Seluruh pertandingan nomor Tarung merujuk pada aturan IPSI dan aturan pertandingan internasional yang diakui badan dunia. Hal tersebut sudah tak perlu diubah, tinggal mengikuti untuk mendulang prestasi baik tingkat nasional maupun internasional.
Tetapi masih banyak kemungkinan jenis Tarung diterapkan sebagai hasil karya Tak Benda seseorang. Ini salah satu gagasan yang masih mentah bersumber dari jurus-jurus Pencak Silat. Gagasan ini dicoba terapkan untuk Pengayaan jenis Tarung.
Gagasan ini didasari karena masih banyaknya potensi yang bisa digali dari jurus-jurus Pencak Silat yang ada di Nusantara. Sebuah kekayaan yang tersembunyi tersebut dicoba dipaparkan dalam bentuk tulisan Blog ini. Dalam hal ini sebenarnya adalah pengalaman dari Penulis sendiri.
Penulis menamakannya Tarung ETANG.
Idenya berasal dari permainan masa kecil Penulis. Permainan ini dinamakan ETANG, tanpa tahu asal-usul bahasa dan berasal dari daerah mana. Penulis tak mendapati permainan ini dilakukan anak-anak sekarang. Jadi bisa dianggap punah sebagaimana jenis permainan ketangkasan lain.
Tentu Pembaca yang lahir tahun tujuhpuluhan masih ingat permainan ketangkasan seperti Petak Umpet, Tembak-menembak ala Cowboy, Gobag Sodor, Barlen dll. Salah satunya yang berkesan bagi Penulis adalah permainan Etang.
Permainan Etang dilakukan sejak Balita sampai lulus sekolah dasar. Setelah masuk jenjang sekolah menengah permainan ini seperti hilang dari peredaran. Permainan ini dilakukan dua orang saling berhadapan. Setelah saling berhadapan kemuudian saling menyerang untuk menyentuhkan tangan ke arah kepala dan kaki sebagai sasaran.
Jika salah satu sasaran terkena atau tersentuh tangan sang lawan dinyatakan MATI. Jadi permainan tidak terlalu memakan waktu, satu orang dinyatakan mati orang lain bisa jadi penantang. Jadi bila terdapat lima anak bermain Etang, semuanya akan bergiliran mendapat lawan. Pemenang ditentukan sebagai seseorang yang tidak MATI sampai empat kali bermain dari penantang yang ada.
Demikian keterangan sederhana dari permainan ini seingat Penulis. Penulis melihat permainan Etang ini memiliki kriteria TARUNG, karenanya menjadikan namanya sebagai judul karya Tulis ini.
Apa hubungannya permainan Etang dengan jurus Pencak Silat?
Ini memang subyektifitas Penulis, dalam jurus yang dilatih terdapat jurus COLOK yang menggunakan tangan dan jari sebagai serangan. Jurus inilah yang dicoba kembangkan sebagai Tarung dengan terapan permainan Etang. Karenanya namanya adalah TARUNG ETANG.
Ini jurus COLOK yang dilatih Penulis
JURUS COLOK
-Lakukan pembukaan jurus. Posisi tangan dengan jari mencolok.
-Lepaskan pukulan dengan jari mencolok ke muka lawan. Pakailah jari telunjuk dan tengah dengan tangan kanan.
-Gerakan tangan kiri menyilang lengan kanan, memancing mengincar mata lawan, menangkis ke samping kiri. Lepaskan sekali lagi pukulan jari mencolok mata lawan dengan tangan kanan.
-Gerakan tangan kiri menyilang lengan kanan tetap mencolok mata lawan dan kaki kiri maju mengiringi gerakan tangan kiri.
-Gerakan kaki kanan maju ke depan dan sikutlah dengan tangan kanan. Pukullah dengan jari tetap mencolok mata lawan.
-Usahakan seluruh gerakan dengan posisi menyerong ke kanan.
-Ayunkan tangan kanan ke bawah dan tangan kiri ke atas.
-Loncat ke belakang dan langsung kuda-kuda bangku (rendah) sambil melepaskan pukulan dengan kedua tangan mencolok mata lawan.
-Geser kaki kanan ke depan diiringi dengan gerakan tangan mengincar mata lawan. Usahakan posisi menyerong ke kanan.
-Lakukan gerakan mengincar mata lawan ini 3x sambil bergeser maju selangkah-langkah. Posisi kuda-kuda kanan tetap di depan.
-Lakukan teknik kelit, tendang dengan kaki kiri ke depan.
-Sepak kaki kanan ke depan dan barengi dengan pukulan jari kanan mencolok mata lawan.
-Lakukan pasangan pembukaan jurus.
-Gerakan selanjutnya sama dengan gerakan jurus kesatu
Sedangkan gagasan tentang TARUNG ETANG sudah tertulis dalam draft Novel karya Penulis,
Tarung Etang
Sore
hari di camp rimbawan km 4. Suara besi dipukul menjadi pertanda pekerjaan
berakhir. Waktunya kegiatan selingan penghuni camp. Ramailah suasana camp,
beberapa lapangan yang tersedia digunakan berolah raga.
Paling banyak sepak bola, itu
dilakukan di lapangan mess atas. Kemudian bola volley di depan mess rumah
tangga dan tenis meja di samping lapangan volley.
Sebagian orang survey ikut berolah
raga, sebagian lagi menjadi penonton. Beberapa orang survey yang menonjol dalam
olah raga adalah Gundam. Ia paling aktif di bagian volley. Ada juga Marlan orang perencanaan, ia
tampaknya mahir di tenis meja dan sepak bola. Kalau Popom sekedar bisa segala
macam permainan tetapi gayanya sok pakar.
