Rel
Dongkelan
1950,
THUUUT!..............THUUUT!
Loko kereta diesel membunyikan
semboyan tanda melanjutkn perjalanan. Gerbongnya hanya berjumlah dua dengan
kursi seadanya dan sebagian besar berisi tumpukan barang milik pedagang. Kereta
penumpang tersebut berfungsi ganda, jurusannya pun hanya beberapa stasiun yang
dilaluinya.
“Pagi sore pasti kita bertemu, piye
gedangmu Dab, laris ora?” Berkata seorang penumpang lelaki gendut dengan peluh
masih bercucuran.
“Lah seanane Pak De, sing penting
dodol kanggo nyambung urip,” Yang ditanyapun menjawab sambil duduk bersandar di
dinding gerbong barang.
Kereta
bergerak pelan menuju selatan, Masinis sudah mengangkat tanda berjalan kereta
dengan meniup peluit.
GREK…… GREEK…..GREK…..
JEZZ…….JEZZZ….
Melajulah roda kereta mendesis karena
berimpitan dengan besi rel. Ibarat diadu besi dengan besi, hanya saja satunya
kecil memanjang sedangkan di atasnya besi melingkar membuat pergerakan
gelombang barisan Aritmatika. Bisa dihitung dengan rumus sinus cosinus!
Gerbong yang semula ribut karena
calon penumpang masuk dan bercakap-cakap kemudian berhenti. Bunyi mesin diesel
dan derak roda beradu besi rel membuat pekak telinga. Gerbong-gerbongpun
bergoyang menimbulkan cicit bunyi tak berirama. Malaju pelan kemudian agak
cepat sampailah sekitar sepuluh menit di sebuah stasiun kecil.
Bergegas orang turun sambil
menurunkan barang bawaannya.
“Aku mudun kene Mas, kapan-kapan
enteni maneh ya, matur nuwun!” Seorang Mbok-mbok berkata riang karena tujuannya
sudah sampai. Seharian tadi di stasiun Tugu Ia menunggu dengan sabar karena
jadwal kereta hanya ada pagi dan sore hari. Padahal jarak yang ditempuh hanya
kurang lebih lima belas kilo meter.
Uh tapi tak ada keluhan apa-apa dari
mulutnya, kereta ini adalah satu-satunya penghubung antar stasiun di daerah
sepi, jadi semua penduduk di beberapa kecamatan itu sudah harus bersyukur
karena adanya kereta tersebut.
Lepas
dari kereta ada sebuah andong yang menunggu penumpang sebagai penghubung tujuan
penumpang. Kusir andong ini sengaja mangkal di depan stasiun menyesuaikan
dengan jadwal kereta lewat. Kereta api itu sendiri tak bernama, PJKA menyebut
sebagai kereta Feeder.
“Ayo
Mbok cepat naik, simbok jadi orang terakhir yang turun di stasiun ini. Anak-anak
simbok sudah menunggu dengan cemas gara-gara sudah tiga hari ditinggal di
rumah.” Kusir andong itu berkata demikian karena mengenal perempuan yang turun
dari kereta diesel.
“Piye
putuku tak tinggal telung dina, pada rewel ora?” Kata si Mbok sambil menaiki
andong bertanya yang lain.
“Magelang
ramai nggak Mbok, mana oleh-olehnya?” Bukannya menjawab pertanyaan si mbok,
malah kusir andong bertanya yang lain.
“Kotane
ya ramai mas, seumur-umur nembe sepisan aku gutul Magelang. Gara-gara ne anakku
entuk bojo wedok Mungkid.” Tak terasa mereka pun bercakap-cakap dengan kabar-kabar
yang didapatnya sepanjang perjalanan kereta.
Sementara
kereta membunyikan semboyan lagi tanda melanjutkan perjalanan yang tidak
seberapa jauh itu. Mungkin sampai pemberhentian di stasiun teakhir sudah jam
tujuh sore dan penumpang terakhir hanya tinggal operator kereta.
Sampai
di stasiun terakhir loko dilepaskan dari gerbongnya dan kemudian dilangsir
untuk ditempatkan di gerbang depannya lagi untuk esok harinya.
“Sudah
selesai, ayo pulang ke rumah. Hanya kita saja penghuni stasiun ini.” Seorang
yang biasa disebut Masinis kereta berkata menyudahi pekerjaan.
Sementara
di stasiun kecil itu masih berjaga seorang Kepala Stasiun wilayah dengan
membuat laporan melalui kabel telepon antar stasiun. Setelah itupun hanya lampu
listrik yang menyala di dekat loko yang sengaja dihidupkan sebagai keamanan aset
kereta.
“Huh
selalu saja merinding badanku bila lewat kretek di Winongo itu,” Berkata
Masinis membayangkan perjalanan sore itu. “Ingatanku selalu saja ada yang
menakutkan di daerah itu,” Lanjutnya lagi.
“Iya
sudah beberapa bulan kejadian orang mati ketabrak sepur kita. Tempatnya persis
di kretek. Mungkin itu gara-gara orang menyeberang sungai lewat kretek, tak
mungkin kita menghindarinya karena belum waktunya menurunkan kecepatan kereta.”
Yang lainpun menambahkan peristiwa yang pernah terjadi di sekitar jembatan.
“Akupun
ngeri bila ingat kejadian itu. Kepalanya copot menggelinding beberapa meter.
Kita terpaksa minta tolong ke stasiun Winongo untuk mengurusi mayatnya.”
Temannya menambahkan. “Jangan-jangan kepala copot itu sekarang jadi hantu
gundul pringis!”
Merindinglah
orang-orang tersebut membayangkan hantu-hantu menakutkan. Bergegas mereka
meneruskan perjalanan kerumah dinas PJKA. Sebuah barak dengan isi beberapa
orang karyawan PJKA. Setelah itu suasana sepi, daerah stasiun terakhir itu
hanya terdiri dari beberapa kampung yang jaraknya saling berjauhan.
Itulah
Palbapang dan Pajangan Bantul, stasiun terakhir tempat kereta diesel feeder
melakukan tugasnya setiap hari. Jadwalnya pagi-pagi subuh menuju stasiun Tugu.
