Sunday, August 24, 2014

Cerpen Judul REL



  Rel
Dongkelan 1950,
                        THUUUT!..............THUUUT!
            Loko kereta diesel membunyikan semboyan tanda melanjutkn perjalanan. Gerbongnya hanya berjumlah dua dengan kursi seadanya dan sebagian besar berisi tumpukan barang milik pedagang. Kereta penumpang tersebut berfungsi ganda, jurusannya pun hanya beberapa stasiun yang dilaluinya.
            “Pagi sore pasti kita bertemu, piye gedangmu Dab, laris ora?” Berkata seorang penumpang lelaki gendut dengan peluh masih bercucuran.
            “Lah seanane Pak De, sing penting dodol kanggo nyambung urip,” Yang ditanyapun menjawab sambil duduk bersandar di dinding gerbong barang.
Kereta bergerak pelan menuju selatan, Masinis sudah mengangkat tanda berjalan kereta dengan meniup peluit.
                        GREK…… GREEK…..GREK….. JEZZ…….JEZZZ….
            Melajulah roda kereta mendesis karena berimpitan dengan besi rel. Ibarat diadu besi dengan besi, hanya saja satunya kecil memanjang sedangkan di atasnya besi melingkar membuat pergerakan gelombang barisan Aritmatika. Bisa dihitung dengan rumus sinus cosinus!
            Gerbong yang semula ribut karena calon penumpang masuk dan bercakap-cakap kemudian berhenti. Bunyi mesin diesel dan derak roda beradu besi rel membuat pekak telinga. Gerbong-gerbongpun bergoyang menimbulkan cicit bunyi tak berirama. Malaju pelan kemudian agak cepat sampailah sekitar sepuluh menit di sebuah stasiun kecil.
            Bergegas orang turun sambil menurunkan barang bawaannya.
            “Aku mudun kene Mas, kapan-kapan enteni maneh ya, matur nuwun!” Seorang Mbok-mbok berkata riang karena tujuannya sudah sampai. Seharian tadi di stasiun Tugu Ia menunggu dengan sabar karena jadwal kereta hanya ada pagi dan sore hari. Padahal jarak yang ditempuh hanya kurang lebih lima belas kilo meter.
            Uh tapi tak ada keluhan apa-apa dari mulutnya, kereta ini adalah satu-satunya penghubung antar stasiun di daerah sepi, jadi semua penduduk di beberapa kecamatan itu sudah harus bersyukur karena adanya kereta tersebut.
Lepas dari kereta ada sebuah andong yang menunggu penumpang sebagai penghubung tujuan penumpang. Kusir andong ini sengaja mangkal di depan stasiun menyesuaikan dengan jadwal kereta lewat. Kereta api itu sendiri tak bernama, PJKA menyebut sebagai kereta Feeder.
“Ayo Mbok cepat naik, simbok jadi orang terakhir yang turun di stasiun ini. Anak-anak simbok sudah menunggu dengan cemas gara-gara sudah tiga hari ditinggal di rumah.” Kusir andong itu berkata demikian karena mengenal perempuan yang turun dari kereta diesel.
“Piye putuku tak tinggal telung dina, pada rewel ora?” Kata si Mbok sambil menaiki andong bertanya yang lain.
“Magelang ramai nggak Mbok, mana oleh-olehnya?” Bukannya menjawab pertanyaan si mbok, malah kusir andong bertanya yang lain.
“Kotane ya ramai mas, seumur-umur nembe sepisan aku gutul Magelang. Gara-gara ne anakku entuk bojo wedok Mungkid.” Tak terasa mereka pun bercakap-cakap dengan kabar-kabar yang didapatnya sepanjang perjalanan kereta.
Sementara kereta membunyikan semboyan lagi tanda melanjutkan perjalanan yang tidak seberapa jauh itu. Mungkin sampai pemberhentian di stasiun teakhir sudah jam tujuh sore dan penumpang terakhir hanya tinggal operator kereta.
Sampai di stasiun terakhir loko dilepaskan dari gerbongnya dan kemudian dilangsir untuk ditempatkan di gerbang depannya lagi untuk esok harinya.
“Sudah selesai, ayo pulang ke rumah. Hanya kita saja penghuni stasiun ini.” Seorang yang biasa disebut Masinis kereta berkata menyudahi pekerjaan.
Sementara di stasiun kecil itu masih berjaga seorang Kepala Stasiun wilayah dengan membuat laporan melalui kabel telepon antar stasiun. Setelah itupun hanya lampu listrik yang menyala di dekat loko yang sengaja dihidupkan sebagai keamanan aset kereta.
“Huh selalu saja merinding badanku bila lewat kretek di Winongo itu,” Berkata Masinis membayangkan perjalanan sore itu. “Ingatanku selalu saja ada yang menakutkan di daerah itu,” Lanjutnya lagi.
“Iya sudah beberapa bulan kejadian orang mati ketabrak sepur kita. Tempatnya persis di kretek. Mungkin itu gara-gara orang menyeberang sungai lewat kretek, tak mungkin kita menghindarinya karena belum waktunya menurunkan kecepatan kereta.” Yang lainpun menambahkan peristiwa yang pernah terjadi di sekitar jembatan.
“Akupun ngeri bila ingat kejadian itu. Kepalanya copot menggelinding beberapa meter. Kita terpaksa minta tolong ke stasiun Winongo untuk mengurusi mayatnya.” Temannya menambahkan. “Jangan-jangan kepala copot itu sekarang jadi hantu gundul pringis!”
Merindinglah orang-orang tersebut membayangkan hantu-hantu menakutkan. Bergegas mereka meneruskan perjalanan kerumah dinas PJKA. Sebuah barak dengan isi beberapa orang karyawan PJKA. Setelah itu suasana sepi, daerah stasiun terakhir itu hanya terdiri dari beberapa kampung yang jaraknya saling berjauhan.