Nah yang terlihat tidak punya hobi
itu Surip. Ia sering hanya menjadi penonton. Sebenarnya banyak saja sih yang
tidak bisa berolah raga tetapi Surip terlalu banyak diperhatikan oleh orang
camp.
“Rip gantian aku main, aku harus
bantu si Mbok di dapur.” Pacar Popom orang camp bilang, namanya Yanti membujuk Surip yang cukup akrab
dengannya.
“Nggak ah aku nggak bisa main
volley.” Surip menolak. Tapi orang-orang sekitar terlanjur tahu kehadiran
Surip. Mereka justru menanti aksi lapangannya.
“Kamu di camp nggak pernah bermain
apapun. Heran aku, apa sih yang kamu bisa Rip?” Gundam yang merasa permainan
jadi berhenti gara-gara pergantian pemain juga bertanya.
“Surip ini hanya betah di hutan
saja. Di camp selalu sembunyi seperti banci.” Seorang lagi agak kurang ajar
bicara.
Surip tersudut, kelakuannya di camp
sudah diketahui banyak orang. Sementara pergantian pemain menjadi kesempatan
Popom untuk masuk.
“Rip jangan kalah dengan Popom. Yang
penting aktif saja tak ada kok orang di sini yang jadi atlet.” Gundam berkata
menasehati. Permainan kemudian berlanjut tanpa inisiatif apapun dari Surip.
“Huh goblok Surip!” Seseorang memaki
cukup keras, lagi-lagi itu Marlan yang sedang bermain tenis meja.
Panas hati Surip, serba salah
jadinya. Makian yang dikeluarkan Marlan itu seperti menantangnya. Hanya tak
mungkin ia melayaninya, saat itu orang-orang lebih asyik berolah raga yang
lebih berunsur hiburan.
Surip menyingkir menjauh dari
lapangan, benar-benar hidupnya sangat banyak kekurangannya. Pikirannya
ngelantur dengan berbagai perasaan bimbang.
“Bagaimana ini aku bisa tersisih
dari pergaulan jika terus menerus menutup diri.” Beberapa ingatannya masuk, ia
sekarang tahu dulu saat sekolah hobi utamanya cuma baca komik. Dan itu sulit
tersalur di camp ini. Olah raga sebatas mengikuti pelajaran di kelas.
“Ya aku harus mengambil satu bidang
olah raga di camp ini, paling tidak sebatas untuk pergaulan.” Tekadnya timbul.
Esoknya siang-siang ia survey untuk
bisa ikut kegiatan di camp.
“Ah ya itu tenis meja saja,
kelihatannya tidak terlalu memforsir tenaga.”
Segera didekatinya meja tenis yang
saat itu ada beberapa orang yang sedang bermain. Orang-orang survey bebas
bermain kapan saja di camp ini karena sudah tidak terlibat pekerjaan apapun.
Surip nekad bergabung saat seseorang kelelahan.
“Biar aku coba Lek.” Surip meminta
bad tenis meja.
“Ikau Rip, tumben umba tenis meja?”
Satpam yang digantikannya berkata sambil menyodorkan bad tenis meja. “Ikau
lawan Harahap Lek.” Ditunjuknya seseorang di bidang meja lain seorang yang
berperawakan gemuk.
“Bah Surip lawan mainku, biar
kuajari kaulah!” Logat Bataknya kental sekali.
Mulailah Surip bermain tenis meja,
wuah gerakannya kaku dan tekniknya salah.
“Memukulnya didorong Rip, jadi bola
bisa memantul!” Satpam yang tadi digantikannya memberi contoh.
“Ha Ha Ha lawan seperti Surip ini
biar berapa set pun pasti kalah melawanku.” Harahap berkata jumawa.
Beberapa kali bola pukulannya gagal
dibalas Surip, apa lagi biarpun kembalian bola Surip berhasil masuk meja bidang
Harahap tetap saja mudah dibuatnya trik. Beberapa kali smesh masuk tanpa bisa
diantisipasi Surip. Surip jadi bulan-bulanan permainan orang camp hari itu.
Hari pertama main tenis meja runtuh
mental Surip, rasanya hanya ejekan tak becus bermain mampir di telinganya. Juga
hari-hari berikutnya ia main sembunyi-sembunyi. Jika sore hari ia menyelinap
keluar camp jalan-jalan dan latihan jurus di tempat tersembunyi.
Sebenarnya itu hanya perasaan Surip
saja yang minder di camp, padahal teman-temannya di camp biarpun tahu Surip
pemain pemula tapi tanggapan mereka positif. Banyak saja orang yang lebih pasif
di camp, orang-orang ini tidak pernah terlihat olah raga apapun karena
kebanyakan kuat bicaranya saja alias hobi omong besar. Tapi paling tidak Surip
mulai mencoba beradaptasi di lingkungan camp. Ia tahu betapa banyak kekurangan
pada dirinya.
***
Harahap, nama itu jelas orang Batak,
Surip saat masuk hutan di pembebasan orangnya belum ada. Jadi ia adalah orang
baru di camp untuk bekerja ikut kegiatan survey. Di camp biasa kedatangan sanak
family atau pendatang baru yang sesuku dengan karyawan tetap pembinaan maupun perencanaan.
Orang-orang itu datang dan kemudian ditampung untuk dimasukan kegiatan survey.
Orang-orang baru tersebut biasanya
sudah berlatar belakang berbagai pekerjaan sebelum masuk camp.
“Aku pernah bekerja di Natuna dalam
pengeboran minyak, sempat juga masuk Serawak di perkebunan sawit tanpa ijin.”
