Balada
Jembatan Code
Kalau bilang Kita orang Yogyakarta
pasti semua orang tahu. Tapi kalau asalnya diketahui dari Bantul terbayang
sebuah wilayah dengan Desa dan kota 2 kecil setingkat kecamatan. Nun di Ring Road
Selatan perempatan Wojo ada sebuah dukuh di tepi kali Code.
“Ealah sulitnya cari rumput saat
kemarau ini. Sudah setengah hari baru dapat satu zak.” Seseorang bergumam
sendiri sambil menyabit beberapa jenis rumput. “Huh kalau alang2 wedusku doyan
sudah dari kemarin Aku ongkang2 di rumah.” Terus setelah itu pindah tempat lagi
di sekitar kebun tebu.
Marto cempe namanya, soalnya jika
pelihara kambing orangnya pertama2 pasti lebih memilih mulai dari anak kambing.
Peliharaannya tidak banyak, hanya dua ekor. Eit jangan salah, biarpun hanya dua
ekor Marto cempe ini sudah dari kecilnya pelihara kambing. Bisa dikatakan kalau
darahnya dilihat dengan mikroskop gennya sudah jadi mutan kambing.
“Mbeeek! Mbeek! Eh eh awas awas
rusak joran pancingku!” Seseorang berteriak mengejutkan Marto cempe saat
menabrak batang joran pancing di tepi sungai.
“Huh tukang becak kesasar neng kali,
nggak ada penumpang di sini tahu.” Marto nyeletuk mendapati seorang yang di
kenalnya duduk agak jauh dari joran pancing yang di tabraknya.
“Hiburan Lek, stress Aku mangkal
neng prapatan Wojo jarang dapat penumpang.” Kodir becak namanya, orangnya
berotot eh kakinya varises saking kuatnya kalau mengayuh pedal becak.
Mereka berdua akhirnya duduk di tepi
sungai dibawah naungan pohon waru, kebun tebu itu menjadi saksi bahwa orang2 di
dukuh tersebut dalam sehari2nya biasa beraktifitas di tepi sungai Code.
“Hei Dir si Iyem anaknya Parto
jagong, melu rewang nggak?” Marto cempe bertanya.
“Entahlah nanti kutanya dulu si
Sugeng. Kalau dapat jatah rewang lumayan juga buat tambah2 beli sembako.” Kodir
becak berkata sambil tangannya mengangkat joran pancing. Terasa dari tadi tak
seekor ikan pun mau makan umpan cacingnya.
“Kalau begitu sekarang saja Kita
kesana. Kalau dapat rewang di tempat Pak Parto paling tidak tiga harian dapat
pekerjaan Kita.” Marto cempe cepat mendesak temannya.
“Ya Sugeng Patri pasti ingat dengan
Kita yang sama2 tetangga dekatnya. Bisa jadi Sugeng sekarang yang jadi panitianya
wong masih keluarga dekat Pak Parto.” Kodir becak oke saja di ajak Marto cempe.
Yang dimaksud Sugeng Patri itu orangnya memang tukang patri keliling,
sasarannya bisa ember aluminium, talang air rumah, alat2 dapur dari logam yang
bocor dll.
Bergegas keduanya pergi ke rumah Sugeng,
Mereka harus melalui sebuah jembatan selebar lima meter di kali Code. Dukuh itu
paling2 hanya terdiri dari lima belas rumah, sebagian besar masih bangunan dari
kayu dengan lantai semi permanen.
“Untung ada jembatan didekat rumah
Kita Mar, kalau tidak Kita terpaksa menelusuri ke utara lewat jembatan jalan
Ring Road sana.” Kodir becak berkata seraya menunjuk keutara, di kejauhan sana
memang ada jembatan utama jalan lintas antar kota antar provinsi milik Negara.
Sedangkan jembatan kali Code di
Ngoto ini statusnya apa?
Marto cempe dan Kodir becak tak
tahu, bagi Mereka yang penting setiap hari bisa dengan mudahnya keluar masuk
kampung halamannya setiap hari.
Sedikit nyleneh jembatan itu, Ia
menghubungkan jalan Imogiri Barat dengan sebuah Monumen Perjuangan. Ternyata
gara2 ada monumen milik Angkatan Udara itulah jembatan didirikan supaya Monumen
Perjuangan tersebut bisa diakses siapa saja. Yang beruntung tentu warga sekitar
yang menjadi tidak terisolasi dari jalan utama. Tempat itu dulunya adalah
tempat jatuhnya pesawat terbang Angkatan Udara saat perang merebut kemerdekaaan
NKRI.
Separo bangkai pesawat masih
teronggok di sana ditambah dengan beberapa makam Pilot dan tentara yang menjadi korban
jatuhnya pesawat. Tempat tesebut sangat terpelihara karena di danai oleh TNI
Angkatan Udara. Warga sekitar ikut menikmati karena adanya jembatan yang
membuat Mereka bisa kemana saja tanpa memutar jauh ke jalan Desa Tamanan.
Sampailah Marto cempe dan Kodir
becak di rumah Sugeng. Mereka ini sejak kecilnya berteman. Umurnya sebaya dan
yang pasti semuanya berstatus bujang lapuk. Dari rumah Sugeng terdengar siaran
lagu campur sari. Orangnya lagi asyik tiduran di bangku panjang buatannya
sendiri.