Itulah Palbapang dan Pajangan Bantul, stasiun terakhir tempat kereta diesel feeder melakukan tugasnya setiap hari. Jadwalnya pagi-pagi subuh menuju stasiun Tugu. Setelah itu sorenya jam lima sore dari stasiun Tugu kembali menuju Palbapang.
Bunyi binatang malam seperti jangkrik atau tenggoret di rumpun bambu masih begitu nyaring terdengar. Daerahnya berupa bulak sawah dan dukuh-dukuh terpencil. Bantul menjadi kota yang dianggap paling ramai karena adanya pasar, terutama hari pasarannya yang masih berpedoman Jawa Kuna.
Ada juga kebun-kebun tebu yang sangat luas. Tempat-tempat tersebut selalu identik dengan begal kriminal yang bisa tiba-tiba merampok orang yang lewat. Jarang orang berani keluar rumah melewati kebun-kebun tebu yang luas itu. Orang-orang di pedukuhan lebih suka bekumpul malam-malam di areal lapang saat terang bulan purnama penuh. Dunia terasa begitu luas di mata mereka. Pameo banyak anak banyak rejeki masih menjadi santapan harian. Begitu pula dalam bekerja selalu ada kata-kata alon-alon asal kelakon dll.
                                                == 00 ==
Sekarang!
Di sebuah kelas satu sekolah SMA di daerah Pugeran. Seorang guru mata pelajaran sejarah sedang menjabarkan sejarah nasional.
“Anak-anak coba sebutkan benda-benda di sekitar daerah Yogya yang mengandung nilai sejarah? Coba Kamu dulu Jo!” Langsung sambil bertanya sekaligus menunjuk seorang siswa.
Pujo yang ditunjuk celingukan. Orangnya sebenarnya ketahuan tidak meyimak kata-kata guru sejarah di depan kelas.
“Apa? Apa Bu Guru?” Kebingungan Pujo berkata membuat seluruh anak-anak kelas satu memandangnya.
“Ha Ha Ha !” Terdengar gelak tawa teman-teman Pujo setelah tahu anaknya ngiler ketiduran di bangku kelas.
“Payah Kamu Jo, begadang nonton bal-balan ya!” Seorang temannya semeja menepuk bahu Pujo yang jadi malu.
“Makanya tidur yang teratur Jo, ayo tunjukan benda-benda di sekitar daerah Yogya yang mengandung nilai sejarah!” Bu Guru melanjutkan pertanyaannya.
“Apa ya? Keraton Bu.” Jawab Pujo dengan sigap merasa pasti jawabannya benar.
“Itu salah satunya,” Bu Guru kemudian menerangkan benda-benda yang menjadi sumber rujukan sejarah. “Pujo coba Ibu bertanya lagi ya, mana lagi yang mengandung nilai sejarah tapi berada di sekitar sekolah kita?” Ibu Guru sejarah itu bertanya serius.
“Bekas stasiun Dongkelan Bu.” Setelah berpikir cukup lama Pujo menjawab.
“Huuh itu sih gara-gara Pujo berangkat dan pulang jalan kaki, pasti selalu lewat bekas stasiun itu!” Temannya yang lain berkomentar.
Stop! Stop! Anak-anak apa yang di jawab Pujo itu benar. Sebenarnya benda-benda bersejarah bertebaran di sekitar rumah dan sekolah kita.” Guru sejarah itu kembali memberikan materi pelajaran tentang berbagai peristiwa sejarah yang berkaitan dengan jaman perjuangan perebutan kemerdekaan Republik Indonesia.
“Kereta Api merupakan sarana transportasi yang penting, jadi jawaban Pujo banyak benarnya. Coba yang lain sebutkan jenis-jenis benda yang memiliki nilai sejarah.” Berkata Bu Guru menerangkan.
Maka siswa-siswa dalam kelas menyebutkan benda-benda yang memiliki nilai sejarah.
“Bagus semua sudah tahu atau pasti bisa menjawab. Nah tugas kalian masing-masing Siswa adalah membuat karya tulis tentang benda-benda bersejarah yang kalian sebutkan tadi. Ingat! Bikin semacam karangan yang cukup detil untuk menambah nilai kalian.” Akhirnya kata-kata terakhir itulah yang membuat Siswa kelas satu berkerut kening. Karya tulis yang tentu harus mencari berbagai rujukan sumber-sumber penulisannya, Tidak mudah!
Masing-masing sudah menjawab di depan Guru sejarah. Nah inilah tugas Pujo yang sudah terlanjur menjawab pertanyaan Gurunya dengan menyebutkan nama sebuah tempat.
“Huh sialan bagaimana caranya mencari rujukan tentang sejarah kereta api. Ini yang jadi obyeknya pun sebuah stasiun yang sudah tak terpakai lagi.” Membatin Pujo kebingungan.
“Langsung saja nanti pas waktu pulang sekolah.” Itulah tekadnya dengan beberapa rencana.
Lonceng berbunyi membuat anak-anak berseragam putih abu-abu segera berhamburan keluar gedung sekolah. Pujo pun berjalan kaki menuju rumahnya di Senggotan seberang sungai Winongo dari jembatan jalan Ring Road Selatan.
Beberapa temannya mendahului dengan membunyikan klakson sepeda motor atau bersuit minta lewat. Ada juga beberapa cewek yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah mananti jemputan. Kalau yang sudah punya pacar segera janjian bertemu lewat SMS handphone.
Pujo yang tak punya kendaraan bermotor menelan ludah, terkadang iri bila melihat teman-temannya memegang handphone dan berkomunikasi dengan teman-temannya  yang lain begitu mudah. Pujo tahu di rumah seluruh keluarga hanya memiliki HP yang digunakan bersama, lebih banyak dipakai bapaknya yang punya usaha kecil-kecilan.