Setelah itu sorenya jam lima sore dari stasiun Tugu kembali menuju Palbapang.
Bunyi
binatang malam seperti jangkrik atau tenggoret di rumpun bambu masih begitu
nyaring terdengar. Daerahnya berupa bulak sawah dan dukuh-dukuh terpencil. Bantul
menjadi kota yang dianggap paling ramai karena adanya pasar, terutama hari pasarannya
yang masih berpedoman Jawa Kuna.
Ada
juga kebun-kebun tebu yang sangat luas. Tempat-tempat tersebut selalu identik
dengan begal kriminal yang bisa tiba-tiba merampok orang yang lewat. Jarang
orang berani keluar rumah melewati kebun-kebun tebu yang luas itu. Orang-orang
di pedukuhan lebih suka bekumpul malam-malam di areal lapang saat terang bulan
purnama penuh. Dunia terasa begitu luas di mata mereka. Pameo banyak anak
banyak rejeki masih menjadi santapan harian. Begitu pula dalam bekerja selalu
ada kata-kata alon-alon asal kelakon dll.
==
00 ==
Sekarang!
Di
sebuah kelas satu sekolah SMA di daerah Pugeran. Seorang guru mata pelajaran
sejarah sedang menjabarkan sejarah nasional.
“Anak-anak
coba sebutkan benda-benda di sekitar daerah Yogya yang mengandung nilai
sejarah? Coba Kamu dulu Jo!” Langsung sambil bertanya sekaligus menunjuk
seorang siswa.
Pujo
yang ditunjuk celingukan. Orangnya sebenarnya ketahuan tidak meyimak kata-kata
guru sejarah di depan kelas.
“Apa?
Apa Bu Guru?” Kebingungan Pujo berkata membuat seluruh anak-anak kelas satu
memandangnya.
“Ha
Ha Ha !” Terdengar gelak tawa teman-teman Pujo setelah tahu anaknya ngiler
ketiduran di bangku kelas.
“Payah
Kamu Jo, begadang nonton bal-balan ya!” Seorang temannya semeja menepuk bahu
Pujo yang jadi malu.
“Makanya
tidur yang teratur Jo, ayo tunjukan benda-benda di sekitar daerah Yogya yang
mengandung nilai sejarah!” Bu Guru melanjutkan pertanyaannya.
“Apa
ya? Keraton Bu.” Jawab Pujo dengan sigap merasa pasti jawabannya benar.
“Itu
salah satunya,” Bu Guru kemudian menerangkan benda-benda yang menjadi sumber
rujukan sejarah. “Pujo coba Ibu bertanya lagi ya, mana lagi yang mengandung
nilai sejarah tapi berada di sekitar sekolah kita?” Ibu Guru sejarah itu
bertanya serius.
“Bekas
stasiun Dongkelan Bu.” Setelah berpikir cukup lama Pujo menjawab.
“Huuh
itu sih gara-gara Pujo berangkat dan pulang jalan kaki, pasti selalu lewat bekas
stasiun itu!” Temannya yang lain berkomentar.
Stop!
Stop! Anak-anak apa yang di jawab Pujo itu benar. Sebenarnya benda-benda
bersejarah bertebaran di sekitar rumah dan sekolah kita.” Guru sejarah itu
kembali memberikan materi pelajaran tentang berbagai peristiwa sejarah yang
berkaitan dengan jaman perjuangan perebutan kemerdekaan Republik Indonesia.
“Kereta
Api merupakan sarana transportasi yang penting, jadi jawaban Pujo banyak
benarnya. Coba yang lain sebutkan jenis-jenis benda yang memiliki nilai
sejarah.” Berkata Bu Guru menerangkan.
Maka
siswa-siswa dalam kelas menyebutkan benda-benda yang memiliki nilai sejarah.
“Bagus
semua sudah tahu atau pasti bisa menjawab. Nah tugas kalian masing-masing Siswa
adalah membuat karya tulis tentang benda-benda bersejarah yang kalian sebutkan
tadi. Ingat! Bikin semacam karangan yang cukup detil untuk menambah nilai kalian.”
Akhirnya kata-kata terakhir itulah yang membuat Siswa kelas satu berkerut
kening. Karya tulis yang tentu harus mencari berbagai rujukan sumber-sumber
penulisannya, Tidak mudah!
Masing-masing
sudah menjawab di depan Guru sejarah. Nah inilah tugas Pujo yang sudah
terlanjur menjawab pertanyaan Gurunya dengan menyebutkan nama sebuah tempat.
“Huh
sialan bagaimana caranya mencari rujukan tentang sejarah kereta api. Ini yang jadi
obyeknya pun sebuah stasiun yang sudah tak terpakai lagi.” Membatin Pujo
kebingungan.
“Langsung
saja nanti pas waktu pulang sekolah.” Itulah tekadnya dengan beberapa rencana.
Lonceng
berbunyi membuat anak-anak berseragam putih abu-abu segera berhamburan keluar
gedung sekolah. Pujo pun berjalan kaki menuju rumahnya di Senggotan seberang
sungai Winongo dari jembatan jalan Ring Road Selatan.
Beberapa
temannya mendahului dengan membunyikan klakson sepeda motor atau bersuit minta
lewat. Ada juga beberapa cewek yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah
mananti jemputan. Kalau yang sudah punya pacar segera janjian bertemu lewat SMS
handphone.
Pujo
yang tak punya kendaraan bermotor menelan ludah, terkadang iri bila melihat
teman-temannya memegang handphone dan berkomunikasi dengan teman-temannya yang lain begitu mudah. Pujo tahu di rumah
seluruh keluarga hanya memiliki HP yang digunakan bersama, lebih banyak dipakai
bapaknya yang punya usaha kecil-kecilan.
“Hei
Jo, kalau jalan kaki jangan menunduk terus, kayak nggak punya semangat saja!”
