Thursday, August 4, 2016

Sambungan Tarung Jurus versi I dan Tarung versi II

Ini kesalahan Penulis yang kurang bisa menguasai media sosial, saat menulis di Blog rupanya ada kesalahan teknis yang tak bisa diperbaiki.
Huuuuuu......
Karenanya untuk memperbaikinyaa langsung membuat judul baru, tapi masih bagian dari judul artikel TARUNG JURUS versi I dan versi II
Yah saat dilihat baru ketahuan, tidak tampil keseluruhan artikel, padahal sudah lengkap kap tulisannya. Jadi bila pembaca melihat tampilan artikel Tarung Jurus segera tambahi dengan artikel judul Sambungan Tarung Jurus ini.
Harap maklum.....
Kita sadur kembali tulisannya,

Coba lihat nama-nama dalam teknik yng diperagakan dalam setiap JURUS dalam Tarung. Bila beberapa teknik tersebut bisa terlaksana untuk mengalahkan lawan, tentulah sudah sangat hebat.
Terkadang seorang petarung biar hebatnya seperti apa untuk mengalahkan lawan hanya mengulang-ulang teknik tertentu saja. Alangkah sayangnya teknik-teknik dari kandungan jurus bila tak terpakai....
Kekayaan teknik jurus inilah yang coba penulis tuangkan dalam gagasan Tarung agar bisa menjadi inti prestasi atlet.
Jadi nama Tarungnya adalah,
TARUNG JURUS versi I dan TARUNG JURUS versi II
Penulis sudah menuangkannya dalam sebuah draft Novel, inilah draft tulisan tersebut biarpun masih khayalan penulis belaka.....

                                               
                                                  Tarung Versi I dan II Al-Jurus

Di camp km 4 seperti biasa sore hari orang-orang berolah raga. Surip tak canggung lagi untuk bermain tenis meja. Hari-harinya dihabiskan untuk berlatih teknik-teknik permainan. Yang agak mengherankan Surip Harahap selalu membuntuti dirinya untuk bermain tenis meja.
            “Ha Ha Ha ayo Rip aku jadi lawan latih tandingmu. Kulatih teknik yang benar soal tenis meja.” Seperti biasa lagaknya menggurui.
            “Bah Harahap lagi, memangnya cuma kamu yang bisa tenis meja di camp.” Surip berkata heran juga. Orang yang satu ini ternyata begitu peduli dengan dirinya.
            Urusan bermain tentu tak masalah, apa lagi cuma tenis meja yang permainannya umum di camp. Siapapun bisa bergantian bila sudah bermain satu dua set. Tapi kali ini Surip makin heran dengan kelakuan Harahap. Terlihat sekali Harahap hanya melayaninya saja, tambahannya dengan gaya seorang pelatih.
            “Bola kembalian seperti ini harus kamu smesh Rip!” Katanya memberi umpan bola yang memungkinkan Surip melakukan smesh.
            “Bola ini bagus bila dipelintir atau diumpan rendah!” Teriaknya lagi justru dengan suara keras memancing perhatian orang-orang yang menonton.
            Surip yang semakin merasakan suatu kejanggalan. Sepertinya ia ditonton orang karena adanya Harahap yang dipandang sebagai pakar.
            “Ada apa sebenarnya ini?” Surip mencoba melihat keadaan sekitarnya.
            Uiih perhatian orang-orang di camp ternyata tertuju pada aksi Harahap yang bak pelatih terhadap anak asuhnya. Apa lagi kemudian ada seorang perempuan yang nyeletuk.
            “Kamu harus hormat terhadap gurumu itu Rip.” Katanya memandang Harahap dengan penuh kekaguman.
            Sementarra Harahap semakin bersemangat memberi berbagai instruksi yang harus dilakukan Surip. Matanya berbinar-binar penuh kemenangan. Insiden ini memaksa Surip berhenti main tenis meja. Diserahkannya bad tenis meja kepada seorang penonton yang lain.
            “Silakan layani Harahap Lek.” Surip segera mundur, ternyata Harahap juga memberikan bad tenis meja kepada yang lainnya dan segera menyingkir.
            “Besok kita lanjutkan lagi pelajarannya Rip!” Sempat Harahap berkata kepada Surip.
          Surip memandangi Harahap, ditatapnya mata untuk memastikan suatu masalah yang dicurigainya. Benar mata itu penuh dengan rasa menang, tatapan licik karena berhasil menjalankan tipuan.
            Suriplah yang hari itu repot ditanyai orang-orang camp.
“Ikau te harus hormat terhadap gurumu Rip, ie te guru kunthow bahalap.” Popom berkata seperti menegur kelakuan Surip terhadap Harahap.
“Eweh berguru kunthow dengan Harahap, aku dia puji berguru dengannya?” Surip mulai tahu masalahnya sekalian bertanya.
“Harahap te bepandir ikau mengangkat sumpah setia sebagai guru kunthow, selama umba survey ie nah jadi pelatihmu.” Popom menerangkan sedikit apa-apa yang didengarnya di camp. “Harahap bepandir ikau bisa kunthow karena dilatih olehnya.” Popom berbicara cukup detil, Surip yang paham sekarang.
Beberapa hari di camp semakin santer berita tentang Surip yang telah berguru kepada Harahap.
“Aku heran dengan orang-orang ini, mereka begitu percaya dengan klaim Harahap. Padahal dalam sehari-harinya semua orang camp tahu Harahap itu pembual, hanya besar omong.” Surip berkata sendiri dalam hati.
Yang makin menyulitkan Surip, sikap Marlan yang terus menantangnya. Rupanya Marlan seperti penasaran terhadap Surip. Ada sekali komentarnya,
“Bisa bela diri juga anak kota ini, hendak menandingi aku rupanya!” Katanya dengan berbagai aksi memancing Surip.
Menyebalkan sekali Marlan ini jika bertemu dengannya. Terasa sekali Surip dipancing dengan menyodorkan kepala minta dipukul. Disorongkannya kepalanya kepada Surip menantang, berkeinginan Surip membuat semacam kesalahan untuk dibuatnya sebagai alasan membalas lebih keras.
Beberapa kali Surip menghadapi kelakuan orang-orang seperti Marlan ini. Pancingan-pancingan seperti itu sering dibuat supaya seseorang seperti Surip berada dipihak yang salah. Marlan sudah tahu kalau ia berlatih Pencak Silat sebagaimana dirinya. Marlan sendiri sudah terlanjur banyak sesumbar tentang hasil pencapaiannya dalam bela diri. Di camp semua orang tahu hanya Marlan lah orangnya yang memiliki prestasi bela diri.
