Sunday, December 29, 2013

Gundul Tengik sampai di Gumuk Pasir Parangtritis.

Kegiatan akhir tahun.
Penulis ingat tentang kajian Geografi sebuah gumuk pasir. Itu terdapat di kamar Penulis berupa skripsi seorang mahasiswa UGM untuk contoh pembuatan skripsi mahasiswa Kehutanan.
Tetap saja Penulis tertarik biarpun tak paham maksud isi skripsi untuk jenjang sarjana seorang mahasiswa. Yang penulis tertarik itu berupa semacam petualangan perjalanan Hiking untuk menyelusuri gumuk pasir Parangtritis.
Langsung penulis melihat peta wilayah gumuk pasir yang tertera dalam skripsi, ya itu bisa jadi penunjuk untuk sebuah perjalanan menyusurinya.
Sebenarnya sudah lama penulis  pernah menginjakkan kakinya sesuai alur  peta yang ada dalam skripsi tersebut, mungkin sudah dua tahunan yang lalu, tapi tahun 2013 ini dicoba kembali untuk membuktikan rasa penasaran penulis akan kajian Geografi lokal Yogyakarta.
Nah kegiatan yang dikorbankan adalah olah raga bela diri Pencak Silat (Kayak Pendekar saja......), kemudian Yoga, dan Jogging mingguan. Tak apalah hitung-hitung ini kegiatan tahun 2014 nanti. Kelemahan penulis itu dalam masalah dokumentasi, tak punya  kamera untuk mendokumentasikan perjalanan yang dilakoni penulis.

Tanggal 29 desember 2013,
Setelah sholat subuh langsung penulis keluar setelah sebelumnya buang air besar sebagai persiapan perjalanan. Dengan kaos oblong dan celana jeans penulis berangkat pagi masih gelap menuju Ringroad mencari bus trayek Parangtritis. Sebuah sandal jepit menjadi andalan penulis kemanapun bahkan untuk bekerja sebagai pengusaha swasta sukses tapi kecil-kecilan. Ya kecil modalnya kecil juga kiosnya, dan kecil juga omzet perharinya. Karenanya hasilnya hanya cukup mengisi perut sehari-hari.
Jalan kaki sampai  di perempatan Druwo, maunya cepat dapat angkutan bus menuju Kretek. Tapi apa daya, menunggu sampai lama sekitar satu jam barulah bus kecil tersebut muncul. Itupun dengan penumpang sudah penuh, jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh. Eiiit untuk trayek bus sekarang ini memang sudah sepi, tidak seperti tahun-tahun sembilan puluhan. Penyebabnya adalah kepemilikan kendaraan pribadi baik itu sepeda motor maupun mobil.
Bus tersebut penuh sesak, berjubel karena itu bus pertama meluncur ke Parangtritis membawa penumpang ke berbagai kecamatan disekitarnya. Tak terelakan lagi  penulis hanya bisa berdiri di pintu dengan badan hanya menyentuh sedikit kedalam agar seimbang dengan tangan berpegangan kuat di besi semacam cantelan. Penulis tidak sendirian, beberapa penumpang pun mengalaminya. Begitu bus berangkat langsung terasa angin menerpa dan perasaan ngeri menyergap. Itupun masih dicoba lagi beberapa penumpang masuk dipaksakan. Saat itu seorang  penumpang merasa diluar, begitu ada kesempatan masuk segera orangnya kedalam mungkin merasa ngeri karena  terkena angin dan kecepatan bus yang  cukup cepat.
Ha Ha Ha Gundul pringis ini merasakan jatahnya, angin sepoi keras itu membuat kepala penulis dingin seperti masuk angin, oh ya beberapa hari sebelumnya penulis memang potong rambut sampai gundul untuk meluruskan rambut saat tumbuh pertama kalinya. Kebiasaan penulis ini sudah dijalani beberapa tahun di Yogya, setiap tiga empat bulan sekali.
Sampai juga di start rute yang diinginkan penulis, pintu gerbang obyek wisata Parangtritis.
Penulis stop disitu saja, turun dan menuju jalan kecil menuju pantai Depok. Karena menunggu cukup lama diperempatan Druwo tadi penulis ingin buang air kecil, jadi segera menuju sebuah selokan air irigasi pertanian.
