Friday, August 29, 2014

cerpen Balada jembatan Code



Balada Jembatan Code

            Kalau bilang Kita orang Yogyakarta pasti semua orang tahu. Tapi kalau asalnya diketahui dari Bantul terbayang sebuah wilayah dengan Desa dan kota 2 kecil setingkat kecamatan. Nun di Ring Road Selatan perempatan Wojo ada sebuah dukuh di tepi kali Code.
            “Ealah sulitnya cari rumput saat kemarau ini. Sudah setengah hari baru dapat satu zak.” Seseorang bergumam sendiri sambil menyabit beberapa jenis rumput. “Huh kalau alang2 wedusku doyan sudah dari kemarin Aku ongkang2 di rumah.” Terus setelah itu pindah tempat lagi di sekitar kebun tebu.
            Marto cempe namanya, soalnya jika pelihara kambing orangnya pertama2 pasti lebih memilih mulai dari anak kambing. Peliharaannya tidak banyak, hanya dua ekor. Eit jangan salah, biarpun hanya dua ekor Marto cempe ini sudah dari kecilnya pelihara kambing. Bisa dikatakan kalau darahnya dilihat dengan mikroskop gennya sudah jadi mutan kambing.
            “Mbeeek! Mbeek! Eh eh awas awas rusak joran pancingku!” Seseorang berteriak mengejutkan Marto cempe saat menabrak batang joran pancing di tepi sungai.
            “Huh tukang becak kesasar neng kali, nggak ada penumpang di sini tahu.” Marto nyeletuk mendapati seorang yang di kenalnya duduk agak jauh dari joran pancing yang di tabraknya.
            “Hiburan Lek, stress Aku mangkal neng prapatan Wojo jarang dapat penumpang.” Kodir becak namanya, orangnya berotot eh kakinya varises saking kuatnya kalau mengayuh pedal becak.
            Mereka berdua akhirnya duduk di tepi sungai dibawah naungan pohon waru, kebun tebu itu menjadi saksi bahwa orang2 di dukuh tersebut dalam sehari2nya biasa beraktifitas di tepi sungai Code.
            “Hei Dir si Iyem anaknya Parto jagong, melu rewang nggak?” Marto cempe bertanya.
            “Entahlah nanti kutanya dulu si Sugeng. Kalau dapat jatah rewang lumayan juga buat tambah2 beli sembako.” Kodir becak berkata sambil tangannya mengangkat joran pancing. Terasa dari tadi tak seekor ikan pun mau makan umpan cacingnya.
            “Kalau begitu sekarang saja Kita kesana. Kalau dapat rewang di tempat Pak Parto paling tidak tiga harian dapat pekerjaan Kita.” Marto cempe cepat mendesak temannya.
            “Ya Sugeng Patri pasti ingat dengan Kita yang sama2 tetangga dekatnya. Bisa jadi Sugeng sekarang yang jadi panitianya wong masih keluarga dekat Pak Parto.” Kodir becak oke saja di ajak Marto cempe. Yang dimaksud Sugeng Patri itu orangnya memang tukang patri keliling, sasarannya bisa ember aluminium, talang air rumah, alat2 dapur dari logam yang bocor dll.
            Bergegas keduanya pergi ke rumah Sugeng, Mereka harus melalui sebuah jembatan selebar lima meter di kali Code. Dukuh itu paling2 hanya terdiri dari lima belas rumah, sebagian besar masih bangunan dari kayu dengan lantai semi permanen.
            “Untung ada jembatan didekat rumah Kita Mar, kalau tidak Kita terpaksa menelusuri ke utara lewat jembatan jalan Ring Road sana.” Kodir becak berkata seraya menunjuk keutara, di kejauhan sana memang ada jembatan utama jalan lintas antar kota antar provinsi milik Negara.
            Sedangkan jembatan kali Code di Ngoto ini statusnya apa?
            Marto cempe dan Kodir becak tak tahu, bagi Mereka yang penting setiap hari bisa dengan mudahnya keluar masuk kampung halamannya setiap hari.
            Sedikit nyleneh jembatan itu, Ia menghubungkan jalan Imogiri Barat dengan sebuah Monumen Perjuangan. Ternyata gara2 ada monumen milik Angkatan Udara itulah jembatan didirikan supaya Monumen Perjuangan tersebut bisa diakses siapa saja. Yang beruntung tentu warga sekitar yang menjadi tidak terisolasi dari jalan utama. Tempat itu dulunya adalah tempat jatuhnya pesawat terbang Angkatan Udara saat perang merebut kemerdekaaan NKRI.
            Separo bangkai pesawat masih teronggok di sana ditambah dengan beberapa makam  Pilot dan tentara yang menjadi korban jatuhnya pesawat. Tempat tesebut sangat terpelihara karena di danai oleh TNI Angkatan Udara. Warga sekitar ikut menikmati karena adanya jembatan yang membuat Mereka bisa kemana saja tanpa memutar jauh ke jalan Desa Tamanan.
            Sampailah Marto cempe dan Kodir becak di rumah Sugeng. Mereka ini sejak kecilnya berteman. Umurnya sebaya dan yang pasti semuanya berstatus bujang lapuk. Dari rumah Sugeng terdengar siaran lagu campur sari. Orangnya lagi asyik tiduran di bangku panjang buatannya sendiri.
            “Tumben pada datang ke rumahku. Ada angin apa ya?” Sugeng menyambut kedua temannya masuk rumah. Rumah Sugeng biarpun berlantai tegel dindingnya masih campuran gedeg dan batu bata.
            “Alah kayak nggak tahu saja, piye Dab Aku diundang melu rewang nggone Pak Parto ora?” Langsung Kodir bertanya.
            “Lah ya embuh Aku dewe lagi ngenteni, sesuk wae lah tak kabari langsung neng omahmu.” Sugeng berkata duduk persoalannya. “Paling Kita ikut membantu di rumah kampung ini, pestanya di gedung hotel di Ring Road Selatan tak mungkin Kita kesana. Di hotel itu pekerjanya lebih pintar dari pada Kita.”
            Si Iyem yang Mereka maksud itu keponakan Sugeng. Setahun dua tahun lulus SMK tampaknya sudah banyak lelaki yang kecantol. Memang sih anaknya lumayan cantik. Panggilannya Iyem padahal namanya keren banget,  “Chintya Maryam”. Orang2 seperti Sugeng, Marto dan Kodir tak bisa mengeja dengan baik nama panjangnya, akhirnya cari enaknya dengan memanggil Iyem.
            “He He He beberapa kali Iyem ini pacaran ya? Tapi ternyata jodohnya jauh orang luar kota.” Marto cempe berkata seperti ingat banyaknya pemuda2 lain kampung mencoba apel di rumah Pak Parto.