Dan Surip adalah saingannya di camp rimbawan ini.
Jika pembaca menghadapi kelakuan orang-orang seperti Marlan ini hati-hatilah, seseorang menantang berkelahi tetapi kemudian menyodorkan kepalanya seolah-olah minta dipukul dulu adalah seorang pengecut. Orang yang menantang anda mencari celah memancing emosi untuk bertindak kepadanya, gilirannya setelah bertindak andalah yang dipojokkan dengan suatu kesalahan.
Jangan dilayani!
Mendorongnya pun bisa dijadikan alasan ia sebagai orang yang teraniaya apa lagi memukulnya. Contoh orang-orang seperti Marlan ini cukup banyak, hindari sajalah!
Beberapa bulan sudah berlalu dan Marlan selalu mengincarnya untuk suatu bukti keunggulannya. Itulah kesulitan Surip di camp rimbawan, tak pernah berkelahi hanya dipancing emosinya terus untuk bisa dijatuhkan di mata orang-orang camp.
Orang-orang camp majemuk, biarpun Surip berlatih bela diri tetapi sebagian besar orang tak peduli. Apa lagi masalah pribadi antara Surip dengan Marlan. Yang merasa berteman tetap bergaul biasa, yang tidak terlalu senang karena suatu hal tak akan akrab bergaul.
Bela diri hanyalah secuil bagian dunia yang kehadirannya samar-samar. Ada dan dikagumi, orang-orang yang berlatih dipuji, terkadang sebagian diantaranya bisa menjadi atlet dan juara-juara pada even kejuarraan resmi, baik tingkat lokal maupun dunia. Dalam prakteknya bela diri sulit digabungkan dengan bidang-bidang kehidupan lain. Ia hanya produk budaya tersendiri, lebih cocok untuk kedisiplinan bagi orang-orang tertentu.
Jangan samakan dengan kisah dalam komik,
Di dalamnya komik silat adalah dunia yang mampu mendominasi bidang-bidang kehidupan lainnya. Contohnya seorang tokoh dalam komik pasti menjadi pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Cerita seperti ini tak ada dalam kamus Surip yang berlatih seorang diri. Bela diri berinti pada latihannya,
“Barang siapa mengaku ia ahli bela diri tetapi tak pernah berlatih, itulah pendusta!”
Di masyarakat umum banyak orang bahkan sebagian besar diantaranya mengaku pernah berlatih bela diri. Tujuan penulis adalah membangkitkan kembali orang-orang yang sudah pasif dalam bela diri untuk melatihnya lagi. Surip punya kenang-kenangan Pencak Silat dan sekarang ia mempraktekannya di dalam rimba Kalimantan.
Apa kelanjutan dari hasil latihan Surip?
Harahap sudah menjadi sopir rimbawan, apa-apa yang ada di camp km 4 menjadi daerah kekuasaannya. Memutar balikan fakta dengan klaim sebagai pelatih bela diri dengan obyek penderita Surip talah terjadi. Orang-orang camp mempercayainya karena hari-hari Harahap mengumbar cerita di camp selama sebulan ini. Sementara Surip saat itu jelas tak bisa membela diri, tahupun tidak.
Justru karena klaim tentang kemampuan Harahap menjadi pelatih Surip, orang-orang camp jadi sedikit punya perhatian terhadap Pencak Silat. Obrolan bela diri ini sayup-sayup terdengar,
“Orang-orang Barat itu senjatanya modern, bangsa kita kalah jauh. Tapi kelebihannya orang-orang timur bisa kebal dari senjata tajam.” Ini ujar orang-orang tua di Kalimantan.
Ini adalah fakta di negeri kita tercinta, cerita tentang orang-orang kebal beredar di masyarakat. Di daerah Banjar bila terjadi perkelahian akan melihat siapa yang berkelahi, siapa yang ditikam (suduk) dll. Orang-orang yang berkelahi selalu dilihat dari ketahanannya dan bekal yang dimilikinya. Seseorang yang tahan pukul, sedikit kena luka tusukan bahkan kadang-kadang ajaib. Misalnya saat ada lomba balap motor seorang pembalap mengalami kecelakaan akan dianggap cepat pulih dari lukanya karena telah menelan sejenis minyak. Orang-orang tersebut dianggap kebal karena dimungkinkan telah menelan minyak bintang atau mengamalkan kajian tertentu.
Faktanya bela diri Pencak Silat yang beredar di Indonesia banyak sekali aliran dan golongannya. Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri sebagai milik daerah tersebut. Bentuknya bisa tangan kosong maupun nomor-nomor senjata, mungkin itu kelebihannya. Nah di daerah tertentu terdapat beberapa jenis tarung misalnya tarung dengan duri pandan semacam perang dll.
Sayang Pencak Silat adalah bela diri yang asalnya dari kampung. Jadi orang-orang Indonesia sendiri menganggapnya ketingggalan jaman. Anggapan negatif pun sering melayang kepada penghayat bela diri ini karena terjun di jalanan sebagai preman pasar.
Fakta yang ada bela diri asing kuat di organisasi dan jaringannya sangat luas bahkan mendunia. Kehebatan Pencak Silat dari bela diri asing lain karena kita di Indonesia lebih sering mengonsumsi film action luar negeri. Efek film tersebut sangat terasa di dada orang Indonesia. Surip sendiri begitu menonton film berjudul “Drunken Master” nya Jacky Chan atau aksi laga Bruce Lee langsung berimaginasi menjadi aktor-aktor tersebut.
Film-film Indonesia mengekor popularitas film impor tersebut. Merekayasa film bertema Pencak Silat semuanya masih minim sekali. Rupanya lebih mudah membuat film horor dari pada merekayasa teknik bela diri Pencak Silat menjadi tontonan bermutu.
“Pencak Silat itu seperti nasi bagi orang Melayu. Tak bakalan punah karena nasi adalah makanan pokok orang Indonesia.” Kalau ini penulis dapatkan dari buku karangan Oong Maryono. Lumayan ini hiburan untuk orang Indonesia.
Siapa yang bosan makan nasi?
Tampaknya untuk orang Indonesia atau Melayu di manapun tak akan pernah berkata demikian. Jadi Pencak Silat bisa diibaratkan nasi bagi orang Melayu, cukup mendinginkan perut yang kelaparan.