“Tumben pada datang ke rumahku. Ada
angin apa ya?” Sugeng menyambut kedua temannya masuk rumah. Rumah Sugeng
biarpun berlantai tegel dindingnya masih campuran gedeg dan batu bata.
“Alah kayak nggak tahu saja, piye
Dab Aku diundang melu rewang nggone Pak Parto ora?” Langsung Kodir bertanya.
“Lah ya embuh Aku dewe lagi
ngenteni, sesuk wae lah tak kabari langsung neng omahmu.” Sugeng berkata duduk
persoalannya. “Paling Kita ikut membantu di rumah kampung ini, pestanya di
gedung hotel di Ring Road Selatan tak mungkin Kita kesana. Di hotel itu
pekerjanya lebih pintar dari pada Kita.”
Si Iyem yang Mereka maksud itu
keponakan Sugeng. Setahun dua tahun lulus SMK tampaknya sudah banyak lelaki
yang kecantol. Memang sih anaknya lumayan cantik. Panggilannya Iyem padahal
namanya keren banget, “Chintya Maryam”.
Orang2 seperti Sugeng, Marto dan Kodir tak bisa mengeja dengan baik nama
panjangnya, akhirnya cari enaknya dengan memanggil Iyem.
“He He He beberapa kali Iyem ini
pacaran ya? Tapi ternyata jodohnya jauh orang luar kota.” Marto cempe berkata
seperti ingat banyaknya pemuda2 lain kampung mencoba apel di rumah Pak Parto.
“Ya benar2 di luar dugaan, kukira
tadinya dengan Udin anaknya juragan bakso, Aku ingat saat di apeli Udin Kita
sering minta jatah rokok untuk bisa masuk kampung ini.” Sugeng cengengesan bila
ingat keadaan Mereka. Kedudukan Mereka di kampung ini dianggap sebagai preman
sehingga bila ada orang baru masuk harus berhadapan dengan Mereka bertiga.
“Iyem itu ya aneh juga, saat ada
pemuda datang kerumahnya dan kemudian ternyata hendak di tolaknya Kita ini yang
disuruh maju untuk mengusirnya. Nah rasanya Kita bertiga selalu di manfaatkan
orang lain gara2 seumur hidup Cuma berkeliaran di dalam kampung.” Kodir becak
berkata seraya menggeleng2 kan kepala.
Tapi Mereka bertiga menyadari juga,
tampang Mereka serba kurang dan termasuk keluarga melarat. Bagi Mereka punya
rumah gubug di kampung itupun sudah membuat Mereka berbahagia. Saking
bahagianya dulu saat terjadi gempa yang meluluhlantakan seluruh Bantul gubug
Mereka utuh menjadi bangunan paling tahan gempa. Jadinya Mereka bertiga sungkan
jika di sebut korban musibah gempa. Hebatnya orang lain dapat biaya bantuan
pembangunan rumah, Mereka bertiga luput dari kategori mendapat bantuan korban
bencana.
Jika di pikir2 nelangsa tetapi jika
berbicara dengan orang lain Mereka bertiga berkata bangga, “ Wee Kami kan hidup
mandiri!”
Gubug tempat tinggal Mereka saling
bersebelahan, paling jauh Marto cempe. Ia agak kedalam mendekati bulak sawah di
belakang kampung. Sedangkan Sugeng Patri dekat jembatan, tinggal naik pembatas
jembatan sampai di jalan. Lain lagi Kodir becak, rumahnya di tepi sungai Code
berjarak sepuluh meter, sisa tanah di dekat sungai di jadikannya kolam ukuran
3*10m berisi ikan nila dan lele.
Menjelang sore setelah ngobrol cukup
lama, teman Sugeng Patri kembali kerumah masing2. Marto cempe sempat2nya
mengambil beberapa biji lombok rawit yang ditanam di belakang rumah Sugeng.
“Minta dikit ya, arep tak gawe
sambal bawang.” Katanya cengar cengir meninggalkan Sugeng yang melotot merasa
di dahului panen.
“Wedusmu gek diangon ben cepet payu
Dab!” Katanya mengejek Marto. Kebiasaan saling memaki antar Mereka tak pernah
membuat tersinggung.
Dibandingkan dengan kedua temannya,
Marto cempe rumahnya paling belakang dari jalan yang ada jembatan di kali Code.
Rumahnya masih berlantai tanah dulunya itu bagian warisan setelah Bapaknya
meninggal dunia. Sepetak tanah untuk rumah alias gubug dan sepetak sawah paling
luas 400m2. Itulah harta kekayaannya. Lainnya ya itu julukannya pelihara cempe
dan kerja serabutan.
Yang membuat Marto cempe agak minder
di bandingkan kedua temannya Ia paling kecil badannya. Terlihat kurus dengan
rambut ikal. Kakinya hitam legam karena sering jadi kuli bangunan.
“Heh kalau hidup di dunia ini surga,
pilihanku kayaknya goblok banget.” Berkata sendiri Marto cempe. Satu karung
rumput yang di kumpulkannya segera di bawa kekandang kambing yang beraroma
kencing dan tahi. Aroma yang menjadikannya tahu kapan waktu memberi makan modal
investasinya setiap tahun. Ya biarpun Marto cempe tak paham hukum ekonomi
tetapi Ia sangat memperhitungkan ternaknya setiap tahun bisa mendapatkan uang
untuk berbagai keperluan.
