Terutama untuk tarung Jurus versi I, sebisa mungkin kandungan dari jurus bisa diperagakan dalam pertandingan ini. Coba nama jurus, ada jurus Teguh, jurus Liwat, jurus Potong, jurus Giles dll. Dari nama jurus tersebut seorang atlet bisa memiliki karakter saat penerapan dalam even Tarung.
Di dalam masing-masing jurus banyak peragaan teknik. Nah saat pertarungan terjadi bisa dilihat seorang atlet memperagakan teknik andalan melumpuhkan lawannya. Jika terjadi teknik Sapuan berhasil menjatuhkan lawan maka itu adalah karakter dari jurus mana yang dilatih sang atlet. Jadilah atlet tersebut seorang ahli Sapuan sebagai ciri dan Tema suatu pertandingan yang dilakoni sang Atlet.
Jurus yang dilatih Penulis yang mana ada teknik Sapuan adalah jurus keempat, jadilah nama jurus keempat itu sebagai Tema tarung yang mengantarkan atlet menjadi pemenangnya. Tentu menghadapi atlet lain akan berbeda teknik dan strategi yang dijalankan, semuanya dinamis berubah-ubah sesuai tipe lawan yang dihadapi. Seorang Petarung mampu menjatuhkan lawan dengan teknik yang berbeda-beda tentulah Dia seorang yang cerdas. Di sinilah Tarung Jurus versi I diwujudkan, TARUNG bukan sekedar baku hantam belaka.
Juga bila teknik yang berhasil menjadi poin kemenangan, sebisa-bisa disamakan atau menyesuaikan nama jurus yang dilatih sang Atlet. Jadi itu bisa menjadi kebanggaan dan kenang-kenangan akan sebuah latihan yang tidak sia-sia dari penghayat jurus, bahkan tentu akan membanggakan nama perguruan tempatnya bernaung. Ini manfaat secara tidak langsung bagi perkembangan bela diri Pencak Silat nantinya.
Setiap perguruan memiliki nama-nama jurus yang berlainan. Nah nama jurus dari Atlet pemenanglah yang berhak menjadi Tema utama. Begitulah suatu teknik berhasil mengantarkan seorang menjadi pemenang atau poin maka nama jurus yang dilatih dimana ada teknik yang telah mengalahkan lawannya itulah pemegang Temanya.
Sangat banyak teknik di dalam jurus-jurus Pencak Silat milik perguruan, suatu aliran, maupun Pencak Silat kedaerahan. Semakin banyak teknik bela diri ini berhasil diperagakan untuk mencapai kemenangan maka akan semakin banyak Tema yang bermunculan. Coba pikir suatu daerah misalnya Betawi, di sana banyak aliran Pencak Silat yang beredar. Sangat disayangkan bila kekayaan tersebut tak terakomodasi dalam suatu even pertandingan kan?
Contoh dari Penulis pribadi, misalnya menjadi pemenang suatu pertarungan kelas XX di pertandingan tingkat YY...maka misalnya yang berhasil diperagakan untuk mengalahkan lawan adalah teknik bantingan, tinggal merujuk pada jurus wajib yang dilatih yang mengandung teknik ini. Untuk Penulis jurus yang memiliki teknik bantingan adalah jurus kelima yaitu jurus Pat Potong.
Jika teknik Sapuan itu jurus keempat yaitu jurus Loro Tendet, jika teknik Giles menjadi andalan maka itu teknik menggempur kuda-kuda lawan agar buyar ya itu jurus Giles yang biasa dilatih Penulis dinomor urut ketujuh. Jika teknik kuncian, jurus pertama dari jurus wajib yang dilatih yaitu Jurus Teguh dll.
***
Bagaimana dengan TARUNG RAGA?
Tarung gagasan Penulis ini sudah diluar kaidah Bela diri Pencak Silat.
Tujuannya adalah untuk mengayakan jenis Tarung dalam even kejuaraan tersendiri. Penulis sendiri belum mendapatkan gambaran teknik-teknik baku yang diperagakan maupun harus dilatih atletnya. Semua ini masih berupa imaginasi yang kemungkinan bisa dipertandingkan.
Tentulah bila dilatih peragaan dari tarung Raga ini menjadi semacam jurus tersendiri yang sangat berbeda dengan tarung yang dibahas sebelumnya. Ya mungkin sama dengan tarung Etang yang Penulis gagas dari awal.
Bila dilihat dari tarung Etang, Tarung Jurus versi I maka titik beratnya untuk mencapai kemenangan adalah area serangan di tubuh serta gempuran pada kuda-kuda lawan, sedangkan Tarung Jurus versi II lebih mirip Kick Boxing karena area serangan cukup bebas kecuali bagian belakang kepala dan kemaluan.
Nah untuk Tarung Raga berbeda prinsipnya. Bobot tubuh adalah mutlak. Kedua petarung memang mengandalkan bobot tubuhnya untuk mengalahkan lawan. Langsung terbayang atlet petarungnya, tentu berbobot di atas rata-rata atau berbadan besar dan berperut menonjol.
Di masyarakat banyak orang memiliki tipe badan seperti itu. Mereka menjadi gemuk bukan karena obesitas tetapi memang faktor keturunan. Tak mungkin orang-orang berbobot lebih dari rata-rata ini berlatih peragaan jurus bela diri Pencak Silat yang misalnya banyak memperagakan teknik melompat dan mengangkat tubuh atau kuda-kuda satu kaki, apalagi bersalto....wah dilarang keras!
Untuk itulah Penulis membuat gagasan Tarung Raga sebagai akomodasi buat kalangan masyarakat yang memiliki tipe tubuh berbobot diatas rata-rata ini. Prinsipnyaa adalah bodi tubuh atau Raga sebagai sarana mencapai kemenangan. Memang tetap ada tekniknya tetapi sasaran untuk mendapatkan poin adalah dari tubuh lawan.
Dari prinsip tarung Raga lawan Raga ini bisa diperoleh berbagai teknik dan jenis latihan yang diperlukan. Nama-nama teknik ini bisa distandarkan nantinya dalam sebuah lembaga penyelenggara Tarung Raga supaya resmi.
Penulis tertarik dengan satu jenis mamalia di hutan Kalimantan, yaitu orangutan. itulah inspirasi Penulis, kemudian adanya jenis gulat di Jepang yaitu Sumo. Pemaparannya masih mentah, bila diperagakan akan terdapat banyak kekurangannya. Penulis hanya mencoba berimaginasi tentang Tarung Raga sebagai pengayaan khasanah versi Penulis.
