadi tamu tapi bakalan disambut oleh tuan rumah seperti tamu agung. Padahal aku hanya diperbantukan oleh dosen untuk menemaninya saja. Pekerjaan utamaku ya melayani dosen tentang berbagai keperluannya,” senyum-senyum Agus Lenong membayangkan apa yang akan dihadapinya.
“Wah itu sih seperti jongos Gus, sebenarnya statusmu cuma pelayan si dosen itu saja. Cuma kebetulan dosen itu sedang dijamu oleh perusahaan jadi gengsimu ikut naik jadinya,” Surip mulai bisa meraba-raba aktifitas Agus Lenong.
“Peduli amat yang penting tampil begayaan Rip!” Agus Lenong tidak membantah kata-kata Surip tentang jongos alias pembantu. Hidupnya sudah senang dengan keadaannya sekarang. “Lumayan Rip kaena aku dapat sangu dari perusahaan itu.”
Surip masih melanjutkan sisa-sisa harinya di proyek bangunan saat Agus Lenong dengan dandanan resmi beranjak pergi dijemput mobil oleh seseorang. Itulah dosen yang kata orang sudah menjadi guru besar untuk meninjau pabrik plywood binaannya. Tentu besar sekali jasa dosen itu bagi perusahaan tersebut.
Pekerjaan di Simpang Empat tinggal finishing, semua yang terlibat cukup puas melihat hasilnya. Jahid tukang yang paling muda pun tersenyum puas. Ditepuk-tepuknya punggung Surip karena merasa terbantu hingga selesai.
“Terima kasih Rip atas kerjasamanya, sayang aku banyak ditumpangi keluarga sehingga tidak mungkin membawamu di proyek lain,” katanya suatu ketika di barak saat makan siang.
Surip hanya mengangkat bahu, pikirannya sekarang mulai mencari celah lowongan pekerjaan.
“Aku coba ke dinas tenaga kerja dekat pembantu gubernur, siapa tahu banyak lowongan pekerjaan di sana.”
Nah itulah yang dikerjakan Surip sore hari saat selesai bekerja. Berjalan seorang diri menyusuri jalan Banjarmasin-Martapura. Tapi sampai diturunan ada belokan kecil dekat pastoran Katolik yang sepi karena hanya tanah pekarangan kosong ditumbuhi ilalang dengan pagar-pagar kawat berduri.
Sengaja Surip berjalan menuju jalan sepi tersebut kemudian menyusuri karena akan menikmati sore hari. Banjar Baru berupa kota yang berkembang terus tetapi tahun sembilan puluh lima ini masih sepi.
“Tentu ini bila dibandingkan dengan Martapura yang lebih menampakan kesan tradisional Banjar atau Banjarmasin yang metropolis. Kota Banjar Baru diapit oleh dua kota yang lebih berciri khas tersebut.”
Martapura adalah kota kabupaten dengan tradisi kuat islam tradisional. Ia bagaikan seebuah benteng pertahanan dari pengaruh luar sehingga sering dijuluki serambi Madinah. Banjarmasin metropolis terdiri dari pemukiman tradisional dan pemusatan ekonomi politik bagi provinsi KalSel, terkesan modern walaupun sebenarnya berada di lapisan tanah lumpur yang mudah bergeser.
Terus disusurinya jalan kampung Banjar Baru, Surip merasakan telah berada di belakang museum, ya itu museum tingkat nasional, di belakangnya komplek perumahan AURI. Tapi Surip terus berjalan menuju tujuannya, kantor Pemkot Banjar Baru termasuk Dinas tenaga Kerja. Sudah tutup tetapi pengumuman lowongan pekerjaan selalu terpampang di dinding halaman.
Lowongan yang ada cuma didominasi tenaga kerja keluar negeri dengan embel-embel upah yang tinggi. Tak ada lowongan perusahaan di sekitar Banjar Baru, padahal pabrik lampit berderet-deret sepanjang landasan Ulin menuju Banjarmasin. Atau plywood di seantero kota Banjarmasin, sama sekali tak terpampang. Tampaknya perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah KalSel ini mudah sekali mendapatkan tenaga kerja dari penduduk sekitar atau perantau-perantau Jawa di Kalimantan. Yang lebih menyebalkan Surip lagi, bila ada lowongan tetapi syaratnya tercantum usia maksimal, usia Surip sudah dua puluh empat tahun tidak sesuai dengan kriteria yang rata-rata maksimal dua puluh dua tahun. Kalaupun ada kriteria yang lebih tua itu diperuntukan untuk tenaga sarjana atau tenaga ahli berpengalaman. Pokoknya Surip merasa sudah langsung tua walaupun usianya masih usia produktif.
Beberapa kantor Pemkot ada di sekitarnya, Surip memandangi satu persatu. Tak mungkin menjadi pegawai negeri, belum pernah Surip mendaftar dan ikut ujian tertullis PNS. Belum-belum sudah merasa gagal melihat keadaan diri dan latar belakangnya.
Tapi hidup di dunia memang aneh, Surip selalu merasa tak berdaya melihar megahnya kantor PNS. Kantor pegawai dengan papan nama yang menakjubkan, seolah-olah bagi Surip semuanya itu tak tersentuh oleh dirinya yang orang desa.
Ah ada Minggu Raya tepat di pinggir jalan utama. Sudah mulai terlihat aktifitasnya, pedagang-pedagang kaki lima menjajakan jenis wadai Banjar dengan gerobag. Pagi dan siang Minggu Raya ini sepi, tak ada yang boleh berjualan di sana. Barulah malamnya lapangan terbuka itu menjadi semacam pasar malam. Bila malam di mana seluruh kehidupan kota sudah senyap, hanya Minggu Raya inilah yang menjadi dunia sendiri.
Surip jarang berada di Minggu Raya ini, paling-paling diajak Irhamna untuk sekedar makan atau minum sejam dua jam saja. Surip justru menuju taman kota di depan komplek kantor-kantor Pemkot. Di salah satu bangku semen hanya duduk saja memandangi orang-orang berlalu lalang.
“Sifatku di mana-mana selalu muncul, keluyuran tanpa tujuan,” Surip bergumam sendiri merasakan hobinya sedari kecil. Banyak orang malas berjalan kaki, tetapi bagi Surip itu sudah menjadi ritual sehari-hari. Hal-hal seperti ini untuk orang desa sekalipun sudah jarang dilakukan.
“Habis ini ngapain lagi?” Ah Surip kehabisan acara. Tak ada teman ngobrol biarpun banyak orang-orang di taman. Mereka jelas lebih terkelompok tak mempedulikan kelompok lain, apa lagi dengan Surip yang hanya seorang diri.
“He he he kalau novel cinta ini waktunya cari teman kencan. Cerita akan dibuat romantis dengan mencari kenalan di tempat ini antara lelaki dan perempuan. Tapi yang kulihat di tempat-tempat seperti taman ini di manapun justru sebaliknya. Orang-orang mewaspadai orang lain yang pasti dicurigainya sebagai memiliki maksud tidak baik,” itu kesimpulan Surip.
Sudah maghrib Surip memutuskan pulang kembali ke Simpang Empat. Begitulah tujuannya yang henak mencari lowongan kerja kandas karena lebih ke urusan keluyuran menghabiskan waktu. Sering tujuan orang lenyap karena tertarik dengan kesan yang didapat selama berjalan-jalan, itulah oleh-oleh Surip setiap kali keluyuran di mana-mana.
Barak bangunan Simpang Empat dua hari lagi dibongkar. Tak ada lagi tempat untuk Surip berteduh di sana. Langsung saja Surip mengambil inisiatif membawa barang-barang pribadinya ke rumah jalan Purnama. Surip merasa beruntung di perantauan selalu mendapat tempat untuk menumpang hidup biarpun kali ini nebeng di rumah Agus Lenong.
“Di Banjarmasin aku nebeng di tempat Mas Warso, sekarang di Banjar Baru nebeng lagi di tempat taman baruku si Agus Lenong,” geleng-geleng kepala Surip mendapati nasib dirinya saat merantau. “Ah aku coba kirim surat dengan alamat rumah ini ke Purwokerto. Lama sekali aku tak memberi kabar kepada si Mbok.”
Resmilah sudah Surip bertempat tinggal di jalan Purnama No 2 Banjar Baru melalui proses cukup berliku-liku. Punya tempat tinggal menetap tapi sayang menjadi pengangguran, Surip pun gelisah. Memangnya seberapa besar simpanannya yanga hanya dari upah borongan bangunan proyek Simpang Empat?
Surip pun berhemat habis-habisan. Bila di rumah ada beras ia pun masak nasi dengan sayur yang didapatnya dari pekarangan kosong di tepi rental Silva Computer. Ya hanya daun singkong karet, atau ke warung wadai minum segelas es teh panas dan makan empat wadai hanya keluar uang lima ratus rupiah.
Bila berkunjung ke rental Silva Computer terkadang ada saja dikasih wadai pisang goreng atau roti oleh Yani atau Irhamna. Cukup mengurangi rasa lapar perut. Kalau ke warung kelontong bawaannya pasti mie instan berbagai merk untuk persediaan beberapa hari.
“Rip aku ke Batu Hapu dulu. Ada beberapa mahasiswa pecinta alam hendak panjat tebing di gua dekat tempat tinggalku, aku menjadi penunjuk jalan buat mereka,” Agus Lenong memberitahu Surip kegiatan lainnya.
“Panjat tebing? Hebat sekali ikam Gus, benar-benar aku tak pernah berpikir ke sana,” Surip kagum sekali dengan rasa optimisme Agus Lenong. Hampir setiap kegiatannya mengandung unsur petualangan dengan biaya besar.
“Rip rumahku itu persis berada di gua Batu Hapu tempat wisata. Sesungguhnya aku banyak kenalan dengan orang-orang UNLAM ya gara-gara dosen dan mahasiswa sering menjadikan rumahku sebagai base camp kegiatan mereka,” Agus Lenong memberitahu. Mulai Surip tahu keadaan Agus Lenong alias Harahap ini.
Di Batu Hapu itulah Agus Lenong dikenal orang-orang UNLAM terutama Fakultas Kehutanan. Orang-orang UNLAM butuh markas sementara bila ada kegiatan penelitian di gua karst satu-satunya di KalSel di mana terdapat sedikit lahan hutan jati.
“Kaena main ke rumahku pas tahun baru Rip, aku biasa menjadi juru foto orang-orang yang berwisata di gua Batu Hapu,” ah ajakan yang tentu sangat menarik bagi Surip.
Surip hanya bisa mempersilahkan Agus Lenong untuk melakukan kegiatannya sendiri. Bila Agus Lenong pergi yang tentu sampai beberapa hari praktis dirinyalah yang mengurusi tetek bengek rumah titipan tersebut. Di sanalah Surip mulai dengan sebuah kegiatan, latihan Pencak Silat.
Ruang tengah cukup luas, Surip bergerak melakukan pemanasan. Setelah itu mulai mengkhayal jurus yang dilatihnya.
“Ini jurus satu, tekniknya paling sederhana tapi juga selalu paling mudah dihafal,” Surip berkata sendiri memperagakan jurus. Mungkin yang dikerjakan Surip bila sekarang diistilahkan audiensi pribadi.
Kuda-kuda kanan di depan kedua tangan terkepal pasangan pembukaan jurus. Pasangan pembukaan jurus membuat sikap sebagai niat menjalani latihan. Tampak dari sudut orang lain pasangan pembukaan jurus menjadi ciri tersendiri setiap perguruan Pencak Silat sebagai persiapan pendalaman jurus.
Segera Surip bergerak, tangan kiri menangkis ke samping kiri tangan kanan menyilang ke sebelah kanan, kaki kanan yang di depan bergeser ke kanan. Tangan kanan yang tadi berada di sebelah kanan menangkis hingga posisi tubuh menghadap ke samping kiri, setelah itu kaki kanan yang berada di belakang kuda-kuda kiri segera menyepak ke depan barulah mulai masuk jurus dengan kedua tangan terkepal berada di pinggang kanan kiri.
Pembukaan jurus sudah menunjukan sifat bela diri Pencak Silat. Seorang penghayat jurus tidak menyerang lebih dulu karena sifatnya defensif. Bila mendapat serangan tangkisannya pun dilakukan dua kali. Barulah sebuah tendangan kaki manjadi serangan pertama dilakukan.
Jurus satu, berlanjut ke jurus kedua sampai akhirnya jurus lima. Surip merasakan badannya basah oleh keringat. Setiap satu jurus nafasnya tersengal-sengal dan padangan matanya berkunang-kunang. Surip terlalu memaksakan diri, tenaganya terperas kecapean.
Justru latihan seperti itu membuatnya tak mampu lagi melanjutkan jurus keenam. Padahal latihan fisik baru satu jam saja. Surip merasa tidak betah berlama-lama berlatih. Terasa caranya tersebut tak bertujuan sama sekali kecuali keluar tenaga saja. Karena tidak betah akhirnya Surip duduk terlongong-longong di lantai. Badannya yang gerah merasa sejuk oleh lantai semen yang berhawa dingin. Terasa nyaman membuat malas berlatih lagi.
“Sebenarnya untuk apa lagi aku melatih jurus-jurus ini. Hafalannya ya itu-itu saja yang berasal dari perguruan Al-Jurus,” Surip membatin dan bangkit menuju dapur mengambil gelas dan minum air dingin sepuasnya. “Coba aku bisa melakukan aksi sepeti di film Jacky Chan wah sungguh senangnya,” pikirannya terus melambung membayangkan menjadi pendekar mabuk Jacky Chan. Bila sudah seperti itu ia membayangkan dirinya menjadi tokoh sakti dengan ratusan jurus andalan menghadapai musuh yang berniat jahat kepada masyarakat.
“Coba aku bisa memecahkan benda-benda keras seperti es atau lempeng besi. Tentu aku tidak akan diremehkan orang-orang di luar sana.”
Itulah Surip orangnya pengkhayal berat. Jika sudah seperti itu Surip malah jadi pesimis. Ia tetap tak lebih dari seorang Surip yang terjebak di masyarakat sebagai pengangguran dan terdampar di sebuah kota di luar pulau Jawa Banjar Baru.
Tok tok tok!
Terdengar pintu rumah diketuk orang. Surip bergegas menuju ruang depan melihat siapa yang datang. Disambarnya kaos yang tadi dilepaskannya. Saat berlatih ia hanya mengenakan celana pendek kolor.
“Agus ada Mas?” Seorang lelaki berbadan gemuk bertanya.
“Mas Agus sedang di Batu Hapu, ada keperluan apa Masnya dengan Agus?” Surip bertanya sekaligus melihat ciri-cirinya dengan baik. Kemungkinan ini salah satu mahasiswa UNLAM.
“Wah di Batu Hapu, terlambat rupanya aku, ngalih kalau begini jadinya,” seperti mengeluh orang gemuk itu berkata. “Padahal aku hendak menumpang nginap beberapa hari di rumah baru Agus Lenong,” katanya kemudian.
Nah Surip mulai repot, ia belum kenal dengan orang ini. Tetapi dari cara bicaranya sepertinya sudah sangat akrab dengan Agus Lenong yang tuan rumah.
“Kalau hendak numpang kadak apa-apa silahkan saja Mas,” akhirnya Surip memutuskan cepat.
“Terima kasih ikam percaya padaku saja Mas, aku masih berteman dengan Irhamna di Silva Computer itu,” orang gemuk klimis tanpa kumis dan janggut berkata. “Ngaranku Andi sering dipanggil Gentong,” ck ck ck agak lucu juga orangnya, sesuai dengan badannya yang gemuk putih disebut Gentong. Kalau nama Surip sih ndeso banget itu nama strata rendah orang Jawa.
“Silahkan masuk Mas,” Surip mempersilahkan kenalan barunya untuk tinggal di salah satu kamar yang ada. Oh rupanya Andi Gentong membawa sebuah vespa sebagai kendaraan tunggangannya.
Tiba-tiba dari sebuah jendela kamar kos perempuan di sebelah gang seorang perempuan berteriak,
“Hei Mas Andi apa kabar!” Terdengar dari jendela kamar tingkat kedua.
“Ha ha ha Evi baik saja kabarku, mainlah nanti di rumah baruku ya,” Andi gentong melambaikan tangannya tanda mengenal dengan baik tetangga sebelah. Sungguh sangat berbeda dengan Surip yang kurang pergaulan.
Sore harinya benar-benar cewek-cewek kos tetangga sebelah itu berdatangan ke rumah Surip. Andi yang gemuk itu benar-benar akrab dengan cewek-cewek tersebut. Ada Evi, Iyut dan Lesli, dari pembicaraan Surip tahu ketiga mahasiswi ini penghuni tetap di tempat kos sebelah. Jika ada perempuan lain ujar mereka lebih sering hanya beberapa bulan saja.
“Rip jangan sungkan dengan kami ya, kami berteman sudah lama jadi jangan kaget dengan pergaulan kami,” Evi sempat memberitahu Surip tentang keadaan mereka.
Surip hanya menganggukan kepala, Evi dan teman-temannya sering saling menyapa setelah ia bertempat tinggal di rumah Agus Lenong ini. Terkadang bercakap sekedarnya di depan halaman atau paling sering berjumpa di rental Silva Computer.
Segera saja orang-orang ngobrol seperti pasar. Terkadang terdengar jerit cekikian perempuan-perempuan itu bila dicubit nakal oleh Andi Gentong. Surip hanya mencoba mengimbangi, bisa akrab tapi kekurangan bahan obrolan karena level yang berbeda. Mereka kaum terpelajar sedangkan Surip lebih tepat disebut kuli.
“Wah Surip kadak menyediakan wadai bagaimana nih?” Evi berkata usil menggoda Surip.
“Iya tuan rumah kadak menghormati tamu kebangetan banget ikam Rip,” Iyut mengolok-olok Surip juga.
Surip celingukan merasa tak punya modal, “Ada gin tapi cuma banyu putih, biar kalian habiskan sendiri sekuatnya,” asal-asalan Surip menjawab.
“Ha Ha Ha!” Orang-orang yang hadir tertawa memaklumi Surip yang canggung.
“Biari aku traktir kalian jadi tuan rumah, ayo Vi patungan nukar wadai,” Iyut mengajak Evi berbagi beban membeli makanan kecil.
“Boleh tapi siapa yang hendak nukar di luar?” Evi mengambil beberapa lembar seribuan diserahkan kepada Iyut.
“Sini biar aku saja yang nukar wadai di Simpang Empat,” Surip cepat ambil inisiatif dari pada merasa canggung terus menerus. “Aku kenal dengan penjual roti pisang di Simpang Empat sana, sekalian nukar es batu untuk teman minum.”
Jadilah Surip beranjak keluar menuju Simpang Empat. Ada beberapa penjual pisang goreng dan roti pisang kegemaran orang-orang Kalimantan.
“Biarpun aku tuan rumah tetapi sebenarnya terpojok, yang kenal akrab dengan bubuhan cewek sebelah itu Andi Gentong dan orang-orang Silva Computer. Sedangkan aku cuma teman Agus Lenong yang saat ini sedang keluar begawai,” Surip membatin sendiri sambil berjalan.
Yang jelas kehadiran Andi Gentong membuat rumah semarak. Seluruh teman-temannya sering datang ke rumah jalan Purnama. Bahkan terkadang Surip heran bukan main, ada sekelompok teman Andi Gentong yang sering bermain musik. Mereka bila datang ke rumah jalan Purnama sepertinya menjadikannya sebagai ajang berlatih.
Ternyata biarpun Andi Gentong dan Agus Lenong itu berteman baik. Tetapi Agus Lenong lebih banyak melayani kebutuhan orang-orang sekitarnya. Surip tahu bagaimana Agus Lenong sering membantu Andi Gentong bila sedang mengerjakan semacam peta. Agus Lenong turut ambil bagian biarpun misalnya hanya mengemasi kertas-kertas yang berserakan atau membuat minuman. Begitu juga di Silva Computer, sering membantu orang-orang di dalamnya di bagian tertentu.
Surip mulai memahami kondisi Agus Lenong, poputelr tetapi hanya berperan pembantu di manapun. Orang-orang cepat mengenalnya dan sering memanggilnya untuk diperbantukan di bagian manapun bahkan terkadang menemani seorang dosen saat seminar. Penampilannya wah dan bergengsi tetapi tak lebih dihargai seorang pembantu.
Sedangkan Andi Gentong ia bekerja di konsultan kehutanan. Pekerjaan bertumpuk terkadang dibawanya ke jalan Purnama. Ia adalah anak buah kesayangan seorang dosen hydrologi yang nyambi membuka usaha konsultan perusahaan kehutanan. Terlihat selalu ada proyek, Andi Gentong datang rumah jalan Purnama langsung ramai karena pengaruhnya luas.
Itulah penghuni sebuah rumah di jalan Purnama No 2 Banjar Baru. Justru Surip yang lebih sering tinggal di rumah tersebut. Posisinya menumpang tanpa tujuan, jika siang keluyuran mencari sesuap nasi dan jika gagal mau tidak mau menahan lapar. Benar-benar jadi pengangguran.
“Uh kemana lagi aku mencari pekerjaan?” Surip berkata sendiri dalam hati.
Ia tidur di lampit ruang tengah, pagi-pagi sekali bangun. Ada dua kamar besar berisi ranjang dengan kasur yang tidak sesuai ukuran karena kasur tersebut milik anak kos. Sedangkan ranjang-ranjang itu sangat besar tinggalan penghuni rumah yang lama. Kalau dipikir-pikir Surip harusnya merasa beruntung, jika dilihat bangunannya ini termasuk rumah mewah untuk orang-orang Kalimantan. Rumah permanen berlantai semen ada listrik, PAM, kamar mandi ada dua wah luar biasa. Jalan Purnama merupakan kawasan elit di Banjar Baru. Tetangga-tetangga di sekitarnya rata-rata mentereng rumahnya dan termasuk kelas menengah ke atas.
Surip keluar rumah, masih pagi hari. Di sebelah gang tempat kos Iyut dan Evi lengang mungkin mereka masih tidur, biasa kelakuan anak kos. Beberapa rumah bertingkat mewah terpampang di depan matanya. Jalan Purnama paling lebar hanya lima meter beraspal. Cukup dilalui sebuah mobil yang rata-rata dipunyai penghuni sepanjang jalan.
“Itu rumah ternyata punya orang Sunda, istrinya wah cantik sekali lebih mirip peragawati. Huh bisa-bisanya aku berada di sekitar orang-orang seperti ini,” Surip berkata sendiri dalam hati.
Ia sengaja keluar rumah pagi-pagi sekali, Andi Gentong masih tidur. Perlahan ia bergerak menuju ke jalan Purnama menjauhi Silva Computer yang terletak mendekati muara jalan. Surip tak kepengin kepergok orang-orang Silva Computer yang pasti akan bertanya macam-macam.
Jalan Purnama tidak berujung tetapi berbelok menuju jalan utama arah Martapura. Tapi pikirannya masih waras, Martapura masih lima kilometer jauhnya jadi ia berjalan menuju Simpang Empat. Untuk sesaat Surip melihat bekas-bekas pekerjaan di monumen Simpang Empat. Masih sepi yang banyak mobil-mobil angkutan trayek berbagai jurusan. Ada warung makan menyediakan menu ketupat kandangan tapi Surip merasa tongpes hanya bisa menelan ludah saja.
Setlah itu Surip berjalan kaki menuju arah Cempaka Pleihari. Berupa komplek kios buah musiman yang ramai di malam hari. Kalau pagi-pagi seperti ini beberapa warung wadai mulai buka. Dilewatinya terus sampai akhirnya ia berbelok kanan, perasaannya mengatakan itu jalan menuju komplek kampus UNLAM. Beberapa pohon kemiri menyambut Surip yang berstatus gelandangan.
Benar juga setengah kilo berjalan Surip mendapati gerbang rusak masuk pekarangan kampus. Beberapa tanah luas hanya terisi padang ilalang dan tanaman akasia. Kalau siang hari panasnya minta ampun. Mulailah Surip memandangi gedung-gedung fakultas di sekitarnya, ini dari belakang jadi Surip langsung tahu itu fakultas Kehutanan, fakultas Peternakan dan paling depan fakultas Pertanian. Semuanya jurusan eksata, dari Irhamna Surip tahu gedung administrasi UNLAM ada di Banjarmasin dengan fakultas-fakultas non eksata seperti Hukum, Sosiologi, Ekonomi dll.
Surip menahan diri ketika melewati kantin di setiap fakultas. Perutnya minta jatah, namun apa daya Surip sekarang hanya mengandalkan beras yang belum dimasaknya di rumah jalan Purnama. Beberapa kali Surip berputar-putar di komplek kampus tersebut. Pokoknya seperti orang hilang, sementara aktifitas kampus tengah berlangsung.
“Tak mungkin aku bersekolah seperti mereka, aku saja yang harus menyadari kemampuanku,” lagi Surip membatin saat melihat pemuda dan pemudi bercanda ria di setiap fakultas. “Untungnya komplek kampus ini tanpa penjaga, bila ada Satpam di depan pintu gerbang sana aku sudah diusir dari tadi,” Surip pun tersenyum. Komplek kampus UNLAM ini memang masih terbuka, pagar yang mengelilingi hanya yang berbatasan dengan jalan raya saja jadi orang-orang bisa keluar masuk dengan leluasa.
Itulah hobi Surip, keluyuran tanpa tujuan. Jika sudah keluyuran seperti itu impiannya tentang pekerjaan tertunda. Di jalan-jalan yang dilaluinya pikirannya melayang-layang seolah-olah menjadi seorang tokoh hebat. Ia tak menyadari bila lakon tokohnya sekarang adalah dirinya yang tidak lebih dari anak jalanan tak bermasa depan.
Yang menyadarkan Surip justru kakinya yang mulai pegal-pegal karena diajak jalan-jalan terus.
“Sudah waktunya pulang dan makan, cukuplah dulu acaraku hari ini,” Surip langsung berjalan pulang menuju pintu gerbang kampus. Ada rombongan mahasiswa lelaki dan perempuan menuju pintu gerbang. Surip tak berani mendahuluinya jadi ia pun menguntit di belakang saja.
He he he Surip jadi pengawal di belakang anak-anak kampus ini. Beberapa diantaranya cewek seksi bikin ngiler mata lelaki. Sampai di pintu gerbang ternyata anak-anak kampus itu menunggu taksi angkutan L 300 menuju Banjarmasin.
“Ah ini aku tawarkan diriku makelaran saja deh,” Surip cepat tanggap, tadi di Simpang Empat jalan menuju Dam Riam Kanan ada seorang lelaki pincang kakinya sengaja berprofesi sebagai makelar.
“Hendak kemana Ding ae, ulun carikan taksi ya?” Surip bertanya kepada salah seorang cewek berjilbab. Yang ditanya tersenyum,
“Banjarmasin Mang kawa ae,” uuff logatnya kental hulu sungai mungkin dari Barabai.
Surip segera saja berinisiatif ke depan jalan menunggu bila ada taksi colt L 300 lewat. Dilihatnya seorang pincang di Simpang Empat memandanginya dari jauh memastikan dirinya sedang makelaran. Terlihat acungan jempolnya tanda salut terhadap Surip.
Tak lama kemudian Surip berhasil mencegat sebuah colt L 300 dari Martapura yang hanya berisi dua penumpang. Surip memberi tanda kepada sopir akan jasanya sebagai makelar.
“Terima kasih Cil lah!” Sopir berkata memberi uang beberapa ratus rupiah. Setelah itu taksi bergerak menuju Banjarmasin.
Lumayan ada tiga rombongan pagi itu menuju Banjarmasin. Di tangan Surip terdapat uang tiga rupiah, seorang penumpang dihargai seratus rupiah, sedangkan ongkos dari Banjar Baru menuju Banjarmasin dua ribu rupiah. Surip pun siang harinya melenggang pulang dengan perut cukup kenyang. Irhamna menyapa dirinya saat berpapasan di depan Silva Computer.
“Kemana ikam Rip, Andi Gentong mencarimu?” Sedikit menyelidiki Irhamna.
“Jalan-jalan ae aku tadi dari UNLAM lihat-lihat saja. Siapa tahu kaena diterima jadi mahasiswa,” bergurau Surip sejenak singgah di depan Silva Computer.
“Ha ha ha kalau hendak ikam jadi cleaning service saja di UNLAM Rip, lumayan dapat upah ganal jua,” Irhamna tertawa sekaligus mencoba mengarahkan Surip.
“Wah kerja serabutan pun aku ambil kaena bila ada,” Surip berkata semangat. “Ayolah aku bulik duluan.”
“Silahkan Rip,” Irhamna tidak menahan Surip lagi.
Sampai di rumah jalan Purnama Andi Gentong sedang makan nasi bungkus mungkin membeli di warung makan.
“Kemana saja Rip aku mencarimu tadi di Silva Computer. Aku hendak mengajakmu nukar nasi bungkus. Kadak da ikam jadi cuma nukar sebungkus saja,” Andi Gentong memperlihatkan sisa nasi menunjukan ia membeli untuk jatahnya sendiri.
“Aku sudah makan tadi di warung wadai, biar ae aku masak nasi saja sendiri. Masih banyak beras simpanan di belakang,” Surip tahu Andi Gentong bermaksud baik kepadanya. Terkadang orang-orang ini sering membantunya jika terlihat Surip belum makan.
“Kaena aku pergi ke komplek Pinus Rip, maaf ya aku tinggal dulu,” Andi Gentong memberi tahu Surip kegiatannya di komplek Pinus. Itu kantor konsultan kehutanan tempatnya mengikuti dosen pendampingnya. Surip hanya menganggukan kepalanya tanda maklum.
Sepi!
Andi Gentong pergi. Rumah agak berantakan memaksa Surip mengambil sapu. Bak kamar mandipun harus dikuras untuk mengganti airnya yang sudah tidak segar lagi.
“Entah siapa nanti yang membayar tarif listrik dan air minum ini, harusnya sih Agus Lenong,” Surip berkata sendiri sambil menyapu, setelah itu istirahat siang.
“Pukul kanan.....maju pukul kiri....maju sikut kanan!” Surip berlatih lagi, bila ada kesempatan terus dicobanya menghafal apa-apa yang pernah didapatnya dari perguruan Al Jurus.
“Banting sepak ke samping kanan, letakan kaki di lantai angkat pasang satu kaki!”
Surip melakukan teknik jurus dengan penuh perhatian. Di ruangan tengah yang cukup luas mungkin mampu menampung sepuluh orang lesehan ini Surip cukup leluasa bergerak. Apa lagi penghuninya sebagian besar keluar rumah, praktis Suriplah yang lebih sering menjadi tuan rumah.
Terkadang dalam berlatih ia harus mengingat-ingat gerakan karena ada yang salah. Ya cukup lama Surip tidak aktif berlatih. Beberapa jurus sudah dilakukannya, setelah terkuras tenaganya barulah Surip berhenti. Keringat membanjir membuatnya gerah hingga keluar menuju halaman.
“Lagi ngapain Rip rumahmu gaduh benar tadi?” Evi dari jendela tingkat dua bertanya agak keras mengejutkan Surip.
“Ikam Vi aku olah raga, kan biar sehat badan,” Surip menawab sekedarnya. Latihan jurus tadi kan masuk olah raga jadi ia tak salah menjawab.
“Senam aerobik atau yang lain. Aku hanyar tahu hobimu. Sekali-kali aku umpat olah raga dong,” Evi terus berkata meminta keterangan.
“Sekedar gerakan biasa Vi, paling-paling push up, scot jump dan sit up, terus tambah peregangan. Apanya yang dipelajari?” Surip berkata menutupi sesi latihannya.
“Uh sukanya ikam ini merendahkan diri,” Evi berkata tahu tidak mungkin Surip menjawab sebenarnya.
Mereka bercakap-cakap sekedarnya, cuma tentu dibatasi gang dan Evi yang berada di jendela kamar kosnya.
“Pancok....pancok!” Seorang berteriak dari jalan menawarkan jualannya. Itu penjual lotis buah atau rujak buah, di Kalimantan ini cukup banyak penjualnya. Orang-orang Kalimantan suka buah-buah yang masam rasanya.
“Amang nukar!” Buru-buru Evi berteriak memanggil penjual pancok, “Tunggulah aku turun dulu mengambil piring!” Teriaknya lagi dari atas jendela yang terbuka.
“Huuh bebinian pasti sukanya ngemil!” Surip mencela Evi agak keras membuat Evi memandanginya dengan melotot. Sebentar kemudian sibuklah Evi bersama-sama teman-temannya merubungi penjual pancok membiarkan Surip yang sedang santai istirahat di halaman.
Gantian Agus Lenong di rumah.
Biarpun berpakaian necis model terbaru tetap juga terlihat dari mana datangnya, pasti dari sebuah daerah udik. Agus Lenong tertawa memperlihatkan barang bawaannya.
“Ha ha ha banyak kadak bawaanku. Cukup buat mengisi kolam perutmu,” Agus Lenong memperlihatkan perolehannya dari Batu Hapu.
Pakaiannya necis tapi bawaannya karung goni berisi pisang kapok beberapa sisir mungkin ada satu tandan kemudian juga ada umbi singkong.
“Aih nyaman Gus ae, kita sanga saja gumbili ini,” segera Surip mengambil beberapa ubi singkong langsung dikupas untuk digoreng dengan minyak. Kalau pisang masih harus diperam dulu karena masih mentah.
“Aku uyuh benar Rip, pasti nyaman guring di lampit ruang tengah,” Agus Lenong tampaknya kecapean datang dari desanya di Batu Hapu. Badannya langsung direbahkan tanpa bersalin pakaian. Tak lama terdengar suara dengkurnya.
Surip membiarkan saja Agus Lenong tidur, untuk menggoreng singkong ia harus membeli minyak tanah dulu. Kompornya ternyata kehabisan minyak.
“Di depan jalan ada warung kelontong, nyaman saja aku nukar minyak gas sekalian nukar beras barang seliter,” Surip berkata sendiri. Surip sekarang tahu juga ukuran takaran benih alias beras di Banjar ini. Sebalik itu ukuran dua puluh liter, tidak berlaku untuk beras BULOG. Seliter beras lokal kurang dari satu kilogram. Tapi begitulah Surip harus membiasakan diri dengan adat Banjar.
“Rip Agus sudah datangkah, Pak Sasirang besok menyuruh datang ke kantor konsultan,” Yani memberitahu Surip saat melewati rental Silva Computer.
“Ada apa gerang, Agus hanyar guring di rumah. Ada masalah penting rupanya?” Surip bertanya menegaskan.
“Kadak da ae paling Pak Sasirang minta tolong membersihkan halaman rumahnya di komplek rumah dosen UNLAM,” nah sedikit ada gambaran Surip setelah mendapat penjelasan dari Yani.
“Kaena gin kuberitahu Agus lagi pula besok kan begawainya,” Surip mulai bisa membayangkan pekerjaan harian si Agus Lenong. “Aku bisa umpat dengannya untuk mencari uang barang lima ribu rupiah,” bisiknya dalam hati.
Inilah inti pekerjaan Agus Lenong, melayani orang-orang penting di sekitar petinggi-petinggi fakultas Kehutanan UNLAM. Apapun pekerjaannya bakalan dilakoni. Hari itu sibuklah Agus Lenong dan Surip bahu membahu membersihkan pekarangan rumah dosen yang sudah tertutupi berbagai jenis rumput-rumput liar.
“Ini rumah apa hutan Rip, sesuai ya dengan bidangnya, kehutanan!” Berbisik Agus Lenong mendapati pekarangan rumah yang sama sekali tidak terawat oleh penghuninya.
“Hi hi hi orang hutan nyasar ke kota kali ye,” Surip cekikikan karena hampir semua bagian halaman rumah itu berisi semak belukar. Untung tidak ada rumput alang-alang, kalau ada bisa-bisa Surip dan Agus Lenong menyerah. Tidak mudah membasmi alang-alang, salah-salah harus menggali sampai akranya baru benar-benar mati itu rumput gulma.
“Hei kalian minumlah, nih wadai habiskan,” seorang perempuan itu istri Pak Sasirang mempersilahkan Agus dan Surip beristirahat. Sudah tengah hari, tinggal menyelesaikan bagian belakang yang ternaungi buah jambu. Terlihat tidak seberat awalnyayang harus kepanasan di depan halaman rumah. Komplek perumahan dosen ini sebenarnya cukup rimbun, jalan di depannya beraspal dengan pohon-pohon pinus di pinggirnya.
“Komplek pinus itu benar-benar areal hutan kota Rip, kaena kita singgah ke wadah Andi Gentong,” Agus Lenong berkata memberitahu Surip.
Ya di Banjar Baru ada lahan bukan taman cukup luas, disebut komplek Pinus karena berisi pohon pinus yang menghutan. Menjadi semacam hutan kota di tengah kota Banjar Baru. Banyak komplek perumahan didirikan di lahan ini, salah satunya mungkin kantor konsultan kehutanan binaan Bapak Sasirang.
Bagaimana dengan Surip? Jika hari-hari kosong ia suka keluyuran, ini contohnya.
“Coba aku ke komplek Pinus, mumpung Agus Lenong sedang ke Silva Computer membantu bubuhannya,” Surip beranjak meninggalkan rumah.
Hari panas terik orang-orang di sekitar jalan Purnama jarang yang berani keluar saat-saat seperti ini. Penghuni jalan Purnam orang-orang elit pasti gengsi keluar tanpa mobil untuk aktifitasnya. Justru hari Minggu yang aneh, sebagian penghuni jalan ini berjalan kaki menuju ke tempat ibadah di berbagai gereja di Banjar Baru. Aktifitasnya itu seperti disengaja untuk menunjukan keberadaan umat kristiani.
Inilah Banjar Baru kota dengan warga sebagian besar perantau dari seluruh Kalsel, Kaltim, dan Kalteng. Kotanya menjadi multi etnis biarpun sama-sama orang Banjar, mereka tetap bukan asli Banjar Baru. Apalagi orang-orang dari Kalteng dan Kaltim, banyak diantaranya beragama Kristen. Suasana itu menjadikan Banjar Baru memiliki cukup banyak gereja, membedakannya dengan Martapura yang melarang tempat ibadah selain masjid.
Siang yang panas dengan mata silau terkena pantulan sinar matahari. Surip berjalan seorang diri, tujuannya menyusuri jalan Purnama dari sebuah gang ke kiri ditelusurinya, ia mendapati sebuah pintu kecil dan sebuah tembok memanjang.
Uh buat apa Surip masuk gang tersebut?
Nggak apa-apa itu masuk komplek Pastoran katolik yang sangat luas. Bangunannya permanen mungkin ada satu hektar menyaingi komplek UNLAM. Juga terawat dengan pekarangan luas berumput dan berpohon pinus rindang. Surip menghindari lewat jalan Purnama di depan Silva Computer. Dengan menyusuri gang kecil ini nanti ia akan keluar menuju jalan utama banjar Baru tanpa bertemu dengan orang-orang Silva Computer.
Sampai di dalam komplek yang sepi tersebut sudah terdapat jalan beraspal halaman pastoran. Surip melirik kanan, itu bangunan tempat ibadah dan mungkin rumah seorang pastor. Tapi tujuannya justru harus keluar dari komplek tersebut. Dengan menyusuri gang kecil ini nanti ia akan keluar menuju jalan utama Banjar Baru. Jika ke kanan masuk gereja alamat ditanyai macam-macam oleh penghuninya.
Beres sudah tinggal menyusuri jalan utama yang sesekali dilewati taksi angkutan kota dan colt L 300. Ada bus menuju Samarinda tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari, raja jalanan di daerah Kalsel masih didominasi colt L 300.
Surip belok kanan terus menuju jalan Panglima Batur. Tak ada penduduknya kecuali tanah-tanah kosong berpagar dengan ilalang mendominasi. Padahal tanah ini sudah milik PDAM Banjar Baru. Sampai juga di jalan lebar paling lebarnya di Banjar Baru, itulah jalan Panglima Batur. Sekarang Surip tinggal mencari jalan beraspal yang diperkirakannya menuju komplek Pinus. Surip harus mengira-ira soalnya belum semua tempat di Banjar Baru dijelajahinya.
Baru setelah tertera nama jalan Pinus dilangkahinya kaki menyusurinya, Jalan-jalan ini tak ada sama sekali trayek taksi angkot. Paling-paling mobil atau sepeda motor milik pribadi yang lewat, beberapa tempat usaha seperti warung dan toko penjual bahan bangunan tampak beraktifitas.
Sudah dua perempatan dilaluinya akhirnya jalan mengecil menuju tempat yang semakin sunyi, hanya ada beberapa bangunan rumah komplek perumahan yang semakin lama tertutupi rimbunnya pohon pinus. Inilah awal hutan kota dengan tegakan pinus seumur. Segera saja Surip merasakan dirinya dikerubuti penghuni hutan, nyamuk demikian banyaknya.
Tidak ada tempat duduk, taman yang dahulunya menjadi persinggahan sudah tidak terawat. Ada beberapa saung dengan atap sirap yang jebol. Di sanalah Surip mencoba duduk menghirup udara segar. Komplek Pinus ini mungkin luasnya lebih sepuluh hektar, dari kejauhan Surip melihat beberapa komplek perumahan yang menjadikan hutan pinus ini sebagai namanya. Mungkin di salah satu rumah itulah Andi Gentong bekerja di konsultan.
Surip lebih tertarik hutan pinus tersebut, itu berupa kanal selebar lima delapan meter memanjang dari DAS Riam Kanan menuju Cinde Alus. Itu saluran irigasi pertanian untuk daerah sekitar Banjar Baru, Martapura hingga pinggiran Banjarmasin. Tak ada kelotok di kanal tersebut, tujuannya bukan untuk alat transportasi. Tapi semua bangunannya adalah beton semen sebagai proyek mega raksasa. Di sebelah kanan itulah masuk Martapura, ibu kota kabupaten Banjar.
Tidak ada yang dikerjakan Surip di hutan pinus tersebut, sesekali sepeda motor lewat sengaja memperpendek jarak Martapura-Banjar Baru.
“Aku belum bekerja hobiku keluyuran malah menjadi-jadi jika seperti ini,” Surip nyengir dalam hati. Pikiran dan perasaannya selalu cemas jika sudah berurusan dengan hal yang satu ini. Seluruh hidupnya memang selalu tertumpah pada pekerjaan untuk bertahan hidup.
Celingak-celinguk ke samping kanan kiri, Surip mulai menggerakan tubuh.
“Apa daya hanya ajaran dari perguruan Al Jurus yang masih melekat dalam diriku, kemahiran lain tidak ada sama sekali.”
Akhirnya beberapa kali tubuhnya melakukan hafalan jurus. Sayang badannya sudah kecapean terlalu banyak jalan kaki tadi. Tubuhnya malah terasa sakit membuat gerakannya asal-asalan. Bengonglah Surip duduk-duduk kembali di komplek hutan pinus Banjar Baru. Terasa hidupnya jauh dari memiliki tujuan.
Apa yang sebenarnya kamu cari Rip?
“Masihkah Al Jurus relevan untukku, bukankah perguruan tersebut sudah bubar?” Surip bertanya sendiri dalam hati. “Tapi aku kan boleh menghidupkan bela diri Pencak Silat biarpun hanya bekas siswa dari perguruan tersebut.”
Benar bela diri Pencak Silat bukan cuma Al Jurus saja. Yang lain masih eksis, hanya saja sistem perguruan yang lebih bertumpu pada seorang guru memang sangat mengikat. Surip tak pernah bisa lepas begitu saja dari asal-usulnya berlatih Pencak Silat diawal-awal hidupnya.
“Tak perlu menghapus Al Jurus, tetap berlatih seperti biasa. Semoga aku menemukan pengetahuan lain menapakinya,” muncul tekad Surip untuk meneruskan program latihannya.
Hanya saja panggilan alamiah tubuhnya memaksa Surip berjalan keluar menuju jalan Panglima Batur. Rasanya di belakang museum komplek AURI terdapat warung wadai, sebuah warung dengan atap terpal persis di belakang museum.
“Minum apa Cil?” Penjual warung lelaki botak perut berlemak, usianya ditaksir empat puluh limaan. “Amang lihat ikam sering lewat sini Cil, begawai apa gerang?” Tanyanya ramah kepada Surip.
“Ulun belum begawai Mang, pernah ae jadi kuli bangunan di Simpang Empat tapi sekarang nganggur lagi,” Surip menjawab menerima gelas minum bikinan Amang penjual warung.
“Jaman sekarang ngalih Cil cari gawean, Amang ini alhamdulillah punya warung di belakang museum,” Amang penjual warung seperti bercerita. “Dulu jaman Amang masih anom begawai di perusahaan ganal gaji, tapi jadi lupa daratan. Amang bebini sampai tiga kali, he he he setelah berhenti begawai Amang tak mampu ngasih duit bebini anom. Sekarang kumpul saja dengan bini tua di kamar mess AURI,” ditunjuknya bangunan mess sebagai tempat kosnya.
“Berapa bayar kontrakan di mess AURI itu Mang?” Surip bertanya tertarik.
“Amang kontrak setahun cuma tiga ratus ribu Cil, tapi airnya payah sering macet. Air diambil dari sumber guntungan di bawah pohon beringin itu kemudian disedot dengan diesel. He he he orang yang mengurusi sering mogok,” Amang terus bercerita tanpa henti, mungkin sudah gayanya melayani pembeli.
Guntungan orang Banjar menyebutnya untuk sebuah mata air. Terlihat sebuah pohon beringin di pinggir jalan sempit membuat suasana lembab angker. Di bawahnya langsung berupa sumber air yang menjadi sungai kecil.
“Ujar orang di bawah akar beringin itu ada minyak bintang Cil, bila ikam pakai minyak bintang biar kena suduk lading kadak mempan,” ceritanya mulai mistik di daerah Banjar.
“Pian punya minyak bintang kadak Mang, bila punya ulun minta ae,” Surip mengikuti saja alur cerita Amang penjual warung. Dalam hati Surip berkata,”Ya seperti inilah profil orang Banjar, menjadikan warung wadai sebagai tempat berbagi kisah.”
“He he he kadak Cil, Amang lebih suka pakai minyak buluh perindu. Ikam lihat kadak di sebelah sana, itu asrama putri semuanya pasti mampir ke warung Amang. Biar dah banyak rejeki Amang,” katanya mengakhiri pertemuan dengan Surip yang membayar minum dan wadai yang dimakan.
Surip menyusuri jalan-jalan di sekitar sekolah menengah perawatan gigi. He he he Kalimantan terkenal dengan warganya yang banyak menderita keropos gigi. Mungkin karena kurang zat kapur, banyak loh di Kalimantan ini cewek-cewek cakep, dari penampilan tak kalah dengan orang Jakarta sana. Tapi kalau tertawa lebar mereka tak mau, soalnya penampilan giginya sering malu-maluin.
Tapi Surip segera saja sebal saat melewati rumah yang banyak memiliki angsa diumbar begitu saj. Gerombolan angsa-angsa itu menghalangi Surip tepat di tengah jalan dengan menyosorkan leher-lehernya yang panjang. Kalau cuma satu ekor Surip berani, tapi sekarang jumlahnya lebih dari dua puluh ekor.
Ngoakkk...ngaaakkk!! Angsa-angsa itu menyodorkan leher panjang siap mengerubuti Surip.
Surip hanya berhenti saja tak berkutik, ilmu Pencak Silatnya tak mampu dikembangkan. Bahkan karena dikerubuti malah timbul rasa takutnya. Sementara angsa-angsa itu seperti mengancam dengan jurusnya yang tidak bisa diikuti oleh Surip. Pendekar kita ini knock out hanya oleh beberapa ekor angsa di tengah jalan.
He he he Surip teringat dengan pertunjukan tari balet yang berjudul Swan Lake alias putri angsa. Tapi penari balet itu sangat feminim tidak seperti angsa peliharaan warga Banjar Baru ini.
Karena sudah diknock out oleh angsa-angsa tersebut, Surip menyingkir tak berani konfrontasi. Langkahnya surut ke belakang kembali ke museum menuju jalan utama Banjar Baru.
“Bah sialan aku kalah dalam pertarungan melawan angsa!” Batinnya sendiri dalam hati, sangat menggelikan.
Itu pengalaman unik Surip di Banjar Baru, beberapa hari kemudian saat lewat lagi di jalan tersebut. Angsa-angsa itu hanya berani berkoar di dalam pekarangan rumah. Mungkin penghuninya dikomplain orang-orang di sekitarnya yang merasa terganggu juga oleh ulah angsa-angsa peliharaannya yang demikian banyak.
Dan di sebuah rumah di jalan Purnama Surip melepaskan lelah dengan tidur nyenyak malam itu. Esoknya ia harus berburu pekerjaan untuk bertahan hidup. Alhamdulilah ternyata ada balasan surat dari si Mbok yang diantarkan oleh orang kantor Pos. Komunikasi antara dirinya dengan orang tuanya masih terjalin baik.
“Di Landasan Ulin ada pabrik baru Coca Cola, tempatnya persis di depan jalan utama km 27 berseberangan dengan badar udara,” nah ada informasi pekerjaan. Itu pabrik baru setahun berdiri, beberapa kali ada iklan lowongan pekerjaan. Surip mendapatkan dari Pak Sastro di Guntung Payung.
Segera saja Surip mencoba membuat surat lamaran kerja, “Jika ada lowongan biasanya tertera di depan pabrik tersebut,” Surip membatin.
“Menulis apa Rip, kelihatannya sibuk benar?” Agus Lenong bertanya sambil mencoba melihat apa yang dikerjakan Surip.
“Menulis lamaran Gus, coba-coba saja ke pabrik Coca Cola Landasan Ulin,” Surip menjawab tetap pada kesibukannya. Beberapa berkas foto copy ijazah, surat keterangan berkelakuan baik dll dimasukannya dalam sebuah map.
“Wah aku belum pernah melamar kerja Rip, ikam pernah begawai dimana saja?” Agus Lenong bertanya lagi.
Ini dia mulai Surip tahu sedikit tentang Agus Lenong. Biarpun pergaulannya luas tetapi untuk urusan berbagai adiministrasi dan birokrasi tak tahu apa-apa.
“Aku di Jawa pernah kerja di supermarket besar Gus, juga pertama kalinya di Banjarmasin begawai di PT Basirih, masa ikam belum pernah sama sekali melamar kerja?” Gantian Surip bertanya heran.
Sebaliknya Agus Lenong seperti tersentak teringat sesuatu,
“Temanku dari Batu Hapu banyak di PT Gunung Meranti, bisakah aku melamar kerja di sana Rip?” Agus Lenong seperti tersadar akan keadaan dirinya. “Bisa nggak aku melamar kerja di Gunung Meranti ya?” Agus Lenong berkata sendiri membuat kepastian.
“Lah aku yang baru merantau saja dulu langsung bisa masuk PT Basirih, kenapa ikam nggak bisa Gus, coba saja hubungi teman-teman sekampungmmu itu. Siapa tahu mereka bisa membantumu,” Surip berkata agak heran, berarti Agus Lenong ini selama hidupnya belum pernah melamar kerja secara resmi. Padahal beberapa kali orangnya mendampingi dosen keluar masuk pabrik plywood. Bukan itu saja juga masuk keluar hutan ikut survey kegiatan konsultan.
“Iya yah dari pada aku bekerja serabutan tentu lebih nyaman bekerja mendapat upah stabil,” sekali lagi Agus Lenong berkata seperti baru menyadari keadaan dirinya sendiri.
Sementara Surip setelah selesai menulis berkas lamaran kerja segera mandi dan bersiap-siap berangkat menuju tempat tujuannya.
“Aku umpat Rip, setelah melihat caramu kaena aku coba melamar kerja jua,” Agus Lenong ikut Surip pergi ke Landasan Ulin.
Sebuah taksi Angkot mengantarkan Surip dan Agus Lenong ke depan lokasi pabrik Coca Cola. Dibandingkan pabrik plywood yang bertebaran di Banjarmasin, pabrik Coca Cola ini tidak luas. Tetapi dari kebersihan sangat terjaga. Tentu saja ini pabrik produk minuman yang harus mengutamakan kebersihan produknya.
Jika plywood bertebaran sepanjang muara sungai Barito, maka berbagai industri kerajinan lampit berada di sepanjang jalan Banjarmasin-Banjar Baru. Kalau pabrik Coca Cola terhitung baru di Landasan Ulin, pabrik lainnya adalah pabrik gula di daerah Pleihari dengan perkebunan tebunya. Sayang produk gulanya sering dinomor duakan kualitasnya oleh warga Banjar.
Tak usah diceritakan soal Surip melamar kerja. Itulah caranya berjuang di perantauan. Tentu orang lain banyak yang juga mengalaminya. Surip ingat-ingat lupa, saat di sekolah pelajaran-pelajaran demikian njelimet membutuhkan pemikiran, ternyata saat lulus dan bekerja lapangan pekerjaannya hanya jual tenaga saja.
“Uh pekerjaan seperti anak SD pun bisa mengerjakan,” begitu seorang perempuan Dwi Sri Astuti berkata saat diterima bekerja di gudang Sri Ratu Purwokerto.
Dan selamanya pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya tak memerlukan pendidikan tinggi itulah sumber penghasilan Surip dimanapun berada. Sebenarnya pekerjaan-pekerjaan itu lebih banyak berinti pada kemampuan fisik saja.
Pabrik produk Coca Cola merupakan perusahaan baru, mungkin baru dua tahunan ini. Sebelumnya produk minuman apapun selalu didatangkan dari pulau Jawa. Sama juga dengan pabrik Indofood yang kemudian mengeluarkan mie rasa soto banjar untuk menyesuaikan dengan lidah orang Kalimantan.
“Begitu caranya melamar kerja Rip, kok mudah ya?” Agus Lenong seperti orang yang baru tersadar berkata. Mereka sudah keluar dari perusahaan Coca Cola yang berseberangan dengan Landasan Ulin. Makanya sesekali ada suara pesawat terbang take off mengudara.
“Kalau cuma memberi surat lamaran kerjanya mudah Gus, tapi kaena kan masih ada wawancara seleksi lain-lainnya masih banyak tahapannya,” Surip menjawab sambil melihat tempat sekelilingnya, penuh padang ilalang. Ada beberapa tanaman akasia dan jambu monyet tampak sulit berbuah. Di belakangnya ada warung makan kecil menyendiri menjadi sebuah komplek. “Gus kita minum di sana nah, aku haus benar,” Surip menunjuk komplek warung-warung tersebut mengajak Agus Lenong mendekatinya.
Agus Lenong senyum-senyum saja, pandangannya sesaat aneh melihat komplek warung-warung itu, tetapi dianggukannya kepala tanda setuju. Segera saja Surip masuk ke warung yang ternyata dimiliki seorang perempuan yang sebenarnya belum tua tapi sudah ompong peyot.
Tapi aduh mak!! Gayanya sangat genit, buah dadanya dibusung-busungkan menarik perhatian Surip. Juga suara tawanya mengikik mengundang syahwat. Bau parfumnya semerbak membuat hidung Surip tak perlu mengendus dalam-dalam untuk menebaknya. Tapi sudah terlanjur, sementara Agus yang tahu duluan komplek tersebut segera pasang aksi, kebetulan ia membawa kaca mata hitam, segera saja dipasang biar tampak keren.
“Kenapa ikam kadak memeberitahuku tadi Gus?” Surip menyenggol bahu Agus Lenong yang santai saja duduk di bangku dan mengambil wadai pisang goreng untuk dikunyahnya.
“Sekali-kali Rip lagi pula kita kan cuma menghilangkan dahaga saja di sini. Kalau ikam mau terus lanjut silahkan saja,” Agus Lenong seperti menantang Surip tapi berbisik-bisik.
Yah itulah tempat prostitusi terkenal di KalSel. Tempat ini merupakan langganan sopir truck berbagai jurusan. Paling banyak truck-truck pengangkut batu bara. Mereka menjadikannya sebagai tempat singgah untuk melepas penat sambil mengeluarkan hajat nafsu berahinya. Segera saja beberapa perempuan berseliweran melewati tempat duduk Surip dan Agus Lenong. Perempuan-perempuan itu seperti pamer untuk mendapatkan pemuas melayani.