Itu pasti Retno suaranya perempuan berkata. Wajahnya biasa saja bahkan badannya
agak gemuk kurang gerak. Memang makmur anak ini setiap hari bersepeda motor Mio
kemanapun. Konon bapaknya seorang pengusaha batik sukses. “Jo ayo ikut mbonceng
motorku, sampai di Ringroad pun cukup mengurangi capekmu,” Berkata Retno
menawarkan diri.
“Nggak
aku jalan kaki saja. Tuh si Roni melotot cemburu melhatku,” Menjawab Pujo
menolak halus dengan menyindir Retno yang memang kata orang sedang ditaksir siswa
lain kelas.
“Uh
sombong apa minder nih, nggak pernah naik motor ya?” Retno tak sakit hati di
tolak oleh Pujo atas tawarannya. Hari-hari memang ia biasa berboncengan dengan
Roni yang mencoba memberi perhatian.
“Terimakasih
Ret, lain kali saja ya. Aku nanti singgah di toko sembako beli telur sama gula
untuk jualan penganan Ibuku.” Itu alasan Pujo untuk menghindari Retno.
“Ya
udah, Aku pulang dululah.” Retno tak bisa apa-apa lagi. Ia segera menancap gas
motornya untuk pulang kerumahnya di Niten jalan Bantul.
Pulanglah
Pujo menyusuri jalan Bantul. Sebenarnya Ia punya tujuan untuk membuat karya
tulis dengan pengamatan langsung.
Itu
dia sebuah besi memanjang terlihat di ruas jalan Bantul JokTeng Kulon. Besi
memanjang yang disebut rel itu tersembunyi di bawah aspal dan beton trotoar
jalan raya. Besi-besi itu sudah sangat merana, orang-orang berjalan-jalan
diatasnya sudah tak menyadari kalau itu sebuah situs sejarah. Mereka menginjak
dan menimbunnya dengan berbagai bahan bangunan untuk menyesuaikan dengan
trotoar dan halaman ruko maupun rumah di sepanjang jalan.
Ah itukan tata kota Yogyakarta saja yang
memiliki rencana lain. Ada beberapa benda situs sejarah terpelihara dengan baik
seperti Pojok Beteng Kulon itu, bahkan sangat terpelihara untuk menjaga
identitas budaya lokal. Nah rel itu sebenarnya salah satu benda cagar budaya
sama dengan pojok beteng tetapi nasibnya terlantar.
Pujo menyeberang perempatan dan
menuju halaman masjid Pugeran. Dari sana terlihat pemandangan ke utara. Sebuah
gang yang di perkirakan dulunya adalah jalan kereta api lewat menembus
perempatan menuju Taman Sari. Hilang begitu saja terkena jalan, mungkin sudah
terbongkar karena pembangunan sekarang lebih mementingkan kendaraan bermotor
seperti mobil dan sepeda motor.
Pujo berjalan ke selatan, harusnya ia
berjalan di sisi kiri yang banyak bus jurusan Bantul, Samas, Srandakan mencari
penumpang. Itu tempat ngetem mereka seolah-olah menjadi terminal tak resmi.
Dengan berjalan kaki di sebelah barat Ia mencari jejak rel yang tersisa. Sebuah
gereja berdiri megah, jelas sudah tua sebagai sebuah petunjuk dulunya itu pengaruh
penjajah Belanda.
Berjalan kaki sekitar satu kilometer
benar-benar terlihat rel memanjang terutama di sekitar kampung Dukuh. Sebagian
diantaranya sudah berdiri lapak PKL dan usaha warung makan bakso dan tambal
ban. Rel-rel itu sudah tidak menyeramkan seperti waktu tempo dulu. Mungkin
ketika kereta api lewat, jalan raya Bantul hanyalah sebuah jalan setapak.
Eit nanti dulu, bukankah di
Dongkelan terdapat masjid pathok negoro?
Masjid itu
dulunya tentu ramai bahkan mungkin sebagai tanah perdikan memiliki semacam
aturan sendiri biarpun masih tunduk pada kekuasaan keraton Yogyakarta.
Berjalan kaki terus dipanas matahari
menyengat membuat peluh bercucuran dan tenggorokannya kering. Pujo hanya menelan
ludah saat lewat di depan warung kecil yang menyajikan es kelapa muda. Uang
sakunya sebenarnya cukup untuk membeli, tapi tetap di tahannya rasa hausnya.
Sebuah swalayan membuat Pujo terhenti memandanginya. Supermarket itu sama
sekali tak ada hubungnanya dengan rel yang memanjang, yang bercerita bahwa daerah
itu dibuka dengan perintis alat transportasi yang sudah ketinggalan jaman.
Sampailah Pujo di sebuah stasiun
yang sama sekali tak ada aktifitasnya. Pemkot Yogyakarta hanya memugar bangunan
itu menjadi sebuah monumen bersejarah. Bangunan yang tak ada lagi rel memanjang
di depannya. Bangunan kolonial ukurannya sekitar 3 *15 meter. Gaya bangunannya
kentara sekali bikinan Belanda terlihat dari tingginya yang jauh berbeda dengan
bangunan-bangunan orang kuno Jawa. Belum lagi jendelanya yang terlihat
menyesuaikan tinggi dan lebar untuk udara keluar masuk. Tapi bangunan stasiun Dongkelan
ini sudah dipugar dan dicat putih terpelihara. Beberapa lampu kuno terlihat di
beberapa sudutnya biarpun itu bukan benda antik jaman dulu, hanya tempelan
benda sebagai pemerkuat identitas bahwa itu dulunya sebuah stasiun.
Dan yang jelas jika malam hari, eks
stasiun Dongkelan ramai karena sudah disewa orang sebagai tempat semacam
restaurant. Ya dari pada kososng melompong lebih baik disewakan asal tidak
merubah bentuk bangunan kolonial tersebut.
Setelah
mengamati cukup lama di bekas stasiun Dongkelan, Pujo melanjutkan perjalanan
jalan kaki. Mungkin sudah jam setengah dua, matahari masih menyengat membuat
seragamnya terasa kasap karena bergaram.
Eh rel dan gudang, wah itu cap
Gudang Garam!