            “Ya benar2 di luar dugaan, kukira tadinya dengan Udin anaknya juragan bakso, Aku ingat saat di apeli Udin Kita sering minta jatah rokok untuk bisa masuk kampung ini.” Sugeng cengengesan bila ingat keadaan Mereka. Kedudukan Mereka di kampung ini dianggap sebagai preman sehingga bila ada orang baru masuk harus berhadapan dengan Mereka bertiga.
            “Iyem itu ya aneh juga, saat ada pemuda datang kerumahnya dan kemudian ternyata hendak di tolaknya Kita ini yang disuruh maju untuk mengusirnya. Nah rasanya Kita bertiga selalu di manfaatkan orang lain gara2 seumur hidup Cuma berkeliaran di dalam kampung.” Kodir becak berkata seraya menggeleng2 kan kepala.
            Tapi Mereka bertiga menyadari juga, tampang Mereka serba kurang dan termasuk keluarga melarat. Bagi Mereka punya rumah gubug di kampung itupun sudah membuat Mereka berbahagia. Saking bahagianya dulu saat terjadi gempa yang meluluhlantakan seluruh Bantul gubug Mereka utuh menjadi bangunan paling tahan gempa. Jadinya Mereka bertiga sungkan jika di sebut korban musibah gempa. Hebatnya orang lain dapat biaya bantuan pembangunan rumah, Mereka bertiga luput dari kategori mendapat bantuan korban bencana.
            Jika di pikir2 nelangsa tetapi jika berbicara dengan orang lain Mereka bertiga berkata bangga, “ Wee Kami kan hidup mandiri!”
            Gubug tempat tinggal Mereka saling bersebelahan, paling jauh Marto cempe. Ia agak kedalam mendekati bulak sawah di belakang kampung. Sedangkan Sugeng Patri dekat jembatan, tinggal naik pembatas jembatan sampai di jalan. Lain lagi Kodir becak, rumahnya di tepi sungai Code berjarak sepuluh meter, sisa tanah di dekat sungai di jadikannya kolam ukuran 3*10m berisi ikan nila dan lele.
            Menjelang sore setelah ngobrol cukup lama, teman Sugeng Patri kembali kerumah masing2. Marto cempe sempat2nya mengambil beberapa biji lombok rawit yang ditanam di belakang rumah Sugeng.
            “Minta dikit ya, arep tak gawe sambal bawang.” Katanya cengar cengir meninggalkan Sugeng yang melotot merasa di dahului panen.
            “Wedusmu gek diangon ben cepet payu Dab!” Katanya mengejek Marto. Kebiasaan saling memaki antar Mereka tak pernah membuat tersinggung.
            Dibandingkan dengan kedua temannya, Marto cempe rumahnya paling belakang dari jalan yang ada jembatan di kali Code. Rumahnya masih berlantai tanah dulunya itu bagian warisan setelah Bapaknya meninggal dunia. Sepetak tanah untuk rumah alias gubug dan sepetak sawah paling luas 400m2. Itulah harta kekayaannya. Lainnya ya itu julukannya pelihara cempe dan kerja serabutan.
            Yang membuat Marto cempe agak minder di bandingkan kedua temannya Ia paling kecil badannya. Terlihat kurus dengan rambut ikal. Kakinya hitam legam karena sering jadi kuli bangunan.
            “Heh kalau hidup di dunia ini surga, pilihanku kayaknya goblok banget.” Berkata sendiri Marto cempe. Satu karung rumput yang di kumpulkannya segera di bawa kekandang kambing yang beraroma kencing dan tahi. Aroma yang menjadikannya tahu kapan waktu memberi makan modal investasinya setiap tahun. Ya biarpun Marto cempe tak paham hukum ekonomi tetapi Ia sangat memperhitungkan ternaknya setiap tahun bisa mendapatkan uang untuk berbagai keperluan.
            “Mbek! Mbek! Kambing2 itu rupanya tahu hari ini tuannya agak terlambat memberi makan sehingga mengembik minta jatah.
            “Nih nih cepat gemuk ya sayang. Hari raya Idul Adha nanti Kalian biasanya sudah di pesan juragan kambing di pasar.” Marto berkata sendiri dengan senyum penuh kebahagiaan.
            Itulah dunianya, sesuatu yang mungkin tak dimiliki orang lain. Ia selalu bisa merasakan keadaan kambingnya, sehatkah, sakitkah dan setiap bulan melihat bertambah gemuk badan cempe peliharaannya. Ia sendiri berhitung jika waktunya semakin dekat hari raya Idul Qurban.
            Setelah itu Marto cempe menuju sumur dan mandi di bangunan kecil dekat sungai Code. Sungai tersebut menjadi saksi adanya makhluq yang mencoba menerima takdirnya.
            “Coba tak ada jembatan itu, tempat ini hanya bulak sawah atau kebun tebu selamanya. Kampung ini ada karena orang2 berpikir cukup strategis menuju tempat manapun.” Lagi2 Marto berkata sendiri.
            Dan sungai itu terus mengalirkan beribu2 kubik air dari gunung Merapi. Sebuah gunung yang sangat di puja oleh orang Jawa. Gunung yang selalu banyak memuntahkan materialnya setiap tahunnya.
            Hari itu kesibukan terjadi di rumah Pak Parto. Hajatan perkawinan di kampung di gelar. Pedukuhan di tepi jembatan kali Code itu masih masuk desa Tamanan. Hanya satu RT saja karena jumlah rumahnya sekitar limabelas rumah. Pak Parto pegawai negeri PEMKOT. Rumahnya paling besar di lingkungan RT tersebut. Sebuah mobil dan beberapa motor cukup menunjukan bila Mereka keluarga kaya.
            Rumah tersebut sudah di pasangi tratag hajatan. Padahal di rumah kampung tersebut acaranya hanya di peruntukan untuk warga kampung dan keluarga Perempuan yang jadi mempelai. Kalau pestanya di adakan di sebuah hotel megah di Ring Road Selatan.
            Yang terlihat sibukpun hanya Ibu Iyem, Ia selalu harus stand by menerima kedatangan tamu. Tentu saja Ibu Iyem ini asli kampung tersebut. Berbeda dengan Pak Parto yang dari Sleman. Pak Partonya sendiri pulang balik Sleman,Yogya dan rumah di dukuh tersebut. Soalnya di Sleman sana rumahnya juga terbilang besar menyamai rumah istrinya yang asli Wojo.
            Kalau Iyem wah Ia bersembunyi di dalam kamar. Penantiannya mencapai pelaminan akan di laluinya bersama dengan kekasihnya di resepsi pesta pernikahan. Masih tiga hari lagi Ia akan bergelar Nyonya. Iyem ini berwajah oval, rambut lurus sebahu, matanya yang lebar dengan tarikan lesung pipit cukup membuat perjaka2 kesengsem. Nah salah satu yang mendekatinya itulah Pemuda yang sekarang menjadi calon suaminya.