Tapi itu siang hari penampilan perempuan-perempuan itu jadi asli. Terlihat genit tapi kuyu tanda selalu kecapean. Tentu saja kerjanya lebih sering di malam hari, mereka akan berdandan habis-habisan untuk begadang semalaman atau tidur di kamar seadanya melayani orang-orang yang membookingnya dengan imbalan uang.
Pal Km 27....itu nama kerennya, Surip sering jika ngobrol dengan orang-orang Silva Computer menjadikan lokasi ini sebagai bahan ejekan. Sekarang ternyata ia kena batunya, malah terperosok di sarang tempat orang-orang yang sering dijadikan obrolan untuk menuntaskan syahwat seks karena semuanya masih bujangan.
“Salurkan saja di Pal Km 27 hanyar puas!” Begitu sering Surip berkata bila ditanya kenapa belum menikah-menikah.
Ternyata Agus Lenong pun tak banyak berkutik di tempat ini. Sambil minum dan makan wadai sama-sama gelisah. Terasa kikuk karena pandangan perempuan-perempuan yang biarpun tidak berdandan tapi menggoda. Akhirnya cepat-cepat mereka berdua membayar makanan yang sudah mereka santap berdua. Baru setelah berada di luar Agus Lenong dan Surip tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua merasa benar-benar menjadi manusia bodoh karena ketahuan watak lugunya.
BAB 6
Persamaan Kunthouw dengan Pencak Silat
Beberapa kali Evi melihati Surip dengan pandangan aneh, ada senyum geli di bibirnya. Beberapa kali dalam sehari bertemu Evi berdecak kagum ck ck ck......
“Uh ada apa nih?” Surip yang blingsatan keheranan. Yang sulit bagi Surip itu Evi berada di gang sebelah. Surip tak pernah punya alasan untuk bertemu dengannya biarpun sudah saling mengenal. Setahu Surip Evi ini beberapa kali kencan dengan lelaki. Tampaknya belum ada yang permanen. Surip tidak merasa sebagai lelaki yang menjadi kandidat teman kencan Evi, levelnya ketinggian.
Padahal Evi yang Dayak Maanyan ini sama sekali jauh dari kata cantik. Tak usah diceritakan soal wajah dan bodinya, kelebihannyahanya super gaul, dengan siapapun bisa nyambung. Mungkin gara-gara super gaul itu lelaki yang mendekatinya sering jengkel, akibatnya banyak salah paham.
Tak tahulah tapi Surip merasa ada perhatian lebih Evi terhadapnya. Bukan urusan cinta lebih banyak ibanya. Dan hari itu Evi menahannya di depan Silva Computer.
“Hayo mampir sini, jangan sembunyi saja di rumah. Aku tahu saja ikam ini latihan kunthouw bila sendirian di rumah,” katanya dengan pandangan kagum terhadap Surip. Tangannya bergerak-gerak seperti meniru gerakan jurus walaupun sama sekali tak bertenaga.
“Ikam ngintip ya, awas kaena Vi!” Surip mendelik mendapati dirinya menjadi sorotan pihak Evi tentang kegiatannya.
“Besok main film saja Rip, bisa terkenal kaena,” Evi lagi-lagi nyeletuk.
“Vi jangan bikin aku malu nah. Aku cuma meniru di film saja kok,” Surip mencoba berkilah.
“Kadak apa Rip, teruskan saja. Aku tak mungkin bisa sepertimu kok,” Evi berkata dengan pengakuan jujur. Siapa sih yang bisa Pencak Silat diantara mereka di jalan Purnama sebagai tetangga, mungkin hanya Surip yang berlatih seorang diri.
Ah tadi apa kata Evi? Kunthouw. Ya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Pencak Silat sudah berkembang di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara dengan nama resmi Pencak Silat. Tetapi orang-orang lokal seperti warga Kalimantan ini lebih mengenal namanya sebagai kunthouw. Padahal kunthouw berbau mandarin, ini kata kuno untuk bela diri di daratan Cina. Ternyata kata tersebut diadopsi ke dalam bahasa lokal Kalimantan sebagai bela diri orang pribumi.
Tapi Surip hari iu jadi ledekan Evi setiap bertemu. Terkadang Evi menyebut guru kepada Surip dengan menggoda. Evi membanding-bandingkan Surip dengan aktor film kungfu China.
“Wah pasti Surip bisa salto seperti Jacky Chan, kebal gak dicubit ya,” katanya dengan langsung menyentuh paha Surip.
“Aduh sakit Vi, ketahuan pacarmu bisa cemburu tahu!” Surip meringis kesakitan, ia tak mengira Evi begitu beraninya menyentuh bagian pahanya yang saat itu hanya bercelana pendek.
“Pacar tuh yang di sana, di sinipun semua pacarku!” Evi berkata tak peduli bila orang lain mudah salah paham. Mungkin bagi Evi yang super gaul, tak ada bedanya pacar dengan teman, selisihnya nol koma saja.
“Ha ha ha kena ikam digoda Evi Rip, wani kadak ikam dengan Evi!” Yani tertawa memojokan Surip.
“Ngalih benar posisiku menghadapi Evi ini, jangan begitu Vi aku bisa salah tanggap,” Surip berkata memohon kepada Evi untuk mengontrol dirinya yang tiba-tiba berkeringat dingin.
“Hi hi hi,” Evi tertawa ngikik melihat Surip yang jadi canggung. “Ternyata Surip itu kalahnya dengan bebinian,” kelakarnya lagi.
Tapi Evi ini bebas saja dengan yang lainnya. Yani dan Irhamna pun bisa digoda habis-habisan. Boleh dikata berteman dengan Evi berpegangan tanganpun silahkan. Makanya bila bertemu dengan Evi di jalan orang-orang tak sungkan, ini berbeda dengan Iyut dan Lesli yang lebih menahan diri bila bergaul.
Inilah hidup Surip di Banjar Baru, pengangguran tetapi jadi cukup banyak teman. Surip merasakan sebenarnya watak aslinya introvert, bila terlalu banyak bergaul lebih banyak bingungnya. Wataknya yang introvert itu sering menjadikan dirinya membutuhkan waktu berdiam diri. Kebutuhannya untuk menyendiri ini yang sering jadi bahan olokan orang-orang Silva Computer maupun cewek-cewek kos di rumah sebelah.
“Awas Rip jangan sendirian terus di kamar, kesurupan kaena!” Yani sering memperingatkan Surip. “Sebenarnya apa sih senangnya menyendiri Rip?” Tanyanya lagi.
“Kadak da ae, senang ya senang memang sudah dari sononya seperti itu,” Surip sendiri tak perlu menjawab sebab musababnya.
Julukan pengkhayal disematkan untuk Surip. Teman-temannya akhirnya bisa memaklumi watak Surip tersebut.
Dan inilah dunia Surip saat menyendiri,
“Kenapa ada kunthouw dan Pencak Silat, dimana perbedaannya dan persamaannya?” Pertanyaan itu datang di benak Surip.
Lagi-lagi Surip menjawabnya sendiri dengan berlatih, “Tak ada kemajuan apa-apa setiap kali berlatih, semuanya hanya hafalan jurus.”
Perasaan bingung dengan dirinya sendiri terhadap apa yang dikerjakan membuat Surip bimbang, hendak terus atau berhenti.
“Jika saja aku bisa demo memperlihatkan latihanku tentu tidak kalah dengan aksi-aksi film kungfu,” terus Surip berkata dalam hati membanding-bandingkan dirinya dengan aksi laga film. Jika sudah demikian Surip merasakan hidupnya gagal total.
“Dari manakah asalnya jurus yang kulatih ini?” Tiba-tiba Surip tercekat, pertanyaan datang dari dirinya sendiri. Dan ia tak tahu jawabannya.
Surip berpikir setiap jenis bela diri memiliki jurus sebagai dasarnya. Biarpun misalnya ada perbedaan nama tapi maknanya tetap sama. Jurus selalu dilakukan seorang diri dan juga selalu dengan iamginasi bertarung menghadapi lawan.
“Jurus ini yang membedakan dengan seni tari, jurus Pencak Silat selalu berimaginasi menghadapi lawan, jadi selalu counter atack. Sedangkan tarian adalah gerakan tubuh simbol kehidupan sehari-hari untuk mencapai keindahan,” Surip tersenyum sendiri mendapatkan definisi yang tepat tentang jurus. Surip merasakan sulitnya merangkai kalimat definisi tersendiri jadi hanya langsung meraba dan membuat kalimat-kalimat yang terpecah.
“Kelebihannya seni tari bisa mengklaim Pencak Silat sebagai bagiannya sedangkan Pencak Silat mencoba melebarkan definisinya menjadi milik sendiri,” khayalan Surip melambung, entah benar atau tidak argumentasi yang diajukannya.
Tapi jika sedang berlatih di rumah sekarang Surip sering harus melihat keluar. Ia sekarang hati-hati terhadap orang-orang di sekitarnya. Berlatih jenis-jenis bela diri selalu akan mengundang perhatian orang lain. Selalu timbul rasa penasaran terhadap gerakan-gerakan yang sepintas seperti akrobat, dan yang paling sering membuat jengkel Surip selalu dibanding-bandingkan dengan ketrampilan pesenam yang sangat lentur.
Nah betul juga melintas Iyu dan Evi mungkin baru dari kampus. Cepat-cepat Surip menyelinap ke belakang dapur, tangannya bergerak menyentuh piring seolah-olah sedang dalam aktifitas memasak. Dan perempuan yang lewat di depan rumah itu hanya saling bisik kemudian tertawa geli tapi ditahan.
“Uh aku sulit berterus terang gara-gara berlatih seorang diri. Al Jurus membuatku menyembunyikan diri dari mata masyarakat,” membatin Surip lagi.
Tidak ada lagi perguruan Pencak Silat yang menampungnya, semuanya dilatih hanya karena untuk mengisi waktu luang menyesuaikan dengan wataknya yang pendiam dan sulit bergaul. Saat-saat berada di perguruan Surip merasakan masyarakat sekitar biarpun menonton tetapi selalu menganggap wajar apa yang dilakukan Surip. Hal yang berbeda dengan sekarang, di Banjar Baru mungkin banyak saja perguruan Pencak Silat tetapi latihannya massal, tidak seperti Surip yang sudah kehilangan induk perguruannya.
Satu sesi latihan selesai, Surip merebahkan tubuhnya di lampit lebar dengan sebuah radio yang memperdengarkan musik pop. Biarpun tinggal di rumah besar Surip tak pernah menempati kamar-kamar yang ada. Lebih sering Andi Gentong yang menempatinya, Surip lebih nyaman tidur berselimut sarung di ruang tengah yang luas di hamparan lampit rotan.
Dipandanginya langit-langit rumah, jika hujan sudah terdapat beberapa tempat yang bocor. Surip merasa bukan kewajibannya memperbaiki. Lagi pula atap rumah orang Kalimantan ini terdiri dari sirap, suatu teknik yang Surip belum pernah tahu. Di desanya Beji rumah Surip beratap genting dengan sebagian seng lebih mudah menangani karena tidak berpaku. Sirap terdiri dari lempengan tipis kayu ulin dan memasangnya harus dengan paku sirap yang kecil-kecil. Jadi setiap satu sirap membutuhkan satu paku kecil. Surip hanya tahu sepintas cara memasangnya setiap kali ada pembangunan rumah di Banjar Baru ini.
“Pencak Silat sudah menjadi nama resmi bela diri ini di Indonesia dan Asia Tenggara. Tapi di pedalaman Kalimantan ada kunthouw dan itu adalah asli milik suku-suku di pedalaman tanpa campur tangan budaya asing. Berarti inilah bela diri asli Indonesia,” Surip lagi-lagi membuat argumentasi. “Setiap suku memiliki adat dan pengaruh lingkungan sendiri menjadikan Pencak Silat di setiap daerah berbeda-beda,” terus Surip berpikir menguatkan pernyataan yang ada sebelumnya.
Lamunannya berhenti ketika Agus Lenong datang dari kampus UNLAM.
“Rip kaena aku bikinkan surat lamaran kerja, aku sudah menghubungi temanku yang orang Batu Hapu di Gunung Meranti. Aku berniat mulai mencoba bekerja untuk mendapatkan upah menetap,” Agus Lenong berkata sambil tangannya memperlihatkan ijazah SMP miliknya.
“Ah kalau surat lamaran ikam tinggal nyontek punyaku saja Gus, aturannya yang penting tulisan harus asli bikinan tanganmu sendiri. Soal lampiran ijazah cukup foto copynya saja,” Surip menjawab kemudian membuka dokumen-dokumen miliknya yang selalu dibawa merantau.
Agus Lenong menganggukan kepalanya, saat disodorkan sebuah berkas lamaran kerja Surip diperhatikannya.
“Ah pengalaman kerjamu sudah banyak Rip, biarpun aku luntang-lantung begawai tapi bukan pekerjaan resmi. Baru sekarang aku berniat mencari pekerjaan formal. Kita coba sama-sama ya Rip,” Agus Lenong biarpun di Kalimantan sudah malang melintang dari kota hingga hutannya ternyata baru seperti tersadar setelah bertemu dengan Surip.
“Ayolah biar pekerjaan jenis apapun tetap itu tujuan utama hidupku,” Surip berkata semangat. Kini ia merasa percaya diri.
Malam itu Agus Lenong sibuk benar mencoba menulis surat lamaran. Yang membuat Surip agak geli ternyata Agus Lenong kurang begitu paham bahasa Indonesia baku. Sering ia salah menafsirkan abjad. Vokal O menjadi U, jadi jika menulis BUAT bisa menjadi BOAT mengikuti logat Banjar, padahal terbaca BUAT. Ada lagi tulisan TERKEJUT, oleh orang Banjar bakalan terbaca TAKAJUT.
Konon beberapa mahasiswa di UNLAM bila membuat tugas kuliah memakai struktur bahasa Indonesia baku. Tapi begitu disuruh melakukan presentasi di depan dosen pembimbing mereka memakai bahasa Banjar totok. Jelas di forum resmi seperti itu sang mahasiswa diberi peringatan.
“Dasar manusia gado-gado ikam Gus, asli Batak lahir di lingkungan Jawa dan keluyuran di daerah Banjar. Entah bagaimana anak-anakmu kaena,” Surip berkomentar geli, terpaksa ia harus membimbing Agus Lenong supaya tidak keluar dari jalur.
“Ya itu pang ngalih ae jadi orang!” Agus Lenong cuma berkata bingung.
“Yang penting bikin surat lamaran kerja menjadi arsip dulu Gus. Hanyar sampai di alamat lokasi perusahaan tulis mendadak. Siapa tahu kaena ikam harus melamar di beberapa perusahaan,” Surip lagi-lagi memberi tahu caranya menyiasati lowongan pekerjaan.
“Kita ke Banjarmasin saja besok Rip, aku hendak menemui tetanggaku di Gunung Meranti,” Agus Lenong mengajak Surip untuk pergi ke Banjarmasin.
“Wah banyak duit ikamlah, boleh saja Gus,” Surip cuma tertawa mengingat keberadaannya di Banjar Baru ini yang awalnya juga merantau di Banjarmasin.
Rencana mereka pergi ke Banjarmasin kesampaian juga. Taksi L 300 mengantar Surip dan Agus Lenong di terminal pal km 14. Ini terminal segala jenis angkutan dengan trayek ke seluruh daerah Kalteng, Kalsel dan Kaltim. Dari pal km 14 mereka masih harus memakai taksi angkutan kota menuju terminal Pasar Hanyar. He he he kalau yang ini terminal induk untuk angkutan kota Banjarmasin. Nama-nama daerah sekitar juga lucu-lucu, Pasar hanyar kemudian ada bangunan komplek lain jadi Pasar Baru dll. Pokoknya embel-embel nama terakhir serba baru.
Dan terakhir dengan taksi angkutan kota mengantarkan Surip dan Agus Lenong sampai di Pelambuan.
“Kita langsung ke dermaga Polisi Lalu Lintas Air Rip. Di sana biasa karyawan-karyawan PT Gunung Meranti menunggu taksi tongkang yang akan mengantar menuju pabrik,” Agus Lenong memberitahu saat Surip sebenarnya telah melewati gang Hadiah bekas tempat tinggalnya bersama Mas Warso.
“Kita guring di wadah siapa kaena Gus, apa langsung bisa di mess Gunung Meranti wadah kenalan ikam?” Surip mulai bertanya-tanya tujuan Agus Lenong.
Surip tahu tempat yang kini diketahuinya sebagai Pos Jaga Polisi Air. He he he ini yang khas di Banjarmasin “Polisi Air” berarti ada pecahan kepolisian di wilayah Kalimantan ini. Surip beberapa kali lewat di depan dermaga berisi speed boat biru gelap pertanda milik militer. Biasanya Surip akan terus menyusuri jalan yang akan berhadapan dengan pabrik pengolahan karet yanga aromanya tajam menusuk hidung hingga gang Hadiah. Kemudian berakhir di pelabuhan mangkal bus-bus air trayek Palangka Raya, Buntok hingga sampai Kabupaten Murung Raya di hulu sungai Barito.
“Kalau aku bertemu dengan temanku kita bisa menginap di mess Rip.Tapi jika gagal guring saja di masjid terdekat,” Agus Lenong memberitahu Surip.
Apa boleh buat mereka bersabar menunggu jadwal tongkang milik PT Gunung Meranti menjemput karyawan. Seragam karyawan PT Gunung Meranti mudah dikenali, merah muda dengan celana coklat gelap. Berlainan sekali dengan perusahaan lain yang rata-rata berseragam biru gelap. Ceritanya dulu Surip diterima bekerja di PT Basirih langsung memakai seragam biru celana gelap. Masa training itu membuat teman-teman sesama training bertanya-tanya sebab sebagai karyawan baru jatah seragam belum dibagi. Teman-temannya menganggap Surip masuk PT Basirih karena ada orang dalam yang memasukan.
Berangkat pagi dari Banjar Baru, menunggu di dermaga Pos Polisi Air sudah menjelang jam tiga sore. Jadi hanya selang satu jam kemudian karyawan-karyawan plywood sudah berdatangan di Pos Jaga sungai Barito tersebut. Kalau melihat tanda larangan untuk pengunjung umum itu berarti PT Gunung Merantilah yang melobi kepolisian air Banjarmasin ini sebagai dermaga penjemput dan pengantar. Itu juga yang dulu membuat Surip tak pernah berani masuk areal bernuansa militer tersebut.
Berjubel orang-orang di dalam tongkang, kapal didesain untuk menampung penumpang menyeberang menuju muara sungai Barito. PT Gunung Meranti berada di garis muara paling depan sungai Barito. Udara laut terkadang terasa di muara sungai yang menampilkan eceng gondok bertebaran dimana-mana mengikuti pasang surutnya air laut. Konon pengaruh pasang surut air laut sampai di Buntok utara. Jadi daratan Kalimantan ini tingginya dari permukaan air laut hanya berkisar satu dua meter saja. Karena daratan, sungai dan laut rata, tak heran anak-anak sungai di daerah paling pedalamannya bisa dilayari. Semuanya menimbulkan budaya dari jaman purba hingga sekarang sebagai budaya sungai.
Berbagai kebudayaan tinggi sebagai mercu suar peradaban bertebaran di seluruh dunia selalu berkaitan dengan sungai. Mesir dengan sungai Nil, Mesopotamia dengan sungai Trigis dan Efrat, Huang Ho dan Yang Tze Kiang di China, Sungai Indus dan Gangga di India dll. Inilah wakil dari Indonesia, Melayu dan Dayak di Kalimantan serta Melayu di Sumatera.
Surip tahu dari beberapa buku karangan Muh. Yamin.
Kebudayaan Dongson menyebar dari dataran tinggi Yunan di Cina selatan melalui sungai Mekong yang bermuara di laut China Selatan. Dari sana suku-sukunya menyebar menuju Asia Tenggara menyeberang ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tapi saat itu daratan tersebut belum jadi lautan sehingga sungailah andalan berlayar. Jadi jika sekarang ada pertanyaan, mulai kapan ada perahu? Suku-suku Dayak, Melayu dan Bugis itulah pemulanya. Baru setelah es di kutub mencair, terpisahlah masing-masing suku berkebudayaan Dongson (merujuk nama tempat di Vietnam) menjadi suku-suku yang mendiami pulau-pulau di paparan Sunda.
Baru setelah tongkang merapat di dermaga PT Gunung Meranti Agus Lenong masuk langsung menuju mess bujangan PT Gunung Meranti, di sinilah Surip menginap barang dua hari mencoba pertaruhan Agus Lenong melamar pekerjaan.
PT Gunung Meranti, salah satu group perusahaan kayu di Banjar masin. Surip tidak tahu apa-apa kecuali lingkungan pabrik di areal tersebut. Seperti biasa halaman depannya adalah tempat merapat tongkang kayu log dan penampungannya. Setelah itu bangunan utama pabrik plywood yang memanjang dari mulai mesin rotary sampai hot press dan gudang. Itu sekali tidak menarik bagi Surip yang sudah pernah bekerja di PT Basirih. Lingkungan di luar pabrik itulah yang bisa diceritakan.
Areal sekeliling pabrik menjadi mess karyawan, dapur umum dan perumahan karyawan yang berumah tangga. Sebagian lahan kosong menjadi ladang sayur dilakukan oleh tenaga upahan atas perintah Big Bos. Lumayan bisa memenuhi kebutuhan gizi karyawan. Yang mengejutkan karena sudah terbentuk pemukiman karyawan jadi dibutuhkan sekolah taman kanak-kanak. Jadi karyawan-karyawan yang sudah berumah tangga dan lama diberi fasilitas tempat tinggal menjadi semacam RT dan warga kampung. Ada kampung kecil yang menampakan kampung Banjar tepat di sebelah dermaga perusahaan. Kampung-kampung inilah sebagai tetangga sekaligus pemasok ikan tangkapan dari sungai dan laut juga menjadikan jasa peneyeberangan dengan kelotok Banjar. Denyut ekonomi jadi terasa di sekitar wilayah pabrik walaupun jauh di muara sungai Barito yang sulit berhubungan dengan kota utamanya yaitu Banjarmasin.
Setelah menginap dua hari di mess PT Gunung Meranti Surip dan Agus Lenong kembali ke Banjar Baru. Harapan besar bisa bekerja membuat mereka berdua terus mencoba berbagai langkah karena menyadari tak mungkin bertahan hidup dengan bekerja serabutan seperti saat ini mereka jalani.
“Ah ini panggilan dari pabrik Coca Cola Gus, aduh sudah tertinggal dua hari. Rupanya aku terlambat mendatanginya,” Surip menjumput berkas surat panggilan dari pabrik Coca Cola yang tertera namanya. Sayang sudah terlambat beberapa hari, ini gara-gara Surip pergi dengan Agus Lenong ke Banjarmasin. Panggilan dari pabrik Coca Cola tergeletak begitu saja terselip di balik pintu rumah yang terkunci.
Hari itu Surip merasa kecolongan, lowongan pekerjaan di pabrik Coca Cola yang ditunggu-tunggunya hampir sepuluh harian ini sekarang datang tiba-tiba saat ia bepergian ke Banjar masin bersama Agus Lenong.
“Ikam coba saja datangi Rip, siapa tahu masih bisa ikam ambil,” Agus Lenong mencoba membuat usul.
“Ini yang naglih Gus, kalau orang kayak aku punya orang dalam di pabrik tersebut kawa ae, kesempatan ada hanya satu kali saja. Bila terlambat sudah dianggap gugur,” Surip berkata menggeleng-gelengkan kepala. Tenaga kerja begitu banyak orang lain pasti langsung mengisinya. “Lain kalau aku ini tenaga ahli sistem kontrak, itu sih mereka yang butuh Gus.”
“Terus kemana lagi ikam mencari gawean Rip. Kalau aku sudah begawai di Gunung Meranti gantian ikam yang kutarik bila ada lowongan di sana,” Agus Lenong seperti sudah optimis diterima di Gunung Meranti.
“Ah kalau memang sudah sulit di manapun biar ae, masuk hutan umpat survey perusahaan kayu,” Surip enak saja omong dari pada sudah knock out pengangguran.
Pembicaraan terhenti saat Andi Gentong datang membawa seorang cewek. Vespanya diparkir di teras rumah.
“Itu pacar Andi Gentong, mungkin beberapa minggu mendatang mereka menikah,” berbisik Agus Lenong memberitahu Surip.
Segera mereka menyambut kedatangan Andi Gentong yang tampaknya membawa beberapa perlengkapan aneh-aneh. Tampaknya semacam persiapan untuk resepsi.
“Gus terpaksa nah, aku minta rumah ini jadi tempat mangkal acara hantaran lamaran calonku ini,” langsung Andi Gentong menyampaikan maksudnya.
“Maksudmu rumah ini jadi tempat wakil ikam melamar cewekmu itu?” Agus Lenong bertanya menegaskan.
“Begitulah Gus, kaena banyak bebinian datang saat acara melamar, maaflah merepotkanmu kaena,” Andi Gentong berkata memohon. “Bubuhan ikam tahu beres sajalah, soal konsumsi dan tetek bengek tanggung jawabku.”
Nah kalau cuma jadi tempat mangkal tanpa resiko tak apalah. Agus Lenong yang merasa punya tanggung jawab terhadap rumah akhirnya bersedia. Surip sendiri ya apa adanya tentu mengikuti yang empunya kewajiban.
Lain Andi Gentong lain juga kehendak Iyut dan Lesli,
“Rip kaena kami kedatangan keluarga dari Palangka Raya, kawakah menitipkan sanak family di rumah ikam menginap barang beberapa hari?” Iyut mencoba kesediaan Surip dengan menceritakan kerepotannya karena kedatangan keluarga besarnya.
“Banyakkah anggota keluargamu itu, ada bebiniannya nggak?” Surip bertanya menegaskan.
“Ada ae memang satu keluarga kok,” menjelaskan Iyut.
“Wah ngalih Yut, di sini yang keluar masuk laki-laki semua, bisa jadi gunjingan tetangga sebelah,” cepat-cepat Surip Surip memberikan semacam resiko bila menampung sebuah anggota keluarga. “Tapi coba ikam bepandir langsung dengan Agus Lenong, kadak wani aku memutuskan sorangan.” Dalam hati Surip membatin, “ini dia problem punya rumah ganal tetapi penghuninya bujangan semua.”
“Kaena kuberitahu Agus Lenong, siapa tahu si Din membuat kebijaksanaan, sekarang orang tuh lagi di Batu Hapu.”
Inilah repotnya punya rumah, Surip juga mulai kerepotan saat ada tagihan liatrik. Ia pontang-panting karena sudah beberapa bulan ternyata belum bayar.
“Huh nyaman jadi anak kos!” Surip berkata sendiri.
Surip mulai memprioritaskan masalah,
“Bila aku begawai maka seluruh kegiatan mengikuti jenis pekerjaan,” berkata Surip kapada Agus Lenong. “Aku di sini hanya menumpang di rumahmu Gus, sayang sampai saat ini kita masih menganggur.”
Agus Lenong hanya menganggukan kepala, ia mulai tahu juga selama ini hidupnya hanya mengikuti arus. Kebetulan ia hidup diantara orang-orang masuk kategori elit dan intelektual. Agus orang biasa yang beruntung bisa masuk lingkungan elit petinggi perguruan tinggi UNLAM.
“Makanya Rip sekarang aku hendak memulai semuanya dari bawah. Kuikuti jejakmu nah,” Agus Lenong berkata dengan optimis. Itu salah satu sifat yang selalu tampak betapapun rendahnya derajat dirinya. Surip sering merasakan perbedaannya dengan Agus Lenong terletak pada prinsip hidup. Surip memandang sesuatu dari sudut resiko dan bayangan kegagalan hidup. Suatu hal yang tidak ada pada Agus Lenong, hidupnya terasa maju terus walaupun sebenarnya kenyataan jauh dari kemampuannya.
Sedangkan penumpang lain yang justru hidupnya enak adalah Andi Gentong. Ia seorang Mahasiswa tetapi nyambi kerja. Cuma ia sekarang terkena tuntutan dari pihak ceweknya, ia harus menikahi gadis yang sudah dua tahunan ini jadi kekasihnya. Surip jelas tak tahu menahu urusan Andi Gentong, segala sesuatu di rumah jalan Purnama hanya mendasarkan pada keputusan Agus Lenong.
Surip justru lebih dekat dengan orang-orang Silva Computer. Sebenarnya orang-orang seperti Yani dan Irhamna yang dulunya adalah mahasiswa fakultas Kehutanan UNLAM sedang berusaha mengelola rental komputer. Dan mereka menyatakan tidak mudah bertahan di bidang usaha tersebut.
“Ada kalanya rental sepi Rip, untungnya orang seperti kami masih di kampung sendiri. Pikir saja tidak mungkin kampung di Gambut bilang merantau di Banjar Baru,” Irhamna berkata tentang tempat tinggal orang tuanya di daerah atau jalan utama Banjarmasin-Banjar Baru.
“Aku di sini mencari gawean, entah kalian ada informasi kadakkah? Biar bagaimanapun aku hendak mencoba,” Surip sering bertanya kepada orang-orang Silva Computer, jarak antara Silva Computer dengan rumahnya hanya tiga puluh meter.
“Kaena Rip kami banyak saja alumni-alumni dari kehutanan di perusahaan HPH, bila sewaktu-waktu mampir ke Silva Computer kucoba ajukan ikam masuk perusahaan,” Irhamna memberi jalan.
Itu salah satu jalan Surip mencoba bekerja. Beberapa kantor sudah dimasukinya, terkadang Surip merasa malu juga ketika mencari informasi. Beberapa perlengkapan di tubuhnya seperti sepatu dan pakaian sudah rusak. Tentu keadaan seperti itu membuat dirinya sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang di dalam instansi yang dicobanya melamar kerja.
Lagi yang membuat ciut nyalinya, persediaan uang yang kian menipis. Hari-hari dilaluinya dengan perut keroncongan. Jika sudah seperti itu ia lebih sering bersembunyi dari teman-temannya. Sering Surip keluar sore hari saat matahari mulai tenggelam, keluyuran menjadi solusinya untuk mendapatkan segelas minuman dan wadai dengan bertamu ke beberapa tempat. Terkadang keluyuran di taman dekat kantor pembantu Gubernur. Bila bersua dengan orang lain akan diajaknya ngobrol. Nah karena ngobrol menjadi seru Surip sering ditraktir minum dan makan di warung wadai.
Itulah dunia Surip dan ia tak pernah berani bercerita tentang kesusahannya kepada orang lain.
“Terlanjur jauh aku dari si Mbok, lebih baik kutanggung semua resiko hidup di sini!” Tinggi hati wataknya tak mau dibelas kasihani oleh orang lain.
Siang itu begitu teriknya hawa udara Banjar Baru. Surip sering membandingkan dengan hawa udara di desanya di Jawa. Hampir seluruh Kalimantan ini sinar matahari terasa begitu menyengat. Tetapi Surip sering heran, kulit orang-orang Kalimantan di tempat begitu pansanya rata-rata tetap kuning langsat. Ini berbeda dengan orang Jawa yang berada di Kalimantan, begitu di Kalimantan Surip melihat rata-rata orang Jawa cenderung hitam gosong. Kalaupun ada misalnya gadis Jawa di Kalimantan berkulit putih, berarti cewek itu jarang keluar rumah.
Kalau panasnya begitu terik siapapun pasti malas keluar, Surip pun hari itu hanya berebah di lampit ruang tengah, tapi sayang keringatnya tetap membanjir. Rumah yang ditempatinya sebenarnya berdinding tinggi tetapi terjepit oleh tembok bangunan rumah di sebelahnya yang berupa tempat kos.
Ini yang sering menggelikan Surip, terkadang ada surat nyasar di rumahnya yang bernomor dua. Surat-surat itu kalau dilihat dari alamatnya memang ditujukan ke alamat rumah yang ditempatinya, tetapi ada tambahan nomor 2A. Karenanya sering Surip dan Agus Lenong bingung karena tiba-tiba ada surat dengan alamat rumah yang mereka tempati tapi tidak ditujukan kepada mereka.
Ternyata rumah bertembok berisi kamar-kamar kos itulah yang sebenarnya yang dituju. Hanya saja karena nomor rumahnya sama yaitu dua mungkin pengantar surat dari kantor Pos lebih nyaman menyelipkan di rumah Surip dan Agus Lenong ini. Terpaksalah Surip dan Agus Lenong menyampaikan ke rumah sebelah dengan mengantarnya. He he he itu tempat kos sangat mewah untuk laki-laki, rata-rata mahasiswa kaya yang berani kos di rumah tetangga Surip bernomor 2A tersebut.
Sedang enak-enaknya Surip berebah terdengar suara vespa milik Andi Gentong di luar, Surip merasa terganggu kemudian menengok ke ruang depan.
“Rip aku antar biniku cuci pakaian di sini saja ya, di rumah mertua ngalih, banyak orang!” Andi Gentong yang berlemak berkata membantu ceweknya membawa seabrek pakaian kotor.
“Uh kukira ada apa, silahkan saja nah. Air melimpah biar cucian satu truck pun masih muat di sini,” Surip tak terlalu peduli urusan Andi Gentong. Setelah bercakap-cakap sebentar Surip kembali berebah di ruang tengah.
Setelah itu hanya terdengar bunyi air dari kamar mandi. Paling kedua calon pengantin ini sedang mencuci bersama-sama. Tapi sebentar-sebentar Andi Gentong seperti mengintip Surip di ruang tengah. He he he Surip yang sebenarnya masih terjaga pura-pura tidur. Nah setelah merasa tak diintip Andi Gentong, gantian Surip yang mengendap-endap ke belakang hati-hati.
Wah benar-benar pemandangan yang mengasyikan, tetapi juga menyulut berahi Surip. Anak kecil di dalam celananya ikut berdiri menyaksikan pemadangan yang ada di depannya.
He he he Andi Gentong membelakangi dirinya yang mengintip cukup dekat. Pantatnya bergerak-gerak memasukan batang pelernya ke liang rahasia ceweknya. Nafasnya terdengar memburu, sementara ceweknya yang cukup cantik itu berdiri menerima dorongan peler Andi Gentong, matanya terpejam menikmati dan terkadang terdengar suara desah kenikmatannya.
Sepasang calon pengantin itu melakukannya berdiri, masih berpakaian. Terkadang Surip hanya melihat sepintas liang senggama perempuan melesak ke dalam tetapi sesaat menganga keluar mengikuti irama senjata Andi Gentong.
Tapi sayang pemandangan itu tidak terlalu lama, paling-paling sepuluh menit sesaat terdengar hentakan keras Andi Gentong mengeluarkan cairan putihnya. Setelah itu lemas tak berdaya, Surip cepat-cepat beringsut kembali ke ruang tengah berebah lagi.
Tak lama kemudian terdengar gebyuran air tanda dua insan lelaki dan perempuan tersebut mencuci pakaian sesuai tujuan ke rumah. Aman! Surip hanya bisa menelan ludah memandangi pinggul perempuan yang sudah menjadi tunangan Andi Gentong ini. Pandangannya lebih sering ditujukan ke selangkangan perempuan yang cukup matang membuat khayalan Surip terangsang.
BAB 7
Beberapa masalah di Banjar Baru
Sore hari Surip merasakan perutnya kelaparan sekali. Sebenarnya sudah semingguan ini makannya tidak teratur. Sehari paling-paling hanya terisi segelas air bergula dan beberapa wadai. Surip sering menyembunyikan keadaan dirinya yang kurang makan dengan menghindari teman-temannya.
“Benar-benar habis uangku sekarang. Entah bagaimana selanjutnya, aku coba ke pekarangan luas dekat Silva Computer. Lumayan ada daun singkong di sana,” Surip cepat bergerak, walaupun tubuhnya terasa lemah tak bertenaga, tapi dipaksakannya berjalan menuju Silva Computer.
“Loh kok sepi mana bubuhannya?” Surip bertanya saat mendapati hanya ada Irhamna yang sedang di belakang merebus mie instan. Segera air liur Surip berteriak minta dipenuhi.
“Bubuhan siapa, yang benar ikam Rip. Bepandir bahasa bubuhan kayak tahu orang Banjar. Kalau Yani yang ikam maksud hanya sorangan. Bubuhan itu untuk beberapa orang, ikam ini masih harus belajar banyak dari orang Banjar,” Irhamna berkata mentertawakan Surip yang sering jika bicara mencoba mengikuti dialek Banjar tetapi salah tempat.
Saat Irhamna menuangkan mie instan ke dalam mangkok untuk disantapnya Surip benar-benar menelan ludah.
“Ayo makan Rip, kalau hendak masak sendiri ae,” Irhamna menawarkan kepada Surip.
“Kadak aku ke sini sebenarnya hendak mengambil pucuk singkong di pekarangan sebelah. Aku sudah masak nasi di rumah,” Surip cepat menolak walaupun tak sesuai dengan keinginan perutnya yang harus diisi.
“Ambil sendiri gin, sekalian agak dibersihkan Rip. Itu ada melinjo lumayan jua jika hendak disayur,” Irhamna mempersilahkan sambil menunjuk pohon melinjo yang lumayan banyak tepat di depan Silva Computer. Orang Banjar jarang masak dengan daun atau buah melinjo. Kalau sayur asam mereka lebih tertuju pada asam daun kedondong atau belimbing wuluh.
“Terima kasih aku mintalah,” Surip segera mengambil daun singkong di sebelah tembok pagar. Pekarangan luas itu belum dibangun apa-apa. Berpagar kawat dengan beberapa tonjolan runcing. Surip melompati pagar tembok dan langsung menginjak singkong-singkong liar yang tumbuh, itu jenis singkong karet, hanya enak diambil pucuknya.
“Kemana Agus Lenong Rip?” Irhamna bertanya saat Surip sudah menggenggam beberapa pucuk daun singkong hasil panen tanaman liar.
“Orang tuh tulak ke Gunung Meranti, ke wadah temannya yang orang Batu hapu. Ujarnya hendak melamar gawean,” Surip memberitahu Irhamna sebelum kembali ke rumah.
“Wah aku jadi lupa Rip, kemarin dua orang temanku di Menara Hutan Buana datang ke sini. Bubuhannya bersepeda motor menembus jalan setapak dari Kintap menuju Banjar Baru. Jika ikam ada kucoba langsung bepandir dengannya. Sayang Rip aku benar-benar lupa,” Irhamna seperti baru sadar tentang keadaan Surip yang menganggur mencoba melamar kerja di Kalsel ini.
“Biar sajalah mungkin belum keberuntunganku. Lamaranku di PT Hutan Menara Buana kadak da panggilan, anggap saja kadak diterima,” Surip pasrah saja urusan lamaran kerja yang sudah beberapa bulan tanpa ada panggilan.
Namanya lamaran, bisa ditolak. Lamarannya diterima orangnya ditolak sama bila menghadapi perempuan. Surip pun kembali ke rumahnya langsung merebus daun singkong yang didapatnya di Silva Computer. Tak ada nasi, hanya itulah pengganjal perutnya hari itu di Banjar Baru. Terkadang saking putus asanya pucuk daun mangga pun diolahnya asal perut terisi. Dan pernah sekali ia menghisap pasta gigi untuk merasakan sedikit tepung campur fluoride.
Pipinya cekung badan kurus, celana pendek atau panjang terasa longgar. Dan Surip pasrah saat senjatanya yang biasanya tegang pada pagi hari sebagai lelaki normal sekarang menyusut tak mampu ereksi.
Bukan main! Inilah puncak dari kemampuan manusia dalam menghdapi kekurangan makan. Mungkin saat-saat seperti itu sebenarnya terjadi kanibalisme di dalam tubuhnya. Bisa-bisa terjadi pemecahan protein cadangan ototnya untuk diubah menjadi gula sebagai tenaga pergerakan.
Cuma aneh, dalam keadaan demikian Surip merasa tidak sakit. Semangat hidupnya terpacu untuk tetap bertahan. Betapapun lapar mendera, Surip sering keluar dan jalan-jalan di kota Banjar Baru. Tak ada tujuan, mengukur jalan dan terkadang menemukan sesuatu. Ya saat-saat seperti itu Surip takjub dengan ketahanan hidupnya. Seperti ada kekuatan yang menyangganya untuk bergerak secara naluri. Mengukur jalan dan ini anehnya beberapa kali menemukan uang logam atau lembaran seribu yang entah pasti milik seseorang yang kehilangan. Sekedar minum dan makan beberapa wadai di warung Banjar.
Agus Lenong sebenarnya memiliki persamaan nasib dengan Surip. Berada di rumah jalan Purnama bersama hidup sering kelaparan. Hanya saja Agus Lenong lebih banyak memiliki teman di Banjar Baaru dan terkadang jika sudah sangat memaksa segera pulang ke kampung halamannya di Batu Hapu.
Lumayan Agus Lenong jika baru dari kampung halamannya cukup banyak membawa makanan. Ada beras, beberapa umbi singkong dan pisang. Semuanya bisa untuk menyambung hidup. Terkadang pisang mentahpun oleh Surip disayur dalam campuran mie instan, he he he entah masakan apa namanya itu ya?
Seminggu dari kejadian Surip mengintip Andi Gentong. Datang sebuah mobil mengantarkan banyak sekali jenis-jenis bingkisan. Semuanya dimasukan dalam keranjang-keranjang parcel besar. Andi Gentong meminta tolong Surip ikut menurunkan barang dari mobil. Ini dia adat pernikahan ala Banjar.
“Maaf Rip merepotkan sebentar ya,” Andi Gentong berkata sebelum Surip mulai membongkar isi mobil.
“Seperti inikah adat pernikahan Banjar Tong?” Surip bertanya penuh keheranan. Begitu rumitnya seluk beluk adat nikah orang Banjar.
“Ini hantarannya saja Rip. Ikam lihat sendirilah setiap isi keranjang. Itu belum jujurannya (mahar) kemudian biaya resepsi pernikahan.Kalau sebelumnya syaratnya harus terpenuhi dulu yaitu berupa ranjang kasur dengan seisi kamarnya. Pokoknya tetek bengek hak bebinian lah,” Andi Gentong menerangkan sambil menurunkan keranjang-keranjang ke dalam ruangan tengah.
“Berapa jujuran yang ikam berikan kepada binimu itu Tong?” Surip bertanya jujur. Setiap seorang perempuan Banjar menikah akan diumumkan jumlah besar jujurannya.
“Ada ae ya menuruti permintaan biniku cukup satu juta rupiah Rip. Itu masih untung karena biniku termasuk orang biasa saja. Kalau orang sugih atau keturunan Gusti mana mungkin aku mampu memenuhi,” berkata Andi Gentong memberitahu. “Aku ini terus terang tak mampu memenuhi seluruh biaya yang ada Rip. Hanya saja mertuaku menutupi beberapa masalah dengan hitungan beberapa tahun mendatang,” ya itu semacam hutang pribadi antara Andi Gentong dengan calon mertuanya. Semuanya sudah terlanjur karena perempuannya sudah hamil sehingga pihak perempuan itulah yang menuntut segera menikah.
Surip pun tak lagi terlalu banyak bertanya. Di manapun urusan nikah selalu mengharu biru. Itu bukan urusan mudah walaupun di permukaan orang menunjukan muka penuh kebahagiaan. Andi Gentong dengan bininya ini tak terkecuali. Sebelum dilamar Andi Gentong beberapa lelaki sudah lebih dulu bersaing mendapatkan cintanya. Andi Gentong bahkan termasuk lelaki yang dicampakan cintanya begitu saja. Suatu ketika pacar perempuan yang sekarang menjadi bini Andi Gentong minggat tanpa kabar. Jadinya Andi Gentong yang tersingkir dilirik lagi, gantian Andi Gentong yang menuntut balik dengan penyerahan cinta.
Beres, perjuangan yang tak sia-sia.
Setelah selesai menurunkan barang ada Andi Gentong menyerahkan beberapa lembar ribuan untuk Surip, suka rela rupanya.
Setelah ditinggal Surip jadi penjaga keranjang-keranjang berisi barang hantaran yang semuanya berisi pernik-pernik pemenuhan kebutuhan perempuan. Ada perlangkapan rias, cermin, puluhan jenis kosmetik dll. Yang dilihat Surip itu ada keranjang tersendiri beris bonggol pisang mauli. Itu pasti simbol berkah rumah tangga yang diandaikan seperti pisang beranak pinak.
Selang sehari Surip yang sendirian di rumah hanya bisa bersembunyi karena pembawa barang hantaran itu semuanya perempuan. Jumlahnya ada dua puluh perempuan menyesuaikan dengan jumlah keranjang yang dibawa oleh masing-masing seorang.
Andi Gentong sendiri sudah berada di rumah mertuanya disambut sebagai raja sehari dengan dandanan pengantin Banjar. Tempatnya ternyata di mess AURI belakang museum. Selanjutnya Andi Gentong tinggal di rumah mertuanya ikut istrinya. Makin sepilah rumah di jalan Purnama tempat Surip menumpang hidup.
Puncaknya bulan puasa.
Hanya keluyuran saja kegiatan Surip. Tak berdaya menjadi pengangguran di sebuah kota bernama Banjar baru. Orang-orang sekitarnya hanya tahu Surip punya rumah mewah walau cuma numpang. Statusnya di mata tetangga kanan kirinya cukup tinggi karena jalan Purnama itu kawasan elit di keramaian Banjar Baru.
Melihat sekeliling rumahnya Surip merasa tidak istimewa. Dibandingkan dengan tempat kos putra di sebelahnya sangat mentereng. Di depannya adalah tetangga orang Jawa yang menikah dengan orang Banjar. Di tanah milik orang jawa itulah Silva Computer menyewa kios. Sedangkan di belakangnya adalah rumah mewah milik ketua RT, untuk lewat melalui gang di samping halaman rumah Surip. Jadi lalu lalangnya ketua RT yang asli Kandangan itu Surip tahu. Mobilnya ada dua dan terkadang dipakai putrinya yang sudah sekolah SMA.
Terkadang Surip bentrok mata dengan gadis SMA anak ketua RT itu. Wah biarpun sebenarnya bukan kelasnya, Surip tahu juga gadis SMA itu curi-curi perhatian. He he he itu gayanya perawan yang mulai tahu lawan jenis. Tapi tentu gadis SMA seperti itu tak akan berani lebih jauh melangkah. Berbeda dengan mahasiswi seperti Evi, Iyut, dan Lesli. Mereka merantau, kuliah dan bergaul bebas. Tentu karena pengawasan dari orang tua sudah jauh. Padahal jika berada di rumah kampung halamannya cewek-cewek itu jadi gadis penurut dan alim.
Kali ini Surip sibuk sendirian, halaman rumahnya penuh tanaman liar. Sebenarnya itu jenis tanaman hias berbagai warna. Tapi sayang tak terawat, lainnya didominasi rumput jepang dan pohon mangga yang belum pernah berbuah.
Kesibukannya itu rupanya menarik perhatian tetangga sekitarnya. Seorang ibu muda yang cantik karena terawat kulitnya memandanginya dari jauh. Itu istri seorang Sunda yang memiliki rumah paling mewah di jalan Purnama. Akhirnya ibu muda beragaun mewah itu menghampiri Surip.
“Rajin sekali ikam membersihkan rumah. Boleh aku minta sedikit tanaman hias itu?” Ditunjuknya jenis perdu berdaun warna-warni yang sedang diatur Surip.
“Silahkan Bu ambil saja. Tanaman ini mudah saja ditanamnya. Tinggal ditancapkan di tanah cepat tumbuh,” Surip agak tertegun didekati ibu muda yang jelas sangat elegan penampilannya. Tangannya bergerak memotong batang tanaman hias sesuai permintaannya.
“Bisa juga di tanam dalam pot, tapi akan lebih bagus bila berada dalam naungan rumah,” coba Surip menerangkan.
Baru kali ini Surip tahu jelas penghuni rumah mewah di seberang jalan. Biasanya perempuan ini keluar masuk selalu mengendarai mobil sedan mewah. Pintu gerbangnya memang tepat menghadap halaman rumah yang ditempati Surip sehingga sering berpapasan jika keluar dari garasi mobil.
“Ibu ini tinggal bersama siapa? Kelihatannya rumah selalu sepi,” Surip berbasa-basi bertanya.
“Ya memang sorangan kok, suami saya jarang bulik. Lebih sering di Jakarta,” menjawab ibu muda tersebut, kelihatan paling-paling umurnya baru tigapuluhan tahun. Setahu Surip belum punya anak, rumah tersebut terkadang ramai karena banyaknya pengunjung yang terlihat masih bersanak famili.
“Aku sering melihat ikam bergabung dengan ibu-ibu di sini belanja sayur, wah sangat menyenangkan ya?” Kata-katanya itu terdengar seperti iri.
Memang setiap pagi jam delapan, ada tukang penjual sayur keliling bersepeda mangkal tepat di samping pintu gerbang rumah ibu muda tersebut. Penjual sayur keliling tersebut sering menjadi jujugan ibu-ibu rumah tangga di kanan kiri rumah Surip. Surip menjadi satu-satunya bujangan yang sering ikut belanja.
“Ah saya belanja paling-paling cuma tahu tempe Bu, kadak seperti bubuhannya yang sering nukar iwak mahal-mahal,” Surip sekarang tahu juga, tentu dari balik kaca perempuan ini bisa melihat kegiatannya sehari-hari.
“Itu yang bikin aku iri Mas, aku jarang bisa keluar seperti ikam. Ada pembantu yang setiap hari belanja sayur di pasar. Paling-paling kalau ada acara di sekitar sini hanyar aku umpat,” tak terasa Surip ngobrol berdua dengan ibu muda yang notabene kaum gedongan itu.
He he he Surip jadi paling menonjol dalam bertetangga dibandingkan dengan Agus Lenong. Tapi Agus Lenong selalu mengunggulinya jika berkaitan dengan pergaulan di lingkungan kampus, terutama fakultas Kehutanan. Di sana Agus lenong menempatkan dirinya sebagai anak buah orang-orang penting yang coba memakai tenaganya untuk melayani. Gengsinya ikut terangkat karena selalu berada dalam acara-acara sekaliber dosen atau Guru besar.
Setelah cukup lama ngobrol barulah ibu muda tetangga Surip itu mohon diri kembali ke rumahnya. Ya itu istana milik orang-orang kaya yang lebih sering menyembunyikan diri. Surip terus menyelesaikan kegiatannya. Saat Evi dan Iyut lewatpun mereka banyak komentar terhadap kegiatannya. Entah apa menariknya Surip bagi mereka. Yang jelas cewek-cewek tetangga itu tak sungkan ngobrol dengannya.
Barulah setelah hari menjelang maghrib, Surip keluar rumah menuju masjid di sekitar Simpang Empat. Di sana ia berbuka bersama-sama mengurangi biaya hidupnya yang melarat. Ia selalu berpindah-pindah masjid, terkadang di Simpang Empat, terkadang menuju masjid di Sei Paring mendekati Martapura atau keluyuran di masjid komplek UNLAM. Pokoknya mengisi perut dengan berbuka, walaupun Surip tahu juga di Banjar Baru ada acara pasar wadai yang menyediakan segala penganan berbuka puasa.
Selama bulan puasa gizi Surip cukup terpenuhi. Apa lagi saat lebaran, pergi ke beberapa keluarga seperti Pak Sastro di Guntung Payung atau ke rumah mertua Andi Gentong di mess AURI benar-benar perutnya kekenyangan.
Kalau sahur seadanya mie instan rebus atau bahkan hanya minum air bergula. Yang penting sahur terlaksana, siang harinya masih dicobanya jadi makelaran di pintu gerbang kampus UNLAM. Surip merasakan hidupnya lebih tertuju pada bertahan hidup untuk mengisi perut. Hasrat-hasrat lain seperti menyingkir kalah oleh teriakan peringatan alamiah dari usus-ususnya.
Hari-hari dilaluinya dengan keterpurukan. Surip merasa itu bukan bagian dari kesabaran. Bertahan hidup kok termasuk sabar?
Kalau menyiksa diri?
Terkadang Surip berpikir seperti itu.
Untuk apa menyiksa diri seperti itu?
Agama?
Nggaklah Surip belum taat beragama, mungkin paling tepat yang dilakukan Surip adalah ajang berlatih. Tujuannya?
Masih dicari, Surip belum menemukannya. Itu masalah yang didapatnya mungkin juga untuk seumur hidupnya. Sengaja atau tidak sengaja yang dilalui dan didapati Surip itu jenis latihan. Hasilnya justru sering di luar dugaan. Sering antara kenyataan dan latihan tidak sinkron.
Di luar saat bergaul dengan orang lain Surip hidup sewajarnya. Ia sering berbohong dengan keadaan dirinya yang sering menyiksa badannya sedemikian rupa. Surip tahu bila ia berteriak lapar, maka pandangan iba akan tertuju kepadanya.
Suriplah yang menghindari pergaulan rapat dengan orang lain. Sifat yang terlihat oleh orang lain, ia introvert alias kurang pergaulan. Salah satu latihan yang hingga kini masih melekat adalah latihan jurus dari eks perguruan Al Jurus.
Pukul! Tendang! Pelintir! Beset!
Itulah teman Surip saat kesepian, eh menyepi.....
Yani memandangi Surip yang saat itu berkunjung di Silva Computer.
“Rip aku ada temanku yang menjadi Manager di Tanjung Raya. Saat ini orangnya ada di Banjar Baru, wani kadak ikam begawai survey di hutan?”
Tiba-tiba seperti diingatkan tentang sesuatu yang harus diraih dalam hidup, ada kesempatan tak terduga.
“Aku begawai dimanapun kadak masalah, di sinipun sebenarnya aku cuma numpang hidup. Benarkah aku bisa begawai di perusahaan?” Surip berkata sangsi, setiap kali ada suatu tawaraan pekerjaan semuanya seolah-olah melihat dirinya sebagai orang yang tak berminat.
“Aku ragu ikam kerasan di hutan Rip. Banyak orang dikirim ke camp tetapi hanya bertahan sebulan dua bulan setelah itu kembali ke kota,”Yani mencoba menjelaskan beberapa hal yang juga sering menjadi kenyataan.
“Sudahlah mungkin itu tantangan buatku kaena untuk bisa bertahan hidup di hutan,” Surip berkata menyatakan posisinya sebagai seorang yang sedang mencoba berbagai bidang.
“Baiklah kalau begitu, kaena aku menghdap Pak Zulkifli di dekat rumah sakit Banjar Baru, mungkin beliau memerlukan tenaga atau kadak. Kaena kuberi kabar secepatnya Rip,” Yani seperti mendapat momentum.
Yani dan Irhamna bahkan Andi Gentong serta Agus Lenong boleh dikata orang-orang yang selalu berhubungan dengan hutan. Hari-hari mereka setiap hari berkutat dengan ilmu-ilmu kehutanan. Biarpun juga mereka menyadari setiap kali mencari pekerjaan belum tentu bakalan terjun di hutan.
Di fakultas kehutanan UNLAM jelas sudah terbentuk jaringan alumni Fakultas Kehutanan. Setiap tahun terdapat lulusan jurusan ini yang langsung mendapat pekerjaan di berbagai perusahaan BUMN dan Dinas Kehutanan di seluruh Indonesia. Sebagian kecil bahkan berhasil menembus Manggala Wana Bakti di Jakarta.
Beberapa dosen yang terkadang ditemui Surip saat di Silva Computer ternyata memiliki jabatan setingkat provinsi. Ada pemangku Hutan Pendidikan Mandi Angin, seorang tokoh yang dihormati seluruh bekas mahasiswanya karena sangat berpengaruh dan sering menjadi rujukan bila hendak masuk areal hutan di seluruh Kalsel dan Kalteng. Jadi orang tersebut dianggap mampu menjalin komunikasi secara kasat mata maupun yang tidak kasat mata di wilayah hutan-hutan Kalimantan.