Dongkelan persis seperti itu, sebuah
logo kota yang tersisa. Tidak menarik bahkan bila dikisahkan untuk anak-anak
jaman sekarang. Tidak seperti Gudang Garam sebagai rokok yang terkenal tak peduli
bila logonya itu sebenarnya hanya sebuah gudang garam yang kotor.
Pujo mempercepat jalannya pulang, di
beberapa lapak PKL sekitar Ringroad selatan terlihat rel sebagai besi terselip
di dalam warung-warung yang menjajakan buah-buahan. Rupanya empunya warung dan
orang-orang sekitar biarpun tak peduli dengan benda-benda tersebut tapi tahu
bahwa situs tersebut di lindungi undang-undang.
Sampai
di rumah di sebebrang jembatan kali winongo Pujo tinggal istirahat. Tekadnya
baru dimulai malam hari dengan menulis pembukaan kata.
Kereta api feeder jurusan Tugu Bantul adalah
perpanjangan dari jalur kereta api Semarang – Magelang – Yogya. Dulunya jalur
tersebut didirikan oleh pengusaha swasta Belanda (Maskapai Transportasi Rel).
Setelah itu menjadi milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Di dalam jurusan ini jalur kereta stasiun Tugu
berlanjut ke stasiun Ngabean hinngga sampai stasiun Dongkelan. Semuanya stasiun
kecil yang kurang di perhitungkan komesialnya.
…………………………..
Sampai
di situ Pujo kebingungan,
“Entah
masih ada berapa stasiun lagi menuju selatan setelah stasiun Dongkelan?”
Ini dia masalahnya,
Pujo tak punya referensi apa-apa tentang perkereta apian di daerahnya sendiri.
“Wah ternyata sulit membuat karya tulis ini, Aku salah mengambil topik pembahasan.”
Kecewa Pujo jadinya.
Terbayang
untuk mencari referensi ia harus datang ke stasiun Tugu dan bertanya atau
meminta penjelasan dari karywan PERUMKA sekarang.
“Uh
sebel tenan! Guru sejarah itu menjadikan aku konyol sekarang.” Pujo berkata seperti
menyesali kecerobohannya. “Ah coba dulu dari surat kabar, mungkin ada artikel
tentang kereta api.”
Pujo
pun mencoba ke beberapa kios koran di sekitar jalan Bantul. Wah ternyata tidak
banyak yang didapat. Dari beberapa koran bekas ia hanya mendapatkan artikel
tentang kereta api jalur selatan Yogya Bantul yang wacananya akan dihidupkan
lagi. Tapi dengan referensi yang ada cukuplah menambah beberapa kalimat karya
tulisnya.
“Uh
rupanya masih belum cukup nih, tulisanku cuma keterangan tentang wacana yang
akan datang. Belum tentu itu bisa terlaksana. Aku harus melihat langsung
keadaan di lapangan.” Pujo jadi berpikir terus agar karya tulisnya cukup
memadai.
Bila
lewat Dongkelan petunjuk satu-satunya hanya bekas stasiun yang menjadi ikon pasar
tanaman agrobisnis dan pasar burung pindahan Ngasem.
Maka
hari minggu saat libur rencananya bisa dilaksanakan. Cuma sayang tak bisa
terlaksana pagi hari. Setengah hari ia terpaksa menunggui warung di rumahnya
karena ibunya ada keperluan arisan RT.
“Bu
aku main dulu ke rumah teman ya, tidak jauh kok cuma di Niten saja.” Berkata
pujo minta ijin keluar.
“Niten
ke rumah Retno kan. Ya boleh saja, kadang-kadang ibu ketemu lo dengan ibunya
Retno di pasar Niten. Sugih juga temanmu itu ya!” Ibunya tak keberatan Pujo
bermain, lagi pula kewajibannya sudah dipenuhi walaupun tadi pagi sepertinya
harus bertengkar karena Pujo enggan melaksanakan perintahnya. Ibunya tahu
kelemahan Pujo, asal ia yang cerewet bakalan kewalahan anak itu karena tak
tahan omelannya.
Hi
Hi Hi strategi mulut perempuan.
Berangkatlah
Pujo jalan kaki dengan sandal jepit saja. Ibunya sempat berkata, “Hei pakai
sepeda bapakmu saja Jo, capek kamu nanti di jalan!” Huh mulut bawel ibunya
membuat Pujo tak perlu menjawab, langsung tancap pergi dari rumah.
Sampailah
Pujo di perempatan Dongkelan, ia melihat ke selatan dari Pos Polisi lalu
lintas. Ia merasa pasti dulunya rel kereta api berada di atas Pos Polisi
tersebut. Terus berjalan seratus dua ratus meter, nah rel tersebut hanya
tinggal sebelahnya tetapi memanjang menjadi semacam halaman dan semen beton
beberapa lantai rumah dan toko. Ada beberapa rumah kuno yang mungkin usianya sama
dengan rel itu terlantar kurang terawat.
Terus
Pujo melangkah, sampai SD Jarakan rel tersebut masih terlihat dan kemudian
ternyata masuk gang. Itulah dukuh Kweni sebelah kanan.
“Ini
dia alur jalan kereta yang benar-benar tersisa, sekarang hanya terpakai sebagai
jalan kampung.” Pujo benar-benar tertarik dengan apa yang dilihatnya. Terus
dilangkahinya menuju gang yang benar-benar bekas rel, mungkin saat dulunya rel
tersebut masih berfungsi bantalan rel masih dari papan kayu jati. Sekarang sih
sudah jadi gang dengan cor-coran semen beton.
“Ini
tanah Perumka, entah tanah ini masih dijadikan hak mereka atau tidak ya?”
Pertanyaan Pujo tak ada yang menjawab, tapi nyata semuanya itu masih berbadan
hukum. Yang benar gang tersebut di pinggirnya terdapat balai pertemuan warga.
THOONG… THONG…. THUNG THUNG!
Terdengar
bunyi kentongan dibunyikan sore jam tiga. Seorang perempuan gemuk mungkin
seumuran ibunya yang berkepala empat membuat kentongan jaman kakek nenek
terdengar. Tradisional banget!