“Mbek! Mbek! Kambing2 itu rupanya
tahu hari ini tuannya agak terlambat memberi makan sehingga mengembik minta
jatah.
“Nih nih cepat gemuk ya sayang. Hari
raya Idul Adha nanti Kalian biasanya sudah di pesan juragan kambing di pasar.”
Marto berkata sendiri dengan senyum penuh kebahagiaan.
Itulah dunianya, sesuatu yang
mungkin tak dimiliki orang lain. Ia selalu bisa merasakan keadaan kambingnya,
sehatkah, sakitkah dan setiap bulan melihat bertambah gemuk badan cempe
peliharaannya. Ia sendiri berhitung jika waktunya semakin dekat hari raya Idul
Qurban.
Setelah itu Marto cempe menuju sumur
dan mandi di bangunan kecil dekat sungai Code. Sungai tersebut menjadi saksi
adanya makhluq yang mencoba menerima takdirnya.
“Coba tak ada jembatan itu, tempat
ini hanya bulak sawah atau kebun tebu selamanya. Kampung ini ada karena orang2
berpikir cukup strategis menuju tempat manapun.” Lagi2 Marto berkata sendiri.
Dan sungai itu terus mengalirkan
beribu2 kubik air dari gunung Merapi. Sebuah gunung yang sangat di puja oleh
orang Jawa. Gunung yang selalu banyak memuntahkan materialnya setiap tahunnya.
Hari itu kesibukan terjadi di rumah
Pak Parto. Hajatan perkawinan di kampung di gelar. Pedukuhan di tepi jembatan
kali Code itu masih masuk desa Tamanan. Hanya satu RT saja karena jumlah
rumahnya sekitar limabelas rumah. Pak Parto pegawai negeri PEMKOT. Rumahnya
paling besar di lingkungan RT tersebut. Sebuah mobil dan beberapa motor cukup
menunjukan bila Mereka keluarga kaya.
Rumah tersebut sudah di pasangi
tratag hajatan. Padahal di rumah kampung tersebut acaranya hanya di peruntukan
untuk warga kampung dan keluarga Perempuan yang jadi mempelai. Kalau pestanya
di adakan di sebuah hotel megah di Ring Road Selatan.
Yang terlihat sibukpun hanya Ibu
Iyem, Ia selalu harus stand by menerima kedatangan tamu. Tentu saja Ibu Iyem
ini asli kampung tersebut. Berbeda dengan Pak Parto yang dari Sleman. Pak
Partonya sendiri pulang balik Sleman,Yogya dan rumah di dukuh tersebut. Soalnya
di Sleman sana rumahnya juga terbilang besar menyamai rumah istrinya yang asli
Wojo.
Kalau Iyem wah Ia bersembunyi di
dalam kamar. Penantiannya mencapai pelaminan akan di laluinya bersama dengan
kekasihnya di resepsi pesta pernikahan. Masih tiga hari lagi Ia akan bergelar
Nyonya. Iyem ini berwajah oval, rambut lurus sebahu, matanya yang lebar dengan
tarikan lesung pipit cukup membuat perjaka2 kesengsem. Nah salah satu yang
mendekatinya itulah Pemuda yang sekarang menjadi calon suaminya.
“Lik Marto ikut rewang nggak ya?”
Pikirannya melintas pada seorang tetangganya. Diintipnya dari jendela
kamarrnya, Uuuups langsung terlihat sosoknya yang kurus berambut ikal itu.
Rupanya Marto cempe tahu juga Iyem melihati Mereka bertiga yang sedang sibuk
menata kursi dan membuat aneka hiasan dari janur.
“Ada apaMar?” Sugeng Patri bertanya
karena Marto menghentikan pekerjaannya.
“Itu si Eneng ngintip kamu!” Marto
menunjuk jendela tempat tidur Iyem.
“Yang benar Mar?” Sugeng Patri
terbelak matanya ikut mencari sosok Perempuan calon Pengantin. Biarpun Iyem masih
keponakannya tetapi sebagai Lelaki tetap saja tertarik.
Mereka bertiga berhenti bekerja,
Mereka sekarang menanti kalau2 si Iyem ngintip Mereka lagi.
“Huh Kita saja yang geer di
perhatikan Iyem, Iyemkan sudah punya calon.” Kodir becak berkata menyadarkan
kedua temannya.
Lain dengan Kodir dan Sugeng, Marto
cempe merasa bahwa Iyem mengintip ditujukan kepadanya. Ia berkata dalam hati,
“Biarpun Iyem akan menjadi milik
orang lain. Tetapi Aku juga pernah merasakan kebersamaan dengannya.”
Dibandingkan dengan Kodir dan Sugeng
Ia malah akrab dengan Iyem saat masih SMP. Saat itu Iyem menjalani masa pubernya.
Marto cempe jika lewat depan rumah Iyem sering bentrok mata. Mereka berdua
sering saling pandang dengan hati masing2 bertanya. Jika agak lama berpandangan
akhirnya Iyem yang menundukan kepalanya. Yang merasakan bingung jelas Marto
cempe, Ia merasakan sesuatu, ya hatinya berbunga2 dan dadanya berdebar2.
“Iyem masih sekolah kenapa hatiku
jadi tertarik dengannya?” Marto cempe saat itu bertanya2. “Wajarkah perasaanku
ini?” Lagi2 Ia bertanya.