“Ada sebagian suku-suku di Indonesia yang identik dengan bela diri Pencak Silat.”
Nah ini banyak faktanya, suku Minangkabau di Sumatera Barat, Betawi di Jakarta, Sunda Banten dengan Jawaranya, suku Madura pulau, orang-orang Melayu baik itu di Sumatera maupun di Kalimantan dll. Daerah-daerah tersebut menjadi sumber melimpah materi bela diri Pencak Silat. Tinggal siapa yang mau menggali saja!
Kalau orang Jawa?
Orang Jawa sebagai suku atau masyarakat biasa pasti mengenal bela diri ini. Di manapun di pedalamannya ada orang-orang yang mengamalkannya. Hanya sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa lebih didominasi kekuasaan militer. Cerita-cerita perang antar kerajaan, antar kerajaan Jawa dengan Belanda semuanya bernuansa militer. Sampai saat inipun keraton-keraton di Jawa masih memiliki brigade pasukan militer walaupun hanya untuk even budaya. Ditengarai perang Diponegoro adalah sifat militeristik Jawa yang terakhir sebelum perubahan pergerakan kemerdekaan dalam bentuk organisasi.
Pencak Silat di Jawa adalah milik rakyat, keraton sebagai pusat budaya tak pernah mengklaim sebagai miliknya. Di Banten ada tradisi debus dan jawara yaitu orang sipil yang berpengaruh karena memiliki keahlian bela diri Pencak Silat. Di Jakarta dan sekitarnya beberapa kampung menjadi nama-nama terkenal karena perkembangan Pencak Silatnya, misalnya Cimande, Cikalong, dan Cisalak.
Dan di daerah-daerah Melayu Sumatera atau Kalimantan bela diri ini selalu dikaitkan dengan pakarnya yaitu Tuan Guru. Ada juga tarian daerah di Sumatera yang semuanya bila dilihat dari unsur geraknya lebih mendekati bela diri Pencak Silat dari pada estetika seni tari. Dan di tanah perantauan Surip di Kalimantan bela diri ini masih tersembunyi dengan nama kunthow.
Kembali ke Surip di camp rimbawan.
Dunia kecil Surip adalah di camp rimbawan. Jumlah penghuninya hanya sekitar seratusan orang. Dunia kerja yang lebih fokus ke kesejahteraan karyawan. Urusan Surip terlalu kecil dibandingkan dengan kepentingan perusahaan. Pencak Silat yang dilatihnya tidak ada harganya di camp ini, orang-orang biasa saja menanggapinya.
Bukankah Pencak Silat hanya sebatas olah raga bela diri?
Surip pun tak menuntut banyak, kegiatannya menjadi milik pribadi diluar kelaziman kegiatan orang-orang camp. Sering orang-orang  camp berkomentar bila terlihat keluar dari camp sesuai jadwal latihannya. Hanya berkomentar tanpa pernah mengganggunya. Ternyata apa yang dilatih Surip tidak banyak yang mampu melakukannya.
Kalau orang seperti Marlan mungkin di manapun pembaca pernah melihatnya. Seseorang yang memiliki kenang-kenangan berlatih bela diri hingga mencapai prestasi tertentu kemudian membanggakannya di depan umum. Ia adalah mantan pengamal bela diri.
Di camp tak terlihat Marlan berlatih, ada saja ia demo melakukan gerakan-gerakan yang pernah dilatihnya dengan berbagai bumbu-bumbunya. Dan yang pasti jaket kenang-kenangan dari perguruan ternama yang pernah dia bernaung menjadi stempel kehebatannya.
Semuanya berubah setelah Surip diketahui berlatih bela diri Pencak Silat. Marlan tak lagi mampu menyainginya walaupun selalu sesumbar akan menandinginya. Badannya tak lagi bergerak melalui latihan-latihan keras dari tingkatan pemula lagi. Sekali lagi ia hanya mantan.
Sebaliknya di camp rimbawan ia hobi olah raga lain. Tenis meja, bulu tangkis dan bola volley. Itu cukup membuat gengsinya tidak jatuh di mata orang-orang camp.
Surip sendiri sedikit demi sedikit menambah bidang olah raga. Tenis meja cukup bisa bermain sekarang pun menambah dengan bulutangkis. Raketnya lebih sering pinjam tanpa pernah berpikir membeli untuk diri sendiri. Permainan bulu tangkis modalnya cukup mahal, raketnya paling murah ratusan ribu, kemudian bola cocknya sering berganti juga keluar biaya biarpun dengan patungan.
Surip sendiri semakin tertantang dengan materi latihannya.
“Aku tidak peduli apa komentar orang, ada beberapa hal yang harus didapat dari latihan  ini. Ibaratnya inilah Al-Jurus versiku sendiri!” Begitulah tekadnya terhadap dirinya sendiri.
Perhatiannya dicoba mencari materi latihannya.
“Ada tarung di Al-Jurus yang mencoba menyesuaikan dengan  aturan IPSI. Tetapi aku mendapatkan dasar tarung Etang sebagai kunci kembangannya.” Pikiran Surip terus mengembara dengan berbagai ingatan pertandingan-pertandingan yang pernah ditontonnya di Purwokerto.
“Pencak Silat itu sangat multikultur. Setiap daerah bisa memiliki atau tarung sendiri-sendiri sesuai karakter daerahnya. Semuanya dicoba menjadi standar dalam IPSI. Sayang aku mendapatkan aturan standar IPSI malah akan menghapus kekayaan daerah. Karena prestasi yang diakui hanya dalam lingkup IPSI saja.” Pikiran-pikiran itu berkecamuk di otak Surip.
“Setiap perguruan ternyata memiliki aturan tarung sendiri-sendiri walaupun bila dalam even yang diselenggarakan IPSI mereka akan menyesuaikannya.” Lagi perhatiannya tercurah tentang even pertandingan yang pernah disaksikannya saat-saat masih di sekolah tingkat lanjutan.
“Tentunya boleh saja aku membuat jenis tarung sendiri sesuai dengan kreasi yang aku temukan. Inilah Al-Jurus versiku sendiri.” Katanya bangga dalam hati.
“Aku akan mencoba membagi tarung Pencak Silat dalam dua versi.” Mulai Surip mencoba menguraikannya sambil berlatih hafalan jurus. Ia sekarang mendapatkan satu sesi latihan untuk mengembangkan Al-Jurus. Sayang ia hanya bisa bergerak latih tanding tanpa lawan. Imaginasinya diandalkan untuk mendapatkan materi tarung.