“Ei
ada acara apa Bu?” Terdengar seorang ibu yang lebih muda bertanya dari rumahnya
yang berseberangan dengan balai pertemuan.
“Rapat
pengurus PKK untuk acara minggu depan.” Ibu gemuk itu menjawab langsung masuk
balai pertemuan membuat persiapan acara lainnya.
Pujo
tak peduli terus melangkah menyusuri bekas rel kereta api tersebut. Beberapa
rel memanjang terlihat di halaman rumah warga. Sedikit berbelok membuat Pujo
tak yakin itu asli jalur rel.
“Mana
ada kereta langsung berbelok tajam begini, paling-paling warga sekitar sini
saja yang membangun rumah di atas rel,” Lagi-lagi Pujo bergumam sendiri. Benar
tak ada kereta atau rel yang memotong sangat tajam, harus ada jarak ratusan
meter untuk berbelok kanan atau kiri.
“Itu
ada tanjakan jembatan, ganjil juga kereta bisa mendadak naik ke atas jembatan,”
Pujo tertawa dalam hati. Mungkin jembatan itu hanya tiga meter lebarnya. Tapi
yang bisa di lewati hanya semeter lebih menandakan tempatnya lebar rel dulunya.
“Kuatnya
jembatan jaman dulu, sampai sekarang masih bisa terpakai,” Membatin Pujo menyeberangi
jembatan. Pujo tak tahu konstruksinya dari apa. Semen beton cor nampak membuat
tingginya terus bertambah menimbun balok-balok kayu bantalan rel kereta api.
Benar-benar rel tersebut masih utuh walaupun tersingkir di pinggirnya yang
membuat gundukan tanah tinggi dan menjadikan bangunan rumahnya terasa sekali di
bawahnya. Sebagian besar bangunan rumah menjadikan gundukan bekas rel sebagai
bagian belakangnya. Hanya tak mungkin mobil bisa melewatinya.
Sementara
satu sepeda motor lewat, jembatan bekas rel membuat sepeda motor lain di
seberangnya menanti bergiliran untuk menyeberang. Sungai Winongo di bawahnya
dangkal berarus deras.
Pujo
terus melangkah di atas tanah tinggi bekas rel, beberapa pagar bambu menandakan
batas sungai dan kandang sapi peliharaan penduduk memanfaatkan tanah tinggi
bekas rel sebagai pembatas alami.
Berjalan lagi beberapa ratus meter terdapat
bekas rel yang menyempit tergeletak dengan sambungan baut.
“Ini
pasti bekas rel dua jalur stasiun,
Sering digunakan untuk melangsir loko atau gerbong agar bisa di jalur
pemberangkatan atau penurunan barang,” Pujo meneliti sekitarnya. Tempat itu
terdiri dari kebun kelapa dan di baratnya terhampar bulak persawahan.
Rel
tersebut sangat berat tersisa karena sangat sulit diangkat dan dibongkar. Sedangkan
di depannya sudah terisi rumah penduduk semi pemanen. Pujo terus melangkah
hingga terdapat rumah jawa tua seperti balai pertemuan. Sore itu banyak anak-anak
kecil berlatih menari, mungkin itu semacam sanggar milik RT setempat.
Sampailah
Pujo benar-benar di sebuah stasiun kecil, bangunan seperti gudang karena
pintu-pintunya tertutup rapat dengan gembok kuno. Benar-benar merana tidak
seperti bekas stasiun Dongkelan yang menjadi ikon setempat. Beberapa rumah
penduduk ada di samping dan belakang bekas stasiun, ukurannya paling-paling 4 *
10 meter.
“Ini
stasiun apa namanya? Lebih mirip gudang?” Pujo berkata sendiri agak risih
karena beberapa pasang mata warga menatap heran dengan kehadirannya yang
berjalan kaki. Sempat dilihatnya di seberang terdapat rumah besar dengan pagar-pagar
besi dari bekas bantalan rel. Terdapat papan nama hak kepemilikan tanah.
Semuanya ternyata atas nama pabrik gula Madukismo.
Pikirannya
tertuju ke jalan Bantul,
“Ya
di Niten ada pasar tradisional, dulunya pasar Niten, stasiun dan pabrik gula
Madukismo menjadi tiga sektor ekonomi di daerah ini. Sekarang pasar Niten
dilalui jalan Bantul yang ramai, jadinya stasiunnya yang mati sekarang.”
Sampailah
Pujo di jalan Bantul, rel-rel itu sejajar dengan jalan Bantul yang ramai, sudah
banyak di tempati lapak PKL. Terus Pujo menyusuri jalan Bantul berlawanan arah
dengan arus lalu lintas.
“Itu
bekas pasar Niten, katanya rumah Retno berada di sekitar itu. Ei bagaimana
kalau ketemu dengannya nanti?” Pujo berkata sendiri mempercepat jalannya.
Melewati
bekas pasar Niten serasa langkahnya harus dipercepat. Ia takut bertemu dengan
Retno yang pasti bakalan keheranan dengan kelakuannya hari itu. Retno yang sekelas
dan sering pulang bersamaan, biarpun ia naik motor karena arahnya ke selatan.
Beberapa
dukuh sudah dilewati, mungkin ada sekitar empat kilo meter jalan. Kakinya
terasa pegal juga berjalan, keringat membasahi kaos dan bila diraba karena
sudah kering membuat lapisan garam di kulit kasap sekali.
Tapi
rel memanjang itu memaksanya terus menyusurinya. Di beberapa jembatan kecil terlihat
menonjol dengan besi yang menghitam. Benar-benar barang rongsokan.
Akhirnya
tibalah Pujo di gapura batas kota Bantul. Rel menghilang tepat di bangunan
tersebut, menyambut kedatangan Pujo di kota kabupaten. Tak ada lagi rel, Pujo
kehilangan jejak bahkan sampai di sebuah perempatan jalan utama Bantul.
Haripun
semakin sore benar-benar gelap. Pujo melihat tak ada lagi Bus mikro yang menuju
Yogyakarta. Yang ada seorang tukang ojek bertepuk tangan menawarkan jasanya.
Pujo melambaikan tangan tanda menolak.