            “Lik Marto ikut rewang nggak ya?” Pikirannya melintas pada seorang tetangganya. Diintipnya dari jendela kamarrnya, Uuuups langsung terlihat sosoknya yang kurus berambut ikal itu. Rupanya Marto cempe tahu juga Iyem melihati Mereka bertiga yang sedang sibuk menata kursi dan membuat aneka hiasan dari janur.
            “Ada apaMar?” Sugeng Patri bertanya karena Marto menghentikan pekerjaannya.
            “Itu si Eneng ngintip kamu!” Marto menunjuk jendela tempat tidur Iyem.
            “Yang benar Mar?” Sugeng Patri terbelak matanya ikut mencari sosok Perempuan calon Pengantin. Biarpun Iyem masih keponakannya tetapi sebagai Lelaki tetap saja tertarik.
            Mereka bertiga berhenti bekerja, Mereka sekarang menanti kalau2 si Iyem ngintip Mereka lagi.
            “Huh Kita saja yang geer di perhatikan Iyem, Iyemkan sudah punya calon.” Kodir becak berkata menyadarkan kedua temannya.
            Lain dengan Kodir dan Sugeng, Marto cempe merasa bahwa Iyem mengintip ditujukan kepadanya. Ia berkata dalam hati,
            “Biarpun Iyem akan menjadi milik orang lain. Tetapi Aku juga pernah merasakan kebersamaan dengannya.”
            Dibandingkan dengan Kodir dan Sugeng Ia malah akrab dengan Iyem saat masih SMP. Saat itu Iyem menjalani masa pubernya. Marto cempe jika lewat depan rumah Iyem sering bentrok mata. Mereka berdua sering saling pandang dengan hati masing2 bertanya. Jika agak lama berpandangan akhirnya Iyem yang menundukan kepalanya. Yang merasakan bingung jelas Marto cempe, Ia merasakan sesuatu, ya hatinya berbunga2 dan dadanya berdebar2.
            “Iyem masih sekolah kenapa hatiku jadi tertarik dengannya?” Marto cempe saat itu bertanya2. “Wajarkah perasaanku ini?” Lagi2 Ia bertanya.
            Tetapi lain perasan lain pula fisik, Ia pun beraksi mencari perhatian gadis remaja tersebut. Hati bertaut? Ah tai kucing!
            Mereka berdua jadi kesulitan menyesuaikan diri. Marto cempe merasa sudah tua dan tidak normal punya perasaan seperti itu, sedangkan Iyem yang baru merasakan perbedaaan lain jenis mabuk kepayang. Sering saking bingungnya Iyem antara perasaan dan sukanya jadi bersikap anti pati.
            Yang kelabakan Marto cempe bila berjumpa dengan gadis ini, Iyem melihat dirinya dengan wajah takut seolah2 hendak di terkam olehnya. Uiih ganasnya si Marto cempe!
            “Yem kenapa Kamu itu?” Tanyanya di salah satu kesempatan.
            Bukannya menjawab Iyem cepat2 berlalu walaupun sempat menengok kebelakang menatap Marto. Tatapan mata Iyem yang sekejap tapi berbinar tertangkap jelas oleh Marto yang orang dewasa.
            Bagaimana dengan Marto cempe?
            “Lagi2 Aku akan mengalami beberapa kesulitan menghadapi Perempuan ini.” Membatin sambil berpikir tentang dirinya. Ia beberapa kali mengalami perasaan jatuh cinta terhadap Perempuan. Ia Lelaki dan akan tertantang untuk mendekati Perempuan yang menarik hatinya tersebut. Kini di hadapannya ada seorang Perempuan yang terlihat dari umurnya baru mengalami masa pubernya. Suatu keadaan yang berbeda dengan Perempuan2 lain yang diincarnya, biasanya Ia menghadapi Perempuan2 dewasa.
            “Terhadap Iyem ini Aku harus mewajarkannya, bertindak tetapi kuputuskan untuk melewatinya. Biasanya perasaan2 seperti ini untukku berlangsung sekitar satu dua tahun.” Berkata sendiri Marto cempe.
            Perasaan sayangnya timbul sebagai Lelaki terhadap Perempuan. Dan itu membuat dirinya seperti berjibaku untuk menentangnya. Yang sering membuat Marto cempe kaget adalah si Iyem sepertinya memberi harapan penuh kepadanya.
            “Gila! Ini perasaanku saja atau Iyem bermain2” Marto cempe terkapar tak mampu membedakan.
            Suatu ketika saat Ia berada di kebun tebu seberang jembatan mencari rumput, Marto cempe terkejut. Dari jalan Imogiri Barat meluncur sepeda motor dengan pengendaranya berboncengan. Itu Iyem di boncengkan oleh seorang Lelaki. Mendadak Marto cempe hatinya berguncang, dunia serasa kiamat. Hatinya terbakar oleh perasaan cemburu.
            “Haduuh Iyem Iyem, Kamu membuat perasanku kacau balau. Tahukah Kamu, caramu itu memanasi hatiku.” Berkata sendiri Marto cempe.
            Tadinya Ia bertahan untuk mencoba mendiamkan saja kejadian tersebut. Tetapi sempat si Iyem memandanginya dari boncengan motor dengan perasaan bersalah. Ini yang mebuat Marto cempe cepat bergerak mendekati rumah Iyem tepat di pinggir jalan bersebelahan dengan rumah Sugeng Patri.
            Benar2 itu Iyem yang sekarang berhadapan dengan Ibunya menginterograsi. Rupanya Iyem ketahuan oleh ibunya berboncengan bersama dengan seseorang yang tak di kenal. Iyem melotot saat Marto cempe melewatinya di depan rumah menuju tempat Sugeng tinggal. Pasti Iyem merasa di awasi di manapun. Tak sengaja dirinya jadi memiliki masalah dengan Marto cempe. Sementara Ibunya ngomel2 karena merasa di langkahi Putrinya.
            “Kamu itu dari mana Yem! Jangan mau di ajak Lelaki kecuali teman sekolahmu!” Beberapa kata teguran di berikan kepada Iyem. Ibunya ini jelas tahu seluk beluk hubungan antar Lelaki dengan Perempuan. Sebagai Ibu nalurinya menyatakan anak gadisnya mulai memperlihatkan diri sebagai seorang wanita dengan banyak berkenalan dengan lain jenis. Suatu hal yang pernah juga di alaminya.
