Monday, March 14, 2016

TARUNG ETANG

Bela diri Pencak Silat sudah sangat berkembang, sekarang sudah diakui dunia sebagai cabang olah raga asli Indonesia. Yang menarik tentu adalah ajang prestasi yang mempertandingkan nomor Tarung.
Seluruh pertandingan nomor Tarung merujuk pada aturan IPSI dan aturan pertandingan internasional yang diakui badan dunia. Hal tersebut sudah tak perlu diubah, tinggal mengikuti untuk mendulang prestasi baik tingkat nasional maupun internasional.
Tetapi masih banyak kemungkinan jenis Tarung diterapkan sebagai hasil karya Tak Benda seseorang. Ini salah satu gagasan yang masih mentah bersumber dari jurus-jurus Pencak Silat. Gagasan ini dicoba terapkan untuk Pengayaan jenis Tarung.
Gagasan ini didasari karena masih banyaknya potensi yang bisa digali dari jurus-jurus Pencak Silat yang ada di Nusantara. Sebuah kekayaan yang tersembunyi tersebut dicoba dipaparkan dalam bentuk tulisan Blog ini. Dalam hal ini sebenarnya adalah pengalaman dari Penulis sendiri.

Penulis menamakannya Tarung ETANG.

Idenya berasal dari permainan masa kecil Penulis. Permainan ini dinamakan ETANG, tanpa tahu asal-usul bahasa dan berasal dari daerah mana. Penulis tak mendapati permainan ini dilakukan anak-anak sekarang. Jadi bisa dianggap punah sebagaimana jenis permainan ketangkasan lain.
Tentu Pembaca yang lahir tahun tujuhpuluhan masih ingat permainan ketangkasan seperti Petak Umpet, Tembak-menembak ala Cowboy, Gobag Sodor, Barlen dll. Salah satunya yang berkesan bagi Penulis adalah permainan Etang.
Permainan Etang dilakukan sejak Balita sampai lulus sekolah dasar. Setelah masuk jenjang sekolah menengah permainan ini seperti hilang dari peredaran. Permainan ini dilakukan dua orang saling berhadapan. Setelah saling berhadapan kemuudian saling menyerang untuk menyentuhkan tangan ke arah kepala dan kaki sebagai sasaran.
Jika salah satu sasaran terkena atau tersentuh tangan sang lawan dinyatakan MATI. Jadi permainan tidak terlalu memakan waktu, satu orang dinyatakan mati orang lain bisa jadi penantang. Jadi bila terdapat lima anak bermain Etang, semuanya akan bergiliran mendapat lawan. Pemenang ditentukan sebagai seseorang yang tidak MATI sampai empat kali bermain dari penantang yang ada.
Demikian keterangan sederhana dari permainan ini seingat Penulis. Penulis melihat permainan Etang ini memiliki kriteria TARUNG, karenanya menjadikan namanya sebagai judul karya Tulis ini.

Apa hubungannya permainan Etang dengan jurus Pencak Silat?

Ini memang subyektifitas Penulis, dalam jurus yang dilatih terdapat jurus COLOK yang menggunakan tangan dan jari sebagai serangan. Jurus inilah yang dicoba kembangkan sebagai Tarung dengan terapan permainan Etang. Karenanya namanya adalah TARUNG ETANG.

Ini jurus COLOK yang dilatih Penulis



                                                                   JURUS COLOK

-Lakukan pembukaan jurus. Posisi tangan dengan jari mencolok.
-Lepaskan pukulan dengan jari mencolok ke muka lawan. Pakailah jari telunjuk dan tengah dengan tangan kanan.
-Gerakan tangan kiri menyilang lengan kanan, memancing mengincar mata lawan, menangkis ke samping kiri. Lepaskan sekali lagi pukulan jari mencolok mata lawan dengan tangan kanan.
-Gerakan tangan kiri menyilang lengan kanan tetap mencolok mata lawan dan kaki kiri maju mengiringi gerakan tangan kiri.
-Gerakan kaki kanan maju ke depan dan sikutlah dengan tangan kanan. Pukullah dengan jari tetap mencolok mata lawan.
-Usahakan seluruh gerakan dengan posisi menyerong ke kanan.
-Ayunkan tangan kanan ke bawah dan tangan kiri ke atas.
-Loncat ke belakang dan langsung kuda-kuda bangku (rendah) sambil melepaskan pukulan dengan kedua tangan mencolok mata lawan.
-Geser kaki kanan ke depan diiringi dengan gerakan tangan mengincar mata lawan. Usahakan posisi menyerong ke kanan.
-Lakukan gerakan mengincar mata lawan ini 3x sambil bergeser maju selangkah-langkah. Posisi kuda-kuda kanan tetap di depan.
-Lakukan teknik kelit, tendang dengan kaki kiri ke depan.
-Sepak kaki kanan ke depan dan barengi dengan pukulan jari kanan mencolok mata lawan.
-Lakukan pasangan pembukaan jurus.
-Gerakan selanjutnya sama dengan gerakan jurus kesatu

Sedangkan gagasan tentang TARUNG ETANG sudah tertulis dalam draft Novel karya Penulis,



