Sajen
Bardi
meneguk air minum dalam gelas yang disodorkan
Mukijo. Rasanya segar karena itu air
dari aqua isi ulang. Dipandanginya Mukijo yang merupakan pemilik tempat kos
kamar yang disewanya. Mukijo orangnya tinggi kurus rambut sebagian sudah
ubanan. Padahal usianya baru
menginjak tiga puluh lima tahun.
“Bar aku minta bayar kosmu di naikan jadi
tujuh puluh ribu bagaimana?” Tiba-tiba Mukijo berkata, sayang perkataannya
terasa aneh karena tidak jelas dan dari
mulutnya berbau harum alkohol.
“Mabuk
lagi bagaimana aku bisa bicara
dengan orang yang kurang kesadarannya?”
Bardi berkata sembari mengelus dada. Bardi tahu kebiasaan Mukijo yang tak
pernah berhenti minum ini. “Okee lah sekarang memang sudah beberapa tahun aku
kos di tempatmu, dinaikan sedikit saja lah
barang lima ribu ya?” Bardi
mencoba menego Mukijo.
“Berapapun
tak masalah Bar yang penting ada tambahannya aku butuh cepat nih, lihat
teman-temanku sudah menunguku diluar sana.” Katanya sambil berharap Bardi cepat
memberi uang bayar sewa kamar.
Bardi
mengulurkan uang sebanyak yang diminta Mukijo. Setelah itu tampak Mukijo segera
berlalu menemui teman-ttemannya yang sudah menunggu di depan kamar nya mungkin
untuk menambah satu dua botol lagi.
Begitulah
hari-hari berlalu ditempat kos yang disewa Bardi.
Ufff
panasnya udara Yogya ini, Bardi sampai menyeka keringat yang keluar sedari
tadi. Ia memang habis bekerja seharian
mengangkut bongkaran truck dimasukan gudang di sebuah distributor. “Ya
hanya jual tenaga saja kemampuanku bekerja, rasanya tak ada kemajuan apapun biarpun sudah merantau
sampai di Yogya.” Bardi berkata seperti mengeluh.
Bardi kembali ketempat berteduhnya di daerah
Krapyak. Saat menuju tempat kosnya ia melewati sebuah kuburan nan megah. Agak
merinding Bardi melihat tempat yang selalu dikatakan seram itu. Dimana-mana
kuburan biarpun bagusnya seperti apa tetap saja yang terbayang hal-hal yang
menyeramkan. Dan kuburan Krapyak ini terbilang mengikuti cara Jawa dengan
berbagai pernik yang mengherankan.
Ada
pameo yang tidak terkenal, “Hidup abadi adalah kematian” Dan
kuburan adalah dunia yang paling realistis sebagai bukti keabadian tersebut. He He He jangan menjadikan hujah
kata-kata yang tidak jelas tersebut. Ini kata-kata penulis hanya untuk menguatkan
jalan cerita saja.
Karena
kematian adalah abadi makanya
banyak orang sudah mempersiapkan
liang lahat sendiri dengan berbagai bangunan menjadi semacam monumen. Kuburan
Krapyak ini adalah salah satu contoh makam yang menjadi semacam
peristirahatan terakhir dengan berbagai
kepercayaan Jawa yang masih kental. Padahal ahli warisnya sendiri kemungkinan
adalah orang yang sudah modern.
Bardi tersenyum saat mencoba melewati jalan
dalam makam yang demikian megah. Ada salah satu bangunan mengingatkannya
tentang sebuah istana milik Dalai Lama di Tibet, Potala. Benar-benar mirip
sebagai replika istana tersebut walaupun hanya bagian depannya saja. Yang
lainnya adalah bangunan permanen dengan berbagai payung sebagai penghormatan
terhadap almarhum yang dikubur..
Bila
dilihat luasnya masing-masing lahan makam sudah di kuasai oleh semacam trah keluarga
besar tersebut bisa menempati rumah
luas, kamar Bardi bukan apa-apanya dibandingkan makam tersebut.
Bardi
terus melangkah menuju tempat tinggalnya, setelah sampai ia segera beristirahat
di teras rumah Mukijo yang luas. Disebuah sova bambu Bardi berebah
menghilangkan lelah. Mukijo duduk di sebuah kursi yang tersedia, dari sejak
kedatangannya sepertinya melamun entah apa yang di pikirkannya.
“Hei
mikir apa kamu itu, mendem mabuk lagi ya?” Bardi sengaja meenyinggung urusan
Mukijo yang sering mabuk-mabukan itu.