Ia bercerita tentang pengalamannya. Ceritanya begitu meyakinkan terutama pada
Surip disela senggang waktu. “Tapi kamu diam saja ya, cuma kamu saja yang
kuberitahu.” Imbuhnya lagi ditujukan kepada Surip.
Segera saja perhatian penghuni camp
tertuju pada cerita-cerita Harahap. Surip jadi ingat dengan Agus Lenong,
bukankah Agus Lenong bermarga Harahap? Marga tersebut dari Batak beragama
Islam. Agus Lenong orangnya supel dalam bergaul, banyak disukai pimpinan karena
bisa dipercaya.
Itulah bedanya dengan Harahap yang
dihadapinya sekarang, hanya cerita petualangannya saja yang menarik. Surip agak
jengkel sebenarrnya bila ngobrol atau bermain tenis meja dengan Harahap.
Orangnya terlalu menggurui,
“Ayo Rip aku jadi pelatihmu. Ini
bola dari aku coba smesh!” Perintahnya benar-benar seperti pelatih profesional.
Padahal saat berhadapan dengan beberapa orang lain di camp ia sering kalah.
Surip masih baru di bidang olah raga
tenis meja, semuanya memandang rendah kemampuannya. Di sinilah Surip juga mulai
berinteraksi dengan Marlan yang memang jagonya. Uiih jika Surip coba bermain
dengan Marlan ia cuma dihajar total tak pernah permainannya bisa berkembang.
“Tenis meja saja tidak bisa apalagi
kamu menantangku berkelahi!” Tinggi sekali nadanya bila bicara tentang
berkelahi. “Biar Surip berlatih bela diri apapun tetap saja ia tak mampu
menghadapiku!” Jika sudah urusan yang satu ini mengalirlah cerita dari mulutnya
tentang keanggotaannya di sebuah perguruan Pencak Silat Nasional walaupun sudah
lama tak diikutinya lagi (ini nostalgia Marlan saat sekolahnya di sebuah SMA di
Palangkaraya).
Tapi kalau bermain tenis meja dengan
Wahab ia berkomentar,
“Wah Rip permainanmu kayak kunthow
saja. Ini di camp bukan di hutan!” Tentu saja Wahab tahu keadaan Surip. Yang
susah itu ternyata gaya Pencak Silatnya terbawa dalam permainan lain. Surip tak
bisa berbuat apa-apa. Diakuinya dalam bidang olah raga hanya Pencak Silatlah
yang menyatu dengan dirinya. Dasar-dasar jurus membuat permainan lainnya kurang
dikuasainya alias sangat minim pengalaman.
Tertatih-tatih Surip menyesuaikan
diri dengan dinamika kegiatan camp. Begitu banyak bagian hidupnya ternyata
tertinggal dibandingkan teman-temannya. Tetapi ada satu peningkatan karier di
perusahaan. Ia kini mulai membawa regu kegiatan.
Irama hidup di camp selalu bertumpu
pada kegiatan pembinaan dan perencanaan. Pondasi yang sebenarnya mati hidupnya
perusahaan adalah dari produksi kayu. Setiap tahun ada rencana karya tahunan
(RKT). Yang dimaksud adalah blok tebangan setiap tahunnya oleh bagian produksi.
Kegiatan perencanaan masuk dulu
untuk pembukaan wilayah dan cruising (Penghitungan kayu produksi). Setelah itu
bagian produksi menebang dan barulah areal bekas tebangan menjadi bagian
pembinaan. Oleh karenanya anggarannya
selalu menyesuaikan dengan hasil produksi tahun penebangan.
“Bagian pembinaan itu anggap saja
konservasinya hutan, jadi kegiatannya pemulihan lahan pasca penebangan termasuk
anggarannya (sesuai RKT).” Seorang Asisten
pernah menerangkan hal tersebut.
Kesibukan masuk kegiatan survey
terus berjalan. Harapan mendulang pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Seluruh masalah di camp menyesuaikan dengan kegiatan bulanan ini. Jadi upah
hanya setiap bulan sekali, berarti untuk keperluan lain di camp orang biasa
berhutang. Akhir bulan tinggal potong upah masuk hutan.
Surip punya kesibukan sendiri, hanya
kegiatan sampingan tapi cukup menguras tenaga dan pikirannya.
“Banyak sekali hal yang
menggelisahkanku. Mungkin ini yang disebut trauma masa lalu. Aku hanya bisa
melarikannya dengan menggerakan badan sampai berkeringat agar berkurang.” Surip
berkata sendiri, ia sebenarnya
orang yang hidup sederhana bahkan
cenderung gembel. Dirasakannya bidang-bidang hidupnya tidak realistis.
“Latihan jurus ini sebenarnya tak
sesuai dengan kondisi masyarakat. Tapi ternyata aku memilihnya, konsekuensinya
aku menjadi orang aneh nantinya di masyarakat umum.” Katanya sendiri dalam
hati.
Sekarang ia membawa regu kegiatan
pembebasan meneruskan kegiatan Junaedi. Junaedi sendiri dicoba di kegiatan lain
yaitu perapihan. Sebagian anak buah Junaedi ikut dirinya seperti Wahab dan Ugi
ditambah orang Dayak dan seorang Batak Harahap.
Lokasi kegiatan bekas kegiatan
perapihaan sehingga Surip tak perlu membuat tapal batas. Blok-blok pembebasan
sudah terbentuk saat perapihan. Sebenarnya sebelum penebangan batas blok adalah
yang paling bagusnya karena belum rusak. Memasuki tahap pembinaan bekas-bekas
tebangan yang terbuka banyak yang sudah ditumbuhi semak belukar dan paku-pakuan.