                                                                 Tarung Etang

Sore hari di camp rimbawan km 4. Suara besi dipukul menjadi pertanda pekerjaan berakhir. Waktunya kegiatan selingan penghuni camp. Ramailah suasana camp, beberapa lapangan yang tersedia digunakan berolah raga.
            Paling banyak sepak bola, itu dilakukan di lapangan mess atas. Kemudian bola volley di depan mess rumah tangga dan tenis meja di samping lapangan volley.
            Sebagian orang survey ikut berolah raga, sebagian lagi menjadi penonton. Beberapa orang survey yang menonjol dalam olah raga adalah Gundam. Ia paling aktif di bagian  volley. Ada juga Marlan orang perencanaan, ia tampaknya mahir di tenis meja dan sepak bola. Kalau Popom sekedar bisa segala macam permainan tetapi gayanya sok pakar.
            Nah yang terlihat tidak punya hobi itu Surip. Ia sering hanya menjadi penonton. Sebenarnya banyak saja sih yang tidak bisa berolah raga tetapi Surip terlalu banyak diperhatikan oleh orang camp.
            “Rip gantian aku main, aku harus bantu si Mbok di dapur.” Pacar Popom orang camp bilang, namanya  Yanti membujuk Surip yang cukup akrab dengannya.
            “Nggak ah aku nggak bisa main volley.” Surip menolak. Tapi orang-orang sekitar terlanjur tahu kehadiran Surip. Mereka justru menanti aksi lapangannya.
            “Kamu di camp nggak pernah bermain apapun. Heran aku, apa sih yang kamu bisa Rip?” Gundam yang merasa permainan jadi berhenti gara-gara pergantian pemain juga bertanya.
            “Surip ini hanya betah di hutan saja. Di camp selalu sembunyi seperti banci.” Seorang lagi agak kurang ajar bicara.
            Surip tersudut, kelakuannya di camp sudah diketahui banyak orang. Sementara pergantian pemain menjadi kesempatan Popom untuk masuk.
            “Rip jangan kalah dengan Popom. Yang penting aktif saja tak ada kok orang di sini yang jadi atlet.” Gundam berkata menasehati. Permainan kemudian berlanjut tanpa inisiatif apapun dari Surip.
            “Huh goblok Surip!” Seseorang memaki cukup keras, lagi-lagi itu Marlan yang sedang bermain tenis meja.
            Panas hati Surip, serba salah jadinya. Makian yang dikeluarkan Marlan itu seperti menantangnya. Hanya tak mungkin ia melayaninya, saat itu orang-orang lebih asyik berolah raga yang lebih berunsur hiburan.
            Surip menyingkir menjauh dari lapangan, benar-benar hidupnya sangat banyak kekurangannya. Pikirannya ngelantur dengan berbagai perasaan bimbang.
            “Bagaimana ini aku bisa tersisih dari pergaulan jika terus menerus menutup diri.” Beberapa ingatannya masuk, ia sekarang tahu dulu saat sekolah hobi utamanya cuma baca komik. Dan itu sulit tersalur di camp ini. Olah raga sebatas mengikuti pelajaran di kelas.
            “Ya aku harus mengambil satu bidang olah raga di camp ini, paling tidak sebatas untuk pergaulan.” Tekadnya timbul.
            Esoknya siang-siang ia survey untuk bisa ikut kegiatan di camp.
            “Ah ya itu tenis meja saja, kelihatannya tidak terlalu memforsir tenaga.”
            Segera didekatinya meja tenis yang saat itu ada beberapa orang yang sedang bermain. Orang-orang survey bebas bermain kapan saja di camp ini karena sudah tidak terlibat pekerjaan apapun. Surip nekad bergabung saat seseorang kelelahan.
            “Biar aku coba Lek.” Surip meminta bad tenis meja.
            “Ikau Rip, tumben umba tenis meja?” Satpam yang digantikannya berkata sambil menyodorkan bad tenis meja. “Ikau lawan Harahap Lek.” Ditunjuknya seseorang di bidang meja lain seorang yang berperawakan gemuk.
            “Bah Surip lawan mainku, biar kuajari kaulah!” Logat Bataknya kental sekali.
            Mulailah Surip bermain tenis meja, wuah gerakannya kaku dan tekniknya salah.
            “Memukulnya didorong Rip, jadi bola bisa memantul!” Satpam yang tadi digantikannya memberi contoh.
            “Ha Ha Ha lawan seperti Surip ini biar berapa set pun pasti kalah melawanku.” Harahap berkata jumawa.
            Beberapa kali bola pukulannya gagal dibalas Surip, apa lagi biarpun kembalian bola Surip berhasil masuk meja bidang Harahap tetap saja mudah dibuatnya trik. Beberapa kali smesh masuk tanpa bisa diantisipasi Surip. Surip jadi bulan-bulanan permainan orang camp hari itu.
            Hari pertama main tenis meja runtuh mental Surip, rasanya hanya ejekan tak becus bermain mampir di telinganya. Juga hari-hari berikutnya ia main sembunyi-sembunyi. Jika sore hari ia menyelinap keluar camp jalan-jalan dan latihan jurus di tempat tersembunyi.
            Sebenarnya itu hanya perasaan Surip saja yang minder di camp, padahal teman-temannya di camp biarpun tahu Surip pemain pemula tapi tanggapan mereka positif. Banyak saja orang yang lebih pasif di camp, orang-orang ini tidak pernah terlihat olah raga apapun karena kebanyakan kuat bicaranya saja alias hobi omong besar. Tapi paling tidak Surip mulai mencoba beradaptasi di lingkungan camp. Ia tahu betapa banyak kekurangan pada dirinya.