Ini memang mistik di Kalimantan. Dari kaca mata ilmiah hutan sudah menjadi journal ilmiah yang bisa dikaji sampai tingkat rasional apapun. Nah dibaliknya hutan menyimpan misteri. Misteri yang tidak berkonsep ilmiah ada di setiap suku-suku bermukim di areal hutan. Tidak semua dosen memiliki kemampuan menganalisa misteri yang lebih tepat menjadi mistik. Jika ada seorang dosen mampu mencapainya ia akan dianggap orang pintar.
Sebagian alumni-alumni UNLAM mendominasi di setiap HPH di wilayah Kalsel dan Kalteng. Ini merupakan keuntungan tersendiri bagi UNLAM. Kalteng baru memiliki sebuah Universitas yang jelas belum mampu mengurusi dirinya sendiri. Celah-celah yang ada di wilayah Kalteng dimasuki alumni UNLAM dengan leluasa. Ini berbeda dengan Kaltim yang sudah mapan bidang kehutanannya di bawah bendera UNMUL (Universitas Mulawarman).
Selang sehari Irhamna memberitahu Surip,
“Beres Rip, Pak Zulkifli membutuhkan dua orang untuk masuk tenaga survey di Tanjung Raya camp Kuala Kurun. Kami mendapatkan kepastian ikam diterima dan langsung disuruh berangkat ke camp PT JAP,” Irhamna berkata optimis berarti tidak sia-sia melobi seorang Bos perusahaan.
“Jadi aku disuruh langsung berangkat sekarang?” Surip berkata antara percaya atau tidak. “Di mana itu Kuala Kurun?” Tanyanya langsung dengan bingung.
“Ha ha ha wah iya aku lupa ikam belum sampai bejalanan ke Kalteng, kaena kuberi tahu caranya,” Irhamna menyadari Surip ini buta tentang daerah-daerah hutan di Kalimantan. “Soal berangkat secepatnya saja Rip, menuju Kuala Kurun lebih mudah dari pada perjalanan di Kalsel ini.”
Sibuklah Irhamna dan Yani menjelaskan perjalanan yang harus ditempuh Surip nantinya.
“Kalau Banjarmasin ikam pasti hafal Rip, kaena ikam mencari angkutan speed boat di Pelambuan. Cari speed boat jurusan Palangka Raya. Paling ikam masih asing di Palangka Raya, nah ini kuberi ancar-ancar mencari speed menuju Kuala Kurun.”
Terus Irhamna memberi keterangan tempat-tempat yang akan dilalui Surip hingga sampai camp Tanjung Raya. Melihat sepintas rute yang harus dijalani Surip tahu tidak rumit. Hanya saja semuanya masih asing. Naik speed boat dalam jarak jauh itulah perjalanan yang belum pernah Surip rasakan.
“Ini biaya perjalanan Rip, ikam kaena bikin rekapitulasi biaya perjalanan. Jadi ada pertanggung jawaban penggunaan uang saat di perjalanan,” Irhamna memberi semacam konsep yang harus diisi sebagai penggunaan uang. Tentunya itu harus dipertanggungjawabkan karena uang itu nanti dicairkan di perusahaan.
“Kami percaya akan kejujuranmu Rip, selama berada di Banjar Baru ikam benar-benar terlihat sungguh-sungguh mencari gawean. Lebih baik ikam dari pada Agus Lenong yang terkadang bermain di belakang layar tanpa sepengetahuan kami,” Yani berkata ditujukan kepada Surip.
Ya selama ini Surip bergaul dengan orang-orang Silva Computer. Biarpun tidak terlibat langsung tetapi sering juga ikut menjaga bila orang-orangnya ada keperluan di luar. Tak ada keinginan Surip kecuali ikut menghormati orang tetangganya ini. Agak berbeda dengan Agus Lenong, orangnya aktif bahkan sering ikut terlibat dalam segala hal di manapun berada. Tapi itu adalah topeng baginya untuk tetap mendapatkan keuntungan dari orang-orang yang dilayaninya.
Kalau Agus Lenong terhadap Surip?
Ini yang mengejutkan, Agus Lenong terpengaruh dengan cara-cara Surip menghadapi kenyataan hidup. Berbagai cara yang dilakukan Surip seperti melamar kerja, menghadapi tetangga yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga jauh dari perkiraan Agus Lenong. Yang dicarinya adalah dunia yang gemerlap dan ikut terjun di dalamnya walaupun sebenarnya taak sesuai dengan kemampuannya.
“Kaena aku titip kunci rumah ya, Agus Lenong sedang berada di Gunung Meranti. Kemungkinan besar dalam minggu-minggu ini orangnya sudah mulai begawai di sana,” Surip cepat memberitahu kabar terakhir yang didapatnya dari Agus Lenong.
Bagaimana urusan rumah di jalan Purnama?
Ah Surip pernah dibuat repot mengurusinya. Untuk listrik Surip pernah sampai harus membayar berlipat-lipat karena beberapa bulan ternyata rekening listrik itu tidak terbayar. Jadi bayar rekening sesuai tagihan kemudian ditambah denda perbulan ditambah lagi teguran dari PLN. Pokoknya nggak enak punya rumah walaupun itu hanya numpang tidur saja.
Kalau tagihan air minum?
He he he itu jam penunjuk meteran air ternyata sudah dari sananya berada di angka nol terus. Entah itu kerjaan siapa Surip dan Agus Lenong tak tahu. Pokoknya penghuni rumah hanya tahu pakai air bersih sepuas-puasnya tanpa pernah membayar sepeserpun. Setiap bulan petugasnya menengok tanpa pernah memberi teguran apapun, beres!
Tepat keesokan harinya Surip mulai berangkat menuju daerah petualangannya. Diantar Irhamna dan Yani di depan kios rental Silva Computer. Boleh dikata walaupun alumni fakultas kehutanan Irhamna dan Yani justru tidak pernah ambil resiko bekerja di hutan.
Dan ternyata ada pengantar lain yang hadir, Evi mahasiswi yang kos di sebelah rumah Surip ikut mengantar.
“Apa nih kenang-kenangan terakhir perjumpaan kita Vi?” Surip bertanya dengan muka binal.
“Hah apa, memangnya mau ikam apa gerang?” Evi tertegun tak menduga Surip agak nakal kali ini.
Surip tak berkata apa-apa cuma mengusap-usap pipinya minta sesuatu. Segera Evi tahu dikadali Surip. Tangannya langsung bergerak menampar pipi Surip biarpun tidak keras.
“Terima kasih Vi sampai jumpa di lain hari,” Surip tidak tersinggung ditampar seperti itu kemudian melambaikan tangannya pada orang-orang yang telah berbuat baik kepadanya selama di Banjar Baru.
Akhirnya meluncurlah Surip menuju sebuah negeri bernama Gunung Mas. Sebuah negeri terpencil dari DAS hulu Kahayan. Di sana yang ada adalah dataran rendah, perbukitan dan anak-anak sungai dengan budayanya berupa kampung-kampung di tepi sungai. Di belakang kampung-kampung tersebut hutan belantara yang ternyata sudah dijarah kaum kapitalis.
PT Johanes Arnord Pissy dari group Tanjung Raya.
Sukses?
Oh itu sangat relatif, setahun bekerja di Kuala Kurun Surip sempat berlebaran di Banjarmasin. Yang ditemui pertama kalinya adalah Agus Lenong yang saat itu bekerja di PT Gunung Meranti Plywood.
“Uiih ngalih benar menemui ikam di perusahaan Gus, aku sampai harus menunggu di depan dermaga dari pagi sampai menjelang maghrib,” Surip berkata setelah dijemput Agus Lenong di dermaga perusahaan saat pergantian shift.
“Aku begawai Rip, kebetulan kena shift siang hari jadi tak mungkin keluar dari lokasi pabrik,” Agus Lenong berkata, ah ia berkata dengan mata terpana melihat Surip. Ada sesuatu di mata Agus Lenong yang Surip tahu maksudnya.
“Aku tidak betah begawai di sini Rip, kurang bebas!” Itu rupanya yang menjadi semacam keterpaksaan menjalani hidup. “Aku umpat ikam saja di camp, aku dengar banyak bekas mahasiswa UNLAM di sana,” mulai tahu Surip arah larinya Agus Lenong.
Di Gunung Meranti biarpun bekerja terjamin makan minumnya, tentu terasa kurang bagi Agus Lenong yang terbiasa bergaul dengan kalangan elit. Tak akan dijumpainya seorang dosen atau guru besar yang bisa menjadi penopang gengsinya. Di plywood orang-orang elit seperti itu adalah sangat jauh. Hari-hari di plywood hanya akan bertemu dengan kepala kerja atau kabag departemen tertentu yang hanya memberi instruksi dan target hasil produksi.
Pabrik dunia yang keras, hanya mementingkan jumlah produksi dan pendapatan. Tekanan dari atasan sangat terasa berat. Hal-hal seperti itu membuat Agus Lenong merasa bukan dunianya. Tapi apakah Agus Lenong juga berhak dengan pergaulan-pergaulan elit di UNLAM selama ini?
Rasanya jenjang seperti itu juga terlalu tinggi baginya. Surip pun tak pernah menjadikan apa-apa yang pernah dijalaninya di jalan Purnama dan UNLAM sebagai target kemapanan hidup, sungguh salah besar!
Surip tidak terlalu menanggapi keluhan Agus Lenong. Rupanya bagi Agus Lenong apa-apa yang dilakukan Surip sekarang terlihat sebagai kesuksesannya berkarier. Apa-apa yang ada pada Surip dianggap enak tanpa bertanya bagaimana keadaannya di perusahaan kayu.
Apa lagi saat malam harinya Surip menginap di mess Gunung Meranti. Jangankan Agus Lenong, teman-temannya di kamar sebelah sampai terbelak kagum dengan penampilannya. Surip memperlihatkan kalung dari taring macan dahan yang dibalut emas 24 karat.
Ada teman Agus Lenong yang sempat berbicara dengannya,
“Rip aku pinjam uang barang tiga ratus ribu. Aku butuh mendesak sekali, besok sore sudah kukembalikan,” katanya dengan memohon seolah dalam situasi darurat.
“Ada ae hendak ikam ambil sekarangkah?” Surip berkata tanpa curiga.
“Ya segera Rip, tapi kaenalah aku bepandir dulu dengan seorang di warung. Sebenarnya yang empunya warung calon mertuaku. Itu yang butuh untuk modal,” teman Agus Lenong berkata cepat berlalu. Setahu Surip itu adalah teman Agus Lenong yang diandalkan untuk menampung hidup saat-saat melamar kerja di Gunung Meranti. Surip dulu sempat makan minum gratis ditanggung orang tersebut.
Orang yang hendak meminjam uang terhadap Surip ternyata tidak muncul-muncul bahkan sampai Surip meninggalkan mess Gunung Meranti. Surip telah dikibuli untuk menguji keberadaannya menemui Agus Lenong. Tentu orang tersebut beranggapan Surip datang ke Gunung Meranti hendak minta ikut dicarikan pekerjaan dan tumpangan hidup sementara. Suatu perkiraan yang salah besar, karenanya kemudian Surip dipancing hingga tahu keadaan Surip yang sebenarnya. Ternyata Surip telah jauh melampaui dirinya yang hidup menggantungkan diri dari upah di perusahaan Gunung Meranti.
Ada-ada saja.
Tak mungkin Surip berlama-lama di mess Gunung Meranti. Lebaran kali ini dilanjutkannya ke tempat Pak Sastro di Guntung Payung. Di sanalah Surip sementara ini menjadikannya sebagai base camp.
Kalau untuk rumah di jalan Purnama?
Oh rumah tersebut sesuai rencana seorang dosen UNLAM sekarang menjadi kantor konsultan kehutanan. Tak mungkin lagi Surip menginjakan kakinya di rumah mewah yang sepertinya pernah menjadi hak miliknya tersebut. He he he itu salah satu kenang-kenangan manis Surip hidup di Banjar Baru. Karena pernah cukup lama tinggal di Banjar Baru, sekarang saat Surip berada di perusahaan Tanjung Raya orang-orang menganggapnya sebagai asli Banjar Baru. Jadi sudah dianggap orang lokal Kalimantan.
Ini adalah perjumpaan Surip terakhir dengan Agus Lenong dan orang-orang yang dikenalnya di Banjar Baru. Setelah itu Surip tak tahu lagi keadaan Agus Lenong. Terdengar kabar Agus Lenong berhenti dari PT Gunung Meranti kemudian melanjutkan pengembaraannya menuju Samarinda di tempat keluarganya. Entah apa lagi yang dicari Agus Lenong di tempat tersebut. Hidupnya harus menyesuaikan dengan kenyataan tak seindah mimpi-mimpinya.
Sedangkan Silva Computer?
Orang-orang seperti Irhamna ataupun Yani harus menyesuaikan dirinya dalam persaingan usaha. Rental Silva Computer bubar karena kehabisan modal. Sekarang orang-orangnya mencoba mencari pekerjaan yang lebih sesuai. Ada yang menjadi pegawai negeri sipil dan guru di sekolah menengah di sekitar wilayah kabupaten Banjar.
BAB 8
Penyesuaian Diri di Perusahaan
Tujuh orang dengan memegang parang bergerak maju menebas. Seseorang memberi perintah tak henti-hentinya. Parang-parang berkelebatan merobohkan tegakan dan semak belukar yang berada di hadapan mereka mengikuti satu arah utara selatan.
“Hei jangan ke sini, kenapa kamu malah menebas mendekatiku!” Mandor yang seorang lelaki bertubuh gempal berteriak kepada Surip karena melenceng arah tebasannya.
Surip merasa bingung dengan perintah-perintah mandor ini. Menurutnya ia harus menebas semak belukar dan beberapa tegakan yang terlihat belum bersih. Surip agak jengkel juga dengan mandor yang satu ini.
“Ayo cepat ikuti teman-temanmu itu!” Lagi mandor tersebut tak sabar melihat kelambanan Surip.
Surip makin bingung, memangnya mana yang harus ditebas lagi. Jika mengikuti teman-temannya ia melihat di belakang orang-orang yang menebas sudah bersih berbagai tegakan dan semak belukar berebahan karena tajamnya parang.
“Wooo dasar ora dong kowe!” Masih dibentaknya Surip dengan gregetan karena tak mengindahkan perintahnya.
Mandor itu membiarkan saja Surip dengan kebingungannya. Ia melangkah meninggalkan Surip dan mengikuti anak buahnya yang lain bekerja menebas.
Baru setetlah tertinggal tiga puluhan meter Surip sadar dengan kekeliruannya. Areal yang ditebasnya keluar jalur, tidak sesuai dengan yang hendak mereka kerjakan. Surip memang bodoh, di dalam hutan ia tak tahu arah yang benar. Yang diketahuinya hanya perintah menebas sampai bersih.
Bergegas Surip mengikuti teman-temannya menebas.
“Hei ayo maju jangan di belakang seperti itu, kita masih harus menebas sampai sungai sana!” Seorang temannya yang berada paling dekat dengan Surip berteriak memberitahu.
Surip pun segera maju menebas tak peduli apa kata orang. Temannya yang tadi berteriak sampai menyingkir takut melihat cara Surip maju yang terlalu terburu-buru. Beberapa kali Surip menebas malah orang-orang di sekitarnya memandanginya dengan aneh, bahkan membiarkan Surip dengan tingkahnya sendiri.
Apa pasal?
Surip menebas dengan parang tetapi tangan kirinya maju memegang setiap tegakan dan semak belukar yang akan ditebasnya. Kelakuan Surip ketahuan oleh teman-temannya, semunya geleng-geleng kepala. Mereka tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa menghiraukan Surip.
Apa yang dilakukan Surip baginya adalah benar. Ia memegang parang dan menebas, nah Surip kesulitan melakukan tebasan yang benar. Iramanya kacau balau, dari pada tidak mampu akhirnya tangan kirinya maju untuk memegang semak belukar yang akan ditebasnya. Baginya cara itu praktis karena anggapannya seperti menyabit rumput atau ilalang.
“Parang mandau dipakai seperti itu, dasar kampungan!” Lagi mandor kerjanya berteriak sewot.
Biarpun Surip bekerja tekniknya salah tetapi pekerjaan yang dilakukan tidak menuntut kecermatan tinggi. Jadinya cara-cara Surip melakukan tidak ditegur keras. Hanya saja cara konyol Surip selalu menjadi ejekan teman-teman kerjanya sampai bertahun-tahun.
Mandor dan teman-teman kerjanya semakin menggeleng-gelengkan kepalanya. Surip yang bergerak terus menebas tak tahu arti tebasan. Berbagai tegakan ditebasnya habis dengan perasaan bahwa yang dikerjakan sudah sesuai prosedural.
“Itu anakan meranti Rip, harusnya dibiarkan tumbuh, yang ditebas itu tegakan-tegakan atau semak belukar pengganggu. Anakan meranti, keruing atau bengkirai malah itu yang harus dipelihara!” Teman-temannya menasehati Surip setelah mereka selesai bekerja. Sedangkan mandor kerjanya yang sudah sewot tak menghiraukannya. Dianggapnya Surip itu bodoh dan mangkir dari perintah-perintahnya.
“Hah! Loh anakan meranti itu seperti apa?” Makin bodoh pernyataan Surip dengan muka bingung, seluruh tubuhnya lunglai dan tangannya yang memegang parang terasa sakit karena lecet-lecet. Badannya basah mandi keringat hingga berkali-kali menyeka dengan kain lengan kaos panjangnya. Di samping itu berbagai jenis lalat menyerbu cairan-cairan yang keluar dari mukanya membuat Surip kelabakan. Beberapa kali ditepisnya hingga mati lalat itu, tapi mati satu teman-temannya malah tambah ganas. Surip yang menyerah, akhirnya menutup mukanya dengan kaos yang dipakainya.
Teman-temannya sendiri saat Surip bertanya juga tak mampu menjawab, apa yang ditanyakan Surip sulit bagi mereka untuk menerangkannya. Mereka sendiri tahu jenis tegakan sesuai yang dimaksud tetapi hanya tahu bila berada di depan matanya. Untuk menerangkan pertanyaan Surip itu butuh satu buku sendiri. Lagi-lagi mereka anggap Surip itu orang bodoh.
“Bungol nih anak, ngeyel terus senenge!” Melengking suara mandor merasa dilecehkan. Mandor itu memang orang Jawa, anak buahnya sendiri ada yang Jawa, Banjar, dan Dayak.
***
Saat datang di pondok kayu pertama kalinya Surip melongo. Inikah yang dimaksud sebagai surveyor yang kata orang-orang seperti Irhamna dan Yani bergengsi tinggi?
Sebuah pondok darurat dengan atap terpal, langsung ciut nyali Surip melihatnya.
“Oh ini tenaga baru kiriman dari Banjar?” Seorang melihatnya sekejap kemudian mempersilahkan Surip masuk pondok.
Surip diantar memakai mobil dari camp rimbawan km 4 TPTI seorang diri. Ada beberapa orang di mobil tapi hanya sampai di sebuah pondok permanen di tepi sungai. Tadinya Surip berpikir itulah tempat kerjanya. Ternyata ia masih harus naik mobil lagi menuju tempat lebih dalam lagi, rupanya di kegiatan yang diketahuinya sebagai kegiatan pembebasan inilah Surip mulai tahu apa itu TPTI.
Di pondok di mana ia mulai merasakan suasana hutan karena berada di tepi sungai dan penuh semak belukar Surip agak terasing. Ada beberapa orang pekerja yang sedang bersantai duduk-duduk di kapling masing-masing memainkan kartu remi. Seorang berada di pondok sebelah yang diketahuinya untuk memasak dan tempat bertumpuk jenis bahan makanan.
“Kamu harus bikin tempat tidur seperti bubuhannya itu Rip, carilah dua batang pohon kecil yang sama besar. Nih kupinjamkan parangku dulu,” seseorang memerintah Surip mungkin itu ketua regunya. Saat berkenalan ia biasanya dipanggil Pak Min.
Mulailah Surip merasakan enaknya hidup jadi surveyor. Tidak seperti yang didengarnya dari Agus Lenong atau Irhamna ataupun Yani yang dalam praktek mudah ternyata harus memulainya seperti baru belajar.
Pertama membuat palbet tempat tidur, Surip pun tahu kenapa saat di camp disuruh membawa dua zak beras kosong. Rupanya itulah tempat merebahkan tubuhnya di atas tanah. Empuk tapi silir karena mudah terhembus angin dari luar pondok.
Selesai membuat palbet tempat tidur yang jauh dari sempurna bila dibandingkan dengan palbet tempat tidur lainnya, Surip meletakan tas dan segera berebah. Ada saja yang bertanya kepadanya tentang asal-usulnya dan berkenalan. Surip yang pasif karena belum terbiasa.
Saat makan nafsu makan Surip melonjak tinggi. Makanan yang tersaji sangat jarang dinikmati Surip. Mie instan berbagai merk, ikan asin goreng dan olahan sarden. Sungguh makanan-makanan itu sangat berlimpah, Surip benar-benar memanjakan isi perutnya yang termaasuk sering hidup berlapar-lapar diri.
Beberapa hari sudah Surip bekerja, inti kegiatan pembebasan sebenarnya mencari kayu tegakan tiang dan pancang untuk didata. Hanya karena Surip orang baru jadi ia mendapat tugas menebas semak belukar sesuai perintah mandornya Pak Min.
Kegiatan pembebasan berada di jalan perusahaan dengan nama tak resmi jalan Domas km 22. Jaraknya dari camp km 4 sebagai base camp kegiatan orang survey sekitar 17 km. Malam hari mulailah Surip merasa banyak sekali kekurangan kebutuhannya di hutan. Parang yang dipakainya sekarang adalah pinjaman dari Pak Min, kemudian alat tidur kelambu tak punya. Hanya sarung yang menutupi tubuhnya dari serangan nyamuk baik siang maupun malam.
“Aku ini kenapa, kulit tanganku memerah dan gatal-gatal?” Surip mulai merasakan gejala aneh pada tubuhnya. Tapi hal tersebut masih tak terlalu dipedulikannya, ia masih harus menyesuaikan diri dengan pekerja-pekerja lama yang masih memandangnya sebagai makhluk kota.
Setelah beberapa hari Surip mulai tahu irama menebas, cara memegang parang melakukan tebasan hingga sebuah tegakan mudah diputuskan. Ada lagi karena alatnya parang ia pun harus terbiasa mengasah parang hingga tajam. Itu sangat memudahkan pekerjaannya yang didominasi menebas.
“Nah begitu Rip, jangan sekali-kali kamu lakukan cara-cara yang kemarin ya. Juga hati-hati bila di depan ada jenis-jenis tanaman produksi. Tak apalah kamu orang baru jadi belum mengenal tanaman tersebut,” Pak Min mulai bisa mengarahkan Surip untuk mengikuti instruksinya.
Sekarang Surip jika mengikuti dari belakang selalu melihat dulu apa yang dikerjakan teman-temannya. Beberapa orang sudah dikenalnya, ada Gundam, Leman dan Aji, itu orang Jawa. Orang-orang Banjar ada Junaedi, Ansori dan barulah orang Dayak dengan panggilan yang terasa asing bagi Surip.
“Kakiku sakit sekali, rasanya sepatu bootku kekecilan,” suatu ketika Surip mengeluh, berhari-hari memakai sepatu boot kulit kakinya membengkak kemerah-merahan.
“Itu biasa Rip, bulan depan cobalah tambahi dengan kaos kaki tebal. Kakimu itu jelas tergesek sepatu boot yang kamu pakai itu,” Gundam segera menerangkan caranya.
Ya Surip pun tak bisa berbuat apa-apa, sebulanan ini hari-harinya disiksa oleh sepatu boot yang harusnya melindungi dari tajamnya duri dan kerasnya tanah berpijak di hutan. Yang menggelikan bagi Surip memakai sepatu boot jalannya jadi lebih lamban karena terasa berat.
“Eh tanganmu kenapa Rip?” Gundam tiba-tiba melihat tangan Surip yang memerah dan berbintil-bintil putih. Ada bintil-bintil yang pecah mengeluarkan cairan getah bening.
“Aku nggak tahu Dam, gatal sekali kedua tanganku dari lengan sampai siku,” Surip yang tadinya menyembunyikan penyakitnya terpaksa memberitahu.
“Astaga itu rengas Rip! Di mana ikam kenanya?” Junaedi yang palbet tempat tidurnya tidak jauh dari Surip berteriak ngeri.
Gemparlan seisi pondok, Pak Min dan anak-anak buahnya segera merubungi Surip yang terkena semacam getah pohon.
“Apa? Rengas, penyakit apa itu?” Surip makin bingung mencoba memperlihatkan keadaan di sekitar tubuhnya yang memerah gatal.
“Rengas ya seperti itu, pasti ikam pernah di bawah pohon rengas ya? Pasti ikam kadak menikahinya jadi dikenai rengas sekarang,” Junaedi bertubi-tubi memberitahu Surip. “Ikam ini sering disiriki perempuan rupanya,” Junaedi berkata antara serius dan tidak.
Pak Min yang akhirnya ikut melihat keadaan surip berkata, “Harus ditangkal Rip, ayo kita cari pohon rengas. Bisa disembuhkan dengan membakar akar rengas untuk dioles pada tanganmu yang terkena itu,” perintahnya membuat Surip menuruti apa kata mandornya.
“Baru berapa hari di hutan ikam sudah kenalan dengan bebinian rengas. Wah beruntung benar ikam Rip,” Junaedi berkata dengan nada yang makin membingungkan Surip.
“Ha ha ha.....,” teman-temannya yang lain tertawa mendengar gurauan Junaedi. Mereka yang berada dalam regu kini mmeiliki seorang tokoh yang mudah dijadikan bahan banyolan.
“Iya Rip ikau te harus bebini, untuk itu harus memberi jujuran setiap kali bertemu dengan pohon rengas,” uh ini Jojo orang Dayak ikut-ikutan usil.
Surip benar-benar kesal dijadikan bahan gurauan.
“Kalian nyaman saja bepandir, kadak tahu orang tersiksa!” Keras kata-katanya karena mendongkol. Ia melihat lagi kedua lengannya, memerah dan terus menyebar, sebagian berbintil-bintil putih bila pecah keluar cairan getah bening. Jika digaruk uiiiiiihhh.....nyamannya sampai ke syaraf-syaraf kepalanya. Mungkin sama seperti orang sakaw, tapi setelah itu seluruh kulit yang tergaruk jadi putih karena luka bertambah lebar.
Yang tidak tega itu akhirnya Pak Min.
“Ayo Rip kita ke hutan, coba kita cari pohon rengas. Mengko oyote dibakar campur minyak goreng. Nembe dibalurke neng tanganmu sing kena rengas,” itulah Pak Min kebijaksanaannya sebagai ketua regu membuat Surip kemudian mengikutinya menuju hutan.
Mereka berdua mencari pohon rengas, tentu bagi Pak Min itu mudah saja. Yang tidak tahu itu Surip yang buta masalah jenis-jenis tegakan di hutan. Apa lagi rengas sedangkan meranti, keruing, tengkawang saja masih belum tahu.
Singkat kata akar rengas sudah didapat, kemudian dibakar sampai jadi arang. Setelah itu dicampur dengan minyak goreng yang tersedia. Obat oles itu dipakai Surip setiap sore menjelang tidur. Sama sekali tidak nyaman di badan bahkan Surip merasakan begitu tersiksa.
“Bagaimana ini sudah seminggu tidak sembuh-sembuh juga?” Surip sering bertanya karena tidak merasakan khasiat dari obat yang dipakai.
“Sabar Rip nanti juga sembuh sendiri,” Pak Min yang memberi perhatian kepada Surip.
Tapi penyakit Surip kian merajalela, dari kedua tangan kemudian menyebar ke badan. Obat yang diolespun makin banyak, tambah kedodoran Surip hidup di hutan.
“Nih pakai bedak herocyn punyaku Rip, siapa tahu bisa sembuh,” Gundam akhirnya memberikan semacam bubuk obat kemasan.
“Obat apa herocyn itu, itukan bedak untuk bayi?” Lagi Surip bertanya konyol.
“Aku memakainya untuk mengurangi gatal bila kena miang,” Gundam memberitahu. Wah itu sedikit masuk akal, miang itu jenis bulu-bulu di semak belukar atau rumpun bambu.
Surip pun akhirnya mengikuti saran Gundam. Seluruh badannya yang terkena rengas dibalurnya dengan bedak herocyn. Terasa hangat membuat Surip agak nyaman badannya. Tapi buruknya bedak itu menempel di luka bekas garukan tangan Surip. Itu membuat Surip jadi makhluk aneh.
Sampaipun seluruh regu kegiatan turun ke camp TPTI penyakit Surip belum sembuh-sembuh. Camp TPTI km 4 gempar mendapati keadaan Surip yang terkena rengas tersebut. Sungguh malu Surip mendapati keadaan dirinya menjadi bahan pergunjingan orang-orang camp. Rupanya itu termasuk peristiwa langka di camp TPTI.
Manager Camp Pak Zulkifli sampai mendatangi Surip karena kabar tersebut. Disuruhnya Surip datang ke kantor camp TPTI.
“Mana yang kena rengas Rip, cepat berobatlah,” katanya saat Surip menghadap di kantor. Saat itu juga ada Kabag Pembinaan yang rata-rata alumni UNLAM.
“Ini Pak untung yang terkena hanya tangan saja,” Surip memperlihatkan kedua tangannya yang terbalur bubuk putih herocyn hingga makin memperlihatkan penderitaannya terkena rengas.
“Namanya musibah biar kena tangan tetap saja musibah. Kalau seperti ini keadaanmu aku ragu ikam bakalan lama di hutan,” menyindir manager camp berkata ditujukan kepada Surip. Jelas Surip diragukan kemampuannya hidup di hutan.
Apa boleh buat Surip hanya merasakan betapa tidak enaknya hidup di hutan. Di lingkungan camp km 4 ia telah jatuh hanya sebagai orang yang lemah fisiknya.
Bulan kedua masuk hutan,
Masih Pak Min jadi mandor tapi kegiatan berganti menjadi kegiatan perapihan. Kegiatan ini malah benar-benar hanya menebas tegakan perdu dan semak belukar.
“Sehari sesuai dengan buku petunjuk teknis kita harus mendapatkan dua hektar tebasan atau satu jalur bersih,” Pak Min mengarahkan anak buahnya tentang kegiatan perapihan. Rupanya bagi Pak Min ini juga masih merupakan kegiatan yang baru pertama kalinya dilaksanakan sebagai ketua regu.
“Gundam dengan Siregar bikin jalur, ingat tiap hari harus dapat empat jalur pulang balik. Yang lain ikut denganku menebas!” Perintahnya menunjukan orangnya disiplin.
Tapi ini sudah hari keenam di kegiatan perapihan. Hari pertama membuat pondok kerja, kemudian hari kedua mulai membuat batas blok. Sebenarnya batas blok sudah ada tetapi Pak Min memiliki idealisme sendiri. Hanya patok blok yang arahnya sesuai dengan petak lama, lainnya batas blok bercat merah bujur sangkar baru.
Jangan kaget hasilnya sebuah petak baru yang lebih luas dari petak lama. Soalnya saat mengukur perdua puluh meter tali oleh Pak Min ditambah satu dua meter dan jika terkena areal mananjak juga ditambah lagi. Jadi walupun hitungan Pak Min apa yang dilakukannya sudah benar dalam kenyataan petak telah melebar lebih meluas arealnya.
Surip menebas bersama dengan anak buah Pak Min yang lain. Capeknya bukan main, seluruh tenaga seharian penuh habis hanya untuk menebas. Dan Pak Min makin penasaran saat menebas sudah melewati tengah hari hasilnya baru dapat setengah kilo meter.
“Wah besok kita kerja dua kali sehari kalau seperti ini. Satu jalur ternyata tidak selesai sehari,” Pak Min mengeluh, anak buahnya sendiri megap-megap hampir tak mampu melanjutkan pekerjaan.
Kalau Surip sendiri menebas terus tangannya pegal bajunya basah keringat dan bila berjalan ada tanjakan rasanya kepala jadi berkunang-kunang. Satu unit jalur berarti satu kilo meter kalikan dua puluh kali. Unit terkecil adalah 20x20 meter. Karena lurus utara selatan satu jalur bisa kena sungai, jurang, tanjakan bukit dan berbagai areal bekas tebangan. Halangannya sangat banyak, semak belukar menyulitkan bergerak. Bila ada batang rebah besar melintang jalur terpaksa harus melompat. Dan hitung sendiri berapa kali orang harus melompat karena banyaknya batang roboh di hutan.
“Kalau seperti ini hanya superhero macam Gundala atau Spiderman yang laku tenaganya di hutan ini,” Surip membatin sendiri.
Untuk Surip sendiri ia sekarang ia menghitung, jika ia menebas seorang diri. Itupun dengan tebasan selebar dua meter maju terus paling kuat kerja lima puluh meter jaraknya. Setelah itu ia harus berhenti untuk meluruskan punggung dan tangan yang kaku memegang parang terus menerus. Dalam kenyataan tak semudah bergerak di lapangan sepak bola. Biarpun misalnya itu berupa tajuk-tajuk pepohonan yang sangat rimbun sehingga tegakan perdu masih rapat dan teratur tetap saja terhambat oleh gerakan kaki yang harus menghadapi beberapa batang roboh atau mungkin dari semak belukar berduri seperti rotan. Sekali duri rotan nyangkut di pakaian terpaksa tangan bergerak menyibak secara manual, tak mungkin menebas putus duri rotan yang menjulur untuk berpegangan pada tegakan-tegakan sekitarnya.
“Kita coba besok sampai sore, di hutan nanti ada seorang yang menebas sambil membawa lanjung makanan,” lagi perintah Pak Min dilakukan untuk menyiasati target dua hektar sehari tebasan.
Pekerjaanpun mengikuti perintah mandor. Semuanya sekarang berkonsentrasi menebas, toh jalur sudah lebih mudah dibuat karena dengan dua orang saja sehari bisa empat jalur selesai.
Yang membuat Surip jengkel, penyakitnya kambuh lagi. Mulai dari tangan sampai siku memerah gatal dan berbintil-bintil putih keluar cairan getah bening. Teman-temannya selalu mengejek dengan kelemahan Surip ini.
“Ikau te dia cocok hidup di hutan, are pamali Lek!” Jojo berkata saat jeda istirahat di hutan. Sementara Surip bila di hutan merasa gerah dan tidak kuat tangannya pasti menggaruk-garuk di tempat yang memerah baik di tangan maupun di tubuhnya. Uiihh gatalnya bila digaruk malah nyaman sekali, tapi juga sangat mengerikan.
“Jangan-jangan aku ini alergi makanan?” Surip mulai bertanya kepada teman-temannya.
“Ah ora mungkin Rip, aku mangan apa wae ra ana masalah kok?” Gundam berkata menyanggah kata-kata Surip.
Makin bingung Surip dengan keadaannya sendiri. Di pondok kerja dan mungkin di camp ternyata hanya dirinya seorang yang menderita penyakit seperti ini. Surip makin tersingkir ketika suatu hari ia mendapati badan dan wajahnya membengkak gatal dan panas. Setelah bekerja ia merasakan matanya menyipit karena kulit wajah dan pipinya bengkak. Lagi-lagi orang di sekitarnya berkata,
“Ikau kena rengas Lek, ikau selalu disiriki uluh bawek. Rengas te pohon berwatak bebinian,” Junaedi berkata memberitahu.
“Iya iya kalau disiriki bebinian dia nare, tapi bagaimana mengobatinya sampai sembuh!” Jengkel betul Surip terus menerus dikatai selalu dicemburui perempuan. “Memangnya apa salahku?” Menggerutu Surip dalam hati.
“Makanya bila ketemu dengan pohon rengas ikau nikahi langsung Lek. Dikencingi dia nare kia,” lagi-lagi Jojo berujar.
Surip menyerah tubuhnya terbaring lemah tak berdaya. Matanya makin sipit dengan muka bengkak seperti makhluk luar angkasa.
“Kalau aku punya kamera ikau sudah kupotret Rip,” Gundam berkata seperti geli melihat keadaan Surip. Surip benar-benar knock out dijadikan bahan ejekan di pondok kerja.
Untungnya hari itu ada mobil rimbawan mengantar sisa logistik ke regu perapihan. Di dalamnya ada asisten persemaian yang melihat keadaan Surip.
“Rip kowe mudun disit berobat. Langsung wae menyang dokter Kuala Kurun,” perintahnya itu mendapat dukungan Pak Min hingga sore hari itu bisa turun berobat.
Saat di mobil beberapa kali asisten persemaian itu bicara dengannya tentang keadaan hutan yang dihadapinya. Siapapun harus hati-hati hidup di hutan banyak pantangannya, semua pamali harus dipatuhi walau sulit menerangkannya dalam bentuk pembuktian.
Tapi dalam hati Surip sendiri mulai timbul tekad,
“Aku harus mencari tahu sebabnya. Mungkin aku ini hanya alergi jenis makanan saja,” mulai ia mencari kemungkinan jenis makanan yang selalu disantapnya di hutan. “Di camp penyakitku ini bisa reda, tapi di hutan kambuh kembali. Tak salah lagi itu adalah badanku yang alergi terhadap jenis pengawet ikan sarden kalengan,” nah Surip mulai menduga penyebabnya.
Itulah sebabnya beberapa hari setelah turun berobat surip mulai menghindari ikan sarden. Ternyata jauh lebih berat menghindarinya, sering air liurnya tertelan begitu melihat teman-temannya begitu lahap makan olahan sarden. Ia hanya berani mengambil ikan asin goreng dan mie instan sebagai lauk pauknya.
Semuanya dicoba dirubahnya, betapa beratnya. Menghindari sarden sementara orang lain tak berpantang apa-apa. Sekarang semua orang di pondok kerja tahu apa yang Surip lakukan.
“Huh jaman perang kaena yang mati kelaparan lebih dulu pasti Surip. Lah jaman perang makanan serba darurat pasti yang tersedia cuma sarden,” Junaedi berkomentar tentang perubahan selera Surip.
Kalau sudah seperti itu sungguh miris hati Surip, ia mendapati jiwanya sensitif. Harus mengakui lemah tetapi juga harus menyangkalnya untuk tidak kehilangan muka.
“Biar ae kaena ada perang aku cukup jadi penonton saja,” kata-kata Surip membuat posisinya pasif.
Jojo yang heran terhadap Surip saat diberitahu penyebab sakitnya berujar, “Wah bila begitu mudah saja obatnya Lek, itu duri ikan sarden balurkan ke tempat yang terkena pasti sembuh. Itu cara orang Dayak mengobati. Ya seperti ikau kena rengas cukup dengan akar atau daun di sekitar pohon itu hidup,” Jojo memberitahu semacam cara-cara pengobatan ala Dayak. Secara logika memang betul, di sekitar tempat timbulnya racun atau penyakit pasti ada pengangkalnya. Lihat saja ular berbisa, seharusnya ular itu mati termakan oleh racun di dalam tubuhnya sendiri, jadi supaya ular tidak mati ia memiliki penangkalnya.
Kalau Gundam lain lagi, “Makan saja terus Rip, lama-lama kebal sendiri juga. Seperti aku ini contohnya.”
Surip cuma geleng-geleng kepala sulit mengikuti anjuran teman-temannya.
Biarpun sudah tahu sebab-sebab penyakitnya tetap saja Surip terkadang ragu. Sering juga sudah sembuh walaupun belum total Surip coba-coba lagi makan sarden. He he he nikmatnya makan ikan sarden tak bisa ditahan, kambuh lagi jadinya tetapi Surip makan sedikit jadi daerah yang terserang juga tidak menyebar. Pokoknya bila sudah tahu diri ini alergi terhadap suatu materi apapun tak ada cara ampuh kecuali menghindarinya, itu obat paling manjur.
“Di camp km 4 hanya aku sorangan saja yang mengalami kejadian-kejadian seperti ini, alergi sudah diketahui entah apa yang menyebabkan mukaku dulu sampai bengkak dan muncul gatal-gatal? Itu pasti jenis alergi lain, mungkin itulah yang benar-benar rengas,” ya Surip terus menganalisa keadaan dirinya dan juga kelemahannya.
Apa boleh buat Surip harus menerima kenyataan yang terjadi. Di camp olok-olok selalu mampir terhadap dirinya dengan pertanyaan,
“Berapa lama kamu mampu bertahan di hutan?” Jawabannya terus dilalui Surip dari satu peristiwa ke peristiwa lain.
Tinggal beberapa hari di kegiatan perapihan yang dimandori Pak Min. Biarpun belum tuntas penyakitnya Surip mulai berlatih Pencak Silat.
“Pasangan pembukaan jurus, tangkis kiri, geser kaki kanan ke samping, tangkis kanan. Hadap ke depan sepak kanan, siap masuk jurus!”
Aba-aba itu tak terdengar di mulut Surip. Lokasi tempatnya berlatih di pinggir jalan logging yang sudah tidak berfungsi lagi. Matahari sore masih menyengat, Surip tidak berlindung apa-apa. Hanya di bawah bayangan pohon besar di tepi jalan yang entah kenapa tidak kena tebang. Mungkin karena jenis tengkawang sehingga perusahaan tidak berani mengambil.
Tengkawang oleh orang kampung sering diambil buahnya, bila jatuh melayang seperti kitiran. Buah tersebut bisa diolah menjadi minyak, sayang setahu Surip minyak tengkawang kurang komersil. Hanya mengandalkan limpahan alam saja memanennya.
Surip berlatih tidak lama, segera menyelesaikan dua jurus badannya terasa capek. Masih sempat dicobanya membuat gerakan-gerakan senam. Bukan capek tapi cepat bosan, setelah itu Surip hanya terbengong seorang diri di pinggir jalan menghindari panas yang masih menyengat. Peluhnya dibiarkan mengering sendiri, pikirannya berkhayal tak tentu arah.
Sejam kemudian Surip kembali ke pondok kerja mendapati dunianya yang lain. Dunia pekerja survey kegiatan pembinaan. Ternyata Surip mendapati dirinya berada di unit terkecil dari raksasa kapitalisme. Itu adalah hutan yang diklaim sebagai milik sekaligus pemodal menjadi tambang kekayaan. Jaringan-jaringan kehidupan dalam kerimbunan tajuk pohon terputus karenanya.
Siapa peduli!
BAB 9
Asal-usul Jurus
Camp rimbawan TPTI km 4,
“Bara kuweh ikau Rip?” Popom bertanya heran. Popom seorang Satpam, boleh dikata inilah satu-satunya Satpam yang asli Kuala Kurun. Kampungnya di Penda Pilang dari Kuala Kurun menuju hulunya lagi sekitar satu jam melawan arus sungai Kahayan dengan getek.
“Nanjung Pom, mencari eeehh menggau angin,” Surip menjawab saat melewati Pos jaga Satpam. Bahasa dayaknya masih belepotan.
“Menggau angin nare buang angin? Ikau te aneh-aneh saja gaweannya. Cobai kareh sore main bola Rip jadi tege kegiatan,” Popom berkata seperti menegur Surip.
Sudah beberapa hari ini Surip terlihat keluar dari mess bujangan tempat tinggalnya. Agak mengherankan bagi Popom karena Surip hanya berjalan kaki di sekitar lokasi camp. Surip tentu saja merahasiakan kegiatannya yang satu ini. Akan banyak pertanyaan bila ketahuan nantinya.
“Hobiku te keluyuran, eweh tawa dapat gaharu jadi sugih kareh,” lagi Surip berkata membelok dari kenyataan.
“Bah gaharu! Dia puji aku tureh pohon gaharu je hitu Rip, tanjaru ikau nah,” Popom semakin tak percaya dengan kata-kata Surip. “Ikau te selalu bergurau dengan uluh,” lanjutnya lagi mencoba memaklumi Surip.
Surip sendiri tak mau berlama-lama di Pos jaga, “ Sudah siang Pom, aku kuman helo lah,” Surip yang tertahan di Pos jaga Satpam beralasan untuk kembali ke mess. Tak mungkin lagi Popom bertanya macam-macam apa yang dilakukannya keluyuran di sekitar camp km 4.
Tinggal beberapa hari di camp rimbawan, sebagai orang survey base camp itulah tempatnya. Terdapat tiga base camp kegiatan inti perusahaan Tanjung Raya. Pusat kegiatan pertama adalah log pond. Beberapa kegiatannya adalah kantor perusahaan dan tempat tinggal manager camp. Tempat penampungan kayu, perakitan kayu dan lanting-lanting orang-orang kapal. Koperasi dan bengkel beberapa mesin serta mess karyawan dan dapur umum.
Setelah itu adalah camp produksi, kegiatan utama berupa sarana dan logistik untuk penebangan. Jadi tempat traktor, truck logging, dump truck penyalur logistik, bengkel seluruh jenis mesin. Camp produksi menurunkan unit terkecil berupa camp tarik di lokasi penebangan berupa operator traktor dan operator chain saw.
Barulah tempat Surip adalah camp pembinaan. Terdiri dari departemen pembinaan dan perencanaan. Paling banyak kegiatan berupa persemaian, green house, bina desa dan mess karyawan serta dapur umum.
Setiap perusahaan berbeda-beda cara menempatkan base camp. Ada perusahaan yang menggabungkan seluruh jenis kegiatan dalam satu lokasi mengakibatkan lokasi tersebut menjadi bak kota kecil. Ada juga yang berpencar-pencar seperti perusahaan Johanes Arrnold Pissy ini.
Surip memperhatikan lingkungan base camp, ia tinggal di mess bujangan sering berpindah-pindah. Mungkin karena adanya lemari tempat pakaian dan peralatan pribadi saja sehingga orang-orang di dalamnya menganggap sebagai kamarnya.
Mungkin yang benar-benar bisa disebut kamar pribadi itu mess rumah tangga. Tentunya orangnya beranak pinak dengan struktur keluarga. Sebagian besar penghuni camp bujangan, ada saja yang sudah berumah tangga tetapi istrinya berada di kampung atau kota lain. Semuanya bergerak menyesuaikan maju mundurnya perusahaan.
“Piye wis mari durung penyakitmu Rip, nek isih kumat tak gaweke parutan brambang campur lenga, ben adem awakmu,” seorang bapak dari desa transmigran yang dikenal bapak dapur menyapa Surip. Ia sedang membersihkan piring-piring yang bergeletakan di meja dapur umum.
“Pun mari Pak, kadose mung alergi sarden mawon kok,” Surip sering bingung bila harus menjawab satu kelemahan yang ini.
Surip sudah tahu penyebab antara alergi rengas dan alergi makanan. Tapi tetap saja seluruh orang-orang camp menganggapnya sebagai orang berbakat kena rengas. Seperti halnya orang-orang lokal Dayak ataupun Banjar yang dari beberapa keturunannya berbakat kesurupan. Rengaspun dianggap salah satu mistik, terutama karena disifati mirip perempuan, pencemburu!
Surip mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Ada sayur dan ikan kering goreng itulah pilihannya. Tapi ada juga ikan sarden yang dimasak campur kuah, Uiiiihhh..... Surip bergidik, biarpun timbul seleranya tetapi ia tak berani memakannya. Kuahnya pun ia tetap memperhitungkannya sebagai pantangan.
Sekarang Surip tahu benar, saat tubuhnya menolak alergen itu bila dicium daerah yang terkena akan membaui persamaan dengan jenis ikan ini. Tapi ini ikan yang sudah dikalengkan karena ada pengawetnya yang menjadi alergen. Bila ikan sarden segar dari laut tangkapan nelayan langsung digoreng atau dikuah tak berakibat apa-apa. Yah itu sudah dibuktikan Surip ketika berada di Kuala Kurun dengan singgah di warung makan lokal, ikan sarden segar jelas jarang di Kuala Kurun yang warganya hobi ikan air tawar.
“Masih mending makan ikan peda yang asinnya minta ampun dari pada sarden!” Surip berkata dalam hati.
Beberapa Satpam orang Dayak masuk dapur, mereka melihat Surip yang sedang lahap makan.
“Kuman Lek, nare belut nah?” Bertanya dalam bahasa Dayak, setahunya itu bernama Cahyadi.
“Belut? Nggak aku makan dengan ikan asin kok?” Surip menjawab bingung.
“Ha ha ha belut te lauk alias teman nasi. Are-are Lek ikau bepandir bahasa Dayak kareh jadi mahir,” Cahyadi tertawa tahu dirinya sangat mudah mengerjai Surip. Kemudian disambungnya lagi,
“Tege uluh kota dumah hitu, ie te dia puji tureh bambu jadi je lewu tureh takjub benar. Uluh kota te jadi bertanya, ‘Horas huma bara bambu, narare guna bambu Lek?’ Begitulah orang kota terus kebingungan. Sampai-sampai orang kampung ditanya lagi tentang gunanya bambu. Terpaksa uluh lewu menunjukan sayur ujau yang sedang dimakan uluh kota, ‘Nah ikau te kinan bambu kia!”
Wah Surip tahu biarpun bukan dirinya yang disinggung tetapi cerita itu ditujukan juga kepada dirinya. Yang diceritakan itu hanya semacam perubahan kata benda dan asal.
“Nah ikau hinde tawa adat uluh lewu Lek, kami maklum,” Cahyadi mengakhiri ceritanya.
Setelah itu mereka makan di dapur umum sambil ngobrol. Surip hanya menjadi pendengar, terkadang terpaksa bertanya berbagai kata-kata Dayak karena sulit memahaminya. Ya sedikit-sedikit nyambung loh obrolan Surip dalam bahasa Dayak.
Selesai makan tak ada lagi yang dilakukan. Surip kembali ke mess bujangan. Di dalam kamarnya ia mendapati orang-orang sedang berkumpul bermain kartu. Ia terpaksa menghindarinya kemudian masuk ke kamar sebelah yang kosong. Itu kamar yang tidak terawat dan tidak disukai orang-orang camp. Soalnya tempatnya bersebelahan dengan mesin genset yang bila malam mesin menyala membuat tuli telinga.
Di luar panas demikian menyengat membuat orang-orang malas keluar. Lebih nyaman berebah di kamar. Saat berebah telinganya mendengar suara-suara dari kamar sebelah,
“Nae orang kota itu bisanya apa, jarang benar bergabung dengan kita-kita ini?” Ah itu suara Arif orang Trans Jawa di Kuala Kurun.
“Kenapa tanya sama aku Rif, ikam sesama Jawa lebih mudah bergaul?” Junaedi menjawab agak heran dengan pertanyaan Arif. Tampaknya kehadiran Surip di camp dibuatnya sebagai perbandingan.
“Huh aku sebal dengannya, orangnya lemah malah membuat malu orang Jawa di sini,” Arif berkata ketus, beberapa kali tangannya membanting kartu mati dengan emosi. “Orang itu baru masuk hutan saja sudah kena rengas, besok-besok bisa jatuh ke jurang. Benar-benar tak bisa diandalkan!” Terus Arif bicara agak keras sehingga Surip mendengar kata-katanya yang terakhir.
“Memangnya apa yang menyebalkan dari Surip Rif?” Junaedi agak heran. “Dia kan orang baru masuk hutan, sama saja dengan kita di sini dulunya,” lanjutnya lagi.
Sementara Surip yang mendengar lamat-lamat dari kamar sebelah mulai merasakan posisinya di camp ini. Beberapa bulan di camp ia hanya satu dua kali berbicara dengan Arif. Orangnya lebih sering berada di bagian perencanaan bergaul dengan orang-orang Banjar. Rupanya bagian perencanaan dipandang lebih bergengsi dari pada pembinaan. Mungkin di bagian perencanaan kabagnya lebih selektif memilih orang-orang survey. Hanya orang-orang pilihan saja yang bisa masuk di dalamnya.
Pikiran Surip jadi menerawang, mulai merasa tersudut. Dirasakannya hidup di manapun terasa banyak sekali kelemahannya.
“Apa yang harus kulakukan? Tak ada lagi kelebihanku dibanding teman-teman lainnya di sini,” berkata Surip dalam hati.
Saat sore hari orang-orang camp banyak memiliki kegiatan. Ada yang bermain bola volley, tenis meja dan sepak bola. Seseorang mengajaknya keluar,
“Rip jangan tidur sore hari, banyak nyamuk nanti kena malaria kamu. Ayo main bola volley saja,” Gundam berkata mengajak Surip ke lapangan depan mess rumah tangga.
Mess rumah tangga berupa camp tarik dengan kamar-kamar yang sudah terpetak-petak ukuran 3x4m. Di belakangnya sudah ditambahi berbagai ruangan sendiri-sendiri oleh pemiliknya masing-masing. Camp tarik tersebut sudah tak mungkin ditarik kemana-mana karena pondasi lantingnya sudah rusak.
Di depan mess rumah tangga itulah lapangan volley berada. Sore hari bisa untuk bermain volley dan bila malam dengan penerangan lampu neon besar untuk bermain bulu tangkis.
“Wah aku gak bisa main volley Dam, biar aku jadi penonton saja,” Surip mulai sulit bergaul di camp. Biarpun di sekolah SMP dan SMA ada olah raga volley dll tetapi semuanya tak diminatinya. Kini ia mulai tahu betapa banyak kekurangan dirinya saat terjun di masyarakat. Bahkan biarpun ia hanya terjun di masyarakat terpencil camp perusahaan.
Mau nggak mau Surip keluar dari kamar mess, kemudian mengikuti Gundam ke lapangan volley. Ada beberapa bola jatah perusahaan, orang-orang camp bermain bola volley mengisi waktu sore hari. Tak kalah ibu-ibu mess pun turun bermain volley. Tentu paling banyak lelaki bermain sepak bola, tempatnya di lapangan mess permanen atas. Di sana terdapat lapangan sepak bola kecil yang tidak berumput.
Surip duduk di teras mess rumah tangga. Pandangannya tertuju ke tengah lapangan. Beberapa karyawan sedang bermain bola volley cukup serius. Beberapa kali terjadi pergantian servis dan pemain.
Ini bukan olah raga untuk prestasi lebih banyak bersifat hiburan.
“Ayo Dam gantikan aku, lawanmu itu si Tobing yang besar badannya,” seseorang menyuruh Gundam masuk lapangan. Rupanya dari tadi permainan di bidang lapangan orang tersebut kacau balau. Permainan tidak seimbang karena kalah teknik.
“Iyalah biar kalian tidak keteteran aku masuk!” Gundam dengan percaya diri langsung ambil bagian.
PRIIII.....TTT!
Seseorang membunyikan peluit tanda permainan berakhir. Tampak kedua pihak saling berlawanan bubar memberikan kesempatan kepada orang lain berganti pemain.
Orang-orang memandang Surip yang dari tadi menonton,
“Haa....ayo orang baru pasti bisa main bola volley. Ayo cepat turun ke lapangan!” seorang ibu berteriak menyemangati Surip untuk maju. Wah gelagapan Surip mencoba menolak.
“Kadak kadak, aku kadak kawa main volley. Biar jadi penonton saja,” Surip berkata sambil mundur. Jerih hatinya mendapati keadaan orang-orang di camp.
“Wah jangan kalah dengan perempuan-perempuan di sini Rip, ayo turun ke lapangan. Kaena biasa main ikam mahir jua,” seorang Satpam berujar dalam bahasa Banjar.
Surip pun terpaksa maju, masuk ke lapangan ikut bermain. Permainan terus berlanjut, biarpun canggung Surip bermain bola volley.
“Ayo Rip servis yang baik ya, jangan gagal lagi!” Bardi berteriak saat Surip melakukan servis.
Surip ancang-ancang melakukan servis, teorinya ia tahu tetapi prakteknya ternyata tidak mudah. Dipukulnya bola keras-keras terasa sakit tangannya. Ia memukul bola tanpa mengayunkan pergelangan tangan membuat bola cuma sampai menabrak jaring net, gagal servisnya.