Berbeda dengan perapihan yang
menebas semak belukar tanpa pandang bulu maka pembebasan selektif memilih
tegakan yang tidak kena tebang. Tempat kerjanya masuk naungan-naungan yang aman
dari bekas tebangan yang sudah terbuka.
“Gi dimana si Harahap kok tidak
bersama menebas?” Surip bertanya kepada Ugi yang bertugas menebas areal tegakan
yang telah di data.
“Kadak kawa jalan Lek, manggah
nafasnya. Terpaksa kutinggal karena lambat.” Ugi memberitahu.
“Biarlah namanya orang baru pasti
belum terbiasa.” Surip berkata maklum. “Biarlah kita beristirahat dulu di batas
ini. Setelah itu masuk jalur sebelahnya mendata.” Katanya memutuskan
kebijaksanaan.
Tertatih-tatih Harahap mendatangi
teman-temannya yang sudah lebih dulu sampai di batas petak. Orang-orang mulai
tahu Harahap sebenarnya masih hijau di lapangan. Sebagian besar cerita
petualangannya tidak terbukti di group
pembebasan ini.
“Mana lebih uyuh ikam di hutan dari
pada di kebun sawit Lek?” Wahab bertanya mendikte.
“Aku haus Lek, minta airnyalah.”
Harahap tak mampu menjawab, menahan diri segera minta termos air yang dibawa
salah satu rekannya. Tak kuat rupanya berjalan kaki di hutan. Setelah itu
berkata, “Aku kadak tahan berjalan, tak cocok di kegiatan ini.” Lanjutnya lagi
dengan berbagai keluh kesah.
Hilang sudah cerita-cerita
petualangan yang pernah dihadapinya sehingga orang camp menganggapnya hebat.
Saat belum masuk hutan ia sudah sesumbar biasa survey di medan manapun.
“Sudahlah ayo kita ke jalur
selanjutnya, lebih uyuh (capai) lagi kita kalau hanya duduk berkeluh kesah.”
Surip sebal juga dengan watak Harahap. Jelas orang lebih patuh pada Surip yang
menjadi mandor mereka dari pada mengurusi seorang Harahap yang buncit perutnya
itu.
Lain di lapangan lain juga di pondok
kerja. Di sanalah Harahap ngobrol berbagai petualangannya.
“Aku main dengan lonte di Kurun
selalu gratis Lek. Bebiniannya mengakui kehebatanku main di ranjang.” Kalau
urusan ini orang-orang hanya jadi pendengar, soalnya biarpun orang-orang survey lelaki menyukai perempuan tetapi untuk
main dengan lonte tak semua hobi.
“Surip ini duitnya banyak tapi tak
pernah melonte, ayo Rip sekali-sekali kuajak masuk tempat karaoke.” Wah Surip
sering dijadikan sasaran gurauannya. “Kaena kuajari ikam berbagai gaya besakih
(kawin).” Lagunya bila dengan Surip selalu menggurui.
Sebulan yang lalu sebagian anggota
pembebasan sudah tahu bila Surip punya kegiatan tersendiri. Karena itulah
sekarang ia berlatih tidak perlu terlalu jauh dari pondok kerja. Pilihannya
jatuh pada tempat datar di tepi sungai, tanahnya padat berpasir mungkin bila
hujan akan tergenang air. Yang pasti pilihannya pada tempat tersebut
karena di bawah naungan pohon-pohon besar
jadi nyaman di badan.
“Zzzk Zzzk!” Nafas Surip tersengal-sengal saat
melakukan salah satu jurus hafalannya.
Sebuah kenyataan pahit berlatih
Pencak Silat tenyata tidak menambah kesaktian. Tidak seperti cerita-cerita
komik yang selalu dibumbui dengan tambahan tenaga dalam atau ajian tertentu.
Ternyata Pencak Silat hanya
menghayati jurus. Kaidah-kaidahnya yang dilatih. Jurus Pencak Silat mengandung
berbagai unsur gerakan tari. Berbagai kuda-kuda, tapak (langkah), teknik
memukul, teknik menendang, teknik kuncian yang semuanya menjadi strategi bela
diri. Ada tambahannya yaitu hitungan atau irama atau gaya. Setiap penghayat Pencak
Silat akan menemukan gayanya sendiri sesuai watak pribadinya.
Hitungan, irama dan gaya inilah yang
sering menjadi Pencak alias seni tari yang mengandung taknik bela diri.
Silatnya sendiri berarti rangkaian (asal kata assholatu dari islam, tapi entah
mana yang benar terserah pembaca).
Tapi ada juga yang mengaitkan Silat
sebagai teknik bela diri untuk membunuh atau mematikan lawan. Jadi akan timbul
berbagai penafsiran terhadap Pencak Silat. Definisinya bisa meluas sesuai
dengan tipe guru pelatihnya.
Satu jurus selesai, Surip
membungkukan tubuh untuk beradaptasi. Gerakan jurus menguras tenaga dan memacu
jantungnya bekerja keras mendadak. Kemajuannya Surip sekarang tidak lagi
mengalami mual di perut atau pening di kepala. Berarti staminanya tergenjot, tubuh
sudah terbiasa dengan latihan-latihan yang berat.
“Terkadang aku berlatih justru
sangat bodoh. Semuanya ini hanya menyiksa diri sendiri.” Ujar Surip dalam hati.
Beberapa pasang mata diketahuinya
menonton acara latihannya.
“Mereka itu penasaran dengan apa
yang kukerjakan, yah mau apa lagi, semuanya tak lazim di masyarakat umum. Tapi
dulu saat masih kecil aku tertarik dengan Pencak Silat ya gara-gara ngintip
orang berlatih.” Surip berkata sendiri membiarkan anak-anak buahnya menonton
dengan berbagai cara.
