Friday, August 29, 2014

Cerpen Sajen



                                                            Sajen
Bardi meneguk air minum  dalam gelas yang disodorkan Mukijo. Rasanya segar karena  itu air dari aqua isi ulang. Dipandanginya Mukijo yang merupakan pemilik tempat kos kamar yang disewanya. Mukijo orangnya tinggi kurus rambut sebagian  sudah  ubanan. Padahal usianya baru  menginjak  tiga puluh lima tahun.
 “Bar aku minta bayar kosmu di naikan jadi tujuh puluh ribu bagaimana?” Tiba-tiba Mukijo berkata, sayang perkataannya terasa aneh  karena tidak jelas dan dari mulutnya  berbau harum  alkohol.
“Mabuk lagi bagaimana  aku bisa bicara dengan  orang yang kurang kesadarannya?” Bardi berkata sembari mengelus dada. Bardi tahu kebiasaan Mukijo yang tak pernah berhenti minum ini. “Okee lah sekarang memang sudah beberapa tahun aku kos di tempatmu, dinaikan sedikit saja lah  barang lima  ribu ya?” Bardi mencoba menego Mukijo.
“Berapapun tak masalah Bar yang penting ada tambahannya aku butuh cepat nih, lihat teman-temanku sudah menunguku diluar sana.” Katanya sambil berharap Bardi cepat memberi uang bayar sewa kamar.
Bardi mengulurkan uang sebanyak yang diminta Mukijo. Setelah itu tampak Mukijo segera berlalu menemui teman-ttemannya yang sudah menunggu di depan kamar nya mungkin untuk menambah satu dua botol lagi.
Begitulah hari-hari berlalu ditempat kos yang disewa Bardi.
Ufff panasnya udara Yogya ini, Bardi sampai menyeka keringat yang keluar sedari tadi. Ia memang habis bekerja seharian  mengangkut bongkaran truck dimasukan gudang di sebuah distributor. “Ya hanya jual tenaga saja kemampuanku bekerja, rasanya tak  ada kemajuan apapun biarpun sudah merantau sampai di Yogya.” Bardi berkata seperti mengeluh.
 Bardi kembali ketempat berteduhnya di daerah Krapyak. Saat menuju tempat kosnya ia melewati sebuah kuburan nan megah. Agak merinding Bardi melihat tempat yang selalu dikatakan seram itu. Dimana-mana kuburan biarpun bagusnya seperti apa tetap saja yang terbayang hal-hal yang menyeramkan. Dan kuburan Krapyak ini terbilang mengikuti cara Jawa dengan berbagai pernik yang mengherankan.
Ada pameo yang tidak terkenal, “Hidup abadi adalah kematian”  Dan  kuburan adalah dunia yang paling realistis sebagai bukti keabadian  tersebut. He He He jangan menjadikan hujah kata-kata yang tidak jelas tersebut. Ini kata-kata penulis hanya untuk menguatkan jalan cerita saja.
Karena kematian adalah abadi makanya  banyak  orang sudah mempersiapkan liang lahat sendiri dengan berbagai bangunan menjadi semacam monumen. Kuburan Krapyak ini adalah salah satu contoh makam yang menjadi semacam peristirahatan  terakhir dengan berbagai kepercayaan Jawa yang masih kental. Padahal ahli warisnya sendiri kemungkinan adalah orang yang sudah modern.
 Bardi tersenyum saat mencoba melewati jalan dalam makam yang demikian megah. Ada salah satu bangunan mengingatkannya tentang sebuah istana milik Dalai Lama di Tibet, Potala. Benar-benar mirip sebagai replika istana tersebut walaupun hanya bagian depannya saja. Yang lainnya adalah bangunan permanen dengan berbagai payung sebagai penghormatan terhadap almarhum  yang dikubur..
Bila dilihat luasnya masing-masing lahan makam  sudah di kuasai oleh semacam trah keluarga besar tersebut bisa menempati  rumah luas, kamar Bardi bukan apa-apanya dibandingkan makam tersebut.
Bardi terus melangkah menuju tempat tinggalnya, setelah sampai ia segera beristirahat di teras rumah Mukijo yang luas. Disebuah sova bambu Bardi berebah menghilangkan lelah. Mukijo duduk di sebuah kursi yang tersedia, dari sejak kedatangannya sepertinya melamun entah apa yang di pikirkannya.