                                                                       ***
            Harahap, nama itu jelas orang Batak, Surip saat masuk hutan di pembebasan orangnya belum ada. Jadi ia adalah orang baru di camp untuk bekerja ikut kegiatan survey. Di camp biasa kedatangan sanak family atau pendatang baru yang sesuku dengan karyawan tetap pembinaan maupun perencanaan. Orang-orang itu datang dan kemudian ditampung untuk dimasukan kegiatan survey.
            Orang-orang baru tersebut biasanya sudah berlatar belakang berbagai pekerjaan sebelum masuk camp.
            “Aku pernah bekerja di Natuna dalam pengeboran minyak, sempat juga masuk Serawak di perkebunan sawit tanpa ijin.” Ia bercerita tentang pengalamannya. Ceritanya begitu meyakinkan terutama pada Surip disela senggang waktu. “Tapi kamu diam saja ya, cuma kamu saja yang kuberitahu.” Imbuhnya lagi ditujukan kepada Surip.
            Segera saja perhatian penghuni camp tertuju pada cerita-cerita Harahap. Surip jadi ingat dengan Agus Lenong, bukankah Agus Lenong bermarga Harahap? Marga tersebut dari Batak beragama Islam. Agus Lenong orangnya supel dalam bergaul, banyak disukai pimpinan karena bisa dipercaya.
            Itulah bedanya dengan Harahap yang dihadapinya sekarang, hanya cerita petualangannya saja yang menarik. Surip agak jengkel sebenarrnya bila ngobrol atau bermain tenis meja dengan Harahap. Orangnya terlalu menggurui,
            “Ayo Rip aku jadi pelatihmu. Ini bola dari aku coba smesh!” Perintahnya benar-benar seperti pelatih profesional. Padahal saat berhadapan dengan beberapa orang lain di camp ia sering kalah.
            Surip masih baru di bidang olah raga tenis meja, semuanya memandang rendah kemampuannya. Di sinilah Surip juga mulai berinteraksi dengan Marlan yang memang jagonya. Uiih jika Surip coba bermain dengan Marlan ia cuma dihajar total tak pernah permainannya bisa berkembang.
            “Tenis meja saja tidak bisa apalagi kamu menantangku berkelahi!” Tinggi sekali nadanya bila bicara tentang berkelahi. “Biar Surip berlatih bela diri apapun tetap saja ia tak mampu menghadapiku!” Jika sudah urusan yang satu ini mengalirlah cerita dari mulutnya tentang keanggotaannya di sebuah perguruan Pencak Silat Nasional walaupun sudah lama tak diikutinya lagi (ini nostalgia Marlan saat sekolahnya di sebuah SMA di Palangkaraya).
            Tapi kalau bermain tenis meja dengan Wahab ia berkomentar,
            “Wah Rip permainanmu kayak kunthow saja. Ini di camp bukan di hutan!” Tentu saja Wahab tahu keadaan Surip. Yang susah itu ternyata gaya Pencak Silatnya terbawa dalam permainan lain. Surip tak bisa berbuat apa-apa. Diakuinya dalam bidang olah raga hanya Pencak Silatlah yang menyatu dengan dirinya. Dasar-dasar jurus membuat permainan lainnya kurang dikuasainya alias sangat minim pengalaman.
            Tertatih-tatih Surip menyesuaikan diri dengan dinamika kegiatan camp. Begitu banyak bagian hidupnya ternyata tertinggal dibandingkan teman-temannya. Tetapi ada satu peningkatan karier di perusahaan. Ia kini mulai membawa regu kegiatan.
            Irama hidup di camp selalu bertumpu pada kegiatan pembinaan dan perencanaan. Pondasi yang sebenarnya mati hidupnya perusahaan adalah dari produksi kayu. Setiap tahun ada rencana karya tahunan (RKT). Yang dimaksud adalah blok tebangan setiap tahunnya oleh bagian produksi.
            Kegiatan perencanaan masuk dulu untuk pembukaan wilayah dan cruising (Penghitungan kayu produksi). Setelah itu bagian produksi menebang dan barulah areal bekas tebangan menjadi bagian pembinaan. Oleh  karenanya anggarannya selalu menyesuaikan dengan hasil produksi tahun penebangan.
            “Bagian pembinaan itu anggap saja konservasinya hutan, jadi kegiatannya pemulihan lahan pasca penebangan termasuk anggarannya (sesuai RKT).” Seorang Asisten  pernah menerangkan hal tersebut.
            Kesibukan masuk kegiatan survey terus berjalan. Harapan mendulang pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seluruh masalah di camp menyesuaikan dengan kegiatan bulanan ini. Jadi upah hanya setiap bulan sekali, berarti untuk keperluan lain di camp orang biasa berhutang. Akhir bulan tinggal potong upah masuk hutan.
            Surip punya kesibukan sendiri, hanya kegiatan sampingan tapi cukup menguras tenaga dan pikirannya.
            “Banyak sekali hal yang menggelisahkanku. Mungkin ini yang disebut trauma masa lalu. Aku hanya bisa melarikannya dengan menggerakan badan sampai berkeringat agar berkurang.” Surip berkata sendiri, ia sebenarnya  orang  yang hidup sederhana bahkan cenderung gembel. Dirasakannya bidang-bidang hidupnya tidak realistis.
            “Latihan jurus ini sebenarnya tak sesuai dengan kondisi masyarakat. Tapi ternyata aku memilihnya, konsekuensinya aku menjadi orang aneh nantinya di masyarakat umum.” Katanya sendiri dalam hati.