“Hei Jo, kalau jalan kaki jangan menunduk terus, kayak nggak punya semangat saja!” Itu pasti Retno suaranya perempuan berkata. Wajahnya biasa saja bahkan badannya agak gemuk kurang gerak. Memang makmur anak ini setiap hari bersepeda motor Mio kemanapun. Konon bapaknya seorang pengusaha batik sukses. “Jo ayo ikut mbonceng motorku, sampai di Ringroad pun cukup mengurangi capekmu,” Berkata Retno menawarkan diri.
“Nggak aku jalan kaki saja. Tuh si Roni melotot cemburu melhatku,” Menjawab Pujo menolak halus dengan menyindir Retno yang memang kata orang sedang ditaksir siswa lain kelas.
“Uh sombong apa minder nih, nggak pernah naik motor ya?” Retno tak sakit hati di tolak oleh Pujo atas tawarannya. Hari-hari memang ia biasa berboncengan dengan Roni yang mencoba memberi perhatian.
“Terimakasih Ret, lain kali saja ya. Aku nanti singgah di toko sembako beli telur sama gula untuk jualan penganan Ibuku.” Itu alasan Pujo untuk menghindari Retno.
“Ya udah, Aku pulang dululah.” Retno tak bisa apa-apa lagi. Ia segera menancap gas motornya untuk pulang kerumahnya di Niten jalan Bantul.
Pulanglah Pujo menyusuri jalan Bantul. Sebenarnya Ia punya tujuan untuk membuat karya tulis dengan pengamatan langsung.
Itu dia sebuah besi memanjang terlihat di ruas jalan Bantul JokTeng Kulon. Besi memanjang yang disebut rel itu tersembunyi di bawah aspal dan beton trotoar jalan raya. Besi-besi itu sudah sangat merana, orang-orang berjalan-jalan diatasnya sudah tak menyadari kalau itu sebuah situs sejarah. Mereka menginjak dan menimbunnya dengan berbagai bahan bangunan untuk menyesuaikan dengan trotoar dan halaman ruko maupun rumah di sepanjang jalan.
 Ah itukan tata kota Yogyakarta saja yang memiliki rencana lain. Ada beberapa benda situs sejarah terpelihara dengan baik seperti Pojok Beteng Kulon itu, bahkan sangat terpelihara untuk menjaga identitas budaya lokal. Nah rel itu sebenarnya salah satu benda cagar budaya sama dengan pojok beteng tetapi nasibnya terlantar.
            Pujo menyeberang perempatan dan menuju halaman masjid Pugeran. Dari sana terlihat pemandangan ke utara. Sebuah gang yang di perkirakan dulunya adalah jalan kereta api lewat menembus perempatan menuju Taman Sari. Hilang begitu saja terkena jalan, mungkin sudah terbongkar karena pembangunan sekarang lebih mementingkan kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor.
            Pujo berjalan ke selatan, harusnya ia berjalan di sisi kiri yang banyak bus jurusan Bantul, Samas, Srandakan mencari penumpang. Itu tempat ngetem mereka seolah-olah menjadi terminal tak resmi. Dengan berjalan kaki di sebelah barat Ia mencari jejak rel yang tersisa. Sebuah gereja berdiri megah, jelas sudah tua sebagai sebuah petunjuk dulunya itu pengaruh penjajah Belanda.
            Berjalan kaki sekitar satu kilometer benar-benar terlihat rel memanjang terutama di sekitar kampung Dukuh. Sebagian diantaranya sudah berdiri lapak PKL dan usaha warung makan bakso dan tambal ban. Rel-rel itu sudah tidak menyeramkan seperti waktu tempo dulu. Mungkin ketika kereta api lewat, jalan raya Bantul hanyalah sebuah jalan setapak.
            Eit nanti dulu, bukankah di Dongkelan terdapat masjid pathok negoro?
Masjid itu dulunya tentu ramai bahkan mungkin sebagai tanah perdikan memiliki semacam aturan sendiri biarpun masih tunduk pada kekuasaan keraton Yogyakarta.
            Berjalan kaki terus dipanas matahari menyengat membuat peluh bercucuran dan tenggorokannya kering. Pujo hanya menelan ludah saat lewat di depan warung kecil yang menyajikan es kelapa muda. Uang sakunya sebenarnya cukup untuk membeli, tapi tetap di tahannya rasa hausnya. Sebuah swalayan membuat Pujo terhenti memandanginya. Supermarket itu sama sekali tak ada hubungnanya dengan rel yang memanjang, yang bercerita bahwa daerah itu dibuka dengan perintis alat transportasi yang sudah ketinggalan jaman.
            Sampailah Pujo di sebuah stasiun yang sama sekali tak ada aktifitasnya. Pemkot Yogyakarta hanya memugar bangunan itu menjadi sebuah monumen bersejarah. Bangunan yang tak ada lagi rel memanjang di depannya. Bangunan kolonial ukurannya sekitar 3 *15 meter. Gaya bangunannya kentara sekali bikinan Belanda terlihat dari tingginya yang jauh berbeda dengan bangunan-bangunan orang kuno Jawa. Belum lagi jendelanya yang terlihat menyesuaikan tinggi dan lebar untuk udara keluar masuk. Tapi bangunan stasiun Dongkelan ini sudah dipugar dan dicat putih terpelihara. Beberapa lampu kuno terlihat di beberapa sudutnya biarpun itu bukan benda antik jaman dulu, hanya tempelan benda sebagai pemerkuat identitas bahwa itu dulunya sebuah stasiun.
            Dan yang jelas jika malam hari, eks stasiun Dongkelan ramai karena sudah disewa orang sebagai tempat semacam restaurant. Ya dari pada kososng melompong lebih baik disewakan asal tidak merubah bentuk bangunan kolonial tersebut.
Setelah mengamati cukup lama di bekas stasiun Dongkelan, Pujo melanjutkan perjalanan jalan kaki. Mungkin sudah jam setengah dua, matahari masih menyengat membuat seragamnya terasa kasap karena bergaram.
            Eh rel dan gudang, wah itu cap Gudang Garam!