Kira-kira seperti ini Atletnya wkwkwkwk...HUSS
Penulis memaparkannya dalam sebuah draft Novel fiksi yang lebih bebas penguarainnya, soal bisa diterapkan atau tidak silakan pembaca menilainya....tinggalkan jejak loh bila sudah membacanya, boleh juga kok dikritik habis-habisan atau dicacimaki karena terlalu banyak khayalannya, TRIMS
Tarung Raga
Walaupun
ini hanya sebuah fiksi tetapi beberapa jenis latihan yang tertulis dalam novel
ini merupakan kenyataan. Bela diri Pencak Silat hidup dalam latihan intinya
yaitu Jurus. Adakah orang lain yang sama menapakinya sebagai bagian hidupnya?
“Aku menapaki latihan jurus ini
banyak dukanya dari pada sukanya.” Didengarnya kata-kata itu dari dalam hatinya
sendiri. Surip merasakan benar bagaimana dirinya berlatih demikian keras tanpa
ada yang menghargai kegiatannya tersebut.
Surip memulai latihan saat berumur
delapan tahun di desanya di Beji. Menonton orang-orang berlatih Pencak Silat
dilapangan volley RT setempat dan kemudian bergabung.
Berlatih Pencak Silat dan kemudian
menjadi anggota sebuah perguruan Pencak Silat tidaklah stabil. Setahun giat
berlatih, berhenti dulu. Disuruh berlatih lagi setelah vakum kegiatan di
perguruan. Jurus-jurus yang dikoleksipun tidak langsung lengkap. Setahun
berlatih ia hanya menghafal empat jurus, setelah itu mengulangi lagi dari jurus
satu karena vakum setahun dua tahun. Kemudian dipaksakannya mencapai sepuluh
jurus.
Bukannya Surip yang malas, tetapi
perguruan Pencak Silat Al-Jurus tempatnya bernaung juga pasang surut. Setahun
di desa latihan sangat intensif ternyata bubar karena pelatihnya keluar kota
mencari pekerjaan.
Surip kecil pun tidak menjadi
anggota perguruan lagi, setelah di SMP bahkan sudah tidak ingat lagi apa-apa
yang pernah dilatihnya. Semuanya hanya menjadi kenang-kenangan.
Suatu ketika ada program Training
Pelatih di perguruan Al-Jurus. Nah Surip direkrut lagi secara sukarela untuk
dilatih lagi. Berlatih beberapa bulan saat itu sekolahnya menginjak SMA. Kemudian
dipercaya melatih di desanya. Entah musibah atau bukan perguruan Al-Jurusnya
bubar karena guru besarnya pindah rumah ke lain daerah. Perguruan Al-Jurus yang
kecil itu ternyata rapuh, beberapa masalah yang terjadi pada guru besarnya ikut
menyurutkan nama perguruan.
Tinggallah Surip sebagai salah satu
anggota perguruan ikut pasif. Tak ada gerakan apapun dari anak-anak murid
Al-Jurus untuk kembali mengorganisir perguruan karena memang sangat lemah
dibidang organisasi. Suriplah yang mengalami tantangan sendiri dengan berbagai
masalah hidup. Di Kalimantan inilah kenang-kenangan terhadap Pencak Silat
timbul dan membuatnya berlatih kembali walaupun minim sekali modal materinya.
Jadi dimana sukanya?
Tidak ada.
Dan di hutan latihannya bisa
intensif dua tiga tahun dengan berbagai prinsip disiplin yang ditemukannya.
Jadi dibandingkan dengan latihannya saat di kota Purwokerto kini ia menuai
hasilnya.
Sayang masyarakat pada umumnya tidak
menghargai kegiatan-kegiatan Surip. Semuanya hanya dianggap mengada-ada. Bagi
masyarakat umum lebih menakjubkan film-film kungfu Cina dan atraksi tenaga dalam.
Latihan yang Surip jalani hanya soal sepele, siapapun bisa melakukannya.
Beberapa orang di camp hanya
menjadikan kegiatan Surip sebagai guyonan saat senggang nonton film televise.
“Wah hanya Surip yang bisa menyaingi
Jet Lee di camp ini.”
Atau saat seseorang pernah
menyaksikan latihan Surip di hutan.
“Wah mirip Jean Claude Van Dame ya.”
Katanya membandingkan dengan actor laga dari Belgia kalau nggak salah.
Orang-orang tersebut tidak memuji
Surip sebagai pribadi tersendiri, tetapi membandingkan dengan actor-aktor film
laga luar negeri.
Yang lain lagi ada,
“Surip itu latihan karate di hutan.”
Nah orang ini benar-benar tak tahu
bedanya Pencak Silat dengan Karate, ia hanya pernah mendengar tentang
orang-orang berlatih bela diri karate saja karena gaungnya memang lebih
mendunia.
“Aku pernah lihat seorang Cina
kepala bengkel di bagian produksi juga melatih bela diri sendirian tapi
kelihatannya lebih hebat karena asli Tiongkok.”
Ada seorang berkomentar mengenai
orang-orang Cina kontrakan yang dianggapnya lebih mahir dari pada Surip biarpun
sudah tak ada sosoknya sama sekali karena sudah kembali pulang ke negaranya.
Yang ini tentunya membuat Surip tak berkutik karena apa yang dilatihnya tidak
sehebat orang Cina yang disaksikan seseorang di camp.
Surip tak mampu membantah
anggapan-anggapan orang camp terhadap dirinya dan juga tak mampu membela bela
diri Pencak Silat yang menjadi bagian hidupnya. Pencak Silat sangat kecil
lingkupnya dibandingkan bidang-bidang kehidupan lainnya seperti pekerjaan dan
jabatan. Juga dengan olah raga populer lainnya atau bahkan dengan panggung
politik praktis.
Surip masih terus melanjutkan
latihannya. Ia kini mencoba materi baru dari pemikirannya sendiri.
“Aku memasukan jenis tarung-tarung
ini dalam lingkup Al-Jurus. Sebab gagasannya murni milikku. Jika ada persamaan
gagasan orang lain atau jenis bela diri lain itu adalah masalah teknis. Memang
kuakui gagasanku ini konsepnya mengambil contoh-contoh yang sudah ada di
masyarakat.
“Aku menambah lagi jenis tarung,
jika dilihat dari lingkupnya sama sekali tidak masuk kategori bela diri Pencak
Silat. Tetapi bagiku ini masuk pengayaan jenis tarung dengan pengembangan pada
atlet-atlet yang berbobot badan diatas kelas-kelas normal.
Bayangkan seorang yang bertubuh
gembrot atau misalnya seorang atlet berbobot lebih dari delapan puluh kilo
gram. Kalau dalam Tinju itu masuk kelas
berat dan masih mampu menghunjamkan pukulan keras. Tapi suruh orang-orang
berbobot diatas delapan puluh kilo gram
itu menendang, melompat, atau bersalto... Eiiit jangan suruh mereka melakukan itu
yaaa!
Makanya Surip memasukan dalam bentuk
tarung lain untuk kekayaan jenis tarung walaupun tidak masuk kategori Pencak
Silat.