Kini
di senja hari di kota Bantul Pujo menoleh ke utara, beberapa bus mikro lewat
semuanya hanya menuju ke selatan untuk mengantar penumpang terakhirnya.
“Berangkat
jalan kaki pulang pun kembali jalan,” Badannya terasa pegal kecapean membuatnya
terduduk di halte yang tak mungkin disinggahi bus lagi karena sudah tinggal
dirinya yang menuju ke Yogyakarta.
Saat
duduk seorang anak perempuan kecil menyodorkan brosur kredit motor dari sebuah
dealer sepeda motor. Aduh mak! Pujo dianggap sebagai calon pembeli motor
kreditan baru. Pujo cuma tertawa dalam hati.
“Sial
aku dianggap punya duit banyak rupanya. Mbok ada mobil kek yang bisa mengangkut
aku sampai rumah,” Agak nelangsa perasaannya di sebuah tempat di kampungnya
tetapi terasa asing karena jaraknya jauh dari rumahnya.
Tak
mungkin lagi Pujo berdiam diri, mulailah satu persatu langkah kakinya menuju
tujuan rumahnya. Bahkan jalan pun semakin cepat, untung hari petang, badannya
biarpun berkeringat tetapi tidak panas tersengat matahari. Gara-gara rel Pujo
punya acara konyol seperti itu.
Cuma
sekarang ia tak menyusuri rel lagi, jalan Bantul Yogya dilaluinya. Rumah Retno
pun cepat-cepat dihindarinya. Soalnya benar-benar persis di depan jalan utama
tersebut. Jangan-jangan Retno melihat dirinya berjalan kaki sendirian, bisa-bisa
di singgungnya besok di sekolah.
Hatinya lega setelah mencapai jembatan
Winongo, hanya tinggal dua tiga kilo meter sampai di rumahnya. Jam delapan
barulah badannya menggelosoh begitu saja di dipan kamarnya. Omelan ibunya tak
terlalu dipedulikan. Bahkan tanpa membersihkan tubuhnya akhirnya tidur lelap
sekali.
Hari
selasa Retno menyapanya saat pulang sekolah,
“Hai
sudahlah wong kita sejurusan saja setiap hari menolak boncengan denganku. Ayo
nih sudah kusediakan helm buatmu.” Retno berkata sambil menyerahkan helm SNI
kepada Pujo.
“Baiklah
tapi aku nggak enak loh dengan Roni.” Pujo bersedia tapi tetap menyindir.
“Sialan
kamu, biarin saja Roni itu, ayo naik!” Perintah Retno yang emosi membuat Pujo
terdiam. Mereka berbarengan menuju Niten.
“Ibuku
bilang kepadaku, katanya bertemu dengan ibumu di Pasar. Kata ibumu saat hari
minggu kamu main ke rumahku, yang benar Jo?” Retno dari motor Mionya bicara
mendadak. “Kemana sebenarnya hari minggu kamu pergi?” Wah Retno menyelidiki.
“Ah
ngak aku nggak kemana-mana, aku kesal di rumah saja terus-terusan menunggu
warung. Begitu ada alasan, minggat deh dari rumah refreshing.” Pujo menjawab
gelagapan.
“Refreshing
sampai jam delapan malam? Aku juga dijadikan alasan rumahku sebagai tempat
main. Ibumu khawatir Jo kamu keluyuran tak tahu waktu.” Retno ngomel tapi tak
mungkin terus bertanya. Apa lagi sampai di Ring Road Pujo turun dan langsung
minggat walaupun melambaikan tangannya sebagai tanda terimakasih.
Sorenya
Pujo merasa bebas dari tugas yang diperintahkan ibunya segera mengayuh sepeda
untuk mencari jejak rel yang hilang. Tapi kali ini ia mengayuh sepeda ke jalan
Parangtritis dulu menuju selatan. Sampai
di perempatan Bakulan barulah menuju barat di perempatan Palbapang.
Uuts
di perempatan Palbapang Pujo bingung, rasanya harus menuju kemana dulu. Tapi
pilihannya ke kiri jurusan Samas. Sekilo dua kilo tak ada sama sekali jejak rel
akhirnya menyerah. Terpakssa ia balik lagi ke perempatan Palbapang. Nah kali
ini keputusannya menuju barat Pajangan. Jalan itu demikian lebar lebih bagus
dari pada jalan-jalan di dalam kota Bantul. Dengar-dengar itulah calon jalan
lintas selatan selatan.
Lagi-lagi
tak ditemuinya apapun, pandangannya hanya tertarik dengan terminal Palbapang.
Bangunanya mirip dengan stasiun, apalagi adanya kompleks ruko dan los pasar
tradisional. Bila dipikir jaman dulu itu semacam pusat keramaian di ruas jalan
Pajangan hingga gua Selarong. Gagal sudah apa yang dicarinya.
Ya
sudah balik lagi keputusannya menuju Bantul yang pasti akan bertemu rel yang
membuatnya penasaran. Pikirannya berjalan, dimana stasiun terakhir di daerah
Palbapang. Sayang tak ditemukannya.
Rel
ditemukan di pinggir kiri sebagai rel terakhir di selatan Bantul. Mau tak mau
Pujo mengayuh sepedanya menyusurinya. Akhirnya rel tersebut hilang di jalan dalam
kota Bantul. Pujo menyerah, tak mungkin lagi bakalan ditemukan rel yang hilang
tertimbun aspal kota. Sejak kecil ia tahunya hanya pasar Bantul yang ramai
setiap hari pasaran tertentu. Tak ada cerita kereta api lewat membunyikan
semboyan atau melangsir gerbong.
Pantatnya
sudah terasa kebas kelamaan di sadel sepeda. Aliran darah di selangkangan
seperti terhenti membuatnya harus turun dari sepeda dan duduk di trotoar jalan
yang teduh oleh pepohonan. Sepi, Bantul kota kecil kalah jauh dengan Kodya
Yogyakarta yang berdenyut dua puluh empat jam.
Diarahkannya
pandangan ke sekeliling jalan. Pandangannya terletak pada sebuah rumah makan. Mendadak
Pujo takjub dengan apa yang ditemukannya. Papan nama rumah makan terpampang
jelas “Rumah Makan Stasiun”.