            Sekarang ia membawa regu kegiatan pembebasan meneruskan kegiatan Junaedi. Junaedi sendiri dicoba di kegiatan lain yaitu perapihan. Sebagian anak buah Junaedi ikut dirinya seperti Wahab dan Ugi ditambah orang Dayak dan seorang Batak Harahap.
            Lokasi kegiatan bekas kegiatan perapihaan sehingga Surip tak perlu membuat tapal batas. Blok-blok pembebasan sudah terbentuk saat perapihan. Sebenarnya sebelum penebangan batas blok adalah yang paling bagusnya karena belum rusak. Memasuki tahap pembinaan bekas-bekas tebangan yang terbuka banyak yang sudah ditumbuhi semak belukar dan paku-pakuan.
            Berbeda dengan perapihan yang menebas semak belukar tanpa pandang bulu maka pembebasan selektif memilih tegakan yang tidak kena tebang. Tempat kerjanya masuk naungan-naungan yang aman dari bekas tebangan yang sudah terbuka.
            “Gi dimana si Harahap kok tidak bersama menebas?” Surip bertanya kepada Ugi yang bertugas menebas areal tegakan yang telah di data.
            “Kadak kawa jalan Lek, manggah nafasnya. Terpaksa kutinggal karena lambat.” Ugi memberitahu.
            “Biarlah namanya orang baru pasti belum terbiasa.” Surip berkata maklum. “Biarlah kita beristirahat dulu di batas ini. Setelah itu masuk jalur sebelahnya mendata.” Katanya memutuskan kebijaksanaan.
            Tertatih-tatih Harahap mendatangi teman-temannya yang sudah lebih dulu sampai di batas petak. Orang-orang mulai tahu Harahap sebenarnya masih hijau di lapangan. Sebagian besar cerita petualangannya tidak terbukti  di group pembebasan ini.
            “Mana lebih uyuh ikam di hutan dari pada di kebun sawit Lek?” Wahab bertanya mendikte.
            “Aku haus Lek, minta airnyalah.” Harahap tak mampu menjawab, menahan diri segera minta termos air yang dibawa salah satu rekannya. Tak kuat rupanya berjalan kaki di hutan. Setelah itu berkata, “Aku kadak tahan berjalan, tak cocok di kegiatan ini.” Lanjutnya lagi dengan berbagai keluh kesah.
          Hilang sudah cerita-cerita petualangan yang pernah dihadapinya sehingga orang camp menganggapnya hebat. Saat belum masuk hutan ia sudah sesumbar biasa survey di medan manapun.
            “Sudahlah ayo kita ke jalur selanjutnya, lebih uyuh (capai) lagi kita kalau hanya duduk berkeluh kesah.” Surip sebal juga dengan watak Harahap. Jelas orang lebih patuh pada Surip yang menjadi mandor mereka dari pada mengurusi seorang Harahap yang buncit perutnya itu.
            Lain di lapangan lain juga di pondok kerja. Di sanalah Harahap ngobrol berbagai petualangannya.
            “Aku main dengan lonte di Kurun selalu gratis Lek. Bebiniannya mengakui kehebatanku main di ranjang.” Kalau urusan ini orang-orang hanya jadi pendengar, soalnya biarpun orang-orang  survey lelaki menyukai perempuan tetapi untuk main dengan lonte tak semua hobi.
            “Surip ini duitnya banyak tapi tak pernah melonte, ayo Rip sekali-sekali kuajak masuk tempat karaoke.” Wah Surip sering dijadikan sasaran gurauannya. “Kaena kuajari ikam berbagai gaya besakih (kawin).” Lagunya bila dengan Surip selalu menggurui.
            Sebulan yang lalu sebagian anggota pembebasan sudah tahu bila Surip punya kegiatan tersendiri. Karena itulah sekarang ia berlatih tidak perlu terlalu jauh dari pondok kerja. Pilihannya jatuh pada tempat datar di tepi sungai, tanahnya padat berpasir mungkin bila hujan akan tergenang air. Yang pasti pilihannya pada tempat tersebut karena  di bawah naungan pohon-pohon besar jadi nyaman di badan.
            “Zzzk  Zzzk!” Nafas Surip tersengal-sengal saat melakukan salah satu jurus hafalannya.
            Sebuah kenyataan pahit berlatih Pencak Silat tenyata tidak menambah kesaktian. Tidak seperti cerita-cerita komik yang selalu dibumbui dengan tambahan tenaga dalam atau ajian tertentu.
            Ternyata Pencak Silat hanya menghayati jurus. Kaidah-kaidahnya yang dilatih. Jurus Pencak Silat mengandung berbagai unsur gerakan tari. Berbagai kuda-kuda, tapak (langkah), teknik memukul, teknik menendang, teknik kuncian yang semuanya menjadi strategi bela diri. Ada tambahannya yaitu hitungan atau irama atau gaya. Setiap penghayat Pencak Silat akan menemukan gayanya sendiri sesuai watak pribadinya.
            Hitungan, irama dan gaya inilah yang sering menjadi Pencak alias seni tari yang mengandung taknik bela diri. Silatnya sendiri berarti rangkaian (asal kata assholatu dari islam, tapi entah mana yang benar terserah pembaca).
            Tapi ada juga yang mengaitkan Silat sebagai teknik bela diri untuk membunuh atau mematikan lawan. Jadi akan timbul berbagai penafsiran terhadap Pencak Silat. Definisinya bisa meluas sesuai dengan tipe guru pelatihnya.
            Satu jurus selesai, Surip membungkukan tubuh untuk beradaptasi. Gerakan jurus menguras tenaga dan memacu jantungnya bekerja keras mendadak. Kemajuannya Surip sekarang tidak lagi mengalami mual di perut atau pening di kepala. Berarti staminanya tergenjot, tubuh sudah terbiasa dengan latihan-latihan yang berat.