Teman-temannya di bidang lapangan surip kecewa. Beberapa kali sudah bila Surip servis sering gagal. Surip merasakan irama pukulannya salah, ia tidak terbiasa.
Karena gagal gantian pemain di lapangan lawan servis. Surip yang masih berada di belakang tiba-tiba merasa ada yang aneh. Terasa servis dari lawan diarahkan terus kepada dirinya. Ini yang membuat repot, bola jadi sering mati ditangannya. Spasingnya tidak jalan, menerima bola pun gagap. Lawan benar-benar tahu kelemahan Surip, sering bila bola diarahkan kepadanya malah membuat kerepotan teman-temannya karena tidak terkontrol arah pukulan bolanya. Group teman setimnya kalah banyak, tak ada perlawanan akhirnya Surip yang tahu diri. Ia mengundurkan diri tapi dengan ejekan-ejekan dari beberapa penonton.
“Huh goblok Surip!” Itu suara Arif dari jauh. Surip sempat melototinya, orangnya cepat bergerak pergi dari lapangan.
Setelah keringatnya habis dan badan dingin barulah Surip mandi ke sungai kecil di persemaian. Bardi orang Dayak dari sungai Dusun ternyata telah lebih dulu sampai di sungai tempat biasa orang mandi.
“Wah ikau bedahulu mandoi, dia mengajak aku tadi,” Surip menegur dan mendampinginya.
Bardi terkejut tidak mengira Surip sudah berada di sampingnya, matanya rupanya sedang memandang jauh ke simpang sungai kecil tempat seseorang juga sedang mandi. Surip sekarang menyadari Bardi malah belum mandi, rupanya ia sedang menunggu seseorang. Ah ya itu seorang gadis yang bekerja di persemaian.
“Maaf mengganggumu Bar, kalau ikam ada acara dengannya silahkan saja,” Surip berkata dengan pandangan maklum. Ia merasa jadi pengganggu sekarang.
“Dia nare Rip, aku hanyar memberi surat kepada uluh bawek te, kuharap sampai,” Bardi menjawab penuh harap.
Ah dunia kecil semacam camp rimbawan ini banyak menyimpan cerita-cerita percintaan. Setahu Surip ada beberapa perempuan yang masih remaja bekerja di persemaian. Penghuni-penghuni camp yang lelaki jelas banyak mengincar perempuan-perempuan tersebut bahkan bersaing antar lelaki. Berbagai cara akan dilakukan untuk menarik perhatian perempuan-perempuan tersebut. Bardi tak terkecuali.
“Ikau naksir dia dengan uluh bawek te Rip?” Bardi bertanya sambil menemani Surip mandi.
“Aku hinde kesena Lek, ikau te jadi lama je hitu harus dapat jodoh,” Surip menjawab sekenanya.
“Ie te bawek ngaran Ida bahalap bawek te,” Bardi terus nyerocos urusan perempuan yang ditaksirnya.
“He he he bawek te jatah ikau Lek, dia bahanyi aku bersaing denganmu,” Surip menjawab apa adanya. Dicepatinya urusan mandinya, setelah selesai ia pun kembali ke mess bujangan. Lingkungan camp mulai membuat Surip tahu dunia kecil yang cukup ramai. Tidak sesederhana yang terlihat dari pandangan orang luar.
Surip sendiri saat berjalan pulang malah menuju ke dalam hutan di belakang mess. Gayung tetap di tangannya, ia melihat ada lokasi yang cukup datar dalam jarak dua ratus meter dari persemaian. Tempatnya cukup memungkinkan bagi Surip untuk berlatih.
“Besok aku mulai lagi latihanku di sini!” Surip berkata, tekadnya timbul kembali untuk meneruskan latihannya selama ini.
Hutan?
Ah tidak Surip berada di sebuah camp perusahaan yang di sekelilingnya sudah terbuka. Rupanya jalan perusahaan untuk mengangkut kayu banyak didatangi orang-orang kampung untuk berladang. Sepanjang jalan angkutan kayu dari log pond menuju camp km 4 semuanya sudah terbuka berupa semak belukar sampai satu kilo meter kanan kiri jalan. Panasnya menyengat bila siang hari. Beberapa huma (pondok ladang) berpencar-pencar menyesuaikan dengan ladang hak milik. Status areal tetap hutan tapi sudah lahan kritis. Ada orang kampung peladang tersebut menanam karet menjadi perkebunan tapi masih umur 3-4 tahun. Tingginya belum ada yang mencapai lima meter, sama sekali belum berproduksi.
Mulai dari camp km 4 menuju jalan perusahaan Tanjung Raya hutan masih rimbun. Biarpun juga statusnya adalah hutan sekunder (hutan primer adalah hutan yang belum diproduksi). Jadi di dalam hutan sekunder sudah banyak lahan terbuka bekas penebangan dan pengangkutan kayu. Hutan ini tahun-tahun mendatang siap dirambah orang-orang kampung untuk dijadikan ladang. Tapi sementara ini dengan adanya perusahaan areal tersebut masih aman karena adanya peraturan perusahaan yang membina areal hutan sekunder tersebut dalam sistem TPTI.
Di belakang persemian Surip berlatih, jurus ketiga dari perguruan Al-Jurus.
“Pukul tangkis kanan tangkis dalam tangkis bawah, pukul-pukul!”
“Sepak,” lagi dilanjutkan teknik diatas dengan kuda-kuda kiri depan.
Sepak kanan ke samping menghadap depan. Tangan kiri maju menyapu dilanjutkan tangan kanan menyapu lagi seolah-olah menangkis. Kuda-kuda rendah kanan dilanjutkan kuda-kuda rendah kiri.
Sepak kaki kanan ke depan saat kuda-kuda sudah kiri depan. Dalam posisi pasangan jurus tangan kiri mengibas ke bawah. Bersama kaki kiri bergeser ke belakang. Tangan kanan dari belakang kemudian mengibas seolah-olah menangkap kaki musuh. Tetap dalam posisi memegang kaki musuh kemudian dilontarkan, sepakkan kaki kanan langsung sepak.
Selesai.
Surip terengah-engah nafasnya langsung membungkukan badan seperti ruku dalam sholat. Sempat dirasakannya kepalanya pening dan perut mual.
Berlatih bela diri apapun jenisnya sebenarnya termasuk olah raga keras. Dalam bela diri seluruh tubuh bergerak mulai dari tangan, kaki dan badan. Ditambah lagi pasti menguras tenaga. Jantung dipacu sangat keras saat berlatih jurus maupun bertarung. Bila tubuh belum terbiasa akan terjadi reaksi seperti yang dialami Surip, ini adalah kenyataan.
Istirahat sebentar Surip melanjutkan lagi berlatih jurus yang lain.
“Aku tidak tahu kenapa terus mencoba berlatih jurus, aku sering gelisah. Rasanya sangat sulit aku beradaptaasi di sini. Rasanya sangat asing, mungkin dengan cara ini aku bisa menyalurkan rasa gelisahku,” Surip berkata sendiri dalam hati.
Terus badannya bergerak dengan berbagai teknik-teknik pecahan jurus. Keringat membanjir, di tempat datar cukup luas bekas gusuran traktor. Sinar matahari siang hari menimpa tubuh Surip, mulai terasa kulit Surip menghitam terbakar.
Latihan tidak selalu terus menerus, terkadang bahkan Surip duduk seperti mengkhayal. Pikirannya melayang-layang dengan berbagai peran kehidupan. Ah betapa enaknya menjadi tokoh yang terkenal. Disanjung puji, dielu-elukan sebagai bitang film, ulama terkenal dan selebritas lainnya.
Keringat dengan sendirinya mengering menyisakan garam di pergelangan dan tubuh Surip, terasa kasap. Setelah itu Surip berjalan menghindari persemaian yang pasti ada orang-orang yang sedang bekerja. Tanpa mandi Surip berebah dan mencocba tidur. Itulah hari-harinya di camp rimbawan km 4.
Waktunya masuk hutan,
“Rip bulan ini kamu dicoba masuk kegiatan penanaman saja. Badanmu ternyata lemah tidak cocok survey pembebasan,” Asisten persemaian berkata sambil membagi kertas nama-nama anggota regu kegiatan. Semua orang camp sudah tahu Surip memiliki banyak kelemahan. Kemungkinan semua orang meragukan kemampuannya bertahan hidup di perusahaan.
Masuklah Surip dalam kegiatan penanaman. Letaknya di km 12 jalan Domas. Inilah pondok permanen yang dulu Surip sempat singgah buat pertama kali ikut survey pembebasan. Kelihatannya enak tinggal di pondok berupa panggung beratap seng. Tentu saja karena tidak lagi orang capek-capek menggelar tenda darurat dan palbet tempat tidur. Pula luasnya cukup memadai sekitar 8x10m dengan tambahan di belakangnya berupa dapur. Sayangnya atapnya dari seng dan dibangun di padang terbuka jadi siang hari di dalam pondok terasa badan selalu gerah berkeringat.
Kegiatan penanaman dilakukan di areal non produktif. Arealnya berupa semak belukar, pisang batu, beberapa tanaman karet tidak teratur milik orang kampung bahkan beberapa bagian padang alang-alang. Di bawah kerimbunan semak belukar berbagai batang kayu menghitam arang sisa-sisa pembakaran saat pembukaan ladang. Km 12 jalan Domas mendekati kampung Tumbang Alas, beberapa pondok milik orang kampung ada di tepi sungai Alas menjadi tetangga pondok milik perusahaan.
Pekerjaannya tidak menarik, justru lingkungan yang banyak bermukim orang kampung menjadikan kegiatan penanaman tidak terasing. Tumbang Alas artinya anak sungai Alas. Di manapun kita berada di Kalimantan nama-nama tempat paling banyak merujuk pada sungai. Ada nama jenis tanah tempat kampung berada atau justru nama jenis rawa, gambut, pohon-pohon seperti daerah sungkai dll. Kalau nama gunung itu sangat jarang, seluas-luasnya memandang Kalimantan adalah dataran rendah bersungai dengan sedikit perbukitan, sangat membosankan!
Beberapa hari di pondok km 12 Surip mulai mengenal tetangga di seberang jalan logging. Sebuah keluarga peladang asli Tumbang Alas biarpun jika berada di Kuala Kurun mereka juga punya tempat tinggal di sanak famili. Biasa dipanggil Pak Mundai, merujuk pada nama anaknya perempuan yang tertua.
“Huh sial, di sini kanan kiri banyak orang, tak mungkin aku mencari tempat berlatih pencak silat,” Surip yang biasanya sering keluyuran di berbagai lokasi hutan merasakan banyak hambatan. Surip merasakan hambatan tersebut karena setiap kali masuk kegiatan penanaman di arealnya ternyata banyak sekali jalan-jalan setapak yang berarti orang-orang kampung sering melewatinya.
“Bisa-bisa aku dianggap orang gila kalau ketahuan berlatih nanti,” batin Surip saat-saat berada di jalan setapak yang kemungkinan menuju kampung Tumbang Alas. Padahal kampung tersebut masih sekitar lima kilo meter jalan kaki. Hanya saja setiap sungai cukup besar pastilah arealnya seperti lembah datar sehingga tidak melelahkan.
“Adanya jalan logging itu membuat Pak Mundai bisa memanfaatkan transportasi lebih cepat menuju Kurun ketimbang menyusuri hulu sungai Alas mencapai muaranya di sungai Kahayan,” pernah ketua regu penanaman berkata seperti itu saat mereka bekerja.
Regu penanaman banyak diisi oleh orang Jawa, Lombok, Bima dan Madura. Sangat jarang orang Banjar atau orang Dayak ikut regu ini. Asistennya sendiri seorang dari Lombok banyak merekrut orang sesukunya. Jadi anggota regu penanaman paling banyak terdiri dari suku Sasak.
Surip membayangkan tentang daerah Nusa Tengagra, dari sebuah ensiklopedia suku Sasak mendekati profil Bali tapi dengan agama mayoritas Islam. Kesukuan mereka terasa sekali pada bahasanya. Setelah itu adalah tradisi Islam, sedangkan daerahnya gersang dengan tipe tegalan. Jadi daerah Nusa Tenggara musim tanam selalu mengacu pada curah hujan. Daerah ini terkenal dengan padi gogo alias padi ladang. Setelah itu adalah pulau Sumbawa, terdiri dari beberapa kabupaten dengan bahasa dan suku yang disebut Bima.
Pulau Lombok sangat padat penduduknya hingga orang-orang menyebar mencari pekerjaan di perantauan. Sebagian diantaranya banyak yang menjadi TKI di luar negeri. Dalam perantauan di Nusantara suku Sasak kurang dikenal. Mereka tidak sampai membentuk kelompok masyarakat di suatu tempat. Tidak seperti orang Madura yang membentuk pemukiman di manapun berada, atau orang Bugis yang selalu mencoba bermukim di daerah pantai dan kemudian menguasainya.
“Bagian penanaman ini berat kerjanya, banyak sekali orang menghindarinya. Jika ditawarkan kepada orang Dayak atau Banjar banyak yang menolak. Orang Banjar atau Dayak seperti jatuh harga dirinya bila bekerja di bagian ini. Tapi dengan keadaan demikian bagian ini jadi banyak diisi orang-orang perantauan seperti kita,” ketua regu penanaman berkata serius jika ngobrol dengan Surip.
“Di sini aku agak sulit ngobrol dengan bubuhan orang Lombok, untung sekarang ada kamu yang sesama Jawa. Orang-orang Lombok itu lebih suka bergerombol dan berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Seolah-olah jika kita bergabung dengan mereka kita hanya menjadi bahan ejekan dalam bahasa mereka tanpa sepengetahuan kita,” lagi ketua regu penanaman berbicara.
Menjunjung tinggi masing-masing suku, Surip merasakannya di tanah perantauan. Orang-orang Sasak sangat bangga dengan daerahnya, mereka selalu mengklaim sebagai pulau eksotik yang paling indah di Indonesia. Bahkan pulau Bali pun dianggap sebagai bagian mereka. Apapun jika menyinggung urusan Sasak mereka akan menceritakan kelebihan-kelebihannya.
Terkadang Surip mendengarkan sebuah siaran di RRI yang membacakan surat dari daerah, orang-orang Lombok ini mengirimi surat dengan bahasanya sendiri sehingga penyiar di radio menyesuaikan, tetapi setelah itu ada kritik dari sang penyiar untuk mengirim atensi dalam bahasa Indonesia. Tentu saja bagi pendengar radio RRI di Indonesia tidak akan mengerti isi dari surat berbahasa Sasak tersebut.
Di regu penanaman ini Surip merasakan cukup sulit mengatur anak buah, terlihat beberapa kali ketua regunya mengeluh,
“Rip orang-orang ini seperti memboikot terus terhadap perintah-perintahku. Yang paling sulit memerintah salah satu dari mereka untuk menjadi tukang masak,” katanya dengan wajah agak emosi.
“Sudahlah Mas biar saja mulai besok aku saja yang menjadi tukang masak di regu penanaman ini. Aku tahu saja banyak kelemahan badanku. Sebenarnya menjadi tukang masak itu memang sangat membosankan,” Surip yang tidak tega mencoba menawarkan diri.
Akhirnya jadilah Surip resmi menjadi tukang masak regu penanaman. Kesediaan Surip jelas disambut gembira oleh ketua regunya. Sedangkan untuk Surip ia jadi memiliki cukup waktu untuk berlatih jurus yang baginya seperti melekat menjadi sudara kembarnya.
Dini hari sebelum subuh Surip bangun untuk memulai memasak. Sebenarnya Surip sendiri sulit membuat patokan waktu. Ia tidak memiliki jam tangan dan hanya berdasarkan kebiasaan saja bangun pagi. Di hutan yang sebagian arealnya sudah terbuka dengan ladang dan beberapa rumah orang kampung. Tak ada suara adzan subuh biarpun terkadang orang-orang Lombok dan Bima itu sebagian diantaranya mengerjakan sholat lima waktu.
Masak nasi, merebus air, dan membuat lauk untuk sarapan. Tambahan lainnya yang terkadang justru agak berat bagi Surip adalah mengambil air dengan ember dari sungai. Jaraknya dari pondok sekitar dua puluh meter menuruni tebing. Untungnya sudah dibuatkan tangga menyesuaikan kontur tanah, jika hujan tentu licin sekali.
Selesai anggota regu sarapan orang-orang pun berangkat ke areal penanaman. Biasanya orang-orang ini bekerja sampai jam dua belas atau jam satu siang. Cukup banyak waktu untuk Surip menganggur di pondok kerja.
Begitu anggota regu berangkat kerja Surip pun berlatih.
“Aku berlatih di dalam ruang, ah tentu tidak kepanasan seperti di jalan logging selama ini. Sayang lantai pondok kayu ini dari kayu. Mungkin getarannya sangat terasa dari luar.”
Surip bergerak memukul, menangkis dan menendang. Beberapa pemanasan dicobanya untuk menyesuaikan dengan lantai kayu supaya tidak bersuara keras. Beberapa gerakan tak mungkin dilakukan. Misalnya menjatuhkan diri di lantai kayu yang akan membuat suara keras.
“Setiap kali berlatih aku merasakan ketidak sempurnaan. Setiap tempat memiliki kelebihan dan kekurangan. Tetapi gerakan jurus di lantai kayu menjadi tak bertenaga,” terus Surip membanding-bandingkan dengan berbagai tempat latihan yang berbeda.
“Ah lebih baik setiap sesi latihan melakukan jurus cukup dua jurus saja, lain-lainnya adalah penempaan fisik dan kekuatan,” Surip punya ide sebagai metode yang mulai biasa dilakukan Surip.
Yang dimaksud penempaan fisik adalah berupa push up, sit up, scot jump dll. Kalau kekuatan berupa kerasnya pukulan dan tendangan. Itu tafsiran Surip sendiri dalam kondisi berlatih, saat sendirian itulah Surip ingat peristiwa-peristiwa di waktu sekolah menengah.
“Setiap perguruan memiliki jurus sendiri-sendiri. Dari mana sebenarnya jurus-jurus ini berasal?” Surip mencoba mencari jawaban di sekelilingnnya.
“Aku ingat di Kalimantan ini ada kunthow yang gerakannya mirip dengan monyet. Orang-orang menyebutnya kunthow bangkoi, mungkin itu salah satu sumber asal jurus,” nah ketemu jawabannya walaupun itu sangat relatif. “Ujar orang jurus bangkoi hanya bisa dilakukan oleh seseorang dalam keadaan kesurupan atau dimasuki orang-orang halus.”
Terus dicobanya membuat berbagai kesimpulan. Sibuk benar Surip mengurusi asal-usul jurus? He he he jangan mencerca Surip ya.....Surip toh tetap bekerja mencari rejeki, nah inilah hasil sampingan yang didapatnya di manapun berada.
Pencak Silat menjadi salah satu bagian hidupnya, mulai dari dirinya berlatih di desanya yang kemudian berlanjut sampai sekarang walaupun tak bernaung dalam perguruan silat manapun.
“Dulu di Jawa ada beberapa perguruan yang sama sekali tak terdaftar di masyarakat. Mungkin orang-orangnya melakukan hanya untuk kalangan tertutup. Jurus-jurusnya bernama binatang seperti jurus bangau, jurus ular, jurus harimau dll. Semuanya oleh kalangan terutup tersebut selalu dilakukan dalam keadaan kesurupan,” tambah lagi kesimpulan Surip.
“Asal-usul jurus ini bukan hal yang mutlak. Siapapun boleh berpendapat lain,” Surip berkata sendiri, tangan dan kakinya kadang-kadang bergerak mencari-cari tepatnya argumentasi yang didapatnya.
Terkadang Surip melongok keluar pondok kerja, ia takut juga bila ketahuan berlatih.
“Jika ketahuan bubuhannya berlatih pencak silat akan banyak sekali komentar yang muncul,” Surip membatin sendiri. “Rupanya malah di sini rahasianya, sembunyikan latihan-latihan kita dan lawan atau musuh tak tahu sebenarnya kekuatan kita.”
Karena kondisi latihan bebas, tak terlalu banyak sebenarnya Surip berlatih. Cukup sampai badannya basah oleh keringat. Setelah itu ia akan beristirahat sampai badannya terasa dingin kembali. Barulah setelah itu Surip menuju sungai dengan bawaan alat-alat dapur, ember dan handuk serta gayung isi alat-alat mandi. Kegiatannya mulai lagi jam sepuluh dengan memasak untuk makan siang hari anggota regu penanaman.
Di km 12 jalan Domas ini Surip mulai mengenal tetangga depan jalan logging. Ada Pak Mundai dan istrinya, kemudian anaknya perempuan yang sulung si Mundai dan adik-adiknya sampai yang masih balita. Beberapa hari bertetangga dengan keluarga tersebut Surip mulai tahu juga beberapa kebiasaan mereka. Salah satunya adalah penyembuhan (betetamba) ala Dayak memakai jasa dukun.
“Keluarga itu dalam bulan-bulan ini menyatakan sering tekena musibah. Diharapkan dengan diadakannya upacara betetamba mereka bisa lepas dari berbagai musibah tersebut,” ketua regu penanaman sempat memberitahu Surip.
“Memangnya siapa saja yang terkena musibah di keluarga itu?” Surip bertanya agak heran.
“Wah itu urusan mereka Rip, sepintas saja yang kutahu itu salah satu pacar anaknya beberapa minggu yang lalu dan mungkin kemudian ada anak balitanya yang sakit-sakitan dan mungkin yang menggelisahkan orang tua tersebut adalah kalau anak-anaknya yang banyak perempuan. Tentunya orang tuanya berkeinginan anak-anaknya yang perempuan bisa mendapatkan jodoh, ujar orang dukun tersebut akan meramal nasib mereka nantinya,” ketua regu penanaman terus menjelaskan perihal keluarga tetangga pondok kerja penanaman. “Ssst kemungkinan keluarga tersebut juga berharap salah satu dari karyawan perusahaan di sini meminang salah satu putri mereka.”
Surip tahu beberapa orang Lombok sering bergaul rapat dengan putri-putri keluarga tersebut. Tak dipungkiri bahwa nantinya jelas akan ada yang mendapat jodoh di Tumbang Alas ini. Seorang diantaranya terlihat sudah begitu tergila-gila pada seorang putri Pak Mundai. Justru keadaan inilah yang terasa bagi perantau-perantau seperti Surip sebagai sebuah jebakan. Banyak orang-orang luar mewaspadai hubungan dengan perempuan kampung.
Di manapun di pedalaman entah kenapa, perempuan-perempuna tersebut cepat seakli matang secara seksual. Cepat sekali perempuan-perempuan di kampung bila berhubungan dengan seorang lelaki akan lari menuju bahtera rumah tangga. Mungkin karena di pedalaman tak ada tuntutan untuk anak-anak menempuh pendidikan tinggi. Mereka lebih cenderung untuk mengikuti tradisi kampung kawin muda. Cap perawan tua menjadi aib bagi perempuan kampung yang mengalaminya.
Undangan lisan sudah didapat, Surip ikut menjadi tamu dalam acara pesta betetamba. Tentu inilah adat Kaharingan yang sebenarnya. Dalam pelajaran sejarah ada kebudayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini berinti pada adanya roh nenek moyang. Roh-roh tersebut berada atau tinggal di suatu tempat. Ada yang berada di tubuh hewan atau manusia ada pula yang berada pada benda-benda seperti pohon, sungai, batu dll. Manusia yang sudah mati diyakini menjadi roh yang bisa dihubungi dan menimbulkan kebaikan dan juga bisa mendatangkan keburukan.
Untuk menetralkan pengaruh roh orang-orang melakukannya dengan mengundang pesta. Jadi makna betetamba bukan hanya penyembuhan tetapi juga pesta antara manusia dengan roh-roh yang mau diajak. Kemampuan-kemampuan mengundang roh dilakukan oleh dukun.
Kalau Kaharingan sebagai agama sebenarnya agak berbeda dengan kemampuan dukun. Kaharingan mengandung hukum adat dan ajaran-ajaran melalui lisan atau pitutur. Upacara kelahiran, kematian, pernikahan, sangsi adat atas pelanggaran dilakukan oleh demang. Upacara yang paling menonjol dalam Kaharingan adalah pesta Tewah. Ibaratnya ini adalah upacara pasca kematian mengantarkan arwah menuju surga dengan memuliakan tulang-tulang jenazah si mati. Semuanya berupa pesta, tidak ada istilah berkabung untuk seorang yang mengalami kematian. Biarpun yang ditinggal ada yang menangis sedih tetapi tetangga-tetangga yang datang melayat akan memeriahkan dengan minum anding (sari tape ketan) dan bermain kecapi atau berjudi.
Jika kematian saja selalu dengan perayaan, permainan dan perjudian, apa lagi pesta pernikahan. Nah pesta pernikahan selalu diiringi dengan tari masal bergembira (menase). Upacara Tiwah dilakukan untuk menyempurnakan kematian seseorang. Diperlukan biaya besar untuk menyelenggarakannya. Maka di tempat keluarga yang melakukan upacara Tiwah akan diselenggarakan perjudian. Nah dana dari berhari-hari penyelenggaraan perjudian tersebut untuk biaya upacara Tiwah.
Kalau dukun di manapun ada suku terpencil pasti mengenal dunia ini. Seseorang yang memiliki kemampuan mengundang roh dan kemudian meminta jasanya untuk mendatangkan kebaikan. Biarpun jaman sudah modern sekalipun tetap saja dukun ini ada. Mereka terselip diantara kehidupan modern dengan menawarkan jasa keberuntungan.
Ini dukun asli Dayak, prinsip-prinsip pengobatannya mengikuti lingkungan Dayak. Berteman dengan makhluk halus tetapi tetap disebut orang. Mereka mengundang teman-teman dari dunia lain tersebut. Penyelenggaraannya sama dengan pesta upacara.
Di sebuah rumah panggung cukup tinggi, luasnya tidak seberapa tanpa pembagian ruang kecuali hanya dengan sekat kelambu. Tamu yang hadir adalah tetangga-tetangga di sekitar yang saling berjauhan. Seseorang membunyikan kecapi dengan syair pantun (kerungut). Tahu sendirilah pantun itu sastra Melayu. Yang lain bermain remi, catur dan domino. Seorang anak kecil yang sakit berebah di tepi beberapa jenis sesaji upacara.
Dimulailah upacara tersebut,
Seorang lelaki bertubuh kurus kecil membakar gaharu di atas anglo hingga bau harum menyebar. Setelah itu berdiri di depan sesaji memberi isyarat kepada pemain kecapi untuk berhenti. Mulutnya komat-kamit membaca mantra dalam bahasa Dayak.
Beberapa saat kemudian sang dukun terdiam mukanya menjadi kaku dan mata terpejam. Tingkahnya segera berubah seperti warik (beruk) dengan bahasa isyarat. Itulah taman (orang halus) yang didatangkan oleh dukun tersebut. Setiap dukun akan berbeda-beda dalam berteman dengan makhluk halus (roh). Yang disaksikan Surip adalah seorang dukun dengan mendatangkan temannya seorang dari dunia lain seekor warik.
Dukun tersebut memberi isyarat kepada yang hadir seolah-olah bertanya ada maksud apa mengundangnya. Nah salah satu dari anggota keluarga yang melaksanakan hajatan upacara kemudian bertanya silih berganti.
“Eweh jadi dumah Lek?” Bapak yang empunya hajatan bertanya.
Bukannya menjawab dukun tersebut bertingkah seolah-olah menyatakan identitasnya.
Surip tertegun melihat pemandangan di depan matanya, seorang dukun yang kesurupan roh binatang (monyet) tetapi tahu dan mampu berkomunikasi dengan bahasa manusia.
“Ternyata inilah kebudayaan asli milik Indonesia. Akupun termasuk juga di dalamnya,” timbul kekaguman di dalam hati Surip, tetapi juga bercampur dengan penentangan karena tidak sesuai dengan kepercayaan agamanya. Ya untuk orang Dayak itu hal yang lumrah, tetapi bagi perantau-perantau seperti orang Lombok, Jawa dan Bima yang hadir di pesta penyembuhan itu merasakan hal-hal yang diupacarakan itu berbau sirik.
Upacara terus berlanjut, berbagai pertanyaan diajukan kepada dukun tentang syarat-syarat sesaji yang harus dipenuhi dengan jawaban berupa isyarat dari sang dukun yang kerasukan roh warik. Setelah dianggap terpenuhi sang dukun kembali mengejang, beberapa saat kembali sadarkan diri. Saat itulah kecapi dibunyikan kembali dengan iringan seseorang yang hadir bersyair pantun atau kerungut. Sang dukun bahkan mengambil sebotol anding (sari tape ketan) dan langsung mencicipinya. Setelah itu dipersilahkan yang hadir ikut meminumnya barang seteguk.
Di bagian ini orang-orang perantuan yang makin tidak ngeh dengan upacara tersebut. Surip pun saat kena giliran mencicipi tak kuasa menolak, ikut menenggak biarpun hanya sedikit. Terasa pahit alkohol dan sengak sari tape ketan. Anding ini mungkin simbol kegembiraan pesta. Tak heran di setiap acara apapun selalu hadir tak terkecuali penggantinya berupa anggur malaga, bir dan minuman beralkohol yang beredar di pasaran wilayah Kalteng.
Suasana yang tadinya tegang karena dukun kesurupan untuk kebutuhan sesaji pesta kini cair. Lebih-lebih saat dukun tersebut memberi perintah kepada istrinya yang hadir untuk memegang parang. Dijampi-jampinya kepala istrinya yang kemudian terdiam beberapa saat seperti kerasukan roh. Setelah itu istri dukun tersebut menghunus parang mandau dari sarungnya dan mulailah menari. Orang-orang yang hadir di tempat pesta dalam rumah panggung memberi tempat luang kepada istri dukun itu untuk menari mandau, tari perang mengusir musuh.
Sempat istri dukun itu berputar memberikan ujung parang kepada ketua regu penanaman yang dianggap tamu kehormatan untuk menjilat parang sebagai penghormatan upacara. Setelah itu sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan.
Perempuan istri dukun itu mengayunkan parang mandau dengan ritme yang teratur seolah-olah menggambarkan peperangan melawan musuh. Benar-benar sangat mengagumkan, panggung lantai rumah dari kayu itu berderak-derak berirama mengikuti langkah perempuan menari dan bersyair pantun. Gerakan ritmis dengan ayunan parang kanan kiri tanpa mengenai seorangpun yang hadir di ruang sempit itu.
Tiba-tiba Surip seperti mendapat pengetahuan baru,
“Ah pencak silat jurus-jurusnya bisa berasal dari tari-tarian daerah seperti ini. Hampir-hampir tak ada bedanya tari mandau dengan jurus senjata di dalam pencak silat. Kini aku mengerti bahwa assal-usul jurus salah satunya adalah dari tarian milik suku-suku pedalaman.”
Wah Surip merasa semacam kesimpulan berkembang di dalam dirinya. Ia mendapatkan sebuah penemuan di tanah perantauan berkaitan dengan latihan bela diri pencak silat. Kini ia tahu sumber asal-usul jurus yang dilatihnya.
“Al Jurus itu hanyalah model sistematika dari tarian yang harus dilakukan dalam keadaan seseorang dirasuki roh. Jurus sudah disesuaikan dengan fungsi anggota badan seperti memukul, menendang, dan teknik-teknik lainnya. Lagi pula jurus mungkin didekatkan dengan falsafah sehingga setiap satu jurus selalu berdasarkan hasil-hasil pikiran.”
Oh itulah yang didapat Surip karena merasa berlatih bela diri pencak silat. Orang lain misalnya berada di jalur seni tari tentu mendapatkan pengetahuan lain dari tontonan yang ada di rumah panggung kampung Dayak tersebut (mungkin dari segi estetikanya).
Sementara perempuan istri dukun tersebut terus menari dan berpantun dengan ritme gerak yang rampak, mandau di tangannya diayun-ayunkan ke segala penjuru. Mungkin seperti dalam sastra pantun yang memakai akhiran AA dan BB. Kalau pantun dalam bahasa Dayak Surip tak tahu artinya, tapi mengikuti nadanya itu pantun (kerungut) berisi syair-syair kepahlawanan.
“Uh hebatnya perempuan ini memegang mandau, coba nanti aku berlatih jurus dengan mandau juga,” Surip berkata sendiri dalam hati.
Akhirnya sang dukun yang bertindak menghentikan tari mandau yang diperagakan istrinya. Di Jawa mungkin tari ini sama dengan kuda lumping. Orang-orang Dayak mengnal Jawa terutama yang menjadi transmigran dikenal mereka dari seni kuda lumping tersebut. Yang mengagumkan orang Dayak adalah saat kesurupan pemain kuda lumping mampu mengunyah sabut kelapa, pecahan beling dll.
Setelah sadar kembali perempuan tersebut tidak berhenti menari. Hanya kali ini tidak memegang parang mandau lagi. Gerakannya bebas dan kemudian menarik beberapa perempuan yang hadir untuk ikut di belakangnya. He he he Surip surut ke belakang begitu tahu dirinya diajak berjoget di tengah ruangan di rumah panggung tersebut. Ini acaranya disebut menase. Jadi samalah dengan sebuah judul lagu daerahnya yaitu menase, tarian rakyat pergaulan bumi Kaharingan.
He he he orang-orang perusahaan itupun semua sungkan ikut-ikutan berjoget. Malam itu pondok tetangga kegiatan penanaman meriah karena adanya pesta betetamba. Esok harinya terdengar tetangga bergunjing tentang hasil ramalan dukun. Anak-anak perempuan dari tetangga pondok perusahaan diramal tidak akan berumur panjang, oleh karenanya siapa saja orang-orang yang berkeinginan untuk menikah cepat-cepat saja melamar mereka.
Wah orang-orang perusahaan tersenyum kecut mendapati mereka seperti ditantang keluarga depan pondok kegiatan penanaman tersebut. Orang-orang perusahaan banyak yang cepat-cepat mundur teratur, menghindari keluarga tersebut.
“Dari mana lagi asal-usul jurus pencak silat?” Lagi-lagi saat berlatih di pondok kerja Surip bertanya sendiri. Setelah mendapat penemuan dari masalah jurus yang dilatihnya sehari-hari ia bertambah semangat untuk mendalaminya.
“Eit dari Al Jurus ada beberapa kembangan yang berasal dari nama daerah. Ada Cimande, Cikalong bahkan Shantung.”
Ya itu perkembangan baru bagi Surip. Cimande, Cikalong merujuk pada nama daerah di Bogor dan Jakarta. Menurut beberapa sumber cikal bakal pencak silat selalu dihubung-hubungkan dengan perkembangan daerah-daerah tersebut.
“Berarti nama-nama beberapa kembangan dalam Al Jurus adalah bekas tempat berkembangnya aliran pencak silat dimasa lalu,” lagi Surip membuat kesimpulan.
“Sedangkan Shantung itu ini jelas beraliran Konfusius, tapi bukan aliran Shaolin,” wah khayalan Surip tertuju pada cerita-cerita komik yang pernah dibacanya.
“Shantung berarti Gunung Timur, itu aliran kunthow yang pernah berkembang di Cina. Di Kalimantan ini orang-orang menyebut bela diri pencak silat dengan kunthow, jadi tak ada bedanya. Itu nama-nama jaman purba untuk sebuah bela diri. Hanya saja kunthow di Kalimantan tetap tradisi orang Melayu atau Proto Melayu seperti orang Dayak. Tradisinya pun masih bertumpu pada figur seorang guru tradisional, tak pernah menjadi organisasi bela diri modern seperti saat ini.”
Surip tak serius berlatih kembangan Cimande, Cikalong dan Shantung yang pernah dihafalnya. Ia ingat saat berlatih di perguruan Al Jurus, kembangan hanya dijadikan tambahan materi latihan. Bahkan sebenarnya kembangan boleh dilakukan dengan gerakan bebas sebagai ciptaan sendiri. Hanya saja untuk seorang tingkat siswa seperti Surip yang hanya bernaung di dalam satu perguruan pencak silat pendalamannya tentang versi aliran silat sangat kurang. Jadi hafalan-hafalan jurus itulah yang benar-benar dijadikan patokannya.
“Yang penting sekarang aku punya argumentasi kuat tentang jurus, asal-usul jurus sudah terjawab dari tarian mandau Dayak,” ah suara itu hanya ada dalam hati Surip. Hanya dia seorang yang mempelajarinya di perantauan.
“Eh tanganmu kenapa Rip?” Mandor kerja penanaman bertanya heran. Jari telunjuk Surip diperban menutupi luka. Di samping itu ada sejenis panjang luka terbuka hanya saja tak berdarah di pergelangan tangan Surip. Mungkin karena kena di pembuluh darah balik pergelangan tangan jadinya tidak mengeluarkan darah.
“Iya nih aku coba-coba main parang seperti tarian mandau semalam di pondok orang kampung itu,” Surip berkata jujur tapi menyembunyikan percobaannya berlatih jurus senjata dengan parang.
Mendengar kata-kata Surip orang-orang dalam pondok kerja permanen mendadak tertawa,
“Ha ha ha mana mungkin ikam bisa mengayunkan mandau seperti istri dukun itu Rip, ikam harus dirasuki roh baru mahir,” semua orang mentertawakan aksi konyol Surip.
“Lain kali hati-hati Rip, bisa putus jari tanganmu itu,” kali ini mandor penanaman memperingatkan.
Surip sendiri yang tadinya coba-coba berlatih jurus dengan senjata parang hanya sekali itu saja melakukannya. Bukannya kapok tetapi ia tahu saat di perguruan Al Jurus ia tak sempat dilatih nomor-nomor senjata. Jadi ia merasa kemahirannya memang kurang, sekarang saat coba-coba ternyata tekniknya salah sehingga melukai tangannya sendiri.
BAB 10
Teknis Latihan Jurus
Popom mengayunkan sebuah samurai ke tunggul kayu bakar. Gerakannya mengikuti kendo Jepang yang disaksikannya di televisi. Film Ninja menginspirasinya memakai sebilah samurai hendak menunjukan aksi laganya.
Ciaaattt! Samurai menghunjam kayu, tapi hanya aksi saja Popom ini. Kayu-kayu itu tak benar-benar terbelah oleh aksi Popom. Cuma gayanya saja memang mirip-mirip Ninja.
Orang-orang camp banyak yang menonton aksi Popom.
“Wah kharat ikau Lek, tejeb kuluk uluh pasti matoi!” Seorang teman Satpamnya memuji dan memberi aplaus.
Mendapatkan pujian dari teman-temannya Popom makin semangat mengayunkan samurainya. Sebilah pedang panjang hasil membeli dari pedagang keliling kampung.
“Jatun uluh wani tarung dengan ikau Lek, je hitu hanya ikau mahir samurai!” Sopir rimbawan ikut-ikutan memuji. Sementara yang dipuji makin jumawa.
Tapi semua orang memang memaklumi Popom ini. Sebenarnya orang-orang malah kasihan dengannya. Popom dikenal sebagai Satpam paling tololnya di perusahaan. Pendidikannya lulus SMP masih meragukan karena sekolahnya sangat terpencil. Dari bodinya cukup meyakinkan tetapi IQ nya rendah, dan kekurangannya di telinga, sering congekan sehingga termasuk tuna rungu.
Beberapa kali Popom mengayunkan pedang panjang Jepang tersebut. Hanya yang pertama saja terarah ke tunggul kayu, selanjutnya sekedar berlagak Ninja. Rupanya benturan pedang dengan tunggul kayu membuat tangannya kesakitan walaupun disembunyikan.
He he he pedang panjang Jepang sebenarnya hanya cocok untuk membelah daging atau organ manusia. Jika dihunjamkan ke benda keras tidak sesuai dengan urat-urat kayu yang berbeda dengan tubuh atau daging. Fungsinya senjata perang, pisau menyembelih. Sasarannya leher, badan atau anggota kaki dan lengan manusia.
Untuk Popom sebenarnya secara tradisi ia bersenjata parang mandau. Di lingkungan Kalimantan parang mandau multi fungsi. Surip yang awalnya melihat parang sebagai senjata primitif malah memuji sebagai salah satu kekayaan intelektual suku Dayak.
Parang mandau menyesuaikan dengan lingkungan hutan tropis. Di dalam hutan kerapatan tegakan sangat tinggi. Jika seseorang masuk hutan tanpa parang hampir tak mungkin merintis jalan tanpa menabrak tegakan-tegakan besar kecil. Nah fungsi parang mandau yang melebar di ujung menjadikan ayunan berat dan tajam di ujung dengan tenaga efisien. Sekali tebas tanpa banyak keluar tenaga langsung putus tegakan-tegakan kecil berdiameter satu sampai tiga senti meter. Terbukalah jalan rintisan tikus untuk seseorang maju menembus lebatnya hutan hujan tropis.
Mendadak Popom terhenti aksinya, seorang perempuan lewat membuat Popom tak mampu berbuat apa-apa.
Ha ha ha!!! Orang-orang yang tadinya menonton aksi Popom tertawa setelah tahu perempuan yang lewat adalah anak dari ibu dapur yang membuatnya tergila-gila. Orang-orang di camp sering menyebutnya sebagai pacar Popom biarpun belum pernah berduaan.
“Ayo Pom paraki uluh bawek te hanyar jagoan ikau!” Seseorang berteriak memanasi Popom.
Popom blingsatan sendiri, sementara perempuan yang lewat setelah tahu dirinya dijadikan bahan ejekan orang-orang jadi ketakutan. Apa lagi saat terlihat di matanya Popom sepertinya hendak menelanjanginya bulat-bulat di tengah-tengah keramaian. Segera perempuan tersebut lari tanpa memperhatikan apa-apa yang ada di depannya.
BRUSH! Surip yang tertubruk oleh perempuan tersebut terpaksa memegangi supaya tidak mendorongnya jatuh ke tanah.
“Hati-hati Mbak lihat jalan kalau mau pergi,” Surip berkata kasihan.
Eeeh bukannya perempuan itu berlalu, Surip yang ditabraknya seperti dijadikan tameng menghadapi Popom minta perlindungan.
“Hiiyyy aku wedi karo Popom Rip!” Sempat perempuan tersebut berteriak kepada Surip.
Adegan sesaat yang terjadi antara Surip dengan perempuan tersebut justru membuat Popom jadi beringas. Kecemburuannya meledak, Surip sekarang yang jadi sasaran langsung diterjangnya dengan memukul. Terasa kepalan tangan Popom mengenai pundaknya.
“Ela Lek aku jatun masalah dengan ikau!” Surip berkata sempat menangkis serangan Popom lainnya.
“Berani kamu merebut pacarku, ayo lawan aku!” Suara Popom beringas emosi karena cemburu, juga salah paham dengan kejadian yang ada di depannya tadi.
Melihat kejadian selanjutnya yang tidak terduga-duga, orang-orang yang tadinya menonton aksi Popom cepat-cepat mencocba melerai. Seseorang cepat menarik Surip agar mengalah, sedangkan yang lainnya menghentikan amukan Popom yang gelap mata karena cemburu. Dikiranya Surip hendak melindungi perempuan yang dicintainya.
“Ela Lek ela Lek ie te ketun jadi salah paham. Surip jatun masalah dengan ikau!” Sopir rimbawan cepat-cepat memberitahu Popom agar bisa meredakan kemarahannya.
Tapi Popom masih terus menyerang Surip, sementara Surip malah dipegangi seseorang sambil mencoba menarik menjauhi Popom. He he he Surip gelagapan tak berdaya apa-apa. Untungnya serbuan Popom ditahan oleh beberapa orang lainnya hingga terhenti dan kemudian ditarik menjauhi Surip. Masih sempat terdengar sumpah serapah Popom kepada Surip.
Sempat terdengar dari mulut sopir rimbawan ditujukan kepada Popom yang salah paham dengan menghibur,
“Iya Lek ikau jatun bepatoi, ie te kalah dengan ikau!” sepertinya orang-orang itu justru menjaga Popom dengan dipuji sebagai pemenangnya karena tahu orangnya termasuk bodoh.
Tentu saja orang-orang di sekitar kejadian tahu itu salah paham saja. Makanya mereka tak menganggap serius kejadian tersebut, Surip sendiri nyengir maklum.
“Bungol nih orang, dikirain aku merebut pacarnya kali,” dalam hati Surip berbicara sendiri.
Tapi ternyata ada juga seseorang berteriak keras kepadanya,
“Huh dengan Popom saja kamu kalah, memalukan!” Surip mengenal suara melecehkan itu, pasti Arif orangnya. Hanya saat Surip memandang wajah orangnya ia melengos.
Surip justru lebih merasa punya masalah pribadi dengan orang sesama Jawa ini. Yang jelas Surip merasa tak pernah bisa akrab dengan orang bagian perencanaan ini, entah kenapa?
Sementara Popom yang dogol orangnya makin bergaya di depan orang-orang. Terakhir dirinya masuk kamar mess bujangan dan kemudian menyetel keras-keras lagu dangdut sambil berjoget. Tentu saja gara-gara telinganya tuli ia menyetel volume tape keras-keras membuat orang-orang sekitarnya geleng-geleng kepala memakluminya.
Surip tidak terlalu mempermasalahkan urusan dengan Popom. Ia malah kasihan, perempuan yang menabraknya dan kemudian seolah-olah minta perlindungan kepadanya memang sudah lama ditaksir Popom. Perempuan tersebut bekerja sebagai harian lepas di persemaian. Sah-sah saja sebenarnya seorang lelaki naksir terhadapnya. Hanya saja Popom begitu gelap mata, perangainya kasar dalam menunjukan perhatian kepada perempuan yang dicintainya.
Sering orang-orang camp geleng-geleng kepala saat melihat tingkah Popom mendekati perempuan tersebut. Berbagai kisah konyol terjadi,
“Dasar orang tuli, meyakinkan bebiniannya sering salah pandir. Bebiniannya bilang ia sudah punya pacar di Palangka Raya, eeehhh dijawab Popom hendak kawin di mana? Palangka Raya atau Kurun kah kalau bisa sekarang saja!” Ha ha ha seseorang berkata memberitahu Surip mentertawakan anehnya Popom ini saat pedekate.
Lain orang memberitahu,
“Popom itu benar-benar buta matanya. Bebinian yang ditaksirnya itu termasuk jauh dari cantik, tapi ternyata Popom sampai-sampai tergila-gila kepadanya,” nah kalau ini benar-benar kenyataan.
Sepanjang pengetahuan Surip, perempuan yang ditaksir Popom memang jauh dari kategori cantik. Malah Popom yang berkulit kuning langsat cukup meyakinkan bila berpasangan dengan perempuan lain. Tapi dasar cinta buta, apapun bila jodoh tercapai juga.
Tapi bagi Surip apa yang terjadi antara Popom dengan perempuan tersebut itu jadi catatan perjuangan seorang lelaki mendapatkan cinta seorang perempuan. Biarpun lugu dan terkesan bodoh cinta Popom itu suci, hanya caranya saat membuat pendekatan jadi kasar sekali.
Kini Surip lebih memperhatikan seseorang di camp yang terlihat tidak menyukainya. Beberapa kali terjadi keluar pernyataan dari orang tersebut yang langsung menyinggung perasaan Surip. Itulah Arif, ia memantaunya.
Alih-alih bertengkar Surip mencoba mencari tahu keberadaan Arif. Ia mencoba bergabung dengan orang-orang perencanaan. Nah di bagian perencanaan ini tak sengaja Surip akrab dengan seorang Dayak, Meldi namanya.
“Nare gawem Mel?” Surip langsung menyapa saat masuk kamar mess orang perencanaan. Meldi sedang menjahit celana yang sobek. Saat disapa Surip Meldi terlonjak kaget.
“Takajut aku Rip, kukira hantu!” Meldi menyemprot Surip karena tak mengira ada orang di belakangnya.
“Bah dari pada menjahit celana sobek ganti saja Mel, nukar je Kuala Kurun are barang bahalap,” Surip berkomentar melihat begitu telitinya Meldi menjahit.
“Kareh Lek hinde gajian nah,” Meldi meneruskan lagi pekerjaannya tanpa menyambut Surip.
Saat sedang bercakap-cakap dengan Meldi akhirnya datang juga seseorang yang sedang diselidiki oleh Surip, segera dicoba menyapanya,
“Dari mana Rif sibuk benar kelihatannya,” dicobanya juga akrab dengan Arif.
Arif yang tergagap tak mengira Surip berada di kamar yang ditempatinya, jawabannya jadi menjauh.
“Ikam orang pembinaan mana tahu urusan penting di perencanaan,” angkuh kata-katanya membanggakan bagian yang digelutinya.
“Ah kamu mengada-ada saja kita orang survey apa bedanya?” Surip cepat menukas bertanya.
“Jangan menantangku Rip, kamu itu bisa apa! Kamu itu cocoknya jadi bawahanku tahu!” Kata-kata Arif mulai disadari oleh Surip, orang ini terlalu merendahkan kemampuannya.
Mungkin Arif menganggap dirinya senior di bagian perencanaan. Sementara Meldi tak tahu mengapa kedua orang yang jadi temannya ini sama-sama bentrok tak berani ikut campur tangan.
Surip justru menganggap Arif ini cuma berani adu mulut. Tak ada perkara yang benar-benar berani dikeluarkannya. Apa lagi kemudian Arif cepat menghindarinya keluar dari kamarnya sendiri.
“Tege masalah nare ikau dengan Arif Lek, ketun sampai bertengkar. Ketun kan sama-sama Jawa?” Beberapa pertanyaan keluar dari mulut Meldi.
“Aku dia tawa kia Mel, Arif te jadi sirik benar denganku,” Surip coba menjelaskan perkara antara dirinya dengan Arif.
“Arif te bara Trans Tumbang Anjir, uluh puji umba bela diri tenaga dalam,” Meldi memberi informasi yang cukup membuat Surip seperti maklum.
“Oh begitu,” Surip menjawab singkat.
Mereka terus ngobrol berdua di kamar mess perencanaan. Bagi Surip ia lebih enak ngobrol dengan Meldi yang diketahuinya sangat pemalu. Meldi ini orangnya rendah diri sepertinya tahu peran dirinya di hutan saat ikut survey lebih dihargai sebagai tukang masak saja.
Justru hari-hari berikutnya Arif sering mengenakan jaket dengan nama perguruan di belakang punggungnya. Ia seolah-olah menunjukan asal-usulnya sendiri tanpa sengaja di hadapan Surip yang juga berlatih bela diri. Surip kemudian mendapati Arif sering ngobrol dengan siapapun mengenai perguruan pencak silat yang diikutinya.
Masuk hutan lagi.
Ini kegiatan pembebasan, ketua regunya mulai diambil dari orang survey harian tetap. Junaedi yang ditunjuk sementara ini karena dianggap paling senior di pembinaan. Tapi yang benar Kabag pembinaan mempercayakan karena Junaedi masih anak buah jaringan suku Banjar.
Biarpun tersamar tetap juga terlihat persaingan antar suku di perusahaan. Dominasi suku Banjar cukup terasa, sedangkan suku Dayak sepertinya belum mengambil peran penting di daerahnya sendiri. Di sini Surip tahu betapa banyaknya alumni-alumni UNLAM di setiap perusahaan kayu di Kalteng. Hampir setiap perusahaan terdapat orang-orang UNLAM yang saling mengenal setiap angkatan tahun akademisnya.
Di sini keuntungan Surip, tak sengaja perantauannya di Banjar Baru dan pergaulannya dengan alumni UNLAM seperti Yani dan Irhamna apa lagi Agus Lenong membuat orang-orang Tanjung Raya mengenalnya sebagai warga Banjar Baru. Jadi bila ngobrol dengan orang-orang Banjar dari daerah manapun Surip tak pernah kehabisan bahan percakapan.
“Rip ikam bertugas jadi pengenal jenis tegakan. Aku sendiri belum hapal seluruh jenis-jenis tanaman di hutan,” Junaedi memberi instruksi kepada Surip.
“Wah Nae akupun behapal urusan tegakan,” Surip mencoba berkilah merasa bukan bidangnya.
“Kadak apa Rip akupun ngalih jua mengenal jenis tanaman. Yang penting begawai masuk hutan saja,” Junaedi berkata menyatakan dirinya yang sama-sama buta urusan pengenalan jenis tegakan.
Ini pertama kalinya orang survey seperti Junaedi, Surip, dan tenaga harian tetap lainnya dicoba sebagai ketua regu. Tak terasa beberapa bulan bekerja Surip dan sebagian lain karyawan survey pembinaan diangkat sebagai harian tetap, mulanya mereka dianggap sebagai tenaga kontrakan saja.
Surip lebih beruntung dari Junaedi atau Gundam yang baru setelah setahun bekerja diangkat harian tetap. Mungkin karena kebutuhan perusahaan akan adanya syarat karyawan tetap menjadikan harian lepas yang ada di camp km 4 cepat diangkat untuk terpenuhinya persayaratan HPH TPTI.
Sekali lagi bekerja sebagai surveyor tak ada tuntutan benar-benar akurat. Yang terpenting adalah mental masuk di lokasi petak kerja. Setelah itu menghadapi resiko di lokasi hutan dan bekerja sebagai team kegiatan.
“Meranti! Tiang!” Surip berteriak memberitahu Junaedi yang memegang tally sheet pencatat data tegakan. “Diukur kadak Nae?” Lagi Surip bertanya.
“Ya diukur dengan pita tali Rip, berapa dapat diameternya?” Junaedi memerintah Surip mengukur diameter batang tiang meranti yang didapat dalam jalur pembebasannya.
“Nae kalau dihitung dengan pita tali baru dapat keliling batangnya, itu bukan diameter. Kalau diameter ada rumusnya harus dihitung lagi dengan data dari keliling yang yang didapat,” Surip mencoba memberi pengertian.
“Hah!” Junaedi kebingungan tak mengira masalah yang dihadapi ternyata tidak mudah. “Ikam tahu kadak rumusnya Rip?” Akhirnya bertanya.
“He he he aku jua lupa, itu kalau kadak salah ada di pelajaran Matematika,” Surip sendiri ternyata juga tolol. Surip sendiri tahu diri juga, sekolahnya dulu saat SMA rankingnya paling buncit dari lima puluh siswa di kelas.
“Sudahlah sudahlah untuk diameter setiap tegakan perkirakan saja, pokoknya masuk tiang, pancang atau semai. Tiadakan saja urusan menghitung diameter, kaena kadak begawai kita,” Junaedi akhirnya membuat keputusan.
Diperintahkannya anak buahnya yang lain segera memasang label dan nomor urut pohon. Beberapa tegakan pengganggu dimatikan dan sekelilingnya ditebas bersih agar tegakan tiang yang didapat tidak tersaingi pertumbuhannya.
Surip hanya mengenal anggota regu berdasarkan nama panggilannya. Tentu nama-nama panjang mereka tidak tercantum dalam buku karyawan. Jangan kaget, untuk harian tetap seperti Surip dan Junaedi biarpun memakai nama lengkap tetap saja belum diminta data pribadinya. Ini memang pekerjaan tanpa lamar melamar. Yang penting masuk camp dan ambil segala resiko sebagai orang survey.
Hutan hujan tropis campuran tidak seumur, tidak seindah tulisan-tulisan artikel di media cetak maupun elektronik. Sungguh membaca artikel di media tersebut membuat kita berimaginasi tentang surga. Surip merasakan kenyataan pahit, sejauh mata memandang hanya bertemu dengan pepohonan sungguh membosankan.
Jika pembaca membaca ensiklopedia tentang hutan, akan terlihat betapa kayanya jaringan kehidupan di dalamnya. Semuanya membuat penasaran orang untuk menjelajahinya. Tapi seorang Surip dan anggota regu kegiatan survey tidak dibekali dengan literatur seperti itu. Karenanya apa yang ada di hadapannya tidak ditinjau dari segi ilmu pengetahuan tetap sekedar dilewati. Lebih ramai orang-orang survey membicarakan politik praktis, film atau bahkan ngobrol tentang cewek cantik.