“Di hutan aku belum pernah
menyaksikan orang utan itu berkelahi. Bisa diduga orang utan tidak mengandalkan
kepalan tangan. Jika terjadi perkelahian orang utan itu lebih mengandalkan
tubuhnya untuk saling mengalahkan. Baru setelah itu tangannya mencakar, kakinya
mendorong atau menjatuhkan tubuh lawan, atau bahkan mulutnya menggigit
menyakiti lawan.”
Yang aneh dalam setiap perkelahian
binatang-binatang itu tak pernah ada peristiwa pembunuhan. Seekor macan atau
harimau bisa memangsa anaknya sendiri tetapi tak akan memangsa induk betinanya.
Begitu juga berbagai jenis binatang lain.
Jika kedua binatang berkelahi yang
ada adalah supremasi untuk mendapatkan betina atau menguasai suatu kawasan.
Contoh yang ada adalah kucing-kucing jantan, mereka akan mempertahankan kawasan
yang dikuasai, menandainya dengan cipratan kencing di tempat tertentu. Kemudian
jika mendapati ada pejantan lain barulah ia bertarung untuk mengusirnya. Tak
pernah kucing-kucing itu saling bunuh membunuh seperti manusia.
“Aku mengambil konsep tarung badan
lawan badan dengan nama tarung Raga. Dalam tarung Raga ini bobot tubuh sebagai
penentunya.”
Masuk kategori gulat, tetapi
disesuaikan dengan lingkungan masyarakat dan alam Nusantara. Yang dicontohkan
Surip itu orang utan. Dalam evolusinya orang utan itu mengandalkan tangan dan
kaki sebagai perangkat yang nyaris sama. Badan yang tambun, tangan memiliki
bobot berat, begitu juga kaki dengan fungsi pergerakan dari dahan ke dahan
lain.
Ibaratnya jika tangan orang utan itu
memegang dahan yang sama besarnya masih sangat mudah dipatahkan. Begitu juga
kedua kakinya bila mencengkeram sesuatu pastilah dengan mudahnya diremukan.
Kedua tangan dan kaki orang utan masing-masing hampir sama fungsinya, bedanya
hanya anggota atas dan bawah tubuh.
“Tak usah tarung Raga ini disamakan
dengan keperkasaan orang utan di rimba Kalimantan. Yang penting sudah ketemu
prinsipnya, yaitu tarung badan lawan badan.” Surip tak perlu bertambah panjang
berpikir.
Dalam peragaan kedua petarung yang
jelas-jelas berbobot gembrot atau di atas normal akan saling berhadapan.
Keduanya membungkuk menatap lawan dalam hal ini mengincar tubuh lawan. Mungkin
pembaca pernah melihat tarung Sumo Jepang. Tarung Sumo itu tak pernah dilakukan
di luar wilayah Jepang. Jadi boleh saja kita mencontoh tarung Sumo itu sebagai khasanah
budaya kita, tentu dengan norma-norma yang sesuai adat Nusantara.
Wasit memberi aba-aba mulai, kedua
petarung menabrakan diri ke masing-masing tubuh lawan. Setelah itu barulah
kedua tangan dan kedua kaki berfungsi dengan menyerang tubuh lawan menjatuhkan,
mendorong, atau mengunci lawan. Teknik-teknik kuncian tak perlu serumit gulat internasional,
yang penting lawan terjatuh di lantai tak berdaya lagi mengangkat tubuhnya, ya
sudah jadilah seseorang dinyatakan pemenang.
Seseorang yang sama-sama gembrot bertarung,
mampukah salah satu mengangkat tubuh lawannya dari matras ring?
Jika mampu itulah jenis teknik
dengan kemenangan sempurna.
Dalam
tarung ini kemenangan tak perlu dihitung dengan poin, tetapi dari nama teknik
yang diperagakan.
Misalnya - Mengangkat tubuh lawan : RAGA
- Mendorong keluar dari ring : SURUNG
- Menjatuhkan lawan dari lantai
matras : TIBA
- Mengunci lawan
: BEKUK
Wasit memberi kemenangan sesuai dengan
teknik yang diperagakan petarung sesuai dengan nama tekniknya. Bila ada teknik
lain yang belum tecantum boleh ditambahkan.
Dalam setiap laga Petarung diberi
kesempatan mencapai tiga teknik peragaan. Dengan demikian jika salah satu
petarung mampu mencetak salah satu atau dua teknik tersebut diatas sudah bisa
menjadi pemenang. Kemenangan sudah tercapai begitu salah satu petarung berhasil
menaklukan lawan tiga kali berturut-turut atau tiga kali lebih dulu dari lawan.
Dengan imaginasi saja tarung Raga
ini sudah terlihat. Dua Petarung misalnya sudah mencapai masing-masing
kemenangan telak atau draw, maka akan ditentukan satu kali lagi untuk
mendapatkan seorang pemenangnya.
Terlihat jelas setiap kali kedua
petarung Raga ini melakukan benturan antar badan paling tidak sekitar lima
kali. Ronde tak dibutuhkan, setiap satu benturan dan kemudian didapat seorang
pemenangnya masing-masing diberi kesempatan istirahat beberapa menit untuk
mengatur strategi dan persiapan ke gelanggang lagi.
Wasit berhak menentukan sah tidaknya
teknik yang diperagakan, juga berhak membatalkan bila salah satu petarung
melanggar aturan pertandingan. Aturan-aturan lain tarung Raga ini bisa didapat
saat dipraktekan di arena pertandingan. Yang penting prinsip tarung Raga ini sudah didapat yaitu badan
lawan badan, memanfaatkan berat badan untuk mendapatkan kemenangan dll.
Jenis-jenis latihannya tentu sangat
berlainan dengan tarung Etang maupun tarung Versi I dan II Al-Jurus.
Orang-orang berbadan gemuk memiliki problematika sendiri. Sebagian besar
orang-orang berbadan gemuk karena sudah keturunan. Mereka tetap perlu berolah
raga biarpun terbatas gerakannya. Tarung Raga inilah jawabannya.
Bagaimana dengan orang-orang
berbadan gemuk karena kurang gerak?
Mereka tak masuk kategori kelas dalam
tarung ini. Seorang yang mengalami kegemukan karena kurang olah raga tak
mungkin dilatih lagi, tuntutan untuk orang-orang ini adalah mengurangi berat
badan demi kesehatan.
Dalam tarung Raga teknik yang
berhasil diperagakan menentukan peringkat. Seorang Petarung yang berhasil
mengalahkan beberapa lawannya dengan teknik RAGA (mengangkat tubuh lawan)
dihitung beberapa kali teknik tersebut berhasil dilakukan. Setelahnya teknik
lain seperti BEKUK juga menjadi poin tersendiri.