“Nggak,
bosan badanku kecapean gara-gara mabuk. Hari apa ini Bar?” Mukijo menjawab seperti
bingung menghitung hari karena tak punya kalender.
“Hari
kamis ada apa jo?” Bardi menjawab sedikit keheranan.
“Berarti
nanti malam jumat ya, jumat apa sekarang Bar?” Lagi Mukijo bertanya. Sepertinya
ia menghitung dengan menyebut nama-nama hari Jawa. “Ah jumat kliwon, aku harus
nyekar ke kuburan orang tuaku Bar.” Katanya seperti menyesal karena telah
melupakan sesuatu yang penting.
“Nyekar?
Memberi sesaji maksudmu?” Bardi bertanya seperti ingat semacam ritual orang Jawa.
“Ya
ayo kutinggal aku beli kembang di pasar
dulu, biar sajalah terlambat yang penting aku memberi sajen untuk orang tuaku
yang telah meninggal.” Mukijo berlalu
entah kemana dia membeli beberapa jenis bunga sesaji.
Bardi
termangu, ia kini tahu kebiasaan Mukijo yang masih mempertahankan kultur Jawa
kuno, memberi sesaji saat ziarah kubur. Ini pemghormatan terhadap almarhum yang
telah meninggal. Terkadang Bardi melakukannya juga, walaupun merasa tak ada
manfaatnya. Bardi bila ziarah kubur lebih sering mendoakan kedua orang tuanya
dengan memberi hadiah doa surat Al-Fatihah. Kembang di tebar hanya tambahan dan
bila tak ada tak masalah.
Ternyata
di rumah kos ini di temuinya semacam keunikan. Mukijo memberi sesaji seperti
menjadi kewajiban saat hari-hari tertentu sebagai jalan menghormati almarhum
orang tuanya.
“Sudah
dapat bunganya Jo?” Bardi segera bertanya saat mukijo datang dengan bawaan satu
bungkus bunga berbagai rupa.
“Dapat,
aku segera ke kuburan sekarang. Mau ikut nggak?” He He He Mukijo berkata
mengajak Bardi yang tertarik.
“Nggak,
di kuburan banyak demit mending tidur di kamar.” Bardi menolak halus.
“Huh
jerih jadi lelaki!” Mukijo mengejek Bardi yang dikiranya ketakutan bila menuju
makam malam hari.
“Kamu
sendirian sajalah, nanti kalau ketemu demit perempuan sampaikan salam dariku.” Bardi tak menanggapi
tantangan Mukijo.
“Beres
lah.” Mukijo menjawab sambil berlalu menuju makam.
Maka
hari-hari selanjutnya Bardi selalu meengingatkan Mukijo bila waktunya sesuai
dengan kebiasaannya. Ziarah kubur dengan memberi sesaji, ini adalah ritual
Jawa, bila melihat latar belakang Mukijo ia adalah dari keluarga Jawa
tradisional yang masih mempertahankan adat ini. Biarpun lingkungan sekitarnya
banyak penganut islam modern tetap saja
mereka belum terpengaruh. Beberapa tetangganya juga masih melakukan hal yang
sama terutama karena mereka asli daerah sekitar Yogya ini.
Ah
tradisi ini berlangsung sudah ribuan tahun, ada pengaruh animisme juga ada
pengaruh Hindu Budha. Tradisi ini masih tersebar di seluruh Indonesia sebagai
adat setempat dengan berbagai ritual tambahan yang sangat berbeda tujuannya.
Bardi
mengakui masih melakukan ritual ini,
“Hebat
kamu Jo, aku ziarah kubur setahun sekali saja belum tentu tapi kamu bisa rutin
melakukannya.” Bardi memuji dengan tulus, yang di jadikan patokannya adalah
Mukijo melakukannya tanpa ada tujuan lain kecuali mengingat almarhum kedua orang
tuanya dan merawat leluhurnya tersebut.
“Ah
hanya itu saja yang bisa kulakukan dalam berbakti kepada orang tua Bar, aku tak
bisa berdoa membaca surat dalam Al-Quran, buta huruf latin lagi.” Mukijo
berkata mengakui kekurangannya.
“Ada
kelebihannya, mendem ciu.” Bardi menambahinya. Keduanya tertawa terbahak-bahak.