Tetapi lain perasan lain pula fisik,
Ia pun beraksi mencari perhatian gadis remaja tersebut. Hati bertaut? Ah tai
kucing!
Mereka berdua jadi kesulitan menyesuaikan
diri. Marto cempe merasa sudah tua dan tidak normal punya perasaan seperti itu,
sedangkan Iyem yang baru merasakan perbedaaan lain jenis mabuk kepayang. Sering
saking bingungnya Iyem antara perasaan dan sukanya jadi bersikap anti pati.
Yang kelabakan Marto cempe bila
berjumpa dengan gadis ini, Iyem melihat dirinya dengan wajah takut seolah2
hendak di terkam olehnya. Uiih ganasnya si Marto cempe!
“Yem kenapa Kamu itu?” Tanyanya di
salah satu kesempatan.
Bukannya menjawab Iyem cepat2
berlalu walaupun sempat menengok kebelakang menatap Marto. Tatapan mata Iyem
yang sekejap tapi berbinar tertangkap jelas oleh Marto yang orang dewasa.
Bagaimana dengan Marto cempe?
“Lagi2 Aku akan mengalami beberapa
kesulitan menghadapi Perempuan ini.” Membatin sambil berpikir tentang dirinya.
Ia beberapa kali mengalami perasaan jatuh cinta terhadap Perempuan. Ia Lelaki
dan akan tertantang untuk mendekati Perempuan yang menarik hatinya tersebut.
Kini di hadapannya ada seorang Perempuan yang terlihat dari umurnya baru
mengalami masa pubernya. Suatu keadaan yang berbeda dengan Perempuan2 lain yang
diincarnya, biasanya Ia menghadapi Perempuan2 dewasa.
“Terhadap Iyem ini Aku harus
mewajarkannya, bertindak tetapi kuputuskan untuk melewatinya. Biasanya
perasaan2 seperti ini untukku berlangsung sekitar satu dua tahun.” Berkata
sendiri Marto cempe.
Perasaan sayangnya timbul sebagai Lelaki
terhadap Perempuan. Dan itu membuat dirinya seperti berjibaku untuk
menentangnya. Yang sering membuat Marto cempe kaget adalah si Iyem sepertinya
memberi harapan penuh kepadanya.
“Gila! Ini perasaanku saja atau Iyem
bermain2” Marto cempe terkapar tak mampu membedakan.
Suatu ketika saat Ia berada di kebun
tebu seberang jembatan mencari rumput, Marto cempe terkejut. Dari jalan Imogiri
Barat meluncur sepeda motor dengan pengendaranya berboncengan. Itu Iyem di
boncengkan oleh seorang Lelaki. Mendadak Marto cempe hatinya berguncang, dunia
serasa kiamat. Hatinya terbakar oleh perasaan cemburu.
“Haduuh Iyem Iyem, Kamu membuat
perasanku kacau balau. Tahukah Kamu, caramu itu memanasi hatiku.” Berkata
sendiri Marto cempe.
Tadinya Ia bertahan untuk mencoba
mendiamkan saja kejadian tersebut. Tetapi sempat si Iyem memandanginya dari
boncengan motor dengan perasaan bersalah. Ini yang mebuat Marto cempe cepat
bergerak mendekati rumah Iyem tepat di pinggir jalan bersebelahan dengan rumah
Sugeng Patri.
Benar2 itu Iyem yang sekarang
berhadapan dengan Ibunya menginterograsi. Rupanya Iyem ketahuan oleh ibunya
berboncengan bersama dengan seseorang yang tak di kenal. Iyem melotot saat
Marto cempe melewatinya di depan rumah menuju tempat Sugeng tinggal. Pasti Iyem
merasa di awasi di manapun. Tak sengaja dirinya jadi memiliki masalah dengan
Marto cempe. Sementara Ibunya ngomel2 karena merasa di langkahi Putrinya.
“Kamu itu dari mana Yem! Jangan mau
di ajak Lelaki kecuali teman sekolahmu!” Beberapa kata teguran di berikan
kepada Iyem. Ibunya ini jelas tahu seluk beluk hubungan antar Lelaki dengan
Perempuan. Sebagai Ibu nalurinya menyatakan anak gadisnya mulai memperlihatkan
diri sebagai seorang wanita dengan banyak berkenalan dengan lain jenis. Suatu
hal yang pernah juga di alaminya.
Agak gawat rupanya situasi di rumah
Iyem. Terakhir kalinya saat Marto cempe sudah berada di rumah Sugeng justru Ibu
Iyem mendatangi.
“Geng Aku minta tolong keponakanmu
si Iyem agak di awasi. Tingkahnya beberapa hari ini mulai tak terkontrol.” Ibu
Iyem berkata memberitahu Sugeng yang belum tahu apa2 kejadian tadi.
“Iya Mbak nantilah, tapi dengan
siapa Iyem pergi tadi?” Sugeng biarpun belum tahu seluruh masalah bertanya.
“Menyebalkan! Iyem itu mau2nya di
ajak Anto tukang parkir. Kalau berteman dengan teman sekolahnya tidak apa2,
yang ini orang sudah dewasa bisa2 di ajak yang bukan2.” Ibu Iyem memberitahu
Sugeng.
Marto cempe yang berada bersama
Sugeng mendengar semua kata2 Ibu Iyem. Dalam hati Ia berkata, “Ah Aku sendiri
juga jatuh cinta dengan Iyem, entah seberapa nanti Aku bisa mendekatinya.”
