Sunday, April 6, 2014

Sumur Miring di kampus ISI

Ini oleh-oleh penulis bila hari minggu, blog penulis ini lebih sering ada waktu luang bila hari tersebut. Soalnya longgar waktunya dan lebih banyak refreshing sifatnya. Kalau setiap hari biasanya penulis bekerja sebagai pengasong koran dan jasa stempel. Waktu bekerja tersebut menyempatkan diri menulis FIKSI walaupun hanya bentuk manual.
Ooooo sudah lima naskah yang  sudah diketik dalam lap top. Sedangkan yang manual satu dan satu lagi baru lima puluh halaman saja, santai mengerjakannya tak pernah diburu waktu.
Sebenarnya penulis ragu dengan kemampuan literasi ini, tapi sudah mencapai lima naskah apa ya harus mundur?????
Dua naskah sudah pernah dicoba kirim ke Agensi naskah, adanya penolakan karena salah format dan kebanyakan halaman. Oh ya tulisan dalam naskah memang masih ideaalisme penulis. Jadi wajar saja ditolak, tentu tak sesuai genre yang diinginkan penerbit.
Sekarang mencoba menulis mengikuti genre yang  ada, sudah  satu yang terkirim dan sekarang sedang  mencoba lagi menyelesaikan naskah dari bab ke bab. Mungkin perkiraan satu naskah selesai sekitar empat bulan.....
Tetap berbeda menulis naskah dengan menulis status di media sosial, menulis naskah selalu diiringi beban dan bersifat bekerja. Jadi terasa berat dan memeras pikiran atau tenaga. Kalau menulis status di media soial seperti Facebook atau Twiter, ya hanya mengikuti selera dan sakepenake dewe He He He.........
Seperti biasa habis sholat subuh, penulis keluyuran berlatih Jurus Pencak Silat dan Asana Yoga, sesi meditasi biasanya diliburkan. Oh banyak sekali rupanya kegiatan penulis ya,
Ya ini adalah  kegiatan  fisik hampir setiap hari, lebih tepat sudah menjadi journal latihan. Dari sinilah kenapa penulis akhirnya mencoba  menambah kegiatan agar kegiatan yang dilakukan sebagian bisa masuk dalam sebuah karya tulis. Biarpun hasilnya malah ngelantur mencoba menjadi novelis hingga sekarang. Ah tidak apa-apa semoga latar belakang latihan asana dan jurus nantinya bisa menjadi tulisan yang mengabadikan penulis sebagai PRAKTISINYA.
Kalau urusan agama penulis ini cetek ilmunya, coba saja dari sejak kecil hingga dewasa ini, kebiasaan ibadah sama dengan yang penulis dapatkan dari pengajian saat masa kecil. Modal sedikit seperti itu tak berani penulis mengklaimnya sebagai tingkatan ULAMA, hanya pengikut sajalah...
Ada sih ritual yang sudah cukup lama penulis lakukan ialah puasa senin kamis, itu sudah berlangsung lebih dari lima tahun dengan berbagai halangannnya, tetapi tetap tidak membuat peningkatan  dalam kelimuan agama. Ya pasrah sudah penulis, cukup sebagai orang biasa......
Eh ngelantur dimana nih,
Kembali kelatihan dan  jogging yang kali ini mengambil rute ke selatan ringroad jalan Parangtritis.
Dari eks kampus STIEKERS berlari pelan menuju selatan, mencapai Ringroad sempat bertemu dengan  sesama Pengasong koran yang melambaikan tangan salut kepada kegiatan penulis.
Terus ke selatan melewati PLN, kantor kecamatan Sewon, sebuah SMP negeri di Bangi hingga akhirnya tepat berada di depan kampus ISI (Institut Seni Indonesia). Itupun masih ke selatan sedikit sekitar empat ratus meter di sebuah pedukuhan Ngirengireng.
Berhenti......
Belok menuju sebuah jalan kecil menuju kampus ISI di tengahnya. Ya kalau yang di depan jalan Parangtritis itu gerbangnya, maka yang penulis lewati ketemu  dengan berbagai fakultas dan  kantor tata usahanya.
Beberapa pohon trembesi begitu besar menyambut penulis masuk kampus, ini jalan kecil dalam kampus yang terhubung dengan jalan kampung hingga tembus di UPT galeri dan UPT Perpustkaan.
Sampai di depan UPT Perpustakaan penulis istirahat mengakhiri sesi jogging.