Dibawahnya kemudian mendorong
(SURUNG), dan menjatuhkan lawan (TIBA). Bayangkan seorang Petarung raga telah
menghadapi sembilan peserta dalam satu even. Berarti terdapat peragaan teknik
9x3=27 teknik. Nah dua puluh tujuh teknik ini bisa diuraikan dalam contoh
berikut.
1. Semuanya
teknik RAGA (27 kali) Sempurna
2. Teknik RAGA
20
Teknik BEKUK 7
3. Teknik RAGA 10
Teknik BEKUK10
Teknik SURUNG 7
4. Teknik…..dll.
Tentunya jika teknik RAGA mencapai
dua puluh tujuh tentu itulah juaranya. Selebihnya menurun sebagai peringkat di bawahnya.
Uraian diatas masih mentah, belum
ada prakteknya di lapangan. Masih harus dikaji sebagai bentuk tarung baku yang
diakui sebuah lembaga tersendiri.
***
“Hiyaa!” Seseorang menepuk punggung
Surip. Kemudian terdengar kata selanjutnya. “Ela mengkhayal Lek, kesurupan
kareh ikau.” Meldi berkata seraya duduk di tepi palbet tempat tidur Surip.
Surip yang tadinya terlonjak kaget
bisa meredam dirinya yang tadi tak terkendali. “Uuuh copot jantungku Mel!”
Sebaliknya Meldi berdendang lagu kerungut.
Surip tertawa mendengar lagu kerungut yang dinyanyikan Meldi.
“Aku tak mengira ikau mahir krungut
Mel, ayo ajari aku.” Surip berkata memuji pura-pura memohon meminta sesuatu.
“Kawa ae tapi aku laku kaos barumu
Lek.” Meldi menunjuk kaos yang baru dibelinya di Kuala Kurun. “Kareh aku huruf
dengan uang Lek.”
Surip melongo, kaos yang dibelinya
ternyata ditaksir Meldi. “Heh Mel dari pada ikau ambil kaosku jewu kita je
Kurun nukar yang lebih behalap.” Surip berkata memberitahu Meldi akan keadaan
kaos barunya yang dibeli murah dan pasti ada yang lain yang lebih baik.
“Dia aku ambil ayung ikau Lek,
behalap tutu.” Ujar Meldi mengerasi maksudnya.
Masih Surip mencoba mempertahankan
hak miliknya, tetapi Meldi tetap ngotot. Sebenarnya heran juga Surip dengan
kelakuan Meldi ini. Akhirnya terpaksa Surip menyerah, dibiarkannya Meldi sesuka
hatinya mengambil kaos barunya yang kemudian langsung dipakai Meldi.
“Uiih rupanya ini watak Meldi yang
tersembunyi, orangnya bila sudah menyukai sesuatu akan terus mengejarnya hingga
dapat.” Kata Surip dalam hati. “Yang diperebutkan hanya pakaian kaos rupanya
Meldi sangat suka penampilan sedikit mewah.”
Hampir-hampir
mereka berdua bertengkar hanya gara-gara pakaian. Meldi yang sudah mendapat
baju kaos Surip terus berdandan dan berdecak kagum dengan penampilan barunya.
Mulutnya tak henti-hentinya melagukan kerungut. Ada-ada saja watak manusia di dunia
ini, Surip kini tahu jenis manusia seperti Meldi ini.
Baru kali ini Surip bersama dengan
meldi. Saat ini Surip membawa regu pembebasan I, sedangkan Meldi di regu
kegiatan ITT (Inventarisasi Tegakan Tinggal) bagian Perencanaan. Masing-masing
regu mengerjakan petak dan berlokasi yang sama.
Meldi hanya tukang masak, itu
pekerjaan spesialisasinya. Orangnya memang pemalu. “Aku heran dengan ikau Mel,
dia puji aku mendengar ikau menyanyi kerungut bila ada bubuhannya?” Surip
bertanya.
Kini di depan matanya Surip menjadi
saksi keahlian Meldi melagukan kerungut atau pantun Dayak. Surip tak tahu
arti-arti pantun dalam bahasa Dayak, tetapi lagunya sering diperdengarkan radio
RRI Palangkaraya.
“Jurus Pencak Silat pun di beberapa
daerah selalu diiringi dengan musik. Irama kerungut dan musik-musik daerah pada
umumnya monoton. Hitungannya memang bisa disesuaikan dengan tarian atau
Pencak.” Surip lagi-lagi menghubungkan keadaan lingkungan Dayak dengan bidang
yang digelutinya.
Biarpun berbeda tetapi tetap terasa
persamaan lingkungan antara satu daerah dengan daerah lain di seluruh Nusantara
ini. Termasuk juga dalam olah raga bela diri Pencak Silat. Semuanya bisa saling
berhubungan walaupun berlainan suku dan bahasa. Itu menunjukan bahwa nenek
moyang bangsa Indonesia dulunya berasal dari suatu daerah sama.
Ternyata setelah teman-teman
seregunya berdatangan, Meldi tak seriang saat berdua dengan Surip. Meldi pemalu
dan merasa paling bodoh diantara anggota regu perencanaan. Sejak mengenalnyapun
Surip tahu bidang yang dikerjakan hanya di bagian dapur melulu. Sekarang Surip
tahu diam-diam Meldi memiliki bakat dibidang lain, itulah feelingnya. Dengan
jalan tersebut ia mengambil lagu daerah sebagai basis mengenal musik lain.
Di hari-hari selanjutnya bakat Meldi
terasa saat mencoba berlatih gitar di camp. Beberapa lagu ternyata langsung
mampu dinyanyikan terutama lagu-lagu Pop bernada diatonic. Dari gitar pinjaman
Meldi terus berinovasi mencoba berbagai lagu dan jenis musik walaupun tetap
basis dasarnya dari musik kerungut. Terasa kemajuan perlahan karena ia berlatih
insentif. Bakat lain ternyata muncul juga dari Meldi ini, begitu mulai mencoba
berlatih bulutangkis ia bisa bergerak lincah melangkah ke kanan ke kiri mengitari
lapangan untuk memukul bulu angsa.
Ah dunia memang seperti itu, bila
mau belajar bakat terpendam di dalam diri kita akan keluar biarpun latihannya
sedikit demi sedikit. Surip mencontohkan dirinya sendiri yang berlatih bela
diri Pencak Silat di hutan. Semuanya dirasakan tak tergesa-gesa, perlahan tapi
pasti mendapatkan kemajuan yang tak terduga.
Kegiatan pembebasan I dan
Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) memang berada dalam satu RKT (Rencana Karya
Tahunan). Hanya saja kegiatan ITT akan lebih cepat selesai karena hanya mendata
tegakan tanpa perlakuan apapun. Sebenarnya data ITT itulah yang menjadi acuan
kegiatan pembebasan I dan selanjutnya. Sayang biasanya setahun dua tahun
pembebasan masuk, bekas-bekas data ITT sudah hilang. Terpaksa kegiatan
pembebasan mulai lagi dari awal.