Setelah itu Ibu Iyem kembali pulang,
tinggallah Marto cempe dan Sugeng ngobrol membicarakan kejadian tersebut.
“Ah tak terasa si Iyem yang dulu
sering mandi telanjang di sungai Code sekarang sudah remaja. Bisa2 banyak nanti
yang naksir dengannya.” Sugeng berkata sendiri hanya di dengarkan Marto yang
tak berani menjawab apa2.
Mereka berdua ngobrol cukup lama
sebelum akhirnya Marto kembali menuju tempat biasanya mencari rumput untuk
kambingnya. Sebenarnya sih cukup naik tangga menuju jalan, tetapi kali ini Ia
sengaja melewati depan rumah Iyem.
Nah saat itulah Iyem juga keluar
rumah hendak membeli minyak goreng ke warung terdekat di jalan Imogiri.
“Hei Yem hendak kemana boleh Aku
antar?” Cepat Marto cempe menegur Iyem saat mencoba menyamakan langkah karena
Iyem berada di depannya beberapa meter.
“Boleh Lik Marto.” Iyem tersenyum
dan mencoba mengayunkan langkah bersama Marto yang mendampinginya.
Mereka berdua berjalan bersama
sambil ngobrol, beberapa pasang mata melihat kedua orang lain jenis itu menuju
warung. Tak ada yang curiga karena kali ini yang mendampingi Iyem adalah
tetangganya sendiri Marto bujang lapuk.
“Hati2 Yem, jangan langsung
melakukan kencan dengan lelaki yang terlalu tua. Lebih baik banyak Teman
sebayamu saja.” Marto berkata seperti menasehati tetapi justru bertentangan
dengan isi hatinya sendiri.
“Ya Lik Aku akan berhati2, mungkin
bila bersama dengan Lik Marto orang2 kampung tidak akan curiga.” Berkata Iyem
tersenyum.
Deg! Marto cempe serasa salah tafsir
dengan kata2 Iyem. Hatinya tidak karuan membuatnya terdiam. Bahkan sampai Iyem
sudah selesai membeli minyak goreng dan kemudian mengantarkannya pulang kembali
Marto tak kuasa berkata apa. Hatinya terasa kacau mendapati dirinya ternyata
memiliki perasaan seorang Lelaki terhadap Perempuan. Setelah itu Marto cempe
cepat2 menyelesaikan mencari rumput pakan kambingnya. Kali ini cempe2 itu
benar2 mengembek keras tanda tahu majikannya sedang bermasalah dengan seorang
Perempuan.
Mbeek! Mbeek!
Marto termangu Ia memandangi
kambing2nya dan tak terasa keluar air matanya.
“Aku yang salah jika terus
merindukan Iyem!” Di coba di tepisnya bayangan wajah Iyem yang baginya terasa
begitu cantiknya. Ibaratnya jika dari jauh terlihat Iyem maka itu sudah membuat
berahinya timbul, betapapun Ia tak mungkin menyentuhnya.
JulukannyaMarto cempe anak kambing.
Tapi kalau kambing2 itu berahi Mereka tak peduli ada betina atau tidak langsung
main sikat saja. Di sini hebatnya kambing2 itu, pejantan kambing sanggup saja
mengawini puluhan betina.
Kalau Marto cempe?
Satupun belum dapat, beberapa kali
jatuh cinta selalu di tolak. Kebetulan saja ada Iyem yang sepertinya memberi
harapan. Tapi umur tidak memungkinkan Marto cempe sebagai lelaki dewasa
memacari Iyem. Sebagai lelaki jantan Ia harus menerima takdirnya melindungi
Perempuan tersebut.
Begitulah kejadian demi kejadian
malah membuat Iyem seperti tentram bila bersama Marto cempe. Marto cempe yang
mengukur2 dirinya,
“Sesuaikah Aku dengan Iyem, dari
umur saja terpaut jauh?” Ini pertanyan di lubuk hati Marto.
“Apakah kedua orang tuanya akan
menyetujui hubungan ini, sekarang kedua orang tuanya tahunya Aku di kenal orang
baik2 dan tetangganya jadi tak mungkin mencurigai Aku.” Lagi pertanyaan itu
sulit di jawab. Marto cempe merasa dalam keadaan dilematis.
“He He He jika terus yang jadi
masalah juga statusku yang melarat.” Wah Marto cempe tersenyum kecut bila
mengingat nasibnya.
Siapa suruh lahir dari keluarga
miskin!
Oalah pandangan masyarakat umum
memang begitu Mar, hendak di ubah bagaimana?
Cuma sayang sebagai remaja yang
sedang tumbuh, Iyem ini juga tidak stabil. Dengan Marto cempe cukup menurut,
tetapi di luar sana Ia juga bermain api. Pernah sekali Marto cempe mendapati
Iyem janjian bertemu dengan seorang lelaki di pagi hari di Monumen Pesawat
Terbang.
Iyem duduk berdua dengan seorang
pemuda yang mungkin teman sekolahnya. Melihat keadaan itu bukan main, Marto
cempe merasa seperti terbuang begitu saja. Jelas Marto cempe kalah dari segala
hal. Penampilan dan kendaraannya berupa sepeda motor tak pernah menjadi dunia
Marto.