Kebetulan Surip berada di hutan dengan kontur perbukitan. Ibarat lapisan batuan daerah Gunung Mas adalah rekahan dan erosi berjuta-juta tahun. Lapisan tanahnya sudah tua dan memunculkan lapisan-lapisan deposit emas. Sedangkan hutannya berupa jaringan tumbuhan dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi yang bila dieksploitasi langsung memutuskan siklus kehidupan. Tanah-tanah subur di bawahnya langsung tergerus habis oleh air hujan meninggalkan pasir. Jika tak berhati-hati sepuluh tahun mendatang Kalimantan adalah padang pasir yang bila hujan deras akan menjadi banjir bandang.
Hutan sebagai sumber ilmu pengetahuan tidak menarik bagi Surip. Kebalikannya ia berharap karier dan pendapatannya sebagai orang survey bisa memakmurkan hidupnya. Surip tidak sendirian, setiap orang survey sebelum masuk camp adalah orang yang tergiur pendapatan tinggi. Lebih tinggi dari pekerjaan buruh di kota. Harapan tinggal harapan kenyataan gaji seorang harian tetap atau harian lepas adalah rendah. Sedangkan menunggu karier naik misalnya menjadi berstatus bulanan atau jabatan Asisten ternyata tak memungkinkan. Jadilah orang-orang survey dihinggapi perasaan jenuh di hutan.
Kegiatan Surip setelah selesai bekerja adalah latihan.
“Uh latihanku habis untuk menghafal jurus. Hampir setiap latihan tenagaku habis, rasanya harus mulai kubuat jurnal latihan untuk beberapa sesi tersendiri,” Surip yang ngos-ngosan nafasnya terpikir untuk mengatur kegiatan rutinnya itu.
Selesai berlatih Surip berjalan kembali ke pondok kerja. Kali ini Surip berlatih di bekas jalan logging yang buntu, beberapa jembatan sudah runtuh tak mungkin dilalui mobil lagi. Memang demikian karena kegiatan pembebasan biasanya adalah mulai tahun ketiga setelah tahun produksi penebangan. Berbagai jalan, jembatan ditinggalkan begitu saja sehingga runtuh, berbagai semak belukar pasti tumbuh dengan sendirinya menutup bekas jalan sehingga hampir hilang jejaknya. Itu sudah harus disyukuri karena bila tertutupi semak belukar maka berarti masih menyisakan kesuburan tanahnya. Tapi untuk Surip hal seperti itu tidak terpikirkan, yang penting kegiatannya tercapai. Latihan dilakukan siang hari terik sekitar jam dua.
Kalau berlatih seperti itu Surip hanya mengenakan celana pendek.
He he he nudis tapi karena sepi jadi tak malu. Malah jika orang lain melihat dan kemudian malu karena menganggap jorok, jangan-jangan orang tersebut tidak normal.
Sering di pondok kerja orang-orang survey yang semuanya lelaki hanya bercelana dalam saja. Terkadang bersarung untuk mencari kehangatan. Tapi kalau tidur semua orang bersembunyi dalam kelambu, hangat dan aman. Jika orang di pondok kerja hanya tidur berselimut saja sering terhembus angin dan perasaan ngeri menyergap karena tingkat kewaspadaan menjadi tinggi.
Sambil berjalan kaki Surip memikirkan kelanjutan latihannya.
“Mungkin setiap hari aku cukup berlatih dua jurus, kemudian latihan pukulan dan tendangan dan juga penempaan fisik,” Surip berkata sendiri sebelum akhirnya bergabung dengan teman kerjanya di pondok. Itulah dunia Surip yang menyendiri.
Pencak silat biarpun sudah resmi menjadi bela diri Nasional Indonesia tetapi surut gegap gempitanya. Surip membandingkan dengan keadaan dirinya saat masih bersekolah di SMA. Di Purwokerto persaingan antar perguruan dalam merekrut siswa sangat ketat. Antara pencak silat modern dengan pencak silat tradisional terlihat aktif. Setelah itu ditambah lagi dengan fenomena tenaga dalam yang lebih massal lagi pergerakannya.
Di tingkat nasional perguruan pencak silat tradisional yang sudah memiliki jaringan kuat adalah Setia Hati Terate, beberapa pecahan dan tokoh-tokohnya menjadi pimpinan organisasi IPSI. Kemudian ada betako Merpati Putih, jaringannya nasional masuk ke pendididkan formal. Yang lain adalah murni tenga dalam dimotori Satria Nusantara.
Perguruan tenaga dalam sulit mendifinisikan dirirnya sebagai bela diri. Lebih komersil untuk tujuan kesehatan dan penyembuhan. Perguruan tenaga dalam sering gagal masuk kriteria dalam IPSI sebagai bela diri. Ada perguruan bermassa besar tetapi hanya dalam lingkup organisasi keagamaan adalah Tapak Suci, tak pernah terdengar perguruan ini lepas dari induknya.
Setamat SMA Surip tak lagi mengikuti perkembangan perguruan pencak silat di Purwokerto. Bahkan saat bekerja mengalami kevakuman dalam berlatih dan bergabung dalam perguruan karena perguruan Al Jurus sudah bubar. Kini di hutan Kalimantan biarpun berlatih jurus tetapi tidak ada induk organisasinya. Hanyalah kenangan di perguruan Al Jurus sangat melekat hingga ia sekarang mendalaminya.
Ibaratnya ia sekarang mengasingkan diri dari dunia persilatan (kalau ada???). Mirip cerita komik silat ya......
Tapi jujur saja, Surip berlatih biarpun sendirian cukup berstruktur. Jadi tidak asal-asalan, bahkan terasa dalam aktifitasnya ia menambah terus materi dalam bentuk praktisi. Al Jurus adalah miliknya, paling tidak itulah versi dari dirinya sendiri.
Bagaimana bentuk materi program latihannya?
Ah itu semacam penemuan baru baginya. Di hari lain mulailah program yang sudah ditemukan dilaksanakannya.
Sesi pertama,
Dua jurus dari hafalan perguruan Al Jurus.
“Dengan melatih dua jurus setiap hari ada bagian lain yang bisa dilatih,” Surip berkata sendiri saat selesai melakukan teknik jurus.
“Badanku lemah mungkin perlu penempaan fisik,” lagi didapatnya metode baru. Maka mulailah ia melakukan scot jump, push up, sit up dengan jumlah masing-masing masih sedikit.
Sesi ketiga bisa dilatih pecahan-pecahan jurus seperti teknik kelit berulang-ulang, berbagai jenis tendangan, pukulan dan tangkisan. Mungkin juga nantinya berlatih jenis senjata.”
Wuiih Surip menemukan irama hidupnya sendiri.
“Ah latihan jurus coba dilakukan dengan bagian tubuh kanan dan kiri. Jadi saat sesi ada empat kali mempraktekan jurus,” ini dia tambahannya.
Tapi saat Surip mencoba melakukan praktek jurus dengan tubuh bagian kiri, waduh janggal sekali dirasakannya. Banyak sekali teknik-teknik yang dilakukannya salah.
“Perlu latihan lagi untuk membiasakan bagian tubuh sebelah kiri melakukan teknik jurus,” Surip menjawab sendiri hambatan yang dihadapinya.
Sebenarnya saat survey di hutan banyak saja kegiatan posisitf lain yang bisa dilaksanakan. Paling bermanfaat adalah mencari ikan baik dengan memancing maupun menyuar. Itu tambahan gizi utama saat survey. Berburu baik dengan senjata api maupun memasang jebakan bisa memperoleh binatang pelanduk, musang, kijang bahkan babi hutan.
Kegiatan ini bagi Surip merasa bukan ahlinya, sesekali ia ikut bila diajak teman-temannya. Tentu hanya sebagai pembantu yang berunsur hiburan.
“Sesekali main remi Rip, hanyar jam delapan ikam sudah guring,” Wahab teman di samping palbet sebelahnya berkata seperti menegur.
“Aku kadak pernah bermain kartu, kadak kawa,” Surip menjawab apa adanya.
“Ikam orang dari kota harusnya banyak ketrampilan Lek, kami yang harusnya banyak belajar dari ikam,” Wahab berkata seperti keheranan.
“Iya remi kadak kawa, selikur kadak tahu, apa lagi poker. Kaena di hutan ikam hanya jadi permainan orang,” teman-teman lainnya ada yang berkomentar seperti itu, nadanya mulai mengejek Surip.
Surip terpojok, kenyataan di manapun berada ia jarang bermain kartu. Di camp km 4 dan di pondok kerja ia sering menghindarinya. Ia merasa tak percaya diri. Baginya bermain kartu terlalu banyak trik-trik yang dirasakannya licik dan menjebak ke watak buruk.
“Baiklah aku umpat bermainlah.....,” Surip akhirnya bersedia walaupun enggan.
Beberapa malam kemudian Surip mencoba bergabung dengan orang-orang Banjar bermain kartu. Hari-hari pertama sambil memahami permainan kartu Surip biasanya menang diawal-awal permainan. Tapi makin lama Surip merasa terjepit posisinya. Ia tahu permainan seperti ini mudah membuat ketagihan dan penasaran. Tetapi untuk trik-trik kartu ia tak paham tipe lawan di hadapannya. Lebih sering Surip terhukum dari pada leluasa bermain, ia seperti menghadapi benteng musuh yang semuanya berniat menjatuhkannya.
“Mereka mendapat kesempatan melecehkanku rupanya, sama saja mereka menghinaku biarpun secara diam-diam,” itulah kesimpulan Surip.
Hasilnya Surip dianggap tidak becus bermain kartu. Cap bodoh mampir pada dirinya bila berada di camp dan pondok kerja kegiatan. Larilah Surip ke dunianya sendiri, berlatih pencak silat.
“Setiap hari ikam pasti keluar pondok kerja, kemana ikam ini sebenarnya?” Ugi teman kerjanya bertanya keheranan.
“Jalan-jalan ae stress di dalam pondok kerja terus Gi,” sembarang Surip menjawab.
“Aneh-aneh saja kelakuan ikam, jalan-jalan sendirian di hutan. Awas kesurupan kadak da yang menolong,” lagi Ugi terus berkomentar.
Surip tentu tak bersedia menjelaskan apa-apa yang dilakukannya, sebenarnya itu bukan rahasia, tetapi jika dijelaskan orang-orang hanya bakalan mengejeknya saja.
Seperti niatnya semula yang sudah direncanakan mulailah Surip berlatih dalam beberapa sesi. Ia membuatnya menjadi semacam jurnal latihan.
Sesi pertama dua jurus, Al Jurus terdiri dari sepuluh jurus. Berarti jurus-jurus tersebut bisa selesai lima hari. Setiap minggu mampu melaksanakan lima hari latihan adalah sudah luar biasa. Jarang Surip mampu memenuhinya. Misalnya sudah tiga hari berturut-turut jurnal tersebut dilaksanakannya, nah hari keempat terhalang oleh cuaca, pekerjaan ataupun badan yang kecapean.
Sesi kedua penempaan fisik, berupa push up, scot jump dan sit up. Ini tantangan baginya karena kemampuan fisiknya diuji. Bulan-bulan pertama dengan latihan push up dilakukannya dua puluh kali. Begitu pula scot jump dan sit up. Tapi makin lama selang beberapa bulan terus ditingkatkan jumlahnya masing-masing bertambah sampai lima puluh kali bahkan seratus kali.
Sesi ketiga, ini berupa latihan teknik berulang-ulang dari pecahan-pecahan jurus. Kelit, sempok, tendangan berputar, teknik sapuan, giles dll. Surip mencoba merasakan setiap teknik tersebut mencapai klimaks. Ternyata setelah dicoba terasa tidak berupa kekuatan tetapi kelenturannya.
Seperti teknik kelit misalnya,
“Pasangan jurus, tangan membuka langsung berputar menangkis ke bawah, angkat tubuh dengan lompatan kaki berganti kuda-kuda. Langsung kuda-kuda rendah,” Surip membuat instruksi sendiri.
Bagian yang paling dirasakannya sebagai peningkatan fisiknya berupa lompatan kedua kaki berganti kuda-kuda. Di sanalah fisiknya dilatih selentur mungkin agar teknik kelit menjadi sempurna. Teknik kelit adalah akhir dari rangkaian jurus kedua. Itu dasar latihan teknik berulang-ulang dalam setiap jurus yang diketahuinya berbeda-beda karakter.
Selesai semua sesi tersebut dilatih, capek menyergap. Tenaga telah terperas habis dan Surip merasakan semacam kepuasan, ada kelegaan di dalam dirinya bahwa hari itu berhasil menyelesaikan latihan. Semacam rasa ketagihan didapatnya seperti orang kecanduan obat.
Di hutan sebagai orang survey bila berjalan kemanapun akan dibawanya sebilah parang. Di sinilah Surip merasakan manfaat parang sebagai alat bela diri. Berjalan seorang diri menenteng parang menimbulkan rasa percaya diri. Hutan sunyi bukan tempat yang membuat tentram, sangat jauh dari hutan wisata.
Surip bukan berwisata, hutan itu menyembunyikan berbagai jenis bahaya yang bisa tiba-tiba menyergapnya. Senjatalah andalannya walaupun jarang terjadi berbagai jenis serangan asing. Cuma penghuni hutan selalu dihinggapi berbagai ancaman dan kewaspadaan. Mungkin inilah kenapa setiap binatang selalu membuat sarang dengan berbagai jalan pelariannya.
“Apa yang kamu cari di hutan sebenarnya Rip?”
Nah ini pertanyaan orang-orang di pondok kerja. Unit terkecil dari sebuah kegiatan perpanjangan kapitalisme. Untung rugi hanya manusia yang tahu, naluri binatang tak sampai ke sana. Beberapa pertanyaan terlontar dari mulut-mulut teman kerjanya. Semuanya heran dengan kegiatannya dan mulai curiga.
“Refreshing saja Lek. Siapa tahu dapat gaharu di hutan,” Surip menjawab jauh dari yang sebenarnya. Jawaban itu jelas tak pernah memuaskan orang-orang sepondok kerja.
Surip sendiri lanjut terus dengan latihannya. Selesai bekerja kegiatan pembebasan ia cepat-cepat istirahat. Jika hari menjelang sore ia pun keluar pondok dengan menenteng parang seorang diri.
Hari itu entah kenapa teman-temannya tak seorang pun bertanya macam-macam lagi.
Untuk mencapai tempatnya berlatih beberapa tegakan bukit harus dilaluinya. Di sini Surip mulai bisa merasakan manfaat latihannya. Dulu bila menaiki tanjakan bukit akan terasa beratnya nafas dan peningnya kepala. Sekarang bukit-bukit itu bisa dilaluinya biarpun tetap melelahkan, nafasnya lebih terkontrol dari pada tidak pernah berlatih sama sekali.
Ia bisa membedakan dirinya dengan teman-temannya saat bekerja di hutan dengan bersama-sama berjalan manaiki bukit. Teman-temannya itu akan terhenti di atas puncak tanjakan untuk berhenti lebih dulu mengatur nafas dan istirahat.
Sampai di jalan cukup datar di bawah naungan bayang-bayang pepohonan mulailah ia berlatih. Sebagai awal sebelum masuk jurus ia melakukan kuda-kuda bangku. Kedua tangan di pundak terkepal dan pukulan kanan kirinya dilakukan dalam jumlah tertentu.
Dulu saat masih di perguruan Al Jurus, latihan ini diteruskan pada ketahanan kuda-kuda bangku. Siswa diuji lamanya melakukan kuda-kuda bangku. Jika tidak tahan dan berdiri bisa dihukum push up. Terkadang pelatih bahkan sengaja menjadikannya sebagai ujian. Pelatih akan menaiki kedua paha siswa yang melakukan kuda-kuda bangku, berdiri sampai akhirnya siswa tersebut kesakitan dan terpaksa berhenti, malang benar nasib siswa tersebut karena akan mendapat tambahan hukuman push up.
Surip justru tidak bertahan dalam kuda-kuda bangku terus menerus, ia hanya menyesuaikan dengan jumlah pukulan yang dilakukan langsung berdiri kembali. Kuda-kuda bangku bukan referensi kuatnya kaki tetapi hanya akan merusak otot-otot yang berkontraksi terus menerus. Ia berlatih kuda-kuda bangku secukupnya saja.
Langsung ke jurus,
“Aku suka membaca komik silat mandarin, jurusnya banyak sekali dengan nama-nama aneh. Hebatnya nama jurus itu sesuai sekali dengan imaginasiku. Jadi pembacanya pasti terhanyut terbawa kehebatan jurus dalam komik,” Surip berujar sendiri. Ia ingat betul judul komik silat kesukaannya. Versi-versi mandarin itu jurusnya sering dikaitkan dengan mistik Cina. Jadi ada jurus naga, ular, harimau bahkan sampai babi. Atau aturan pat kwa, yin yang, lima unsur alam ala Cina dll.
Misalnya jurus naga mengibaskan ekor, nah Surip membayangkan ekos naga itu di kakinya, kaki tersebut membuat gerakan menghantam lawan tetapi bukan tendangan. Pokoknya dengan ketrampilan sebisa-bisa berfungsi ekor yang dahsyat menyerang. Pokoknya Surip jika membaca komik tersebut merasa sangat seru pertarungannya.
Komik dengan kenyataan memang berbeda. Komik berinti pada imaginasi, sedangkan Surip berlatih jurus sesuai dengan akidah bela diri. Pendekar dalam komik bisa bertarung beberapa jam bahkan berhari-hari? Surip berlatih jurus pencak silat hanya mampu paling lama satu jam sehari. Itupun setiap sesi ada istirahatnya. Yang pasti berlatih jurus melihat dari stamina fisik. Stamina inilah salah satu bagian yang bisa dilatih. Surip memasukannya dalam sesi kedua penempaan fisik.
Satu jurus selesai kanan kiri, dilanjutkan jurus kedua. Nama-nama jurus pencak silat yang didapat dalam Al Jurus diambil dari nama teknik lokal. Jurus Teguh sebagai jurus kesatu lebih ke sifatnya, begitu juga jurus Jujur sebagai jurus kesepuluh. Ada yang berupa fungsinya, Jurus Potong, Pat Potong, Giles dll. Surip tak tahu dari bahasa mana jurus-jurus itu berasal.
Belum lagi setiap teknik dalam jurus, semuanya bernama lokal sebagai asli kebudayaan intelektual Indonesia. Sayang bukan jika kita tak mengenal bela diri ini....
Selesai jurus kedua dari jauh terdengar suara tertawa beberapa orang. Terkejut Surip, ia tahu sekarang. Dari jauh teman-teman kerjanya semua mengintip latihannya. Seorang di antaranya sempat bersiul panjang atas apa yang dilakukannya. Itu dilakukan dari atas batang pohon di tepi jalan.
Setelah itu tampaklah beberapa pengintip berdatangan ke tempat latihannya. Lima orang semuanya menenteng parang dengan tingkah dan lagak jagoan.
“Surip bisa kunthow lah, jadi setiap hari keluar pondok gaweannya di sini,” Wahab berkata memuji, tampaknya Wahab bisa memahami seorang seperti Surip yang suka menyendiri.
“Huh kalau cuma kunthow akupun bisa, kharat mana kunthow Surip dengan kunthow Kalimantan,” Ugi berkata ketus.
“Iya di kampung kita banyak guru-guru kunthow. Mereka bepandir kebal lading,” yang lain berkomentar membanding-bandingkan. Sempat disebutnya beberapa nama guru yang ada di kampungnya.
“Nih jurus kunthow aku pernah berlatih,” Ugi berkata kemudian maju ke depan Surip yang masih terdiam karena cepatnya orang-orang berkomentar. Benar juga Ugi kemudian memperlihatkan satu rangkaian jurus. Rangkaiannya sederhana tanpa hentakan pukulan dan tendangan.
Surip justru merasa mendapat tambahan pengetahuan. Teknik jurus kunthow yang diperagakan Ugi berupa rangkaian tangan kosong. Sabetan, tangkisan diiringi tapak kaki, kuda-kuda kanan berpindah ke depan. Tidak terlihat jelas pukulan dan tendangan. Hanya sayang jurus dilakukan Ugi tidak mantap, segera Ugi berhenti karena nafasnya menjadi sesak.
Tentu Ugi ini tak mengira bahwa satu jurus tersebut memerlukan stamina yang tinggi. Satu rangkaian selesai ia malah malu sendiri. Berhenti dengan nafas ngos-ngosan. Teman-temannya yang tadinya memberi aplaus pun terdiam.
Segera Surip membandingkan antara rangkaian jurus yang diperagakan Ugi dengan tarian mandau istri dukun di Tumbang Alas saat pesta penyembuhan di pondok Pak Mundai. Terasa teknik tersebut memiliki persamaan. Keduanya bisa diperagakan dengan irama musik. Hanya saja peragaan yang dilakukan Ugi kalah mantap dengan tarian mandau istri dukun di pondok Pak Mundai. Dari gerakannya Surip tahu Ugi hanya pamer tanpa pernah berlatih intensif.
Ugi sudah tidak mampu memperlihatkan kemampuannya gantian teman-temannya bertingkah macam-macam.
“Nih lihat aku bisa push up hanya dengan satu tangan saja,” seorang temannya memperlihatkan keahliannya. Push up dengan satu tangan memangnya bisa berapa kali?
“Kalau aku bisa salto nah....Ciaaattt!!” Seorang lagi jumpalitan semu.
Orang-orang itu bertingkah hanya untuk memperlihatkan mereka mampu menyaingi latihan Surip.
“Sudahlah sudahlah bubuhan ikam ini sudah tahu aku berlatih. Boleh saja nonton aku melanjutkan latihan,” akhirnya Surip berinisiatif membuat keputusan.
“Lihat aku berlatih jurus, silakan bila hendak mengikutinya!”
Satu juruspun segera diperagakan Surip. Ternyata tak ada yang berani mengikutinya berlatih, mereka hanya mencari tahu rahasia kegiatan Surip kemudian hanya bisa menjadi penonton. Yang menyebalkan Surip, selesai peragaan jurus orang-orang itu berkomentar macam-macam.
“Itu bukan kunthow Rip, lebih mirip karate,” Wahab berkata mencoba memberi penilaian. “Kunthow lebih lambat gerakannya, ikam itu keras sekali saat berlatih.”
Mau apa lagi, jurus yang dilatih Surip berasal dari perguruan Al Jurus. Rangkaiannya berasal dari beberapa unsur daerah yang Surip sendiri tak paham. Lagi pula memang Surip mengakui jurus yang dilakukannya memakai tenaga besar. Hentakan pukulan, tendangan dan sabetannya keras atau menguras tenaga. Berbeda dengan kunthow yang diperagakan oleh Ugi barusan. Kunthow yang diperagakan Ugi hampir-hampir tak bisa dibedakan mana yang bersifat menyerang dengan bertahan. Kemungkinan jurus-jurus asli kunthow di daerah Kalimantan masih seperti itu.
“Iya Rip coba ini aku perlihatkan kunthow,” lagi Ugi mencoba menerangkan kunthow di Kalimantan. Ugi memperlihatkan rangkaian gerak yang lebih sederhana lagi. Gerakannya hanya rangkaian langkah dan gerak tangan saling bertepuk tangan. Tiga empat langkah satu tepukan tangan seperti pancingan. Jika dihitung gerakan terbaik Ugi seperti hitungan tarian dengan irama pantun.
Surip seperti diajari saja, tetapi tak apalah. Kebanyakan suku-suku di pedalaman biarpun mengaku primitif tetapi dalam pandangan lingkungannya mereka tetap lebih beradab dari suku-suku lain. Karena itu jika ada orang luar datang ke daerah mereka sia-siap saja dihina dan direndahkan. Bagi orang pedalaman harga dirinya tetap lebih tinggi dari pada kaum pendatang. Itu sudah anggapan umum di manapun berada.
Kegiatan pembebasan yang dimandori Junaedi ini berasal dari suku Banjar. Mereka juga bukan orang kota. Saat ngobrol dengan orang-orang Banjar ini Surip tahu kebanyakan berasal dari hulu sungai atau Benua Lima. Surip yang cukup lama di Banjar Baru masih bisa mengimbangi dialek-dialek bahasa hulu sungai yang variannya cukup banyak.
Terus Surip berlatih sendirian ditonton teman-teman kerjanya. Sampai selesai barulah bubar dan kembali ke pondok kerja. Keesokan harinya Surip berlatih lagi sendirian. Tak ada lagi yang mengintip latihannya. Paling-paling saat berangkat dari pondok kerja orang-orang ini berkomentar.
“Buat apa berlatih Rip, di hutan tak ada manfaatnya,” itu komentar Wahab.
Sedangkan Ugi berkata,
“Badanku garing gara-gara berlatih semalam, nyaman guring di pondok.”
He he he Surip hanya geleng-geleng kepala. Orang seperti Ugi berlatih mendadak tentu saja kaget badannya. Biasanya esok harinya seluruh badan terasa sakit bahkan sulit tidur karena badan tegang. Itu semua biasa terjadi pada tingkatan pemula.
Sebenarnya di sinilah pentingnya latihan rutin!
BAB 11
Tarung Etang
Sore hari di camp rimbawan km 4. Suara lempengan besi berfungsi lonceng dipukul menjadi pertanda pekerjaan berakhir. Waktunya kegiatan selingan penghuni camp, ramailah suasana camp. Beberapa lapangan yang tersedia digunakan berolah raga.
Paling ramai sepak bola, itu dilakukan di lapangan mess atas. Kemudian bola voli di depan mess rumah tangga dan tenis meja samping lapangan voli.
Sebagian orang survey ikut berolah raga, sebagian lagi menjadi penonton. Beberapa orang survey yang menonjol dalam olah raga adalah Gundam. Ia paling aktif di bagian voli. Ada juga Arif orang perencanaan, ia tampaknya mahir di tenis meja dan sepak bola. Kalau Popom sekedar bisa segala macam permainan tetapi gayanya sok pakar.
Nah yang tidak terlihat punya hobi itu Surip. Ia sering hanya menjadi penonton. Sebenarnya banyak saja sih yang tidak bisa berolah raga tetapi Surip terlalu banyak diperhatikan oleh orang camp.
“Rip gantian aku main, aku harus bantu si Mbok di dapur,” seorang perempuan berkata, itu pacar Popom orang bilang, namanya Yanti membujuk Surip yang cukup akrab dengannya.
“Nggak ah aku gak bisa main voli,” Surip menolak. Tapi orang-orang sekitar terlanjur tahu kehadiran Surip. Mereka justru menanti aksi lapangannya.
“Kamu di camp nggak pernah bermain apapun. Heran aku, apa sih yang kamu bisa Rip?” Gundam yang merasa permainan jadi berhenti gara-gara pergantian pemain juga bertanya.
“Surip ini hanya betah di hutan saja. Di camp selalu bersembunyi seperti banci,” seorang lagi agak kurang ajar bicara.
Surip tersudut, kelakuannya di camp sudah diketahui banyak orang. Sementara pergantian pemain menjadi kesempatan Popom untuk masuk.
“Rip jangan kalah dengan Popom. Yang penting aktif saja tak ada orang di sini yang bakalan jadi atlet,” Gundam berkata menasehati.
Permainan kemudian berlanjut tanpa inisiatif apapun dari Surip.
“Huh goblok Surip!” Seseorang memaki cukup keras, lagi-lagi itu Arif yang sedang bermain tenis meja.
Pamas hati Surip, serba salah jadinya. Makian yang dikeluarkan Arif itu seperti menantangnya. Hanya tak mungkin ia melayaninya, saat itu orang-orang lebih asyik berolah raga yang lebih berunsur hiburan.
Surip menyingkir menjauh dari lapangan, benar-benar hidupnya sangat banyak kekurangannya. Pikirannya melantur dengan perasaan bimbang.
“Bagaimana ini aku bisa tersisih dari pergaulan jika terus menerus menutup diri,” perasaannya pesimis. Beberapa ingatannya masuk, ia sekarang tahu dulu saat sekolah hobi utamanya cuma baca komik. Dan itu sulit tersalur di camp ini. Olah raga sebatas mengikuti pelajaran di kelas.
“Ya aku harus mengambil satu bidang olah raga di camp ini, paling tidak sebatas untuk pergaulan,” tekadnya timbul.
Esoknya siang-siang ia survey untuk bisa ikut kegiatan di camp.
“Ah ya itu tenis meja saja, kelihatannya tidak terlalu memforsir tenaga.”
Segera didekatinya meja tenis yang saat itu ada beberapa orang yang sedang bermain. Orang-orang survey bebas bermain apa kapan saja di camp karena sudah tidak terlibat pekerjaan apapun. Surip nekad bergabung saat seseorang kelelahan.
“Biar aku coba Lek,” Surip meminta bed tenis meja.
“Ikau Rip, tumben umba tenis meja?” Satpam yang digantikannya berkata sambil menyodorkan bad tenis meja. “Ikau lawan si Harahap Lek,” ditunjuknya seseorang di bidang meja lain yang berperawakan gemuk.
“Bah Surip lawan mainku, biar kuajari kaulah!” Logat bataknya kental sekali.
Mulailah Surip bermain tenis meja, wahhh gerakannya kaku dan tekniknya salah.
“Memukulnya didorong Rip, jadi bola bisa memantul!” Satpam yang tadi digantikannya memberi contoh.
“Ha ha ha lawan seperti Surip ini biar berapa set pun pasti kalah melawanku,” Harahap berkata jumawa.
Harahap segera memainkan bola, beberapa kali bola pukulannya gagal dibalas Surip, apa lagi biarpun kembalian bola Surip berhasil masuk meja bidang Harahap tetap saja mudah dibuatnya trik. Beberapa kali smesh keras masuk tanpa bisa diantisipasi Surip. Surip jadi bulan-bulanan permainan orang camp hari itu.
Hari pertama main tenis meja runtuh mental Surip, rasanya hanya ejekan tak becus bermain mampir di telinganya. Juga hari-hari berikutnya ia main sembunyi-sembunyi. Jika sore hari ia menyelinap keluar camp jalan-jalan dan latihan jurus di tempat tersembunyi.
Sebenarnya itu hanya perasaan Surip saja yang minder di camp. Padahal teman-temannya di camp biarpun tahu Surip pemain pemula tapi tanggapan mereka positif. Banyak saja orang yang lebih pasif di camp, orang-orang ini tidak pernah terlibat olah raga apapun karena kebanyakan kuat bicaranya saja alias hobi omong besar. Tapi paling tidak Surip mulai mencoba adaptasi di lingkungan camp, ia tahu betapa banyak kekurangan pada dirinya.
Harahap jelas orang Batak, Surip saat masuk hutan di pembebasan orangnya belum ada. Jadi ia adalah orang baru di camp untuk bekerja ikut kegiatan survey. Di camp biasa kedatangan sanak family atau pendatang baru yang sesuku dengan karyawan tetap pembinaan maupun perencanaan. Orang-orang itu datang dan kemudian ditampung untuk dimasukan kegiatan survey.
Orang-orang baru tersebut biasanya sudah berlatar belakang berbagai pekerjaan sebelum masuk camp.
“Aku pernah bekerja di Natuna dalam pengeboran minyak, sempat juga masuk Serawak di perkebunan sawit tanpa ijin,” ia bercerita tentang pengalamannya. Ceritanya begitu meyakinkan terutama pada Surip di sela senggang waktu. “Ssst tapi kamu diam saja ya, cuma kamu saja yang kuberitahu,” tambahnya lagi ditujukan kepada Surip.
Orang-orang camp rimbawan banyak saja memberi perhatian tertuju pada cerita-cerita Harahap. Surip jadi ingat dengan Agus Lenong, bukankah Agus Lenong bermarga Harahap, marga tersebut dari Batak beragama Islam. Agus Lenong orangnya supel dalam bergaul, banyak disukai pimpinan karena bisa dipercaya.
Itulah bedanya dengan Harahap yang dihadapinya sekarang. Hanya cerita petualangannya saja yang menarik. Surip agak jengkel sebenarnya bila ngobrol atau bermain tenis meja dengan Harahap. Orangnya terlalu menggurui,
“Ayo Rip aku jadi pelatihmu, ini bola dari aku coba smesh!” Perintahnya benar-benar seperti pelatih profesional. Padahal saat berhadapan dengan beberapa orang lain di camp ia sering kalah.
Surip masih baru di bidang olah raga tenis meja, semuanya memandang rendah kemampuannya. Di sinilah Surip juga mulai berinteraksi dengan Arif yang memang jagonya. Uiiihhh jika Surip coba bermain dengan Arif ia cuma dihajar total tak pernah permainannya bisa berkembang.
“Tenis meja saja tidak bisa apa lagi kamu menantangku berkelahi!” Tinggi sekali nadanya bila bicara tentang berkelahi. “Biar Surip berlatih bela diri apapun tetap saja ia tak mampu menghadapiku,” demikian pernyataannya penuh tantangan.
Jika sudah urusan yang satu ini mengalirlah cerita dari mulutnya tentang keanggotaannya di sebuah perguruan pencak silat Nasional walaupun sudah lama tak diikutinya lagi.
Tapi kalau bermain tenis meja dengan Wahab ia berkomentar,
“Wah Rip permainanmu kayak kunthow saja. Ini di camp bukan di hutan,” katanya mengingatkan Surip. Tentu saja Wahab tahu keadaan Surip karena pernah bersama dalam satu regu kegiatan. Yang susah itu ternyata gaya pencak silatnya terbawa dalam permainan lain. Surip tak bisa berbuat apa-apa, diakuinya dalam bidang olah raga hanya pencak silat lah yang menyatu dengan dirinya. Dasar-dasar jurus membuat permainan lainnya kurang dikuasainya alias sangat minim pengalaman.
Tertatih-tatih Surip menyesuaikan diri dengan dinamika kegiatan camp. Begitu banyak bagian hidupnya ternyata tertinggal dibandingkan teman-temannya. Tetapi ada satu peningkatan karier di perusahaan, ia kini mulai membawa regu kegiatan.
Irama hidup di camp selalu bertumpu pada kegiatan pembinaan dan perencanaan. Pondasi yang sebenarnya mati hidup perusahaan adalah dari produksi kayu. Setiap tahun ada rencana karya tahunan (RKT). Yang dimaksud adalah blok tebangan setiap tahunnya oleh bagian produksi.
Kegiatan perencanaan masuk dulu untuk survey pembukaan wilayah dan cruising (penghitungan kayu produksi). Setelah itu bagian produksi menebang dan barulah areal bekas tebangan menjadi bagian pembinaan. Oleh karenanya anggarannya selalu menyesuaikan dengan hasil produksi tahun penebangan.
“Bagian pembinaan itu anggap saja konservasinya hutan, jadi kegiatannya pemulihan lahan pasca penebangan termasuk anggarannya,” seorang Asisten pernah menerangkan hal tersebut.
Kesibukan masuk kegiatan survey terus berjalan. Harapan mendulang pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seluruh masalah di camp menyesuaikan dengan kegiatan bulanan ini. Jadi jika upah hanya setiap bulan sekali berarti untuk keperluan lain di camp orang biasa berhutang. Akhir bulan tinggal potong upah masuk hutan.
Surip punya kegiatan sendiri, hanya kegiatan sampingan tapi cukup menguras tenaga dan pikirannya.
“Banyak sekali hal yang menggelisahkanku. Mungkin ini yang disebut trauma masa lalu. Aku hanya bisa melarikannya dengan menggerakan badan sampai berkeringat agar berkurang,” Surip berkata sendiri. Ia sebenarnya orang yang hidup sederhana bahkan cenderung gembel, dirasakannya bidang-bidang hidupnya tidak realistis.
“Latihan jurus ini sebenarnya tak sesuai dengan kondisi masyarakat. Tapi ternyata aku memilihnya, konsekuensinya aku menjadi orang aneh nantinya di masyarakat umum,” katanya sendiri dalam hati.
Sekarang ia membawa regu kegiatan pembebasan meneruskan kegiatan Junaedi. Junaedi sendiri dicoba di kegiatan lain yaitu perapihan. Sebagian anak buah Junaedi ikut dirinya seperti Wahab dan Ugi ditambah orang Dayak dan seorang Batak si Harahap.
Lokasi kegiatan bekas kegiatan perapihan sehingga Surip tak perlu membuat tapal batas. Blok-blok pembebasan sudah terbentuk saat perapihan. Sebenarnya sebelum penebangan batas blok adalah yang paling bagusnya karena belum rusak. Memasuki tahap pembinaan bekas-bekas tebangan yang terbuka banyak yang sudah ditumbuhi semak belukar dan paku-pakuan.
Berbeda dengan perapihan yang menebas semak belukar tanpa pandang bulu maka pembebasan selektif memilih tegakan yang tidak kena tebang. Tempat kerjanya masuk naungan-naungan yang aman dari bekas tebangan yang sudah terbuka.
“Gi di mana si Harahap kok tidak bersama menebas?” Surip bertanya pada Ugi yang bertugas menebas areal tegakan yang telah didata.
“Kadak kawa jalan Lek, manggah nafasnya. Terpaksa kutinggal karena lambat,” Ugi memberitahu.
“Biarlah namanya orang baru pasti belum terbiasa,” Surip berkata maklum. “Biarlah kita beristirahat dulu di batas ini, setelah itu masuk jalur sebelahnya mendata,” katanya memutuskan kebijaksanaan.
Tertatih-tatih Harahap mendatangi teman-temannya yang sudah lebih dulu sampai di batas blok kerja. Orang-orang mulai tahu Harahap sebenarnya masih hijau di lapangan. Sebagian besar cerita petualangannya tidak terbukti di group pembebasan ini.
“Mana lebih uyuh ikam di hutan dari pada di kebun sawit Lek?” Wahab bertanya mendikte.
“Aku haus Lek, mintalah airnya....,” Harahap tak mampu menjawab, menahan haus. Segera minta termos air yang dibawa salah satu rekannya. Tak kuat rupanya berjalan kaki di hutan. Setelah itu berkata, “Aku kadak tahan berjalan, tak cocok di kegiatan ini,” lanjutnya lagi dengan berbagai keluh kesah.
Hilang sudah cerita-cerita petualangan yang pernah dihadapinya sehingga orang camp mennganggapnya hebat. Saat belum masuk hutan ia sudah sesumbar biasa survey di medan manapun.
“Sudahlah ayo kita ke jalur selanjutnya, lebih uyuh lagi kita kalau hanya duduk berkeluh kesah,” Surip sebal juga dengan watak Harahap. Jelas orang lebih patuh pada Surip yang menjadi mandor mereka dari pada mengurusi seorang Harahap yang buncit perutnya itu.
Lain di lapangan lain juga di pondok kerja. Di sanalah Harahap ngobrol berbagai petualangannya.
“Aku main dengan lonte di Kuala Kurun selalu gratis Lek, bebiniannya mengakui kehebatanku main di ranjang,” katanya memulai berkisah. Kalau urusan ini orang-orang hanya jadi pendengar. Soalnya biarpun orang-orang survey lelaki menyukai perempuan tetapi untuk main dengan lonte tak semua hobi.
“Surip ini duitnya banyak tapi tak pernah melonte, ayo Rip sekali-sekali kuajak masuk tempat karaoke,” wah Surip dijadikan sasaran gurauannya. “Kaena kuajari ikam berbagai gaya besakih,” lagunya bila dengan Surip selalu menggurui.
Sebulan yang lalu sebagian anggota pembebasan sudah tahu bila Surip punya kegiatan tersendiri. Karena itulah sekarang ia berlatih tidak perlu terlalu jauh dari pondok kerja. Pilihannya jatuh pada tempat datar di tepi sungai, tanahnya padat berpasir mungkin bila hujan akan tergenang air. Yang pasti pilihannya pada tempat tersebut karena di bawah naungan pohon-pohon besar jadi nyaman di badan.
Zzzzkk.....zzzzzk....! Nafas Surip terengah-engah saat melakukan salah satu jurus hafalannya.
Sebuah kenyataan pahit berlatih pencak silat ternyata tidak menambah kesaktian. Tidak seperti cerita-cerita komik yang selalu dibumbui dengan tambahan tenaga dalam atau ajian tertentu.
Ternyata pencak silat hanya menghayati jurus. Kaidah-kaidahnya dilatih, jurus pencak silat mengandung berbagai unsur gerakan tari. Berbagai kuda-kuda, tapak (langkah), teknik memukul, teknik menendang, teknik kuncian yang semuanya menjadi strategi bela diri. Ada tambahannya yaitu hitungan atau irama atau gaya. Setiap penghayat pencak silat akan menemukan gayanya sendiri sesuai watak pribadinya.
Hitungan, irama dan gaya inilah yang sering menjadi pencak silat alias seni tari yang mengandung teknik bela diri. Silatnya sendiri berarti rangkaian (asal kata dari sholatun, tapi entah mana yang benar terserah pembaca).
Tapi ada juga yang mengaitkan silat sebagai teknik bela diri untuk membunuh atau mematikan lawan. Jadi akan timbul berbagai penafsiran terhadap pencak silat. Definisinya bisa meluas sesuai tipe guru pelatihnya.
Satu jurus selesai, Surip membungkukan tubuh untuk beradapatasi. Gerakan jurus menguras tenaga dan memacu jantungnya bekerja keras mendadak. Kemajuannya Surip sekarang tidak lagi mengalami mual di perut atau pening di kepala. Berarti staminanya tergenjot, tubuh sudah terbiasa dengan latihan-latihan berat.
“Terkadang aku berlatih justru sangat bodoh, semuanya ini hanya menyiksa diri sendiri,” ujar Surip dalam hati.
Beberapa pasang mata diketahuinya menonton acara latihannya.
“Mereka itu penasaran dengan apa yang kukerjakan, yah mau apa lagi, semuanya tak lazim di masyarakat umum. Tapi dulu saat masih kecil aku tertarik dengan pencak silat ya gara-gara ngintip orang berlatih,” Surip berkata sendiri membiarkan anak-anak buahnya menonton dengan berbagai cara.
Ada yang pura-pura berjalan menuju sungai untuk pasang bubu, ada juga yang pura-pura mencuci pakaian atau mandi. Ditonton tidak apa-apa tetapi dari raut muka ejekan dan meentertawakan terlihat ditujukan kepada Surip.
Bagi mereka Surip itu tokoh yang aneh dan lucu. Sering jika sudah berada di pondok dan berebah di palbet orang-orang seperti Ugi atau Wahab berlagak dengan meniru-niru latihannya.
“Ciaatt Haiit!” Ditambah lagi dengan teriakan ala jagoan kungfu.
Yang lagi ramai saat itu serial Wiro Sableng di televisi. Tokoh Wiro Sableng itulah yang jadi rujukannya makanya beberapa di antaranya pasang ikat kepala ala Wiro Sableng.
Surip tak mampu menghalang-halangi peniru seperti itu. Mereka tidak masuk bagian dari jurnal latihan yang dipraktekannya.
“Jurnal latihan?” Surip mencoba memahami suatu kegiatan rutin yang diharapkan menghasilkan tujuan tertentu.
“Apa hasil latihan ini?” Lagi Surip bertanya pada dirinya sendiri.
Berbagai latihan sudah dilaksanakan tentunya aneh jika tidak menghasilkan semacam penemuan atau apalah pokoknya semacam kekayaan intelektual. Hal ini sama saja seperti orang membatik, menenun atau mengukir. Hasil-hasil kerajinan tangan mereka langsung bisa dinikmati.
“Batik dan ukiran itu menghasilkan motif, latihan jurus harus juga mendapatkan buah tangan seperti itu,” Surip berkata sendiri berpikir keras.
Dicobanya berkali-kali melakukan jurus dan kembangan untuk merasakan rahasia pencak silat.
“Huh bela diri semacam ini hanya akan membunuh orang Rip!” Seseorang berkata keras, logatnya langsung ketahuan itu orang Batak. Kali ini harahap yang mencoba menonton aksi latihannya.
“Bagaimana kamu bisa berpendapat seperti itu?” Surip bertanya, beberapa gerakan yang dilakukannya terhenti.
“Bela diri yang kamu latih itu keras, masih lembut Yudo yang hanya mengunci lawan,” katanya seperti sudah ahlinya bela diri.
“Wah berarti kamu bisa Yudo, tentunya menarik sekali bila berlatih bersama,” Surip mencoba mengajak.
Gelagapan Harahap, tak dinyana Surip malah mencoba kemampuannya.
“Iya Harahap ini lebih sering bepandir, coba tandingi Surip berlatih Lek,” Wahab yang tadinya berada di pondok kerja segera mendekat dan menyela pembicaraan. Bagaimanapun sebuah latihan selalu membuat penasaran orang. Hanya perasaan sungkan di hati sehingga orang-orang menahan diri.
Harahap kebingungan didesak orang-orang sekitarnya karena terlanjur sesumbar kemampuannya. Surip dan orang-orang sepondok kerja tahu Harahap sebenarnya lebih sering membual.
“He he he ketahuan ngeramputnya ikam itu,” Ugi mengejek Harahap.
“Bah sialan kalian, besok akan kutandingi Surip berlatih!” Melengking suara Harahap tertantang. Seharian itu orangnya uring-uringan, ada yang dipikirkan olehnya rupanya, sesuatu yang serius.
Esoknya sehabis kerja survey pembebasan Harahap pergi entah kemana. Sorenya baru ketahuan ada oleh-oleh yang dibawanya, segulung karet ban dalam mobil.
“Aku bisa tinju, setiap hari nanti berlatih. Memangnya Surip saja yang bisa bela diri!” Kata-katanya keluar sambil mengisi karet ban dalam dengan tanah dan pasir.
Setelah diikat dicobanya digantung di sebuah dahan pohon rendah. Merasa kesulitan mengerjakannya sendiri dimintanya seseorang membantu, Oiiii jadilah itu sebuah sansak berlatih pukulan.
Maka di kegiatan pembebasan sekarang ada dua kubu yang berbeda jenis latihannya.
Bak Buk! Terdengar sansak berbunyi mendapat ayunan pukulan harahap. Gayanya bergerak meniru petinju.
“Ini jab, hook dan straight!” Tambah lagi pergerakannya melakukan teknik-teknik tinju.
Surip sesekali ikut menonton Harahap berlatih.
“Coba kamu berlatih pukulan Rip, kamu itu banyak sekali kekurangannya saat berlatih,” sekarang ia tambah sok gayanya seolah menjadi pakar dengan menggurui Surip.
Mau apa lagi, Harahap tertantang karena Surip sudah berlatih pencak silat. Gengsinya tak mau dijatuhkan, ia selalu berusaha berada di atas Surip walaupun tahu Surip itu mandornya dan juga memiliki ketrampilan lain.
“Aku coba latihan dengan sansak ya,” Surip akhirnya merendah. Dari pada adu gengsi lebih baik coba bergabung, tak ada salahnya mengikuti Harahap berlatih.
Surip sendiri mengakui berlatih pencak silat dari sejak SD sampai sekarang juga belum pernah melatih pukulan dengan sansak. Selama ini ia berlatih hanya memukul angin.
BUK! Sekali dipukulnya sansak. Benturan itu menyakitkan kepalan tangannya. Beberapa kali dilakukannya, memar-memar jari tangannya. Ia tak bisa memaksa lagi, cukup sampai di situ saja.
“Lihat aku berlatih dengan sansak sampai tanganku berdarah. Ayo lebih keras Rip!” Harahap dengan gayanya terus menggurui Surip.
“Silakan diteruskan Lek, nanti aku coba lagi ya....,” Surip tak mau mengikuti gaya latihan Harahap. Cara-cara Harahap berlatih itu konyol, melukai diri sendiri. Begitu juga dengan latihan tinju, ia hanya meniru bertinju.
Harahap bukan petinju, ia berlatih hanya karena adu gengsi. Apa lagi tambahan-tambahan latihannya makin membuat Surip dan teman-temannya tertawa geli. Push Up hanya dengan tangan terkepal makin membuat kulit jarinya terkelupas. Tambah sakit tangannya, untuk itu hari-hari selanjutnya ditutupinya dengan sarung tangan. Beberapa hari kemudian tangannya menebal bekas luka tapi tetap ngotot dengang anggapan itu sebagai kulit menambah kuat pukulannya.
Surip sendiri ccoba rutin berlatih memukul dengan sansak. Cukup sampai memar-memar jari tangannya. Ia malah menambah dengan porsi latihan menebas tangan kosong seperti karate. Sasarannya batang pohon di dekat pondok kerja.
Makin gelilah orang-orang sepondok kerja menyaksikan ketololan Surip berlatih. Ternyata Surip yang tolol itu diikuti Harahap yang tak mau kalah gengsi. Harahap tak tahu betapa orang-orang mentertawakannya karena cara-cara berlatihnya bukan petinju beneran. Ia hanya seorang peniru.
Selang dua hari Harahap berlatih tinju, Ugi berlagak jagoan dengan memainkan sebilah anggar. Ugi tampil bergaya Zoro, tangannya mengayun-ayunkan anggar menusuk dada lawan.
“Hait Hiaaat!” Teriaknya sendirian, sebilah anggar dari batang kayu meliti atau gading yang gagangnya dilingkari tutup bekas sabun cuci Wings, bak atlet anggar bertarung.
Tekniknya entah benar atau salah, Surip sendiri buta tentang permainan anggar.
“Orang-orang pada berlatih aku juga umpat nah,” Ugi terus bergaya. Saat Surip berlatih ia sengaja berada di depannya memainkan anggar bertarung.
“Suduk ikam nah aku menang!” Hanya bohong-bohongan saja Ugi ini. Mana bisa ia bermain anggar, ia hanya tak mau kalah karena orang lain berlatih serius.
Hari-hari di pondok kerja hanya itu saja kegiatan orang-orang survey setelah masuk hutan.
“Orang-orang ini sebenarnya terbawa pengaruh olehku yang berlatih serius bela diri pencak silat. Mereka menutup-nutupi diri mereka dengan ketrampilan lain supaya tidak kalah gengsi,” Surip berujar sendiri dalam hati.
Saat-saat berlatih sendirian Surip justru berpikir keras.
“Saat kecil aku juga senang bermain anggar dengan teman-teman sebayaku di desa. Begitu juga main tembak-tembakan dengan pistol air maupun sumpit,” pikiran-pikiran masa kanak-kanaknya timbul.
“Ah aku ingat ada permainan jenis tarung saat masih kecil. Justru itu mirip pencak silat,” terus ia berpikir keras. “Itu bisa menjadi semacam jenis Tarung,” kena juga idenya.
***
“Ayo kita bagi dua kelompok permainan. Masing-masing satu lawan satu. Yang mati mundur yang menang lawan dengan yang menang sampai tinggal satu kelompok dianggap pemenangnya!” Surip ingat itulah masa-masa kecilnya di desa.
Kedua tangannya bergerak memperagakan permainan tersebut.
“Ini seperti jurus colok saja, jari-jari tanganku efektif beraksi,” itu kesimpulan Surip.
“Ini dia tarung Etang, namanya sesuaikan saja dengan permainan masa kecilku itu,” Surip kini menemukannya, inilah salah satu hasil latihannya.
“Biarpun bukan penemu tetapi permainan ini masuk kategori bela diri. Inilah bagian Al Jurus versiku sendiri!” Teriaknya dalam hati.
Permainan ini hanya menggunakan kedua tangan. Jika salah satu tangan mengenai bagian tubuh lawan yang diincar dianggap menang. Untuk lawan yang terkena biasanya diteriaki mati. Sasaran hanya dibenarkan di bagian kepala dan kaki paha ke bawah. Cukup menyentuhnya tanpa benturan keras. Kedua tangan berhadapan boleh saling tangkis menangkis mencoba mencari celah kelengahan lawan.
“Etang ini permainan anak kecil, kulihat sekarang tak ada lagi anak-anak memainkannya,” Surip tertawa geli saat mencoba menggerakan tangan seperti jurus colok.
“Sasaran jurus colok itu mata, Etang tidak mencari sasaran mata, cukup menyentuh bagian kepala dan kaki menjadi poin,” terus Surip menccoba mengolah hasil temuannya.
Permainan Etang membutuhkan kejelian dan kewaspadaan tinggi. Bagian kepala dan kaki akan diincar lawan, jadi menyerang ataupun bertahan tetap bisa kebobolan.
“Tidak diperlukan kuda-kuda atau langkah yang rumit seperti pencak silat. Paling maju atau mundur, unsur hiburannya lebih banyak. Tekniknya sederhana saja hanya menggunakan kedua tangan seperti tinju tapi tak akan pernah ada adu jotos,” Surip memperagakan permainan Etang, terasa akan banyak sekali variasi gerakan. Paling banyak kedua tangan akan saling bersentuhan mencoba mencari celah atau menghindar dari serangan dengan cara mundur ke belakang.
Yang jelas kedua petarung akan selalu berhadapan. Mungkin tipuan bisa dijalankan, tetapi itu masuk salah satu strategi. Paling banyak berupa gerak pancingan atau coba-coba, salah benar resikonya kebobolan serangan lawan.
“Permainan anggar itu cukup menusuk dada lawan. Etang justru tidak mencari sasaran di badan tetapi bagian kepala dan kaki. Jadi variasi gerakan serangan adalah bagian atas dan bawah tubuh,” terus Surip mencoba kemahirannya bermain tarung Etang.
Antara tinju dan anggar itulah Etang. Senjatanya tangan kosong cukup mengenai bidang sasaran sudah menjadi nilai. Kedua kaki sama seperti tinju dan anggar hanya menjadi penyeimbang. Tarung Etang jauh dari sifat kekerasan. Kedua petarung tak akan pernah terluka. Mungkin yang diwasapadai adalah bila tangan lawan mengenai mata, hanya itu saja resikonya.
“Jika kena mata justru bisa dianggap pelanggaran,” Surip makin semangat dengan penemuan barunya.
“Sayang tekniknya masih mentah, tak ada ajang uji coba bertanding......,” meringis Surip mendapati temuannya itu hanya untuk dirinya sendiri.
“Bagaimana sistem pertandingannya?” Nah Surip menambah lagi permasalahan dari tarung Etang.
Di dalam hutan di tepi sungai dan tanah lapang bekas gerusan air Surip berlatih pencak silat. Di bumi Kalimantan inilah bakat terpendamnya dicoba dikeluarkan. Di dalam bela diri pencak silat juga terdapat nomor tarung, nomor jurus atau seni. Masing-masing dari pertandingan itu ada kejuaraannya.
“Ini adalah pendalaman dari Al Jurus, persoalan sesuai atau tidak dengan aturan IPSI itu hal lain,” Surip berkata sendiri dengan gagah bak batu karang.
Dari sinilah Surip bertekad untuk mendapatkan terus materi dari lingkungan di alam perantuan. Siapa yang berada di dalam hutan untuk bertahun-tahun lamanya ia akan merasakan kejenuhan. Jika tidak ada pelepasan dengan kegiatan-kegiatan seperti yang Surip lakukan jiwa menjadi paranoid, takut terhadap perubahan dan lingkungan baru yang asing.
“Kenapa berhenti Rip, tak ada lagi teknik latihan rutin yang ikam latih?” Wahab yang lewat sempat duduk nonton bertanya.
Rutinitas Surip berlatih membuatnya hafal juga beberapa bagian yang dilatih. Wahab pernah mencobanya tetapi hanya satu dua kali saja. Kendala orang-orang seperti Wahab adalah kegiatan yang Surip lakukan itu hanya sia-sia belaka bahkan menyiksa diri. Sekali ada komentar dari mulut Wahab,
“Berlatih pencak silat itu menolak rejeki yang datang. Bagaimana kadak lari rejeki kalau berlatih selalu menangkis dan menghindar. He he he makanya orang-orang seperti Surip tak mungkin kaya selamanya,” katanya dengan gerak-gerak tangkisan meniru Surip tapi juga mengandung ejekan jika itu akan mendatangkan semacam takhayul menolak rejeki. Nadanya lebih banyak mengejek Surip yang berlatih rutin sebagai hal mubazir.
Surip sendiri tak mampu menanggapi komntar-komentar miring yang dilakukan teman-temannya di pondok kegiatan survey. Ia sekarang justru tertantang untuk mendapatkan bukti bahwa apa-apa yang dilatihnya bukan hal yang sia-sia.