            Dongkelan persis seperti itu, sebuah logo kota yang tersisa. Tidak menarik bahkan bila dikisahkan untuk anak-anak jaman sekarang. Tidak seperti Gudang Garam sebagai rokok yang terkenal tak peduli bila logonya itu sebenarnya hanya sebuah gudang garam yang kotor.
            Pujo mempercepat jalannya pulang, di beberapa lapak PKL sekitar Ringroad selatan terlihat rel sebagai besi terselip di dalam warung-warung yang menjajakan buah-buahan. Rupanya empunya warung dan orang-orang sekitar biarpun tak peduli dengan benda-benda tersebut tapi tahu bahwa situs tersebut di lindungi undang-undang.
Sampai di rumah di sebebrang jembatan kali winongo Pujo tinggal istirahat. Tekadnya baru dimulai malam hari dengan menulis pembukaan kata.
Kereta api feeder jurusan Tugu Bantul adalah perpanjangan dari jalur kereta api Semarang – Magelang – Yogya. Dulunya jalur tersebut didirikan oleh pengusaha swasta Belanda (Maskapai Transportasi Rel). Setelah itu menjadi milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Di dalam jurusan ini jalur kereta stasiun Tugu berlanjut ke stasiun Ngabean hinngga sampai stasiun Dongkelan. Semuanya stasiun kecil yang kurang di perhitungkan komesialnya.
…………………………..
Sampai di situ Pujo kebingungan,
“Entah masih ada berapa stasiun lagi menuju selatan setelah stasiun Dongkelan?”
Ini dia masalahnya, Pujo tak punya referensi apa-apa tentang perkereta apian di daerahnya sendiri. “Wah ternyata sulit membuat karya tulis ini, Aku salah mengambil topik pembahasan.” Kecewa Pujo jadinya.
Terbayang untuk mencari referensi ia harus datang ke stasiun Tugu dan bertanya atau meminta penjelasan dari karywan PERUMKA sekarang.
“Uh sebel tenan! Guru sejarah itu menjadikan aku konyol sekarang.” Pujo berkata seperti menyesali kecerobohannya. “Ah coba dulu dari surat kabar, mungkin ada artikel tentang kereta api.”
Pujo pun mencoba ke beberapa kios koran di sekitar jalan Bantul. Wah ternyata tidak banyak yang didapat. Dari beberapa koran bekas ia hanya mendapatkan artikel tentang kereta api jalur selatan Yogya Bantul yang wacananya akan dihidupkan lagi. Tapi dengan referensi yang ada cukuplah menambah beberapa kalimat karya tulisnya.
“Uh rupanya masih belum cukup nih, tulisanku cuma keterangan tentang wacana yang akan datang. Belum tentu itu bisa terlaksana. Aku harus melihat langsung keadaan di lapangan.” Pujo jadi berpikir terus agar karya tulisnya cukup memadai.
Bila lewat Dongkelan petunjuk satu-satunya hanya bekas stasiun yang menjadi ikon pasar tanaman agrobisnis dan pasar burung pindahan Ngasem.
Maka hari minggu saat libur rencananya bisa dilaksanakan. Cuma sayang tak bisa terlaksana pagi hari. Setengah hari ia terpaksa menunggui warung di rumahnya karena ibunya ada keperluan arisan RT.
“Bu aku main dulu ke rumah teman ya, tidak jauh kok cuma di Niten saja.” Berkata pujo minta ijin keluar.
“Niten ke rumah Retno kan. Ya boleh saja, kadang-kadang ibu ketemu lo dengan ibunya Retno di pasar Niten. Sugih juga temanmu itu ya!” Ibunya tak keberatan Pujo bermain, lagi pula kewajibannya sudah dipenuhi walaupun tadi pagi sepertinya harus bertengkar karena Pujo enggan melaksanakan perintahnya. Ibunya tahu kelemahan Pujo, asal ia yang cerewet bakalan kewalahan anak itu karena tak tahan omelannya.
Hi Hi Hi strategi mulut perempuan.
Berangkatlah Pujo jalan kaki dengan sandal jepit saja. Ibunya sempat berkata, “Hei pakai sepeda bapakmu saja Jo, capek kamu nanti di jalan!” Huh mulut bawel ibunya membuat Pujo tak perlu menjawab, langsung tancap pergi dari rumah.
Sampailah Pujo di perempatan Dongkelan, ia melihat ke selatan dari Pos Polisi lalu lintas. Ia merasa pasti dulunya rel kereta api berada di atas Pos Polisi tersebut. Terus berjalan seratus dua ratus meter, nah rel tersebut hanya tinggal sebelahnya tetapi memanjang menjadi semacam halaman dan semen beton beberapa lantai rumah dan toko. Ada beberapa rumah kuno yang mungkin usianya sama dengan rel itu terlantar kurang terawat.
Terus Pujo melangkah, sampai SD Jarakan rel tersebut masih terlihat dan kemudian ternyata masuk gang. Itulah dukuh Kweni sebelah kanan.
“Ini dia alur jalan kereta yang benar-benar tersisa, sekarang hanya terpakai sebagai jalan kampung.” Pujo benar-benar tertarik dengan apa yang dilihatnya. Terus dilangkahinya menuju gang yang benar-benar bekas rel, mungkin saat dulunya rel tersebut masih berfungsi bantalan rel masih dari papan kayu jati. Sekarang sih sudah jadi gang dengan cor-coran semen beton.
“Ini tanah Perumka, entah tanah ini masih dijadikan hak mereka atau tidak ya?” Pertanyaan Pujo tak ada yang menjawab, tapi nyata semuanya itu masih berbadan hukum. Yang benar gang tersebut di pinggirnya terdapat balai pertemuan warga.
            THOONG… THONG…. THUNG THUNG!
Terdengar bunyi kentongan dibunyikan sore jam tiga. Seorang perempuan gemuk mungkin seumuran ibunya yang berkepala empat membuat kentongan jaman kakek nenek terdengar. Tradisional banget!