Pertemuan tidak lama, setelah itu
entah di mana Iyem dan teman kencannya pergi. Marto cempe tahu saja paling
sejam kemudian Iyem bakalan pulang. Tak mungkin Ia berlama2 dengan pacar
barunya itu. Nah Marto cempe cepat2 mengawasi di jembatan menunggu bila Iyem
datang.
Disinilah Marto cempe mampu
berpikir,
“Akulah yang harus menghindarinya,
biarkan Iyem dengan masa remajanya menikmatinya.”
Ada tekad keluar walaupun perasaan
terus menyangkalnya. Pertentangan batin itu terkadang di menangkan oleh
logikanya tetapi lebih sering juga perasaan melankolis muncul membenarkan
perasaan ketertarikannya terhadap
Perempuan sebagai hal yang normal.
Dipandanginya air sungai, mengalir
deras beriak tak dalam. Sungai yang menyimpan pasir, batu dari gunung keramat.
Nun jauh gunung itu berdiri dengan angkuh terus membangun dirinya dengan
memuntahkan materialnya.
Akhirnya sosok Perempuan yang sering
membuat dadanya berdesir itu lewat, tak perlu lagi Marto cempe berpura2
langsung di sapanya,
“Dari mana Yem?” Seribu pertanyaan
seperti langsung menuntut jawaban.
Iyem memandanginya sekejap, tak
peduli langsung meninggalkan Marto cempe yang mencoba terus mengikutinya dari
belakang. Barulah setelah Iyem masuk rumah, Marto cempe hanya melewati samping
rumah menuju jendela kamar Iyem.
Disinilah Marto cempe sekejap sempat
melihat Iyem mengawasinya, cepat Marto cempe mengangkat tangannya memberi
tanda. Ah sayang Iyem segera berlalu tak mempedulikannya.
“Ei lagi2 Kamu hendak menabrak
becakku, ayo minggir jangan melamun wae kayak wong edan!” Seseorang berkata
mengganggu kesenangan Marto cempe, itu Kodir becak.
“Heh setiap hari becak Kamu bawa
pulang Dir, Apa nggak di tegur Juraganmu?” Cepat2 Marto mengalihkan kata2
supaya tidak di curigai telah mengintip Iyem.
“Biar saja yang penting Aku setor
dua ribu perak setiap hari bereslah. Mana rumputmu? Biasanya jam segini Kamu
sudah mulai ngasih makan kambing?” Pertanyaan kodir mulai menyelidiki.
“Oh itu kemarin Aku cukup banyak
dapat rumput, tak akan kelaparan kambingku dua harian ini. Ayo Aku pulang
dulu!” Marto cempe berlalu tak ingin di
ketahui kelakuannya.
Beberapa hari kemudian Marto cempe
kucing2an dengan Iyem. Tak pernah Marto cempe berhasil bertegur sapa dengan
Iyem kecuali memandangnya dari jauh atau berpapasan lewat. Tetapi Iyemnya acuh
tak acuh, yang lebih menjengkelkan jika dari jauh Marto cempe memandang Iyem.
Iyem balas memandanginya dengan menggoda, tetapi bila sudah jauh meninggalkan
terkadang terdengar kata2, “Kacian deh Lu!”
Panas sekali hati Marto cempe,
rasanya sia2 mengejar gadis pujaannya. Ada setahun kejadian itu berulang2.
Begitu Iyem menginjak kelas tiga barulah Marto cempe bersikap. Mulai mengurangi
perjumpaannya dengan Iyem, kesadarannya mulai timbul seiring berkurangnya
perasan antara Lelaki terhadap Perempuan.
“Lebih patut Aku melindunginya dari
pada memacarinya.” Marto cempe berkata sendiri seiring sadar akan posisinya.
“Yang kuhargai Iyem ini tidak pernah melaporkan tindakan2 tidak wajar dariku
terhadap orang tuanya. Rupanya Iyem sadar juga bahwa Ia terlalu jauh memancing
Kelelakianku.” Kata2 ini timbul dari hati Marto sendiri.
Terus hari2 berlanjut, Iyem tumbuh
menjadi gadis dewasa. Marto cempe tak lagi menanggapi pancingan2 berupa
perhatian diam2 dari Iyem. Apalagi setelah Sugeng Patri sebagai salah satu
anggota keluarganya sekarang mengawasi kemana perginya Iyem. Semua orang
kampung kecil itu tahu Iyem cukup binal walaupun tak sampai kelewatan. Beberapa
teguran dari orang tuanya dan juga keluarganya membuat Iyem mulai merubah
berbagai sikap tidak terkontrol yang mengundang Lelaki untuk menaklukannya.
Beberapa Lelaki terus mendekati Iyem
dan hukum alampun berlaku. Iyemlah yang harus selektif memilih mana yang
terbaik untuk dirinya. Dan Marto agak sebal dalam urusan ini. Sepertinya Iyem jika
di dekati Lelaki lain akan membanding2kan dengan dirinya. Marto cempe sering
bergumam sendiri,
“Huh kalau penampilan jelas Aku
kalah Yem, tetapi kalau pengalaman hidup pacar2mu masih ingusan semua.”
Itulah kenang2an Marto cempe
terhadap Iyem, sang calon mempelai. Sekarang sebagai tetangga di mana ada
tradisi rewang (Gotong Royong) saat hajatan Ia pun ikut. Ajakan Sugeng Pattri
dan kodir becak memaksa Marto cempe ikut berpartisipasi. Nun jauh di dalam
hatinya ada perasaan enggan karena adanya kenang2an dari beberapa peristiwa
yang lalu.