“Hanya aku seorang diri di camp ini yang berlatih bela diri, orang lain mungkin pernah saja, tetapi tak berlatih untuk mengembangkannya. Jadi apa yang kuhasilkan sekarang tak bisa dipraktekan atau diumumkan kepada khalayak ramai.” Inilah kendala orang yang cinta bela diri Pencak Silat tetapi sudah lepas bahkan tak memiliki tempat bernaung lagi. Tidak ada yang menghargai apa lagi kemudian berguru kepadanya.
“Jangankan jadi guru besar perguruan, aku berlatih di camp rimbawan inipun hanya dianggap sebagai permainan anak kecil.” Kalau sudah begitu Surip meringis tak berdaya.
                                                      ***
“Inilah Tarung versi I Al-Jurus!” Surip menguraikan hasil pemikirannya selama ini.
Diambilnya tarung Etang sebagai basis materi.
“Poin atau nilai cukup sepuluh setiap kali seorang atlet tarung bisa dianggap pemenangnya. Sebenarnya untuk poin pemenang bisa saja berubah menyesuaikan kesepakatan saat even pertandingan, poin sepuluh ini hanya contoh saja.”
“Setiap kali satu serangan atlet masuk kesasaran langsung dijadikan poin dengan seorang wasit sebagai penentunya.” Terus Surip menguraikannya.
Aturan IPSI bisa saja diterapkan terutama untuk juri, wasit pertandingan, matras atau ring tarung, kelas atau nomor tarung dll. Standar IPSI tak mengubah banyak jenis tarung ini. Perbedaannya versi ini begitu terjadi seorang atlet tarung memasukan serangan kemudian dihentikan wasit dengan memberi poin nilai yang langsung dicatat juri, jadi pertandingan dihentikan sementara untuk menunjukan telah terjadinya keberhasilan seorang petarung mengoleksi poin. Ini yang sedikit berbeda dengan tarung versi IPSI. Dalam standar IPSI wasit hanya memandu dua petarung tanpa menentukan pemenangnya. Jurilah yang mengumpulkan nilai kemudian wasit mengangkat tangan pemenangnya setelah pertandingan usai.
Dalam tarung versi I Al-Jurus ini tarung Etang adalah basisnya jadi wasitlah yang menentukan keberhasilan suatu atlet memasukan serangan untuk mendapatkan nilai dan kemudian ditentukan sah tidaknya oleh juri.
“Siapa petarung yang berhasil mengoleksi nilai (poin) sepuluh lebih dulu dialah pemenangnya.” Sekali lagi Surip mantap dengan temuannya sendiri. “Tentunya tarung jenis ini dalam setiap kelas masing-maasing untuk mendapatkan peringkat.” Mirip dengan kompetisi jadinya. Dengan sistem ini suatu prestasi dalam even-even yang diakui tentu bisa bertahan selama setahun sebelum diselenggarakan kembali. Bilapun sudah berlangsung beberapa tahun sistem degradasi untuk petarung utama misalnya dibatasi peringkat satu sampai dua puluh. Sedangkan selebihnya bisa masuk petarung Madya sebagai pesaing tahun-tahun mendatang.
“Jikalaupun terjadi kedua petarung berhasil memasukan serangan ke sasaran masing-masing lawan. Tetap saja wasit menjadi penentu siapa yang lebih dulu memasukan serangan kesasaran sebagai pemenangnya.” Jadi kehadiran wasit sangat penting di ring tarung. Ada pelanggaran pun wasit langsung menghentikan dan berhak memperingatkan bahkan sampai mengeluarkan atlet dari arena bila diperlukan.
“Sekali lagi ronde diperlukan hanya untuk memberi kesempatan petarung beristirahat dan mengatur strategi. Berapa banyak ronde diperlukan tidak penting. Setiap ronde samakan saja dengan ronde dalam tinju yaitu empat menit sekali. Yang penting ada seorang petarung berhasil mencapai nilai sepuluh Dialah pemenangnya. Satu ronde pun cukup bila ada petarung yang langsung bisa mendapatkan nilai tersebut.” Surip tersenyum dengan keunikan versi tarung yang dicoba sedang menyusunnya.
Dalam aturan IPSI setiap petarung diberi kesempatan empat ronde untuk mendapatkan seorang pemenang. Nilainya masing-masing ditentukan oleh juri masing-masing kubu dan juri netral. Poin-poin yang terkumpul diumumkan untuk menjadi penentu kemenangan.
Dalam versi tarung Al-Jurus ini berbeda karena beberapa sebab, Surip mulai menerangkannya.
“Tujuan tarung versi I ini untuk memberi kesempatan petarung mengembangkan teknik-teknik berkaidah bela diri Pencak Silat.”
Dalam tarung yang diselenggarakan IPSI sasaran serangan dibatasi yaitu daerah di sekitar badan lawan terutama dada. Tidak dibenarkan memukul bagian kepala dan kemaluan. Selain itu daerah yang menjadi sasaran serangan dilindungi deengan pelindung badan.
Terdapat dua tipe jenis petarung dalam Pencak Silat. Yaitu petarung yang mengandalkan kerasnya serangan untuk menjatuhkan lawan hingga knock out dan petarung yang mencoba mengembangkan teknik untuk mendapatkan poin berdasarkan strategi. Kedua jenis petarung tersebut bercampur baur sering tak diketahui kelebihannya masing-masing.
Jadi jika ada seorang petarung memiliki kelebihan kunci mengunci lawan  tidak akan bisa mengembangkan teknik tersebut bila berhadapan dengan lawan petarung tipe yang hanya mengandalkan teknik pukulan dan tendangan mencapai knock out.
Tarung versi I Al-Jurus mencoba mengakomodasi aturan untuk pertandingan yang lebih berinti pada pengembangan teknik berkaidah Pencak Silat dengan peluang mencari atau memaksimalkan nilai teknik bela diri.
“Aku berlatih Pencak Silat hingga saat ini, tak kudapati pukulan atau tendanganku bertambah keras. Aku lebih fokus pada teknik yang terangkum dalam jurus.” Surip membandingkan dirinya dengan Harahap. Seorang Harahap biarpun tidak rutin berlatih pukulan dengan sansak tetapi dari fisik tetap terlihat tipenya sebagai orang kelebihan pada kepalan tangan. Jadi bila ia benar-benar berlatih tinju memang sesuai dengan badannya. Apa lagi dilihat dari berat badannya yang kemungkinan sudah masuk kelas menengah dalam tinju.