“Ei ada acara apa Bu?” Terdengar seorang ibu yang lebih muda bertanya dari rumahnya yang berseberangan dengan balai pertemuan.
“Rapat pengurus PKK untuk acara minggu depan.” Ibu gemuk itu menjawab langsung masuk balai pertemuan membuat persiapan acara lainnya.
Pujo tak peduli terus melangkah menyusuri bekas rel kereta api tersebut. Beberapa rel memanjang terlihat di halaman rumah warga. Sedikit berbelok membuat Pujo tak yakin itu asli jalur rel.
“Mana ada kereta langsung berbelok tajam begini, paling-paling warga sekitar sini saja yang membangun rumah di atas rel,” Lagi-lagi Pujo bergumam sendiri. Benar tak ada kereta atau rel yang memotong sangat tajam, harus ada jarak ratusan meter untuk berbelok kanan atau kiri.
“Itu ada tanjakan jembatan, ganjil juga kereta bisa mendadak naik ke atas jembatan,” Pujo tertawa dalam hati. Mungkin jembatan itu hanya tiga meter lebarnya. Tapi yang bisa di lewati hanya semeter lebih menandakan tempatnya lebar rel dulunya.
“Kuatnya jembatan jaman dulu, sampai sekarang masih bisa terpakai,” Membatin Pujo menyeberangi jembatan. Pujo tak tahu konstruksinya dari apa. Semen beton cor nampak membuat tingginya terus bertambah menimbun balok-balok kayu bantalan rel kereta api. Benar-benar rel tersebut masih utuh walaupun tersingkir di pinggirnya yang membuat gundukan tanah tinggi dan menjadikan bangunan rumahnya terasa sekali di bawahnya. Sebagian besar bangunan rumah menjadikan gundukan bekas rel sebagai bagian belakangnya. Hanya tak mungkin mobil bisa melewatinya.
Sementara satu sepeda motor lewat, jembatan bekas rel membuat sepeda motor lain di seberangnya menanti bergiliran untuk menyeberang. Sungai Winongo di bawahnya dangkal berarus deras.
Pujo terus melangkah di atas tanah tinggi bekas rel, beberapa pagar bambu menandakan batas sungai dan kandang sapi peliharaan penduduk memanfaatkan tanah tinggi bekas rel sebagai pembatas alami.
 Berjalan lagi beberapa ratus meter terdapat bekas rel yang menyempit tergeletak dengan sambungan baut.
“Ini pasti  bekas rel dua jalur stasiun, Sering digunakan untuk melangsir loko atau gerbong agar bisa di jalur pemberangkatan atau penurunan barang,” Pujo meneliti sekitarnya. Tempat itu terdiri dari kebun kelapa dan di baratnya terhampar bulak persawahan.
Rel tersebut sangat berat tersisa karena sangat sulit diangkat dan dibongkar. Sedangkan di depannya sudah terisi rumah penduduk semi pemanen. Pujo terus melangkah hingga terdapat rumah jawa tua seperti balai pertemuan. Sore itu banyak anak-anak kecil berlatih menari, mungkin itu semacam sanggar milik RT setempat.
Sampailah Pujo benar-benar di sebuah stasiun kecil, bangunan seperti gudang karena pintu-pintunya tertutup rapat dengan gembok kuno. Benar-benar merana tidak seperti bekas stasiun Dongkelan yang menjadi ikon setempat. Beberapa rumah penduduk ada di samping dan belakang bekas stasiun, ukurannya paling-paling 4 * 10 meter.
“Ini stasiun apa namanya? Lebih mirip gudang?” Pujo berkata sendiri agak risih karena beberapa pasang mata warga menatap heran dengan kehadirannya yang berjalan kaki. Sempat dilihatnya di seberang terdapat rumah besar dengan pagar-pagar besi dari bekas bantalan rel. Terdapat papan nama hak kepemilikan tanah. Semuanya ternyata atas nama pabrik gula Madukismo.
Pikirannya tertuju ke jalan Bantul,
“Ya di Niten ada pasar tradisional, dulunya pasar Niten, stasiun dan pabrik gula Madukismo menjadi tiga sektor ekonomi di daerah ini. Sekarang pasar Niten dilalui jalan Bantul yang ramai, jadinya stasiunnya yang mati sekarang.”
Sampailah Pujo di jalan Bantul, rel-rel itu sejajar dengan jalan Bantul yang ramai, sudah banyak di tempati lapak PKL. Terus Pujo menyusuri jalan Bantul berlawanan arah dengan arus lalu lintas.
“Itu bekas pasar Niten, katanya rumah Retno berada di sekitar itu. Ei bagaimana kalau ketemu dengannya nanti?” Pujo berkata sendiri mempercepat jalannya.
Melewati bekas pasar Niten serasa langkahnya harus dipercepat. Ia takut bertemu dengan Retno yang pasti bakalan keheranan dengan kelakuannya hari itu. Retno yang sekelas dan sering pulang bersamaan, biarpun ia naik motor karena arahnya ke selatan.
Beberapa dukuh sudah dilewati, mungkin ada sekitar empat kilo meter jalan. Kakinya terasa pegal juga berjalan, keringat membasahi kaos dan bila diraba karena sudah kering membuat lapisan garam di kulit kasap sekali.
Tapi rel memanjang itu memaksanya terus menyusurinya. Di beberapa jembatan kecil terlihat menonjol dengan besi yang menghitam. Benar-benar barang rongsokan.
Akhirnya tibalah Pujo di gapura batas kota Bantul. Rel menghilang tepat di bangunan tersebut, menyambut kedatangan Pujo di kota kabupaten. Tak ada lagi rel, Pujo kehilangan jejak bahkan sampai di sebuah perempatan jalan utama Bantul.
Haripun semakin sore benar-benar gelap. Pujo melihat tak ada lagi Bus mikro yang menuju Yogyakarta. Yang ada seorang tukang ojek bertepuk tangan menawarkan jasanya. Pujo melambaikan tangan tanda menolak.