            Agak gawat rupanya situasi di rumah Iyem. Terakhir kalinya saat Marto cempe sudah berada di rumah Sugeng justru Ibu Iyem mendatangi.
            “Geng Aku minta tolong keponakanmu si Iyem agak di awasi. Tingkahnya beberapa hari ini mulai tak terkontrol.” Ibu Iyem berkata memberitahu Sugeng yang belum tahu apa2 kejadian tadi.
            “Iya Mbak nantilah, tapi dengan siapa Iyem pergi tadi?” Sugeng biarpun belum tahu seluruh masalah bertanya.
            “Menyebalkan! Iyem itu mau2nya di ajak Anto tukang parkir. Kalau berteman dengan teman sekolahnya tidak apa2, yang ini orang sudah dewasa bisa2 di ajak yang bukan2.” Ibu Iyem memberitahu Sugeng.
            Marto cempe yang berada bersama Sugeng mendengar semua kata2 Ibu Iyem. Dalam hati Ia berkata, “Ah Aku sendiri juga jatuh cinta dengan Iyem, entah seberapa nanti Aku bisa mendekatinya.”
            Setelah itu Ibu Iyem kembali pulang, tinggallah Marto cempe dan Sugeng ngobrol membicarakan kejadian tersebut.
            “Ah tak terasa si Iyem yang dulu sering mandi telanjang di sungai Code sekarang sudah remaja. Bisa2 banyak nanti yang naksir dengannya.” Sugeng berkata sendiri hanya di dengarkan Marto yang tak berani menjawab apa2.
            Mereka berdua ngobrol cukup lama sebelum akhirnya Marto kembali menuju tempat biasanya mencari rumput untuk kambingnya. Sebenarnya sih cukup naik tangga menuju jalan, tetapi kali ini Ia sengaja melewati depan rumah Iyem.
            Nah saat itulah Iyem juga keluar rumah hendak membeli minyak goreng ke warung terdekat di jalan Imogiri.
            “Hei Yem hendak kemana boleh Aku antar?” Cepat Marto cempe menegur Iyem saat mencoba menyamakan langkah karena Iyem berada di depannya beberapa meter.
            “Boleh Lik Marto.” Iyem tersenyum dan mencoba mengayunkan langkah bersama Marto yang mendampinginya.

            Mereka berdua berjalan bersama sambil ngobrol, beberapa pasang mata melihat kedua orang lain jenis itu menuju warung. Tak ada yang curiga karena kali ini yang mendampingi Iyem adalah tetangganya sendiri Marto bujang lapuk.
            “Hati2 Yem, jangan langsung melakukan kencan dengan lelaki yang terlalu tua. Lebih baik banyak Teman sebayamu saja.” Marto berkata seperti menasehati tetapi justru bertentangan dengan isi hatinya sendiri.
            “Ya Lik Aku akan berhati2, mungkin bila bersama dengan Lik Marto orang2 kampung tidak akan curiga.” Berkata Iyem tersenyum.
            Deg! Marto cempe serasa salah tafsir dengan kata2 Iyem. Hatinya tidak karuan membuatnya terdiam. Bahkan sampai Iyem sudah selesai membeli minyak goreng dan kemudian mengantarkannya pulang kembali Marto tak kuasa berkata apa. Hatinya terasa kacau mendapati dirinya ternyata memiliki perasaan seorang Lelaki terhadap Perempuan. Setelah itu Marto cempe cepat2 menyelesaikan mencari rumput pakan kambingnya. Kali ini cempe2 itu benar2 mengembek keras tanda tahu majikannya sedang bermasalah dengan seorang Perempuan.
            Mbeek! Mbeek!
            Marto termangu Ia memandangi kambing2nya dan tak terasa keluar air matanya.
            “Aku yang salah jika terus merindukan Iyem!” Di coba di tepisnya bayangan wajah Iyem yang baginya terasa begitu cantiknya. Ibaratnya jika dari jauh terlihat Iyem maka itu sudah membuat berahinya timbul, betapapun Ia tak mungkin menyentuhnya.
            JulukannyaMarto cempe anak kambing. Tapi kalau kambing2 itu berahi Mereka tak peduli ada betina atau tidak langsung main sikat saja. Di sini hebatnya kambing2 itu, pejantan kambing sanggup saja mengawini puluhan betina.
            Kalau Marto cempe?
            Satupun belum dapat, beberapa kali jatuh cinta selalu di tolak. Kebetulan saja ada Iyem yang sepertinya memberi harapan. Tapi umur tidak memungkinkan Marto cempe sebagai lelaki dewasa memacari Iyem. Sebagai lelaki jantan Ia harus menerima takdirnya melindungi Perempuan tersebut.
            Begitulah kejadian demi kejadian malah membuat Iyem seperti tentram bila bersama Marto cempe. Marto cempe yang mengukur2 dirinya,
            “Sesuaikah Aku dengan Iyem, dari umur saja terpaut jauh?” Ini pertanyan di lubuk hati Marto.
            “Apakah kedua orang tuanya akan menyetujui hubungan ini, sekarang kedua orang tuanya tahunya Aku di kenal orang baik2 dan tetangganya jadi tak mungkin mencurigai Aku.” Lagi pertanyaan itu sulit di jawab. Marto cempe merasa dalam keadaan dilematis.
            “He He He jika terus yang jadi masalah juga statusku yang melarat.” Wah Marto cempe tersenyum kecut bila mengingat nasibnya.
            Siapa suruh lahir dari keluarga miskin!
            Oalah pandangan masyarakat umum memang begitu Mar, hendak di ubah bagaimana?
            Cuma sayang sebagai remaja yang sedang tumbuh, Iyem ini juga tidak stabil. Dengan Marto cempe cukup menurut, tetapi di luar sana Ia juga bermain api. Pernah sekali Marto cempe mendapati Iyem janjian bertemu dengan seorang lelaki di pagi hari di Monumen Pesawat Terbang.
            Iyem duduk berdua dengan seorang pemuda yang mungkin teman sekolahnya. Melihat keadaan itu bukan main, Marto cempe merasa seperti terbuang begitu saja. Jelas Marto cempe kalah dari segala hal. Penampilan dan kendaraannya berupa sepeda motor tak pernah menjadi dunia Marto.
            Pertemuan tidak lama, setelah itu entah di mana Iyem dan teman kencannya pergi. Marto cempe tahu saja paling sejam kemudian Iyem bakalan pulang. Tak mungkin Ia berlama2 dengan pacar barunya itu. Nah Marto cempe cepat2 mengawasi di jembatan menunggu bila Iyem datang.
            Disinilah Marto cempe mampu berpikir,
            “Akulah yang harus menghindarinya, biarkan Iyem dengan masa remajanya menikmatinya.”