            “Terkadang aku berlatih justru sangat bodoh. Semuanya ini hanya menyiksa diri sendiri.” Ujar Surip dalam hati.
            Beberapa pasang mata diketahuinya menonton acara latihannya.
            “Mereka itu penasaran dengan apa yang kukerjakan, yah mau apa lagi, semuanya tak lazim di masyarakat umum. Tapi dulu saat masih kecil aku tertarik dengan Pencak Silat ya gara-gara ngintip orang berlatih.” Surip berkata sendiri membiarkan anak-anak buahnya menonton dengan berbagai cara.
            Ada yang pura-pura berjalan menuju sungai untuk pasang bubu ada juga yang pura-pura mencuci pakaian atau mandi. Ditonton tidak apa-apa tetapi dari raut muka ejekan dan  mentertawakan terlihat ditujukan kepada Surip (Itu perkiraan Surip).
            Bagi mereka Surip itu tokoh yang aneh dan lucu. Sering jika sudah berada di pondok dan berebah di palbet orang-orang seperti Ugi atau Wahab berlagak dengan meniru-niru latihannya.
            “Ciaaat Haiiit!” Ditambah lagi dengan teriakan ala jagoan kungfu.
            Yang lagi ramai saat itu serial Wiro Sableng di televisi. Tokoh Wiro Sableng itulah yang jadi rujukannya, makanya beberapa diantaranya pasang ikat kepala ala Wiro Sableng.
            Surip tak mampu menghalang-halangi peniru seperti itu. Mereka tidak masuk bagian dari journal latihan yang dipraktekannya.
            “Journal latihan?” 
             Surip mencoba memahami suatu kegiatan rutin yang diharapkan menghasilkan tujuan tertentu.
            “Apa hasil latihan ini?” Lagi Surip bertanya pada dirinya sendiri.
            Berbagai latihan sudah dilaksanakan tentunya aneh jika tidak menghasilkan semacam penemuan atau apalah pokoknya semacam kekayaan intelektual. Hal ini sama saja seperti orang membatik, menenun atau mengukir. Hasil-hasil kerajinan tangan mereka langsung bisa dinikmati.
            “Batik dan ukiran itu menghasilkan motif, latihan jurus harus juga mendapatkan buah tangan seperti itu.” Surip berkata sendiri berpikir keras.
            Dicobanya berkali-kali melakukan jurus dan kembangan untuk merasakan rahasia Pencak  Silat.
            “Huh bela diri semacam ini hanya akan membunuh orang Rip!” seseorang berkata keras, logatnya langsung ketahuan itu orang Batak. Kali ini Harahap yang mencoba menonton aksi latihannya.
          “Bagaimana kamu bisa berpendapat seperti itu?” Surip bertanya, beberapa gerakan yang dilakukannya terhenti.
            “Bela diri yang kamu latih itu keras, masih lembut Yudo yang hanya mengunci lawan.” Katanya seperti sudah ahlinya bela diri.
            “Wah berarti kamu bisa Yudo, tentunya menarik sekali bila berlatih bersama.” Surip mencoba mengajak.
            Gelagapan Harahap, tak dinyana Surip malah mencoba kemampuannya.
            “Iya Harahap ini lebih sering bepandir, coba tandingi Surip berlatih Lek.” Wahab yang tadinya berada di pondok kerja segera mendekat dan menyela pembicaraan. Bagaimana pun sebuah latihan selalu membuat penasaran orang. Hanya perasaan sungkan di hati sehingga orang-orang menahan diri.
            Harahap kebingungan didesak orang-orang sekitarnya karena terlanjur sesumbar kemampuannya. Surip dan orang-orang sepondok kerja tahu Harahap sebenarnya lebih sering membual.
            “He He He ketahuan ngeramputnya ikam itu.” Ugi mengejek Harahap.
            “Bah sialan kalian! Besok akan kutandingi Surip berlatih!” Melengking suara Harahap tertantang. Seharian itu orangnya uring-uringan, ada yang dipikirkan olehnya rupanya, sesuatu yang serius.
            Esoknya sehabis kerja survey pembebasan Harahap pergi entah kemana. Sorenya baru ketahuan ada oleh-oleh yang dibawanya, segulung karet ban dalam mobil.
            “Aku bisa tinju setiap hari nanti berlatih. Memangnya Surip saja yang bisa bela diri.” Kata-katanya keluar sambil mengisi karet ban dalam dengan tanah dan pasir. Setelah diikat dicobanya digantung di sebuah dahan pohon yang rendah. Merasa kesulitan mengerjakannya sendiri dimintanya seseorang membantu. Oi… Jadilah  sebuah sansak berlatih pukulan.
            Maka di kegiatan pembebasan sekarang ada dua kubu yang berbeda jenis latihannya.
            Buk! Buk! Terdengar sansak berbunyi mendapat ayunan pukulan Harahap. Gayanya bergerak meniru petinju.
            “Ini jab, hook dan straight!” Tambah lagi pergerakannya melakukan teknik-teknik  tinju.
            Surip  sesekali ikut menonton Harahap berlatih.
            “Coba kamu berlatih pukulan Rip, kamu itu banyak sekali kekurangannya saat berlatih.” Sekarang ia tambah sok gayanya seolah menjadi pakar dengan menggurui Surip.
            Mau apa lagi, Harahap tertantang karena Surip berlatih Pencak Silat. Gengsinya tak mau dijatuhkan, ia selalu berusaha berada di atas Surip. Walaupun tahu Surip itu mandornya dan juga memiliki ketrampilan lain.
            “Aku coba latihan dengan sansak ya.” Surip akhirnya merendah. Dari pada adu gengsi lebih baik coba bergabung, tak ada salahnya mengikuti Harahap berlatih.