Huuup penulis turun ke saluran air biar tidak kelihatan oleh orang lain saat buang hajat tak tertahankan. Seekor ayam menyambut penulis di selokan itu,
"Keoook keook!" Tuh ayam berteriak langsung nyebur ke air selokan langsung berenang ke hulunya karena mendapati makhluk gundul pringis dan tengik mengganggu acaranya.
Sayang penulis tak sempat menolongnya lagi karena sadar itu sebenarnya bahaya besar buat si ayam berenang, sampai berapa jauh ayam itu berenang?
Oh kasihan sekali mungkin sampai lemas dan kemungkinan mati sendiri karena tak ada yang menolongnya. Sadis sekali penulis ini ya?
 Ya bagaimana lagi, hendak ditolong itu ayam sudah berenang jauh, bila dikejar nanti malah ketahuan orang bisa dituduh sebagai pencuri......
Segera penulis menghindari insiden kecil tak sengaja tersebut, semoga di hulu sana nanti ada seorang yang berbaik hati menolong itu ayam celaka.
Penulis melanjutkan perjalanan, hup jalan kecil sepanjang beberapa kilometer itu hanya lebar tiga empat meter, sebuah jalan desa tapi mulus beraspal karena tempat tujuan wisata. Terus di susuri, sampai setengah jam kemudian sampailah di pintu gerbang obyek wisata Depok.
Uuh itu tak penting, penulis sempat singgah di tepi sungai Opak yang menjadi sebab terbentuknya formasi bukit-bukit pasir gumuk sebagai obyek kajian Geografi.Sungai itu membawa pasir halus dari hulu berupa butiran halus sekali dari Gunung Merapi. Jadi inilah material erupsi terakhir berlabuh di pantai Depok dan Samas. Pasir-pasir itu akhirnya terbuang di hantam ganasnya ombak pantai selatan. Oh tidak demikian, sebagian kemudian timbul ke pantai terdorong ombak dan tertiup angin kencang menjadi timbunan perbulitan kecil setinggi sepuluh dua puluh meter. Tiupan angin terhadap material pasir halus itu berlangsung ribuan bahkan jutaan tahun. Tentu bisa dibayangkan, bukit setinggi dua puluh meter di pesisir pantai depok itu benar-benar hanya terdiri pasir-pasir halus. Di bawahnya kemungkinan berupa tanah sedimen seperti formasi batuan gunung kapur.
Fenomena bukit pasit itulah yang biasa disebut gumuk dan itu dijadikan perlindungan ekologi oleh Fakultas Geografi untuk dilindungi. Konon di luar negeri fenomena yang sama hanya ada di tepi pantai laut kuning Cina karena pasir-pasir halus dari sungai Huang Ho (Sungai Kuning).
Karena itulah Indonesia itu beruntung mendapatkan fenomena alam yang sama prosesnya dengan di Cina tersebut. Biarpun misalnya lingkupnya lebih kecil tapi cukup menjadi study geologi terbentuknya gumuk-gumuk pasir, itu sepeti gurun pasir di pemandangan alam Timur Tengah.
Mulai adanya formasi batuan gumuk penulis coba survey berdasarkan pengetahuan yang pernah penulis dapatkan di hutan Perusahaan HPH di Kalimantan.
Metoda paling gampangnya, meninjau kanan kiri jalan masuk sekitar lima puluh  meter sebagai semacam laporan pandangan mata. He He He jadi bukan tinjauan atau mencari data di lapangan. Kalau itu tugas lembaga akademik.....
Penulis ini hanya melakukan perjalanan untuk menyusuri dan  mendapatkaan sebuah suasana yang lain dari sekitar pemandangan yang ada. Tentu cukup sampai detilnya.
Ya itulah penasaran, langsung melangkah masuk ke sebuah gang kecil  yang kemungkinan biasa dilewati orang.