Tarung versi I Al-Jurus mencoba mengembangkan pertarungan dengan suguhan ketrampilan teknik, jadi ada semacam tingkat kecerdasan saat adu strategi dengan lawan. Mungkin kita coba tarung ini mendekati permainan catur.
“Tapak dalam setiap tarung versi I ini bisa dijadikan media mencari celah kelemahan lawan.”
Kita lihat dalam setiap tarung Pencak Silat, dua orang petarung saling berhadapan tidak akan langsung  baku hantam biarpun wasit sudah memberi aba-aba mulai. Justru kedua petarung melangkah mengitari area matras pertandingan. Barulah setelah dirasa ada celah seseorang diantara dua petarung mencoba menyerang.
Inilah yang dimaksud oleh Surip sebagai kaidah bela diri Pencak Silat. Teknik melangkah yang seperti menari disebut Pencak walaupun dalam kenyataan diluar area misalnya dalam suatu perkelahian tawuran tak akan terpakai.
Sebaliknya begitu terjadi seorang menyerang baik itu saling memukul, menendang, membanting atau mengunci wasit akan mengesahkan suatu keberhasilan seorang petarung dengan memberikan poin sesuai bobot disaksikan oleh juri dua kubu dan  seorang juri netral. Poin atau nilai bahkan langsung bisa diumumkan kepada penonton seperti dalam score bulutangkis atau volley.
Ada jeda pertarungan terhenti karena pemberian nilai seorang petarung sementara waktu ronde terus berjalan. Selama ronde tersebut masih berlangsung pertarungan bisa dilanjutkan untuk menambah poin masing-masing petarung. Akibatnya ronde untuk mencapai seorang pemenang tak terlalu ditentukan berapa banyak, cukup sebagai waktu istirahat dan mengatur strategi oleh masing-masing pihak petarung.
Barulah setelah seorang petarung berhasil mencapai poin misalnya sudah disepakati sepuluh bisa menjadi pemenang. Tentunya seorang petarung yang mampu mencapai poin tersebut sudah bekerja keras mengembangkan ketrampilannya dengan bobot teknik bela diri.
Berapa bobot setiap teknik dalam tarung versi I Al-Jurus ini?
Menyesuaikan dengan aturan IPSI daerah serangan hanya di sekitar dada dan perut lawan. Biasanya serangan yang masuk di daerah ini terdiri dari pukulan dan tendangan. Adanya pelindung badan di area tubuh tersebut menjadikan serangan masuk betapapun kerasnya tidak akan membuat terluka atau knock out.
Teknik versi I Al-Jurus tidak mencari kemenangan dengan penderitaan di atas luka-luka lawan seperti tinju. Misalnya seorang atlet tinju terpukul rahangnya atau pelipisnya bisa berdarah hingga memudahkan lawannya untuk menjatuhkannya dalam insiden knock out.
Sebaliknya inilah perincian bobot nilai teknik serangan,
-    Pukulan           nilainya         satu 
-          Tendangan      nilainya         dua
-          Kuncian          nilainya          tiga
-          Bantingan (menjatuhkan tubuh lawan)       nilainya          tiga
Bantingan dan kuncian ini sasarannya tentu adalah tangan dan kaki lawan. Bisa juga menjatuhkan badan lawan dan menggempur kuda-kuda lawan. Dalam setiap tarung Pencak Silat beberapa petarung memang lebih terlatih atau hanya mengandalkan kuncian dan bantingan ini dari pada pukulan dan tendangan. Juga saat terjadi saling serang menyerang akan terlihat ke mana larinya dua petarung mengembangkan teknik. Jika hanya mengandalkan pukulan dan tendangan tentu masing-masing mencari sasaran dada dan perut sesuai rambu-rambu dalam IPSI. Sebaliknya bila mencari poin melalui bantingan dan kuncian tangan dan kaki atau kuda-kuda akan digempur mengesampingkan dada dan perut. Mengembangkan teknik kuncian dan bantingan lebih sulit dari pada hanya memasukan pukulan dan tendangan. Nilainya jadi tinggi sekali yaitu tiga.
Jadi jika seorang petarung berhasil membanting lawan sampai tiga kali sudah langsung mencapai sembilan poin. Tinggal menambah satu angka saja jadi pemenang. Jika teknik bertanding terjadi dalam satu ronde berarti itu prestasi yang sangat baik.
Wasit begitu melihat pertarungan lebih menyasar pada tangan dan kaki petarung bahkan boleh mengabaikan pukulan atau tendangan yang masuk. Pertarungan akan lebih menarik bila kedua petarung mencapai ketrampilan teknik kuncian atau bantingan. Tentu tidak mengherankan dalam praktek di lapangan, seseorang memukul tetapi lawan justru menangkap tangan tersebut dan kemudian memitingnya hingga lumpuh tak berdaya. Itulah teknik ketrampilan yang diinginkan terjadi dalam tarung versi I Al-Jurus ini.
Rangkaian teknik mencapai kuncian tersebut tentu membutuhkan kecerdasan dan ketrampilan yang tinggi dari petarungnya. Ganjarannya adalah poin yang tinggi bagi yang berhasil mengembangkannya dalam pertarungan. Ketrampilan lain tentu banyak versinya, dalam jurus yang dihafal Surip pun sudah terlihat banyaknya teknik yang rumit. Serangan terhadap tangan dan kaki itu bisa berupa melumpuhkan tangan dengan membesetnya untuk mencapai sumber kekuatannya yaitu dibahu lawan. Sapuan terhadap kaki lawan hingga kuda-kuda tergempur. Atau memegang kaki lawan yang sedang menyerang hingga lawan tak mampu mengembangkan perlawanan. Itu semuanya bisa menjadi koleksi poin.
Sebaliknya seorang petarung berhasil melepaskan diri dari kuncian atau bantingan lawan. Ia diganjar nilai satu oleh wasit. Begitu juga berhasil menangkis pukulan atau tendangan ganjarannya juga satu poin. Wasitlah yang memberi hadiah nilai tersebut dengan saksi dua juri kedua kubu dan satu juri netral.