Kini di senja hari di kota Bantul Pujo menoleh ke utara, beberapa bus mikro lewat semuanya hanya menuju ke selatan untuk mengantar penumpang terakhirnya.
“Berangkat jalan kaki pulang pun kembali jalan,” Badannya terasa pegal kecapean membuatnya terduduk di halte yang tak mungkin disinggahi bus lagi karena sudah tinggal dirinya yang menuju ke Yogyakarta.
Saat duduk seorang anak perempuan kecil menyodorkan brosur kredit motor dari sebuah dealer sepeda motor. Aduh mak! Pujo dianggap sebagai calon pembeli motor kreditan baru. Pujo cuma tertawa dalam hati.
“Sial aku dianggap punya duit banyak rupanya. Mbok ada mobil kek yang bisa mengangkut aku sampai rumah,” Agak nelangsa perasaannya di sebuah tempat di kampungnya tetapi terasa asing karena jaraknya jauh dari rumahnya.
Tak mungkin lagi Pujo berdiam diri, mulailah satu persatu langkah kakinya menuju tujuan rumahnya. Bahkan jalan pun semakin cepat, untung hari petang, badannya biarpun berkeringat tetapi tidak panas tersengat matahari. Gara-gara rel Pujo punya acara konyol seperti itu.
Cuma sekarang ia tak menyusuri rel lagi, jalan Bantul Yogya dilaluinya. Rumah Retno pun cepat-cepat dihindarinya. Soalnya benar-benar persis di depan jalan utama tersebut. Jangan-jangan Retno melihat dirinya berjalan kaki sendirian, bisa-bisa di singgungnya besok di sekolah.
 Hatinya lega setelah mencapai jembatan Winongo, hanya tinggal dua tiga kilo meter sampai di rumahnya. Jam delapan barulah badannya menggelosoh begitu saja di dipan kamarnya. Omelan ibunya tak terlalu dipedulikan. Bahkan tanpa membersihkan tubuhnya akhirnya tidur lelap sekali.
Hari selasa Retno menyapanya saat pulang sekolah,
“Hai sudahlah wong kita sejurusan saja setiap hari menolak boncengan denganku. Ayo nih sudah kusediakan helm buatmu.” Retno berkata sambil menyerahkan helm SNI kepada Pujo.
“Baiklah tapi aku nggak enak loh dengan Roni.” Pujo bersedia tapi tetap menyindir.
“Sialan kamu, biarin saja Roni itu, ayo naik!” Perintah Retno yang emosi membuat Pujo terdiam. Mereka berbarengan menuju Niten.
“Ibuku bilang kepadaku, katanya bertemu dengan ibumu di Pasar. Kata ibumu saat hari minggu kamu main ke rumahku, yang benar Jo?” Retno dari motor Mionya bicara mendadak. “Kemana sebenarnya hari minggu kamu pergi?” Wah Retno menyelidiki.
“Ah ngak aku nggak kemana-mana, aku kesal di rumah saja terus-terusan menunggu warung. Begitu ada alasan, minggat deh dari rumah refreshing.” Pujo menjawab gelagapan.
“Refreshing sampai jam delapan malam? Aku juga dijadikan alasan rumahku sebagai tempat main. Ibumu khawatir Jo kamu keluyuran tak tahu waktu.” Retno ngomel tapi tak mungkin terus bertanya. Apa lagi sampai di Ring Road Pujo turun dan langsung minggat walaupun melambaikan tangannya sebagai tanda terimakasih.
Sorenya Pujo merasa bebas dari tugas yang diperintahkan ibunya segera mengayuh sepeda untuk mencari jejak rel yang hilang. Tapi kali ini ia mengayuh sepeda ke jalan Parangtritis dulu menuju selatan.  Sampai di perempatan Bakulan barulah menuju barat di perempatan Palbapang.
Uuts di perempatan Palbapang Pujo bingung, rasanya harus menuju kemana dulu. Tapi pilihannya ke kiri jurusan Samas. Sekilo dua kilo tak ada sama sekali jejak rel akhirnya menyerah. Terpakssa ia balik lagi ke perempatan Palbapang. Nah kali ini keputusannya menuju barat Pajangan. Jalan itu demikian lebar lebih bagus dari pada jalan-jalan di dalam kota Bantul. Dengar-dengar itulah calon jalan lintas selatan selatan.
Lagi-lagi tak ditemuinya apapun, pandangannya hanya tertarik dengan terminal Palbapang. Bangunanya mirip dengan stasiun, apalagi adanya kompleks ruko dan los pasar tradisional. Bila dipikir jaman dulu itu semacam pusat keramaian di ruas jalan Pajangan hingga gua Selarong. Gagal sudah apa yang dicarinya.
Ya sudah balik lagi keputusannya menuju Bantul yang pasti akan bertemu rel yang membuatnya penasaran. Pikirannya berjalan, dimana stasiun terakhir di daerah Palbapang. Sayang tak ditemukannya.
Rel ditemukan di pinggir kiri sebagai rel terakhir di selatan Bantul. Mau tak mau Pujo mengayuh sepedanya menyusurinya. Akhirnya rel tersebut hilang di jalan dalam kota Bantul. Pujo menyerah, tak mungkin lagi bakalan ditemukan rel yang hilang tertimbun aspal kota. Sejak kecil ia tahunya hanya pasar Bantul yang ramai setiap hari pasaran tertentu. Tak ada cerita kereta api lewat membunyikan semboyan atau melangsir gerbong.
Pantatnya sudah terasa kebas kelamaan di sadel sepeda. Aliran darah di selangkangan seperti terhenti membuatnya harus turun dari sepeda dan duduk di trotoar jalan yang teduh oleh pepohonan. Sepi, Bantul kota kecil kalah jauh dengan Kodya Yogyakarta yang berdenyut dua puluh empat jam.
Diarahkannya pandangan ke sekeliling jalan. Pandangannya terletak pada sebuah rumah makan. Mendadak Pujo takjub dengan apa yang ditemukannya. Papan nama rumah makan terpampang jelas “Rumah Makan Stasiun”.