Huup fenomena gumuk pasir terlihat berupa gundukan yang terasa naik turun tidak terlalu tinggi, ditambah semak belukar dan berbgai pohon yang kuat tumbuh di tanah gersang. Beberapa tegakan jambu monyet terlihat terbiarkan hingga buah yang jatuh terlihat kecil-kecil tak komersial. Penulis agak tertarik dengan adanya jenis timun liar yang sebenarnya bisa dikonsumsi, ukurannya kecil seibu jari dan telah membusuk. Cukup banyak tapi sulurnya sudah banyak yang mati, berarti bila tumbuh itu biasa dikonsumsi berbagai binatang seperti musang. Ya jejak binatang yang ada menunjukan musang yang liar sebagai binatang bebas tak dipelihara manusia. 
Mencapai beberapa puluh meter ternyata mendekati kandang itik dan rumah ladang. Terdapat sumur pantek di salah satu ladang, coba penulis mendekati, ternyata berair dan bisa dipertahankan sebagai sumber air di tanah gersang tersebut. Dalam naungan tegakan (Ini istilah untuk tumbuh-tumbuhn yang berkayu dalam hutan) Penulis merasakan serasa di dunia yang berbeda dengan tanah Jawa.....
Ya sebuah kesunyian karena berada disebuah bukit gumuk pasir yang merupakan formasi berbeda dengan proses terbentuknya lapisan  tanah yang lain.
Oh itu hanya sedikit nuansa yang penulis dapatkan. Soalnya Penulis sadar beberapa bunyi kendaraan di sekitar menunjukan tempat itu tidak jauh dari jalan ramai. Jadi segera penulis kembali ke tempat semula. Penulis mencoba melihat HP signal kuat sekali, itu bukan daerah terisolir karena beberapa menara Telkomsel berdiri megah  sekali.
Segera penulis melanjutkan perjalanan, sampai di pintu gerbang obyek wisata pantai Depok. Penulis lebih tertarik ke sebuah jalan kecil menuju kiri, tertuju Museum Geospasial milik UGM. Ya itulah yang harus ditelusuri sebagai oleh-oleh perjalanan ini.
Masih beraspal mulus dan metode peninjauan kanan kiri jalan sejauh lima puluh meter ke dalam menjadi andalan penulis untuk mendapatkan nuansa setiap detil menarik obyek gumuk pasir. Jadi ada bukan areal hingga terlihat pasir halus seperti padang pasir, ada gundukan jerami ternyata itu adalah sediaan makan ternak sapi. Berbagai kelompok ternak menjadikan lahan tersebut sebagai kandang untuk menjauhi sapi dan kambing mendekati pakan. Oh kalau tumpukan jerami itu jelas didatangkan dari penenan sawah di lembah pertanian.
Ya kalau museum menara geospasial itu memang menarik. tetapi sayang itu bukan untuk tempat kunjungan umum. Soalnya berpagar dan dijaga beberapa orang, penulis cuma melihat ada banyak orang, mungkin mahasiswa dari berbagai universitas sedang mengunjunginya. Dari bus yang mencapai tiga buah berarti sekitar seratus  mahasiswa. Entah apa yang mereka praktekan di lahan gumuk tersebut.
Penulis terus berjalan, terasa tanjakan turunan dan berbagai papan larangan berburu dan merambah untuk lahan study Geografi tersebut. Toh tetap ada saja galian pasir untuk bangunan sembunyi-sembunyi. Ini bukan daerah sunyi, kecuali kita masuk kedalam sekitar lima puluh meter itu baru terasa sebagai dunia lain. Kalau jalan kecil beraspal mulus ini sering dilewati orang kampung dan kendaraan wisata. Juga pasangan pacaran,
Bah saat lewat beberapa anak kecil bersepeda, mungkin dari kampung setempat. Mereka itu melihat penulis dengan terbelak. Seseorang diantaranya berkomentar,
"Huh ana wong edan lewat!" Katanya sambil melihat kepala gundul penulis yang tengik ini.
Setelahnya mereka menghambur lari lebih cepat untuk menghindari penulis. He He He ada yang ketinggalan, Di belakangnya ada seorang cewek remaja ketinggalan, duileh cukup cantik cewek kecil itu mengangguk tersenyum kepada si GUNDUL TENGIK itu sebagai permintaan maaf atas kelakuan teman-temannya.