“Soal kelas dalam tarung versi I Al-Jurus ini bisa memakai standar IPSI. Sebenarnya kelas-kelas dalam IPSI itu mirip dengan pantun. Ada pantun anak-anak, remaja, pantun dewasa bahkan pantun orang tua karena berisi nasehat.”
Surip tersenyum setiap kali mencoba tarung versi I ini di hutan.
“Jika ada tarung versi I Al-Jurus ini ada petarung yang berhasil mengembangkan teknik dengan ketrampilan yang tinggi, pertarungan tersebut bisa dicatat dan didokumentasikan. Kedua petarung yang berhasil menyajikan teknik yang menarik mendapatkan penghargaan.
Surip masih memberi perkiraan tarung versi I Al-Jurus. Dalam satu even kita anggap mendapatkan sajian tarung-tarung yang menarik ini. Baik itu pemenang maupun yang kalah tetap mendapat penghargaan. Ini dikarenakan penghargaan atas sportifitas masing-masing.
Sebaliknya pelanggaran juga akan ada dalam setiap pertarungan. Pelanggaran tentu diganjar dengan pengurangan nilai dan jika membahayakan petarung bisa diskualifikasi.
“Entah bagaimana penerapannya di lapangan aku belum tahu, penting buatku aku bisa mengembangkan bela diri Pencak Silat dengan suatu gagasan dalam bentuk tarung.”
Apa gunanya berlatih jika tidak menghasilkan apapun. Surip merasa dari segi fisik ia sudah mendapat, latihan yang rutin membuat otot tubuhnya terbentuk dengan kedisiplinan tinggi.
“Jika saja setiap orang yang berlatih bela diri Pencak Silat diusahakan membuat karya tulis hasil latihannya tentu bisa didiskusikan dalam setiap pertemuan.” Itu cita-cita Surip, dan ia gagal karena hanya berlatih seorang diri di hutan.
“Tendangan dan  pukulan mengenai perut dan dada bisa saja menghasilkan insiden knock out. Mungkin itu tetap bisa jadi poin, tetapi bidang sasaran harus terbatas di bagian tersebut.” Surip mencoba lagi kemungkinan dalam tarung jenis ini. Kemenangan KO mungkin terjadi tetapi sangat jarang karena dada dan perut terhalang perisai badan. Jika terjadi knock out itu terserah aturan saat even berlangsung, menambah angka atau dijadikan jenis kemenangan tersendiri.
                                                       ***
Masuk tarung versi II Al-Jurus,
“Ini model tarung bebas tetapi merupakan turunan dari tarung versi I Al-Jurus. Tekniknya disederhanakan hanya pada pengembangan pukulan dan tendangan atau teknik tangan dan kaki.” Surip mulai lagi dengan hasil pemikirannya.
“Tarung versi I lebih menitik beratkan pada teknik-teknik yang dikembangkan kedua petarung. Jenis tarung versi II lebih pada petarung-petarung yang memiliki tipe andalan serangan keras lawan keras, dan kemungkinan dalam pertarungan tercapai insiden knock out.”
Naluri seseorang jika berkelahi akan berkeinginan menghajar babak belur atau bahkan membunuh lawan. Nafsu membunuh ada di dada setiap manusia. Perang adalah legalitas dari nafsu bunuh membunuh tersebut. Beberapa suku primitif yang suka berperang selalu dianggap sebagai bangsa biadab.
Di dunia ini mungin hanya bangsa Jepang yang memiliki tradisi Bushido (semangat Bela Diri). Sejarahnya penuh dengan peperangan yang akhirnya mengembangkan militer dengan basis Bushido. Hanya saja di Jepang kekuasaan militer hanya milik klan tertentu. Dalam klan-klan tersebut lahirlah Bushido yang dimiliki seorang Samurai. Bahkan Ninja yang berhubungan dengan inteligen hanya milik klan tertentu saja tidak bisa diajarkan kepada masyarakat luas.
Berbeda sekali dengan Pencak Silat, ia adalah bela diri khas Melayu maupun Proto Melayu. Imigrasi bangsa Melayu maupun Proto Melayu membawa bela diri ini sebagai milik suku yang berkembang dalam koloni kecil yaitu kampung.
Adakah pengaruh bela diri asing dalam Pencak Silat?
Dalam era modern bisa saja terpengaruh, tetapi menilik bukti yang didapat penulis di Kalimantan di mana suku Dayak yang mewakili Proto Melayu memilikinya, begitu juga suku Banjar yang mewakili orang-orang Melayu ternyata menjadi semacam tradisinya menjadi bukti keaslian budaya. Belum lagi orang Betawi, Sunda dan Banten. Minangkabau dan Jawa semuanya memiliki tradisi tersebut. Berarti Pencak Silat adalah milik bangsa-bangsa Nusantara sebagai budaya aslinya.
Bukankah kita mengenal pantun sebagai sastra asli Melayu?
Dengan asumsi itulah penulis berkesimpulan bela diri Pencak Silat adalah bagian dari tradisi asli Melayu di Nusantara.
Bela diri asing yang kuat pengaruhnya terhadap Pencak Silat bisa diduga tentu itu dari Tiongkok. Seberapa besar pengaruhnya?
Penulis tak akan membahasnya, setiap jaman perkembangan kekaisaran di Cina berarti juga berpengaruh terhadap budaya di Nusantara, contoh paling mudahnya adalah adanya uang logam setiap masa kekaisaran yang ditemukan di Indonesia. Berarti alat tukar saat itu secara international berstandar pada uang logam Tiongkok. Begitu juga sebaliknya perkembangan kemajuan raja-raja di India bisa kita saksikan hasilnya di Indosnesia.
Kembali pada Surip yang membahas tarung versi II Al-Jurus.
“Tarung versi II Al-Jurus sebenarnya mirip saja dengan olah raga Tinju. Bidang sasaran serangan sama dengan tinju begitu juga pelanggarannya. Setiap ronde pun sama dengan tinju. Sasaran nilai atau poin tetap sama yaitu siapa menang didapat dari selisih nilai dari juri yang hadir. Menang knock out atau teknikal knock out pun berlaku.
Surip kembali berimaginasi,
“Dengan sistem yang mirip dengan tinju pertandingan bisa memakai sistem gugur. Mekanismenya lebih sederhana. Berapa ronde diperlukan juga disepakati dalam setiap even.” Terus dibahasnya sistem tarung versi II ini.
Perbedaannya dengan tinju adalah kaidahnya tetap masuk bela diri Pencak Silat dan teknik-tekniknya tetap berpijak pada jurus sebagai inti bela diri Pencak Silat.