“Uh jauh-jau2 aku mencari tak tahunya sudah berada di depan hidungku!” Pujo berkata dalam hati sambil geleng-geleng kepala.
 Biarpun pantatnya masih kebas membuatnya harus duduk lama di trotoar tetapi apa yang ditemukannya sudah seperti harta karun. Bangunan rumah makan itu sedikit mirip dengan yang ditemukannya di jalan Palbapang- Pajangan. Tapi di kota Bantul ini kecil saja paling-paling ukuran 4*10 meter. Separuhnya menjadi rumah makan dan separuhnya lagi tertutup rapat. Tetapi Pujo menduga itulah salah satu stasiun yang dicarinya biarpun relnya mungkin sudah tertimbun jalan beraspal dalam kota.
Sudah ditemukan, Pujo tinggal pulang dengan lebih santai menuju Yogyakarta. Kayuhan sepadanya di hari menjelang maghrib tak sekencang saat berangkat melalui jalan Parangtritis.
“Hei Pujo dari mana kamu?” Suara berat seseorang dengan mengendarai motor Tiger langsung dikenalnya sebagai Roni.
“Hai Roni wah kalian lagi kencan ya.” Pujo berkata saat menyadari Roni berboncengan dengan seorang yang diketahuinya sebagai Retno.
“Kami baru dari pantai Samas, ayolah kami duluan.” Roni seperti gengsi mendapati teman sekelas pacarnya ini hanya mengendarai sepeda onthel. Ia segera tancap gas meninggalkan Pujo yang segera ketinggalan jauh karena tak punya mesin. Sepintas Retno memandanginya seolah-olah bertanya apa yang dilakukannya beberapa hari ini.
Sampai di rumah Pujo tak terlalu lagi banyak ditanyai ibunya karena pulang tidak terlalu larut seperti hari minggu kemarin. Paling-paling komentarnya seperti menyindir,
“Ke tempat Retno lagi ya, patah hati kamu nanti Jo. Retno tuh banyak yang naksir.” Ibunya berkata tahu saja urusan anak-anak remaja. Pujo yang sebal karena ia dianggap jatuh cinta dengan temannya yang sekelas itu.
Esoknya Pujo bertemu Retno di kelas, anaknya cemberut saat bertatap muka dengannya. Sempat keluar kata-kata dari mulutnya, “Jangan kasih tahu bapak ibuku kalau aku pergi bersama Roni ya.” Retno berkata seperti memohon.
Pujo diam saja, masalah Retno dan Roni itu bukan urusannya. Kebetulan saja ia memergoki mereka berdua kencan, mungkin agak kelewatan karena untuk tujuan seperti itu Retno harus membohongi orang tuanya.
Saat pulang sekolah Retno melewatinya begitu saja tanpa menyapa lagi. Hari-hari kemudian Pujo sudah kehilangan teman perempuan yang beberapa hari yang lalu akrab dengannya. Retno seperti tak ingin berbicara dengannya karena jelas Pujo akan bertanya macam-macam tentang hubungannya dengan Roni. Lebih baik menghindar apa lagi jika nanti beritanya menyebar sampai ke telinga orang tuanya.
Tapi Pujo tidak begitu tahu bahwa kelakuannya yang terlihat ganjil beberapa hari kemarin berbuntut panjang. Ibunya langsung menginterograsi,
“Jo ibu tanya kepadamu, beberapa hari kemarin Retno melihatmu di jalan Bantul. Sebenarnya apa yang sedang kamu cari?”
“Ah nggak ada apa-apa kok Bu, masa jalan-jalan dan ngonthel refreshing tidak boleh, lagi pula kan tugas yang dikasih ibu sudah selesai Pujo kerjakan.” Pujo tak ingin tujuannya di ketahui orang tuanya terutama ibunya, tapi tampaknya Retno malah yang memberitahu langsung kepada ibunya.
Ibunya memandangnya sekejap, tak tega juga bertanya terus menerus walaupun dari Retno ia mendapat kabar kelakuan anaknya yang aneh-aneh belakangan ini.
“Memangnya Retno bilang apa tentang aku Bu?” Pujo bertanya mencoba mencairkan keadaan mereka berdua yang seperti bentrok.
“Tak apa ibu hanya khawatir dengan mu Jo, beberapa hari ini tampaknya kelakuan mu aneh, jalan-jalan sendirian saat hari minggu pulang jam delapan malam itu.” Akhirnya ibunya berkata apa adanya.
Dalam hati Pujo mengumpat Retno, “Uuh sudah kuhindari sebisa-bisanya tetap saja cewek itu melihatku. Huh cerewet sekali anak itu!” Pujo gregetan juga dengan temannya si Retno itu.
Esoknya bertemu lagi di kelas, Pujo hari itu usil sekali terhadap Retno. Beberapa kali pundak cewek itu dilemparnya dengan kertas kecil yang dibuatnya bulatan. Tentu saja Pujo duduk persis di belakang Retno. Hari iru biarpun masing-masing tidak bersuara tetapi beberapa kali Retno melotot tak senang karena terganggu. Keduanya hari itu seperti saling ejek mengejek. Tak ada kompromi diantara mereka.
Hari minggu setelah sholat subuh, He He He Pujo termasuk angin-anginan kalau sholat lima waktu. Tapi minggu pagi itu diusahakannya benar bangun pagi. Kemudian ikut-ikutanan berjamaah sholat subuh di belakang Bapaknya di rumah. Begitu selesai sholat subuh ia menghampiri ibunya yang lagi wiridan.
“Bu aku jogging ke Alun-alun ya, kasih uang saku dong?” Merajuk Pujo dengan manja.
“Hah Pujo kadingaren olah raga, dapat mimpi apa semalam kamu?” Sang ibu bertanya tak kuasa menolak keinginan anaknya. Dompetnya yang biasa ditaruh di lemari dikeluarkannya dan melayanglah uang lima ribu rupiah untuk jajan anaknya ditengah perjalanan.