Suka nggak sih orang dengan kepala gundul?
Nyeleneh sedikit kan gak apa-apa........
Sedikit kejutan, ketika melewati tempat belukar sunyi penulis melihat seekor burung puyuh liar berlari menghindari Penulis. Langsung coba penulis mengejar, 
Eeeh ternyata burung kecil itu sembunyi di bawah pohon palem berbuah, ya itu jenis palem yang bisa untuk dikonsumsi. Burung kecil itu memanfaatkan warna bulunya menyamar diakar yang mendekati bulu tubuhnya. Ya semacam perlindungan diri dari hewan pemangsa lain. Penulis mendekati bahkan yang paling dekat hanya sekitar satu meter, menjulurkan tangan dan menyentuh sedikit burung liar tersebut. 
Berhasil....... suatu fenomena yang jarang di dapat oleh orang lain.
Ingat itu peristiwa langka, seorang berhasil meraih seekor burung puyuh liar tanpa dicurigai, berarti daerah itu termasuk aman dari gangguan. Burung-burung puyuh liar tersebut berarti merasa tidak terancam atas kehadiran penulis disekitar habitatnya tersebut.
"Ciiiet  cieet!" Barulah burung itu berteriak menyadari akan bahaya asing yang menimpanya. Langsung lari dan dari arah berlainan dua ekor yang lain juga menghambur karena sudah ketahuan penyamaran mereka.
Mendekati jalan besar obyek wisata Parangtritis sudah berupa kampung padat rumah warga dan kandang ternak, juga kegiatan wisata sudah ada seperti pemilik beberapa kereta wisata dan motor untuk jelajah pasir pantai.
Seseorang warga sudah tua menyapa Penulis, "Hendak kemana Mas?" Tanyanya mungkin karena heran, jarang orang jalan kaki menyusuri hutan di daerah tersebut kecuali untuk berbagai keperluan seperti penulis. 
"Jalan-jalan saja Pak." Penulis menjawab ala kadarnya.
Penulis tahu itu seorang pencari rumput yang mungkin memantau penulis sudah dari dalam hutan gumuk pasir  
Sampai di obyek wisata ya sudah berjubel pengunjung berupa species manusia yang memenuhi hajat akan hiburan karena mereka adalah makhluk sosial.
Sempat penulis berjalan-jalan di pantai dan kemudian duduk di salah satu gubuk tepi pantai. Tak berapa lama didatangi seorang pemilik warung.
"Mas bayar sewa gubuk?" Katanya meminta jasa.
Ealah kukira gubuk kosong sepi dan jauh dari lokasi keramian, ternyata itu sudah masuk paket wisata toh......
Penulis mengulurkan uang dua ribu rupiah,
"Sepuluh ribu mas, itu untuk sejam saja di sini." Ketus ibu-ibu pemilik warung meminta.
Terpaksa sudah penulis mengeluarkan uang sejumlah yang diminta sebagai bayar sewa gubug.
 Yah sama mahalnya dengan tarif ongkos Yogya- Parangtritis........
Ah biarlah, penulis meneruskan masih menyusuri jalan sunyi menghindar dari keramian wisata, itu sebuah jalan setapak yang biasa dilewati orang kampung untuk menembus jalan di atasnya yang menuju Gunungkidul. Ya itu sudah berbatasan dengan wilayah Gunungkidul, Parang Endog sebagai tempat terakhir kunjungan penulis.
Masih sempat penulis kembali ke rute semula dan beristirahat di Cepuri Parangkusumo. Sempat ada ritual didalam cepuri oelh seorang juru kunci dan seorang pengunjung wisata untuk berbagai hajat agar terkabul. Melihat penampilannya yang perlente tak akan mengira kalau orangnya masih percaya hal-hal seperti itu. 
Ah penulis istirahat berebah di salah satu aula yang tersedia, yang hadir di aula itu ya keluarga dari pemuda yang tadi menjalani ritual di areal batu Parangkusumo. Mungkin dahulu disitulah perjanjian antara Danang Sutawijaya dan Kanjeng Nyai Ratu Kidul berlaku sampai sekarang.
Selesai......................................................................

No comments:

Post a Comment