“Hei mikir apa kamu itu, mendem mabuk lagi ya?” Bardi sengaja meenyinggung urusan Mukijo yang sering mabuk-mabukan itu.
“Nggak, bosan badanku kecapean gara-gara mabuk. Hari apa ini Bar?” Mukijo menjawab seperti bingung menghitung hari karena tak punya kalender.
“Hari kamis ada apa jo?” Bardi menjawab sedikit keheranan.
“Berarti nanti malam jumat ya, jumat apa sekarang Bar?” Lagi Mukijo bertanya. Sepertinya ia menghitung dengan menyebut nama-nama hari Jawa. “Ah jumat kliwon, aku harus nyekar ke kuburan orang tuaku Bar.” Katanya seperti menyesal karena telah melupakan  sesuatu yang penting.
“Nyekar? Memberi sesaji maksudmu?” Bardi bertanya seperti  ingat semacam ritual orang Jawa.
“Ya ayo kutinggal  aku beli kembang di pasar dulu, biar sajalah terlambat yang penting aku memberi sajen untuk orang tuaku yang telah  meninggal.” Mukijo berlalu entah kemana dia membeli beberapa jenis bunga sesaji.
Bardi termangu, ia kini tahu kebiasaan Mukijo yang masih mempertahankan kultur Jawa kuno, memberi sesaji saat ziarah kubur. Ini pemghormatan terhadap almarhum yang telah meninggal. Terkadang Bardi melakukannya juga, walaupun merasa tak ada manfaatnya. Bardi bila ziarah kubur lebih sering mendoakan kedua orang tuanya dengan memberi hadiah doa surat Al-Fatihah. Kembang di tebar hanya tambahan dan bila tak ada tak masalah.
Ternyata di rumah kos ini di temuinya semacam keunikan. Mukijo memberi sesaji seperti menjadi kewajiban saat hari-hari tertentu sebagai jalan menghormati almarhum orang tuanya.
“Sudah dapat bunganya Jo?” Bardi segera bertanya saat mukijo datang dengan bawaan satu bungkus bunga berbagai rupa.
“Dapat, aku segera ke kuburan sekarang. Mau ikut nggak?” He He He Mukijo berkata mengajak Bardi yang tertarik.
“Nggak, di kuburan banyak demit mending tidur di kamar.” Bardi menolak halus.
“Huh jerih jadi lelaki!” Mukijo mengejek Bardi yang dikiranya ketakutan bila menuju makam malam hari.
“Kamu sendirian sajalah, nanti kalau ketemu demit perempuan  sampaikan salam dariku.” Bardi tak menanggapi tantangan Mukijo.
“Beres lah.” Mukijo menjawab sambil berlalu menuju makam.
Maka hari-hari selanjutnya Bardi selalu meengingatkan Mukijo bila waktunya sesuai dengan kebiasaannya. Ziarah kubur dengan memberi sesaji, ini adalah ritual Jawa, bila melihat latar belakang Mukijo ia adalah dari keluarga Jawa tradisional yang masih mempertahankan adat ini. Biarpun lingkungan sekitarnya banyak penganut islam modern  tetap saja mereka belum terpengaruh. Beberapa tetangganya juga masih melakukan hal yang sama terutama karena mereka asli daerah sekitar Yogya ini.
Ah tradisi ini berlangsung sudah ribuan tahun, ada pengaruh animisme juga ada pengaruh Hindu Budha. Tradisi ini masih tersebar di seluruh Indonesia sebagai adat setempat dengan berbagai ritual tambahan yang sangat berbeda tujuannya.
Bardi mengakui masih melakukan ritual ini,
“Hebat kamu Jo, aku ziarah kubur setahun sekali saja belum tentu tapi kamu bisa rutin melakukannya.” Bardi memuji dengan tulus, yang di jadikan patokannya adalah Mukijo melakukannya tanpa ada tujuan lain kecuali mengingat almarhum kedua orang tuanya dan merawat leluhurnya tersebut.
“Ah hanya itu saja yang bisa kulakukan dalam berbakti kepada orang tua Bar, aku tak bisa berdoa membaca surat dalam Al-Quran, buta huruf latin lagi.” Mukijo berkata mengakui kekurangannya.
“Ada kelebihannya, mendem ciu.” Bardi menambahinya. Keduanya tertawa terbahak-bahak.