“Seharusnya setiap orang-orang yang berlatih pencak silat bisa menjadikan bukti latihannya dalam bentuk karya tulis,” hanya dalam batin saja kata-kata itu keluar.
Di pondok kerja justru Surip mencoba memikirkan tarung Etang dan kemungkinan mengembangkannya. Pekerjaan survey tetap rutin menyesuaikan dengan aturan perusahaan. Setiap orang membutuhkannya, apapun akan dilakukan untuk memenuhi hajat hidup.
Ada Harahap yang masih melanjutkan latihan tinju dengan sansak yang dibuat olehnya sendiri.
“Kamu harus rajin latihan pukulan Rip, lihat dengan cara seperti ini sepuluh ronde lawan kelas berat pun aku mampu,” jumawa sekali kata-kata Harahap.
Tak apa Surip sekarang jadi rajin berlatih pukulan dengan sansak. Lumayan ada perbedaannya dengan berlatih pukulan tangan kosong, sensasinya lebih pada terbiasanya kepalan tangan membentur benda keras.
“Lebih baik aku mengembangkan hasil pikiranku dari pada melayani bualan Harahap ini,” maka ia pun tak pusing lagi biarpun terkadang Harahap begitu sok mengguruinya.
“Apakah tarung Etang memerlukan ronde dalam setiap pertarungannya?” Surip bertanya pada dirinya sendiri.
Sungguh sangat berbeda Etang dengan Tinju. Tidak ada unsur kekerasan dalam tarung Etang. Tidak akan pernah ditemui seseorang konck out karena tarung Etang. Paling-paling mata terkena tangan itupun bisa dianggap pelanggaran.
“Sistem tarung Etang lebih pada berapa kali serangan tangan masuk ke sasaran dan itu bisa jadi nilai atau poin,” Surip mulai menyusun aturan tarung Etang. Diolahnya beberapa cara penilaian.
“Setiap serangan masuk nilainya satu. Siapa paling dulu seorang petarung mencapai nilai sepuluh dia dianggap pemenangnya,” terbuka terus jalannya saat berpikir.
“Setiap kali satu serangan masuk, wasit menunjuk seorang sebagai pemenangnya untuk pengumpulan poin bagi petarung yang berhasil. Barulah setelah itu dimulai lagi untuk masing-masing mendapatkan poin. Begitu seterusnya sampai salah satu mencapai nilai sepuluh sebagai pemenang pertarungan,” demikian Surip mencoba detail dalam imaginasi tarung etang.
Tambahannya pun bisa dilogikakan,
“Bila kedua petarung sama-sama berhasil memasukan serangan, wasitlah penentu siapa yang paling dulu memasukan tangan ke sasaran lawan. Petaarung yang berhasil lebih dulu memasukan mendapatkan poin.”
Kelanjutannya,
“Ronde diperlukan hanya untuk memberi kesempatan petarung istirahat dan mengatur strategi. Berapa banyak ronde diperlukan tak terlalu disepakati. Penting siapa lebih dulu petarung mencapai nilai sepuluh ia dianggap pemenang. Satu rondepun cukup bila kedua petarung sudah ada yang mencapai nilai misalnya sepuluh tersebut.”
“Lebih tepat sistem tarung Etang adalah kompetisi. Jadi jika ada dalam even pertandingan terdapat sepuluh petarung, masing-masing mendapat kesempatan menghadapi lawan masing sembilan kali. Dengan demikian akan didapat peringkat satu sampai sepuluh setiap even pertandingan.”
Mungkinkah bisa diterapkan?
Surip tak tahu, lebih penting jalan pikirannya tetap tersalur.
“Tidak penting tarung Etang ini diakui atau tidak oleh lembaga resmi perguruan atau IPSI, yang penting inilah Al Jurus versiku sendiri,” katanya bangga dalam hati.
Bukankah dengan demikian Al Jurus itu menjadi miliknya. Apa-apa yang ditemukan Surip diakui atau tidak masuk kategori hak kekayaan intelektual biarpun masih mentah.
“Jika tarung Etang dipraktekan di lapangan akan banyak sekali terjadi perubahan aturan menyesuaikan dengan sistem pertandingan,” itulah kesimpulan Surip.
Surip berpikir demikian karena tarung Etang masih dalam khayalannya. Praktek yang sebenarnya dilatihnya adalah jurus itupun terbatas hafalan saja. Tapi dari hafalan jurus ia bisa mengembangkannya ke jenis tarung yang masuk kategori bela diri, baginya itu sudah sangat bersyukur. Tak sia-sia ia berlatih di tengah-tengah rimba belantara Kalimantan.
Kegiatan survey berakhir, justru bulan kedua Surip kembali membawa regu pembebasan di lokasi yang sama. Harahap yang sebelumnya menjadi anak buahnya ternyata pindah bagian. Ia mencoba peruntungannya menjadi sopir mobil rimbawan.
Bulan kedua ini Surip yang leluasa berlatih pukulan dengan sansak tinggalan Harahap. Latihannya jadi bervariasi dari hafalan jurus yang tetap menjadi wajib kemudian dengan tambahan hasil pikirannya berupa tarung Etang. Dicobanya latihan pukulan dengan sansak bisa memperkuat daya pukul.
Bulan kedua ini anak buahnya tak ada lagi satupun yang ikut-ikutan berlatih ataupun meniru. Tak ada juga yang menandinginya seperti Harahap atau Ugi dengan permainan anggarnya yang hanya tak mau kalah gengsi.
Berarti anak-anak buahnya mengakui keunggulan dirinya?
Minggu ketiga sehabis berlatih jurus di tempat biasanya Surip kembali di pondok kerja. Dilihatnya sansak dari ban karet dalam tersebut sudah dihancurkan anak buahnya.
“Wah siapa yang merusak sansak itu?” Surip bertanya heran.
Tapi pandangan orang-orang yang sekarang menjadi anak buahnya itu sudah aneh terhadapnya. Mereka memandang dirinya dengan pandangan mata tak senang. Surip batal bertanya hal-hal selanjutnya, ia menyadari anak-anak buahnya yang dari orang-orang lokal itu ternacam harga dirinya.
Mereka tak mampu menandingi dirinya baik itu dalam teknik maupun teori kecuali hanya bergaya saja. Harga diri kesukuannya menolak, yang jadi sasaran itulah sansak sebagai peringatan terhadap Surip.
Surip yang harus maklum!
BAB 12
Tarung versi I & II Al Jurus
Di camp km 4 seperti biasa sore hari orang-orang berolah raga. Surip tak canggung lagi untuk bermain tenis meja. Hari-harinya dihabiskan untuk berlatih teknik-teknik permainan. Yang agak mengherankan Surip Harahap selalu membuntuti dirinya untuk bermain tenis meja.
“Ha ha ha ayo Rip aku jadi lawan tandingmu. Kulatih teknik yang benar soal tenis meja,” seperti biasa lagaknya menggurui.
“Bah Harahap lagi, memangnya cuma kamu yang bisa tenis meja di camp,” Surip berkata heran juga. Orang yang satu ini ternyata begitu peduli dengan dirinya.
Urusan bermain tentu tak masalah, apa lagi cuma tenis meja yang permainannya umum di camp. Siapapun bisa bergantian bila sudah bermain satu dua set. Tapi kali ini Surip semakin heran dengan kelakuan Harahap. Terlihat sekali Harahap hanya melayaninya saja, tambahannya dengan gaya seorang pelatih.
“Bola kembalian seperti ini harus kamu smesh Rip!” Katanya memberi umpan bola yang memungkinkan Surip melakukan smesh.
“Bola ini bagus bila dipelintir atau diumpan rendah!” Teriaknya lagi justru dengan suara keras memancing perhatian orang-orang yang menonton.
Surip yang semakin merasakan suatu kejanggalan. Sepertinya ia ditonton orang karena adanya Harahap yang dipandang sebagai pakar.
“Ada apa sebenarnya ini?” Surip mencoba melihat keadaan sekitarnya.
Uiiihh perhatian orang-orang di camp ternyata tertuju pada aksi Harahap yang bak pelatih terhadap anak asuhnya. Apa lagi kemudian ada seorang perempuan yang nyeletuk,
“Kamu harus hormat terhadap gurumu itu Rip,” katanya memandang Harahap dengan penuh kekaguman.
Sementara Harahap semakin bersemangat memberi berbagai instruksi yang harus dilakukan Surip. Matanya berbinar-binar penuh kemenangan. Insiden ini memaksa Surip berhenti main tenis meja. Diserahkannya bad tenis meja kepada seorang penonton yang lain.
“Silakan layani Harahap Lek,” Surip segera mundur, ternyata Harahap juga memberikan bad tenis meja kepada yang lainnya dan segera menyingkir.
“Besok kita lanjutkan lagi pelajarannya Rip!” Sempat Harahap berkata kepada Surip.
Surip memandangi Harahap, ditatapnya mata untuk memastikan suatu masalah yang dicurigainya. Benar mata itu penuh dengan rasa menang, tatapan licik karena berhasil menjalankan tipuan.
Suriplah yang hari itu repot ditanyai orang-orang camp.
“Ikau te harus hormat terhadap gurumu Rip, ie te guru kunthow behalap,” Popom berkata seperti menegur kelakuan Surip terhadap Harahap.
“Eweh berguru kunthow dengan Harahap Lek, aku dia puji berguru dengan ie nah?” Surip mulai tahu masalahnya sekalian bertanya.
“Harahap te bepandir ikau mengangkat sumpah setia sebagai guru kunthow, selama umba survey ie nah jadi pelatih ikau,” Popom menerangkan sedikit apa-apa yang didengarnya di camp. “Harahap bepandir ikau bisa kunthow karena dilatih si Din,” Popom berbicara cukup detail, Surip yang paham sekarang.
Beberapa hari di camp semakin santer berita tentang Surip yang telah berguru kepada Harahap.
“Aku heran dengan orang-orang ini, mereka begitu percaya dengan klaim Harahap. Padahal dalam sehari-harinya semua orang camp tahu Harahap itu pembual, hanya besar omong,” Surip berkata sendiri dalam hati.
Yang makin menyulitkan Surip, sikap Arif yang terus menantangnya. Rupanya Arif seperti penasaran terhadap Surip. Ada sekali komentarnya,
“Bisa bela diri juga anak kota ini, hendak menandingi aku rupanya!” Katanya dengan berbagai aksi memancing Surip.
Menyebalkan sekali Arif ini jika bertemu dengannya. Terasa sekali Surip dipancing dengan menyodorkan kepala minta dipukul. Disorongnya kepalanya ke dada Surip menantang, berkeinginan Surip membuat semacam kesalahan untuk dibuatnya sebagai alasan membalas lebih keras.
Beberapa kali dalam hidup Surip menghadapi orang-orang seperti Arif ini. Pancingan-pancingan seperti itu sering dibuat supaya seseorang seperti Surip berada di pihak yang salah. Arif sudah tahu kalau ia berlatih pencak silat sebagaimana dirinya. Arif sendiri sudah terlanjur banyak sesumbar tentang hasil pencapaiannya dalam bela diri. Di camp semua orang tahu hanya Ariflah orangnya yang memiliki prestasi bela diri.
Dan Surip adalah saingannya di camp rimbawan ini.
Jika pembaca menghadapi kelakuan orang-orang seperti Arif ini hati-hatilah, seseorang menantang berkelahi tetapi kemudian menyodorkan kepalanya seolah-olah minta dipukul dulu adalah seorang pengecut. Orang yang menantang Anda mencari celah memancing emosi untuk bertindak kepadanya, gilirannya setelah bertindak Andalah yang dipojokkan dengan suatu kesalahan. Jangan dilayani!!
Mendorongnya pun bisa dijadikan alasan ia sebagai orang yang teranaiaya apa lagi memukulnya. Contoh orang-orang seperti Arif ini cukup banyak, hindari sajalah!
Kejadian seperti ini berulang terus dari pihak Arif. Beberapa bulan sudah berlalu dan Arif selalu mengincarnya untuk bukti keunggulannya. Itulah kesulitan Surip di camp rimbawan, tak pernah berkelahi hanya dipancing emosinya untuk bisa dijatuhkan di mata orang-orang camp.
Orang-orang camp majemuk, biarpun tahu Surip berlatih bela diri tetapi sebagian besar orang tak peduli. Apa lagi masalah pribadi antara Surip dengan Arif. Yang merasa berteman tetap bergaul biasa, yang tidak terlalu senang karena suatu hal tak akan akrab bergaul.
Bela diri hanya secuil bagian dunia yang kehadirannya samar-samar. Ada dan dikagumi, orang-orang yang berlatih dipuji, terkadang sebagian di antaranya bisa menjadi atlet dan juara-juara pada even kejuaraan resmi baik tingkat lokal maupun dunia. Dalam prakteknya bela diri sulit digabungkan dengan bidang-bidang kehidupan lain. Ia hanya produk budaya tersendiri, lebih cocok untuk kedisiplinan bagi orang-orang tertentu.
Jangan samakan dengan kisah komik.....
Di dalamnya komik silat adalah dunia yang mampu mendominasi bidang-bidang kehidupan lainnya. Contohnya seorang tokoh komik pasti menjadi pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Cerita seperti ini tak ada dalam kamus Surip yang berlatih seorang diri. Bela diri berinti pada latihannya,
“Barang siapa mengaku ia ahli bela diri tetapi tak pernah berlatih, itulah pendusta.”
Di masyarakat umum banyak orang bahkan sebagian besar di antaranya mengaku pernah berlatih jenis bela diri. Tujuan penulis adalah membangkitkan kembali orang-orang yang sudah pasif dalam bela diri untuk melatihnya lagi. Surip punya kenang-kenangan pencak silat dan sekarang ia mempraktekannya di dalam rimba Kalimantan.
Apa kelanjutan dari hasil latihan Surip?
Harahap sudah menjadi sopir rimbawan, apa-apa yang ada di camp km 4 menjadi daerah kekuasaannya. Memutar balikan fakta dengan klaim sebagai pelatih bela diri dengan obyek penderita Surip telah terjadi. Orang-orang camp mempercayainya karena hari-hari Harahap mengumbar cerita di camp selama sebulan ini. Sementara Surip saat itu jelas tak bisa membela diri, tahupun tidak.
Justru karena klaim tentang kemampuan Harahap menjadi pelatih Surip, orang-orang camp jadi sedikit punya perhatian terhadap pencak silat. Obrolan bela diri ini sayup-sayup terdengar,
“Orang-orang Barat itu senjatanya modern, bangsa kita kalah jauh. Tapi kelebihannya orang-orang timur bisa kebal dari senajta tajam,” ini ujar orang-orang tua di Kalimantan.
Ini adalah fakta di negeri kita tercinta, cerita tentang orang-orang kebal beredar di masyarakat. Di daerah Banjar bila terjadi perkelahian akan melihat siapa yang berkelahi, siapa yang ditikam (suduk) dll. Orang-orang yang berkelahi selalu dilihat dari ketahanannya dan bekal yang dimiliknya. Seseorang yang tahan pukul, sedikit kena luka tusukan bahkan kadang-kadang ajaib misalnya saat ada lomba balap motor seorang pebalap mengalami kecelakaan akan dianggap cepat pulih dari lukanya karena telah menelan sejenis minyak. Orang-orang tersebut dianggap kebal karena dimungkinkan telah menelan minyak bintang atau mengamalkan kajian tertentu.
“Jika ahli pencak silat bertarung melawan bela diri asing, pastilah bela diri asing tersebut itu kalah. Pencak silat jauh lebih lengkap jenisnya dari teknik tangan kosong maupun teknik senjata.”
Faktanya bela diri pencak silat yang beredar di Indonesia banyak sekali aliran dan golongannya. Setiap daerah memillik ciri khas sendiri sebagai milik daerah tersebut. Bentuknya bisa tangan kosong maupun nomor-nomor senjata, mungkin itu kelebihannya. Nah di daerah tertentu terdapat beberapa jenis tarung misalnya tarung dengan duri pandan semacam perang dll.
Sayang pencak silat adalah bela diri yang asalnya dari kampung. Jadi orang-orang Indonesia sendiri menganggapnya ketinggalan jaman. Anggapan negatif pun sering melayang kepada penghayat bela diri ini karena terjun di jalanan seperti preman pasar.
Fakta yang ada bela diri asing kuat di organisasi dan jaringannya sangat luas bahkan mendunia. Kehebatan pencak silat sayup-sayup terdengar dan hanya berada di dada pengamalnya. Kalahnya pamor pencak silat dari bela diri lain lebih sering karena kita di Indonesia lebih sering mengonsumsi film action luar negeri. Efek film tersebut sangat terasa di dada orang Indonesia. Surip sendiri begitu menonton film berjudul “Drunken Master” nya Jacky Chan atau aksi laga Bruce Lee langsung berimaginasi menjadi aktor-aktor tersebut.
Film-film laga Indonesia mengekor popularitas film impor tersebut. Merekayasa film bertema pencak silat semuanya masih minim sekali. Rupanya lebih mudah membuat film horor dari pada merekayasa teknik bela diri pencak silat menjadi tontonan bermutu.
“Pencak silat itu seperti nasi bagi orang Melayu. Tak bakalan punah karena nasi adalah makanan pokok orang Indonesia.”
Kalau ini penulis dapatkan dari buku karangan Oong Maryono. Lumayan ini hiburan untuk orang Indonesia.
Siapa yang bosan makan nasi?
Tampaknya untuk orang Indonesia atau Melayu di manapun tak akan pernah berkata demikian. Jadi pencak silat diibaratkan nasi bagi orang Melayu, cukup mendinginkan perut yang kelaparan.
“Ada sebagian suku-sukuk di Indonesia yang identik dengan bela diri pencak silat.”
Nah ini banyak faktanya, suku Minangkabau di Sumatera barat, Betawi di Jakarta, Sunda Banten dengan jawaranya, suku Madura pulau, orang-orang Melayu baik itu di Sumatera mapun di Kalimantan dll. Daerah-daerah tersebut menjadi sumber melimpah materi bela diri pencak silat. Tinggal siapa yang mau menggali saja!
Kalau orang Jawa?
Kalau orang Jawa sebagai suku atau masyarakat biasa pasti mengenal bela diri ini. Di manapun di pedalamannya ada orang-orang yang mengamalkannya sampai tingkat spiritualnya. Hanya sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa lebih didominasi kekuasaan militer. Cerita-cerita perang antar kerajaan, antara kerajaan Jawa dengan Belanda semuanya berunsur militer. Sampai saat inipun keraton-keraton di Jawa masih memiliki brigade pasukan militer walaupun hanya untuk budaya. Ditengarai perang Diponegoro adalah sifat militeristik Jawa yang terakhir sebelum perubahan pergerakan kemerdekaan dalam bentuk organisasi.
Pencak silat di Jawa adalah milik rakyat, keraton sebagai pusat budaya tak pernah mengklaim sebagai miliknya. Di Banten ada tradisi debus dan jawara yaitu orang sipil yang berpengaruh karena memiliki keahlian bela diri pencak silat. Di Jakarta dan sekitarnya beberapa kampung menjadi nama-nama terkenal karena perkembangan pencak silatnya, misalnya Cimande, Cikalong dan Cisalak.
Dan di daerah-daerah Melayu Sumatera atau Kalimantan bela diri ini selalu dikatikan dengan pakarnya yaitu tuan guru. Ada juga tarian daerah di Sumatera yang semuanya bila di lihat dari unsur geraknya lebih mendekati pencak silat dari pada estetika tari. Dan di tanah perantauan Surip di Kalimantan bela diri ini masih tersembunyi dengan nama kunthow.
Kembali ke Surip di camp rimbawan.
Dunia kecil Surip adalah di camp rimbawan. Jumlah penghuninya hanya sekitar seratusan orang, dunia kerja yang lebih fokus ke kesejahteraan karyawan. Urusan Surip terlalu kecil dibandingkan dengan kepentingan perusahaan. Pencak silat yang dilatihnya tidak ada harganya di camp ini, orang-orang biasa saja menanggapinya.
Bukankah pencak silat hanya sebatas olah raga bela diri?
Surip pun tak menuntut banyak, kegiatannya menjadi milik pribadi di luar kelaziman kegiatan-kegiatan orang camp. Sering orang-orang camp berkomentar bila terlihat keluar dari camp sesuai jadwal latihannya. Hanya berkomentar tanpa pernah mengganggunya. Ternyata apa yang dilatih Surip tidak banyak yang mampu melakukannya.
Kalau orang seperti Arif mungkin di manapun pembaca pernah melihatnya. Seseorang yang memiliki kenang-kenangan berlatih bela diri hingga mencapai prestasi tertentu kemudian membanggakannya di depan umum. Ia adalah mantan pengamal bela diri.
Di camp tak terlihat Arif berlatih, ada saja ia demo melakukan gerakan-gerakan yang pernah dilatihnya dengan berbagai bumbu-bumbunya. Dan yang pasti jaket kenang-kenangan dari perguruan ternama yang pernah dia bernaung menjadi stempel kehebatannya.
Semuanya berubah setelah Surip diketahui berlatih bela diri pencak silat. Arif tak lagi mampu menyainginya walaupun selalu sesumbar akan menandinginya. Badannya tak lagi bergerak melalui latihan-latihan keras dari tingkatan pemula lagi. Sekali lagi ia hanya mantan.
Sebaliknya di camp rimbawan ia dikenal pintar olah raga lain. Tenis meja, bulu tangkis, dan bola volley. Itu cukup membuat gengsinya tidak jatuh di mata orang-orang camp.
Surip sendiri sedikit-sedikit menambah bidang olah raga. Tenis meja cukup bisa bermain sekarang pun menambah dengan bulu tangkis. Raketnya lebih sering pinjam tanpa pernah berpikir membeli untuk diri sendiri. Permainan bulu tangkis modalnya cukup mahal, raketnya paling murah ratusan ribu rupiah, kemudian bola cooknya sering berganti juga keluar biaya biarpun dengan iuran.
Surip sendiri semakin tertantang dengan materi latihannya.
“Aku tidak peduli apa komentar orang, ada beberapa hal yang harus didapat dari latihan ini. Ibaratnya inilah Al Jurus versiku sendiri,” begitulah tekadnya terhadap dirinya sendiri.
Perhatiannya dicoba mencari materi Al Jurus.
“Ada tarung di Al Jurus yang mencoba menyesuaikan dengan aturan IPSI. Tetapi aku mendapatkan dasar tarung Etang sebagai kunci mengembangkannya,” pikiran Surip terus mengembara dengan berbagai ingatan pertandingan-pertandingan yang pernah ditontonnya di Purwokerto.
“Pencak silat itu sangat multikultur. Setiap daerah bisa memiliki atau tarung sendiri-sendiri sesuai karakter daerahnya. Semuanya dicoba distandarkan dalam IPSI. Sayang aku mendapatkan aturan standar IPSI malah akan menghapus kekayaan daerah. Karena prestasi yang diakui hanya dalam lingkup IPSI saja,” pikiran-pikiran itu berkecamuk di otak Surip.
“Setiap perguruan ternyata memiliki aturan tarung sendiri-sendiri walaupun bila dalam even yang diselenggarakan IPSI mereka akan menyesuaikannya,” lagi perhatiannya tercurah tentang even pertandingan yang pernah disaksikannya saat-saat masih sekolah lanjutan.
“Tentunya boleh saja aku membuat jenis tarung sendiri sesuai dengan kreasi yang aku temukan. Inilah Al Jurus kreasiku sendiri,” katanya bangga dalam hati.
“Aku akan mencoba membagi tarung pencak silat dalam dua versi,” mulai Surip mencoba menguraikannya sambil berlatih hafalan jurus. Ia sekarang mendapatkan satu sesi latihan untuk mengembangkan Al Jurus. Sayang ia hanya bisa bergerak latih tanding tanpa lawan. Imaginasinya diandalkan untuk mendapatkan materi tarung.
“Hanya aku seorang diri di camp ini yang berlatih bela diri, orang lain mungkin pernah saja, tetapi tak berlatih untuk mengembangkannya. Jadi apa yang kuhasilkan sekarang tak bisa dipraktekan atau diumumkan kepada khalayak ramai,” inilah kendala orang yang cinta bela diri pencak silat tetapi sudah lepas bahkan tak memiliki tempat bernaung lagi. Tidak ada yang menghargai apa lagi kemudian berguru kepadanya.
“Jangankan jadi guru besar perguruan, aku berlatih di camp rimbawan inipun hanya dianggap sebagai permainan anak kecil,” kalau sudah begitu Surip meringis tak berdaya.
***
“Inilah versi tarung I Al Jurus!” Surip menguraikan hasil pemikirannya selama ini.
Diambilnya tarung Etang sebagai basis materi.
“Poin atau nilai cukup sepuluh setiap kali seorang atlet tarung bisa dianggap pemenangnya. Sebenarnya untuk poin pemenang bisa saja berubah menyesuaikan kesepakatan saat even pertandingan, poin sepuluh ini hanya contoh saja.”
“Setiap kali satu serangan seorang atlet masuk ke sasaran langsung dijadikan poin dengan seorang wasit sebagai penentunya,” terus Surip menguraikannya.
Aturan tanding IPSI bisa saja diterapkan terutama untuk juri, wasit pertandingan, matras atau ring tarung, kelas atau nomor tarung dll. Standar IPSI tak merubah banyak jenis tarung ini. Perbedaannya versi ini begitu terjadi seorang atlet tarung memasukan serangan kemudian dihentikan wasit dengan memberi poin nilai yang langsung dicatat juri, jadi pertandingan dihentikan sementara untuk menunjukan telah terjadinya keberhasilan seorang petarung mengoleksi poin. Ini yang sedikit berbeda dengan tarung versi IPSI. Dalam standar IPSI wasit hanya memandu dua petarung tanpa menentukan pemenangnya. Jurilah yang mengumpulkan nilai kemudian wasit mengangkat tangan pemenangnya setelah pertandingan usai.
Dalam tarung versi Al Jurus ini tarung Etang adalah basisnya, jadi wasitlah yang menentukan keberhasilan suatu atlet memasukan serangan untuk mendapatkan nilai dan kemudian ditentukan sah tidaknya oleh juri.
“Siapa petarung yang berhasil mengoleksi nilai (poin) sepuluh lebih dulu Dialah pemenangnya,” sekali Surip mantap dengan temuannya sendiri.
“Tentunya tarung jenis ini dalam setiap kelas masing-masing untuk mendapatkan peringkat,”
Mirip dengan sistem kompetisi jadinya. Dengan sistem ini suatu prestasi dalam even-even yang diakui tentu bisa bertahan selama setahun sebelum diselenggarakan kembali. Bilapun sudah berlangsung beberapa tahun sistem degradasi untuk petarung utama misalnya dibatasi peringkat satu sampai dua puluh. Sedangkan selebihnya bisa masuk petarung Madya sebagai pesaing tahun-tahun mendatang.
“Jikalaupun terjadi kedua petarung berhasil memasukan serangan ke sasaran masing-masing lawan. Tetap saja wasit menjadi penentu siapa yang lebih dulu memasukan serangan ke sasaran sebagai pemenangnya,”
Jadi kehadiran wasit sangat penting di ring tarung. Ada pelanggaran pun wasit langsung menghentikan dan berhak memperingatkan bahkan sampai mengeluarkannya dari arena bila diperlukan.
“Sekali lagi ronde diperlukan hanya untuk memberi kesempatan petarung beristirahat dan mengatur strategi. Berapa banyak ronde diperlukan tidak penting. Setiap ronde samakan saja dengan ronde dalam tinju yaitu empat menit sekali. Yang penting ada seorang petarung berhasil mencapai nilai sepuluh Dialah pemenangnya. Satu rondepun cukup bila ada petarung yang langsung bisa mendapatkan nilai tersebut,” Surip tersenyum dengan keunikan versi tarung yang dicoba menyusunnya.
Dalam aturan IPSI setiap petarung diberi kesempatan empat ronde untuk mendapatkan seorang pemenang. Nilainya masing-masing ditentukan oleh juri masing-masing kubu dan juri netral. Poin-poin yang terkumpul diumumkan untuk menjadi penentu kemenangan.
Dalam versi Al Jurus ini berbeda karena beberapa sebab, Surip mulai menerangkannya.
“Tujuan tarung versi I ini untuk memberi kesempatan petarung mengembangkan teknik-teknik berkaidah bela diri pencak silat.”
Dalam tarung yang diselenggarakan IPSI sasaran serangan dibatasi yaitu daerah di sekitar badan lawan terutama dada. Tidak dibenarkan memukul bagian kepala dan kemaluan. Selain itu daerah yang menjadi sasaran serangan dilindungi dengan pelindung badan.
Terdapat dua tipe jenis petarung dalam pencak silat, ini setahu Surip saja. Yaitu petarung yang mengandalkan kerasnya serangan untuk menjatuhkan lawan hingga knock out dan petarung yang mencoba mengembangkan teknik untuk mendapatkan poin berdasarkan strategi. Kedua jenis petarung tersebut bercampur baur sering tak diketahui kelebihan-kelebihannya masing-masing.
Jadi jika ada seorang petarung memiliki kelebihan teknik kunci mengunci lawan tidak akan bisa mengembangkan teknik tersebut bila berhadapan dengan lawan petarung tipe yang hanya mengandalkan teknik pukulan dan tendangan mencapai knock out.
Tarung versi I Al Jurus mencoba mengakomodasi aturan untuk pertandingan yang lebih berinti pada pengembangan teknik berkaidah pencak silat dengan peluang mencari atau memaksimalkan nilai teknik bela diri.
“Aku berlatih pencak silat hingga saat ini, tak kudapati pukulan atau tendanganku bertambah keras. Aku lebih fokus pada teknik yang terangkum dalam jurus.”
Surip membandingkan dirinya dengan Harahap. Seorang Harahap biarpun tidak rutin berlatih pukulan dengan sansak tetapi dari fisik tetap terlihat tipenya sebagai orang dengan kelebihan pada kepalan tangan. Jadi bila ia benar-benar berlatih tinju memang sesuai dengan badannya. Apa lagi bila dilihat dari berat badannya yang kemungkinan sudah masuk kelas menengah dalam tinju.
Tarung versi I Al Jurus mencoba mengembangkan pertarungan dengan suguhan ketrampilan teknik, jadi ada semacam tingkat kecerdasan saat adu strategi dengan lawan.
“Tapak dalam setiap tarung versi I ini bisa dijadikan media mencari celah kelemahan lawan.”
Kita lihat dalam setiap tarung pencak silat, dua petarung saling berhadapan tidak akan langsung baku hantam biarpun wasit sudah memberi aba-aba mulai. Justru kedua petarung melangkah mengitari area matras pertandingan. Barulah setelah dirasa ada celah seseorang diantara kedua petarung mencoba menyerang.
Inilah yang dimaksud oleh Surip sebagai kaidah bela diri pencak silat. Teknik melangkah yang seperti menari disebut pencak walaupun dalam kenyataan di luar area misalnya dalam suatu perkelahian tawuran tak akan terpakai.
Sebaliknya begitu terjadi seorang menyerang baik itu saling memukul, menendang, membanting atau mengunci wasit akan mengesahkan suatu keberhasilan seorang petarung dengan memberikan poin sesuai bobot disaksikan oleh juri kedua kubu dan seorang juri netral. Poin atau nilai bahkan langsung bisa diumumkan kepada penonton seperti dalam score bulu tangkis atau bola volley.
Ada jeda pertarungan terhenti karena pemberian nilai seorang petarung sementara waktu ronde terus berjalan. Selama ronde tersebut masih berlangsung pertarungan bisa dilanjutkan untuk menambah poin masing-masing petarung. Akibatnya ronde untuk mencapai seorang pemenang tak terlalu ditentukan berapa banyak, cukup sebagai waktu istirahat dan mengatur strategi oleh pelatih masing-masing pihak pertandingan.
Barulah setelah seorang petarung berhasil mencapai poin misalnya sudah disepakati sepuluh bisa menjadi pemenang. Tentunya seorang petarung yang mampu mencapai poin tersebut sudah bekerja keras mengembangkan ketrampilannya dengan bobot teknik bela diri.
Berapa bobot setiap teknik dalam tarung versi I Al Jurus ini?
Menyesuaikan dengan aturan IPSI daerah serangan hanya di sekitar dada dan perut lawan. Biasanya serangan yang masuk di daerah ini terdiri dari pukulan dan tendangan. Adanya pelindung badan di area tubuh tersebut menjadikan serangan masuk betapapun kerasnya tidak akan membuat terluka atau knock out.
Teknik versi I Al Jurus tidak mencari kemenangan dengan penderitaan di atas luka-luka lawan seperti tinju, misalnya seorang atlet tinju terpukul rahangnya atau pelipisnya bisa berdarah hingga memudahkan lawannya untuk menjatuhkannya dalam insiden knock out.
Sebaliknya inilah perincian bobot nilai teknik serangan,
- Pukulan nilainya Satu
- Tendangan nilainya Dua
- Kuncian nilainya Tiga
- Bantingan nilainya Tiga
Bantingan dan kuncian ini sasarannya tentu adalah tangan dan kaki lawan. Bisa juga menjatuhkan badan lawan, posisi kuda-kuda adalah sasaran untuk mendapatkan poin, inilah teknik mendapatkan poin yang membutuhkan kecerdasan dan ketrampilan tinggi. Juga merupakan gerak refleks yang terlatih karena harus dipersiapkan setiap atlet untuk melatihnya dalam sesi latihan tarung tersendiri.
Dalam setiap tarung pencak silat beberapa petarung memang lebih terlatih atau hanya mengandalkan kuncian dan bantingan ini dari pada pukulan dan tendangan. Juga saat terjadi saling serang menyerang akan terlihat kemana larinya dua petarung mengembangkan teknik. Jika hanya mengandalkan pukulam dan tendangan tentu masing-masing mencari sasaran dada dan perut sesuai rambu-rambu dalam IPSI. Sebaliknya bila mencari poin melalui bantingan dan kuncian tangan dan kaki atau kuda-kuda akan digempur mengesampingkan dada dan perut. Mengembangkan teknik kuncian dan bantingan lebih sulit dari pada hanya memasukan pukulan dan tendangan. Nilainya jadi tinggi sekali yaitu Tiga.
Jadi jika seorang petarung berhasil membanting lawan sampai tiga kali sudah langsung mencapai nilai sembilan poin. Tinggal menambah satu angka saja jadi pemenang, jika teknik bertanding terjadi dalam satu ronde berarti itu prestasi yang sangat baik.
Wasit begitu melihat pertarungan lebih menyasar pada tangan dan kaki petarung bahkan boleh mengabaikan pukulan atau tendangan yang masuk. Pertarungan akan lebih menarik bila kedua petarung mencapai ketrampilan teknik kuncian atau bantingan. Tentu tidak mengherankan dalam praktek di lapangan, seseorang memukul tetapi lawan justru menangkap tangan tersebut dan kemudian memitingnya hingga lumpuh tak berdaya. Itulah teknik ketrampilan yang diinginkan terjadi dalam terung versi I Al Jurus ini.
Rangkaian teknik mencapai kuncian tersebut tentu membutuhkan kecerdasan dan ketrampilan yang tinggi dari petarungnya. Ganjarannya adalah poin yang tinggi bagi yang berhasil mengembangkannya dalam pertarungan. Ketrampilan lain tentu banyak variasinya, dalam jurus yang dihafal Surip pun sudah terlihat banyaknya teknik yang rumit. Serangan terhadap tangan dan kaki itu bisa berupa melumpuhkan tangan dengan membesetnya untuk mencapai sumber kekuatannya yaitu di bahu lawan. Sapuan terhadap kaki lawan hingga kuda-kuda tergempur, atau memegang kaki lawan yang sedang menyerang hingga lawan tak mampu mengembangkan perlawanan. Itu semuanya bisa menjadi koleksi poin.
Sebaliknya seorang petarung berhasil melepaskan diri dari kuncian atau bantingan lawan. Ia diganjar nilai satu oleh wasit. Begitu juga berhasil menangkis pukulan atau tendangan ganjarannya juga satu poin. Wasitlah yang memberi hadiah nilai tersebut dengan saksi dua juri kedua kubu dan satu juri netral.
“Soal kelas dalam tarung versi I Al Jurus ini bisa memakai standar IPSI. Tetapi buatku cenderung berbasis usia, itu mirip dengan sastra pantun. Ada pantun anak-anak, remaja, pantun dewasa, bahkan pantun orang tua karena berisi nasehat- nasehat.”
Tujuan kelas tarung merujuk pada sastra pantun adalah untuk memperkaya peserta tarung. Jadi diharapkan prestasi tarung tidak hanya untuk kalangan remaja atau dewasa produktif, juga untuk anak-anak dan orang tua yang sudah sulit berolah raga. Dengan demikian pencak silat atau tarung yang dikembangkan dalam Al Jurus ini mengakomodasi segala usia dan diharapkan pencak silat bisa seumur hidup dihayati pelaku-pelakunya. Olah raga bisa dijalankan seumur hidup, itulah tujuan karya tulis ini biarpun hanya berupa fiksi.
Surip tersenyum sendiri setiap kali mencoba tarung jurus versi I ini di hutan.
“Jika ada tarung versi I Al Jurus ini ada petarung yang berhasil mengembangkan teknik dengan ketrampilan yang tinggi, pertarungan tersebut bisa dicatat dan didokumentasikan. Kedua petarung yang berhasil menyajikan teknik yang menarik mendapatkan penghargaan.”
Surip masih memberi perkiraan tarung versi I Al Jurus. Dalam satu even kita anggap mendapatkan sajian tarung-tarung yang menarik ini. Baik itu pemenang maupun yang kalah tetap mendapat penghargaan. Ini dikarenakan penghargaan atas sportifitas masing-masing.
Sebaliknya pelanggaran juga akan ada dalam setiap pertarungan. Pelanggaran tentu diganjar dengan pengurangan nilai dan jika membahayakan petarung bisa didiskualifikasi.
“Entah bagaimana penerapannya di lapangan aku belum tahu, penting buatku aku bisa mengembangkan bela diri pencak silat dengan suatu gagasan dalam bentuk tarung.”
Apa gunanya berlatih jika tidak menghasilkan apapun. Surip merasa dari segi fisik ia ia sudah mendapat, latihan yang rutin membuat otot tubuhnya terbentuk dengan kedisiplinan tinggi.
“Jika saja setiap orang yang berlatih bela diri pencak silat diusahakan membuat karya tulis hasil latihannya tentu bisa didiskusikan dalam setiap pertemuan,” itu cita-cita Surip, dan ia gagal karena hanya berlatih seorang diri di hutan.
“Tendangan dan pukulan mengenai perut dan dada bisa saja menghasilkan insiden knock out. Mungkin itu tetap bisa jadi poin, tetapi bidang sasaran harus terbatas di bagian tersebut,” Surip mencoba lagi kemungkinan dalam tarung jenis ini. Kemenangan KO mungkin terjadi tetapi sangat jarang karena dada dan perut terhalang perisai badan. Jika terjadi knock out itu terserah aturan saat even berlangsung, menambah angka atau dijadikan jenis kemenangan tersendiri.
***
Masuk Tarung versi II Al Jurus,
“Ini model tarung bebas tetapi merupakan turunan dari tarung versi I Al Jurus. Tekniknya disederhanakan hanya pada pengembangan pukulan dan tendangan atau teknik tangan dan kaki,” Surip mulai lagi dengan hasil pemikirannya.
“Tarung versi I lebih menitik beratkan pada teknik-teknik yang dikembangkan kedua petarung. Jenis tarung versi II lebih pada petarung-petarung yang memiliki tipe keras lawan keras, dan kemungkinan dalam pertarungan tercapai insiden knock out.”
Naluri seseorang jika berkelahi akan berkeinginan menghajar babak belur atau bahkan membunuh lawan. Nafsu membunuh ada di dada setiap manusia. Perang adalah legalitas dari nafsu bunuh membunuh tersebut. Beberapa suku primitif yang suka berperang selalu dianggap sebagai bangsa biadab.
Di dunia ini mungkin hanya bangsa Jepang yang memiliki tradisi Bushido (semangat bela diri). Sejarahnya penuh dengan peperangan yang akhirnya mengembangkan militer dengan basis Bushido. Hanya saja di Jepang kekuasaan militer hanya milik klan tertentu. Dalam klan-klan tersebut lahirlah Bushido yang dimiliki seorang Samurai. Bahkan Ninja yang berhubungan dengan intelijen hanya milik klan tertentu saja tidak bisa diajarkan kepada masyarakat luas.
Berbeda sekali dengan pencak silat, ia adalah bela diri khas Melayu maupun Proto Melayu. Imigrasi bangsa Melayu maupun Proto Melayu membawa bela diri ini sebagai milik suku yang berkembang dalam koloni-koloni kecil yaitu kampung.
Adakah pengaruh bela diri asing dalam pencak silat?
Dalam era modern bisa saja terpengaruh, tetapi menilik bukti yang didapat penulis di Kalimantan di mana suku Dayak yang mewakili Proto Melayu memilikinya, begitu juga suku Banjar yang mewakili orang-orang Melayu ternyata menjadi semacam tradisinya menjadi bukti keaslian budaya. Belum lagi orang Betawi, Sunda dan Banten. Minangkabau dan Jawa semuanya memilik tradisi tersebut. Berarti pencak silat adalah milik bangsa-bangsa Nusantara sebagai satu budaya aslinya.
Bukankah kita mengenal pantun sebagai sastra asli Melayu?
Dengan asumsi itulah penulis berkesimpulan bela diri pencak silat adalah bagian dari tradisi asli Melayu di Nusantara.
Bela diri asing yang kuat pengaruhnya terhadap pencak silat bisa diduga tentu itu dari China. Seberapa besar pengaruhnya?
Penulis tak akan membahasnya, tapi argumentasi penulis ini cukup sebagai dasarnya. Setiap jaman perkembangan kekaisaran di China berarti juga berpengaruh terhadap budaya di Nusantara. Contohnya kekaisaran Ming yang sejaman dengan kerajaan Majapahit di Jawa, kemungkinan besar kota kerajaan Majapahit mencontoh kebesaran kota Peking saat itu. Begitu juga sebaliknya perkembangan kemajuan raja-raja di India bisa kita saksikan hasilnya di Indonesia.
Kalau pencak silat, ternyata begitu menyebar di seluruh Nusantara sejak pra sejarah. Sedangkan di China semua bela diri berkiblat pada kuil Shao Lin. Jadi istana kekaisarannya lebih mengutamakan sastra dan kekuasaan militer perang belaka. Kuil Shao Lin mengembangkan bela diri untuk menyebarkan agama Budha. Tapi kuil-kuil lain yang tersohor malah hanya mengembangkan meditasi sebagai alat pendalaman agamanya. Jadi bela diri yang berkembang di China sebenarnya tidak merata, hanya berkembang pada beberapa golongan tertentu. Baru di abad ke dua puluh boleh dikata bela diri berkembang di seluruh China terutama saat adanya pemeberontakan Boxer.
Kembali pada Surip yang membahas tarung jurus versi II Al Jurus.
“Tarung versi II Al Jurus sebenarnya mirip saja dengan olah raga tinju. Bidang sasaran serangan sama dengan tinju begitu juga pelanggarannya. Setiap ronde pun sama dengan tinju. Sasaran nilai atau poin tetap sama yaitu siapa menang didapat dari selisih nilai dari juri yang hadir. Menang knock out atau Teknikal knock out pun berlaku.
Surip kembali berimaginasi,
“Dengan sistem yang mirip dengan tinju pertandingan bisa memakai sistem gugur. Mekanismenya lebih sederhana. Berapa ronde diperlukan juga bisa disepakati dalam setiap even,” terus dibahasnya sistem tarung versi II ini.
Perbedaannya dengan tinju adalah kaidahnya tetap masuk bela diri pencak silat dan teknik-tekniknya tetap berpijak pada jurus sebagai inti bela diri pencak silat.
Tarung ini masuk kategori tarung bebas atau full bodi kontak. Pelanggaran hanya menyerang belakang kepala dan kemaluan. Tujuannya kalau tidak menang knock out ya menang angka itu saja.
Kaki dan tangan adalah senjata utamanya. Menyikut pun boleh toh pertarungan tak akan dihentikan kecuali jika sudah saling berpelukan. Jadinya setiap pertarungan dimulai, masing-masing petarung akan mengambil jarak untuk memasukan serangan. Wasit dalam hal ini bertindak mengatur petarung agar kaidah pencak silat seperti tapak, jelasnya teknik pukulan dan tendangan ataupun menebas, menyikut bisa terlaksana. Wasit berhak membatalkan teknik yang serampangan atau hanya menyerang membabi buta tanpa aturan.
Dalam tarung ini kuncian dan bantingan ditiadakan. Juri hanya akan menjumlahkan berapa pukulan, tendangan atau teknik tangan dan kaki yang bisa dijadikan standar poin masuk sasaran.
“Wah kalau begitu mirip dengan kick boxing ya?”
Ya mirip tetapi kaidah pencak silat harus ditegakan, terutama tetap dalam koridor penerapan jurus yang dikuasai masing-masing petarung atau sesuai perguruan dan aliran pencak silat yang berada di Nusantara.
Tapak, kuda-kuda, langkah untuk strategi menyerang harus tetap diperagakan petarung. Jika terjadi baku hantam dalam jarak dekat apa lagi saling berpelukan segala serangan masuk bukan poin. Wasit harus memisahkan kedua petarung kembali ke posisinya dan memulai lagi pertarungan.
Kelas-kelas dalam tarung versi II Al Jurus ini tetap mengacu aturan IPSI. Jika kita mengambil kelas-kelas dalam tinju tentunya jarang seorang pesilat memiliki berat badan sampai delapan puluh kilo gram untuk kelas-kelas berat. Atlet-atlet pencak silat dan pertarungannya lebih nyaman dilakukan oleh atlet-atlet bertubuh ramping. Contohnya bodi Surip yang kurus kerempeng walaupun ototnya sudah terbentuk. Paling-paling seberat apapun badan Surip ditimbang hanya lima puluh kilo gram saja alias kelas bantam.
Yang sering jadi masalah dalam tarung ini, rata-rata atletnya memiliki stamina yang kedodoran. Atlet silat Indonesia melawan atlet luar negeri misalnya sering kalah di tinggi badan atau jangkauan tangan dan kaki atlet luar negeri lebih panjang, begitu juga staminanya.
Orang-orang luar negeri diakui atau tidak lebih banyak berlatih olah raga dengan stamina sebagai poris latihannya. Sebaliknya di perguruan-perguruan lokal orang Indonesia lebih banyak berlatih pencak silat dari sudut seni dan ketrampilannya. Jadi tak heran walaupun pencak silat itu milik bangsa kita tetapi juaranya banyak orang-orang bule.
“Al Jurus mengakomodasi tarung versi I untuk petarung yang mengembangkan teknik dan ketarmpilan bela diri. Jadi diperlukan kecerdasan dan kejelian serta reflek yang baik dalam setiap pertarungan,” Surip berkata mengakhiri pembahasan tarung. Inilah tujuan dari Al Jurus, tarung bukan sekedar baku hantam belaka.
Nguuk- nguuk! Nguuk- nguuuk!!
Saat surip berlatih di atas dahan pohon-pohon hutan bergerak beberapa ekor owa-owa. Itu kera tak berekor yang mengandalkan pergerakan dari satu pohon dengan pohon lain dengan kekuatan tangannya. Suaranya nyaring bisa terdengar dalam jarak tiga kilo meter.
Namun Surip tak bisa melihat aksi owa-owa itu berpindah tempat. Justru ia segera menyingkir ketika satu dahan kering terjatuh tepat di atas lapangan tempatnya berlatih.
“Sialan monyet-monyet itu mengejekku rupanya!” Surip berkata sendiri sambil memandang ke atas pohon. Dominasi tegakan-tegakan meranti, resak dan buah asam (mangga) hutan jelas menjadi sasaran owa-owa itu mencari makanan.
“Tege narai Rip?” Seorang anak buahnya bertanya melihat Surip yang tampak ketakutan.
“Hampir aku diserang owa-owa itu Lek, kharat binatang te menjatuhkan ranting kering tepat di atas kepalaku,” Surip menunjuk sebatang dahan kering ukuran semeter yang jatuh dari atas ketinggian.
“Pondok ita tukep pohon asam Lek, berarti monyet-monyet itu terganggu kegiatannya menggau makanan,” Menerangkan anak buahnya sambil mengambil satu buah asam sekepalan tangan. “Buah asam te paling hanya untuk campuran mie instan, rasanya asam bikin perut mencret bila terlalu are kinan.”
Surip sendiri menebarkan pandangan ke sekitar,
“Eh tege kulat Lek, pasti bisa kita makan. Ie te kulat mirip jamur merang je ladang,” Surip menunjuk kumpulan jamur yang tumbuh bergerombol persis di bawah batang pohon mangga hutan, belum semua mekar sehingga dirinya yang berlatih rutin baru sekali ini melihatnya.
Surip segera mendatangi dan mengambil beberapa jamur yang masih putih polos, diamatinya betul-betul untuk memastikan. Soalnya ini jamur bukan yang tumbuh di batang-batang pohon lapuk atau mati jelas keberadaannya karena banyak humus bekas dedaunan yang membusuk. Jadi medianya sama dengan jamur merang atau bahkan jamur teletong yang bikin mabuk itu.
Lumayan jamur tersebut bisa jadi campuran masakan mie instan atau ikan asin, olahan-olahan makanan di hutan mencoba bentuk-bentuk praktis, Surip sering membuat percobaan mengolah makanan dari berbagai bahan yang ditemui di hutan. Ada banyak jenis umbut misalnya, umbut rotan, berbagai jenis palem dan pakis. Umumnya orang Dayak mengolah umbut sebagai masakan khas milik mereka.
Kalau buah asam (mangga hutan) sendiri tak berani banyak-banyak makan. Buahnya kecil dan rasa asamnya sampai bikin ngilu gigi, lebih cocok buah asam itu dimakan binatang-binatang hutan. Lambung dan usus binatang hutan sudah menyesuaikan dengan buah-buah tersebut. Buah lain ada rambutan hutan itu juga kecil-kecil sekelereng asam manis, memakannya sekalian dengan bijinya ditelan. Itu galur-galur murni buah hutan dalam biologi, belum dimuliakan sebagai komoditi perkebunan.
Coba saja dipikir, pucuk pohon resak, meranti dan keruing itu adalah santapan harian orang utan. Begitu Surip mencoba pucuk daun resak dikunyah dalam mulut, aduhai...sengir berminyak langsung dimuntahkan.
Sebaliknya tanaman holtikultura semacam singkong pernah dicoba tanam oleh Surip. Hasilnya seminggu ditinggal, batang-batang singkong tersebut habis ludes disikat pelanduk alias kancil. Kalaupun diteruskan batang-batang singkong itu tersaingi semak belukar yang mengeluarkan racun.
“Aku pernah membaca di sebuah majalah, owa-owa itu sebenarnya masing-masing berkelompok menguasai suatu kawasan,” Surip berkata setelah orang-orang sepondok kerja tahu kejadian Surip berlatih diganggu oleh kawanan kera tak berekor.
“Untuk menandai kawasan kekuasaannya masing-masing kelompok pada musim-musim tertentu berperang dengan kelompok lain. Nah saat peperangan antar kelompok itulah masing-masing kera itu mengeluarkan kotoran dan kencing di sekitar medan perang. Setelahnya masing-masing kelompok menjadikan tanda kawasan kekuasaannya dengan bekas-bekas tahi dan kencing saat perkelahian massal,” Surip terus menerangkan apa-apa yang diketahuinya mencoba kebenaran pengetahuan di literatur dengan keadaan di lapangan.
Sayang sungguh disayang hidung Surip tak mampu membaui bekas-bekas kotoran dan kencing monyet-monyet tersebut. Kemampuan terbatas, sebagai manusia ia banyak mengandalkan daya pikiran. Inilah bedanya manusia dengan binatang, manusia adalah binatang yang berpikir. Pencak silat merupakan budaya manusia walaupun pada awalnya manusia meniru perilaku hewan dalam bela diri.
Di Kalimantan tenar jurus kunthow bangkoi. Itu merujuk pada nama jenis monyet. Surip belum pernah menyaksikan peragaan jurus itu dilakukan oleh orang-orang lokal Kalimantan. Tapi merujuk pada seorang dukun yang mampu mengundang teman makhluk halus dengan perilaku seekor kera, tetap saja jurus tersebut berarti benar-benar ada.
Kenyataan yang ada di lapangan Surip tak tahu yang mana monyet yang disebut bangkoi itu. Banyak sekali jenis monyet di Kalimantan, beruk yang disebut oleh orang Jawa menyebar sebagai hewan invasif di Kalimantan. Sedangkan yang asli terdiri dari kera tak berekor, orang utan, bekantan bahkan sampai yang seukuran sekepalan tangan tak tahu namanya.
Akhirnya Surip melihat di hutan sesuai seleranya menyebut bangkoi, monyet-monyet yang disebutnya itu berukuran kecil paling besar seukuran kelinci. Gerombolan-gerombolan bangkoi sering nampak ditebing-tebing dengan pepohonan rindang. Kerindangan pohon-pohon di tebing itulah yang dijadikan dasar bangkoi itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Memanfaatkan ketinggian, monyet bangkoi itu bersalto menggapai tempat di bawahnya berupa tajuk-tajuk rimbun pohon-pohon yang tumbuh di tebing.
Kita sering hanya bisa menyaksikan aksi monyet bangkoi itu dari tempat datar karena biasanya di hutan tebing-tebing itu tepat di bawah jalan angkutan kayu (logging truck). Menjatuhkan diri, bersalto, menangkap dahan turun lagi ke tempat yang lebih rendah dengan cara yang sama. Bisa pusing kepala manusia bila melakukannya, bahkan biarpun itu atlet senam juara dunia sekalipun.
Alhasil suatu ketika monyet bangkoi itu ditangkap penghuni camp. Dicoba dipelihara di dalam kandang, kasihan monyet tersebut langsung stress tak mampu menggerakan tubuhnya yang demikian lincah di padang-padang perdu hutan. Ia hanya mampu menatap dengan mata berkaca-kaca minta dilepaskan. Akhirnya mati karena kandang itu bukan tempat hidupnya.
BAB 13
Tarung Raga
Novel ini adalah kisah nyata tentang latihan bela diri pencak silat. Bela diri tersebut menyatu dalam latihan intinya yaitu jurus. Adakah orang lain yang sama menapakinya sebagai bagian hidupnya?
“Aku menapaki latihan jurus ini justru banyak dukanya dari pada sukanya,” didengarnya kata-kata itu dari dalam hatinya sendiri.
Surip memulai latihan saat berumur delapan tahun di desanya di Beji. Menonton orang-orang berlatih pencak silat di lapangan volley RT dan kemudian bergabung.
Berlatih pencak silat dan kemudian menjadi anggota sebuah perguruan pencak silat tidaklah stabil. Setahun giat berlatih, berhenti dulu. Disuruh berlatih lagi setelah vakum kegiatan di perguruan. Jurus-jurus yang dikoleksinya tidak langsung lengkap. Setahun berlatih ia hanya menghafal empat jurus, setelah itu mengulangi lagi dari jurus satu karena vakum setahun dua tahun. Kemudian dipaksakannya mencapai sepuluh jurus.
Bukannya Surip yang malas, tetapi perguruan pencak silat Al Jurus tempatnya bernaung juga pasang surut. Setahun di desa latihan sangat insentif ternyata bubar karena pelatihnya keluar kota mencari pekerjaan.
Surip kecil pun tidak menjadi anggota perguruan lagi, setelah di SMP bahkan sudah tidak ingat apa-apa lagi yang pernah dilatihnya. Semuanya hanya menjadi kenang-kenangan.