            Surip sendiri mengakui berlatih Pencak Silat dari sejak SD sampai sekarang juga belum pernah melatih pukulan dengan sansak. Selama ini ia berlatih hanya memukul angin.
            Buk! Sekali dipukulnya. Benturan itu menyakitkan kepalan tangannya. Beberapa kali dilakukannya, memar-memar jari tangannya. Ia tak bisa memaksa lagi, cukup sampai di situ saja.
            “Lihat aku berlatih dengan sansak sampai tanganku berdarah. Ayo lebih keras Rip!” Harahap dengan gayanya terus menggurui Surip.
            “Silahkan diteruskan Lek, nanti aku coba lagi ya.” Surip tak mau mengikuti gaya latihan Harahap. Cara-cara Harahap berlatih itu konyol, melukai diri sendiri. Begitu juga dengan latihan tinju, ia hanya meniru bertinju.
            Harahap bukan petinju, ia berlatih hanya karena adu gengsi. Apa lagi tambahan-taambahan latihannya makin membuat Surip dan teman-temannya tertawa geli. Push up hanya dengan tangan terkepal makin membuat kulit jarinya terkelupas. Tambah sakit tangannya, untuk itu hari-hari selanjutnya ditutupinya dengan sarung tangan. Beberapa hari kemudian tangannya menebal bekas luka tapi tetap ngotot dengan anggapan itu sebagai kulit menambah kuat pukulannya.
            Surip sendiri juga rutin berlatih memukul dengan sansak. Cukup sampai memar-memar jari tangannya. Ia malah menambah dengan porsi latihan menebas tangan kosong seperti karate. Sasarannya batang pohon di dekat pondok kerja.
            Makin gelilah orang-orang sepondok kerja menyaksikan ketololan Surip. Ternyata Surip yang tolol itu diikuti Harahap yang tak mau kalah gengsi. Harahap tak tahu betapa orang-orang mentertawakannya karena cara-cara berlatihnya bukan petinju beneran. Ia hanya seorang peniru.
            Selang dua hari Harahap berlatih tinju, Ugi berlagak jagoan dengan memainkan sebilah anggar. Ugi tampil bergaya Zorro, tangannya mengayun-ayunkan anggar menusuk dada lawan.
            “Hait! Hiat!” sebilah anggar dari batang kayu meliti atau gading yang gagangnya dilingkari tutup bekas sabun cuci wings, bak atlet anggar bertarung.
            Tekniknya entah benar atau salah, Surip sendiri buta tentang permainan anggar.
            “Orang-orang pada berlatih aku juga umpat nah!” Ugi terus bergaya.  Saat Surip berlatih ia sengaja  berada di depannya memainkan anggar bertarung.
            “Suduk ikam nah aku menang!” Hanya bohong-bohongan saja Ugi ini. Mana bisa ia bermain anggar, ia hanya tak mau kalah karena orang lain berlatih serius.
            Hari-hari di pondok kerja hanya itu saja kegiatan orang-orang survey setelah masuk hutan.
            “Orang-orang ini sebenarnya terbawa pengaruh olehku yang berlatih serius bela diri Pencak Silat. Mereka menutup-nutupi diri mereka dengan ketrampilan lain supaya tidak kalah gengsi.” Surip berujar sendiri dalam hati.
            Saat-saat berlatih sendirian Surip justru berpikir keras.
            “Saat kecil aku juga senang bermain anggar dengan teman-teman sebayaku di desa. Begitu juga main tembak-tembakan dengan pistol air maupun sumpit.” Pikiran-pikiran masa kanak-kanaknya timbul.
            “Ah aku ingat ada permainan jenis tarung saat masih kecil. Justru itu mirip Pencak Silat.” Terus ia berpikir keras. “Itu bisa menjadi semacam jenis tarung.” Ah kena juga idenya.
                                                                    ***
            “Ayoh kita bagi dua kelompok permainan. Masing-masing satu lawan satu. Yang mati mundur yang menang lawan dengan yang menang sampai tinggal satu kelompok dianggap sebagai pemenangnya!” Surip ingat masa-masa kecilnya di desa.
            Kedua tangannya bergerak memperagakan pemainan tersebut.
            “Ini seperti jurus colok saja, jari-jari tanganku efektif beraksi.” Itu kesimpulan Surip.
         “Ini dia tarung Etang, namanya sesuaikan saja dengan permainan masa kecilku itu.” Surip kini menemukan, inilah salah satu hasil latihannya.
            “Biarpun bukan penemu tetapi permainan ini masuk kategori bela diri. Inilah bagian Al-Jurus versiku sendiri!” Teriaknya girang dalam hati.
            Permainan ini hanya menggunakan kedua tangan. Jika salah satu tangan mengenai bagian tubuh lawan yang diincar dianggap menang. Untuk lawan yang terkena biasanya diteriaki mati. Sasaran hanya dibenarkan di bagian kepala dan kaki dari paha ke bawah. Cukup menyentuhnya tanpa benturan keras. Kedua tangan berhadapan boleh saling tangkis menangkis mencoba mencari celah kelengahan lawan.
            “Etang itu permainan anak kecil, kulihat sekarang tak ada lagi anak-anak memainkannya.” Surip tertawa geli saat mencoba menggerakan tangan seperti jurus colok.
            “Sasaran jurus colok itu mata, Etang tidak mencari sasaran mata, cukup menyentuh bagian kepala dan kaki menjadi poin.” Terus Surip mencoba mengolah hasil temuannya.
            Permainan Etang membutuhkan kejelian daan kewaspadaan tinggi. Bagian kepala dan kaki akan terus diincar lawan. Jadi menyerang ataupun bertahan tetap bisa kebobolan.