Ada yang pura-pura berjalan menuju
sungai untuk pasang bubu ada juga yang pura-pura mencuci pakaian atau mandi.
Ditonton tidak apa-apa tetapi dari raut muka ejekan dan mentertawakan terlihat ditujukan kepada Surip
(Itu perkiraan Surip).
Bagi mereka Surip itu tokoh yang
aneh dan lucu. Sering jika sudah berada di pondok dan berebah di palbet
orang-orang seperti Ugi atau Wahab berlagak dengan meniru-niru latihannya.
“Ciaaat Haiiit!” Ditambah lagi
dengan teriakan ala jagoan kungfu.
Yang lagi ramai saat itu serial Wiro
Sableng di televisi. Tokoh Wiro Sableng itulah yang jadi rujukannya, makanya
beberapa diantaranya pasang ikat kepala ala Wiro Sableng.
Surip tak mampu menghalang-halangi
peniru seperti itu. Mereka tidak masuk bagian dari journal latihan yang
dipraktekannya.
“Journal latihan?”
Surip mencoba
memahami suatu kegiatan rutin yang diharapkan menghasilkan tujuan tertentu.
“Apa hasil latihan ini?” Lagi Surip
bertanya pada dirinya sendiri.
Berbagai latihan sudah dilaksanakan
tentunya aneh jika tidak menghasilkan semacam penemuan atau apalah pokoknya
semacam kekayaan intelektual. Hal ini sama saja seperti orang membatik, menenun
atau mengukir. Hasil-hasil kerajinan tangan mereka langsung bisa dinikmati.
“Batik dan ukiran itu menghasilkan
motif, latihan jurus harus juga mendapatkan buah tangan seperti itu.” Surip
berkata sendiri berpikir keras.
Dicobanya berkali-kali melakukan
jurus dan kembangan untuk merasakan rahasia Pencak Silat.
“Huh bela diri semacam ini hanya
akan membunuh orang Rip!” seseorang berkata keras, logatnya langsung ketahuan
itu orang Batak. Kali ini Harahap yang mencoba menonton aksi latihannya.
“Bagaimana kamu bisa berpendapat
seperti itu?” Surip bertanya, beberapa gerakan yang dilakukannya terhenti.
“Bela diri yang kamu latih itu
keras, masih lembut Yudo yang hanya mengunci lawan.” Katanya seperti sudah
ahlinya bela diri.
“Wah berarti kamu bisa Yudo,
tentunya menarik sekali bila berlatih bersama.” Surip mencoba mengajak.
Gelagapan Harahap, tak dinyana Surip
malah mencoba kemampuannya.
“Iya Harahap ini lebih sering
bepandir, coba tandingi Surip berlatih Lek.” Wahab yang tadinya berada di
pondok kerja segera mendekat dan menyela pembicaraan. Bagaimana pun sebuah
latihan selalu membuat penasaran orang. Hanya perasaan sungkan di hati sehingga
orang-orang menahan diri.
Harahap kebingungan didesak
orang-orang sekitarnya karena terlanjur sesumbar kemampuannya. Surip dan
orang-orang sepondok kerja tahu Harahap sebenarnya lebih sering membual.
“He He He ketahuan ngeramputnya ikam
itu.” Ugi mengejek Harahap.
“Bah sialan kalian! Besok akan
kutandingi Surip berlatih!” Melengking suara Harahap tertantang. Seharian itu
orangnya uring-uringan, ada yang dipikirkan olehnya rupanya, sesuatu yang
serius.
Esoknya sehabis kerja survey pembebasan
Harahap pergi entah kemana. Sorenya baru ketahuan ada oleh-oleh yang dibawanya,
segulung karet ban dalam mobil.
“Aku bisa tinju setiap hari nanti
berlatih. Memangnya Surip saja yang bisa bela diri.” Kata-katanya keluar sambil
mengisi karet ban dalam dengan tanah dan pasir. Setelah diikat dicobanya digantung di sebuah dahan pohon yang rendah. Merasa kesulitan mengerjakannya
sendiri dimintanya seseorang membantu. Oi… Jadilah sebuah sansak berlatih pukulan.
Maka di kegiatan pembebasan sekarang
ada dua kubu yang berbeda jenis latihannya.
Buk! Buk! Terdengar sansak berbunyi
mendapat ayunan pukulan Harahap. Gayanya bergerak meniru petinju.
“Ini jab, hook dan straight!” Tambah
lagi pergerakannya melakukan teknik-teknik
tinju.
Surip sesekali ikut menonton Harahap berlatih.
“Coba kamu berlatih pukulan Rip,
kamu itu banyak sekali kekurangannya saat berlatih.” Sekarang ia tambah sok
gayanya seolah menjadi pakar dengan menggurui Surip.
Mau apa lagi, Harahap tertantang
karena Surip berlatih Pencak Silat. Gengsinya tak mau dijatuhkan, ia selalu
berusaha berada di atas Surip. Walaupun tahu Surip itu mandornya dan juga
memiliki ketrampilan lain.
“Aku coba latihan dengan sansak ya.”
Surip akhirnya merendah. Dari pada adu gengsi lebih baik coba bergabung, tak
ada salahnya mengikuti Harahap berlatih.
Surip sendiri mengakui berlatih
Pencak Silat dari sejak SD sampai sekarang juga belum pernah melatih pukulan
dengan sansak. Selama ini ia berlatih hanya memukul angin.
Buk! Sekali dipukulnya. Benturan itu
menyakitkan kepalan tangannya. Beberapa kali dilakukannya, memar-memar jari
tangannya. Ia tak bisa memaksa lagi, cukup sampai di situ saja.