Sederhana sekali hidup Mukijo ini, rumah warisan orang tuanya diandalkan untuk mendapatkan penghasilan. Sebenarnya bila hidupnya hemat ia termasuk orang kaya, sayang kebiasaannya mabuk-mabukan telah menjerumuskan dirinya hampir seperti gelandangan, kumal dan lusuh serta hidup tak teratur.
Malam minggu, ini dia teman-teman Mukijo datang mengajak  minum di sebuah tempat. Biasanya mereka berkumpul di dekat kuburan karena tempatnya sepi dari lalu lalang orang. Bukan main semalam suntuk Mukijo tak kembali ke rumahnya,
“Aku tertidur di salah satu makam, orang-orang meninggalkanku sendirian.” Katanya setengah sadar saat sudah dirumah, keadaannya sangat lusuh kaos yang di kenakannya kotor sekali terkena noda muntahan isi perutnya.
“Salahmu sendiri siapa yang mau mengangkat badanmu yang bau seperti itu.” Bardi menuttup hidungnya sambil menunjuk kaos yang dikenakan Mukijo.
 Tapi bawaan  Mukijo jaddi aneh hari itu, ia selalu berbisik-bisik lirih. “Itu perbuatan sirik, dosa!” Diulanginya kata-kata tersebut berulang-ulang dengan wajah kebingungan.
“Ada apa Jo?” Bardi bertanya, ia sering melihat Mukijo berbisik-bisik mengulangi perkataan  seseorang tetapi yang ini ia seperti melakukan kesalahan yang besar.
“Itu si Penceng ia bilang kalau ziarah kubur dengan sesaji itu hukumnya sirik, menyekutukan Tuhan. Aku berdosa besar Bar.” Katanya deengan muka kebingungan.
“Penceng temanmu mabuk-mabukan itu?” Bardi bertanya.
“Ya, salahkah memberi sesaji kepada orang tuaku Bar?” Lagi ia berkata nadanya memelas.
Wah Bardi tak tega melihat Mukijo yang mengalami peristiwa seperti itu. Ia tahu sangat sulit memberi penjelasan tentang apa-apa yang dilakukan Mukijo tetapi ia juga tak tega bila menuduh sebagai perbuatan  sirik begitu saja.
“Ah yang kamu lakukan itu hanya adat setempat saja, kalau soal sirik atau tidaknya sebuah perbuatan hanya yang Maha Kuasa saja yang tahu.” Bardi menjawab agar Mukijo tidak terlalu membesar-besarkan masalah.
“Tapi kata Penceng sangat menakutkanku Bar, nantilah kuberitahu Penceng akan pernyataanmu ini.” Mukijo berkata tetap mengulang-ulang kata-kata sirik. Bardi membiarkn saja tingkah laku Mukijo.
Selang sehari saat sore dimana Bardi tinggal istirahat dari kerja datang teman Mukijo yang biasa mabuk-mabukan bersama. Mereka satu kampung dan terlihat sangat kompak, terlihat Penceng berbicara demikian lugas. Tak salah lagi ia terpengaruh minuman oplosan murah yang dibawanya dalam plastik kecil.
Melihat Bardi yang berebah di salah satu sova Penceng menghampiri dan berkata,
“Hei lek kalau bicara masalah  agama hati-hati kamu itu, kalau masalah yang dilakukan Mukijo itu sirik ya hukumnya tetap sirik lek, jangan di putar balikan.” Langsung Penceng memberikan teguran yang ternyata berkaitan dengan ziarah  kubur yang biasa dijalankan oleh Mukijo.
Bardi tertegun, betapa cepat masalah seperti itu dikeluarkan Penceng. Ia yang terkena teguran langsung sebagai seorang yang salah dalam menghukum sesuatu yang hukumnya sangat jelas dalam agama Islam.
“Wah mas kalau masalah Mukijo itu saya hanya memandang dari sudut pandang adat, jadi tidak sampai ke urusan hukum agama. Kalau sampai kemasalah agama silakan tanya sama yang ahlinya, saya sholat saja masih banyak bolongnya.” Bardi menjawab untuk menangkis kata –kata Penceng.
“Kalau  kamu sendiri tidak tahu hukumnya jangan menyalahkan  aku yang menyatakan ziarah kubur si Mukijo itu termasuk sirik. Ini sudah  pendapat kuat dimanapun ahli agama memfatwakannya.” Penceng berkata dengaan tegas sepertinya  ia merasa menang terhadap Bardi.