Sederhana
sekali hidup Mukijo ini, rumah warisan orang tuanya diandalkan untuk mendapatkan
penghasilan. Sebenarnya bila hidupnya hemat ia termasuk orang kaya, sayang
kebiasaannya mabuk-mabukan telah menjerumuskan dirinya hampir seperti
gelandangan, kumal dan lusuh serta hidup tak teratur.
Malam
minggu, ini dia teman-teman Mukijo datang mengajak minum di sebuah tempat. Biasanya mereka
berkumpul di dekat kuburan karena tempatnya sepi dari lalu lalang orang. Bukan
main semalam suntuk Mukijo tak kembali ke rumahnya,
“Aku
tertidur di salah satu makam, orang-orang meninggalkanku sendirian.” Katanya
setengah sadar saat sudah dirumah, keadaannya sangat lusuh kaos yang di kenakannya
kotor sekali terkena noda muntahan isi perutnya.
“Salahmu
sendiri siapa yang mau mengangkat badanmu yang bau seperti itu.” Bardi menuttup
hidungnya sambil menunjuk kaos yang dikenakan Mukijo.
Tapi bawaan
Mukijo jaddi aneh hari itu, ia selalu berbisik-bisik lirih. “Itu
perbuatan sirik, dosa!” Diulanginya kata-kata tersebut berulang-ulang dengan
wajah kebingungan.
“Ada
apa Jo?” Bardi bertanya, ia sering melihat Mukijo berbisik-bisik mengulangi
perkataan seseorang tetapi yang ini ia
seperti melakukan kesalahan yang besar.
“Itu
si Penceng ia bilang kalau ziarah kubur dengan sesaji itu hukumnya sirik,
menyekutukan Tuhan. Aku berdosa besar Bar.” Katanya deengan muka kebingungan.
“Penceng
temanmu mabuk-mabukan itu?” Bardi bertanya.
“Ya,
salahkah memberi sesaji kepada orang tuaku Bar?” Lagi ia berkata nadanya
memelas.
Wah
Bardi tak tega melihat Mukijo yang mengalami peristiwa seperti itu. Ia tahu
sangat sulit memberi penjelasan tentang apa-apa yang dilakukan Mukijo tetapi ia
juga tak tega bila menuduh sebagai perbuatan
sirik begitu saja.
“Ah
yang kamu lakukan itu hanya adat setempat saja, kalau soal sirik atau tidaknya
sebuah perbuatan hanya yang Maha Kuasa saja yang tahu.” Bardi menjawab agar
Mukijo tidak terlalu membesar-besarkan masalah.
“Tapi
kata Penceng sangat menakutkanku Bar, nantilah kuberitahu Penceng akan
pernyataanmu ini.” Mukijo berkata tetap mengulang-ulang kata-kata sirik. Bardi
membiarkn saja tingkah laku Mukijo.
Selang
sehari saat sore dimana Bardi tinggal istirahat dari kerja datang teman Mukijo
yang biasa mabuk-mabukan bersama. Mereka satu kampung dan terlihat sangat
kompak, terlihat Penceng berbicara demikian lugas. Tak salah lagi ia
terpengaruh minuman oplosan murah yang dibawanya dalam plastik kecil.
Melihat
Bardi yang berebah di salah satu sova Penceng menghampiri dan berkata,
“Hei
lek kalau bicara masalah agama hati-hati
kamu itu, kalau masalah yang dilakukan Mukijo itu sirik ya hukumnya tetap sirik
lek, jangan di putar balikan.” Langsung Penceng memberikan teguran yang
ternyata berkaitan dengan ziarah kubur
yang biasa dijalankan oleh Mukijo.
Bardi
tertegun, betapa cepat masalah seperti itu dikeluarkan Penceng. Ia yang terkena
teguran langsung sebagai seorang yang salah dalam menghukum sesuatu yang hukumnya
sangat jelas dalam agama Islam.
“Wah
mas kalau masalah Mukijo itu saya hanya memandang dari sudut pandang adat, jadi
tidak sampai ke urusan hukum agama. Kalau sampai kemasalah agama silakan tanya
sama yang ahlinya, saya sholat saja masih banyak bolongnya.” Bardi menjawab
untuk menangkis kata –kata Penceng.
“Kalau kamu sendiri tidak tahu hukumnya jangan menyalahkan aku yang menyatakan ziarah kubur si Mukijo
itu termasuk sirik. Ini sudah pendapat
kuat dimanapun ahli agama memfatwakannya.” Penceng berkata dengaan tegas
sepertinya ia merasa menang terhadap
Bardi.