            “Tidak diperlukan kuda-kuda atau langkah yang rumit seperti Pencak Silat. Paling maju atau mundur, unsur hiburannya lebih banyak. Tekniknya sederhana saja hanya menggunakan kedua tangan seperti tinju tapi tak akan pernah ada adu jotos.” Surip memperagakan permainan Etang, terasa akan banyak sekali variasi gerakan. Paling banyak kedua tangan akan saling bersentuhan mencoba mencari celah atau menghindar dari serangan dengan cara mundur ke belakang.
            Yang jelas kedua petarung akan selalu berhadapan. Mungkin tipuan bisa dijalankan, tetapi itu masuk salah satu strategi. Paling banyak berupa gerak pancingan atau coba-coba, salah benar resikonya kebobolan serangan lawan.
            “Permainan anggar itu cukup menusuk dada lawan. Etang justru tidak mencari sasaran di badan tetapi bagian kepala dan kaki. Jadi variasi gerakan serangan adalah bagian atas dan bawah  tubuh.” Terus Surip mencoba kemahirannya bermain tarung Etang.
            Antara tinju dan anggar itulah Etang. Senjatanya tangan kosong cukup mengenai bidang sasaran sudah jadi nilai. Kedua kaki sama seperti dalam tinju dan anggar hanya sebagai penyeimbang tubuh. Tarung Etang jauh dari sifat kekerasan. Kedua petarung tak akan pernah terluka. Mungkin yang diwaspadai adalah bila tangan lawan mengenai mata, hanya itu saja resikonya.
            “Jika kena mata justru bisa dianggap pelanggaran.” Surip makin semangat dengan penemuan barunya.
            “Sayang tekniknya masih mentah, tak ada ajang uji coba bertanding.” Meringis Surip mendapati temuannya itu hanya untuk dirinya sendiri.
            “Bagaimana system pertandingannya?” Nah Surip menambah lagi permasalahan dari tarung Etang.
            Di dalam hutan di tepi sungai dan tanah lapang bekas gerusan air Surip berlatih Pencak Silat. Di bumi Kalimantan inilah bakat terpendamnya dicoba dikeluarkan. Di dalam bela diri Pencak Silat juga terdapat nomor Tarung, nomor Jurus atau nomor Seni. Masing-masing dari pertandingan itu ada kejuaraannya.
            “Ini adalah pendalaman dari Al-Jurus, persoalan sesuai atau tidak dengan aturan IPSI itu hal lain.” Surip berkata sendiri dengan gagah bak batu karang.
            Dari sinilah Surip bertekad untuk mendapatkan terus materi dari lingkungan di alam perantauan. Siapa yang berada di dalam hutan untuk bertahun-tahun lamanya ia akan merasakan kejenuhan. Jika tidak ada pelepasan dengan kegiatan-kegiatan seperti yang Surip lakukan jiwa menjadi paranoid, takut terhadap perubahan dan lingkungan baru yang asing.
            “Kenapa berhenti Rip, tak ada lagi teknik latihan rutin yang ikam latih?” Wahab yang lewat duduk menonton bertanya. Rutinitas Surip berlatih membuatnya hafal juga beberapa bagian yang dilatih. Wahab pernah mencobanya tetapi hanya satu dua kali saja. Kendala orang-orang sepeti Wahab adalah kegiatan yang Surip lakukan itu hanya sia-sia belaka bahkan menyiksa diri. Sekali ada komentar dari mulut Wahab,
            “Berlatih Pencak Silat itu menolak rejeki yang datang. Bagiamana kadak lari rejeki kalau berlatih selalu menangkis dan menghindar. He He He makanya orang-orang seperti Surip tak mungkin kaya selamanya.” Katanya dengan gerak-gerak tangkisan meniru Surip tapi juga mengandung ejekan jika itu akan mendatangkan semacam takhayul menolak rejeki. Nadanya lebih banyak mengejek Surip yang berlatih sebagai hal mubazir.
            Surip sendiri tak mampu menanggapi komentar-komentar yang dilakukan teman-temannya di kegiatan survey. Ia sekarrang justru tertantang untuk mendapatkan bukti bahwa apa-apa yang dilatihnya bukan hal yang sia-sia.
            “Seharusnya setiap orang-orang yang berlatih Pencak Silat bisa menjadikan bukti latihannya dalam bentuk karya tulis.” Hanya dalam batin saja kata-kata itu keluar.
            Di pondok kerja justru Surip mencoba memikirkan tarung Etang dan kemungkinan mengembangkannya. Pekerjaan survey tetap rutin menyesuaikan dengan aturan perusahaan. Setiap orang membutuhkannya, apapun akan dilakukan untuk memenuhi hajat hidup.
            Ada Harahap yang masih melanjutkan latihan tinju dengan sansak yang dibuat olehnya sendiri.
            “Kamu harus rajin latihan pukulan  Rip, lihat dengan cara seperti ini sepuluh ronde lawan kelas berat pun aku mampu.” Jumawa sekali kata-kata Harahap.
            Surip sendiri sering geleng-geleng kepala, bila melihat dari badan Harahap itu cukup bagus untuk menjadi petinju. Tapi bila benar ia petinju tentu sudah dari dulu ia berlatih. Apa yang dikatakannya lebih sering membual untuk mendapatkan perhatian.
            Tak apa Surip sekarang jadi rajin juga berlatih pukulan dengan sansak. Lumayan ada perbedaannya dengan berlatih pukulan kosong, sensasinya lebih pada terbiasanya kepalan tangan membentur benda keras.
            “Lebih baik aku mengembangkan hasil pikiranku dari pada melayani bualan Harahap ini.” Maka ia pun tak pusing lagi biarpun terkadang Harahap begitu sok mengguruinya.