Seperti biasa Surip keluar saat
menjelang sore, jadwal latihannya masih berjalan. Jangan salah, apa yang
dilakukan Surip itu adalah kegiatan selingan. Kegiatan intinya tetap berupa
pekerjaan mencari rejeki. Dan itu bisa didapatnya dari perusahaan HPH.
Pekerjaan yang berada jauh di dalam hutan bebas menafsirkan kegiatan yang
dipegangnya.
“Aku umba Lek, bosan aku je pondok
terus.” Meldi tiba-tiba beranjak cepat mengikuti Surip yang sudah berada di jalan
logging. Surip agak gelagapan, diikuti Meldi berarti batal latihannya.
“Ayolah kita ke bekas camp tarik,
lumayan tege pucuk jawau je hitu.” Surip berkata mengalihkan maksud tujuannya.
Jadilah mereka berdua jalan-jalan
sore itu di petak kegiatan pembebasan. Bekas camp tarik yang dimaksud Surip
berada di hulu sungai tempat mereka berpondok. Untuk mencapainya melalui
beberapa tanjakan bukit jalan logging truck.
Mereka berdua berjalan sambil
ngobrol, tak lupa keduanya menenteng masing-masing sebilah parang. Ini di
hutan, perasaan lebih aman bila membawa senjata. Tak lupa Meldi membawa ketapel
bikinannya sendiri (Uh Meldi ini mengingatkan Surip tentang dirinya yang
ternyata berzodiak sama yaitu kepiting, orangnya sensitive dan rata-rata
pemalu). Dengan ketapel ini ia menyesuaikan dengan lingkungannya. Ia terlatih
menggunakan ketapel untuk berburu burung. Berlawanan sekali dengan
teman-temannya yang membawa senapan angin.
“Belok kanan Lek lebih cepat sampai
kita di bekas camp tarik.” Meldi menunjuk jalan dorongan traktor.
Surip yang kelabakan, “Jalan te tertutup semak
belukar Mel, kita ikuti jalan yang nyaman saja.” Tentu saja itu salah satu
tempat rahasia Surip berlatih.
“Ah kejau Lek, ie te jalan pintas.”
Meldi langsung terus belok kanan tak peduli dengan kata-kata Surip.
Sebentar kemudian Meldi berteriak
keras,
“Oi Rip tege jejak aneh je hitu!”
Teriaknya makin membikin Surip senewen.
“Sialan Meldi ini, itu tempat aku
berlatih tahu!” Suara itu terdengar dalam hatinya saja.
Sementara Meldi terus berkomentar
atas penemuannya.
“Mias jejak te, binatang narai
sampai berkeliaran je hitu?” Kata-katanya polos karena bingung dengan apa yang
ditemukannya. Tapi kemudian dugaannya tepat,
“Ah paling ini jejak manusia, tapi
narai gawean uluh te?” Meldi tetap bingung karena tak ketemu jawabannya.
Surip pun diam saja, dibiarkannya
Meldi dengan berbagai dugaan terhadap apa yang ditemukannya di jalan traktor.
Tempatnya cukup datar dengan lapisan tanah empuk. Jejak-jejak itu paling
menonjol di satu garis tapak-tapak kaki terhunjam di tanah.
“Biari Mel. Ayo nanjung ke bekas
camp tarik.” Cepat-cepat Surip mengajak Meldi meninggalkan salah satu tempat
favorite berlatih jurus.
“Jejak eweh Rip, hanya kita yang
berpondok je petak te?” Meldi bertanya curiga tapi terus melangkah menuju
tujuannya.
Ini adalah hal-hal konyol yang
dialami Surip gara-gara kegiatannya berlatih bela diri Pencak Silat. Meldi
hanya sekali ini saja berpondok bersama Surip. Kegiatannya di Perencanaan lebih
sering masuk petak hutan yang masih perawan (Hutan Primer).
Orangnya rupanya merasa rendah diri
diantara teman-teman kerjanya. Rata-rata orang survey bagian Perencanaan memang
tenaga pilihan. Kepala Bagiannya orang Banjar bekas alumni UNLAM. Ada seorang
yang direkrutnya konon didikan dari
pemain club sepak bola Barito Putra. Karenanya anak buahnya ini tidak hanya diandalkan untuk ikut survey
saja tetapi sering menjadi anggota team
sepak bola perusahaan sehingga selalu menang di Kuala Kurun bila ada
kejuaraan.
Meldi menjadi satu-satunya orang
kampung yang ikut kegiatan Perencanaan. Tentu hanya bagian dapur saja. Ini
bagian yang paling dijauhi anggota regu manapun. Dengan Surip Meldi di camp
cukup akrab. Sering mereka berdua berjalan-jalan di Kuala Kurun. Beberapa
bagian sifat Meldi seperti cermin bagi Surip, introvert dan menutupi berbagai
kemahirannya karena malu.
Seiring
dengan statusnya yang meningkat, Meldi mulai memperlihatkan ketrampilannya.
Pergaulannya membuat ia mencoba berbagai fasilitas yang ada di camp. Bakat
alamiahnya dari lingkungan Dayak di coba dalam musik modern dengan iringan
gitar. Ternyata feelingnya cukup tajam untuk menentukan perbedaan nada,
sehingga lagu-lagu pop bisa dinyanyikannya. Bahkan dalam bidang olah raga yaitu
bulu tangkis ia demikian lincah mempermainkan raket dan kock bulu angsa
melebihi Surip yang hanya sekedar ikut-ikutan di camp. Demikian Meldi di camp Rimbawan. Rendah diri dengan berbagai bakat alamiah yang disembunyikan.
Lain lagi dengan Harahap. Segudang
perantauannya di berbagai daerah Indonesia hanya menjadi bualannya saja. Banyak
sekali kisah petualangannya yang demikian seru terlalu dilebih-lebihkan. Hanya
enak didengarkan tapi tak mungkin benar-benar terjadi, lebih mirip film yang disesuaikan
dengan tempat-tempat yang pernah disinggahinya.
Beberapa kejadian tak nyaman dialami
Surip dalam bergaul dengan Harahap yang satu ini. Berbeda dengan Agus Lenong
yang sama bermarga Harahap tetapi memiliki tenggang rasa tinggi. Harahap yang
ada di camp Rimbawan menjadikan Surip sebagai sarana menonjolkan diri di camp.
Klaimnya bahwa dialah yang melatih Surip
dalam bela diri membuat orang-orang camp mengaguminya. Kegiatan apapun yang
Surip lakukan diperhatikan orang camp. Tentu Surip memperlihatkan berbagai
disiplin hasil latihannya dalam Pencak Silat. Semuanya dianggap sebagai jasa
seorang bernama Harahap.