“Uh
jauh-jau2 aku mencari tak tahunya sudah berada di depan hidungku!” Pujo berkata
dalam hati sambil geleng-geleng kepala.
Biarpun pantatnya masih kebas membuatnya harus
duduk lama di trotoar tetapi apa yang ditemukannya sudah seperti harta karun.
Bangunan rumah makan itu sedikit mirip dengan yang ditemukannya di jalan
Palbapang- Pajangan. Tapi di kota Bantul ini kecil saja paling-paling ukuran
4*10 meter. Separuhnya menjadi rumah makan dan separuhnya lagi tertutup rapat.
Tetapi Pujo menduga itulah salah satu stasiun yang dicarinya biarpun relnya
mungkin sudah tertimbun jalan beraspal dalam kota.
Sudah
ditemukan, Pujo tinggal pulang dengan lebih santai menuju Yogyakarta. Kayuhan
sepadanya di hari menjelang maghrib tak sekencang saat berangkat melalui jalan
Parangtritis.
“Hei
Pujo dari mana kamu?” Suara berat seseorang dengan mengendarai motor Tiger
langsung dikenalnya sebagai Roni.
“Hai
Roni wah kalian lagi kencan ya.” Pujo berkata saat menyadari Roni berboncengan
dengan seorang yang diketahuinya sebagai Retno.
“Kami
baru dari pantai Samas, ayolah kami duluan.” Roni seperti gengsi mendapati
teman sekelas pacarnya ini hanya mengendarai sepeda onthel. Ia segera tancap
gas meninggalkan Pujo yang segera ketinggalan jauh karena tak punya mesin. Sepintas
Retno memandanginya seolah-olah bertanya apa yang dilakukannya beberapa hari
ini.
Sampai
di rumah Pujo tak terlalu lagi banyak ditanyai ibunya karena pulang tidak
terlalu larut seperti hari minggu kemarin. Paling-paling komentarnya seperti
menyindir,
“Ke
tempat Retno lagi ya, patah hati kamu nanti Jo. Retno tuh banyak yang naksir.”
Ibunya berkata tahu saja urusan anak-anak remaja. Pujo yang sebal karena ia
dianggap jatuh cinta dengan temannya yang sekelas itu.
Esoknya
Pujo bertemu Retno di kelas, anaknya cemberut saat bertatap muka dengannya.
Sempat keluar kata-kata dari mulutnya, “Jangan kasih tahu bapak ibuku kalau aku
pergi bersama Roni ya.” Retno berkata seperti memohon.
Pujo
diam saja, masalah Retno dan Roni itu bukan urusannya. Kebetulan saja ia
memergoki mereka berdua kencan, mungkin agak kelewatan karena untuk tujuan
seperti itu Retno harus membohongi orang tuanya.
Saat
pulang sekolah Retno melewatinya begitu saja tanpa menyapa lagi. Hari-hari
kemudian Pujo sudah kehilangan teman perempuan yang beberapa hari yang lalu
akrab dengannya. Retno seperti tak ingin berbicara dengannya karena jelas Pujo
akan bertanya macam-macam tentang hubungannya dengan Roni. Lebih baik menghindar
apa lagi jika nanti beritanya menyebar sampai ke telinga orang tuanya.
Tapi
Pujo tidak begitu tahu bahwa kelakuannya yang terlihat ganjil beberapa hari
kemarin berbuntut panjang. Ibunya langsung menginterograsi,
“Jo
ibu tanya kepadamu, beberapa hari kemarin Retno melihatmu di jalan Bantul.
Sebenarnya apa yang sedang kamu cari?”
“Ah
nggak ada apa-apa kok Bu, masa jalan-jalan dan ngonthel refreshing tidak boleh,
lagi pula kan tugas yang dikasih ibu sudah selesai Pujo kerjakan.” Pujo tak
ingin tujuannya di ketahui orang tuanya terutama ibunya, tapi tampaknya Retno
malah yang memberitahu langsung kepada ibunya.
Ibunya
memandangnya sekejap, tak tega juga bertanya terus menerus walaupun dari Retno
ia mendapat kabar kelakuan anaknya yang aneh-aneh belakangan ini.
“Memangnya
Retno bilang apa tentang aku Bu?” Pujo bertanya mencoba mencairkan keadaan mereka
berdua yang seperti bentrok.
“Tak
apa ibu hanya khawatir dengan mu Jo, beberapa hari ini tampaknya kelakuan mu
aneh, jalan-jalan sendirian saat hari minggu pulang jam delapan malam itu.”
Akhirnya ibunya berkata apa adanya.
Dalam
hati Pujo mengumpat Retno, “Uuh sudah kuhindari sebisa-bisanya tetap saja cewek
itu melihatku. Huh cerewet sekali anak itu!” Pujo gregetan juga dengan temannya
si Retno itu.
Esoknya
bertemu lagi di kelas, Pujo hari itu usil sekali terhadap Retno. Beberapa kali
pundak cewek itu dilemparnya dengan kertas kecil yang dibuatnya bulatan. Tentu
saja Pujo duduk persis di belakang Retno. Hari iru biarpun masing-masing tidak
bersuara tetapi beberapa kali Retno melotot tak senang karena terganggu.
Keduanya hari itu seperti saling ejek mengejek. Tak ada kompromi diantara mereka.
Hari
minggu setelah sholat subuh, He He He Pujo termasuk angin-anginan kalau sholat
lima waktu. Tapi minggu pagi itu diusahakannya benar bangun pagi. Kemudian
ikut-ikutanan berjamaah sholat subuh di belakang Bapaknya di rumah. Begitu
selesai sholat subuh ia menghampiri ibunya yang lagi wiridan.
“Bu
aku jogging ke Alun-alun ya, kasih uang saku dong?” Merajuk Pujo dengan manja.
“Hah
Pujo kadingaren olah raga, dapat mimpi apa semalam kamu?” Sang ibu bertanya tak
kuasa menolak keinginan anaknya. Dompetnya yang biasa ditaruh di lemari dikeluarkannya
dan melayanglah uang lima ribu rupiah untuk jajan anaknya ditengah perjalanan.