“Lihat aku berlatih dengan sansak
sampai tanganku berdarah. Ayo lebih keras Rip!” Harahap dengan gayanya terus
menggurui Surip.
“Silahkan diteruskan Lek, nanti aku
coba lagi ya.” Surip tak mau mengikuti gaya latihan Harahap. Cara-cara Harahap
berlatih itu konyol, melukai diri sendiri. Begitu juga dengan latihan tinju, ia
hanya meniru bertinju.
Harahap bukan petinju, ia berlatih
hanya karena adu gengsi. Apa lagi tambahan-taambahan latihannya makin membuat
Surip dan teman-temannya tertawa geli. Push up hanya dengan tangan terkepal
makin membuat kulit jarinya terkelupas. Tambah sakit tangannya, untuk itu
hari-hari selanjutnya ditutupinya dengan sarung tangan. Beberapa hari kemudian
tangannya menebal bekas luka tapi tetap ngotot dengan anggapan itu sebagai
kulit menambah kuat pukulannya.
Surip sendiri juga rutin berlatih
memukul dengan sansak. Cukup sampai memar-memar jari tangannya. Ia malah
menambah dengan porsi latihan menebas tangan kosong seperti karate. Sasarannya
batang pohon di dekat pondok kerja.
Makin gelilah orang-orang sepondok
kerja menyaksikan ketololan Surip. Ternyata Surip yang tolol itu diikuti
Harahap yang tak mau kalah gengsi. Harahap tak tahu betapa orang-orang
mentertawakannya karena cara-cara berlatihnya bukan petinju beneran. Ia hanya
seorang peniru.
Selang dua hari Harahap berlatih
tinju, Ugi berlagak jagoan dengan memainkan sebilah anggar. Ugi tampil bergaya
Zorro, tangannya mengayun-ayunkan anggar menusuk dada lawan.
“Hait! Hiat!” sebilah anggar dari
batang kayu meliti atau gading yang gagangnya dilingkari tutup bekas sabun cuci
wings, bak atlet anggar bertarung.
Tekniknya entah benar atau salah,
Surip sendiri buta tentang permainan anggar.
“Orang-orang pada berlatih aku juga
umpat nah!” Ugi terus bergaya. Saat Surip berlatih ia sengaja berada
di depannya memainkan anggar bertarung.
“Suduk ikam nah aku menang!” Hanya
bohong-bohongan saja Ugi ini. Mana bisa ia bermain anggar, ia hanya tak mau
kalah karena orang lain berlatih serius.
Hari-hari di pondok kerja hanya itu
saja kegiatan orang-orang survey setelah masuk hutan.
“Orang-orang ini sebenarnya terbawa
pengaruh olehku yang berlatih serius bela diri Pencak Silat. Mereka
menutup-nutupi diri mereka dengan ketrampilan lain supaya tidak kalah gengsi.”
Surip berujar sendiri dalam hati.
Saat-saat berlatih sendirian Surip
justru berpikir keras.
“Saat kecil aku juga senang bermain
anggar dengan teman-teman sebayaku di desa. Begitu juga main tembak-tembakan
dengan pistol air maupun sumpit.” Pikiran-pikiran masa kanak-kanaknya timbul.
“Ah aku ingat ada permainan jenis
tarung saat masih kecil. Justru itu mirip Pencak Silat.” Terus ia berpikir
keras. “Itu bisa menjadi semacam jenis tarung.” Ah kena juga idenya.
***
“Ayoh kita bagi dua kelompok
permainan. Masing-masing satu lawan satu. Yang mati mundur yang menang lawan
dengan yang menang sampai tinggal satu kelompok dianggap sebagai pemenangnya!”
Surip ingat masa-masa kecilnya di desa.
Kedua tangannya bergerak
memperagakan pemainan tersebut.
“Ini seperti jurus colok saja,
jari-jari tanganku efektif beraksi.” Itu kesimpulan Surip.
“Ini dia tarung Etang, namanya
sesuaikan saja dengan permainan masa kecilku itu.” Surip kini menemukan, inilah
salah satu hasil latihannya.
“Biarpun bukan penemu tetapi
permainan ini masuk kategori bela diri. Inilah bagian Al-Jurus versiku
sendiri!” Teriaknya girang dalam hati.
Permainan ini hanya menggunakan
kedua tangan. Jika salah satu tangan mengenai bagian tubuh lawan yang diincar
dianggap menang. Untuk lawan yang terkena biasanya diteriaki mati. Sasaran
hanya dibenarkan di bagian kepala dan kaki dari paha ke bawah. Cukup
menyentuhnya tanpa benturan keras. Kedua tangan berhadapan boleh saling tangkis
menangkis mencoba mencari celah kelengahan lawan.
“Etang itu permainan anak kecil,
kulihat sekarang tak ada lagi anak-anak memainkannya.” Surip tertawa geli saat
mencoba menggerakan tangan seperti jurus colok.
“Sasaran jurus colok itu mata, Etang
tidak mencari sasaran mata, cukup menyentuh bagian kepala dan kaki menjadi
poin.” Terus Surip mencoba mengolah hasil temuannya.
Permainan Etang membutuhkan kejelian
daan kewaspadaan tinggi. Bagian kepala dan kaki akan terus diincar lawan. Jadi
menyerang ataupun bertahan tetap bisa kebobolan.