Malam itu hari kedua Marto cempe
masih membantu di rumah Pak Parto. Esok hari ketiga berakhir sudah, tak ada
acara penting di rumah Iyem ini. Semuanya akan di gelar besar2an di sebuah
hotel mewah jalan Ring Road Selatan.
Tamu2 yang hanya sekitar tetangga di
dukuh saling berseberangan dengan jembatan di atas kali Code. Jembatan
penghubung karena adanya Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara, kompleks
bangunan tersebut sungguh sangat terpelihara. Jauh sekali di bandingkan dengan
rumah Marto cempe yang berupa gubug dengan tambahan kandang kambing. Terkadang
tikus bahkan ular bisa nyelonong seenaknya masuk rumah Marto cempe.
Mendadak jendela kamar Iyem tebuka,
terlihat sosoknya memandang Marto cempe. Langsung berdesir hati Marto cempe, Ia
tahu Perempuan itu pasti menyapa dirinya biarpun tak satu patah katapun keluar
dari mulutnya. Segera kedua mata Lelaki dan Perempuan itu bentrok mengungkapkan
isi hati masing2. Kali ini Marto cempe tak mampu memahaminya. Hanya ketegasan dari
matanya seolah berkata,
“Aku seorang Lelaki dan di sana
Lelaki lain akan mendampingimu. Lelaki pilihanmu itu akan sama sakitnya bila
mengetahui dirinya di tolak. Maafkan segala tindakanku kepadamu di waktu yang
lalu.”
Entah Iyem bisa merasakannya atau tidak,
itulah yang ada di hati Marto. Beberapa saat kemudian Iyem menutup jendela
kamarnya dan Marto pun pura2 sibuk bekerja kembali. Suara gending dari kaset
yang sengaja di perdengarkan untuk menunjukan adanya hajatan terus terdengar.
Nun disana monumen Perjuangan menjadi saksi dengan ejekan terhadap manusia.
“Hei Kalian sendiri kan yang membuat
permainan! Aku hanya benda mati jangan disangkut pautkan dengan nasib Kalian!”
Pedukuhan kecil di tepi jembatan
Code meriwayatkan kisah Marto cempe. Jangan di kira di dalamnya sesederhana
itu. Ada kebun tebu itu seolah2 berkata bahwa petak Mereka adalah milik pabrik
gula. Ada bulak2 sawah milik petani dan penggarap berjibaku dengan musim tanam.
Dan Monumen itu telah menjadikan sebuah jembatan penghubung yang kemudian
membuat orang2 dari beberapa tempat untuk mencoba bermukim. Konon jembatan
kecil diatas Kali Code ini justru sudah ada sebelum jalan Ring Road selatan di
buat lebih modern.
“Si Iyem itu di nikahkan sesuai
pilihan orang tuanya. Pak Parto berkeinginan mendapatkan calon suami yang bisa
menambah tinggi derajat Mereka di kampung ini. Jadi itu bukan pilihan Iyem
sendiri. Aku tak pernah melihat Iyem itu serius berhubungan dengan Lelaki di
sini.” Sugeng berkata setelah beberapa hari acara jagong manten di rumah Pak
Parto.
Uuuts Marto cempe tak berani
menanggapi pemberitahuan Sugeng Patri. Sedangkan Kodir becak tertawa sambil
berkata,
“Ha Ha Ha yang jelas Iyem itu baik
juga kepadaku. Kadang2 Aku sampai salah tafsir terhadap sikapnya. Untung
becakku ini menyadarkan diriku, buat apa ikut2an rebutan mendapatkan hati Iyem,
Kita bisa bertahan hidup seperti ini saja sudah sangat beruntung.”
Nah ternyata Kodir becak pun punya
kisah lain dengan Iyem.
“Kalau Aku tak ingat Iyem itu
keponakanku, Akupun bisa tergila2 kepadanya, coba mana lebih besar peluang
Kalian mendekati Iyem dari padaku. Yah Aku cuma bisa memendam rasa jauh di
lubuk hatiku yang paling dalam.” Jujur juga Sugeng Patri ini. “Eh bagaimana
dengan dirimu anak kambing?” Sugeng mendadak bertanya.
Gelagapan Marto cempe menjawab,
“Tak sengaja Aku beberapa kali
bentrok dengan Iyem. Setiap kali Iyem kencan dengan Lelaki sepertinya Aku di
pancing untuk ikut2an ambil bagian.” Akhirnya keluar juga uneg2 Marto cempe.
Ketiganya saling berpandangan,
kemudian spontan tertawa bersama2,
“Ha Ha Ha!” Mereka bertiga merasakan
betapa lucunya hidup yang Mereka jalani.
“Eh lihat di sana juga ada acara
jagong!” Marto cempe menunjuk gunung Merapi jauh di utara.
“Wah kalau itu tugas Mbah Marijan
jadi Event Organizernya.” Kodir becak ikut2an melihat gunung Merapi. Beberapa
tahun sekali memang gunung di perbatasan Yogya – Jateng beraksi. Gara2 aksi
gunung Merapi Mbah Marijan jadi tenar karena sanggup menaklukannya.
“Mbah Marijan Mbah Marijan Mbah Marijan pancen oye!”
