Sunday, December 29, 2013

Pengasong koran

Ya inilah sebenarnya profesi penulis. Setiap hari mejeng di perempatan Ringroad Selatan Yogyakarta. Wah sangat narsis ya.......
Dimana posisi tepatnya?
Jika Anda berada di perempatan Ringroad selatan Jalan Parangtritis km 4,5 itulah tempat strategis yang penulis tempati. Oh masih kurang detail ya, tepatnya di perempatan jalan Parangtritis sebelah selatan ringroad. Ck ck ck bila masih  kurang jelas langsung datang dan beli koran di sana saja ya.
Hitung-hitung sudah berapa tahun menjadi pengasong  koran?
Wow ternyata sudah sukses sampai saat ini sepuluh tahun (mulai tahun 2004 sampai sekarang), sukanya banyak sedihnya juga banyak. Tak terhitung keuntungan jual koran tetapi juga beriringan mengalami kerugian. Dan pasti selalu dilihat pengendara motor dengan wajah iba.
Awalnya penulis mengasong itu di Jokteng wetan. Jadi persis di depaan situs cagar budaya tersebut. Itu mulai tahun 2004 sampai 2005 setelahnyaa itu setia menjadi demit perempatan ringroad sampai sekarang.
Apa nggak rendah diri mengasong  koran?
Ya sebenarnya ada perasaan tersebut, apa lagi bila melihat ternyata memang mengecer koran  seperti ini sebenarnya pekerjaan yang tak diminati oleh  orang pada umumnya.
Kan GAK ADA LOWONGAN PENGASONG  Dimanapun ada iklan lowongan pekerjaan di surat kabar!
Begitulah seorang pengasong koran adalah pekerjaan tak bergengsi, siapapun pasti tak akan bercita-cita menjadi pengasong koran.
Kelebihannya?
Ya mungkin koran adalah penambah pengetahuan akan kabar berita hari ini. Informasi apapun ada walaupun tidak secepat internet. Dan pasti setiap lembar koran  penulis mendapat rupiah demi rupiah keuntungan jualan.
He He He karena pekerjaan tak bergengsi jadinya tak ada istilah pecat memecat sampai sekarang, juga tak ada sangsi bila ada pelanggaran. Paling-paling mengurangi rasa malas saat memulai karena bila hujan deras mengguyur, pikiran sudah tak konsen lagi menjalani
Semua itu penulis jalani dan tak terkira suksesnya,
coba dibandingkan dengan saat penulis mencoba bekerja di perusahaan kayu,  supermarket, pabrik plywood, asuransi jiwa dll. Semuanya terasa berbeda karena banyak mengalami tekanan dari atasan dan kejenuhan karena pekerjaan hanya itu-itu saja. Tak ada variasi pekerjaan lain.
Oh pekerjaan ini hanya penulis lakukan sekitar dua tiga jam saja, mulai dari jam enam sampai jam sembilan. Kalau dilanjutkan sebenarnya bisa tetapi perut dan badan sangat kecapean. Penulis tidak ngoyo melakukan pekerjaan ini sebagai pendapatan utama. Jam sepuluh hingga jam lima sore kegiatan penulis membuka kios kaki lima jasa stempel.
Lumayan biarpun keuntungan sedikit paling tidak bisa untuk sarapan dan sedikit sisa keuntungan menjadi simpanan berupa  recehan koin logam. Wah banyak sekali sudah simpanan koin logam penulis, mungkin sampai ratusan ribu rupiah. He He He koin-koin itu baru terpakai bila usaha stempel lagi sepiiiiii sekali. Jadi diam-diam di dalam kamar kontrakan penulis tertimbun harta karun.
Ah tidak apa-apa, koin logam itu sendiri aneh juga. Tiap beberapa tahun sekali ada cetakan baru hingga penarikan  uang logam lama akan menimbulkan sejenis koleksi uang logam. Ah bisa jadi barang antik di tahun-tahun mendatang.
Kalau perempatan ringroad selatan, ya inilah tempat berbagai orang berdatangan dan pergi menuju sebuah tujuan. Sekedar lewat tetapi juga banyak yang mencoba mengais rezeki di sana.
Pengasong koran paling kuat bertahan hanya sampai setengah hari, kemudian pengamen berbagai jenis. Uh banyak juga jenisnya.....
ada yang group band dengan berbagai alat musik mulai dari gitar kecil, ketipung, sampai hanya sebuah kricikan tutup botol yang dibunyikan. Terkadang ada juga yang memainkan jathilan dan alat gamelan atau group topeng monyet.
Warung-warung bertebaran menempati sudut yang diijinkan berjualan, soalnya tidak semua tempat diperbolehkan untuk lapak, bisa karena harus menyewa juga karena ditolak pemilik lahan. Nah salah satunya langganan penulis bila usai mengasong. Itulah warung angkringan di sebelah selatan depan restaurant Tahu Telupat. Warungnya  buka pagi jam setengah delapan sampai jam dua siang. Penjualnya seorang perempuan paling berumur tiga puluh tahunan sudah beranak satu. Hidupnya selalu mencoba mencari peruntungan dari orang-orang yang bekerja disekitar, beberapa perusahaan distributor, toko bangunan, toko besi, pengrajin batu dan baja dll.
Bila sudah selesai mengasong penulis segera menuju warung angkringan untuk sarapan. Penjualnya sudah sangat hafal dengan selera penulis, kopi hitam kental sebagai kewajiban dan beberapa gorengan.
Kalau nasi, ya yang terhidang itu pasti nasi kucing, lumayan warung ini pernah menampilkan menu nasi sambal belut. Uah gara-gara nasi itu banyak orang yang berburu hingga antri tiap pagi mulai jualan. Warung ini penulis duga masih yang paling murahnya diseantero yogyakarta. Soalnya minum segelas teh atau es masih dihargai seribu rupiah.
Kalau tampilannya, wah sedikit berantakan. Tenda warung saja tak pernah ngepas  saat dipasang. Sepertinya keluarga ini memang kurang begitu peduli tampilan warung. Juga kebersihannya kurang terjaga, sekarang pun sudah mendapat bantuan tenda dan peralatan dari program Warung Beres UGM tetap saja tak berubah manajemennya. Bahkan pemiliknya berujar,
 "Huh dapat bantuan malah menyulitkan karena selalu diikat dengan berbagai peraturan. aku tak bisa mengikuti aturan yang mereka berikan karena kriterianya tidak sesuai modalku."
Nah begitulah orang-orang jalanan hidup. Bila ada aturan mereka merasa tambah beban karena pasti susah di ikuti. Tak seperti yang mereka jalani, coba modal hanya sebuah tenda dan beberapa meja kursi. Modal seperti itu bila dijadikan agunan ke Bank, tak akan masuk untuk mendapatkan pinjaman modal kan!!!

Yah akhirnyaa orang-orang jalanan pasti mencukupi hidup dengan modal keberanian belaka, termasuk penulis yang hanya berjualan dan mencoba menawarkan koran setiap pagi hari.

"Koran     Koran   Koran.....!!!"

No comments:

Post a Comment