Tarung ini masuk kategori tarung bebas atau full body contact. Pelanggaran hanya menyerang belakang kepala dan kemaluan. Tujuannya kalau tidak menang knock out ya menang  angka itu saja.
Pertandingan bisa masuk profesional seperti tinju karena berbayar dan mungkin masuk tontonan komersial. Itu boleh dikembangkan dalam tarung ini. Tentu kita akan merasa terhibur dengan tontonan tinju atau gulat pro, nah tarung Versi II ini coba mendekati segi-segi komersial tersebut.
Apakah tarung versi I tidak bisa dikomersialkan?
 Wah itu sulit bagi penulis membahasnya. Penulis bisa menuangkan jenis tarung dengan pendekatan pengembangan teknik saja sudah sangat beruntung. Kita-kitalah nanti yang akan mencoba mempublikasikan hasil pemikiran walaupun itu hanya dalam bentuk novel. Kalau karya tulis penulis tak mampu, tak akan ada yang memberi penilaian seperti dalam Jounal Ilmiah internasional.
Kaki dan tangan adalah senjata utamanya. Menyikut pun boleh toh pertarungan tak akan dihentikan kecuali jika sudah saling berpelukan. Jadinya setiap pertarungan dimulai, masing-masing petarung akan mengambil jarak untuk memasukan serangan. Wasit dalam hal ini bertindak mengatur petarung agar kaidah Pencak Silat seperti tapak, jelasnya teknik pukulan dan tendangan ataupun menebas, menyikut bisa terlaksana. Wasit berhak membatalkan teknik yang serampangan atau hanya menyerang membabi buta tanpa aturan.
Dalam tarung ini kuncian dan bantingan ditiadakan. Juri hanya akan menjumlahkan berapa pukulan, tendangan atau teknik tangan dan kaki yang bisa dijadikan standar poin masuk sasaran.
“Wah kalau begitu mirip dengan Kick Boxing ya?
Ya mirip tetapi kaidah Pencak Silat harus ditegakan.
Tapak, kuda-kuda, langkah untuk strategi menyerang harus tetap diperagakan petarung. Gaya ini dalam tarung masing-masing sudah mendapat poin satu sebagai bonus. He-He He inilah uniknya Pencak Silat, kita terus menggali untuk memperkaya khasanah budaya yang sudah mendarah  daging sejak ribuan tahun. Bangsa kita mengenal wawasan Nusantara. Jangan rendah diri, sungguh sehebat-hebatnya Amerika Serikat mereka tak punya bela diri asli misalnya dari Bangsa Indian, malah mungkin bila adapun langsung tergusur karena bangsa Indian sudah dianggap punah.
Jika terjadi baku hantam dalam jarak dekat apa lagi saling berpelukan segala serangan masuk bukan poin. Wasit harus memisahkan kedua petarung untuk kembali ke posisinya dan memulai lagi pertarungan.
Kelas-kelas dalam versi II Al-Jurus ini tetap mengacu aturan IPSI. Jika kita mengambil kelas-kelas dalam tinju tentunya jarang seorang atlet Pencak Silat memiliki berat badan sampai delapan puluh kilogram untuk kelas berat. Atlet-atlet Pencak Silat dan pertarungannya lebih nyaman dilakukan oleh atlet-atlet bertubuh ramping. Contohnya bodi Surip yang kurus kerempeng walaupun ototnya sudah terbentuk. Paling-paling seberat apapun badan Surip ditimbang hanya lima puluh kilogram saja alias kelas bantam.
Yang sering jadi masalah dalam tarung ini, rata-rata atletnya memiliki stamina yang kedodoran. Atlet Silat Indonesia melawan atlet luar negeri misalnya sering kalah di tinggi badan atau jangkauan tangan dan kaki atlet luar negeri yang lebih panjang, begitu juga staminanya.
Orang-orang luar negeri diakui atau tidak lebih banyak berlatih olah raga dengan stamina sebagai porsi latihannya. Sebaliknya di perguruan-perguruan lokal orang Indonesia lebih banyak berlatih Pencak Silat dari sudut seni dan ketrampilannya. Jadi tak heran walaupun Pencak Silat itu milik bangsa kita tetapi juaranya banyak orang-orang bule.
“Al-Jurus mengakomodasi tarung versi I untuk petarung yang mengembangkan teknik dan ketraampilan bela diri. Jadi diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam setiap pertarungan.” Surip berkata mengakhiri pembahasan tarung. Inilah tujuan dari Al-Jurus. Tarung bukan sekedar baku hantam belaka.
Latihan Surip terhenti,
Nguuk- Nguuuuk!  Nguuuk- Nguuk!
Saat Surip berlatih dari atas dahan pohon-pohon hutan bergerak beberapa ekor owa-owa. Itu kera tak berekor yang mengandalkan pergerakan dari satu pohon dengan pohon lain dengan kekuatan tangannya. Suaranya nyaring bisa terdengar dalam jarak tiga kilometer.
Surip tak bisa melihat aksi owa-owa itu berpindah tempat. Justru ia segera menyingkir ketika satu dahan kering terjatuh tepat di atas lapangan tempat berlatihnya.
“Sialan monyet-monyet itu mengejekku rupanya!” Surip berkata sendiri sambil memandang ke atas pohon. Dominasi pohon-pohon meranti, resak dan buah asam (mangga) hutan jelas menjadi sasaran owa-owa itu mencari makanan.
“Tege nare Lek?” Seorang anak buahnya bertanya melihat Surip yang tampak ketakutan.
“Hampir aku diserang owa-owa itu Lek. Kharat binatang te menjatuhkan ranting kering tepat di atas kepalaku.” Surip menunjuk sebatang dahan kering ukuran semeter yang jatuh dari atas ketinggian.
“Pondok kita tukep pohon asam Lek. Berarti monyet-monyet itu terganggu kegiatannya menggau makanan.” Menerangkan anak buahnya sambil mengambil satu buah  asam sekepalan tangan. “Buah asam te paling hanya untuk campuran mie instan, rasanya asam bikin perut mencret bila terlalu are kinan.” Tambahnya lagi.
Itulah keadaan di hutan, banyak jenis buah tetapi tak mungkin dikonsumsi manusia.
Sebaliknya Surip memandang dengan takjub sekitar bawah naungan pohon asam tersebut, keadaannya basah beberapa hari lembab hujan gerimis.