            “Apakah tarung Etang memerlukan ronde dalam setiap pertarungannya?” Surip bertanya pada dirinya sendiri.
            Sungguh sangat berbeda Etang dengan Tinju. Tidak ada unsur kekerasan dalam tarung Etang. Tidak akan pernah ditemui seseorang knock out karena tarung Etang. Paling-paling mata terkena tangan itupun bisa dianggap pelanggaran.
            “Sistem tarung Etang lebih pada berapa kali serangan tangan masuk ke sasaran dan itu bisa jadi nilai atau poin.” Surip mulai menyusun aturan Etang. Diolahnya beberapa cara penilaian.
            “Setiap serangan masuk nilainya satu. Siapa paling dulu seorang petarung mencapai nilai sepuluh ia dianggap pemenangnya.” Terbuka terus jalannya saat berpikir.
            “Setiap kali satu serangan masuk, wasit menunjuk seorang sebagai pemenangnya untuk pengumpulan poin bagi petarung yang berhasil. Barulah setelah itu dimulai lagi untuk masing-masing mendapatkan poin. Begitu seterusnya sampai salah satu mencapai nilai sepuluh sebagai pemenang pertarungan.” Uh Surip mencoba detil dalam imaginasi tarung Etang.
            Tambahannya pun bisa dilogikan,
            “Bila kedua petarung sama-sama berhasil memasukan serangan, wasitlah penentu siapa yang paling dulu memasukan tangan ke sasaran lawan. Petarung yang berhasil lebih dulu memasukan mendapatkan poin.”
            Kelanjutannya,
            “Ronde diperlukan hanya untuk memberi kesempatan petarung istirahat dan mengatur strategi. Berapa banyak ronde diperlukan tak terlalu disepakati. Penting siapa lebih dulu petarung mencapai nilai sepuluh ia dianggap pemenang. Satu ronde pun cukup bila kedua petarung sudah ada yang mencapai nilai sepuluh sebagai contoh tersebut.”
            “Lebih tepat system tarung Etang adalah kompetisi. Jadi jika ada dalam even pertandingan terdapat sepuluh petarung. Masing-masing mendapat kesempatan menghadapi lawan masing-masing sembilan kali. Dengan demikian akan didapat peringkat satu sampai sepuluh setiap even pertandingan.”
            Mungkinkah bisa diterapkan?
            Surip tak tahu, lebih penting jalan pikirannya tetap tersalur.
            “Tidak penting tarung Etang ini diakui atau tidak oleh IPSI atau perguruan. Yang penting inilah Al-Jurus versiku sendiri.” Katanya bangga dalam hati.
            Bukankah dengan demikian Al-Jurus itu menjadi miliknya? Apa-apa yang ditemukan Surip diakui atau tidak masuk kategori hak kekayaan intelektual biarpun masih mentah.
            “Jika tarung Etang dipraktekan di lapangan akan banyak sekali terjadi perubahan aturan menyesuaikan dengan system pertandingan.” Itulah kesimpulan Surip.
            Surip berpikir demikian karena tarung Etang masih dalam khayalannya. Praktek yang sebenarnya dilatihnya adalah jurus itupun terbatas hafalan saja. Tapi dari hafalan jurus ia bisa mengembangkannya kejenis tarung yang masuk kategori bela diri, baginya itu sudah sangat bersyukur. Tak sia-sia ia berlatih di tengah-tengah rimba belantara Kalimantan.
            Kegiatan survey berakhir, justru bulan kedua Surip kembali membawa regu pembebasan di lokasi yang sama. Harahap yang sebelumnya menjadi anak buahnya ternyata pindah bagian. Ia mencoba peruntungannya menjadi sopir mobil rimbawan.
            Bulan kedua ini Surip leluasa berlatih pukulan dengan sansak tinggalan Harahap. Latihannya jadi bervariasi dari hafalan jurus yang tetap menjadi wajib kemudian dengan tambahan hasil pikirannya berupa tarung Etang. Dicobanya latihan pukulan dengan sansak bisa memperkuat daya pukul.
            Bulan kedua ini anak buahnya tak ada lagi satupun yang ikut-ikutan berlatih ataupun meniru. Tak ada juga yang menandinginya seperti Harahap atau Ugi dengan permainan anggarnya yang hanya tak mau kalah gengsi.
            Berarti anak-anak buahnya mengakui keunggulan dirinya?
            Minggu ketiga sehabis berlatih jurus di tempat biasanya Surip kembali ke pondok kerja. Dilihatnya  sansak dari ban karet dalam mobil tersebut sudah dihancurkan anak buahnya.
            “Wah siapa yang merusak sansak itu?” Surip bertanya heran.
            Tapi pandangan orang-orang yang sekarang menjadi anak buahnya itu sudah aneh terhadapnya. Mereka memandang dirinya dengan pandangan tak senang. Surip batal bertanya hal-hal selanjutnya, ia menyadari anak-anak buahnya yang dari orang-orang lokal itu terancam harga dirinya.
            Mereka tak mampu menandingi dirinya baik itu dalam teknik maupun teori kecuali hanya bergaya saja. Harga diri kesukuannya menolak, yang jadi sasaran itulah sansak sebagai peringatan terhadap Surip.
            Surip yang harus maklum!

***
Tujuan Penulis adalah mengayakan jenis Tarung sesuai kaidah Bela diri Pencak Silat. Tarung Etang bisa menjadi nomor tersendiri sebagai ajang mendulang prestasi para Atlet dan Penghayat bela diri asli Indonesia tercinta ini.  
Anggap saja ini ciptaan Penulis, jadilah tulisan ini sebagai Hak Cipta




No comments:

Post a Comment