Kodir becak bersenandung lagu yang
sering terdengar di beberapa radio Yogyakarta. Mereka bertiga kini fokus pada
gunung Merapi, kali Code berhulu di sana. Sedangkan hajatan di atas sana begitu
ramainya, ratusan korban mati setiap hari terdengar dari berita radio dan surat
kabar. Pengungsian dari lokasi bencana sudah disesuaikan dengan zona bahaya
sendiri2.
“Kita di Bantul sepertinya aman saja
tak mungkin wedus gembel itu sampai di rumah Kita.” Sugeng Patri berkata
mententramkan hatinya sendiri dan kedua temannya.
“Ya tapi kasihan pengungsi2 itu,
Mereka sekarang bertebaran dimana2. Beberapa tahun mendatang baru benar2 pulih
daerah Mereka.” Marto cempe tak kuasa menahan perasaan. Betapa mudahnya alam
menghancurkan hunian manusia.
Beberapa hari terus berlalu, berita2
dari berbagai media jelas menyatakan bencana Merapi semakin parah. Mbah Marijan
yang bandel itupun tinggal nama meninggalkan julukannya sebagai manusia Rosa.
Hujan abu menyapu keselatan membuat
gubug Marto cempe jadi abu2, pengap. Kambingnya pun tak terlalu bernafsu makan
karena rumput2 yang di berikan Marto kotor menempel debu2 Merapi.
Apa akal Marto cempe?
Kertas2pun di coba diberikan kepada
kambingnya, juga Ia keluyuran di pasar mencari sisa sayur daun seperti sawi,
kangkung atau daun pisang untuk bungkusan, yang penting kambing2nya bisa
bertahan hidup.
Yang masih gagah bertahan tak
merasakan bencana itu cuma Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara. Ia adalah
bangunan memorial tentang kepahlawanan perang kemerdekaan. Dananya tetap
mengalir untuk terus mendapatkan pemeliharaan, tak peduli lingkungan di
sekitarnya hanya di penuhi gubug2 di sudut kampung seperti milik Marto cempe
ini.
Hujan deras mengguyur Yogya, hulu
sungai Merapi yang di penuhi material panas tergelincir terbawa hayut menuju kali Code. Tak perlu di beritahu lagi semua orang
yang memiliki rumah di tepi sungai Code merasakan bencana lain. Ancaman lahar
dingin membuat seluruh orang di tepi kali Code bersiap2.
Pedukuhan di tepi jembatan itupun
tak bisa lagi menghindar. Pasir berair coklat memenuhi tempat2 rendah di
sekitar kampung. Kodir becak, Sugeng Patri dan Marto cempe saling bantu
membantu membersihkan material banjir yang masuk memenuhi rumah2.
“Musim hujan ini Kita pasti di suruh
meronda oleh Pak RT untuk mengawasi bila banjir melanda kampung. Ya ini
resikonya hidup di tepi sungai.” Marto cempe berkata tanpa mengeluh.
“Ah sekalian saja Kita mengumpulkan
pasir untuk di jual, lumayan Kita bertiga mungkin bisa mengumpulkan satu rit
setiap hari.” Sugeng Pattri cepat memberi usul.
“Bisa! Bisa! Jika setiap hari dari
jam delapan sampai siang misalnya jam satu Kita mengumpulkan pasir cukuplah
uangnya Kita bagi bertiga. Sore hari kegiatan masing2 sesuai pekerjaan.” Kodir
becak tergerak juga dengan usul Sugeng Patri.
“Iya biar ssaja depan rumahku itu
untuk menumpuk pasir biar bisa cepat diangkut masuk ke bak mobil.” Makin cepat
Sugeng Patri berinisiatif dengan usulnya.
“Aku ada dua sekop bekas bisa Kita
pakai sementara ini.” Marto cempe ikut rembugan dengan memberikan apa yang
dimilikinya.
Jadilah ketiga penghuni dukuh di
tepi jembatan kali Code itu bekerja sama untuk bertahan hidup. Sawah2 milik
Mereka sudah sulit untuk ditanami karena pasir2 itu tak berbelas kasihan untuk
bisa menumbuhkan tanaman.
Dua hal yang sulit diduga, bencana
dan keberuntungan. Hidup di tepi sungai beresiko tertimpa banjir, tetapi banjir
itulah yang sekarang menjadi harapan Mereka. Pasir2 itu tak akan habis setahun
dua tahun ini di tambang.
Mereka bertiga senasib, Bujang lapuk
dengan pekerjaan serabutan harus terus mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari2. Itulah kewajaran sebagai anggota masyarakat. Pameo tentang hidup
mandiri membuat semangat hidup ketiganya bangkit. Tak mau terpuruk menjadi
beban orang lain.
Seharian setelah bekerja mengumpulkan
pasir bersama Sugeng dan Kodir, Marto cempe kembali kerumahnya. Ia berebah
didipan beralaskan tikar dengan bantal seadanya. Cukup untuk membuat lelap
tidurnya. Ada nasi bungkus tadi dibelinya setelah mendapat bagian bertiga
mengumpulkan pasir. Sore hari seperti biasa Ia akan mencari rumput segar di
sekitar Monumen Perjuanagn untuk pakan kambing kesokan harinya. Pagi hari
kambing2 itu akan menyapanya dari kandang minta jatah pakan. Ah kambing2 yang
membuat dirinya di juluki Marto Cempe.
Mbeeek!!