            Ada tekad keluar walaupun perasaan terus menyangkalnya. Pertentangan batin itu terkadang di menangkan oleh logikanya tetapi lebih sering juga perasaan melankolis muncul membenarkan perasaan  ketertarikannya terhadap Perempuan sebagai hal yang normal.
            Dipandanginya air sungai, mengalir deras beriak tak dalam. Sungai yang menyimpan pasir, batu dari gunung keramat. Nun jauh gunung itu berdiri dengan angkuh terus membangun dirinya dengan memuntahkan materialnya.
            Akhirnya sosok Perempuan yang sering membuat dadanya berdesir itu lewat, tak perlu lagi Marto cempe berpura2 langsung di sapanya,
            “Dari mana Yem?” Seribu pertanyaan seperti langsung menuntut jawaban.
            Iyem memandanginya sekejap, tak peduli langsung meninggalkan Marto cempe yang mencoba terus mengikutinya dari belakang. Barulah setelah Iyem masuk rumah, Marto cempe hanya melewati samping rumah menuju jendela kamar Iyem.
            Disinilah Marto cempe sekejap sempat melihat Iyem mengawasinya, cepat Marto cempe mengangkat tangannya memberi tanda. Ah sayang Iyem segera berlalu tak mempedulikannya.
            “Ei lagi2 Kamu hendak menabrak becakku, ayo minggir jangan melamun wae kayak wong edan!” Seseorang berkata mengganggu kesenangan Marto cempe, itu Kodir becak.
            “Heh setiap hari becak Kamu bawa pulang Dir, Apa nggak di tegur Juraganmu?” Cepat2 Marto mengalihkan kata2 supaya tidak di curigai telah mengintip Iyem.
            “Biar saja yang penting Aku setor dua ribu perak setiap hari bereslah. Mana rumputmu? Biasanya jam segini Kamu sudah mulai ngasih makan kambing?” Pertanyaan kodir mulai menyelidiki.
            “Oh itu kemarin Aku cukup banyak dapat rumput, tak akan kelaparan kambingku dua harian ini. Ayo Aku pulang dulu!” Marto cempe berlalu tak ingin  di ketahui kelakuannya.
            Beberapa hari kemudian Marto cempe kucing2an dengan Iyem. Tak pernah Marto cempe berhasil bertegur sapa dengan Iyem kecuali memandangnya dari jauh atau berpapasan lewat. Tetapi Iyemnya acuh tak acuh, yang lebih menjengkelkan jika dari jauh Marto cempe memandang Iyem. Iyem balas memandanginya dengan menggoda, tetapi bila sudah jauh meninggalkan terkadang terdengar kata2, “Kacian deh Lu!”
            Panas sekali hati Marto cempe, rasanya sia2 mengejar gadis pujaannya. Ada setahun kejadian itu berulang2. Begitu Iyem menginjak kelas tiga barulah Marto cempe bersikap. Mulai mengurangi perjumpaannya dengan Iyem, kesadarannya mulai timbul seiring berkurangnya perasan antara Lelaki terhadap Perempuan.
            “Lebih patut Aku melindunginya dari pada memacarinya.” Marto cempe berkata sendiri seiring sadar akan posisinya. “Yang kuhargai Iyem ini tidak pernah melaporkan tindakan2 tidak wajar dariku terhadap orang tuanya. Rupanya Iyem sadar juga bahwa Ia terlalu jauh memancing Kelelakianku.” Kata2 ini timbul dari hati Marto sendiri.
            Terus hari2 berlanjut, Iyem tumbuh menjadi gadis dewasa. Marto cempe tak lagi menanggapi pancingan2 berupa perhatian diam2 dari Iyem. Apalagi setelah Sugeng Patri sebagai salah satu anggota keluarganya sekarang mengawasi kemana perginya Iyem. Semua orang kampung kecil itu tahu Iyem cukup binal walaupun tak sampai kelewatan. Beberapa teguran dari orang tuanya dan juga keluarganya membuat Iyem mulai merubah berbagai sikap tidak terkontrol yang mengundang Lelaki untuk menaklukannya.
            Beberapa Lelaki terus mendekati Iyem dan hukum alampun berlaku. Iyemlah yang harus selektif memilih mana yang terbaik untuk dirinya. Dan Marto agak sebal dalam urusan ini. Sepertinya Iyem jika di dekati Lelaki lain akan membanding2kan dengan dirinya. Marto cempe sering bergumam sendiri,
            “Huh kalau penampilan jelas Aku kalah Yem, tetapi kalau pengalaman hidup pacar2mu masih ingusan semua.”
            Itulah kenang2an Marto cempe terhadap Iyem, sang calon mempelai. Sekarang sebagai tetangga di mana ada tradisi rewang (Gotong Royong) saat hajatan Ia pun ikut. Ajakan Sugeng Pattri dan kodir becak memaksa Marto cempe ikut berpartisipasi. Nun jauh di dalam hatinya ada perasaan enggan karena adanya kenang2an dari beberapa peristiwa yang lalu.
            Malam itu hari kedua Marto cempe masih membantu di rumah Pak Parto. Esok hari ketiga berakhir sudah, tak ada acara penting di rumah Iyem ini. Semuanya akan di gelar besar2an di sebuah hotel mewah jalan Ring Road Selatan.
            Tamu2 yang hanya sekitar tetangga di dukuh saling berseberangan dengan jembatan di atas kali Code. Jembatan penghubung karena adanya Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara, kompleks bangunan tersebut sungguh sangat terpelihara. Jauh sekali di bandingkan dengan rumah Marto cempe yang berupa gubug dengan tambahan kandang kambing. Terkadang tikus bahkan ular bisa nyelonong seenaknya masuk rumah Marto cempe.
            Mendadak jendela kamar Iyem tebuka, terlihat sosoknya memandang Marto cempe. Langsung berdesir hati Marto cempe, Ia tahu Perempuan itu pasti menyapa dirinya biarpun tak satu patah katapun keluar dari mulutnya. Segera kedua mata Lelaki dan Perempuan itu bentrok mengungkapkan isi hati masing2. Kali ini Marto cempe tak mampu memahaminya. Hanya ketegasan dari matanya seolah berkata,
            “Aku seorang Lelaki dan di sana Lelaki lain akan mendampingimu. Lelaki pilihanmu itu akan sama sakitnya bila mengetahui dirinya di tolak. Maafkan segala tindakanku kepadamu di waktu yang lalu.”
            Entah Iyem bisa merasakannya atau tidak, itulah yang ada di hati Marto. Beberapa saat kemudian Iyem menutup jendela kamarnya dan Marto pun pura2 sibuk bekerja kembali. Suara gending dari kaset yang sengaja di perdengarkan untuk menunjukan adanya hajatan terus terdengar. Nun disana monumen Perjuangan menjadi saksi dengan ejekan terhadap manusia.