“Tidak diperlukan kuda-kuda atau
langkah yang rumit seperti Pencak Silat. Paling maju atau mundur, unsur
hiburannya lebih banyak. Tekniknya sederhana saja hanya menggunakan kedua
tangan seperti tinju tapi tak akan pernah ada adu jotos.” Surip memperagakan
permainan Etang, terasa akan banyak sekali variasi gerakan. Paling banyak kedua
tangan akan saling bersentuhan mencoba mencari celah atau menghindar dari
serangan dengan cara mundur ke belakang.
Yang jelas kedua petarung akan
selalu berhadapan. Mungkin tipuan bisa dijalankan, tetapi itu masuk salah satu
strategi. Paling banyak berupa gerak pancingan atau coba-coba, salah benar
resikonya kebobolan serangan lawan.
“Permainan anggar itu cukup menusuk
dada lawan. Etang justru tidak mencari sasaran di badan tetapi bagian kepala
dan kaki. Jadi variasi gerakan serangan adalah bagian atas dan bawah tubuh.” Terus Surip mencoba kemahirannya
bermain tarung Etang.
Antara tinju dan anggar itulah Etang.
Senjatanya tangan kosong cukup mengenai bidang sasaran sudah jadi nilai. Kedua
kaki sama seperti dalam tinju dan anggar hanya sebagai penyeimbang tubuh.
Tarung Etang jauh dari sifat kekerasan. Kedua petarung tak akan pernah terluka.
Mungkin yang diwaspadai adalah bila tangan lawan mengenai mata, hanya itu saja
resikonya.
“Jika kena mata justru bisa dianggap
pelanggaran.” Surip makin semangat dengan penemuan barunya.
“Sayang tekniknya masih mentah, tak
ada ajang uji coba bertanding.” Meringis Surip mendapati temuannya itu hanya
untuk dirinya sendiri.
“Bagaimana system pertandingannya?”
Nah Surip menambah lagi permasalahan dari tarung Etang.
Di dalam hutan di tepi sungai dan
tanah lapang bekas gerusan air Surip berlatih Pencak Silat. Di bumi Kalimantan inilah
bakat terpendamnya dicoba dikeluarkan. Di dalam bela diri Pencak Silat juga
terdapat nomor Tarung, nomor Jurus atau nomor Seni. Masing-masing dari
pertandingan itu ada kejuaraannya.
“Ini adalah pendalaman dari
Al-Jurus, persoalan sesuai atau tidak dengan aturan IPSI itu hal lain.” Surip
berkata sendiri dengan gagah bak batu karang.
Dari sinilah Surip bertekad untuk
mendapatkan terus materi dari lingkungan di alam perantauan. Siapa yang berada
di dalam hutan untuk bertahun-tahun lamanya ia akan merasakan kejenuhan. Jika
tidak ada pelepasan dengan kegiatan-kegiatan seperti yang Surip lakukan jiwa
menjadi paranoid, takut terhadap perubahan dan lingkungan baru yang asing.
“Kenapa berhenti Rip, tak ada lagi
teknik latihan rutin yang ikam latih?” Wahab yang lewat duduk menonton
bertanya. Rutinitas Surip berlatih membuatnya hafal juga beberapa bagian yang
dilatih. Wahab pernah mencobanya tetapi hanya satu dua kali saja. Kendala
orang-orang sepeti Wahab adalah kegiatan yang Surip lakukan itu hanya sia-sia
belaka bahkan menyiksa diri. Sekali ada komentar dari mulut Wahab,
“Berlatih Pencak Silat itu menolak
rejeki yang datang. Bagiamana kadak lari rejeki kalau berlatih selalu menangkis
dan menghindar. He He He makanya orang-orang seperti Surip tak mungkin kaya selamanya.”
Katanya dengan gerak-gerak tangkisan meniru Surip tapi juga mengandung ejekan
jika itu akan mendatangkan semacam takhayul menolak rejeki. Nadanya lebih
banyak mengejek Surip yang berlatih sebagai hal mubazir.
Surip sendiri tak mampu menanggapi komentar-komentar
yang dilakukan teman-temannya di kegiatan survey. Ia sekarrang justru
tertantang untuk mendapatkan bukti bahwa apa-apa yang dilatihnya bukan hal yang
sia-sia.
“Seharusnya setiap orang-orang yang
berlatih Pencak Silat bisa menjadikan bukti latihannya dalam bentuk karya
tulis.” Hanya dalam batin saja kata-kata itu keluar.
Di pondok kerja justru Surip mencoba
memikirkan tarung Etang dan kemungkinan mengembangkannya. Pekerjaan survey
tetap rutin menyesuaikan dengan aturan perusahaan. Setiap orang membutuhkannya,
apapun akan dilakukan untuk memenuhi hajat hidup.
Ada Harahap yang masih melanjutkan
latihan tinju dengan sansak yang dibuat olehnya sendiri.
“Kamu harus rajin latihan
pukulan Rip, lihat dengan cara seperti
ini sepuluh ronde lawan kelas berat pun aku mampu.” Jumawa sekali kata-kata
Harahap.
Surip sendiri sering geleng-geleng
kepala, bila melihat dari badan Harahap itu cukup bagus untuk menjadi petinju.
Tapi bila benar ia petinju tentu sudah dari dulu ia berlatih. Apa yang
dikatakannya lebih sering membual untuk mendapatkan perhatian.
Tak apa Surip sekarang jadi rajin
juga berlatih pukulan dengan sansak. Lumayan ada perbedaannya dengan berlatih
pukulan kosong, sensasinya lebih pada terbiasanya kepalan tangan membentur
benda keras.
“Lebih baik aku mengembangkan hasil
pikiranku dari pada melayani bualan Harahap ini.” Maka ia pun tak pusing lagi
biarpun terkadang Harahap begitu sok mengguruinya.
“Apakah tarung Etang memerlukan
ronde dalam setiap pertarungannya?” Surip bertanya pada dirinya sendiri.