Menerima
uang cukup banyak Pujo bersuka cita, diraihnya sepatu serba guna yang dikenakannya
pergi kemanapun bila ada acara. Tentu saja wong itu sepatu yang biasa di
kenakannya pergi ke sekolah. Tak ada lagi sepatu lainnya, cuma itu alas kaki
yang dimiliki.
Sekeluarnya
dari rumah, langsung start jogging dimulai dari Ringroad. Jalan Bantul dilibasnya, hari masih gelap
tapi ia tak sendirian. Banyak saja orang-orang keluar pagi hari untuk berolah
raga. Tapi masih kalah dengan pedagang-pedagang pasar yang mulai hidup dini hari
untuk berjualan.
Biarpun
hari masih dingin, tetap saja keringat bercucuran di badan Pujo. Ada beberapa
orang berlari pagi, tak kalah pula anak-anak kecil melangkah. Terkadang lewat
seorang cewek ABG bersama anjingnya yang dirantai. Semua orang berusaha memanasi
badannya untuk mendapatkan udara segar. Siang hari itu tak mungkin dilaksanakan,
panas menyengat juga polusi kendaraan tak baik buat kesehatan.
Berlari
sampai di depan gereja Katolik, Pujo tak kuat lagi. Ia berhenti berlari tapi
tak berani duduk mengaso. Ia coba berjalan kaki menelusuri trotoar hingga
ssampai Jokteng Kulon. Jika ia belok kanan sampailah di Alun-alun kidul, kata
orang Alkid pagi hari minggu ramai orang berolah raga.
Niatnya
bukan ke Alkid, tapi mencari jejak rel yang hilang. Lorong gang bekas rel sudah
menjadi jalan kampung di sebelah barat Jok Teng Kulon. Masih terdapat rel
ditengah-tengah jalan kampung dengan rumah-rumah di samping kanan kirinya
menjadikan sebagai halaman depan rumah. Terkadang ada sepeda motor lewat mendahului
langkah Pujo.
Sampailah
Pujo di sebuah pasar kecil. Itu pasti pasar di seberang gapura jalan menuju
Taman Sari. Seorang ibu penjual gudeg menawarkan kepada Pujo,
“Mangga
Mas sarapan, mumpung masih anget,” Berkata ibu penjual gudeg mempersilahkan.
Pujo
menggeleng dan berkata, “Ah nggak Bu, Aku takut kereta lewat bisa ketabrak
nanti.”
“Ha
Ha Ha sampeyan ki lucu. Jalur kereta sudah mati. Pas ibu masih kecil saja
kereta lewat. Dulu tempat ini sepi menyeramkan sekali.” Nyerocos suara ibu
penjual gudeg bicara. Sempat disinggungnya tentang kereta-kereta yang lewat
pada jaman kemerdekaan.
Uuh
itulah yang jadi tambahan Pujo untuk karya tulisnya. Riwayat atau kisah yang
menjadi kenang-kenanganan ibu tersebut dimasa lalu. Sangat berguna sebagai
salah satu sumber tulisan.
Sayang
Pujo tak berani lama-lama didepan lapak warung gudeg itu. Harus makan gudeg
sedangkan uang sangunya yang lima ribu tak cukup untuk sarapan jaman sekarang.
“Nggak
deh Bu aku belum selesai jalan-jalan, sampai di Ngabean nanti baru jajan.”
Halus Pujo menolak kemudian mohon diri.
Terus
langkahnya ke utara, sayang rel hilang di telan taman berisi rerumputan liar
dan dibatasi pagar, Pujo hanya bisa lewat di sampingnya yang tetap menjadi gang
memanjang seolah-olah menjadi wakil rel yang tertelan bangunan. Apa lagi
seterusnya terdapat sebuah balai desa yang benar-benar berdiri di atas rel
menjadi buntu meninggalkan riwayat moda transportasi jaman dulu.
Sampailah
Pujo di Ngabean, sekarang kompleks itu adalah taman parkir luas untuk bus-bus
wisata. Beberapa ruko kecil mepet di pinggir areal luas parkir. Sayang taman
parkir seluas itu kata orang sepi. Bus-bus wisata lebih sering langsung masuk
Alun-alun utara, Taman parkir Abu bakar Ali, atau di samping Bank Indonesia.
Pujo
langsung mendekati situs yang kemungkinan adalah bekas stasiun. Benar saja,
terlihat sisa rel menjadi situs resmi bahwa itulah sejarah terakhir rel kereta
api yang tersisa. Beberapa As roda gerbong kereta tergeletak di rel tersebut,
jika dilihat berada di bawah lantai conblok, jadi areal parkir ini sudah
ditinggikan sekitar 50 cm. Dari aslinya yang berupa rel-rel memanjang untuk
aktifitas kereta. Dikelilinginya bangunan yang dipelihara Pemkot menjadi
bangunan cagar budaya. Di samping atas sebelah selatan tertulis dengan jelas NGABEAN.
Huruf tercetak dengan cetakan semen tak dirubah-rubah lagi.
Hari
menjelang siang, mungkin sudah jam setengah sembilan. Pujo pun memutuskan
pulang ke rumah. Sudah cukup penelusurannya terhadap rel yang diyakininya cukup
untuk sebuah karya tulis. Dan segelas teh hangat serta beberapa gorengan cukup
untuk mengganjal perutnya.
Retno
memperlihatkan karya tulisnya kepada Pujo. Judulnya Lingkungan Taman Sari dan
sejarahnya. “Nih aku salin saja punya Roni. Asal pendekatan dan traktir mau nggak
mau Roni antar aku ke Taman Sari, He He He sekalian kencan di sana.” Berkata
Retno menantang Pujo.
Pujo
cuma cengengesan, ia pun tak kalah gengsi mengeluarkan hasil karya tulisnya sayang
judulnya rahasia. Pokoknya tak kalah dengan teman yang lain dan pastinya juga
biayanya lebih irit.
……Tamat……
No comments:
Post a Comment