            “Hei Kalian sendiri kan yang membuat permainan! Aku hanya benda mati jangan disangkut pautkan dengan nasib Kalian!”
            Pedukuhan kecil di tepi jembatan Code meriwayatkan kisah Marto cempe. Jangan di kira di dalamnya sesederhana itu. Ada kebun tebu itu seolah2 berkata bahwa petak Mereka adalah milik pabrik gula. Ada bulak2 sawah milik petani dan penggarap berjibaku dengan musim tanam. Dan Monumen itu telah menjadikan sebuah jembatan penghubung yang kemudian membuat orang2 dari beberapa tempat untuk mencoba bermukim. Konon jembatan kecil diatas Kali Code ini justru sudah ada sebelum jalan Ring Road selatan di buat lebih modern.
            “Si Iyem itu di nikahkan sesuai pilihan orang tuanya. Pak Parto berkeinginan mendapatkan calon suami yang bisa menambah tinggi derajat Mereka di kampung ini. Jadi itu bukan pilihan Iyem sendiri. Aku tak pernah melihat Iyem itu serius berhubungan dengan Lelaki di sini.” Sugeng berkata setelah beberapa hari acara jagong manten di rumah Pak Parto.
            Uuuts Marto cempe tak berani menanggapi pemberitahuan Sugeng Patri. Sedangkan Kodir becak tertawa sambil berkata,
            “Ha Ha Ha yang jelas Iyem itu baik juga kepadaku. Kadang2 Aku sampai salah tafsir terhadap sikapnya. Untung becakku ini menyadarkan diriku, buat apa ikut2an rebutan mendapatkan hati Iyem, Kita bisa bertahan hidup seperti ini saja sudah sangat beruntung.”
            Nah ternyata Kodir becak pun punya kisah lain dengan Iyem.
            “Kalau Aku tak ingat Iyem itu keponakanku, Akupun bisa tergila2 kepadanya, coba mana lebih besar peluang Kalian mendekati Iyem dari padaku. Yah Aku cuma bisa memendam rasa jauh di lubuk hatiku yang paling dalam.” Jujur juga Sugeng Patri ini. “Eh bagaimana dengan dirimu anak kambing?” Sugeng mendadak bertanya.
            Gelagapan Marto cempe menjawab,
            “Tak sengaja Aku beberapa kali bentrok dengan Iyem. Setiap kali Iyem kencan dengan Lelaki sepertinya Aku di pancing untuk ikut2an ambil bagian.” Akhirnya keluar juga uneg2 Marto cempe.
            Ketiganya saling berpandangan, kemudian spontan tertawa bersama2,
            “Ha Ha Ha!” Mereka bertiga merasakan betapa lucunya hidup yang Mereka jalani.
            “Eh lihat di sana juga ada acara jagong!” Marto cempe menunjuk gunung Merapi jauh di utara.
            “Wah kalau itu tugas Mbah Marijan jadi Event Organizernya.” Kodir becak ikut2an melihat gunung Merapi. Beberapa tahun sekali memang gunung di perbatasan Yogya – Jateng beraksi. Gara2 aksi gunung Merapi Mbah Marijan jadi tenar karena sanggup menaklukannya.
            “Mbah Marijan Mbah Marijan  Mbah Marijan pancen oye!”
            Kodir becak bersenandung lagu yang sering terdengar di beberapa radio Yogyakarta. Mereka bertiga kini fokus pada gunung Merapi, kali Code berhulu di sana. Sedangkan hajatan di atas sana begitu ramainya, ratusan korban mati setiap hari terdengar dari berita radio dan surat kabar. Pengungsian dari lokasi bencana sudah disesuaikan dengan zona bahaya sendiri2.
            “Kita di Bantul sepertinya aman saja tak mungkin wedus gembel itu sampai di rumah Kita.” Sugeng Patri berkata mententramkan hatinya sendiri dan kedua temannya.
            “Ya tapi kasihan pengungsi2 itu, Mereka sekarang bertebaran dimana2. Beberapa tahun mendatang baru benar2 pulih daerah Mereka.” Marto cempe tak kuasa menahan perasaan. Betapa mudahnya alam menghancurkan hunian manusia.
            Beberapa hari terus berlalu, berita2 dari berbagai media jelas menyatakan bencana Merapi semakin parah. Mbah Marijan yang bandel itupun tinggal nama meninggalkan julukannya sebagai manusia Rosa.
            Hujan abu menyapu keselatan membuat gubug Marto cempe jadi abu2, pengap. Kambingnya pun tak terlalu bernafsu makan karena rumput2 yang di berikan Marto kotor menempel debu2 Merapi.
            Apa akal Marto cempe?
            Kertas2pun di coba diberikan kepada kambingnya, juga Ia keluyuran di pasar mencari sisa sayur daun seperti sawi, kangkung atau daun pisang untuk bungkusan, yang penting kambing2nya bisa bertahan hidup.
            Yang masih gagah bertahan tak merasakan bencana itu cuma Monumen Perjuangan TNI Angkatan Udara. Ia adalah bangunan memorial tentang kepahlawanan perang kemerdekaan. Dananya tetap mengalir untuk terus mendapatkan pemeliharaan, tak peduli lingkungan di sekitarnya hanya di penuhi gubug2 di sudut kampung seperti milik Marto cempe ini.
            Hujan deras mengguyur Yogya, hulu sungai Merapi yang di penuhi material panas tergelincir terbawa hayut menuju kali  Code. Tak perlu di beritahu lagi semua orang yang memiliki rumah di tepi sungai Code merasakan bencana lain. Ancaman lahar dingin membuat seluruh orang di tepi kali Code bersiap2.
            Pedukuhan di tepi jembatan itupun tak bisa lagi menghindar. Pasir berair coklat memenuhi tempat2 rendah di sekitar kampung. Kodir becak, Sugeng Patri dan Marto cempe saling bantu membantu membersihkan material banjir yang masuk memenuhi rumah2.
            “Musim hujan ini Kita pasti di suruh meronda oleh Pak RT untuk mengawasi bila banjir melanda kampung. Ya ini resikonya hidup di tepi sungai.” Marto cempe berkata tanpa mengeluh.
            “Ah sekalian saja Kita mengumpulkan pasir untuk di jual, lumayan Kita bertiga mungkin bisa mengumpulkan satu rit setiap hari.” Sugeng Pattri cepat memberi usul.
            “Bisa! Bisa! Jika setiap hari dari jam delapan sampai siang misalnya jam satu Kita mengumpulkan pasir cukuplah uangnya Kita bagi bertiga. Sore hari kegiatan masing2 sesuai pekerjaan.” Kodir becak tergerak juga dengan usul Sugeng Patri.