Disiplin adalah hasil sampingan
seseorang berlatih kegiatan bela diri. Dua puluh empat jam sehari terbagi menjadi
beberapa sesi kegiatan. Kebiasaan bangun pagi baik itu di camp maupun di pondok
kerja tak bisa dibantah lagi. Pagi-pagi dengan udara dingin segar membuat tubuh
bergerak dalam latihan-latihan ringan mencapai kebugaran.
Perbandingannya sangat terasa saat
bersama-sama dengan orang lain berjalan kaki di jalan menanjak bukit.
Orang-orang yang tak berlatih akan tersengal-sengal nafasnya dan kepalanya
merasakan pening. Surip mampu menanjak bukit tanpa banyak kesulitan, staminanya
meningkat hingga menjadi kebiasaan positif.
Lagi hasil latihan yang berhubungan
dengan moral, yaitu kejujuran. Sesi-sesi latihan jurus melatih tubuh mengakui
jujur tidaknya hasil latihan. Hari ini hanya mampu push up lima puluh kali tak
mungkin tubuh bicara seratus kali. Tubuh sedang sakit juga jujur akan angkat
tangan dipaksa berlatih. Porsi-porsi latihan cukup terukur, satu juruspun tahu
berbagai kesulitannya, porsi tempaan fisik seperti push up, scot jump, sit up
menjadikan Surip tahu tubuhnya mampu digenjot dalam latihan-latihan berat.
Tak ada orang camp atau sesama orang
survey mencapai kemajuan dalam porsi berlatih seperti Surip. Bisa orang di camp
trampil bermain bulutangkis, bola volley, sepak bola, atau tenis meja. Tapi
semuanya lebih diikuti orang karena unsur hiburannya. Semuanya hanya sebatas
permainan seperti remi, domino, atau catur. Semua permainan tersebut bisa
ditinggal sewaktu-waktu atau terlupakan.
Pencak
Silat yang dilatih Surip justru melebur menjadi bagian hidupnya. Berbagai sesi
di dalamnya adalah ritual seperti upacara. Berbagai pandangan hidupnya terhadap
lingkungan diambilnya dari disiplin yang ditemukannya sendiri. Pencak Silat
menjadi semacam semangat bertahan hidup. Menjadi sebuah doktrin seperti
keimanan dalam agama. Tentu tidak setinggi agama, tetapi mengiringi agama yang
dianutnya. Itulah Al-Jurus, sebuah pandangan hidup dengan dasar bela diri.
Beberapa
bulan Harahap menjadi sopir Rimbawan. Bualannya terbukti di bidang tersebut,
mobil rimbawan tak pernah beres di tangannya. Ada-ada saja masalahnya, mesin
mogok, bensin selalu kurang, bermain-main dengan barang-barang yang diangkutnya,
semisal minta jatah setiap kali mengantar ke suatu tempat, dan mencoba main mata
sebagai jasa angkutan dengan orang kampung menjadikan Kabag pembinaan dan
perencanaan memberi sanksi.
Setelah
itu Harahap hanya menjadi kenang-kenangan orang camp Rimbawan sebagai sopir
paling tidak disiplin yang pernah ada. Ia meninggalkan masalah yang dikeluhkan
oleh penggantinya. Surip sendiri merasakan getahnya juga secara pribadi. Ada
tenaga harian tetap mendapat jatah kasur perorangannya. Tentu saja karena
mendapat jatah adalah haknya langsung diambil.
Eee….
Sebulan baru dipakai, setelah masuk kegiatan survey. Kasur itu disikat Harahap.
Tentu saja Surip protes dan mempertanyakannya. Saat itu awal-awal Harahap menjadi
sopir Rimbawan. Jawaban Harahap membuat Surip geleng-geleng kepala,
“Kamu
itu harian tetap, aku ini sopir statusnya bulanan. Lebih tinggi aku ketimbang
kamu!” Kasar sekali kata-katanya merendahkan Surip. Sayang saat itu tak ada
yang membela Surip. Semuanya membiarkan kejadian itu karena perbedaan status
karyawan. Surip yang menjadi korban kenakalan Harahap.
Hidup
di masyarrakat dengan berbagai latar belakang membuat tanggapan terhadap
kegiatan Surip berbeda-beda. Harahap paling
menonjol karena memanfaatkan kegiatan Surip untuk mendongkrak popularitasnya
di camp Rimbawan. Banyak saja orang-orang camp yang tahu dan hanya menyinggung
sekedar sebagai bahan obrolan supaya nyambung.
Orang-orang
seperti Gundam dan Junaedi misalnya tidak akan ikut campur apa lagi
mempengaruhi Surip dengan merendahkan kegiatan yang dilakukannya. Bagi mereka
masing-masing juga memiliki bidang dan dunia sendiri-sendiri.
Gundam
dengan berbagai kelebihannya sudah sibuk dengan berbagai masalah keluarganya.
Perbandingannya dengan urusan keluarga yang memaksanya untuk turun tangan
membantu kedua orang tuanya membuatnya sadar lebih sulit mengurusi diri sendiri
dari pada mencampuri urusan orang lain.
Junaedi,
ia dituakan dalam kelompoknya sendiri. Ia adalah mantan gangster di
Banjarmasin. Biarpun ia mencoba mengubah perilaku untuk tidak terlibat dalam
tindakan-tindakan kriminal, tetapi cap sebagai gangster tetap melekat.
Keluyurannya pun tak jauh-jauh amat dari dunianya dahulu seperti tempat karaoke
atau bergaul dengan gangster-gengster di Kuala Kurun.
Di sanalah
ia mendapat tempat terhormat. Dituakan dan menjadi panutan karena
kewibawaannya. Dengan Surip Junaedi bergaul akrab, kadang berdiskusi tentang
pekerjaan dan masalah agama. Dari Surip Junaedi cukup banyak mendapatkan
pengetahuan tentang perbandingan agama karena adanya misi gereja di pedalaman.
Ada
beberapa hal yang Surip sering tidak mengerti di camp Rimbawan. Biarpun
orang-orang camp tahu kegiatan dan kemajuannya baik itu dalam karier di
perusahaan maupun kegiatan latihannya. Anggapan orang-orang camp tetap seperti
pada awal-awal dirinya masuk di camp.
Beberapa
kejadian yang pernah dialaminya seperti kena rengas, tubuhnya yang kurus
kerempeng terkesan kurang makan, apa lagi kejadian saat dirinya menebas semak
belukar ala penyabit rumput, selalu diungkap. Mereka selalu menjadikan kelakuan
Surip sebagai tolok ukur kemampuannya. Begitulah kesan Surip hidup di camp,
kemampuannya tidak meningkat bahkan cenderung dibodoh-bodohkan.
Kenapa
bisa demikian?
Ada
semacam kebiasaan dil ingkungan camp syang mengikuti kebiasaan orang local.