Suatu ketika ada program Training Pelatih di perguruan Al Jurus. Nah Surip direkrut lagi secara sukarela untuk dilatih lagi. Berlatih beberapa bulan saat itu sekolahnya menginjak SMA. Kemudian dipercaya melatih di desanya. Entah musibah atau bukan perguruan Al Jurus nya bubar karena guru besarnya pindah rumah ke lain daerah. Perguruan Al Jurus yang kecil itu ternyata rapuh, beberapa masalah yang terjadi pada guru besarnya ikut menyurutkan nama perguruan.
Tinggallah Surip sebagai salah satu anggota perguruan ikut pasif. Tak ada gerakan apapun dari anak-anak murid Al Jurus untuk kembali mengorganisir perguruan karena memang sangat lemah di bidang organisasi. Suriplah yang mengalami tantangan sendiri dengan berbagai masalah hidup. Di Kalimantan inilah kenang-kenangan terhadap pencak silat timbul dan membuatnya berlatih kembali walaupun minim modal materinya.
Jadi dimana sukanya?
Tidak ada.
Dan di hutan latihannya bisa insentif dua tiga tahun dengan berbagai prinsip disiplin yang ditemukannya. Jadi dibandingkan dengan latihannya saat di kota Purwokerto kini ia menuai hasilnya.
Sayang masyarakat pada umumnya tidak menghargai kegiatan-kegiatan Surip. Semuanya hanya dianggap mengada-ada. Bagi masyarakat umum lebih menakjubkan film-film Kungfu China atau atraksi tenaga dalam. Latihan yang Surip jalani hanya soal sepele, siapapun bisa melakukannya.
Beberapa orang di camp hanya menjadikan kegiatan Surip sebagai guyonan saat senggang nonton film televisi.
“Wah hanya Surip yang bisa menyaingi Jet Lee di camp ini.”
Atau saat seseorang pernah menyaksikan latihan Surip di hutan,
“Wah mirip Jean Claude Van Dame ya.....,” yah itu aktor laga dari Belgia kalau gak salah.
Orang-orang tersebut tidak memuji Surip sebagai pribadi tersendiri, tetapi membandingkan dengan aktor-aktor film luar negeri.
Yang lain ada,
“Surip ini latihan karate di hutan.”
Nah orang ini benar-benar tak tahu bedanya pencak silat dengan karate, ia hanya pernah mendengar tentang orang-orang berlatih bela diri karate saja karena gaungnya memang lebih mendunia.
“Aku pernah lihat orang China kepala bengkel di bagian produksi juga melatih bela diri sendirian tapi kelihatannya lebih hebat karena asli Tiongkok.”
Ada seorang berkomentar mengenai orang-orang China kontrakan yang dianggapnya lebih mahir dari pada Surip biarpun sudah tak ada sosoknya sama sekali karena sudah kembali pulang ke negaranya. Yang ini tentunya membuat Surip tak berkutik karena apa yang dilatihnya tidak sehebat orang China yang disaksikan seseorang di camp.
Surip tak mampu membantah anggapan-anggapan orang camp terhadap dirinya dan juga tak mampu membela bela diri pencak silat yang menjadi bagian hidupnya. Pencak silat sangat kecil lingkupnya dibandingkan bidang-bidang kehidupan lainnya seperti pekerjaan dan jabatan. Juga dengan olah raga populer lainnya atau bahkan bidang politik praktis di Jakarta.
Surip masih terus melanjutkan latihannya. Ia kini mencoba materi baru dari pemikirannya sendiri.
“Aku menemukan jenis tarung-tarung ini dalam lingkup Al Jurus. Sebab gagasannya murni milikku. Jika ada persamaan gagasan orang lain atau jenis bela diri lain itu adalah masalah teknis. Memang kuakui gagasanku ini konsepnya mengambil contoh-contoh yang sudah ada di masyarakat.”
“Aku menambah lagi jenis tarung, jika dilihat dari lingkupnya sama sekali tidak masuk kategori bela diri pencak silat. Tetapi bagiku ini masuk pengayaan jenis tarung dengan pengembangan pada atlet-atlet yang berbobot badan di atas kelas-kelas normal.”
Bayangkan seorang yang bertubuh gembrot atau misalnya seorang atlet berbobot lebih dari delapan puluh kilo gram. Kalau dalam tinju itu masuk kelas berat dan masih mampu menghunjamkan pukulan keras. Tapi suruh orang-orang berbobot di atas delapan puluh kilo gram itu menendang, melompat, atau bersalto.....Eiiitt jangan suruh mereka melakukan itu ya!
Makanya Surip memasukan dalam bentuk tarung lain untuk kekayaan jenis tarung walaupun tidak masuk kategori pencak silat.
“Di hutan aku belum pernah menyaksikan orang utan itu berkelahi. Bisa diduga orang utan tidak mengandalkan kepalan tangan. Jika terjadi perkelahian orang utan itu lebih mengandalkan tubuhnya untuk saling mengalahkan. Baru setelah itu tangannya mencakar, kakinya mendorong atau menjatuhkan tubuh lawan, atau bahkan mulutnya menggigit menyakiti lawan.”
Yang aneh dalam setiap perkelahian binatang-binatang itu tak pernah ada peristiwa pembunuhan. Seekor macan atau harimau bisa memangsa anaknya sendiri tapi tak akan memangsa induk betinanya. Begitu juga berbagai jenis binatang lain.
Jika kedua binatang berkelahi yang ada adalah supremasi untuk mendapatkan betina atau menguasai suatu kawasan. Contoh yang ada adalah kucing jantan, mereka akan mempertahankan kawasan yang dikuasai menandainya dengan cipratan kencing di tempat tertentu. Kemudian jika mendapati ada pejantan lain barulah ia bertarung untuk mengusirnya. Tak pernah kucing-kucing itu saling bunuh membunuh seperti perang antar suku atau negara.
“Aku mengambil konsep tarung badan lawan badan dengan nama tarung Raga. Dalam tarung raga ini bobot tubuh sebagai penentunya.”
Masuk kategori gulat, tetapi disesuaikan dengan lingkungan masyarakat dan alam nusantara. Yang dicontohkan Surip itu orang utan, dalam evolusinya orang utan itu mengandalkan tangan dan kaki sebagai perangkat yang nyaris sama. Badan yang tambun, tangan memiliki bobot berat, begitu juga kaki dengan fungsi pergerakan dari dahan ke dahan.
Ibaratnya jika tangan orang utan itu memegang dahan yang sama besarnya masih bisa dengan mudahnya dipatahkan. Kedua tangan dan kaki orang utan masing-masing hampir sama fungsinya, bedanya hanya anggota atas dan bawah tubuh.
“Tak usah tarung Raga ini disamakan dengan keperkasaan orang utan di rimba Kalimantan. Yang penting sudah ketemu prinsipnya, yaitu tarung badan lawan badan,” Surip tak perlu bertambah panjang berpikir.
Dalam peragaan kedua petarung yang jelas-jelas berbobot gembrot atau di atas normal akan saling berhadapan. Keduanya membungkuk menatap lawan dalam hal ini mengincar tubuh lawan. Mungkin pembaca pernah melihat tarung Sumo jepang. Tarung Sumo itu tak pernah dilakukan di luar wilayah Jepang. Jadi boleh saja kita mencontoh tarung Sumo itu sebagai khasanah budaya kita, tentu dengan norma-norma yang sesuai adat nusantara.
Wasit memberi aba-aba mulai, kedua petarung menabrakan diri ke masing-masing tubuh lawan. Setelah itu barulah kedua tangan dan kaki berfungsi dengaan menyerang tubuh lawan menjatuhkan, mendorong, atau mengunci lawan. Teknik-teknik kuncian tak perlu serumit gulat internasional, yang penting lawan terjatuh di lantai tak berdaya lagi mengangkat tubuhnya sudah jadilah seseorang dinyatakan pemenang.
Seseorang yang sama-sama gembrot bertarung, mampukah salah satu mengangkat tubuh lawannya dari matras ring?
Jika mampu itulah jenis teknik dengan kemenangan sempurna.
Dalam tarung ini kemenangan tak perlu dihitung dengan poin, tetapi dari nama teknik yang diperagakan.
Misalnya,
- Mengangkat tubuh lawan : RAGA
- Mendorong keluar dari ring : SURUNG
- Menjatuhkan lawan dari lantai matras: TIBA
- Mengunci lawan : BEKUK
Wasit memberi kemenangan sesuai dengan teknik yang diperagakan petarung sesuai dengan nama tekniknya. Bila ada teknik lain yang belum tercantum boleh ditambahkan.
Dalam setiap laga petarung diberi kesempatan mencapai tiga teknik peragaan. Dengan demikian jika salah satu petarung mampu mencetak salah satu atau dua teknik tersebut di atas sudah bisa menjadi pemenang. Kemenangan sudah tercapai begitu salah satu petarung berhasil menaklukan lawan tiga kali berturut-turut atau tiga kali lebih dulu dari lawan.
Dengan imaginasi saja tarung raga ini sudah terlihat. Dua petarung misalnya sudah mencapai masing-masing kemenangan telak atau draw, maka akan ditentukan satu kali lagi untuk mendapatkan seorang pemenangnya.
Terlihat jelas setiap kali kedua petarung raga ini melakukan benturan antar badan paling tidak sekitar lima kali. Ronde tak dibutuhkan, setiap satu benturan dan kemudian didapat seorang pemenangnya masing-masing diberi kesempatan istirahat beberapa menit untuk mengatur strategi dan persiapan turun ke gelanggang lagi.
Wasit berhak menentukan sah tidaknya teknik yang diperagakan, juga berhak membatalkan bila salah satu petarung melanggar aturan pertandingan. Aturan-aturan lain tarung raga ini tentu bisa didapat saat dipraktekan di arena pertandingan. Yang penting prinsip tarung raga ini sudah diddapat yaitu badan lawan badan, memanfaatkan berat badan untuk mendapatkan kemenangan dll.
Jenis-jenis latihannya tentu sangat berlainan dengan tarung Etang maupun tarung jurus versi I dan versi II Al Jurus. Orang-orang berbadan gemuk memiliki problematika sendiri. Sebagian besar orang-orang berbadan gemuk karena sudah keturunan. Mereka tetap perlu berolah raga biarpun terbatas gerakannya. Tarung Raga inilah jawabannya.
Bagaimana dengan orang-orang berbadan gemuk karena kurang gerak?
Mereka tak masuk kategori kelas dalam tarung ini. Seseorang yang mengalami kegemukan karena kurang olah raga tak mungkin dilatih lagi, tuntutan untuk orang-orang ini adalah mengurangi berat badan demi kesehatan.
Dalam tarung Raga teknik yang berhasil diperagakan menentukan peringkat. Seorang petarung yang berhasil mengalahkan lawannya dengan teknik RAGA (mengangkat tubuh lawan) dihitung beberapa kali teknik tersebut berhasil dilakukan. Setelahnya teknik lain seperti BEKUK juga menjadi poin tersendiri.
Dibawahnya kemudian mendorong (SURUNG) dan menjatuhkan lawan (TIBA). Bayangkan seorang petarung Raga telah menghadapi sembilan peserta dalam satu even. Berarti terdapat peragaan teknik 9x3= 27 teknik. Nah dua puluh tujuh teknik ini bisa diuraikan dalam contoh berikut,
1. Semuanya teknik RAGA (27x) Sempurna
2. Teknik RAGA 20
Teknik BEKUK 7
3. Teknik RAGA 10
Teknik BEKUK 10
Teknik SURUNG 7
4. Teknik.....dll
Tentunya jika teknik RAGA mencapai dua puluh tujuh tenttulah itulah juaranya. Selebihnya menurun sebagai peringkat di bawahnya.
Uraian di atas masih mentah, belum ada prakteknya di lapangan. Masih harus dikaji sebagai bentuk tarung baku yang diakui sebuah lembaga sendiri.
***
“Hiya.....!!!” Seseorang menepuk punggung Surip. Kemudian terdengar kata selanjutnya. “Ela mengkhayal Lek, kesurupan kareh ikau,” Meldi berkata seraya duduk di tepi palbet tempat tidur Surip.
Surip yang tadinya terlonjak kaget bisa meredam dirinya yang tak terkendali tadi. “Uuuh copot jantungku Mel!”
Sebaliknya Meldi berdendang lagu kerungut. Surip tertawa mendengar lagu krungut yang dinyanyikan Meldi.
“Aku tak mengira ikau mahir krungut Mel, ayo ajari aku,” Surip berkata memuji pura-pura memohon meminta sesuatu.
“Kawa ae tapi aku laku kaos barumu Lek,” Meldi menunjuk kaos yang baru dibelinya di Kuala Kurun. “Kareh aku huruf dengan uang Lek.”
Surip melongo, kaos yang dibelinya ternyata ditaksir Meldi.
“Hah Mel dari pada ikau ambil kaosku jewu ita ke Kurun nukar yang lebih behalap.”
“Dia aku ambil ayung ikau Lek, behalap tutu,” ujar Meldi mengerasi maksudnya.
Masih Surip mencoba mempertahankan hak miliknya, tetapi Meldi tetap ngotot. Sebenarnya heran juga Surip dengan kelakuan Meldi ini. Akhirnya terpaksa Surip menyerah, dibiarkannya Meldi sesuka hatinya mengambil kaos barunya yang kemudian langsung dipakai Meldi.
“Uiih rupanya ini watak Meldi yang tersembunyi, orangnya bila sudah menyukai sesuatu akan terus mengejarnya hingga dapat,” kata Surip dalam hati. “Yang diperebutkan hanya pakaian kaos rupanya Meldi sangat suka penampilan sedikit mewah.”
Hampir-hampir mereka berdua bertengkar hanya garaa-gara pakaian. Meldi yang sudah mendapat baju kaos Surip terus berdandan dan berdecak kagum dengan penampilan barunya. Mulutnya tak henti-hentinya melagukan kerungut. Ada-ada saja manusia di dunia ini, Surip kini tahu jenis manusia seperti Meldi ini.
Baru kali ini Surip bersama dengan Meldi. Saat ini Surip membawa regu pembebasan I, sedangkan Meldi di regu kegiatan ITT (inventarisasi tegakan tinggal) bagian perencanaan. Masing-masing regu mengerjakan petak dan berlokasi pondok yang sama.
Meldi hanya tukang masak, itu pekerjaan spesialisasinya, orangnya memang pemalu.
“Aku heran dengan ikau Mel, dia puji aku mendengar ikau menyanyi kerungut bila ada bubuhannya?” Surip bertanya.
Kini di depan matanya Surip menjadi saksi keahlian Meldi melagukan kerungut atau pantun Dayak. Surip tak tahu arti-arti pantun dalam bahasa Dayak, tetapi lagunya sering diperdengarkan radio RRI Palangka Raya.
“Jurus pencak silat pun di beberapa daerah selalu diiringi dengan musik. Irama kerungut dan musik-musik daerah pada umumnya monoton. Hitungannya memang disesuaikan dengan tarian atau pencak,” Surip lagi-lagi menghubungkan keadaan lingkungan Dayak dengan bidang yang digelutinya.
Biarpun berbeda tetapi terasa persamaan lingkungan antara satu daerah dengan daerah lain di seluruh Nusantara ini. Termasuk juga dalam olah raga bela diri pencak silat. Semuanya bisa saling berhubungan walaupun berlainan suku dan bahasa. Itu menunjukan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia dulunya berasal dari suatu daerah sama.
Ternyata setelah teman-teman seregunya berdatangan Meldi tak seriang saat berdua dengan Surip. Meldi pemalu dan merasa paling bodoh diantara anggota regu perencanaan. Sejak mengenalnyapun Surip tahunya bidang yang dikerjakan hanya di bagian dapur melulu. Sekarang Surip tahu diam-diam Meldi memiliki bakat di bidang lain itulah feelingnya yang jalan. Ia mengambil lagu daerah sebagai basis mengenal musik lain. Kemudian hari-hari selanjutnya diketahui Surip Meldi berlatih gitar, ternyata langsung mampu menyanyikan lagu-lagu pop yang bernada diatonik.
Ah dunia memang seperti itu, bila mau belajar bakat terpendam di dalam diri kita akan keluar biarpun latihannya sedikit demi sedikit. Surip mencontohkan dirinya sendiri yang berlatih bela diri pencak silat di hutan. Semuanya dirasakan tidak tergesa-gesa, perlahan tapi pasti mendapatkan kemajuan yang tak terduga.
Kegiatan pembebasan I dan inventarisasi tegakan tinggal (ITT) memang berada dalam satu RKT (rencana karya tahunan). Hanya saja kegiatan ITT akan lebih cepat selesai karena hanya mendata tegakan tanpa perlakuan apapun. Sebenarnya data ITT itulah yang menjadi acuan kegiatan pembebasan I dan selanjutnya. Sayang biasanya setahun dua tahun pembebasan masuk, bekas-bekas data ITT sudah hilang. Terpaksa kegiatan pembebasan mulai lagi dari awal.
Seperti biasa Surip keluar saat menjelang sore, jadwal latihannya masih berjalan. Jangan salah, apa yang dilakukan Surip adalah kegiatan selingan. Kegiatan intinya tetap berupa pekerjaan mencari rejeki. Dan itu bisa didapatnya dari perusahaan HPH. Pekerjaan yang berada jauh di dalam hutan bebas menafsirkan kegiatan yang dipegangnya.
“Aku umba Lek, bosan aku je pondok terus,” Meldi tiba-tiba beranjak cepat mengikuti Surip yang sudah berada di jalan logging. Surip gelagapan, diikuti Meldi berarti batal latihannya.
“Ayolah kita ke bekas camp tarik, lumayan tege pucuk jawau je hitu,” Surip berkata mengalihkan maksud tujuannya.
Jadilah mereka berdua berjalan sambil ngobrol, tak lupa keduanya menenteng masing-masing sebilah parang. Ini di hutan, perasaan lebih aman bila membawa senjata. Tak lupa Meldi membawa ketapel bikinannya sendiri. Meldi ini menyesuaikan dengan lingkungannya. Ia terlatih menggunakan ketapel untuk berburu burung. Berlawanan sekali dengan teman-temannya yang sering menggunakan senapan angin.
“Belok kanan Lek lebih cepat sampai kita di bekas camp tarik!” Meldi menunjuk jalan dorongan traktor.
Surip yang kelabakan, “Jalan te tertutup semak belukar Mel, kita ikuti jalan yang nyaman saja,” sebalnya Surip sambil membalas pernyataan Meldi. Tentu saja itu salah satu tempat rahasia Surip berlatih.
“Ah kejau Lek, ie te jalan pintas,” Meldi langsung terus belok kanan tak peduli dengan kata-kata Surip.
Sebentar kemudian Meldi berteriak keras,
“ Oiii Rip tege jejak aneh je hitu!” Teriaknya makin membikin Surip senewen.
“Sialan Meldi ini, itu tempatku berlatih tahu!” Suara itu terdengar dalam hatinya saja.
Sementara Meldi terus berkomentar atas penemuannya.
“Mias jejak te, binatang narae sampai berkeliaran je hitu?” Kata-katanya polos karena bingung dengan apa yang ditemukannya. Tapi kemudian dugaannya tepat,
“Ah paling ini jejak manusia, tapi narae gawean uluh te?” Meldi tetap bingung karena tak ketemu jawabannya.
Surip pun diam saja, dibiarkannya Meldi dengan berbagai dugaan terhadap apa yang ditemukannya di jalan traktor. Tempatnya cukup datar dengan lapisan tanah empuk. Jejak-jejek itu paling menonjol di satu garis berupa tapak-tapak kaki terhunjam di tanah.
“Biari Mel ayo nanjung ke bekas camp tarik,” cepat-cepat Surip mengajak Meldi meninggalkan salah satu tempat favorit berlatih jurus.
“Jejak eweh Rip, hanya kita yang berpondok di petak te?”Meldi bertanya curiga tapi terus melangkah menuju tujuannya.
Ini adalah hal-hal yang dialami Surip gara-gara kegiatannya berlatih bela diri pencak silat. Meldi hanya sekali ini saja berpondok bersama Surip. Kegiatannya di perencanaan lebih sering masuk petak hutan yang masih perawan (hutan primer).
Orangnya rupanya merasa rendah diri diantara teman-teman kerjanya. Rata-rata orang survey bagian perencanaan memang tenaga pilihan. Kepala bagiannya orang Banjar bekas alumni UNLAM. Siapapun yang direkrutnya melalui seleksi ketat. Ada seorang anak buahnya konon didikan dari pemain club sepak bola Barito Putra. Karenanya anak buahnya ini tidak hanya diandalkan untuk ikut survey saja tetapi sering menjadi anggota team sepak bola perusahaan sehingga selalu menang di Kuala Kurun bila ada kejuaraan.
Meldi menjadi satu-satunya orang kampung yang ikut bagian perencanaan. Tentu hanya bagian dapurnya saja. Ini bagian yang paling dijauhi anggota regu manapun. Dengan Surip Meldi cukup akrab di camp. Sering mereka berdua berjalan-jalan di Kuala Kurun. Beberapa bagian sifat Meldi seperti cermin bagi Surip, introvert dan menutupi berbagai kemahirannya karena malu.
Seiring dengan statusnya yang meningkat, Meldi mulai memperlihatkan ketrampilannya. Pergaulannya membuat ia mencoba berbagai fasilitas yang ada di camp. Bakat alamiahnya dari lingkungan Dayak dicoba dalam musik modern dengan iringan gitar. Ternyata feelingnya cukup tajam untuk menentukan perbedaan nada sehingga lagu-lagu pop bisa dinyanyikannya. Bahkan dalam bidang olah raga yaitu bulu tangkis ia demikian lincah mempermainkan raket dan kock bulu angsa melebihi Surip yang hanya sekedar ikut-ikutan di camp. Demikian Meldi di camp rimbawan, rendah diri dengan berbagai bakat alamiah yang disembunyikannnya.
Lain lagi dengan Harahap. Segudang perantauannya di berbagai daerah Indonesia hanya menjadi bualannya saja. Banyak sekali kisah petualangannya yang demikian seru terlalu berlebih-lebihan. Hanya enak didengarkan tapi tak mungkin benar-benar terjadi, lebih mirip film yang disesuaikan dengan tempat-tempat yang pernah disinggahinya.
Beberapa kejadian tak nyaman dialami Surip dalam bergaul dengan Harahap yang satu ini. Berbeda dengan Agus Lenong yang sama bermarga Harahap tetapi memiliki tenggang rasa tinggi. Harahap yang ada di camp rimbawan menjadikan Surip sebagai sarana menonjolkan diri di camp.
Klaimnya bahwa dialah yang melatih Surip dalam bela diri membuat orang-orang camp mengaguminya. Kegiatan apapun yang Surip lakukan diperhatikan orang camp. Tentu Surip memperlihatkan berbagai disiplin hasil latihannya dalam pencak silat. Semuanya dianggap sebagai jasa seorang bernama Harahap.
Disiplin adalah hasil sampingan seseorang berlatih kegiatan bela diri. Dua puluh empat jam sehari terbagi menjadi beberapa sesi kegiatan. Kebiasaan bangun pagi baik itu di camp maupun di pondok kerja tak bisa dibantah lagi. Pagi-pagi dengan udara dingin segar membuat tubuh segera bergerak dalam latihan-latihan ringan mencapai kebugaran.
Perbandingannya sangat terasa saat bersama-sama dengan orang lain berjalan kaki di jalan menanjak bukit. Orang-orang yang tak berlatih akan tersengal-sengal nafasnya dan kepalanya merasakan pening. Surip mampu menanjak bukit tanpa banyak kesulitan, staminanya meningkat hingga menjadi kebiasaan positif.
Lagi hasil latihan yang berhubungan dengan moral, yaitu kejujuran. Sesi-sesi latihan jurus melatih tubuh mengakui jujur tidaknya hasil latihan. Hari ini hanya mampu push up lima puluh kali tak mungkin tubuh bicara seratus kali. Tubuh sedang sakit juga jujur akan angkat tangan dipaksa berlatih. Porsi-porsi tempaan fisik seperti push up, sit up menjadikan Surip tahu tubuhnya mampu digenjot dalam latihan-latihan berat.
Tak ada orang camp atau sesama orang survey mencapai kemajuan porsi berlatih seperti Surip. Bisa orang camp trampil bermain bulu tangkis, bola volley, sepak bola atau tenis meja. Tapi semuanya diikuti orang karena unsur hiburannya. Semuanya hanya sebatas permainan seperti remi, domino atau catur. Semua permainan tersebut bisa ditinggal sewaktu-waktu atau terlupakan.
Pencak silat yang dilatih Surip justru melebur menjadi bagian hidupnya. Berbagai sesi di dalamnya adalah ritual seperti upacara. Berbagai pandangan hidupnya terhadap lingkungan diambilnya dari disiplin yang ditemukannya sendiri. Pencak silat menjadi semacam semangat bertahan hidup. Menjadi sebuah doktrin seperti keimanan dalam agama. Tentu tidak setinggi agama, tetapi mengiringi agama yang dianutnya. Itulah Al Jurus, sebuah pandangan hidup dengan dasar bela diri.
Beberapa bulan Harahap menjadi sopir rimbawan. Bualannya terbukti di bidang tersebut, mobil rimbawan tak pernah beres di tangannya. Ada-ada saja masalahnya, mesin mogok, bensin selalu kurang, bermain-main dengan barang yang diangkutnya semisal minta jatah setiap kali mengantar ke satu tempat dan mencoba main mata jasa angkutan dengan orang kampung menjadikan kabag pembinaan dan perencanaan memberi sanksi.
Setelah itu Harahap hanya menjadi kenang-kenangan orang camp rimbawan sebagai sopir paling tidak disiplin yang pernah ada. Ia meninggalkan masalah yang dikeluhkan oleh penggantinya. Surip sendiri merasakan getahnya juga secara pribadi. Ada tenaga harian tetap mendapat jatah kasur setiap perorangannya. Tentu saja karena mendapat jatah adalah haknya langsung diambil.
Eeeehhhh sebulan baru dipakai, setelah masuk di kegiatan survey, kasur itu disikat Harahap. Tentu saja Surip protes dan mempertanyakannya. Saat itu awal-awal Harahap menjadi sopir rimbawan. Jawaban Harahap membuat Surip geleng-geleng kepala,
“Kamu itu kan hanya harian tetap, aku ini sopir rimbawan statusnya bulanan. Lebih tinggi aku ketimbang kamu!” Kasar sekali kata-katanya merendahkan Surip. Sayang saat itu tak ada yang membela Surip. Semuanya membiarkan kejadian itu karena perbedaan status karyawan, Surip yang menjadi korban kenakalan Harahap.
Hidup di masyarakat dengan berbagai latar belakang membuat tanggapan terhadap kegiatan Surip berbeda-beda. Harahap paling menonjol karena memanfaatkan kegiatan Surip untuk mendongkrak popularitasnya di camp rimbawan. Banyak saja orang-orang camp yang tahu dan hanya menyinggung sekedar sebagai bahan obrolan supaya nyambung.
Orang-orang seperti Gundam dan Junaedi misalnya tidak ikut campur apa lagi mempengaruhi Surip dengan merendahkan kegiatan yang dilakukannya. Bagi mereka masing-masing juga memiliki bidang dan dunia sendiri-sendiri.
Gundam dengan berbagai kelebihannya sudah sibuk dengan berbagai masalah keluarganya. Perbandingannya dengan urusan keluarga yang memaksanya untuk turun tangan membantu kedua orang tuanya membuatnya sadar lebih sulit mengurusi diri sendiri dari pada mencampuri urusan orang lain.
Junaedi, ia dituakan di kelompoknya sendiri. Ia adalah mantan gangster di Banjarmasin. Biarpun ia mencoba mengubah perilaku untuk tidak terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal tetapi cap sebagai gangster tetap melekat. Keluyurannya pun tak jauh-jauh amat dari dunianya dahulu seperti tempat karaoke atau bergaul dengan gangster-gangster di Kuala Kurun.
Di sanalah di mendapat terhormat. Dituakan dan dijadikan panutan karena kewibawaannya. Dengan Surip Junaedi bergaul akrab, kadang berdiskusi tentang pekerjaan dan masalah agama. Dari Surip Junaedi cukup banyak mendapatkan pengetahuan tentang perbandingan agama karena adanya misi gereja di pedalaman.
Ada beberapa hal yang Surip sering tidak mengerti di camp rimbawan. Biarpun orang-orang camp tahu kegiatan dan kemajuannya baik itu dalam karier di perusahaan maupun kegiatan latihannya. Anggapan orang-orang camp tetap seperti pada awal-awal dirinya masuk di camp.
Beberapa kejadian yang pernah dialaminya seperti kena rengas, tubuhnya yang kurus kerempeng terkesan kurang makan apa lagi kejadian saat dirinya menebas semak belukar ala penyabit rumput selalu diungkap. Mereka selalu menjadikan kelakuan Surip sebagai tolok ukur kemampuannya. Begitulah kesan Surip hidup di camp, kemampuannya tidak meningkat bahkan cenderung dibodoh-bodohkan.
Kenapa bisa demikian?
Ada semacam kebiasaan di lingkungan camp yang mengikuti kebiasaan orang lokal. Apapun kegiatan di mana seseorang terlibat di dalamnya hanya akan dianggap hebat bila selalu melakukannya dengan taruhan (judi). Olah raga apapun jenisnya selalu dengan taruhan biarpun itu hanya berupa sekaleng minuman bersoda. Main remi, domino, belum lagi permainan dadu gurak biarpun diam-diam. Ada larangan bermain judi di camp, tetapi itu sekedar papan larangan bertulisan besar. Praktek judi tetap marak dan orang-orang yang melakukannya itulah yang dianggap sebagai orang hebat di camp.
Kebiasaan lain adalah minum-minuman beralkohol. Siapapun yang masuk lingkungan ini sepertinya akan begitu banyak memiliki teman pergaulan. Hari ini traktir orang-orang itu minum, besok pasti diajak ke tempat lain untuk bergabung sesuai giliran. Jadi siapaun tinggal pilih jika ingin luas pergaulannya.
Dan Surip salah satu orang yang tersisih dalam pergaulan. Apa lagi seleranya jauh berlainan dengan kebiasaan-kebiasaan mayoritas orang camp. Prestasi Surip yang diakui di camp hanyalah kemampuannya mengetuai regu kegiatan pembinaan. Jika itu sudah hari-hari hendak masuk survey, orang-orang camp kong kalikong untuk bisa ikut menjadi anggota regu yang dimandori Surip.
“Umpat Surip itu nyaman, gaweannya tidak menekan dan mudah diajak kompromi,” itu ujar orang-orang camp diam-diam di belakang Surip.
Terus berbagai peristiwa dilalui Surip, bagian novel ini menceritakan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan jurnal latihannya. Kegiatan-kegiatan pembinaan makin mengerucut pada bagian pembebasan. Bagian ini terdiri dari perapihan, pembebasan I, II, III, dan penjarangan I, II, III. Spesialisasi mulai berjalan dan Surip mendapatkan kegiatan perapihan. Jadi jika setahun ada sepuluh bulan efektif masuk hutan bisa delapan bulan adalah kegiatan perapihan dan lainnya hanya berperan sebagai pengganti mandor lainnya yang sedang berhalangan.
Sebaliknya dinamika perusahaan juga tidak konstan. Situasi politik nasional hingga tingkat kedaerahan sangat mempengaruhi maju mundurnya perusahaan. Kalteng termasuk kantong-kantong partai-partai nasionalis. Partai-partai yang mengusung ideologi nasionalis tradisional seperti PDIP dan sempalan-sempalannya sangat kuat di pedalaman. Panutannya adalah ketokohan pahlawan nasional Cilik Riwut yang berkolaborasi dengan Presiden pertama RI Ir Soekarno. Palangka Raya menjadi tolok ukur Dwi Tunggal panutan orang-orang Kalteng. Kedua tokoh itulah penggagas ditentukannya perpindahan ibu kota NKRI dari Jakarta ke Palangka Raya. Suatu cita-cita yang tetap terpendam dalam dada setiap warga Kalteng.
Surip berada di Kalteng antara runtuhnya Orde Baru digantikan Orde Reformaasi. Tumbangnya rezim Soeharto diikuti dengan aksi penjarahan aset-aset konglomerat dan rasialisme terhadap warga China. Setelah itu mulailah kerusuhan-kerusuhan di setiap daerah bernuansa separatis dan etnis. Dan Kalteng adalah salah satu daerah yang menyimpan konflik antar entnis. Perselisihan antar etnis menjadi fenomena bom waktu, kapanpun bisa meledak.
Dunia Surip sangat kecil tak sebanding dengan lingkungan sekitarnya. Jurnal latihannya tak bakalan masuk agenda politik tingkat manapun. Di camp tempat tinggalnya hanya ia seorang yang berlatih dengan dalih ingin berbeda dengan yang lain.
Komik, film selalu menggembar-gemborkan adanya dunia bawah tanah yaitu dunia persilatan. Pengaruhnya digambarkan mampu menjangkau altar kekaisaran China. Pendekarnya digolongkan dalam golongan hitam dan putih yang selalu berseteru. Ternyata di dalam alam nyata tidak sehebat itu.
Di Sicilia ada mafia, dunia bawah tanah dengan hukum tersendiri yang selalu bersinggungan dengan kriminalitas. Hukum di Italiapun yang jadi negara intinya mensub bagiankan golongan mafia ini. Tapi hanya tindakan kriminalitasnya saja yang bisa dijerat. Organisasinya timbul tenggelam dan tidak nampak di permukaan. Seseorang pelaku kriminal yang telah membunuh didakwa pasal pembunuhan tidak menjangkau kejadian persaingan antar organisasi mafia yang saling berebut pengaruh.
Dunia persilatan baru sebatas budaya lokal, digerakan oleh perguruan di seluruh Indonesia dan dicoba disatukan dalam wadah olah raga di IPSI. Didikannya baru sebatas mental spiritual, perkembangannya dicoba distandarkan oleh IPSI.
Paling tinggi dunia persilatan adalah jasa keamanan terhadap lingkungan baik itu bayaran maupun gratisan. Ada perselisihan antar perguruan yang berujung pada perkelahian massal, sangat mudah dikategorikan sebagai tindak kriminal.
Bagaimana status Surip di bidang yang ditekuninya ini?
Ia adalah mantan siswa anggota dan pelatih di sebuah perguruan pencak silat. Al Jurus diambilnya hanya mendapatkan lingkup legalitas kemampuannya. Kemungkinan di Indonesia banyak orang-orang yang mengalaminya. Mencintai bela diri pencak silat bahkan melatihnya tetapi sudah tidak bernaung dalam perguruan manapun.
Anda termasuk di dalamnya?
Kembali ke sebuah kegiatan perapihan di perusahaan PT Johanes Arnorld Pissy Kuala Kurun. Tak usah diceritakan detail Surip dan anak buahnya masuk regu perapihan. Di sebuah pinggir sungai di bawah naungan pepohonan hutan hujan tropis. Pondok perapihan hari itu kedatangan beberapa mahasiswa magang.
Wahab berbisik di telinga Surip, “Bungas bebinian magang Rip, ikam paraki nah.”
He he he ternyata itu cewek satu-satunya anggota mahasiswa magang tersebut. Orang hutan (survey) bertemu cewek?
Tak ada yang memberi komando pasti semuanya beraksi cari perhatian. Tak terkecuali Surip yang jadi mandor di regu tersebut. Perkenalan sudah pasti terjadi, Surip komandannya paling dulu berjabat tangan.
“Martha,” Surip mengulangi nama perempuan tersebut. Tubuh ramping berkulit putih cantik seperti kata Wahab. Sedikit jerawatan dengan status mahasiswi magang, sangat terpelajar.
“Ya ngaran panjangnya Martha Nahas Evangel,” ujar cewek tersebut menambahkan. Wow keren banget, jauh dari nama Surip yang berbau ndeso alias kampungan, Surip cuma bangga itu nama asli dari bahasa Jawa kuno alias Kawi.
“Tinggal di mana ikam di Banjar Baru?” Surip bertanya. Orang-orang ini mahasiswa dari UNLAM Banjar Baru, itu tempat keluyurannya Surip dulu. Ini semacam nostalgia Surip di perantuan.
“Perumahan Guntung Payung,” Martha menjawab dengan senyum manis sekali. Duilahhh! Lelaki mana yang gak naksir dengan Martha ini, Surip pun tahu dirinya tertarik olehnya.
Surip segera bercerita tentang dirinya yang pernah tinggal di jalan Purnama dan sekaligus teman-temannya yang ada di Banjar Baru. Rental Silva Computer yang ternyata sudah bubar, bahkan menunjukan rumah Pak Sastro yang pernah disinggahinya sehingga tahu Martha itu berada di Blok mana di perumahan Guntung Payung.
“Berarti ketika Mas Surip di Banjar Baru Martha baru semester dua ya,” Martha ternyata tidak rikuh ngobrol dengan Surip. Saat Martha memanggil Mas.....wah berdesir hati Surip.
“Ei aku ada kenalan cewek di jalan Purnama, ngarannya Evi dari Tamiang Layang. Berarti kalian sama-sama Dayak Manyaan ya?” Terus Surip ngobrol dengan Martha membuat anak buahnya yang lain mundur memberi kesempatan.
Juga orang magang yang lelaki tak keberatan si Martha didekati wong-wong alas ini. Kalau orang magang lelaki itu langsung sibuk bermain kartu remi melawan Wahab Cs. Apa lagi masing-masing juga tahu mereka sesama orang Banjar.
Entah kenapa Surip yang agak dingin menghadapi cewek kali ini bisa terbuka dengan Martha. Bahkan beberapa kali Surip agak nakal menyentuh bagian sensitif Martha. Tak ada protes dan ceweknya menerima pasrah.
Di pondok sering ngobrol, di hutan pun saat bekerja seperti sepakat berpasangan. Orang-orang anggota regu dan teman-teman cowok Martha tak ada yang bertanya macam-macam. Sepertinya memaklumi keadaan Surip yang sebagai lelaki juga normal membuat pendekatan terhadap perempuan.
Tapi Martha ini juga memperlihatkan diri sebagai pelajar yang kritis.
“Masak masuk hutan begawai sebentar saja Mas. Mana target tebasan dua hektar sehari?” Pertanyaan seperti ini sering menyulitkan Surip sebagai ketua regu.
“Ya ini istilahnya estimate saja, yang penting masuk hutan setiap hari. Soal tebasan kemampuan manusia sangat terbatas. Beberapa kali aku mencobanya satu jalur ternyata baru benar-benar tembus tiga hari. Jadi ini sudah kompromi di dalam hutan, kita tahu sama tahu sajalah,” Surip terpaksa menerangkan keadaan kegiatan yang dibawanya.
Tetapi orang-orang seperti Martha yang dibekali konsep kehutanan sering mendebat Surip. Surip menyerah tak mungkin masuk teori-teori kehutanan yang tak mungkin bakalan pernah dilahapnya. Di lapangan ia sebagai mandor menafsirkan kegiatan perapihan seenak udelnya sendiri. Bayangkan masuk hutan bekerja dengan dominasi tebasan saja dan ternyata tak pernah dituntut membuat laporan kegiatan yang dibawanya. Laporan perbulan itu ada yang membuat sendiri di kantor.
“Untuk urusan laporan kegiatan langsung saja ikam bertanya kepada asisten pembebasan di kantor. Kami di hutan tak lebih hanya dipasang sebagai pion untuk memenuhi persayaratan HPH TPTI,” karena kewalahan Surip pun mencoba memberi keterangan keadaan dirinya dan nasib sebenarnya orang-orang survey.
Hanya alat pengumpul kekayaan atasan di perusahaan!
Pernyataan Surip justru tampaknya memuaskan Martha Cs, mereka fair dengan pernyataan yang dikeluarkan Surip. Keterangan Surip tercatat sebagai data lapangan untuk laporan terhadap pihak civitas akademika.
Sebuah kenyataan di lapangan, orang-orang survey seperti Surip Cs kurang atau minim sekali aksesnya terhadap atasan di kantor. Begitu juga perannya terbatas sekali, gembar-gembor bahwa kegiatan survey adalah tambang uang bagi pelakunya tidak terjadi. Orang-orang lapangan tidak akan pernah tahu berapa besar anggaran kegiatan dan juga tidak diberi kesempatan mengelola sendiri. Alhasil Surip Cs hanya pekerja dengan upah sesuai statusnya masing-masing di perusahaan.
Kepada Martha Surip berkata tentang dirinya,
“Aku lebih takut menganggur dari pada masuk hutan yang paling menyeramkan sekalipun.”
Di sini Surip menyembunyikan kegiatannya yaitu pencak silat. Tak ada kaitannya civitas akademika dengan dirinya yang hidup dengan pendekatan praktisi bela diri. Sesuatu yang berbeda, logika rasional dengan praktisi ritual. Keduanya memiliki jurnal sendiri-sendiri. Surip berada di jalan praktisi ritual, sebuah dunia yang kegiatannya subyektif menjadi audisi individual.
Hanya beberapa hari Martha Cs di regu yang dimandori Surip. Surip terkesan dengan cara bergaulnya Martha, ada perasaan tertarik Surip dengannya. Mungkin Dewi Amor datang memperlihatkan diri mengusik Surip sebagai lelaki.
Terus hari-hari mendekati akhir bulan, setiap regu kegiatan akan turun ke base camp di km 4. Itulah hari-hari yang ditunggu-tunggu orang-orang survey karena jenuh hidup di dalam hutan. Orang-orang survey adalah manusia yang terkucil, paranoid dan haus akan hiburan.
Pernah anda mengalaminya?
BAB 14
Manfaat Latihan
Surip ia adalah seorang karyawan PT Tanjung Raya di Kuala Kurun. Status mandor dipegangnya dengan jenjang karier mulai dari harian lepas, kemudian meningkat harian tetap dan ia kini karyawan dengan gaji bulanan.
Tidak ada yang istimewa dalam hidupnya. Ia satu diantara jutaan tenaga kerja yang tidak diperhitungkan di dalam perusahaan. Ia punya rutinitas kegiatan tapi tidak dianggap penting oleh masyarakat.
Seberapa besar kontribusi pencak silat dalam masyarakat?
Di dalam perantauannya ia melihat pencak silat ada di mana-mana, bahkan tempat yang paling terpencil sekalipun di pedalaman Kalteng. Semua orang mudah membicarakannya sebagai obrolan dikala senggang. Terkadang dikaitkan dengan tenaga dalam, preman-preman yang berkeliaran di setiap sudut gang kampung atau hanya pertunjukan di pasar malam oleh penjual obat keliling.
Surip hanya salah satu pelakunya. Ia mencoba mendalami pencak silat dengan basis rohnya yaitu latihan. Karena adanya latihan terbentuk jurnal, dari sanalah muncul buah pikirannya. Di dalam novel ini tertuang jenis tarung hasil olah pikirannya itupun hanya diakui sebagai versi dirinya sendiri.
Pagi di camp rimbawan, base camp ini menjadi dunia tersendiri dengan berbagai unit bagiannya. Bekas-bekas tanah basah menggenang di berbagai sudut areal camp, malamnya memang habis hujan besar.
Suara owa-owa kera tak berekor dini hari berkabut menunjukan hari akan cerah. Tegakan-tegakan hutan hujan tropis begitu rapat dengan tingkatan sebaran binatang di dalamnya. Burung dengan warna-warna mencolok besar kecil menempati ketinggian tajuk-tajuk tegakan sesuai jenis makanannya, semuanya jenis burung endemis.
Mungkin itulah yang menjadikan teori evolusi Darwin muncul dari pengamatan di daerah tropis. Orang-orang seperti Darwin, Wallace, Junghun sebenarnya bukan ilmuwan. Saat itu lebih terkenal istilah kaum naturalis, membedakannya dengan orientalis yang lebih berguna untuk kolonialisme Barat. Naturalis adalah orang-orang yang meneliti gejala alam dengan pengamatan secara langsung. Ada juga naturalis yang mengumpulkan berbagai jenis spesies hewan, tumbuhan dll sebagai karya koleksinya.
Dari pengamatan langsung di lapangan itulah muncul berbagai teori sederhana tentang species manusia dan hewan. Sekarang hasil pengamatan kaum naturalis tersebut telah berkembang menjadi teori hukum alam evolusi.
Meranti, keruing, tengkawang dan berbagai jenis tumbuhan endemis di Kalimantan semuanya adalah tumbuhan tingkat tinggi dalam pohon evolusi, semuanya ada di Indonesia, semuanya harus dipelajari sebagai kekayaan intelektual bangsa Indonesia.
Kenapa kita lebih terpesona dengan kebudayaan barat?
Ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan ada pada diri kita sendiri, semuanya milik bangsa Indonesia, kitalah yang harus mempelajarinya dan mendalaminya untuk kemudian mengembangkannya.
Surip berlari-lari kecil menanjak bukit jalan logging di dekat camp km 4. Itu adalah jalan angkutan kayu dari dalam blok-blok penebangan beberapa perusahaan. Dinamai jalan Domas karena menjadi tanggung jawab perusahaan PT Domas Raya, sedangkan perusahaan lain yang ikut nebeng adalah Tanjung Raya. Udara masih dingin, tubuh digenjot dengan gerak pemanasan tubuh. Saat menanjak bukit kecepatannya berkurang seperti orang berjalan saja. Tapi dada sesak menghirup udara untuk membakar kalori menjadi tenaga gerak.
Setelah itu jalan mendatar sampai lima ratus meter. Cukuplah Surip berlari, ia segera berbalik arah kembali ke tanjakan. Bukit di mana sebagian hunian camp terlihat. Mulailah Surip berlatih, sekali lagi ia bukan ilmuwan. Ia hanya praktisi bela diri, dari latihannya ia menjalaninya sebagai bentuk olah mental spiritual.
Pencak silat bela diri yang menjadi bidangnya tidak menjadikannya sebagai seorang pendekar pembela kebenaran, pemberantas kejahatan, penolong kaum lemah atau berjasa besar sebagai pahlawan negara.
Cukup ia menjadikannya sebagai kekayaan intelektual yang dituangkannya dalam Al Jurus, suatu pemahaman hidup dengan basis bela diri nusantara “Pencak Silat”.
Kuda-kuda bangku, melepaskan pukulan kanan kiri dengan hitungan satu sampai sepuluh dilakukan dua kali. Tetap sesak dadanya biarpun sudah berlatih beberapa tahun. Sifatnya tetap manusiawi, tidak karena berlatih pencak silat ia menjadi manusia sakti atau menjelma menjadi super hero semcam Gundala.
Setelah itu berlatih jurus cukup dua jurus dengan bagian tubuh kanan dan kiri sehingga satu sesi mencapai empat kali. Satu jurus sudah membanjir keringatnya, padahal yang dilakukan hanya seperempat dari keharusan satu jurus penuh empat arah mata angin.
Selesai barulah masuk penempaan fisik. Push up tiga kali lima puluh kali, scot jump tiga kali lima puluh kali dan sit up......Ah tidak bisa dilakukan di tanah basah. Ia melakukannya nanti di dalam kamarnya sebelum istirahat.
Sesi selanjutnya latihan teknik berulang-ulang, ada tendangan, sapuan, kelit, tarung imaginasi sampai bosan.
Bosan?
Itu pasti, tapi tak ada pilihan lain dalam hidup Surip. Pencak silat adalah kenangan masa kecilnya yang mampu didalaminya hingga seperti hak milik. Itulah satu-satunya kekayaan yang dimilikinya.
Adalah suatu kebahagiaan tersendiri, hidup di masyarakat memiliki pekerjaan dan jabatan. Itu sudah didapat Surip dalam perusahaan. Setelah itu ia menambahinya dengan keahlian bela diri pencak silat sebagai bagian hidupnya. Kesibukannya dalam dua dunia itu mencukupi walau tak pernah bisa disebut sempurna.
Ah ada yang kurang dari Surip, ia tak punya cewek pendamping.
Surip terkejut, dari bawah tanjakan bukit tempatnya berlatih terdengar suara orang berjalan mendekatinya. Tak mungkin menghindar, bekas-bekas tempatnya sangat jelas meninggalkan jejak berupa tapak-tapak kaki menyebar terhunjam di tanah jalan logging truck yang basah.
Dua orang lelaki dan perempuan. Dada Surip segera berdesir saat tahu perempuan yang berjalan-jalan menikmati pagi cerah di camp. Sesosok tubuh ramping yang sebulan ini mencuri perhatiannya. Martha mahasiswi magang dari UNLAM, cantik berkulit kuning langsat Dayak Manyan.
Segera hati Surip merasa girang menemui sosok perempuan tersebut. Tapi siapa lelaki yang berjalan bersamanya?
Uiiihh....panas hatinya.
Sesaat dadanya berdebar keras tidak menerima takdir yang harus dihadapinya kali ini. Lelaki itu adalah Arif, seorang dari bagian perencanaan yang terasa bagi Surip sering menyainginya bahkan memusuhinya walaupun samar-samar.
Tak pernah ada benturan fisik antara Surip dengan Arif ini, tetapi langsung atau tidak langsung ternyata keduanya bersaing dalam bidang yang sama, bela diri Pencak Silat. Dalam hal ini sering Arif sebagai penantang. Beberapa kali Surip merasakan Arif mengincar dirinya dengan memancingnya menjadi pertengkaran. Tentu dari pertengkaran yang didapat Arif bisa menaikan popularitasnya di camp karena terlanjur sesumbar tentang kelebihannya.
“Oiii jalan-jalan ke mana nih? Wah bikin aku cemburu saja!” Surip cepat berinisiatif menegur dahulu. Ia tak ingin dirinya yang ditanyai macam-macam tentang kegiatannya di jalan perusahaan.
Martha tersenyum, “Hei Rip ayo temani kami jalan-jalan ke Pos Satpam km 5,” katanya kepada Surip. Tangannya yang tadinya bergandengan dengan Arif dilepaskan mungkin merasa malu.
“Ke Pos Satpam, bertiga? He he he kaena ada yang cemburu Mar?” Surip nakal berkata, justru sebenarnya ia yang panas hatinya.
Ternyata gadis yang mencuri perhatiannya belakangan ini telah digaet oleh saingannya.
Dalam hati Surip menduga, “Benar-benarkah mereka berpacaran? Rasanya mataku tak salah tadi begitu mesra keduanya berjalan di bawah tanjakan bukit,” Surip makin terbakar hatinya.
“Jangan begitu Rip, kami hanya berteman kok,” seperti tahu saja Martha jika dirinya banyak yang naksir. He he he tentu Martha ini berpengalaman sekali menghadapi lelaki-lelaki yang mencoba mendekatinya.
“Wah aku kadak wani mengganggu kalian, silakan menikmati pagi yang cerah,” Surip segera menyingkir memberi kesempatan kedua orang yang sedang memadu asmara melanjutkan kesenangan mereka.
Arif tampaknya yang terkejut melihat tempat sekeliling tanah bekas Surip berlatih. Ia tentu tahu itulah rutinitas Surip di camp. Tapi tampaknya ia lebih terkejut karena Surip ternyata akrab dengan Martha, cewek yang memberi peluang dirinya mendekatinya sebagai pacar.
Benar-benar Surip adalah saingannya, selama ini biarpun tahu Surip itu berlatih pencak silat tetapi tak pernah langsung di depan matanya. Ia kini mendapatkan buktinya, sesuatu yang juga dibangga-banggakannya di camp.
Dari terkejut terkesan Arif ketakutan. Persaingan antara dirinya dengan Surip dirasakan berat. Tak mudah mengalahkan Surip. Baginya Surip memiliki pertahanan berlapis-lapis. Dulu ia meremehkan Surip karena dari segi fisik sangat lemah, suatu penilaian merendahkan yang paling mudah dilontarkan dari orang-orang pada umumnya.
Arif tak lama memandangi Surip, beberapa saat setelah memandang dengan penuh pertanyaan ia segera mengajak Martha cepat berlalu.
“Ayo Mar kita ke km 5 segera, biarkan Surip yang lebih suka menyendiri,” tangannya sengaja menggandeng Martha seperti menyatakan sebagai hak miliknya.
Tak perlu Surip menyangkal, dirinya panas hatinya mendapati dua orang lain jenis yang memperlihatkan kemesraan di depannya. Yang tidak dimengerti olehnya kenapa dalam dunia kejadian ini seperti kebetulan saja.
Ia akrab dengan Martha, namun ternyata ada yang sudah mendapatkannya lebih dulu.
“Aku harus mencari keterangan di camp, paling tidak aku tidak penasaran seperti sekarang ini,” katanya dalam hati.
Surip masih melanjutkan sesi latihannya. Tapi tidak lama justru dari arah km 5 muncul Arif dan Martha.
“Cepatnya ketun bulik, tege narai Rif?” Surip bertanya kepada Arif dalam bahasa Ngaju. Martha tak akan paham bahasa Ngaju karena ia Dayak Manyan dan tinggal di daerah Banjar.
“Martha te tege praktek, aku dia tawa urusan uluh magang,” Arif terlihat kecewa karena acara pendekatannya terhadap Martha rusak hari itu.
Sebaliknya Martha saat melihat Surip masih di tengah jalan logging bertanya kepada Surip. “Hei Rip kaena ajak aku olah raga ya?”
Surip menjawab asal-asalan, “Kaenalah di camp saja, mau main tenis meja atau bulu tangkis bisa saja.”
Uiihh Martha tanggap sekali rupanya, “Oke sore nanti kutunggu di lapangan volley.”
Benar-benar Arif yang sekarang cemburu, tak mau lagi menyapa Surip segera menarik tangan Martha untuk mengajaknya kembali ke camp km 4.
Selesai berlatih Surip tidak langsung menuju kamar mess bujangan. Ia hendak mencari informasi tentang hubungan Martha dengan Arif. Sebenarnya ini bukan urusan penting, tapi Surip merasakan Martha menjadi salah satu titik perhatiannya.
“Di Banjar Baru dulu aku akrab dengan Evi, tapi levelnya tak memungkinkan aku mendekatinya lebih jauh. Tapi aneh Martha ini, ia cepat sekali memberi peluang kepada orang-orang camp.”
Surip merasakan kejanggalan itu, mahasiswi di kampus bisa pacaran dengan siapa saja. Tapi prosesnya tidak mudah, bahkan biarpun itu seorang dosen atau mahasiswa seangkatannya sendiri.
Siapa lagi yang jadi informannya kalau bukan Popom yang lugu di Pos Satpam.
“Kharat Arif te, sehari kesena langsung jadian,” langsung didapatnya informasi dari Popom yang memuji Arif.
Berarti semua orang camp tahu hubungan Martha dengan Arif ini. Tapi ada beberapa asisten yang meragukannya.
“Memangnya hubungan seperti itu bakalan tahan berapa lama?”
He he he sepertinya asisten-asisten dan atasan di kantor itu menganggap ulah mahasiswi magang remeh saja.
Sekarang yang ada di camp adalah perubahan seorang pemuda bernama Arif yang mencoba mati-matian berjuang mendapatkan perhatian dari Martha.
Sekarang Surip melihat posisinya sendiri.
“Rupanya aku terlanjur akrab dengan Martha saat di perapihan, sulit menghindar jadinya.”
Kejadian berlanjut,
Mengisi waktu di camp dengan main tenis meja. Untuk orang survey setiap hari bisa dilakukan. Tak ada tuntutan bekerja lagi bila sudah turun dari kegiatan pembinaan. Orang-orang survey merubungi meja tenis hari itu. Sebenarnya ada lapangan volley dan bulu tangkis juga permainan sepak bola, tapi itu biasanya dilakukan sore hari.
Surip pun tak kalah ikut ambil bagian walaupun permainannya pas-pasan. Sesekali juga bermain bulu tangkis. Dengan dua permainan ini ia menghindari sepak bola yang sering membuat kaki cedera. Dengan kegiatannya ini ia mengurangi kecanggungannya dalam bergaul di camp. Ia tak memungkiri wataknya yang introvert, dunianya selalu menyendiri. Dan itu disinggung teman-temannya sebagai seorang penakut.
Meja tenis hanya satu jadi harus bergiliran. Nah kini Surip yang dapat jatahnya.
“Biar aku lawan Popom dua set cukuplah,” ternyata ia harus menghadapi Satpam yang telinganya sering congekan ini.