“Silakan
sajalah mas berpendapat demikian, saya cuma ingin membedakannya saja antara urusan
agama dengan adat yang masih dijalankan
oleh sebagian anggota masyarakat kita. Terus terang saja akupun bila
ziarah kubur terkadang membawa berbagai bunga untuk semacam penghormatan
terhadap almarhum walaupun tidak wajib, rasanya itu hanya sopan santun saja
terhadap ahli kubur.” Bardi terpaksa menguraikan berbagai hal yang diketahuinya
dan juga apa-apa yang pernah dilakukannya berkaitan dengan sesaji bunga saat
ziarah kubur.
“Huh
berarti sama saja kamu itu dengan Mukijo, dasar sirik!” Penceng berkata kasar
menuduh kesamaan kesalahan yang dilakukan oleh Bardi.
“Ya nggak apalah, justru saya salut dengan si
Mukijo ini, ia bisa rutin ziarah kubur walaupun dilakukannya secara adat
mengikuti hari-hari jawa, aku sendiri tak paham sama sekali adat Jawa
selengkapnya. Soal sirik dan tidak terserah saja pendapat masing-masing aku
tidak akan menyalahkan Mukijo secara pribadi begitu saja.” Keluar juga
argumentasi Bardi, ia tahu posisinya sangat lemah terhadap pernyataan Penceng
yang menggunakan dalil agama, tentu tidak bisa dilawan. “Sampean sendiri sering
ziarah kubur nggak mas?” Tanyanya langsung kepada Penceng.
Uh
tak ada jawaban, Penceng sudah merasa menang dengan kebenaran yang di dapatnya
dari segi hukum agama. Sementara Bardi sendiri tak mau di campur adukan urusan
agama dengan adat, biarlah apa yang ada di masyarakat berjalan dengan
sendirinya.
“Ya
sudah tak apa, kalian saja yang memang belum paham ajaran agama yang benar.”
Penceng berkata sebagai pembenaran atas dirinya terhadap orang-orang seperti
Mukijo dan Bardi.
Bardi
hanya geleng-geleng kepala saja, kalau dituduh kurang agamanya ia malah merasa
tak ada beban, tapi yang membuat pernyataan ini orangnya sering mabuk-mabukan,
jadi tak sadar bila yang dikatakannya tak sesuai dengan kelakuannya sendiri.
Ingin dikatakannya hal tersebut sebagai balasan, tapi Bardi menahan diri, tak
ada gunanya debat kusir dengan orang yang juga sedang tak sadar terhadap apa
yang dikatakannya.
Sebaliknya
Bardi segera menghindari orang-orang yang pasti punya acaraa mabuk semalam
suntuk tersebut. Ia kembali kekamarnya dan ketika waktu menunjuk jam sepuluh
segera tertidur lelap, ada saja ia mendengar suara diluar orang-orang berkata
tak jelas karena pengaruh minuman beralkohol. Yang jelas setelah kejadian dimana Bardi di debat urusan sesaji kubur
semuanya kembali bergaul biasa, paling-paling masing-masing membuat pendapat
kebenarannya sendiri-sendiri.
Beberapa
hari kemudian Mukijo berkata kepada Bardi, “Bagaimana Bar, boleh nggak aku
ziarah dengan sesaji lagi?” Katanya meminta keputusan.
“Ziarah itu boleh Jo, semuanya sesuai kemampuanmu
saja. Tidak harus dengan sesaji, tapi kalau biasa menjalankannya tak apalah. Tak
usah mengikuti kata-kata Penceng itu, anggap saja yang kamu lakukan itu hanya
adat setempat. Kamu tetap beragama toh?” Bardi mencoba membuat kebijakan agar
orang yang dihadapinya tidak terlalu merasa bersalah atas apa yang dilakukannya.
“Ya
tetap Bar, aku tetap beragama Islam walaupun ibadahnya kurang.” Jujur Mukijo
mengaku.
“He
He He aku sendiri saja belum bisa menjalankan seluruh ibadah Jo, keadaan kita
sama, sama bodohnya.” Bardi berkata sebagai hiburan untuk mereka berdua.
Dan
hari-hari selanjutnya Mukijo tetap berziarah dengan adat ritual yang sudah
menjadi kebiasaannya sejak kecil itu, sedangkan Penceng tetap dengan pendiriannya
yang berkeras menuduh itu sebagai sirik. Biarlah semua berjalan apa adanya,
semuanya tergantung pada penilaian yang berkuasa di atas sana, yang maha mutlak.
No comments:
Post a Comment