Apapun kegiatan di mana seseorang terlibat didalamnya hanya dianggap hebat bila
selalu melakukannya dengan taruhan (judi). Olah raga apapun jenisnya selalu
dengan taruhan, biarpun itu hanya berupa sekaleng minuman bersoda. Main remi,
domino, belum lagi permainan dadu gurak biarpun diam-diam. Ada larangan bermain
judi di camp, tetapi itu sekedar papan larangan bertulisan besar. Praktek judi
tetap marak dan orang-orang yang melakukannya itulah yang dianggap sebagai
orang hebat di camp.
Kebiasaan
lain adalah minum-minuman beralkohol. Siapapun yang masuk lingkungan ini
sepertinya akan begitu banyak memiliki teman pergaulan. Hari ini traktir orang-orang
itu minum, besok pasti diajak ke tempat lain untuk bergabung sesuai giliran.
Jadi siapapun tinggal pilih jika ingin luas pergaulannya.
Dan
Surip salah satu orang yang tersisih dalam pergaulan. Apa lagi seleranya jauh
berlainan dengan kebiasaan-kebiasaan mayoritas orang camp. Prestasi Surip yang
diakui di camp hanyalah kemampuannya mengetuai regu kegiatan pembinaan. Jika itu
sudah hari-hari hendak masuk survey, orang-orang camp kongkalikong untuk bisa
ikut menjadi anggota regu yang dimandori Surip.
“Umpat
Surip itu nyaman, gaweannya tidak menekan dan mudah diajak kompromi.” Itu ujar
orang-orang camp diam-diam di belakang Surip.
Terus
berbagai peristiwa dilalui Surip, bagian novel ini menceritakan
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan journal latihannya. Kegiatan-kegiatan
pembinaan makin mengerucut pada bagian pembebasan. Bagian ini terdiri dari
Perapihan, Pembebasan I, II, III, dan Penjarangan I, II, III. Spesialisasi mulai
berjalan dan Surip mendapatkan kegiatan Perapihan. Jadi jika setahun ada
sepuluh bulan efektif masuk hutan bisa delapan bulan adalah kegiatan Perapihan
dan lainnya hanya berperan sebagai pengganti mandor lainnya yang sedang
berhalangan.
Sebaliknya
dinamika perusahaan juga tidak konstan. Situasi politik nasional hingga tingkat
kedaerahan sangat mempengaruhi maju mundurnya perusahaan. KalTeng termasuk
kantong partai-partai Nasionalis. Partai-partai yang mengusung ideologi
nasionalis tradisional seperti PDI dan sempalan-sempalannya sangat kuat
di pedalaman. Panutannya adalah ketokohan pahlawan nasioanl Cilik Riwut yang
berkolaborasi dengan Presiden pertama RI Ir. Soekarno. Palangkaraya menjadi
tolok ukur Dwi Tunggal panutan orang-orang KalTeng. Kedua tokoh itulah
penggagas ditentukannya perpindahan ibu kota NKRI dari Jakarta ke Palangkaraya. Suatu cita-cita yang tetap terpendam daalam dada setiap warga KalTeng.
Surip
berada di KalTeng antara runtuhnya Orde Baru digantikan Orde Reformasi.
Tumbangnya rezim Soeharto diikuti dengan aksi penjarahan aset-aset konglomerat
dan rasialisme terhadap warga Cina. Setelah itu mulailah kerusuhan-kerusuhan
di setiap daerah bernuansa separatis dan etnis. Dan KalTeng adalah salah satu
daerah yang menyimpan konflik antar etnis. Perselisihan antar etnis menjadi
fenomena bom waktu, kapanpun bisa meledak.
Dunia
Surip sangat kecil tak sebanding dengan lingkungan sekitarnya. Journal
latihannya tak bakalan masuk agenda politik tingkat manapun. Di camp tempat
tinggalnya hanya ia seorang yang berlatih dengan dalih ingin berbeda dengan
yang lain.
Komik
dan film selalu menggembar-gemborkan adanya dunia bawah tanah yaitu dunia
persilatan. Pengaruhnya digambarkan mampu menjangkau altar Kakaisaran China.
Pendekarnya digolongkan dalam golongan hitam dan putih yang selalu berseteru.
Ternyata di dalam alam nyata tidak sehebat itu.
Di
Sicilia ada mafia, dunia bawah tanah dengan hukum tersendiri yang selalu bersinggungan
dengan kriminalitas. Hukum di Italiapun yang jadi negara intinya mensub
bagiankan golongan mafia ini. Tapi hanya tindakan kriminalitasnya saja yang
bisa dijerat. Organisasinya timbul tenggelam dan tidak nampak di permukaan.
Seseorang pelaku kriminal yang telah membunuh didakwa pasal pembunuhan tidak
menjangkau kejadian persaingan antar organisasi mafia yang saling berebut
pengaruh.
Dunia
Persilatan baru sebatas budaya lokal, digerakan oleh perguruan di seluruh
Indonesia dan dicoba disatukan dalam wadah olah raga di IPSI. Didikannya baru
sebatas mental spiritual, perkembangannya dicoba distandarkan oleh IPSI.
Paling
tinggi dunia persilatan adalah jasa keamanan terhadap lingkungan baik itu bayaran
maupun partisan saja. Ada perselisihan antar perguruan yang berujung pada
perkelahian massal, sangat mudah dikategorikan sebagai tindak kriminal.
Bagaimana
status Surip di bidang yang digelutinya ini?
Ia
adalah mantan siswa anggota dan pelatih di sebuah perguruan Pencak Silat.
Al-Jurus diambilnya hanya untuk mendapatkan lingkup legalitas kemampuannya.
Kemungkinan di Indonesia banyak orang-orang yang mengalaminya. Mencintai bela
diri Pencak Silat bahkan melatihnya tetapi sudah tidak bernaung dalam perguruan
manapun.
Anda
termasuk di dalamnya?
Kembali
ke sebuah kegiatan Perapihan di perusahaan PT Johanes Arnold Pissy Kuala Kurun.
Tak usah diceritakan detail Surip dan anak buahnya masuk regu Perapihan.
Di sebuah pinggir sungai di bawah naungan pepohonan hutan hujan tropis. Pondok Perapihan hari itu kedatangan beberapa mahasiswa magang.
Wahab
berbisik di telinga Surip, “Bungas bebinian magang Rip, ikam paraki nah..” He
He He ternyata itu cewek satu-satunya anggota mahasiswa magang tersebut. Orang
hutan (survey) bertemu cewek?
Tak
ada yang memberi komando, pasti semuanya beraksi cari perhatian. Tak terkecuali
Surip yang jadi mandor di regu tersebut. Perkenalan sudah terjadi, Surip
komandannya paling dulu berjabat tangan.
“Martha.”
Surip mengulangi nama perempuan tersebut. Tubuh ramping berkulit putih cantik
seperti kata Wahab. Sedikit jerawatan dengan status mahasiswi magang, sangat
terpelajar.