Dulu pernah beberapa kali penulis masuk dalam gedung fakultas demi fakultas, setiap jenis seni ada fakultasnya. Seni Rupa dengan berbagai jurusannya, Seni pertunjukan dengan berbagai jurusannya, Seni musik dengan berbagai jurusannya, hingga seni media rekam dll.
Penulis iri bila mengingat sekolah hanya sampai SMA saja, tak pernah bisa melanjutkan lagi.
Karena kali ini beristirahat di UPT Perpustakaan jadinya penulis sempat melihat sebuah karya seni yang sekarang disebut sebagai karya Instalasi (he he he jangan tanya penulis apa itu karya instalasi....kutak tahu).
Lokasinya tepat berada di pertigaan jalan kampung yang cukup ramai walaupun tak lebar. Karena letaknya yang dipertigaan jadinya lokasi itu bukan milik kampus, tetapi ini jelas termasuk hasil karya mahasiswa ISI, atau jangan-jangan ini malah sebuah hasil karya untuk tugas akhir seorang mahasiswa seni Rupa ukir.....dulunya. Soalnya sepanjang penulis berada di Yogya, sekitar sepuluh tahun ini sudah ada karya monumental ini.
Sebuah Sumur Miring.
He he he kalau ingat hal miring paling terkenalnya adalah menara Pisa di Italia, mungkin perancangnya mengadopsi dari menara tenar tersebut.
Hanya sebuah sumur yang tentu tidak berair dan cetek saja kedalamannya,memang bukan sumur betulan. Jadi terpajang di sudut  pertigaan sebagai hasil karya seni. Bangunan dari batu bata berbentuk lingkaran sumur yang dimiringkan. Tentu jadi pemandangan  menarik  bagi yang lewat walaupun tetap tak tahu apa gunanya bangunan tersebut dibuat. semaccam leluconkah, he he he serba miring dan sekarang kondisinya sudah berlumut tak terpelihara.
Karena miring tentu konstruksinya jadi berat sebelah, dulu kokoh berdiri tetapi sekarang mulai  rapuh dan masuk kategori hendak roboh. Aduh kayak  kondisi masyarakat kita sekarang ini yang sudah lampu kuning urusan korupsi ya.....
Demikianlah keadaan dari sumur miring ini, karena hendak roboh jadinya harus disangga bambu dua batang besar, tetap juga dua batang bambu tersebut  dihiasi motif seni mungkin garapan mahasiswa ISI.
Sementara di belakang lahan sempit Sumur miring ini berdiri berbagai warung tenda milik warga setempat yang menggantungkan diri dari Mahasiswa yang mengontrak di sekitar lingkungan kampus. Begitu juga sepanjang jalan menuju utara semuanya mencoba mendirikan warung untuk memenuhi kebutuhan warga dan mahasiswa.
Jadi cukup ramai tentunya malam hari di sekitar jalan tak seberapa lebar milik kecamatan Sewon ini, jauh lebih ramai bahkan dari jalan depan kampus yang berada di jalan Parangtritis. Kampungnya kalau nggak salah Prancak Glondong.
Sumur Miring itu semakin renta, tak mampu menyangga beban bangunannya yang dari batu bata, semakin tebal lumutnya dan harus disangga  bambu sekarang. Benar-benar miring semuanya, sudah kalah  jauh dengan sekitarnya yang membangun rumah dan usaha bertingkat walaupun di dalam perkampungan.
Monumen itu masih ada bertahan sekian tahun sejak dari perantauan penulis di Yogyakarta, penulis ingat dengan ibu penulis yang ternyata juga menggeluti dunia seni dan mengajar seni lukis di sebuah sekolah SMA. Dulunya belajar tahun 1960 an di Akademi Seni  Rupa Yogyakarta, kalau tak salah sekarang lebur menjadi cikal bakal kampus ISI ini. Dulu sekolah tersebut berada di Wirobrajan sekarang.
Cukup dulu keluyuran penulis, Sumur Miring dan serba miring jangan lupa wiski Topi Miring bila hendak mabuk.......Monggo Mas.
Pulang ke rumah kontrakan penulis, wuus wuus sampai menyeberang di ringroad selatan. Begitu menginjak di tengah jalur mobil dua arah, penulis kaget bukan main. Tanah yang diinjak penulis tiba-tiba menyengat seperti ada aliran listrik, langsung refleks menghindar mencoba menjauhi lokasi sengatan listrik. Dari jarak semeter baru ketahuan, itu tiang listrik penerangan lampu jalan ringroad. Aduuuuuh kagetnya.....

No comments:

Post a Comment