Menerima uang cukup banyak Pujo bersuka cita, diraihnya sepatu serba guna yang dikenakannya pergi kemanapun bila ada acara. Tentu saja wong itu sepatu yang biasa di kenakannya pergi ke sekolah. Tak ada lagi sepatu lainnya, cuma itu alas kaki yang dimiliki.
Sekeluarnya dari rumah, langsung start jogging dimulai dari Ringroad.  Jalan Bantul dilibasnya, hari masih gelap tapi ia tak sendirian. Banyak saja orang-orang keluar pagi hari untuk berolah raga. Tapi masih kalah dengan pedagang-pedagang pasar yang mulai hidup dini hari untuk berjualan.
Biarpun hari masih dingin, tetap saja keringat bercucuran di badan Pujo. Ada beberapa orang berlari pagi, tak kalah pula anak-anak kecil melangkah. Terkadang lewat seorang cewek ABG bersama anjingnya yang dirantai. Semua orang berusaha memanasi badannya untuk mendapatkan udara segar. Siang hari itu tak mungkin dilaksanakan, panas menyengat juga polusi kendaraan tak baik buat kesehatan.
Berlari sampai di depan gereja Katolik, Pujo tak kuat lagi. Ia berhenti berlari tapi tak berani duduk mengaso. Ia coba berjalan kaki menelusuri trotoar hingga ssampai Jokteng Kulon. Jika ia belok kanan sampailah di Alun-alun kidul, kata orang Alkid pagi hari minggu ramai orang berolah raga.
Niatnya bukan ke Alkid, tapi mencari jejak rel yang hilang. Lorong gang bekas rel sudah menjadi jalan kampung di sebelah barat Jok Teng Kulon. Masih terdapat rel ditengah-tengah jalan kampung dengan rumah-rumah di samping kanan kirinya menjadikan sebagai halaman depan rumah. Terkadang ada sepeda motor lewat mendahului langkah Pujo.
Sampailah Pujo di sebuah pasar kecil. Itu pasti pasar di seberang gapura jalan menuju Taman Sari. Seorang ibu penjual gudeg menawarkan kepada Pujo,
“Mangga Mas sarapan, mumpung masih anget,” Berkata ibu penjual gudeg mempersilahkan.
Pujo menggeleng dan berkata, “Ah nggak Bu, Aku takut kereta lewat bisa ketabrak nanti.”
“Ha Ha Ha sampeyan ki lucu. Jalur kereta sudah mati. Pas ibu masih kecil saja kereta lewat. Dulu tempat ini sepi menyeramkan sekali.” Nyerocos suara ibu penjual gudeg bicara. Sempat disinggungnya tentang kereta-kereta yang lewat pada jaman kemerdekaan.
Uuh itulah yang jadi tambahan Pujo untuk karya tulisnya. Riwayat atau kisah yang menjadi kenang-kenanganan ibu tersebut dimasa lalu. Sangat berguna sebagai salah satu sumber tulisan.
Sayang Pujo tak berani lama-lama didepan lapak warung gudeg itu. Harus makan gudeg sedangkan uang sangunya yang lima ribu tak cukup untuk sarapan jaman sekarang.
“Nggak deh Bu aku belum selesai jalan-jalan, sampai di Ngabean nanti baru jajan.” Halus Pujo menolak kemudian mohon diri.
Terus langkahnya ke utara, sayang rel hilang di telan taman berisi rerumputan liar dan dibatasi pagar, Pujo hanya bisa lewat di sampingnya yang tetap menjadi gang memanjang seolah-olah menjadi wakil rel yang tertelan bangunan. Apa lagi seterusnya terdapat sebuah balai desa yang benar-benar berdiri di atas rel menjadi buntu meninggalkan riwayat moda transportasi jaman dulu.
Sampailah Pujo di Ngabean, sekarang kompleks itu adalah taman parkir luas untuk bus-bus wisata. Beberapa ruko kecil mepet di pinggir areal luas parkir. Sayang taman parkir seluas itu kata orang sepi. Bus-bus wisata lebih sering langsung masuk Alun-alun utara, Taman parkir Abu bakar Ali, atau di samping Bank Indonesia.
Pujo langsung mendekati situs yang kemungkinan adalah bekas stasiun. Benar saja, terlihat sisa rel menjadi situs resmi bahwa itulah sejarah terakhir rel kereta api yang tersisa. Beberapa As roda gerbong kereta tergeletak di rel tersebut, jika dilihat berada di bawah lantai conblok, jadi areal parkir ini sudah ditinggikan sekitar 50 cm. Dari aslinya yang berupa rel-rel memanjang untuk aktifitas kereta. Dikelilinginya bangunan yang dipelihara Pemkot menjadi bangunan cagar budaya. Di samping atas sebelah selatan tertulis dengan jelas NGABEAN. Huruf tercetak dengan cetakan semen tak dirubah-rubah lagi.
Hari menjelang siang, mungkin sudah jam setengah sembilan. Pujo pun memutuskan pulang ke rumah. Sudah cukup penelusurannya terhadap rel yang diyakininya cukup untuk sebuah karya tulis. Dan segelas teh hangat serta beberapa gorengan cukup untuk mengganjal perutnya.
Retno memperlihatkan karya tulisnya kepada Pujo. Judulnya Lingkungan Taman Sari dan sejarahnya. “Nih aku salin saja punya Roni. Asal pendekatan dan traktir mau nggak mau Roni antar aku ke Taman Sari, He He He sekalian kencan di sana.” Berkata Retno menantang Pujo.
Pujo cuma cengengesan, ia pun tak kalah gengsi mengeluarkan hasil karya tulisnya sayang judulnya rahasia. Pokoknya tak kalah dengan teman yang lain dan pastinya juga biayanya lebih irit.
                                               
           
                                               

  ……Tamat……

No comments:

Post a Comment