“Ya
ngaran panjangnya Martha Nahas Evangel.” Ujarnya menambahkan. Wou keren banget,
jauh dari nama Surip yang berbau ndeso (tapi nama Surip ini asli nama Jawa
bahasa kawi alias Jawa kuno).
“Tinggal
dimana ikam di Banjar baru?” Surip bertanya. Orang-orang ini mahasiswa dari
UNLAM Banjarbaru, itu tempat keluyurannya Surip dulu. Ini semacam nostalgia
Surip di perantauan.
“Perumahan
Guntung payung.” Martha menjawab dengan senyum manis sekali. Duillah lelaki
mana yang nggak naksir dengan Martha ini, Surip pun tahu dirinya tertarik
olehnya.
Surip
segera bercerita tentang dirinya yang pernah tinggal di jalan Purnama dan
sekaligus teman-temannya yang ada di Banjarbaru. Rental Silva komputer yang
ternyata sudah bubar, bahkan menunjukan rumah Pak Sastro yang pernah
disinggahinya sehingga tahu Martha itu berada di blok mana di perumahan Guntung
Payung.
“Berarti
ketika Mas Surip di Banjarbaru Martha baru semester dua ya.” Martha ternyata
tidak rikuh ngobrol dengan Surip. Saat Martha memanggil Mas...waah berdesir hati
Surip.
“Ei
aku ada kenalan cewek di jalan Purnama, ngarannya Evi dari Tamiang Layang.
Berarti kalian sama-sama Dayak Manyan ya?” Terus Surip ngobrol dengan Martha
membuat anak buahnya yang lain mundur memberi kesempatan. Juga orang magang
yang lelaki tak keberatan si Martha didekati lelaki wong alas ini. Kalau orang
magang lelaki itu langsung sibuk bermain kartu melawan Wahab Cs. Apalagi masing-masing
juga tahu mereka sesama orang Banjar.
Entah
kenapa Surip yang agak dingin menghadapi cewek kali ini bisa terbuka dengan Martha.
Bahkan beberapa kali Surip agak nakal menyentuh bagian sensitive Martha. Tak
ada protes dan ceweknya menerima pasrah.
Di
pondok sering ngobrol, di hutan pun saat bekerja seperti sepakat berpasangan.
Orang-orang anggota regu dan teman-teman cowok Martha tak ada yang bertanya
macam-macam. Sepertinya memaklumi keadaan Surip yang sebagai lelaki juga normal
membuat pendekatan terhadap perempuan.
Tapi
Martha ini juga memperlihatkan diri sebagai pelajar yang kritis.
“Masak
masuk hutan begawai sebentar saja Mas. Mana target tebasan dua hektar sehari?” Pertanyaan seperti ini
yang sering menyulitkan Surip sebagai ketua regu.
“Ya
ini istilahnya estimate saja, yang penting masuk hutan setiap hari. Soal
tebasan kemampuan manusia sangat terbatas. Berapa kali aku mencobanya satu
jalur ternyata baru benar-benar tembus tiga hari. Jadi ini sudah kompromi di dalam
hutan, kita tahu sama tahu sajalah.” Surip terpaksa menerangkan keadaan
kegiatan yang dibawanya.
Tetapi
orang-orang seperti Martha yang dibekali konsep kehutanan sering mendebat Surip.
Surip menyerah tak mungkin masuk teori-teori kehutanan yang tak mungkin bakalan
pernah dilahapnya. Di lapangan ia sebagai mandor menafsirkan kegiatan perapihan
seenak udelnya sendiri. Bayangkan masuk hutan bekerja dengan dominasi tebasan
saja dan ternyata tak pernah dituntut membuat laporan kegiatan yang dibawanya.
Laporan perbulan itu ada yang membuat sendiri di kantor.
“Untuk
urusan laporan kegiatan langsung saja ikam bertanya kepada Asisten Pembebasan
di kantor. Kami di hutan tak lebih hanya dipasang sebagai pion untuk memenuhi
persyaratan HPH TPTI.” Karena kewalahan Surip pun mencoba memberi keterangan keadaan
dirinya dan nasib sebenarnya orang-orang survey.
Hanya
alat pengumpul kekayaan atasan di perusahaan!
Pernyataan
Surip justru tampaknya memuaskan Martha cs. Mereka fair dengan pernyataan yang
dikeluarkan Surip. Keterangan Surip tercatat sebagai data lapangan untuk
laporan terhadap pihak civitas akademika.
Sebuah
kenyataan di lapangan, orang-orang survey seperti Surip cs kurang atau minim
sekali aksesnya terhadap atasan di kantor. Begitu juga perannya terbatas
sekali, gembar-gembor bahwa kegiatan survey adalah tambang uang bagi pelakunya
tidak terjadi. Orang-orang lapangan tidak akan pernah tahu berapa besar
anggaran kegiatan dan juga tidak diberi kesempatan mengelola sendiri. Alhasil
Surip cs hanya pekerja dengan upah sesuai statusnya masing-masing di perusahaan.
Kepada
Martha Surip berkata tentang dirinya,
“Aku lebih takut menganggur dari pada masuk
hutan yang paling menyeramkan sekalipun.”
Di sini
Surip menyembunyikan kegiatannya yaitu Pencak Silat. Tak ada kaitannya civitas
akademika dengan dirinya yang hidup dengan pendekatan praktisi bela diri.
Sesuatu yang berbeda, logika rasional dengan praktisi ritual. Keduanya memiliki
journal sendiri-sendiri. Surip berada di jalan praktisi ritual, sebuah dunia
yang kegiatannya menjadi audisi individual.
Hanya
beberapa hari Martha cs di regu yang dimandori Surip. Surip terkesan dengan
cara bergaulnya Martha, ada perasaan tertarik Surip dengannya. Mungkin Dewi
Amor datang memperlihatkan dirinya mengusik Surip sebagai lelaki.
Terus
hari-hari mendekati akhir bulan, setiap regu kegiatan akan turun ke base camp
di km 4. Itulah hari-hari yang ditunggu orang-orang survey karena jenuh hidup
di dalam hutan. Orang-orang survey adalah manusia yang terkucil, paranoid dan
haus akan hiburan.
Pernah
anda mengalaminya?
Semua bentuk karya tulis ini masih imaginasi Penulis.
Bila ada orang lain mengakuinya sebagai pencipta Tarung dan banyak memiliki kemiripan dengan yang Penulis paparkan Dia tetap berhak mendapatkan Hak Cipta. Apalagi bila mampu mengembangkannya sebagai prestasi Atlet dalam even pertandingan resmi.
Sesungguhnya lembaga-lembaga bela diri terutama dalam lingkup Pencak Silat memiliki tugas utama sebagai pengejawantahan praktek di masyarakat adalah sebagai Pembela dari Hak Cipta di lingkup bela diri ini.
Hal tersebut akan Penulis paparkan dalam tulisan lain.
No comments:
Post a Comment