            “Iya biar ssaja depan rumahku itu untuk menumpuk pasir biar bisa cepat diangkut masuk ke bak mobil.” Makin cepat Sugeng Patri berinisiatif dengan usulnya.
            “Aku ada dua sekop bekas bisa Kita pakai sementara ini.” Marto cempe ikut rembugan dengan memberikan apa yang dimilikinya.
            Jadilah ketiga penghuni dukuh di tepi jembatan kali Code itu bekerja sama untuk bertahan hidup. Sawah2 milik Mereka sudah sulit untuk ditanami karena pasir2 itu tak berbelas kasihan untuk bisa menumbuhkan tanaman.
            Dua hal yang sulit diduga, bencana dan keberuntungan. Hidup di tepi sungai beresiko tertimpa banjir, tetapi banjir itulah yang sekarang menjadi harapan Mereka. Pasir2 itu tak akan habis setahun dua tahun ini di tambang.
            Mereka bertiga senasib, Bujang lapuk dengan pekerjaan serabutan harus terus mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari2. Itulah kewajaran sebagai anggota masyarakat. Pameo tentang hidup mandiri membuat semangat hidup ketiganya bangkit. Tak mau terpuruk menjadi beban orang lain.
            Seharian setelah bekerja mengumpulkan pasir bersama Sugeng dan Kodir, Marto cempe kembali kerumahnya. Ia berebah didipan beralaskan tikar dengan bantal seadanya. Cukup untuk membuat lelap tidurnya. Ada nasi bungkus tadi dibelinya setelah mendapat bagian bertiga mengumpulkan pasir. Sore hari seperti biasa Ia akan mencari rumput segar di sekitar Monumen Perjuanagn untuk pakan kambing kesokan harinya. Pagi hari kambing2 itu akan menyapanya dari kandang minta jatah pakan. Ah kambing2 yang membuat dirinya di juluki Marto Cempe.
            Mbeeek!!




dialog Dewa Ruci dengan Bima



                 Lampahan Banyu Suci Prawitasari
                                                Wejangan Dewa Ruci tumrap Bratasena

Dewa Ruci    :  Bratasena gawe kaget buron samudra keprabawan raga kita kang wus ngelam lami       
                          Jiwo lan ragamu jroning kasucen.
Bratasena     :  Ana cahyo sumorot tejamanter nyada lanang ditamatake cat katon cat ora. Iki
                          wujuding apa lenggah ana sela gilang mengku daya prabawa adem lan ayem mangka
                          wus mangerti marang aku.
Dewa Ruci    :  Ong ilaheng aja maneh kok kita nenek moyang kita ulun wus mangerti kabeh
                        Werkudara lamun kitanya marang ulun. Ulun iki sanghyang purba sadingah arani sang
                        Ruci batara.
Bratasena     :  Yen pancen kowe sanghyang purba, aku kepengin ngerti buktine.
Dewa Ruci    :  Kita bakal nyuwun apa?
Bratasena     :  Rehne aku ora bisa nyembah ora bisa ndhodok ora bisa basa apa kowe bisa nyipta
                        Werkudara supaya bisa nyembah ndhodok lan basa.
Dewa Ruci   :  Lamun karep kita mengkana kita kepara maju bakal ulun udari gelung kita sarta ulun
                       Garke gegeman kita supaya bisa nyembah sarta basa. Kulup dikepara maju (suluk
                      Pathet manyura jugag Werkudara ganti nganggo wijasena).
Bratasena    :  Matur sewu sembah nuwun pukulun saderengipun ngaturaken sungkeming panga
                       bekti. Inggih namung jenandika ingkang kiyat nampi sembah kula lan basa kula.
Dewa Ruci   :  Ya pancen pesthine jawata kudu mengkono.
Bratasena    :  Rehne paduka sampun kepareng ngudhar gelung kula lan mbuka gegeman kula, kula
                        badhe nyuwun pirsa blegering Werkudara punika namung kangge wewangunan me
                       napa mengku gati ingkang winadi menapa jumbuh kaliyan pangrasa kula menapa
                       boten. Awit gelaring busana lan dedeg pangadeg kula punika boten saklimrahing jalma.
Dewa Ruci   :  Kulup Bratasne sejatine dedeg lan piadeg kita iku mengku surasa gambarake jumbuhing
                        lahir lan batin kita, mula kita kaparingan gelung minangkara ndek ngarep duwur mburi
                        mengku karep lamun kita sesrawungan jroning bebrayan agung bisa mapanake
                        kalungguhan kita srawung marang wong gedhe bisa wicara srawung lawan wong cilik
                        bisa ngemong lan momot.
Bratasena    :  Lajeng sumping kula punika menapa pukulun?
Dewa Ruci   :  Kita ngagem sumping pudhak sinumpet tegese kita bisa meper hawa napsu patang
                      perkara ya kuwi: aluamah, amarah, supiyah, lan mutmainah. Amarah iku tegese
                     gampang nesu, gampang kebranang, aluamah iku tegese angangah-angah kudu dhahar
                     kang sarwa dhahar enak lan akeh, supiyah iku tegese kepengin geganthaning kamukten
                     ingkang winawa mung bandha bea, mutmainah tegese kamukten lan kalungguhan.
Bratasena     :  Lajeng kula mawi pupuk punika menapa?
Dewa Ruci    :  Sejatine iku dudu pupuk sebab pupuk iku anggone bocah cilik, iku sejatine cundhuk
                        kulup kang winastan cundhuk jaroting asem kang mengku karep alus budine mula kita
                        iku sejatine ngremit rasa kita. Kita ngagem kelat bahu bali bar manggis binelah njaba
                        lan jerone padha rasane mula watak kita yen iya ya iya yen ora ya ora. Gelang candra
                        kirana watake sumorot tejane, ngagem sabuk cindhe puspita yekti kita dadi pangence
                        nging kadang kita utawa pikuate kadang kita pikukuhing pandawa iku gumantung ana
                        kita kulup ngagem kampuh poleng bintulu aji tegese kita wus ngerti hardening hawa pa
                       tang perkara kang ginambar abang, ireng, kuning, putih. Abang marang kuwanen, ireng
                       Kelanggengan, kuning hawa asmara, putih marang kasucen.
Bratasena     :  Menapa sebabipun kula nggegem kanthi kuku ingkang kados mekaten pukulun?
Dewa Ruci    : Kita nggegem iku nyawijekake rasa budi miwah karsa kanthi lelandasan kuku pancanaka
                       panca kuwi lima naka landep sejatine kadang kita sing landep budine ya lahir ya batin ya
                       mung kowe kulup. Kita ngagem porong kencana minangka kanggo sarana pangeling-
                       eling rikala kita bakal sowan marang ulun kagiri goda marang olor tunggul wulung bisa
                       tigas janggane nanging mustaka ora bisa uwal saka wenthis kita mula ingkang kiwa gi
                       nambar dining sanghyang baruna minangka pantesing imbanging wenthis tengen.