“Silakan sajalah mas berpendapat demikian, saya cuma ingin membedakannya saja antara urusan agama dengan adat yang masih dijalankan  oleh sebagian anggota masyarakat kita. Terus terang saja akupun bila ziarah kubur terkadang membawa berbagai bunga untuk semacam penghormatan terhadap almarhum walaupun tidak wajib, rasanya itu hanya sopan santun saja terhadap ahli kubur.” Bardi terpaksa menguraikan berbagai hal yang diketahuinya dan juga apa-apa yang pernah dilakukannya berkaitan dengan sesaji bunga saat ziarah kubur.
“Huh berarti sama saja kamu itu dengan Mukijo, dasar sirik!” Penceng berkata kasar menuduh kesamaan kesalahan yang dilakukan oleh Bardi.
“Ya  nggak apalah, justru saya salut dengan si Mukijo ini, ia bisa rutin ziarah kubur walaupun dilakukannya secara adat mengikuti hari-hari jawa, aku sendiri tak paham sama sekali adat Jawa selengkapnya. Soal sirik dan tidak terserah saja pendapat masing-masing aku tidak akan menyalahkan Mukijo secara pribadi begitu saja.” Keluar juga argumentasi Bardi, ia tahu posisinya sangat lemah terhadap pernyataan Penceng yang menggunakan dalil agama, tentu tidak bisa dilawan. “Sampean sendiri sering ziarah kubur nggak mas?” Tanyanya langsung kepada Penceng.
Uh tak ada jawaban, Penceng sudah merasa menang dengan kebenaran yang di dapatnya dari segi hukum agama. Sementara Bardi sendiri tak mau di campur adukan urusan agama dengan adat, biarlah apa yang ada di masyarakat berjalan dengan sendirinya.
“Ya sudah tak apa, kalian saja yang memang belum paham ajaran agama yang benar.” Penceng berkata sebagai pembenaran atas dirinya terhadap orang-orang seperti Mukijo dan Bardi.
Bardi hanya geleng-geleng kepala saja, kalau dituduh kurang agamanya ia malah merasa tak ada beban, tapi yang membuat pernyataan ini orangnya sering mabuk-mabukan, jadi tak sadar bila yang dikatakannya tak sesuai dengan kelakuannya sendiri. Ingin dikatakannya hal tersebut sebagai balasan, tapi Bardi menahan diri, tak ada gunanya debat kusir dengan orang yang juga sedang tak sadar terhadap apa yang dikatakannya.
Sebaliknya Bardi segera menghindari orang-orang yang pasti punya acaraa mabuk semalam suntuk tersebut. Ia kembali kekamarnya dan ketika waktu menunjuk jam sepuluh segera tertidur lelap, ada saja ia mendengar suara diluar orang-orang berkata tak jelas karena pengaruh minuman beralkohol. Yang jelas setelah kejadian  dimana Bardi di debat urusan sesaji kubur semuanya kembali bergaul biasa, paling-paling masing-masing membuat pendapat kebenarannya sendiri-sendiri.
Beberapa hari kemudian Mukijo berkata kepada Bardi, “Bagaimana Bar, boleh nggak aku ziarah dengan sesaji lagi?” Katanya meminta keputusan.
“Ziarah  itu boleh Jo, semuanya sesuai kemampuanmu saja. Tidak harus dengan sesaji, tapi kalau biasa menjalankannya tak apalah. Tak usah mengikuti kata-kata Penceng itu, anggap saja yang kamu lakukan itu hanya adat setempat. Kamu tetap beragama toh?” Bardi mencoba membuat kebijakan agar orang yang dihadapinya tidak terlalu merasa bersalah  atas apa yang dilakukannya.
“Ya tetap Bar, aku tetap beragama Islam walaupun ibadahnya kurang.” Jujur Mukijo mengaku.
“He He He aku sendiri saja belum bisa menjalankan seluruh ibadah Jo, keadaan kita sama, sama bodohnya.” Bardi berkata sebagai hiburan untuk mereka berdua.
Dan hari-hari selanjutnya Mukijo tetap berziarah dengan adat ritual yang sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil itu, sedangkan Penceng tetap dengan pendiriannya yang berkeras menuduh itu sebagai sirik. Biarlah semua berjalan apa adanya, semuanya tergantung pada penilaian yang berkuasa di atas sana, yang maha mutlak.






No comments:

Post a Comment