Sungguh sangat berbeda Etang dengan
Tinju. Tidak ada unsur kekerasan dalam tarung Etang. Tidak akan pernah ditemui
seseorang knock out karena tarung Etang. Paling-paling mata terkena tangan
itupun bisa dianggap pelanggaran.
“Sistem tarung Etang lebih pada
berapa kali serangan tangan masuk ke sasaran dan itu bisa jadi nilai atau poin.”
Surip mulai menyusun aturan Etang. Diolahnya beberapa cara penilaian.
“Setiap serangan masuk nilainya
satu. Siapa paling dulu seorang petarung mencapai nilai sepuluh ia dianggap
pemenangnya.” Terbuka terus jalannya saat berpikir.
“Setiap kali satu serangan masuk,
wasit menunjuk seorang sebagai pemenangnya untuk pengumpulan poin bagi petarung
yang berhasil. Barulah setelah itu dimulai lagi untuk masing-masing mendapatkan
poin. Begitu seterusnya sampai salah satu mencapai nilai sepuluh sebagai
pemenang pertarungan.” Uh Surip mencoba detil dalam imaginasi tarung Etang.
Tambahannya pun bisa dilogikan,
“Bila kedua petarung sama-sama
berhasil memasukan serangan, wasitlah penentu siapa yang paling dulu memasukan
tangan ke sasaran lawan. Petarung yang berhasil lebih dulu memasukan mendapatkan
poin.”
Kelanjutannya,
“Ronde diperlukan hanya untuk
memberi kesempatan petarung istirahat dan mengatur strategi. Berapa banyak
ronde diperlukan tak terlalu disepakati. Penting siapa lebih dulu petarung
mencapai nilai sepuluh ia dianggap pemenang. Satu ronde pun cukup bila kedua
petarung sudah ada yang mencapai nilai sepuluh sebagai contoh tersebut.”
“Lebih tepat system tarung Etang
adalah kompetisi. Jadi jika ada dalam even pertandingan terdapat sepuluh
petarung. Masing-masing mendapat kesempatan menghadapi lawan masing-masing
sembilan kali. Dengan demikian akan didapat peringkat satu sampai sepuluh
setiap even pertandingan.”
Mungkinkah bisa diterapkan?
Surip tak tahu, lebih penting jalan
pikirannya tetap tersalur.
“Tidak penting tarung Etang ini
diakui atau tidak oleh IPSI atau perguruan. Yang penting inilah Al-Jurus
versiku sendiri.” Katanya bangga dalam hati.
Bukankah dengan demikian Al-Jurus
itu menjadi miliknya? Apa-apa yang ditemukan Surip diakui atau tidak masuk
kategori hak kekayaan intelektual biarpun masih mentah.
“Jika tarung Etang dipraktekan
di lapangan akan banyak sekali terjadi perubahan aturan menyesuaikan dengan
system pertandingan.” Itulah kesimpulan Surip.
Surip berpikir demikian karena
tarung Etang masih dalam khayalannya. Praktek yang sebenarnya dilatihnya adalah
jurus itupun terbatas hafalan saja. Tapi dari hafalan jurus ia bisa
mengembangkannya kejenis tarung yang masuk kategori bela diri, baginya itu
sudah sangat bersyukur. Tak sia-sia ia berlatih di tengah-tengah rimba
belantara Kalimantan.
Kegiatan survey berakhir, justru
bulan kedua Surip kembali membawa regu pembebasan di lokasi yang sama. Harahap yang
sebelumnya menjadi anak buahnya ternyata pindah bagian. Ia mencoba
peruntungannya menjadi sopir mobil rimbawan.
Bulan kedua ini Surip leluasa
berlatih pukulan dengan sansak tinggalan Harahap. Latihannya jadi bervariasi
dari hafalan jurus yang tetap menjadi wajib kemudian dengan tambahan hasil
pikirannya berupa tarung Etang. Dicobanya latihan pukulan dengan sansak bisa
memperkuat daya pukul.
Bulan kedua ini anak buahnya tak ada
lagi satupun yang ikut-ikutan berlatih ataupun meniru. Tak ada juga yang menandinginya
seperti Harahap atau Ugi dengan permainan anggarnya yang hanya tak mau kalah
gengsi.
Berarti anak-anak buahnya mengakui
keunggulan dirinya?
Minggu ketiga sehabis berlatih jurus
di tempat biasanya Surip kembali ke pondok kerja. Dilihatnya sansak dari ban karet dalam mobil tersebut
sudah dihancurkan anak buahnya.
“Wah siapa yang merusak sansak itu?”
Surip bertanya heran.
Tapi pandangan orang-orang yang
sekarang menjadi anak buahnya itu sudah aneh terhadapnya. Mereka memandang
dirinya dengan pandangan tak senang. Surip batal bertanya hal-hal selanjutnya,
ia menyadari anak-anak buahnya yang dari orang-orang lokal itu terancam harga
dirinya.
Mereka tak mampu menandingi dirinya
baik itu dalam teknik maupun teori kecuali hanya bergaya saja. Harga diri
kesukuannya menolak, yang jadi sasaran itulah sansak sebagai peringatan
terhadap Surip.
Surip yang harus maklum!
***
Tujuan Penulis adalah mengayakan jenis Tarung sesuai kaidah Bela diri Pencak Silat. Tarung Etang bisa menjadi nomor tersendiri sebagai ajang mendulang prestasi para Atlet dan Penghayat bela diri asli Indonesia tercinta ini.
Anggap saja ini ciptaan Penulis, jadilah tulisan ini sebagai Hak Cipta
No comments:
Post a Comment