Bratasena     :  Menawi mekaten sampun terwaca bilih gesang kula punika tinuntun dining saranduning
                         busana ingkang mapan wonten jiwa raga kula pukulun.
Dewa Ruci     :  Iya kulup mula jati diri kita mapan ana busana ingkang kita agem.
Bratasena      :  Nanging dereng lega raosing manah kula menawi dereng mangertosi ujuding  banyu
                         suci prarwita sari.
Dewa Ruci     :  Werkudara, sejatine banyu suci prarwita sari iku dudu wujud barang nanging iku kanu
                        grahaning urip lan kita bakal mangerti jatining banyu suci wadhahing prarwita sari kita
                        manjing ana jroning karna ulun.
Bratasena      :  Hyang pukulun punika elok lan aeng kula semanten agengipun paduka namung sakge
                        geman menapa saged manjing wonten karna paduka pukulun.
Dewa Ruci      :  Saka keparenging batara sarta panguwasa ulun kita bisa kulup.
Bratasena       :  Amit-amit pasang paliman tabik mugi linepatno ing bebendu saha tulak sarik kepareng
                          kula badhe manjing wonten karna paduka pukulun.
Dewa Ruci      :  Bratasena jroning kita manjing ana karna ulun aja lali elingo marang purbaning Hyang
                          widi wasa (gendhing eling-eling) rep.
Dewa Ruci       : Seno kepiye rasa kita bareng maning karna ulun.
Bratasena       : Pangraos kula sumeblak raosing manah kula lan paningal kula, sinareeng kula manjing
                       wonten karna. Katentreman ingkang kula raosaken bebasan tuwuk kang tanpa dhahar
                       seger tanpa ngunjuk padhang tanpa soroting surya, wonten pangraos namung adhem
                       ayem saha tentrem, punika wonten jagading menapa pukulun?
Dewa Ruci      :  Kuwi kang sinebut sonya nuri bratasena mara kita enggal mlakua maneh.
Bratasena       :Kula mlampah saya adhem saya ayem saya tentrem punika alamipun menapa pukulun?
Dewa Ruci      :  Kuwi kang sinebut alam baka.
Bratasena       :  Alam baka punika nenapa pukulun?
Dewa Ruci      :  Alam baka iku sampurnaning urip lamun kita ana mercapada tansah tindak bener sarta
                        seneng teetulung gawe kabecikan marang liyan bebasan maringi kudung marang wong
                        kepanasan, maringi paring marang wong kang kudanan yekti bakal sampurna urip ing
                        mbesuk bakal ngrasake kaya kita. Ya kuwi kulup lamun kita terus bisa ngrasa lan
                        nyakup cahya biru maya-maya ya iku kang sinebut banyu suci perwita sari wus marem
                       kulup rasa ning pamikirmu.
Bratasena      :  Sampun kacakup pangandikanipun sanghyang dewa ruci.
Dewa Ruci     :  Lamun mengkana kita enggal metua saka jroning karna ulun.
Bratasena      :  Kula boten badhe wangsul.
Dewa Ruci     : Apa kita lali marang jangkaning dewa perang baratayuda njaluk balining negara
                         ngastina sakwutuhe.
Bratasena      : Kula boten kepengin negari, boten kepengin bandha donya kula wonten mriki sampun
                        ayem tentrem.
Dewa Ruci      : Kita mboya kepareng kaya mengkana kulup. Kita enggal metua sedela saka karna, kita
                         bakal ulun gelung suapaya katon jati kita.
Bratasena       :  Inggih kula dherek (suluk ada-ada manyura wetah) wijasena metu digelung maneh.
Dewa Ruci      :  Rehne kita wus bali kaya duking uni kita enggal bali mesakno kadangira kulup
Bratasena       :  Aku emoh bali kepengin cerak marang Dewa Ruci dewaku during tutug nggonku ngra
                        sake katenntreman.
Dewa Ruci      : Lamun kita mboya gelem bali coba priksanana epek-epek ulun (suluk ada-ada)
Carita            : Kacarita R. Werkudara dupi mriksani epek-epek nya sang Dewa Ruci katon gegambaran
                        Dewi Kunthi Talibrata dipun perwasa kadang kurawa, duka yayasinipi dyan Bratasena
                       datan pamit sang Dewa Ruci jumangkah nyabrang samudra tindak daratan. (playon ma
                       nyura sesek) Dewa Ruci ilang.







Rukma kala lan kala rukma. Rukma kala badhar batara bayu kala rukma badhar batara brama
Batara bayu maringi pusaka kalung naga bandha batara brama maringi pusaka anting-anting sotyaning warih lan tirta kundha. Naga bandha dayane nek nesu krurane kaya naga terus anting-anting sotyaning warih bisa dayane mbabar kepadhang. Tirta kundha dayane nggo mlaku neng banyu tanpra beda neng daratan.
            Kayu gung susuhing angin tegese kayu: urip, karep gung: gedhe susuh: papan, angin: napas.
Wong yen duwe karep gedhe dijangka waton laku lakuning napas lan keteging jantung isih lumaku.
Alas kendali rasa : wong duwe karep kudu bisa ngendaleni panca driya
Gunung candra muka : Kudu bisa meper hawa lima perkara yaiku lakuning tutuk, karna, netra, grana, rasa utawa ati.
Kayune purwosejati, pangira jagad kinarya rumembi, apradapa kekuwung, sekar lintang salogo langit, woh surya lan tengsu, asirat bun lan udan, pucak akasa bungkah pratiwi, oyote banyu bajra.
Kayune purwosejati : kayu = urip/karep purwo wiwitan sejati = sejatining urip. Mila tiyang gesang anglampahi trilampahing gesang wonten mercapada nggeh punika purwo madya wasana. Pangira jagad kinarya rumembi = kiblat papat lima pancer minangka pikuating agesang. Apradapa kekuwung: lamun wus nglampahi jatining urip mubah kiblating urip saged nyepeng jatining diri lamun katarima uripe katon mencorong tejane. Sekar lintang saraga langit = kembanging jagad akasa mung loro lakuning rembulan lan lintang. Woh surya lan tengsu: bisa methik kanikmatan sarta kabagyan. Asirat bun lan udan: Pangrasa adhem ayem kaya ketetesan tirtaning bun lan udan. Pucak akasa bungkah pratiwi : ingkang murba lan masesa jagad saisine gusti ingkang maha agung. Oyote bayu bajra = pikuating urip lakuning angin.