“Eh tege kulat Lek, pasti bisa kita makan. Ie te kulat mirip jamur merang je ladang.” Surip menunjuk jamur yang tumbuh bergerombol persis di bawah batang pohon mangga hutan.
Lumayan jamur tersebut bisa jadi campuran masakan mie instan atau ikan asin. Kalau buah asamnya sendiri tak berani banyak-banyak makan. Rasa asamnya bikin ngilu gigi, lebih cocok buah asam itu dimakan binatang-binatang hutan. Lambung dan usus binatang hutan sudah menyesuaikan dengan buah-buah tersebut.
Coba saja dipikir, pucuk pohon resak, meranti dan keruing itu adalah santapan harian orag utan. Begitu Surip mencoba pucuk daun resak, dikunyah dalam mulut. Aduhai sengir berminyak langsung dimuntahkan.
Sebaliknya tanaman holtikultura semacam singkong pernah dicoba tanam oleh Surip. Hasilnya seminggu ditinggal, batang-batang singkong tersebut habis ludes disikat pelanduk alias kancil. Kalaupun diteruskan batang-batang singkong itu tersaingi semak belukar yang mengeluarkan racun.
“Aku pernah membaca di sebuah majalah, owa-owa itu sebenarrnya masing-masing berkelompok menguasai suatu kawasan.” Surip berkata setelah orang-orang sepondok kerja tahu kejadian Surip berlatih diganggu oleh kawanan kera tak berekor.
“Untuk menandai kawasan kekuasaannya, masing-masing kelompok pada musim-musim tertentu berperang dengan kelompok lain. Nah saat peperangan antar kelompok itulah masing-masing kera itu mengeluarkan kotoran dan kencing di sekitar medan perang. Setelahnya masing-masing kelompok menjadikan tanda kawasan kekuasaannya dengan bekas-bekas tahi dan kencing saat perkelahian massal.” Surip terus menerangkan apa-apa yang diketahuinya mencoba kebenaran pengetahuan di literatur dengan keadaan di lapangan.
Sayang sungguh disayang hidung Surip tak mampu membaui bekas-bekas kotoran dan kencing monyet-monyet tersebut. Kemampuannya terbatas, sebagai manusia ia banyak mengandalkan daya pikiran. Inilah bedanya manusia dengan binatang. Manusia adalah binatang yang berpikir. Pencak Silat merupakan budaya manusia walaupun pada awalnya manusia meniru perilaku hewan dalam bela diri.
Di Kalimantan tenar jurus kunthow  bangkoi. Itu merujuk pada nama jenis monyet. Surip belum pernah menyaksikan peragaan jurus itu dilakukan oleh orang-orang lokal Kalimantan. Tapi merujuk pada seorang dukun yang mampu mengundang teman makhluk halus dengan perilaku seekor kera, tetap saja jurus tersebut berarti benar-benar ada.
Kenyataan yang ada di lapangan, monyet-monyet yang disebut bangkoi itu berukuran kecil paling besar hanya seukuran kelinci. Gerombolan-gerombolan bangkoi sering nampak di tebing-tebing dengan pepohonan rindang. Kerindangan pohon-pohon ditebing itulah yang dijadikan dasar monyet bangkoi itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Memanfaatkan ketinggian, monyet bangkoi itu bersalto menggapai tempat bawahnya berupa tajuk-tajuk rimbun pohon-pohon yang tumbuh di tebing.
Kita sering hanya bisa menyaksikan aksi monyet bangkoi itu dari tempat datar karena biasanya di hutan tebing-tebing itu tepat di bawah jalan angkutan kayu (logging truck). Menjatuhkan diri, bersalto, menangkap dahan turun lagi ke tempat yang lebih rendah dengan cara yang sama. Bisa pusing kepala manusia bila melakukannya, bahkan biarpun itu atlet senam juara dunia sekalipun.
Alhasil suatu ketika monyet bangkoi tersebut ditangkap penghuni camp. Dicoba pelihara di dalam kandang, kasihan monyet tersebut langsung stress tak mampu menggerakan tubuhnya yang demikian lincah di padang-padang perdu hutan. Ia hanya mampu menatap dengan mata berkaca-kaca minta dilepaskan. Akhirnya mati karena kandang itu bukan tempat hidupnya.

                                                        ***

Tujuan dari penulis adalah berikut,
Tarung versi I menitikberatkan pda penilaian teknik dan ketrampilan melumpuhkan lawan. Poin yang terkumpul sampai mencapai pemenang sesuai kesepakatan. Jalannya pertarungan yang baik juga menjadi prestasi sendiri baik untuk atlet yang menang maupun atlet yang kalah.
Jadi penghargaan atas keberhasilan teknik mengalahkan lawan dan sportifitas petarung tetap ada. Tentu sistem pertandingan mungkin lebih tepat sebuah kompetisi. Petarung yang terdaftar harus menghadapi semua lawan yang berada di gelanggang, kemudian diperoleh peringkat untuk mendapatkn pemenangnya.
Tarung versi II lebih menitikberatkan pada poin masuknya serangan tangan dan kaki untuk diperselisihkan nilainya atau bahkan untuk mencapai kemenangan angka, knock out, dan teknikal knock out.
Tarung versi II untuk mengakomodasi atlet Pencak Silat yang lebih mengandalkan kuat dan kerasnya serangan tangan dan kaki. Tentu banyak juga yang berlatih menguasai hal tersebut. Juga sasaaran serangan lebih bebas karena area kepala boleh diserang untuk mendapatkan poin kemenangan.
Sistem pertarungannya sendiri boleh sistem gugur. Tentu karena bila seorang atlet kalah knock out bakalan cedera tentu tak mungkin terus menghadapi lawan dari pemenang lainnya.
Wasit sendiri dalam tarung versi II hampir sama mengikuti aturan Tarung Tinju. Cukup sebagai penengah dan tidak berhak memberi nilai. Ini berbeda dengan Tarung versi I yang menyamakan dengan sistem Tarung ETANG yang sudah pernah dibahas sebelumnya.
Gagasan Tarung ini masih mentah, akan banyak sekali didapatkan kekurangan saat dipraktekan. Akan terjadi perubahan-perubaahan aturan seiring didapatnya aturan baru untuk mendapat kesempurnaan jenis tarung ini saat diperagakan di arena pertandingan.
Yah lebih baik menuliskannyaa dari pada hanya berputar-putar di otak penulis.....

           

No comments:

Post a Comment