Permainan dimulai, sepuluh menit pemanasan. Masuklah permainan kalah menang, hanya saja tak ada taruhan jadi tak ada yang unggul mengungguli. Beberapa kali sudah poin didapat Surip, semuanya dari kesalahan Popom yang bermain ngawur. Tipe permainan Popom ini tekniknya sedikit, sering berulang-ulang sehingga Surip mudah melayaninya. Tak ada senjata andalan Popom, smash pun jarang sehingga Surip mendapat bola yang mudah dibuatnya menyerang pertahanan Popom.
Hal yang sering diakui orang camp terhadap Surip adalah tipe permainannya. Ia bermain sebagai media hiburan, kalah menang tak penting. Yang sering menantang Surip adalah orang-orang camp yang merasa dalam permainan apapun minim. Bermain dengan Surip tidak akan mendapat tekanan serangan mematikan, orang-orang yang menghadapinya sering merasa dihargai karena mendapat kesempatan mengembangkan permainan. Berbeda dengan orang lain yang bermain untuk mencapai superiortas dirinya atas orang lain. Kalah menang begitu penting dan menjadi tujuannya di camp.
Asyik bermain dengan Popom datang cowok magang menonton. Tak kalah di belakangnya ada si Martha. Cewek cantik di manapun jadi pusat perhatian, orang-orang merubungi meja tenis segera menyibak memberi kesempatan Martha menonton.
Martha rupanya yang berminat, kalau cowok magang hanya ngobrol saja di pinggir lapangan.
“Hei gantian Rip, ajari aku main tenis meja,” pintanya langsung ditujukan kepada Surip yang berada di salah satu bidang lapangan. Surip yang rupanya sengaja diganggu Martha.
“Boleh saja mumpung giliranku, nih pegang badnya,” Surip tak kuasa menolak, dia juga naksir kok. “Oi memangnya ikam bisa main tenis meja?” Tanyanya ragu.
“Makanya ajari aku,” pintanya tak sungkan kepada penonton di sekitar lapangan.
“Ayo Rip ajari Martha!” Orang-orang di sekitar lapangan berteriak memberi kesempatan kepada Surip.
Surip jelas seperti mendapat durian runtuh. Ada kesempatan mendekati Martha. Maka dicobanya membimbing Martha permainan tenis meja. Terpaksa mulai dari dasarnya,
“Coba pegang badnya, lihat seperti ini. Kemudian lihat kemana bola lari dan pukul bola dengan mendorong bad tenis sesuai teknik yang kamu inginkan,” singkat Surip memberi arahan pada Martha.
Eit sialan Martha ini mengakali Surip. Ia bisa melakukannya dengan baik yang menunjukan Martha pernah bermain tenis meja.
“Wah orang sudah bisa main tenis meja minta diajari!” Surip yang protes karena diakali.
“Nggak Rip aku jarang main tenis meja, kegemaranku bulu tangkis,” Martha berkata menyadarkan Surip bahwa ia bergaul dengan mahasiswi yang aktif, tidak seperti mahasiswi lain yang pernah magang di perusahaan.
Jarang ada mahasiswi seaktif Martha, beberapa kali Surip mendapati mahasiswi magang di camp. Rata-rata mengandalkan feminimisitasnya mendekati orang-orang camp. Martha berbeda karena ia mencoba bergaul akrab dengan orang-orang camp melalui jalur olah raga. Sangat jarang mahasiswi melakukannya.
“Hah ikau menggantikan aku Rip, biari ikau bermain dengan Martha,” Popom yang akhirnya mundur memberi kesempatan Surip melayani Martha. Sekarang jadilah Surip bermain tenis meja melawan Martha.
Hanya bermain saja karena Martha tidak terlalu menguasai permainan. Beberapa kali Surip memberi tahu cara-cara memukul bola di meja tenis. Tampaknya Martha mau saja diajarai Surip yang kali ini begitu menggurui.
“Ayo coba smash bola yang kuumpankan ini!” Surip berteriak memberi kesempatan Martha mengembangkan permainan.
Uups! Bola yang mudah sekali dismash itu coba dipukul Martha sekuat tenaga.
Plak! Martha gagal memukul, bahkan bad tenis meja terlempar mengenai kepala Surip.
“Ha ha ha!” Orang-orang yang menonton tertawa melihat Surip yang memegangi kepalanya karena terkena lemparan bad tenis dari Martha.
“Maaf Mas, nggak sengaja. Aku tidak mahir main tenis meja. Kita main bulu tangkis saja di sana,” Martha berkata mohon maaf tapi menunjuk lapangan bulu tangkis untuk menawarkan permainan lainnya.
Kekinya Surip dijadikan akal-akalan Martha. Rasanya terlanjur bermain cukup dalam.
“Ya ya kalau mau main bulu tangkis sebentar kucarikan raketnya,” He he he demi cewek bergerak juga Surip melayani permintaan Martha. Diberikannya bad tenis meja kepada yang lain untuk meneruskan permainan. Martha justru seperti nyaman saja mempermainkan Surip. Mungkin Martha sudah jagonya mempermainkan lelaki.
Surip yang kelabakan meminjam raket kesana kemari. Raket-raket itu milik pribadi, perusahaan hanya memberi jaringan net lapangan bulu tangkis. Kalau bola cock Surip jelas harus membeli di warung milik salah satu penghuni mess, ngebon tentunya.
Giliran bermain bulu tangkis, gantian Surip yang diplekotho Martha.
“Hebat ikam main bulu tangkis, Arif saja bisa kalah lawan denganmu?” Surip yang akhirnya bertanya sekaligus memuji.
“Aku biasa main bulu tangkis dengan Papa di Banjar Baru,” Martha menjawab singkat, beberapa kali bola melambung diarahkan kepada Surip.
“Memangnya papamu siapa sih?” Surip jadi terpancing bertanya. Anaknya hebat berarti Papanya lebih hebat lagi.
“Papaku dosen Ekologi di UNLAM,” Martha menjawab sambil melihat reaksi Surip.
Surip benar-benar terkejut, ia tahu siapa orang tua Martha ini. Seorang dosen yang pernah dilihatnya di fakultas Kehutana UNLAM. Surip tidak mengenalnya langsung karena saat di Banjar Baru ia hanya akrab dengan mantan-mantan Mahasiswa fakultas kehutanan seperti Yani dan Irhamna yang berada di group binaan Bapak Sasirang.
“Oh jadi dosen killer itu papamu,” Surip hanya berkomentar setelah Martha menyatakan dirinya.
“Tahu sendiri kan,” Martha menjawab singkat dan terus memainkan raket menghajar Surip yang tidak mahir main bulu tangkis. Menjelang maghrib mereka berhenti bermain.
“Besok kita main lagi Rip, jangan sungkan denganku,” Martha berkata meninggalkan Surip yang masih di lapangan bulu tangkis.
He he he acara dengan Surip selesai malamnya giliran Arif meminta jatahnya. Martha menyambut Arif di ruang depan kamar mess yang khusus diperuntukan bagi seorang mahasiswi magang. Kalau yang cowok biarpun mendapat kamar istimewa tetapi tetap bergabung dalam mess asisten dan Kabag pembinaan dan perencanaan.
Agak menyusahkan jika datang cewek magang. Ini hanya urusan kebiasaan yang berbeda antara kota dengan orang kampung pedalaman. Mandi saja misalnya orang kota pasti di tempat tertutup dengan telanjang bulat. Di camp atau kampung lelaki dan perempuan biasa mandi bersama di sungai dengan badan perempuan tertutup kain sarung, sedangkan lelakinya masih bercelana dalam sehingga bisa saling menjaga aurat masing-masing.
He he he ini tugasnya Arif melayani Martha yang cewek kota. Di belakang kamar messnya terdapat tempat mandi dengan drum yang harus diisi air setiap hari. Mulailah pengorbanan demi pengorbanan dilakukan Arif demi mendapatkan sedikit kemesraan berdua dengan Martha. Dalam segala hal Martha memberi peluang penuh kepada Arif.
Setiap tahun ada program magang dari beberapa universitas di Indonesia. Di dalam perusahaan Tanjung Raya biasa menerima magang dari UNPAR, UNLAM, dan IPB. Beberapa magang diploma juga ada tetapi lebih sering praktek di camp produksi karena berhubungan dengan bidang mekanik.
Surip tertarik dengan Martha, kedekatannya adalah kebetulan. Fakultas Kehutanan UNLAM seperti menjadi basis perantauannya di Kalimantan. Dari fakultas kehutanan di Banjar Baru itulah ia mengenal dunia kehutanan, sekaligus identitasnya yang diakui sebagai orang lokal Banjar Baru.
Martha orang Banjar Baru kuliah di fakultas kehutanan, mudah sekali Surip mendekatinya karena setiap kali ngobrol selalu nyambung. Belum lagi cara Martha bergaul yang masuk bidang olah raga sehingga Surip bisa mengajaknya sewaktu-waktu.
Tapi untuk urusan asmara ternyata sudah ada yang mendahului. Itulah Arif yang membuat pendekatan melalui kebutuhan seorang perempuan. Kesediaan Arif membantu Martha dengan berbagai janji dan perhatiannya menjadikan tempat curahan hati. Hasil sampingannya pasti orang camp menganggap sebagai pacaran.
“Begitu cepatnya mereka jadian, memang berapa lama orang-orang magang itu tinggal di camp?” Surip bertanya dalam hati, fakta yang ada setiap tahun ada magang cewek buntutnya ada orang camp yang kecantol.
Justru itulah yang membuat Surip sangsi, dalam hidupnya ia pernah jatuh cinta terhadap perempuan. Tapi untuk mengakuinya sedang jatuh cinta ia sering menolak keras. Pertentangan batin itu sering membuat dirinya sulit mendekati perempuan. Pula setiap mendekati perempuan yang diincarnya ternyata dibutuhkan waktu panjang.
Martha sendiri biarpun tampak berhubungan serius dengan arif ternyata enjoy saja menghadapi lelaki lain. Saat praktek di camp produksi, kaantor perusahaan dan di berbagai lokasi lain, terdengar juga kabar miring terhadapnya.
“Melihat sepintas Martha ini punya prinsip hidup yang tidak sembarangan. Martha jelas selektif memilih lelaki. Entah kenapa di camp ia langsung menerima cinta Arif begitu saja?”
Pergaulan terus berlangsung, karena tertarik hatinya Surip mencoba juga mencari perhatian Martha. Ia memilih pertemuan-pertemuan tak sengaja misalnya dengan masuk dapur saat orang-orang magang itu makan. Lewat depan kamar mess yang ditempati Martha dan kemudian ngobrol sebentar atau bahkan ikut mengantar orang-orang magang saat praktek di hutan dengan mobil rimbawan.
Eh ternyata Martha juga menyambutnya dan tetap konsekuen menerimanya.
“Jangan-jangan ini memang strategi cewek magang untuk kelancarannya tinggal di camp rimbawan,” Surip menduganya. “Ya benar kenapa mahasiswi-mahasiswi magang itu tidak mengincar seniornya saja di camp ini. Notabene senior-seniornya itu jelas punya jabatan atau teman sesama magangnya kan lebih aman,” Surip membuat kesimpulan.
Teranglah Surip mendapat jawaban teka-teki. Kini ia lebih hati-hati menghadapi Martha. Ia terlanjur akrab dengan Martha dan tak mungkin lagi menghindarinya.
“Untunglah ada Arif yang rupanya cepat mengambil kesempatan mendekati Martha sehingga ia menerimanya. Aku menjadi orang ketiga yang tiak lagi diperhitungkan Martha kecuali untuk kepentingan yang lain.”
Kepentingan apa?
Surip yang sering melongo, beberapa kali Martha ini justru mencari dirinya karena keperluannya.
Suatu kali Surip masuk dapur umum, si Martha membuntutinya dari belakang.
“Hei Martha ayo makan, mana Arif?” Surip menyapa gadis cantik yang tersenyum manis kepadanya.
“Arif ada tugas di kantor, Martha sengaja mencari Mas kok,” Martha berkata terus terang. Surip tetap deg-degan mendengar kata-kata Martha terakhir itu, mencarinya?
“Bah hati-hati ikam bepandir, bisa salah tafsir aku terhadapmu,” Surip mencoba memberitahu.
“Biarin, buat Mas Surip tak apa,” wah Martha menyambut lontaran kata Surip dengan enteng saja.
“Ada apa, penting sekalikah?” Surip basa-basi bertanya.
“Ah Martha kepengin ngobrol saja dengan Mas Surip kok,” Martha mulai masuk ke pokok persoalan. Yang pasti Martha ini juga oke saja melayani Surip seperti mengambilkan air minum dan makan.
“Ini Martha minta pendapat Mas tentang skripsi yang akan diajukan ke dosen pembimbing tahun ini,” Martha langsung berkata maksud sebenarnya.
“Apa topik pembahasannya memangnya aku bisa membantumu?” Surip tercengang bertanya, ia menjadi rujukan Martha soal skripsi.
“Topiknya pengaruh pembakaran lahan oleh orang kampung terhadap perusahaan, bagaimana Mas bagus nggak?” Martha terus mengajak Surip diskusi. Ini rupanya fungsi Surip bergaul dengan Martha.
“Pembakaran lahan itu masalah sensitiv, ikam harus menghadapi orang-orang lokal yang penilaiannya subyektif terhadap lingkungannya, hati-hatilah!” Surip mulai menilai kemana larinya arah pembicaraan.
“Penilaian subyektif dari orang kampung? Nah itu salah satu bagian yang nanti harus Martha ajukan,” Martha justru seperti mencatat satu bagian yang harus ditulisnya.
“Ya seperti itulah, kami orang lapangan setiap saat menghadapi tuntutan dari orang kampung secara langsung. Kami sendiri sering heran dengan permintaan aneh-aneh orang tersebut,” Surip terus bercerita pengalamannya di berbagai lahan kegiatan. Rupanya Martha mendapatkan banyak masukan informasi dari Surip. Mereka ngobrol tak peduli orang keluar masuk dapur umum yang terkadang usil dengan acara berduaan yang pasti dianggap pacaran.
Bagi Martha magang adalah bagian dari tahap akademisnya menuju sarjana. Dengan magang tentu kredit poinnya bertambah dan memenuhi syarat. Mahasiswa-mahasiswa itu berbeda-beda latar belakangnya, tampak sekali Martha aktif membuat pendekatan ke bagian struktur perusahaan, sedangkan teman cowoknya hanya mengikuti pimpinan perusahaan. Sebagai gantinya teman cowok Martha mendekati orang-orang camp dalam bentuk permainan. Beberapa arena judi baik itu di camp maupun di lokasi kegiatan dijalaninya. Mereka tampaknya berkolaborasi mendapatkan kemudahan saat menjalani program magang.
“Orang-orang ini tampaknya bekerja sama baik sekali mendapatkan berbagai keuntungan dari orang-orang camp,” berkata sendiri Surip dalam hati, setelah itu ia nyengir sendiri. “Akupun termasuk salah satu orang yang diperhitungkan oleh mereka sebagai sasaran mendapatkan keuntungan itu.”
Ya pergaulannya dengan Martha terjalin akrab. Ia beberapa kali mencoba menghindari orang-orang magang ini, terutama dengan Martha tapi tampaknya kurang maksimal. Ketertarikannya sebagai lelaki terhadap perempuan sering menipunya.
Dan yang benar-benar masuk lubang jebakan itulah Arif. Sebagai lelaki ia tertantang menaklukan Martha tanpa melihat apa sebabnya begitu mudahnya menggaetnya menjadi calon pendamping hidup.
Perusahaan adalah dunia kerja, sudah kodratnya lelaki dan perempuan yang bekerja akan berinteraksi mencari pendamping hidup. Orang-orang camp walaupun bukan masyarakat yang lengkap karena tidak terbentuk kampung tetap mendambakan kehidupan normal berumah tangga.
Maka jika seorang Arif mendapatkan seorang pacar, jangan kaget ia mengejar kodratnya tersebut. Ini tentu berbeda dengan pihak Martha, ia hanya memanfaatkan satu sisi kewanitaannya untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu ia tak mau di camp hidupnya terlantar. Karena itu jadian dengan Arif hanya dianggap selingan saja.
Terdengar kabar Arif sudah memperkenalkan Martha kepada kedua orang tuanya di Trans Tumbang Anjir. Kemanapun Martha pergi ia mengekor di belakangnya dengan segala kesediaan berkorban demi kekasihnya. Selentingan suara dari berbagai warung di mess rumah tangga menyatakan begitu besarnya bon hutang Arif.
Karena selalu membuntuti kemana perginya Martha itulah Surip juga kena getahnya. Saat itu orang-orang camp sore hari bermain bulu tangkis. Surip jadi penonton karena merasa tak mahir permainannya. Bahkan kalau jadi wasit ia bersedia saja. Saat itu Gundam bermain melawan seorang dari camp produksi yang kebetulan singgah di camp km 4.
Gundam seolah jadi wakil orang camp km 4 melawan ketangkasan permainan orang camp produksi. Penonton terbelah jadi dua kubu. Masing-masing menjagokan pahlawannya. Rupanya kedua orang pemain tersebut juga terbebani sebagai wakil camp masing-masing. Terlihat mental kedua pemain sangat menentukan pemenangnya.
Kalau dari teknik keduanya imbang saja, Gundam tentu mendapat keuntungan karena ia sebagai tuan rumah. Tapi itu juga menjadi bumerang baginya. Gundam sering menekan lawannya dengan teknik yang menguras tenaga, sedangkan lawannya mencoba bertahan.
Yang terjadi kemudian hanyalah masalah teknis saja. Kesalahan banyak terjadi dilakukan Gundam, akibatnya lawan mendapatkan poin kemenangan. Tiga set permainan berakhir dengan kemenangan pihak camp produksi. Penonton pun banyak yang kecewa karena jagonya kalah kali ini.
Bubaran pertandingan tak resmi tersebut, muncul Martha Cs ikut menonton. Pemain yang masuk cuma ibu-ibu rumah tangga saja. Adanya Martha membuat seorang ibu memberi kesempatan cewek magang itu main.
“Hei Martha aku bertaruh pegang ikam jika bertanding dengan ibu-ibu mess ini!” Surip berteriak dari pinggir lapangan.
Martha tertawa mendengar kata-kata Surip, “Mas Surip bertaruh apa kalau Martha menang?” Tanyanya dengan mata tajam membuat Surip blingsatan.
“Hei Rip kowe wae sing tanding lawan Martha, biar kami yang menonton!” Seorang ibu berkata, itu Yanti istri Popom yang sekarang sudah memberinya seorang anak.
“Iya biar kita pegang Martha, Surip toh pasti kalah lawan Martha!” Seorang ibu berlogat Banjar juga meledek. Mereka mendapatkan umpan mempermainkan Surip yang terkenal sebagai jomblo abadi di camp.
Terpojok Surip akhirnya, harga dirinya sebagai lelaki membuatnya masuk arena permainan. Bertanding melawan Martha yang sudah diketahui orang camp sebagai pemain bulu tangkis terasa berat. Belum-belum ia sudah berpikir akan kalah.
Martha yang tersenyum lebar kepada Surip, beberapa kali ia memberi tanda untuk kesediaan Surip melayaninya.
“Ayo Mas mulai saja!” Terakhir kata-katanya menantang Surip. Seorang ibu memberi bola kepada Martha sebagai tanda mulai sekaligus ia sebagai wasit.
Pertandingan mulai, umpan bola melambung Surip cepat menyambut. Bola melambung sulit dismesh, hanya bisa diarahkan ke bidang permainan lawan menjauh atau mendekat. Maka kedua pemain tersebut saling menyerang mencari kelemahan masing-masing.
Surip segera merasakan beratnya melawan Martha, dari teknik ia betul-betul kalah. Sering Martha mengumpan silang bola membuat Surip terkecoh. Poin tidak imbang, permainannya sangat dikuasai Martha.
Tapi itu di awal-awal permainan, segera ketahuan kelemahan Martha. Tenaganya tidak sebanding melawan dirinya yang sudah digenjot porsi-porsi latihan stamina di hutan. Nafas Martha tersengal-sengal membuat Surip menekan terus walaupun teknik yang dikembangkan monoton. Yang penting Martha tidak mengambil bola yang diumpankan berbalik kepadanya sebagai smesh menyilang atau permainan net.
Rupanya itu juga jadi tontonan menarik bagi orang-orang camp. Semua mata orang tertuju perhatiannya pada lapangan bulu tangkis. Surip melawan Martha mahasiswi magang.
Martha justru kewalahan menghadapi permainan Surip. Ia sekarang terpancing masuk strategi permainan Surip yang monoton dan pasti dianggap jelek oleh penonton-penonton di lapangan. Yang membuatnya tak sanggup adalah tenaga terperas di awal-awal permainan. Saat di set awal teknik yang dilakukannya sangat mudah menjadi poin. Tapi sekarang ia yang lemah badannya, keringatnya membanjir bahkan harus disekanya berulang-ulang karena menutupi kedua bola matanya. Rambutnya diikat tetap sulit menahan keringat yang jelas membakar tenaganya habis-habisan.
“Martha capek Rip, kita sudahan saja ya!” Sempat Martha merajuk kepada Surip. Senjata kewanitaannya diandalkan untuk membuat Surip bersedia mengalah. Martha rupanya tersiksa tidak biasa bermain demikian keras menguras tenaga.
Tiba-tiba terdengar suara lelaki keras sekali dari luar lapangan bulu tangkis.
“Perempuan lawan lelaki mana bisa Rip, aku saja lawanmu!” Seseorang di luar lapangan berteriak keras membuat permainan terhenti. Arif datang memandangi Surip dengan sinar mata cemburu. Insiden terjadi begitu saja, Arif masuk lapangan dan menyerobot raket dari tangan Martha.
“Ayo lawan aku, sudah lama aku ingin menghajarmu dalam permainan ini!” Benar-benar Arif langsung menantang tertuju kepada Surip. Sementara Martha yang kelelahan sudah menyingkir merasakan juga aroma permusuhan diantara keduanya.
Penonton di luar lapangan sebenarnya tahu kualitas permainan Surip tak begitu baik. Sebagian besar orang camp mendapati Surip sebagai seorang yang bermain bulu tangkis dengan bakat sedikit. Semuanya memandang Surip menanti kata-katanya mendapatkan tantangan dari Arif.
“Baiklah aku bersedia melawanmu!” Akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulut Surip yang masih memegang raket.
Persiapanpun dimulai, Arif tampak benar-benar bernafsu menghabisi Surip kali ini. Berbulan-bulan ia mendapati Surip sebagai seorang yang mengungguli dirinya dalam bela diri dengan kemajuan latihan di hutan saat-saat kegiatan. Sedangkan dirinya biarpun sesumbar bela diri sebagai keahliannya semuanya hanya dari mulut dan beberapa atribut kenang-kenangan saat masih di sebuah perguruan Pencak silat.
Ini adalah kesempatannya menghabisi Surip biarpun dalam bentuk permainan lain. Dalam bentuk bela diri sulit terjadi pertarungan kecuali dalam suatu arena pertandingan. Tak ada orang yang begitu mudah mau dipukul orang lain, dan itu diperlihatkan Surip selama ini. Beberapa tantangannya secara diam-diam dengan mengincar dan memancing emosi Surip selalu bisa menghindar.
“Untuk apa berkelahi! Urusan lain lebih banyak yang lebih penting dari sekedar adu pukulan!” Begitu prinsip Surip saat diincar diam-diam oleh Arif.
Pemanasan dilakukan, aroma pertarungan terasa. Walaupun permainannya bulu tangkis tapi keduanya adalah orang-orang yang berkecimpung dalam bela diri. Seorang diantara penonton sudah menyatakan dirinya sebagai wasit.
Permainan dimulai dengan tepuk tangan penonton di luar lapangan. Sebuah kock dilemparkan ke tangan Arif untuk mulai pertandingan. Ya set pertama dimulai, servis dari Arif dengan pantulan bola pendek ke bidang lapangan Surip.
Surip menerima bola, bola bergulir saling mengincar bidang lawan untuk bisa menjadi poin. Rupanya Arif kurang mengontrol bola, poin pertama didapat Surip karena bola melambung tadinya dianggap keluar. Ternyata dinyatakan masuk oleh wasit.
Arif mulai kesal, ini masih gilirannya servis. Dirasakannya teknik Surip tak seberapa baik, jika menekan tentu akan menjadi poin. Benar saja segera permainan menjadi tak imbang. Tiga kali smash dari Arif masuk ke bidang lapangan Surip tanpa bisa dibalas satu kalipun.
“Aduh mana mungkin aku menyaingi Arif yang sudah sangat mahir bermain bulu tangkis,” Surip berkata sendiri dalam hati.
Tekanan lawan sangat berat, ia tak mampu mengembangkan permainan. Saat gilirannya servis, ia pun hanya mendapat dua poin. Tertinggal cukup jauh dari poin Arif. Dan gilirannya Arif servis ia dihajar habis-habisan. Arif cepat dan bernafsu sekali mengalahkannya.
Rupanya bagi Arif permainan Surip sangat mudah diatasi. Hampir-hampir Surip setiap kali diserang dengan smash keras langsung tak berkutik. Teriakan-teriakan penonton yang mengelu-elukan Arif membuat ciut juga nyalinya. Rasanya setiap kali bola dari Arif datang cepat sekali gerakannya. Bilapun mampu diterimanya bola naik datar sangat mudah dismash Arif.
“Apa yang harus kulakukan? Aku jelas kalah teknik dari Arif,” Mulai Surip berpikir singkat. Sementara permainan berlangsung terus. Poin demi poin didapat Arif begitu cepat mengakhiri set pertama.
Arif bertolak pinggang bangga mendapati Surip kalah begitu mudahnya.
“Tinggal satu set lagi ikam bukan lawan tandingku!” Sempat Surip mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Arif.
Mau apalagi modal permainan Surip minim, perbandingannya sangat jauh melawan Arif.
“Aku tak mungkin mengalahkannya dengan adu teknik seperti set pertama. Aku yang konyol bila melayani permainannya yang begitu tajam serangannya,” Membatin Surip mencoba menganalisa.
Saat pergantian lapangan Gundam membisikinya. Gundam menyenggol punggungnya dan berkata lirih. “Staminamu sangat kuat coba main reli panjang Rip,” Ah mungkin hanya Surip yang mendengar bisikan dari Gundam. Itulah yang menyadarkan Surip saat bola di tangannya mulai servis.
Segera bangkit semangatnya, Surip memandangi Arif dengan tenang. Ia kini mengerti tentang kelemahan lawannya.
“Benar aku lebih baik adu stamina dari pada sekedar adu teknik. Arif hanya mengandalkan senjata mematikan beberapa teknik dan smash. Itupun dibagi dengan nafsu ingin membantaiku, terasa ganas sekali serangannya. Kupancing ia bermain bola melambung.”
SIUUUTTT!
Bola melambung membuat Arif mundur ke belakang menyambut. Tak ada lagi pukulan keras dilakukannya, bola bergulir kiri kanan bidang lapangan, depan belakang sangat lama. Sulit sekali dismash, akhirnya pergerakan kakinya mati, bola sangat jauh dari jangkauannya. Poin diperoleh Surip sampai lima kali dalam waktu sangat lama. Yang menontonpun sampai bosan karena permainan menjadi tidak ramai. Tidak seperti saat diset pertama, Arif begitu ganas membantai Surip hanya dalam hitungan menit.
“Martha punya variasi teknik lebih baik dari pada Arif, beberapa umpan silangnya sangat menyulitkan diriku. Arif hanya mengandalkan senjata pukulan mematikan dan smash. Terus aku akan melambungkan bola supaya tidak terjangkau olehnya,” Surip makin tahu kelebihannya. Inilah hasil utama berlatih keras di hutan, kelenturan tubuh dan stamina meningkat pesat. Lagi ternyata latihan menyadarkan hidupnya.
“Latihan adalah pematangan jiwa hingga mampu bersikap positif terhadap lingkungannya.”
Saat giliran Arif servis, itulah saatnya Surip mencoba mengantisipasi bola agar tidak terpancing emosi. Pasti lari bola akan diarahkan mendatar hingga memaksanya menyambut keras lawan keras. Dengan pantulan bola lunak ia mendapati bola berada di depan net memaksa Arif maju menyambut, segera bola dilambungkan jauh ke belakang bidang lapangan Arif. Masih Arif mencoba melayani permainan Surip.
Arif mulai merasakan sesak nafasnya, saat lima poin didapat Surip awal permainan ia sudah habis-habisan terkuras tenaganya. Sekarang ia tak lagi bisa memancing Surip untuk ditekannya. Teknik permainannya tidak berkembang, bahkan kepalanya berkunang-kunang mendapati bola berputar-putar di bidang lapangannya.
Dua kali servisnya gagal menjadi poin, sebaliknya ia harus maju mundur menyambut bola-bola panjang dari Surip. Sangat melelahkan akhirnya tak mampu lagi kakinya diajak kerja sama. Bola melambung di belakang dirinya dan hanya terdengar wasit berteriak, “Masuk!”. Perolehan angka sebagai tambahan untuk Surip.
Servis ketiganya sudah tak terkontrol, kepalanya pening dan bola melambung dari Surip kembali dibiarkannya. Tak ada perlawanan lagi dari dirinya, akhirnya sebuah keputusan diambil.
“Berhenti Rip, cukuplah sampai di sini saja. Aku ada keperluan sore ini!” Cepat sekali Arif bergerak maju, jaring net dilewatinya dan tangannya maju untuk berjabat tangan.
Surip tercengang tangannya menerima jabatan tangan Arif belum tahu kondisi lawan sebenarnya. Terdengar Arif berkata,
“Kita berbagi set saja, aku satu ikam satu!”
Cepatnya insiden terjadi, Surip melongo. Setelah itu Arif berlalu meninggalkan lapangan bulu tangkis. Penonton sudah sepi, Martha sudah lama meninggalkan lapangan bulu tangkis mungkin mandi sore hari. Hanya wasit yang memberi acungan jempol kepada Surip sebagai tanda kemenangan.
Entah menang apa, wong hasilnya Draw alias Seri!
Tentu saja posisi Surip dalam pertandingan kali ini hanya menang mental saja. Mental bertandingnya teruji, tak mudah mengalahkannya walaupun modal permainannya dalam bulu tangkis minim.
Hari-hari selanjutnya hanya terdengar Arif dirundung berbagai masalah. Apa lagi setelah Martha kembali ke kampusnya di UNLAM Banjar Baru. Selanjutnya kabar Arif sering mangkir dari tempat kerja. Orang-orang perencanaan di sekitarnya anti pati dengan cara-cara Arif yang berubah drastis.
Dua bulan sepeninggal Martha, Arif menyatakan mengundurkan diri dari perusahaan. Orang-orang camp menyebut Arif patah hati, ia gagal menghubungi Martha. Akibatnya hatinya gundah dan kariernya di perusahaan berantakan. Ia mengundurkan diri dengan tekad mengejar Martha yang sempat dipacarinya di camp.
“Setiap kali ada anak magang cewek di camp pasti ada korban dari orang-orang survey. Yah mau apa lagi mahasiswi-mahasiswi itu tahu orang-orang survey adalah tambang uang untuk pemenuhan kebutuhannya di camp. Mereka tidak peduli akibatnya.”
“Akupun seorang lelaki yang tertarik dengan perempuan. Beberapa mahasiswi itu jelas mengincar diriku sebagai salah satu calon korbannya.”
Surip berkata sendiri menyimpulkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan fenomena anak-anak magang di perusahaan. Orang-orang survey dikenal berduit dan mudah terpedaya oleh lirikan wanita. Suatu akibat hidup di dalam hutan yang membuat siapapun haus akan hiburan dan mendambakan kehidupan rumah tangga yang bahagia
BAB 15
Renungan
Pekerjaan adalah masalah paling penting dalam hidup. Surip selalu menjadikannya sebagai standar kewajaran hidup di masyarakat. Sayang pekerjaan yang didapat justru tidak menetap. Selepas SMA Surip terjun mencari pekerjaan. Tidak mudah, setelah mendapatkan sulit mempertahankannya.
Di perantauan mulai dari Banjarmasin, Banjar Baru hingga sekarang di Kuala Kurun masalah pekerjaan tetap labil. Surip menjalani hidup di perusahaan PT Tanjung Raya cukup lama. Sekarang ia menjalaninya sudah tahun keempat. Kariernya menanjak wajar saja, dan mungkin ini adalah puncaknya.
Dengan jabatan mandor kegiatan Surip melihat kembali posisinya. Ia hanya lulusan SMA, kemungkinan dengan ijazah tersebut sudah mentok kariernya. Memang ada beberapa senior di perusahaan yang mendapat jabatan setingkat Asisten kegiatan biarpun hanya lulusan SMP. Tapi senior-senior tersebut menjabat Asisten karena jasanya yang sangat besar terhadap perusahaan. Ibaratnya sejak berdiri senior-senior ini adalah perintisnya.
Gejolak politik dari pusat Jakarta mulai mempengaruhi perusahaan-perusahaan berskala nasional di daerah-daerah. Berbagai tuntutan masyarakat lokal dan penjarahan aset-aset perusahaan marak. Apa lagi adanya kerusuhan etnis Dayak versus Madura di Kalteng tahun 2001 awal. Masyarakat pedalaman bergejolak menuntut berbagai kompensasi dari perusahaan-perusahaan yang ada di daerahnya.
Jika dulu areal perusahaan steril dari masyarakat umum. Sekarang justru orang-orang kampung mulai mengkapling areal-areal di sekitar kampung mereka dengan dalih hak ulayat. Jadilah perusahaan jika hendak menebang berhadapan dengan kepentingan orang-orang lokal. Konflik tak terhindarkan, perusahaan mengalami ketidak pastian produksi.
Imbasnya terasa untuk orang-orang survey, kegiatan pembinaan banyak yang vakum. Orang-orang survey menganggur dan hidup di camp dengan berbagai masalah tersendiri. Hari-hari di camp merasakan kemungkinan buruk adanya pemutusan hubungan kerja sepihak.
Watak Surip kambuh kembali, luntang-lantung tanpa tujuan seperti dulu. Kuala kurun berjuluk kota SINAR, sebuah kota kecil dengan beberapa ruas jalan sempit. Kotanya terdiri dari beberapa kampung dengan rumah-rumah berstruktur pangung dari kayu. Keramaiannya hanya di pasar baru di hilir dan pasar lama di hulu. Pusat kota di kantor Pembantu Bupati Gunung Mas.
Di beberapa sudut gereja-gereja berdiri menjadi pemandangan agama yang dianut mayoritas penduduknya. Ada satu masjid tua pengaruh Banjar di hilir Kuala Kurun di tepi sungai Kahayan.
Beberapa kampung di sekitar Kuala Kurun hanya terhubung dengan jalur sungai Kahayan. Getek-getek berseliweran pagi sampai sore hari ke beberapa titik pelabuhan kecil. Rumah-rumah di tepi sungai berhadapan langsung dengan sungai Kahayan menyediakan tempat tambatan getek. Lanting-lanting berdiri menjadi rumah apung tempat pedagang, orang-orang kapal dan bahkan keramba ikan emas atau kandang babi.
Berjalan kaki dengan sandal jepit Surip menyusuri sudut-sudut Kuala Kurun. Hanya seorang diri, juga tanpa tujuan. Mungkin kebiasaan inilah yang menjadikan Surip sebagai orang kuper. Saat jalan kaki pun menghindari pangkalan ojek yang pasti akan menawarkan jasanya. Seputaran jalan Cilik Riwut, mencapai RSUD Kuala Kurun, belok kanan menuju sekolah SD dan SMP, terus menyusuri beberapa perumahan Dinas Pemerintah yang banyak mangkrak tanpa penghuni. Komplek kuburan Kristen dilewatinya setelah itu menuju hulu sampai ujung kampung yang hanya berupa padang getah. Barulah kembali ke hilir melewati gereja Protestan Evangelis dan langsung menuju dermaga Speed boat, nongkrong di bangku panjang calon penumpang.
Sebuah spanduk besar di dermaga speed bertulisakan slogan pendirian daerah otonomi baru, Kabupaten Gunung Mas. Duduk terantuk-antuk mengeringkan keringat, yah khayalannya melambung.
“Sampai saat ini apa yang kulatih tetap tersembunyi, tetap menjadi dunia yang tidak menarik bagi orang lain.”
Dan ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
“Tapi apa aku harus menghentikannya? Justru sebenarnya inilah perbedaanku dengan orang lain. Sangat berbeda karena dari segi manfaat aku mendapatkannya. Jurnal latihan terbentuk menjadi semacam metode dalam berlatih. Beberapa disiplin kegiatan kudapatkan, dan yang pasti badanku mampu digenjot dengan berbagai kemampuan,” Ia pun tersenyum sendiri.
Lagi-lagi pikirannya berjalan,
“Biarpun berlatih intensif ternyata sampai saat ini hidupku wajar dan diterima masyarakat. Mereka tidak pernah menyinggung kegiatanku sebagai jalan yang salah.”
Kecemasannya timbul bila teringat masa depannya,
“Apakah aku bisa meneruskan hidup di perusahaan? Rasanya aku pesimis, PHK hanya menanti saat yang tepat.”
Dipandanginya dermaga yang menjadi pintu gerbang kota Kuala Kurun ini. Sungai kahayan berair coklat banjir karena hujan. Beberapa burung elang muara terbang di atas langit menandakan masih cukup banyak populasi burung endemik tersebut.
Dermaga bercerita tentang angkutan sungai antar daerah di Kalteng. Di hilir Kuala Kurun inilah Palangka Raya ibu kota Provinsi Kalteng. Seluruh angkutan sungai menghilir pagi-pagi sekali mengejar waktu yang sempit beberapa jam sebelum malam datang. Bila malam tak ada angkutan sungai yang berlayar, sangat berbahaya karena gelap dan beresiko menabrak batang kayu gabuk yang terbawa arus.
Siangnya gantian angkutan sungai dari Palangka Raya menuju hulu berlabuh menurunkan penumpang sampai tujuannya. Paling cepat angkutan sungai adalah speed boat tapi mahal ongkosnya. Ada kapal penumpang yang disebut kapal tangkalasa biasanya dua hari satu malam sampai di Kuala Kurun, sedangkan kapal dagang tak menentu karena mereka biasa bongkar muat barang di setiap kampung menyesuaikan dengan order yang didapat.
Dari hulu beberapa jenis rakitan hasil alam menghilir dipandu kapal atau tongkang besar. Paling banyak gelondongan kayu (log) dari berbagai perusahaan HPH. Setelah itu rakitan bantalan karet dan paling sedikit sulur rotan.
Sepanjang hulu dari Palangka Raya sampai Kuala Kurun biasa terdapat lanting-lanting penyedot emas. Bila musim hujan lanting penyedot emas minggir karena hasilnya sedikit. Bila musim kemarau mereka berlomba-lomba menyedot pasir sungai Kahayan dan mengalirkannya ke sabut berserat untuk menangkap butiran mikro emas. Di mana-mana di sungai, anak sungai (Tumbang) hingga hutan terdapat usaha-usaha pendulangan emas.
Sayang gambaran keindahan sungai Kahayan porak poranda dirundung konflik antar etnis. Pendatang dari Madura bermusuhan dengan pribumi lokal Dayak. Permusuhan antar etnis itu sebenarnya sudah lama, jauh sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bara itu terus ada dalam dada kedua suku tersebut.
Orang-orang Dayak merasakan daerah mereka dijajah oleh pendatang. Dan kambing hitamnya jatuh kepada orang Madura. Suasana sangat mencekam, siapapun bisa dicurigai sebagai Madura. Apapun yang berbau Madura adalah musuh.
“Pencak silat hanya bela diri, ia tak laku sebagai andalan di masa perang,” Surip berkata sendiri.
Apa-apa yang dinyatakannya adalah kenyataan. Kedua suku yang berperang berkutat adu jiwa karena pertikaian tanah dan kekuasaan jaringan perekonomian. Sekali lagi bela diri bukanlah militer. Tak ada daerah yang harus diserang. Wilayahnya hanya pada pemahaman jurus. Setelah itu boleh ditambah dengan Tarung, Seni dan Filsafat.
Masih Surip terduduk di bangku panjang dermaga. Ada speed dari Palangka Raya singgah menurunkan penumpang, hanya beberapa orang saja. Selebihnya penumpang tersebut menuju hulu yaitu Tewah sebagai tujuan akhir. Muka-muka tegang dan cerita tentang kerusuhan etnis masih mengalir. Tak ada ruang untuk orang Madura membela diri di pedalaman.
Satu pihak Dayak menyebut orang Madura sangat kejam dan licik dalam berperang. Orang-orang Dayak merasa teraniaya karena adanya orang Madura di wilayahnya. Orang-orang Madura dituduh merampas tanah milik orang Dayak. Bentuknya berupa kantong-kantong pemukiman Madura di wilayah pelabuhan-pelabuhan Kalteng.
Ada semacam nasionalisme Dayak terhadap wilayahnya. Di mana-mana terdengar semboyan, “Petak Danum Ita” (Tanah air kita), atau “Horas Uluh Ita” (Semua orang kita). Beberapa identitas kebanggaan Dayak tercermin dalam simbol-simbol perang. Ketokohan Pangkalima Burung, milisi bersenjata tradisional suka rela dan beberapa bukti pembantaian sadis terhadap orang-orang Madura.
“Melihat konflik antara Dayak Madura ini menjadi bukti banyaknya konflik antar suku di seluruh Indonesia. Di manapun di wilayah Indonesia bisa terjadi konflik seperti ini,” Surip berkesimpulan sendiri.
Tak ada yang bisa diperbuat oleh Surip, ia lebih mewaspadai kehadirannya di perantauan. Hal yang sama tentu dirasakan perantau-perantau lain.
“Jangan lagi menambah perkara yang sudah terlanjur terjadi!”
Menjelang sore Surip berniat pulang ke camp km 4. Seorang anak kecil dengan joran pancingnya berada di lanting WC memperlihatkannya perolehannya, seekor lobster cukup besar. Dayak dengan segala misterinya berujung pada sungai. Mereka adalah suku-suku Proto Melayu (Melayu Tua) yang membentuk koloni-koloni di tepi sungai ribuan tahun lalu. Jika ingin tahu tentang rahasia sungai bertanyalah kepada mereka.
Beberapa getek di dekat dermaga speed menawarkan jasanya menyeberangkan Surip. Beberapa diantaranya Surip mengenalnya karena pernah masuk hutan ikut survey kegiatan. Tak ada tawar menawar, ongkos menyeberang sudah umum seribu rupiah. Getek-getek itulah benda paling berharga kemajuan suku Dayak. Penyebaran mereka di seluruh pedalaman Kalimantan mengandalkan getek dan dayung sebagai alatnya. Kalteng daerah penyumbang atlet dayung cukup handal di Indonesia.
“Bagaimana aku bisa bertahan meneruskan hidup di sini?” Itu pertanyaan Surip yang belum terpecahkan.
Sepanjang perjalanan dari log pond menuju camp pembinaan km 4 pikirannya tertuju pada kata-kata itu. Sepanjang jalan perusahaan dari log pond menuju km 4 sudah terbuka. Pembukaan ladang oleh orang kampung sudah banyak membentuk perkebunan karet cukup luas biarpun belum bisa ditoreh hasilnya.
Sampai di camp km 4 semua masih berjalan biasa saja. Sebuah camp dengan berbagai kegiatan untuk produksi kayu perusahaan. Di dalam kamar-kamar mess baik itu yang rumah tangga maupun bujangan selalu terdengar bantingan kartu remi atau domino. Di beberapa sudut ada saja yang bermain catur, juga ada yang mahir bergitar menyanyikan lagu pop atau Batak. Paling familier untuk orang-orang Kalimantan adalah lagu-lagu pop Malaysia. Tak sedikit anak-anak bermain kejar-kejaran di antara sudut-sudut kamar mess.
Itulah dunia kecil unit perusahaan. Sebuah dunia yang bagi penghuninya masih belum mencukupi. Untuk anak-anak masih bisa bermain, tetapi menjelang sekolah TK hingga SMA harus jauh menuju kota. Untuk pendidikan orang-orang di dalamnya merasa begitu terkucil ketinggalan jaman.
Dunia Surip lebih kecil lagi, hanya berupa jurnal latihan jurus. Pencak silat melekat dalam dirinya seperti perangko di kertas surat. Terkadang orang-orang camp menghargainya dengan bertanya sambil lalu sebagai selingan dan lain saat sudah lupa. Bagi Surip apa-apa yang dilatihnya tak mungkin ditinggalkan lagi. Ia tak peduli apa kata orang.
“Al Jurus itu adalah salah satu bagian dari masalah hidup yang harus kujalani!” Teriaknya sendiri dalam hati.
Al Jurus itu dulunya nama sebuah perguruan Pencak silat tempat bernaungnya di Purwokerto. Tak terdengar lagi gaungnya di Purwokerto. Masih banyak mantan siswanya tetapi tak berstruktur baik dalam organisasi.
Guru besarnya Bapak Jamaludin masih ada tapi sudah pindah ke sebuah kecamatan di Banyumas. Beliau dimasa tuanya sekarang masih melatih sebatas tetangga-tetangganya saja. Benar-benar sebuah perguruan pencak silat yang tidak berkembang. Tak ada lagi kontak langsung dengan beliau.
Dengan latar belakang itulah Surip berani mengklaim Al Jurus sebagai miliknya. Ia mencoba mengembangkan pencak silat yang didapatnya sebagai basis. Modalnya pas-pasan dicoba dengan pengayaan ala kegiatan TPTI. Dalam novel ini dicobanya dengan tambahan materi tarung sebagai hak milik dan penemuannya.
“Aku ingin menuliskannya sebagai bentuk karya tulis. Jadi nanti bisa dipahami orang lain di manapun berada,” Itu tekad Surip yang sekarang mencoba mencatat hasil-hasil latihannya di rimba Kalimantan.
Kembali ia ke alam nyata, sebagai karyawan perusahaan Tanjung Raya.
“Aku akan mencoba bertahan hidup di sini apapun konsekuensinya. PHK itu ancaman yang jelas ada dan sebelum sampai ke sana harus ada kegiatan di camp.”
Saat itu nafasnya tersengal-sengal sehabis melakukan push up sebagai pemanasan latihannya. Barak-barak camp km 4 terlihat atapnya dari atas bukit yang rindang oleh pepohonan. Surip memanfaatkan tanah datar di atas bukit yang bisa memandang camp dari kejauhan. Dengan cara ini ia bisa juga mengawasi bila ada orang camp yang akan melewatinya, ia menghindari pertanyaan-pertanyaan aneh bila ketahuan berlatih. Suatu pertanyaan yang akan berulang-ulang walaupun orang-orang camp itu sudah tahu salah satu kegiatannya.
“Surip itu latihan apa gerang?”
Tapi kemudian dijawabnya sendiri,
“Oh latihan kunthow.”
Ada lanjutannya lagi,
“Di kampung banyak guru-guru konthow, tak akan kalah kami oleh Surip.”
Itulah kenyataannya, di manapun kita berada di wilayah Nusantara terdapat jenis bela diri ini. Bahkan orang-orang kampung bisa melakukannya walaupun hanya gaya pencaknya saja. Karena itu mereka tetap lebih bangga dengan kekayaan-kekayaan intelektual yang masih tersembunyi di kampung mereka sendiri.
Surip bagi mereka adalah salah satu perbandingan dari kelihaian-kelihaian guru-guru kunthow di kampungnya. Bumbu-bumbunya adalah kisah-kisah kemampuan guru-guru kunthow yang ujar orang tak mempan dibacok senjata tajam, berteman dengan orang bunian (orang halus), menyimpan kajian yang sangat dahsyat dan menyembunyikannya. Terkadang juga bila di daerah kantong muslim sang guru tersebut memiliki karomah yang sangat tinggi.
“Ingat terhadap kampung sebenarnya adalah dasar nasionalisme kebangsaan. Jadi jangan lupa terhadap kampung sendiri.”
Tersenyum Surip berkata, ada peribahasa,
“Biar hujan emas di negeri orang, tetap lebih enak hujan batu di negeri sendiri.”
Selesai latihan terasa badan capai menyergap. Surip harus duduk berdiam di tunggul kayu mengurangi keringat yang membanjir. Dibiarkannya panas tubuh berkurang dan sesekali memukul lalat pikat yang tertarik bau darahnya. Setiap kali Surip mendapati lalat pikat tetap merinding bulu kuduknya. Pengaruhnya lebih besar dari pada mendapati lalat hijau besar-besar yang mengerumuni bangkai binatang di hutan. Ada lagi nyamuk-nymuk di siang hari di keremangan tajuk pepohonan. Itu salah satu ancaman penyakit malaria. Sebenarnya orang-orang di camp sudah tergigit oleh nyamuk-nymauk pembawa bakteri penyakit ini. Tinggal menunggu saja badan melemah langsung penyakit ini menyerang butir-butir darah merah di seluruh tubuh.
“Ah tanah di belakang camp itu bisa kugunakan berladang.”
Tercetus satu kalimat begitu saja dari Surip. Di tangannya selalu membawa parang berjaga setiap kali masuk hutan. Tapi sekarang ditebas-tebasnya beberapa semak belukar di sekitar tempatnya berlatih. Teknik menebas dengan parang mandau sudah dilakukannya bertahun-tahun di hutan. Hanya itu modal utama bekerja di bagian pembinaan.
Mulai saat itu Surip mencoba kegiatan baru. Berladang menyesuaikan diri dengan lingkungan orang kampung. Ia harus belajar lagi dari tingkat pemula.
“Orang Jawa biasa bertani sawah, kini aku mencoba peruntunganku dengan berladang pindah ala Dayak,” Surip bergerak membabat beberapa semak belukar di belakang camp km 4.
Sebenarnya tanah di belakang camp sudah terbuka. Ini tanah di belakang mess bujangan, letaknya antara mess dengan kebun stek pucuk. Beberapa tunggul batang pohon besar mati memperlihatkan dulunya sangat rimbun. Beberapa tanaman sungkai sudah setinggi tiga meter cukup teratur dijadikan pengganti kayu-kayu yang sudah roboh.
Tidak luas, Surip baru coba-coba membuat ladang. Paling banter luasnya dua ratus meter persegi. Dasarnya Surip orang Jawa, prinsip-prinsip bertaninya masih mengikuti pengalamannya di desanya Beji. Dibuatnya tanah tersebut berpetak-petak menjadi guludan tanaman. Pikirnya ia hendak menerapkan pertanian intensif.
Karena bercocok tanam ala Jawa, larinya ia membutuhkan cangkul. Ia pun meminjam cangkul dari Bina Desa, itu yang orang-orang mulai berkomentar.
“Nggawe ladang Rip, apa kowe arep urip selawase nang kene?” Orang-orang Bina Desa bertanya, tak ada yang bisa diharap hidup terus selamanya di perusahaan. Ancaman PHK benar-benar terasa di setiap unit kegiatan TPTI.
“Pokoke aku mung ngisi waktu nang camp, wis orang ana survey maneh neng alas,” Surip beralasan. Justru orang Bina Desa salut dengan apa yang dikerjakan Surip. Mereka kemudian memberikan beberapa bibit tanaman sayuran. Lumayan Surip mulai bisa menanam singkong, ubi jalar dan kacang tanah.
Ada waktu-waktu kegiatan berladangnya ditinggalkan karena masih ada beberapa bulan survey pembinaan. Namun itu tidak menyurutkan dirinya untuk terus meneruskan kegiatan berladang di belakang camp.
“Yang penting kegiatan berladang di camp bisa menjadi pelampiasanku dari berbagai tekanan batin akibat sulitnya menyesuaikan diri di lingkungan camp,” Surip mengakui sering gelisah, dari sejak duduk di bangku sekolah menengah sampai saat bekerja di perusahaan ini perasaan tersebut menghantuinya. Ia asing berada di manapun, suatu bentuk depresi bertahun-tahun karena gagal menyesuaikan diri di masyarakat.
Sebagai pelariannya ia menggerakan otot-otot tubuhnya dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah berlatih bela diri Pencak Silat yang ternyata berbanding terbalik dengan cerita komik dan film. Ia tidak mendapatkan kesaktian yang akan menjadikannya sebagai figur pendekar pembela kebenaran.
Kenyataan pahit dirasakan Surip, masyarakat umum tidak mampu melihat kemampuan bela diri sebagai tambahan materi hidup. Masyarakat umum lebih terpesona dengan pertunjukan demo tenaga dalam, penyembuhan penyakit karena ikut latihan pernafasan dll.
Surip saat di Purwokerto pernah menyaksikan demo tenaga dalam. Ini dilakukan oleh penjual obat keliling pasar malam. Peraganya seorang bocah umur lima tahun di sebuah panggung terbuka. Sebuah balon besar tergantung di tali disiapkan dalam jarak sepuluh meter di mana berdiri bocah tersebut yang diklaim telah ikut berlatih tenaga dalam dua tiga bulan.
Hebat sekali!
Hanya dengan jari telunjuk sang bocah mampu memecahkan balon dalam jarak sepuluh meter. Sebuah kemampuan yang sangat spektakuler.
Tepuk tangan penonton membahana di sekitar panggung. Penonton memuji pertunjukan tersebut. Hanya seorang anak kecil sudah mampu memecahkan balon dengan jari telunjuknya, apalagi orang-orang yang lebih senior di perguruan tersebut.
Surip justru sekarang meragukannya, sehebat itukah tenaga dalam. Fenomena perguruan tenaga dalam sangat mencengangkan, murid-muridnya ribuan bertebaran di seluruh Indonesia.
Sekali lagi Surip membayangkan, di mana sekarang anak kecil yang mampu memecahkan balon dengan hanya menunjukan jari telunjuknya itu sekarang?
Tentunya sekarang sudah dewasa, mungkin dengan telunjuk saktinya anak tersebut sekarang mampu menghancurkan pesawat jet tempur F 16 milik Amerika Serikat.
“Sampai sekeras apapun berlatih aku tak pernah mendapatkan tenaga dalam.”
Inilah kenyataan yang Surip hadapi. Al Jurus tidak mengajarkan demo kemahiran memecahkan benda-benda keras. Al Jurus hanya bertahan dalam rohnya, “Jurnal Latihan” itupun harus dengan metode yang bisa diterima nalar.
Kenyataan lain juga dihadapinya sekarang.
“Sulit menanam kacang tanah hingga panen. Itu berarti hidup paling realistis berada di ujung segumpal tanah.”
He he he berbagai kendala berladang dirasakannya sekarang. Beberapa kali banjir sungai merusak ladangnya. Ubi jalar yang siap panen ternyata rusak dimakan tikus. Apalagi jenis sawi, wah ulat grayak dari dalam tanah malam hari memakan daun sawi, yang tersisa batangnya saja.
Gigit jari Surip bila mengingatnya.
Tapi biarpun begitu tiap kali panen hasilnya ternyata bisa dimakan oleh sebagian orang-orang camp. Di sinilah terbayar hasil jerih payahnya. Tidak banyak tetapi orang lain ikut mencicipinya sudah merupakan kesenangan tersendiri.
Itulah kegiatan Surip di akhir kariernya di perusahaan Tanjung Raya Kuala Kurun.
TAMAT
Profil Penulis
Penulis masih tinggal di Yogyakarta dengan segala suka dukanya. Hidup merantau usaha swasta jasa stempel di kios Eks kampus Stiekers yang sudah menjadi lahan milik pemda provinsi.
Menjadi penulis ala kadarnya tidak berkesinambungan, sekarang saja belum lagi memulai menulis naskah. Sepertinya malah mandeg entah sampai kapan, sayang sekali ya......
Tapi naskah yang lain masih tersimpan jadi menulis ulang saja sekarang kegiatannya.
Judul fiksi Gagasan Tarung ini semoga menjadi bibit kreatifitas menulis selanjutnya, selamat berkarya untuk siapapun yang berminat menulis.
Terima kasih.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment