Sunday, December 29, 2013

Gundul Tengik sampai di Gumuk Pasir Parangtritis.

Kegiatan akhir tahun.
Penulis ingat tentang kajian Geografi sebuah gumuk pasir. Itu terdapat di kamar Penulis berupa skripsi seorang mahasiswa UGM untuk contoh pembuatan skripsi mahasiswa Kehutanan.
Tetap saja Penulis tertarik biarpun tak paham maksud isi skripsi untuk jenjang sarjana seorang mahasiswa. Yang penulis tertarik itu berupa semacam petualangan perjalanan Hiking untuk menyelusuri gumuk pasir Parangtritis.
Langsung penulis melihat peta wilayah gumuk pasir yang tertera dalam skripsi, ya itu bisa jadi penunjuk untuk sebuah perjalanan menyusurinya.
Sebenarnya sudah lama penulis  pernah menginjakkan kakinya sesuai alur  peta yang ada dalam skripsi tersebut, mungkin sudah dua tahunan yang lalu, tapi tahun 2013 ini dicoba kembali untuk membuktikan rasa penasaran penulis akan kajian Geografi lokal Yogyakarta.
Nah kegiatan yang dikorbankan adalah olah raga bela diri Pencak Silat (Kayak Pendekar saja......), kemudian Yoga, dan Jogging mingguan. Tak apalah hitung-hitung ini kegiatan tahun 2014 nanti. Kelemahan penulis itu dalam masalah dokumentasi, tak punya  kamera untuk mendokumentasikan perjalanan yang dilakoni penulis.

Tanggal 29 desember 2013,
Setelah sholat subuh langsung penulis keluar setelah sebelumnya buang air besar sebagai persiapan perjalanan. Dengan kaos oblong dan celana jeans penulis berangkat pagi masih gelap menuju Ringroad mencari bus trayek Parangtritis. Sebuah sandal jepit menjadi andalan penulis kemanapun bahkan untuk bekerja sebagai pengusaha swasta sukses tapi kecil-kecilan. Ya kecil modalnya kecil juga kiosnya, dan kecil juga omzet perharinya. Karenanya hasilnya hanya cukup mengisi perut sehari-hari.
Jalan kaki sampai  di perempatan Druwo, maunya cepat dapat angkutan bus menuju Kretek. Tapi apa daya, menunggu sampai lama sekitar satu jam barulah bus kecil tersebut muncul. Itupun dengan penumpang sudah penuh, jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh. Eiiit untuk trayek bus sekarang ini memang sudah sepi, tidak seperti tahun-tahun sembilan puluhan. Penyebabnya adalah kepemilikan kendaraan pribadi baik itu sepeda motor maupun mobil.
Bus tersebut penuh sesak, berjubel karena itu bus pertama meluncur ke Parangtritis membawa penumpang ke berbagai kecamatan disekitarnya. Tak terelakan lagi  penulis hanya bisa berdiri di pintu dengan badan hanya menyentuh sedikit kedalam agar seimbang dengan tangan berpegangan kuat di besi semacam cantelan. Penulis tidak sendirian, beberapa penumpang pun mengalaminya. Begitu bus berangkat langsung terasa angin menerpa dan perasaan ngeri menyergap. Itupun masih dicoba lagi beberapa penumpang masuk dipaksakan. Saat itu seorang  penumpang merasa diluar, begitu ada kesempatan masuk segera orangnya kedalam mungkin merasa ngeri karena  terkena angin dan kecepatan bus yang  cukup cepat.
Ha Ha Ha Gundul pringis ini merasakan jatahnya, angin sepoi keras itu membuat kepala penulis dingin seperti masuk angin, oh ya beberapa hari sebelumnya penulis memang potong rambut sampai gundul untuk meluruskan rambut saat tumbuh pertama kalinya. Kebiasaan penulis ini sudah dijalani beberapa tahun di Yogya, setiap tiga empat bulan sekali.
Sampai juga di start rute yang diinginkan penulis, pintu gerbang obyek wisata Parangtritis.
Penulis stop disitu saja, turun dan menuju jalan kecil menuju pantai Depok. Karena menunggu cukup lama diperempatan Druwo tadi penulis ingin buang air kecil, jadi segera menuju sebuah selokan air irigasi pertanian.
Huuup penulis turun ke saluran air biar tidak kelihatan oleh orang lain saat buang hajat tak tertahankan. Seekor ayam menyambut penulis di selokan itu,
"Keoook keook!" Tuh ayam berteriak langsung nyebur ke air selokan langsung berenang ke hulunya karena mendapati makhluk gundul pringis dan tengik mengganggu acaranya.
Sayang penulis tak sempat menolongnya lagi karena sadar itu sebenarnya bahaya besar buat si ayam berenang, sampai berapa jauh ayam itu berenang?
Oh kasihan sekali mungkin sampai lemas dan kemungkinan mati sendiri karena tak ada yang menolongnya. Sadis sekali penulis ini ya?
 Ya bagaimana lagi, hendak ditolong itu ayam sudah berenang jauh, bila dikejar nanti malah ketahuan orang bisa dituduh sebagai pencuri......
Segera penulis menghindari insiden kecil tak sengaja tersebut, semoga di hulu sana nanti ada seorang yang berbaik hati menolong itu ayam celaka.
Penulis melanjutkan perjalanan, hup jalan kecil sepanjang beberapa kilometer itu hanya lebar tiga empat meter, sebuah jalan desa tapi mulus beraspal karena tempat tujuan wisata. Terus di susuri, sampai setengah jam kemudian sampailah di pintu gerbang obyek wisata Depok.
Uuh itu tak penting, penulis sempat singgah di tepi sungai Opak yang menjadi sebab terbentuknya formasi bukit-bukit pasir gumuk sebagai obyek kajian Geografi.Sungai itu membawa pasir halus dari hulu berupa butiran halus sekali dari Gunung Merapi. Jadi inilah material erupsi terakhir berlabuh di pantai Depok dan Samas. Pasir-pasir itu akhirnya terbuang di hantam ganasnya ombak pantai selatan. Oh tidak demikian, sebagian kemudian timbul ke pantai terdorong ombak dan tertiup angin kencang menjadi timbunan perbulitan kecil setinggi sepuluh dua puluh meter. Tiupan angin terhadap material pasir halus itu berlangsung ribuan bahkan jutaan tahun. Tentu bisa dibayangkan, bukit setinggi dua puluh meter di pesisir pantai depok itu benar-benar hanya terdiri pasir-pasir halus. Di bawahnya kemungkinan berupa tanah sedimen seperti formasi batuan gunung kapur.
Fenomena bukit pasit itulah yang biasa disebut gumuk dan itu dijadikan perlindungan ekologi oleh Fakultas Geografi untuk dilindungi. Konon di luar negeri fenomena yang sama hanya ada di tepi pantai laut kuning Cina karena pasir-pasir halus dari sungai Huang Ho (Sungai Kuning).
Karena itulah Indonesia itu beruntung mendapatkan fenomena alam yang sama prosesnya dengan di Cina tersebut. Biarpun misalnya lingkupnya lebih kecil tapi cukup menjadi study geologi terbentuknya gumuk-gumuk pasir, itu sepeti gurun pasir di pemandangan alam Timur Tengah.
Mulai adanya formasi batuan gumuk penulis coba survey berdasarkan pengetahuan yang pernah penulis dapatkan di hutan Perusahaan HPH di Kalimantan.
Metoda paling gampangnya, meninjau kanan kiri jalan masuk sekitar lima puluh  meter sebagai semacam laporan pandangan mata. He He He jadi bukan tinjauan atau mencari data di lapangan. Kalau itu tugas lembaga akademik.....
Penulis ini hanya melakukan perjalanan untuk menyusuri dan  mendapatkaan sebuah suasana yang lain dari sekitar pemandangan yang ada. Tentu cukup sampai detilnya.
Ya itulah penasaran, langsung melangkah masuk ke sebuah gang kecil  yang kemungkinan biasa dilewati orang.
Huup fenomena gumuk pasir terlihat berupa gundukan yang terasa naik turun tidak terlalu tinggi, ditambah semak belukar dan berbgai pohon yang kuat tumbuh di tanah gersang. Beberapa tegakan jambu monyet terlihat terbiarkan hingga buah yang jatuh terlihat kecil-kecil tak komersial. Penulis agak tertarik dengan adanya jenis timun liar yang sebenarnya bisa dikonsumsi, ukurannya kecil seibu jari dan telah membusuk. Cukup banyak tapi sulurnya sudah banyak yang mati, berarti bila tumbuh itu biasa dikonsumsi berbagai binatang seperti musang. Ya jejak binatang yang ada menunjukan musang yang liar sebagai binatang bebas tak dipelihara manusia. 
Mencapai beberapa puluh meter ternyata mendekati kandang itik dan rumah ladang. Terdapat sumur pantek di salah satu ladang, coba penulis mendekati, ternyata berair dan bisa dipertahankan sebagai sumber air di tanah gersang tersebut. Dalam naungan tegakan (Ini istilah untuk tumbuh-tumbuhn yang berkayu dalam hutan) Penulis merasakan serasa di dunia yang berbeda dengan tanah Jawa.....
Ya sebuah kesunyian karena berada disebuah bukit gumuk pasir yang merupakan formasi berbeda dengan proses terbentuknya lapisan  tanah yang lain.
Oh itu hanya sedikit nuansa yang penulis dapatkan. Soalnya Penulis sadar beberapa bunyi kendaraan di sekitar menunjukan tempat itu tidak jauh dari jalan ramai. Jadi segera penulis kembali ke tempat semula. Penulis mencoba melihat HP signal kuat sekali, itu bukan daerah terisolir karena beberapa menara Telkomsel berdiri megah  sekali.
Segera penulis melanjutkan perjalanan, sampai di pintu gerbang obyek wisata pantai Depok. Penulis lebih tertarik ke sebuah jalan kecil menuju kiri, tertuju Museum Geospasial milik UGM. Ya itulah yang harus ditelusuri sebagai oleh-oleh perjalanan ini.
Masih beraspal mulus dan metode peninjauan kanan kiri jalan sejauh lima puluh meter ke dalam menjadi andalan penulis untuk mendapatkan nuansa setiap detil menarik obyek gumuk pasir. Jadi ada bukan areal hingga terlihat pasir halus seperti padang pasir, ada gundukan jerami ternyata itu adalah sediaan makan ternak sapi. Berbagai kelompok ternak menjadikan lahan tersebut sebagai kandang untuk menjauhi sapi dan kambing mendekati pakan. Oh kalau tumpukan jerami itu jelas didatangkan dari penenan sawah di lembah pertanian.
Ya kalau museum menara geospasial itu memang menarik. tetapi sayang itu bukan untuk tempat kunjungan umum. Soalnya berpagar dan dijaga beberapa orang, penulis cuma melihat ada banyak orang, mungkin mahasiswa dari berbagai universitas sedang mengunjunginya. Dari bus yang mencapai tiga buah berarti sekitar seratus  mahasiswa. Entah apa yang mereka praktekan di lahan gumuk tersebut.
Penulis terus berjalan, terasa tanjakan turunan dan berbagai papan larangan berburu dan merambah untuk lahan study Geografi tersebut. Toh tetap ada saja galian pasir untuk bangunan sembunyi-sembunyi. Ini bukan daerah sunyi, kecuali kita masuk kedalam sekitar lima puluh meter itu baru terasa sebagai dunia lain. Kalau jalan kecil beraspal mulus ini sering dilewati orang kampung dan kendaraan wisata. Juga pasangan pacaran,
Bah saat lewat beberapa anak kecil bersepeda, mungkin dari kampung setempat. Mereka itu melihat penulis dengan terbelak. Seseorang diantaranya berkomentar,
"Huh ana wong edan lewat!" Katanya sambil melihat kepala gundul penulis yang tengik ini.
Setelahnya mereka menghambur lari lebih cepat untuk menghindari penulis. He He He ada yang ketinggalan, Di belakangnya ada seorang cewek remaja ketinggalan, duileh cukup cantik cewek kecil itu mengangguk tersenyum kepada si GUNDUL TENGIK itu sebagai permintaan maaf atas kelakuan teman-temannya.
Suka nggak sih orang dengan kepala gundul?
Nyeleneh sedikit kan gak apa-apa........
Sedikit kejutan, ketika melewati tempat belukar sunyi penulis melihat seekor burung puyuh liar berlari menghindari Penulis. Langsung coba penulis mengejar, 
Eeeh ternyata burung kecil itu sembunyi di bawah pohon palem berbuah, ya itu jenis palem yang bisa untuk dikonsumsi. Burung kecil itu memanfaatkan warna bulunya menyamar diakar yang mendekati bulu tubuhnya. Ya semacam perlindungan diri dari hewan pemangsa lain. Penulis mendekati bahkan yang paling dekat hanya sekitar satu meter, menjulurkan tangan dan menyentuh sedikit burung liar tersebut. 
Berhasil....... suatu fenomena yang jarang di dapat oleh orang lain.
Ingat itu peristiwa langka, seorang berhasil meraih seekor burung puyuh liar tanpa dicurigai, berarti daerah itu termasuk aman dari gangguan. Burung-burung puyuh liar tersebut berarti merasa tidak terancam atas kehadiran penulis disekitar habitatnya tersebut.
"Ciiiet  cieet!" Barulah burung itu berteriak menyadari akan bahaya asing yang menimpanya. Langsung lari dan dari arah berlainan dua ekor yang lain juga menghambur karena sudah ketahuan penyamaran mereka.
Mendekati jalan besar obyek wisata Parangtritis sudah berupa kampung padat rumah warga dan kandang ternak, juga kegiatan wisata sudah ada seperti pemilik beberapa kereta wisata dan motor untuk jelajah pasir pantai.
Seseorang warga sudah tua menyapa Penulis, "Hendak kemana Mas?" Tanyanya mungkin karena heran, jarang orang jalan kaki menyusuri hutan di daerah tersebut kecuali untuk berbagai keperluan seperti penulis. 
"Jalan-jalan saja Pak." Penulis menjawab ala kadarnya.
Penulis tahu itu seorang pencari rumput yang mungkin memantau penulis sudah dari dalam hutan gumuk pasir  
Sampai di obyek wisata ya sudah berjubel pengunjung berupa species manusia yang memenuhi hajat akan hiburan karena mereka adalah makhluk sosial.
Sempat penulis berjalan-jalan di pantai dan kemudian duduk di salah satu gubuk tepi pantai. Tak berapa lama didatangi seorang pemilik warung.
"Mas bayar sewa gubuk?" Katanya meminta jasa.
Ealah kukira gubuk kosong sepi dan jauh dari lokasi keramian, ternyata itu sudah masuk paket wisata toh......
Penulis mengulurkan uang dua ribu rupiah,
"Sepuluh ribu mas, itu untuk sejam saja di sini." Ketus ibu-ibu pemilik warung meminta.
Terpaksa sudah penulis mengeluarkan uang sejumlah yang diminta sebagai bayar sewa gubug.
 Yah sama mahalnya dengan tarif ongkos Yogya- Parangtritis........
Ah biarlah, penulis meneruskan masih menyusuri jalan sunyi menghindar dari keramian wisata, itu sebuah jalan setapak yang biasa dilewati orang kampung untuk menembus jalan di atasnya yang menuju Gunungkidul. Ya itu sudah berbatasan dengan wilayah Gunungkidul, Parang Endog sebagai tempat terakhir kunjungan penulis.
Masih sempat penulis kembali ke rute semula dan beristirahat di Cepuri Parangkusumo. Sempat ada ritual didalam cepuri oelh seorang juru kunci dan seorang pengunjung wisata untuk berbagai hajat agar terkabul. Melihat penampilannya yang perlente tak akan mengira kalau orangnya masih percaya hal-hal seperti itu. 
Ah penulis istirahat berebah di salah satu aula yang tersedia, yang hadir di aula itu ya keluarga dari pemuda yang tadi menjalani ritual di areal batu Parangkusumo. Mungkin dahulu disitulah perjanjian antara Danang Sutawijaya dan Kanjeng Nyai Ratu Kidul berlaku sampai sekarang.
Selesai......................................................................

Pengasong koran

Ya inilah sebenarnya profesi penulis. Setiap hari mejeng di perempatan Ringroad Selatan Yogyakarta. Wah sangat narsis ya.......
Dimana posisi tepatnya?
Jika Anda berada di perempatan Ringroad selatan Jalan Parangtritis km 4,5 itulah tempat strategis yang penulis tempati. Oh masih kurang detail ya, tepatnya di perempatan jalan Parangtritis sebelah selatan ringroad. Ck ck ck bila masih  kurang jelas langsung datang dan beli koran di sana saja ya.
Hitung-hitung sudah berapa tahun menjadi pengasong  koran?
Wow ternyata sudah sukses sampai saat ini sepuluh tahun (mulai tahun 2004 sampai sekarang), sukanya banyak sedihnya juga banyak. Tak terhitung keuntungan jual koran tetapi juga beriringan mengalami kerugian. Dan pasti selalu dilihat pengendara motor dengan wajah iba.
Awalnya penulis mengasong itu di Jokteng wetan. Jadi persis di depaan situs cagar budaya tersebut. Itu mulai tahun 2004 sampai 2005 setelahnyaa itu setia menjadi demit perempatan ringroad sampai sekarang.
Apa nggak rendah diri mengasong  koran?
Ya sebenarnya ada perasaan tersebut, apa lagi bila melihat ternyata memang mengecer koran  seperti ini sebenarnya pekerjaan yang tak diminati oleh  orang pada umumnya.
Kan GAK ADA LOWONGAN PENGASONG  Dimanapun ada iklan lowongan pekerjaan di surat kabar!
Begitulah seorang pengasong koran adalah pekerjaan tak bergengsi, siapapun pasti tak akan bercita-cita menjadi pengasong koran.
Kelebihannya?
Ya mungkin koran adalah penambah pengetahuan akan kabar berita hari ini. Informasi apapun ada walaupun tidak secepat internet. Dan pasti setiap lembar koran  penulis mendapat rupiah demi rupiah keuntungan jualan.
He He He karena pekerjaan tak bergengsi jadinya tak ada istilah pecat memecat sampai sekarang, juga tak ada sangsi bila ada pelanggaran. Paling-paling mengurangi rasa malas saat memulai karena bila hujan deras mengguyur, pikiran sudah tak konsen lagi menjalani
Semua itu penulis jalani dan tak terkira suksesnya,
coba dibandingkan dengan saat penulis mencoba bekerja di perusahaan kayu,  supermarket, pabrik plywood, asuransi jiwa dll. Semuanya terasa berbeda karena banyak mengalami tekanan dari atasan dan kejenuhan karena pekerjaan hanya itu-itu saja. Tak ada variasi pekerjaan lain.
Oh pekerjaan ini hanya penulis lakukan sekitar dua tiga jam saja, mulai dari jam enam sampai jam sembilan. Kalau dilanjutkan sebenarnya bisa tetapi perut dan badan sangat kecapean. Penulis tidak ngoyo melakukan pekerjaan ini sebagai pendapatan utama. Jam sepuluh hingga jam lima sore kegiatan penulis membuka kios kaki lima jasa stempel.
Lumayan biarpun keuntungan sedikit paling tidak bisa untuk sarapan dan sedikit sisa keuntungan menjadi simpanan berupa  recehan koin logam. Wah banyak sekali sudah simpanan koin logam penulis, mungkin sampai ratusan ribu rupiah. He He He koin-koin itu baru terpakai bila usaha stempel lagi sepiiiiii sekali. Jadi diam-diam di dalam kamar kontrakan penulis tertimbun harta karun.
Ah tidak apa-apa, koin logam itu sendiri aneh juga. Tiap beberapa tahun sekali ada cetakan baru hingga penarikan  uang logam lama akan menimbulkan sejenis koleksi uang logam. Ah bisa jadi barang antik di tahun-tahun mendatang.
Kalau perempatan ringroad selatan, ya inilah tempat berbagai orang berdatangan dan pergi menuju sebuah tujuan. Sekedar lewat tetapi juga banyak yang mencoba mengais rezeki di sana.
Pengasong koran paling kuat bertahan hanya sampai setengah hari, kemudian pengamen berbagai jenis. Uh banyak juga jenisnya.....
ada yang group band dengan berbagai alat musik mulai dari gitar kecil, ketipung, sampai hanya sebuah kricikan tutup botol yang dibunyikan. Terkadang ada juga yang memainkan jathilan dan alat gamelan atau group topeng monyet.
Warung-warung bertebaran menempati sudut yang diijinkan berjualan, soalnya tidak semua tempat diperbolehkan untuk lapak, bisa karena harus menyewa juga karena ditolak pemilik lahan. Nah salah satunya langganan penulis bila usai mengasong. Itulah warung angkringan di sebelah selatan depan restaurant Tahu Telupat. Warungnya  buka pagi jam setengah delapan sampai jam dua siang. Penjualnya seorang perempuan paling berumur tiga puluh tahunan sudah beranak satu. Hidupnya selalu mencoba mencari peruntungan dari orang-orang yang bekerja disekitar, beberapa perusahaan distributor, toko bangunan, toko besi, pengrajin batu dan baja dll.
Bila sudah selesai mengasong penulis segera menuju warung angkringan untuk sarapan. Penjualnya sudah sangat hafal dengan selera penulis, kopi hitam kental sebagai kewajiban dan beberapa gorengan.
Kalau nasi, ya yang terhidang itu pasti nasi kucing, lumayan warung ini pernah menampilkan menu nasi sambal belut. Uah gara-gara nasi itu banyak orang yang berburu hingga antri tiap pagi mulai jualan. Warung ini penulis duga masih yang paling murahnya diseantero yogyakarta. Soalnya minum segelas teh atau es masih dihargai seribu rupiah.
Kalau tampilannya, wah sedikit berantakan. Tenda warung saja tak pernah ngepas  saat dipasang. Sepertinya keluarga ini memang kurang begitu peduli tampilan warung. Juga kebersihannya kurang terjaga, sekarang pun sudah mendapat bantuan tenda dan peralatan dari program Warung Beres UGM tetap saja tak berubah manajemennya. Bahkan pemiliknya berujar,
 "Huh dapat bantuan malah menyulitkan karena selalu diikat dengan berbagai peraturan. aku tak bisa mengikuti aturan yang mereka berikan karena kriterianya tidak sesuai modalku."
Nah begitulah orang-orang jalanan hidup. Bila ada aturan mereka merasa tambah beban karena pasti susah di ikuti. Tak seperti yang mereka jalani, coba modal hanya sebuah tenda dan beberapa meja kursi. Modal seperti itu bila dijadikan agunan ke Bank, tak akan masuk untuk mendapatkan pinjaman modal kan!!!

Yah akhirnyaa orang-orang jalanan pasti mencukupi hidup dengan modal keberanian belaka, termasuk penulis yang hanya berjualan dan mencoba menawarkan koran setiap pagi hari.

"Koran     Koran   Koran.....!!!"

Sunday, December 8, 2013

Asana

Kini penulis mulai mencatat latihan Asana. Berbagai asana dilatih hampir setiap hari menjadikan penulis sebenarnya sudah menjadi seorang  praktisi Yoga. He He He walaupun tak terkenal dan bukan seorang instruktur. Wong semuanya dilatih hanya untuk kesenangan belaka dan sedikit merasakan manfaatnya. Semoga latihan ini terus berlanjut sampai hari tua.
Ini kelanjutan asana yang disinggung dalam artikel "Burung-burung beterbangan",
PADMASANA,
Postur awal : Duduk dengan kedua kaki merapat dan lurus ke depan. Lengan menyentuh badan dan telapak tangan menyentuh lantai. Tulang punggung  tegak lurus.
-Tekuklah kaki kanan dan letakkan diatas bagian teratas paha kiri. Setelah itu menekuk kaki kiri dan  meletakkannya di atas bagian teratas paha kanan.
-Tangan kiri di taruh kebelakang dan mencoba memegang jempol kaki kanan. setelah itu tangan kanan di  taruh ke belakang dan memegang jempol kaki kiri.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya) 2x (kanan kiri)
POSTUR MENYILANGKAN KAKI
Postur awal : sama seperti padmasana
-Angkatlah kaki kiri dan pegang jempol kaki kiri dengan tangan kanan.
-Tangan kiri memegang jempol kaki kanan yang masih lurus kedepan.
-Berusahalah untuk duduk setegak mungkin hingga tangan kanan yang mengangkat kaki kiri berkontraksi.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya) 2x (kanan kiri)
VAKRASANA I (Miring)
Postur awal : Sama seperti padmasana
-Tekuklah kaki kanan dan letakkan tumit anda di bawah pantat.
-Angkat kaki kiri dan letakkan menyilang melintas kaki kanan.
-Pegang telapak kaki kiri dengan tangan kanan anda.
-Tangan kiri memutar kebelakang dan menyentuh kemaluan.
-Putar badan kebelakang sampai pandangan mata ikut melihat arah belakang.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya) 2x (Kanan kiri).
MAHAMUDRA (Sikap utama)
Postur awal : Sama seperti padmasana
-Tekuklah kaki kiri kedalam sehingga menyentuh selangkangan.
-Rentangkan kaki kanan semampu anda.
-Peganglah jari-jari kaki kanan dengan kedua tangan hingga mampu mencium lutut kaki kanan anda.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya) 2x (kanan kiri)
VAKRASANA II
Postur awal : Sama seperti padmasana
-Tekuklah kaki kanan dan letakkan tumit anda di bawah pantat.
-Angkat lengan kanan kebawah dibelakang punggung anda.
-Angkat lengan kiri keatas dibelakang punggung anda.
cobalah menyentuhkan kedua tangan yang sudah berada di belakang tubuh hingga saling bersentuhan.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya) 2x (Kanan kiri)
SIRSASANA
Postur awal :Berdiri biasa
-Berdirilah diatas jari-jari  kaki dan tekuk tubuh anda pada pinggang, satukan jari-jari tangan dan letakkan kepala diantaranya dengan puncak kepala menempel pada lantai.
-Tungkai anda harus lurus, dan berat tubuh dibagi secara rata pada segitiga dari tangan anda. Untuk memperoleh simetris yang sempurna, lihat antara pergelangan kaki anda.
-Ayunkan tungkai kanan lurus keatas, disusul dengan tungkai kiri. hingga anda mampu berdiri dengan kepala di bawah.
-Perhatikan keseimbangan dan petahankan beberapa saat.
HALASANA (Postur cangkul)
Postur awal : Berbaringlah diatas lantai yang beralas. Kedua kaki merapat.
-Jatuhkan tubuh kebelakang dengan bertumpu pada tulang belakang anda.
-Luruskan kaki dan dorong tubuh lebih kedepan. Dalam posisi ini telapak kaki anda harus membentuk sudut 90* terhadap tungkai.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya)
PADA HASTASANA
Postur awal : Berdiri tegak lurus, lengan kedua kaki merapat. Lengan merapat deengan badan, tangan terbuka dan jari-jari melurus (TADASANA)
-Angkat kedua tangan keatas.
-Bungkukkan tubuh kedepan dan sentuhlah ibu jari kaki anda.
-Berusahalah mencium lutut dengan keadaan kaki tetap lurus.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya)
VIRASANA
Postur awal : Sama seperti Padmasana.
-Tekuklah masing-masing kaki pada lutut. Telapak kaki menghadap kearah atas. Beri jarak secukupnya antara kedua kaki.
-Duduklah dengan meletakkan pantat diantara kedua kaki hingga menyentuh lantai. Letakkan kedua tangan di pangkuan.
-Pertahankan beberapa saat (Semampunya)
Demikian penulis mencoba mengutarakan latihan yang selalu dilakukan. Latihan ini masuk sesi Asana. Masiih banyak nama asana di dunia Yoga. Apa yang penulis utarakan hanya sebagian kecil saja, sesungguhnya bila merujuk pada mistik Yoga maka isi dunia adalah Asana dan meditasi.Bahkan bila ditambah dengan kepercayaan Hinduisme maka Kedewaan pun dalam alamnya tetap menghayati Yoga sebagai persatuan, dan mungkin tercapainya Nirvana atau tidak menjelma lagi kebentuk lain (Reinkarnasi). Jadi yoga merupakan jalan pembebasan diri manusia untuk menjadi sempurna hingga tidak perlu lagi mengalami reinkarnasi. Puncak tertinggi dalam Hinduisme adalah moksa.
Oh tak perlu mendalami Hinduisme bila anda seorang muslim, cukupkan Yoga sebagai jenis olah  badan yang ditambah mistik. Masih banyak unsur yoga yang positif seperti pengaturan nafas, olah pikir dan mantra, Ingat tinggalkan hal-hal yang bersifat pemujaan sesuatu, sesungguhnya hinduisme berinti pada pemujaan sebagai jalan mendekatkan diri pada ketuhanan. Itulah ritual utama Hinduisme, hindarilah ritual seperti itu!
Pagi hari minggu ini penulis berlatih di sebuah ruko Perwirta regency. Tempatnya sesuai dengan tema penulis yaitu asana. Karena kios tempat berlatih penulis ini adalah praktisi penyembuhan Reiki asuhan Firmansyah Efendi yaitu Reiki Tumo (Tak sengaja penulis menempati latihan ditempat tersebut) Kios dengan lantai bersih diapit dua pot berisi tanaman teratai. Semacam gambaran betapa meditasi selalu diasosiasikan dengan keberadaan teratai yang tumbuh digenangan lumpur dosa.
Tentu penulis mencampurkan dengan latihan bela diri yaitu jurus Pencak Silat. Ah nanti secara perlahan penulis akan membahasnya, begitu banyak olah raga penulis ya.
Terakhir sesi jogging, kali ini penulis menelusuri jalan Parangtritis menuju keselatan. tujuan penulis mencapai rute kampus ISI (Institut Seni Indonesia). He He He penulis secara tak sengaja selalu menjadikan sebuah tempat yang mengandung civitas akademis sebagai rujukan intelektualitas. Biarpun penulis buta masalah pendidikan tinggi tetapi hidup penulis mencoba mendalami dunia dari segi nalar dan logika. Yah biar tidak tersesat dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
Sekitar dua puluh lima menit jogging mencapai rute ISI. Di sebuah gedung UPT Galeri dan UPT Perpustakaan penulis istirahat. Demikian penulis menyajikan semacam kegemaaran dalam hidup.

Sunday, November 17, 2013

Burung-burung beterbangan.

Sekali lagi penulis jalan-jalan ke Monumen TNI AU di Ngoto. Semuanyaa gara-gara virus flu menyerang lagi. Segala kegiatan langsung terhenti oleh penyakit selesma yang menyerang tubuh penulis. Serasa sia-sia segala latihan yang pernah penulis jalani.
Ya tentu penulis memiliki kegiatan sampingan berupa latihan beladiri Pencak Silat, Yoga, dan Jogging atau keluyuran.
Dan penghambat dari semua itu salah satunya adalah virus flu, kemungkinan juga karena gaya hidup penulis yang sering diluar rumah sebagai pemicunya. Bertahun-tahun penulis hidup dari mengasong koran (Oh ternyata sudah sampai sepuluh tahun, kemudian pernah juga dalam bidang jasa afdruk foto manual yang sekarang sudah tak ada lagi pengusahanya karena kalah dengan foto digital). Dan sebagai lanjutan dari afdruk foto adalah jasa stempel.
Jadi penulis hidup dalam dua jenis pekerjaan setiap harinya, pagi buta di perempatan Ringroad mengasong koran dan siang hari sampai sore di sebuah boks kios PKL usaha kecil-kecilan. Lumayan sampai sekarang penulis bisa bertahan hidup di perantauan Yogya. Kadang-kadang penulis beranggapan itu sebagai bentuk  petualangan walaupun tidak seseru tokoh dalam novel. 
Cita-cita sih kepengin jadi penulis terkenal, He He He dan  sekarang lagi coba nih kirim-kirim naskah novel. Isinya yah sebenarnya memang pengalaman penulis di manapun pernah singgah.
Kalau Yoga, ya ini salah satu asana yang dilatih penulis hampir setiap harinya. Satu persatu saja ya,
Asana PASCHIMOTASANA,
-Duduklah dengan kedua kaki merapat dan lurus kedepan. Lengan menyentuh badan telapak tangan menyentuh lantai. Tulang punggung tegak lurus.
-Angkatlah kedua lengan anda, sehingga sejajar dengan lantai.
-Angkat terus, hingga berposisi vertikal dan menyentuh telinga. Telapak tangan menghadap keluar.
-Bungkukkan badan kedepan, peganglah jempol kaki dengan tangan sambil membungkuk semaksimal mungkin (Mencium lutut).
-Pertahankan postur ini selama beberapa saat (Semampunya).
Itulah salah satu yang penulis latih setiap hari, bila senggang tentunya. Oh latihan Asana ini sudah menjadi semacam journal bagi penulis. Jadi untuk meninggalkannya malah jadi aneh. Serasa bukan diri penulis nantinya.
Biarlah kegiatan tersebut terus melekat pada diri penulis, tambahannya adalah kesenangan penulis berupa hobi keluyuran. Tentu didalam hobi tersebut ada yang didapat, semacam oleh-oleh.
Langsung saat hari subuh,  penulis keluar rumah. He He He kali ini sholat subuh tak terlaksana, batuk flu demikian keras membuat tenggorokan penulis sakit dan tidak berkonsentrasi bila sholat.
Seperti biasa keluar rumah jam segitu pasti berjumpa dengan beberapa tetangga yang baru dari sebuah masjid sholat berjamaah. Penulis langsung kabur secepatnya agar tidak kepergok orang-orang tua yang pasti akan menegur karena tak pernah sholat berjamaah.
Jalan terus menuju selatan.Berbelok ke Salakan terus belok menyusuri jalan kecil Saman. Uups sampai di sebuah kuburan Saman, berjumpa seorang lelaki yang dikenal penulis, itu langganan koran Merapi buka bengkel PRES POROKS di jalan Prangtritis depan kompleks Ruko Perwita Regency.
"Hei rep neng ndi esuk-esuk ki?" Tanyanya dari sadel sepeda kayuhnya. Ternyata pengusaha sock breker ini juga hendak bersepeda ria menikmati udara pagi yang menyegarkan. Orang ini memang kemungkinan masuk sebuah club sepeda sport, itu bila dilihat dari model sepedanya yang selalu bermerek mahal jenis sport.
"Jalan-jalan ae, biasa esuk dina minggu mesti metu olah raga." Penulis menjawab, rupanya orang ini sudah biasa melihat penulis memang memiliki agenda saben minggunya jadi tidak bertanya macam-macam. Sering mereka berjumpa dijalan saat hari minggu diberbagai ruas jalan Yogyakarta ini, jadi tidak pernah mencurigai penulis.
"Ayuh aku disitan." Katanya sambil terus meninggalkan penulis yang juga meneruskan langkah.
Cepat saja penulis sampai kesebuah tempat yang termasuk sering singgah. Itulah Monumen TNI AU di Ngoto. Masih sedikit orang yang mengunjunngi monumen tersebut. Beberapa cewek ABG terlihat bergerrombol sambil memainkan HP saling memotret profile sendiri. Penulis menghindari perjumpaan dengan anak-anak ABG tersebut. Tujuan penulis langsung menuju kebelakang monumen memandang sebuah lanskap berupa perkebunan tebu dan pinggir sungai Code yang rimbun.
Sebuah tempat pojok cukup memadai untuk penulis melihat pemandangan alam. Dari ketinggian tempat monumen yang sudah seperti tempat datar karena di beton semen penulis leluasa memandang berbagai lokasi yang mengesankan. Tak lama kemudian tempat tersebut menjadi ramai oleh pengunjung, untung penulis agak tersembunyi tempatnya hingga tak akan ditegur sembarangan oleh orang yang lewat. Bahkan dari jarak beberapa puluh meter terdapat pasangan lelaki dan perempuan pacaran.
Apa yang didapat penulis?
Ya sabar tak gampang memfokuskan masalah di sebuah tempat yang sebenarnya untuk orang lain tak menarik, biasa-biasa saja kesan mereka, itu kemungkinannya.
Selemparan pandang dari rimbunnyaa rumpun tebu, keluar satu, dua terus sampai beberapa kali burung kuntul.
Nah ini dia fokus masalah yang dijadikan bahan tulisan.
Apa yang dicari burung kuntul dibawah kerimbunan batang tebu yang demikian lebat?
Sementara sudah beberapa puluh kuntul tersebut beterbangan keluar dari kerimbunan batang tebu yang belum menua, mungkin awal februari baru dipanen karena belum terlihat bunga bermekaran.
 Oh kemungkinan itu lahan mencari makanan untuk burung kuntul tersebut, hal yang menarik karena kuntul adalah burung ukuran besar yang sampai sekarang belum punah oleh perburuan terus menerus manusia. Dari masa kecil penulis sampai sekarang burung tersebut maih mendominasi kerimbunan pohon beringin dan bambu diberbagai tempat untuk bersarang.
Dan yang penulis lihat ini adalah tempat burung tersebut mencari makanan. Terlihat satu dua burung kuntul tersebut keluar dari kerimbunan batang tebu, satu kemudian langsung meninggalkan tempat terbang entah mungkin menuju sarangnya untuk menyuapi piyik yang menantinya disarang.
Sedangkan burung yang lain kleuar dari rimbunnya batang tebu langsung bertengger di beberapa rumpun bambu dan pohon tinggi kalbasia. Satu burung sempat menclok disatu rumpun kecil bambu paling dekatnya dengan penulis. Tapi begitu menclok sepertinya tahu tanda bahaya sehingga langsung terbang menjauh menjangkau teman-temannya yang lebih dahulu bertengger.
Ngapain ya burung-burung itu bertengger seperti istirahat,
Ya mungkin memang istirahat kekenyangan setelah mencari makan di bawah rumpun tebu yang terhampar luas. Berarti sumber makanan dibawah rimbunnya batang tersebut cukup melimpah, sungguh penulis belum tahu apa-apa yang dicari oleh burung kuntul tersebut.
Ini sebenarnya fenomena yang menakjubkan, bukankah Charles Darwin mendapatkan teori tentang evolusi spesies dari pengamatan terhadap keaneka ragaman burung di suatu lokasi. Yah penulis ingin mencoba menemukan sebuah hal yang sama. Oh paling tidak sedikit membuka tabir rahasia alam. Di kamar kos penulis ada sebuah buku ensiklopedia burung di Jawa dan Bali, sayangnya berbahas Inggris jadi sulit menerjemahkannya. Ya biar sajalah tak usah kita menjadikan bukui tersebut sebagai rujukan, mungkin dari peristiwa yang penulis lihat sudah berkesan sebuah keindahan tersendiri. Itu sudah cukup karena penulis tak memiliki referensi lain untuk menambah pengetahuan lain.
Terus ada sejam keluar burung dari kerimbunan batang tebu, berarti jauh sebelum subuh burung-burung tersebut sudah ketempat ini berburu makanan. Jika saja burung tersebut berbudaya, mereka hanya masuk burung pemburu dan pencari makan. Tapi itu semua penggeraknya hanya sebuah naluri, jadi tak ada unsur intelektualitasnya.
Seekor burung berteriak keras meninggalkan kerimbunan kebun tebu, oh itu jenis burung pelatuk. Itu bisa dilihat dari paruhnya yang lebih besar dan runcing untuk menemukan sarang ulat mangsanya di batang-batang pohon. Ternyata penulis masih sempat melihat burung tersebut sebelum mengalami kepunahan dimasa mendatang. Semoga tak terjadi peristiwa seperti itu, karena betapa gersangnya alam tanpa burung yang beterbangan. Bahkan biarpun itu adalah alam gurun sekalipun.
Sekelebatan penulis melihat seekor burung besar sama dengan elang, tapi bergerak meninggalkan kebun tebu menghilang cepat sekali. Warna burung tersebut memang sangat gelap, mungkin untuk bersembunyi dari serangan pemangsa atau pemburu. Itu memang jenis burung yang hidupnya soliter, mereka hidup sendiri individu dan hanya berkumpul saat musim kawin. setelah itu tidak saling mengenal lagi, dan penulis beruntung sempat melihat sekelebatan bayangannya. Biasanya burung tersebut mampu juga merayap cepat di tanah sehingga tak terdeteksi orang-orang yang lewat. Jumlah burung ini memang relatif sedikit, tidak pernah bergerombol seperti burung kuntul yang penulis saksikan saat ini.
Ada lagi burung puyuh liar, mereka bergerombol anak beranak, berpasangan mencari makanan. Burung ini masih lestari dan tak pernah bisa dikurung manusia, bila ada sedikit lahan kosong cukup luas pasti segera berkembang biak menurunkan keturunan. Diladang-ladang pertanian pun mereka sering terlihat, bergerak cepat saat didekati sempat terbang tapi hanya beberapa meter setelah itu berlari sembunyi memanfaatkan bulu-bulunya yang sesauai dengan rerumputan sekitar.
Cukuplah penulis melihat gejala alam di sebuah tempat yang tidak sengaja telah menjadi komunitas hewan. Padahal di seberang sungai beberapa ratus meter, kendaraan bermotor lalu lalang menimbulkan polusi dan mengancam hewan liar yang terdesak bingung saat tak bisa lewat menyeberang. Banyak binatang seperti katak tak mampu menyeberang langsung disambar mati begitu saja oleh pengendara yang lewat. Dan sedikit tempat aman ternyata itu adalah kerimbunan kebun tebu dan pinggir sungai Code, aman tentram dan sunyi tanpa kegaduhan dunia manusia. Mereka tak peduli akan kehancuran masa mendatang, asal kodratnya terpenuhi mereka berkembang dalam keterbatasan kemampuan yang mereka miliki.
Penulis merasakan panas mulai menyengat, beberapa pengunjung silih berganti berdatangan mengunjungi tempat wisata gratis ini. Penulis beranjak pergi, menyusuri sebuah jalan didalam monumen yang sangat teratur rapi melebihi jalan kampung. Mungkin karena anggarannya di turunkan langsung dari sebuah instansi militer di Indonesia.
"Zaah....Huszaaahhhh!!" Terdengar teriakan seorang petani yang sedang menunggui bulak sawahnya. Padi mulai menguning membuat burung pipit beterbangan mencari makan biji-bijian. Itu lagi jenis burung pemakan biji-bijian yang mungkin membuat inspirasi Darwin untuk menyimpulkan sebuah teori evolusi spesies. Burung pipit kecil ini menjadi hama pertanian, terkadang diburu oleh manusia untuk dijual untuk mainan anak kecil atau ditembak sebagai olahan lauk nasi.
Sekian dulu, hujan deras mulai mengguyur, penulis sudah tentram dalam buaian alam mimpi.By by

Sunday, November 10, 2013

Lanjutan situs beteng Mataram Kota Gede

Penulis mulai menjabarkan tentang Yoga, inilah hasil latihan selama beberapa puluh tahun. Penulis mengenal Yoga sejak kecil, tetapi melatihnya secara intensif baru tahun 1998 saat merantau dan bekerja di sebuah peerusahaan HPH di Kuala Kurun.
Apa itu yoga?
Penulis tak perlu menrangkan dari definisi  atau apapun pengetahuan masalah Yoga. Tidak perlu membahas dari asal-usul sampai pertentangannya dengan agama. Penulis menyadari bahwa yang didapat dari praktisi Yoga ini hanya berupa latihan rutin, itupun hanya sebagian kecil daari bidang Yoga yang demikian luas sesuai versi ahli Yoga yang lain.
Bagaimana cara laatihannya?
Sederhana saja, penulis mulai  menerangkan dari segi praktek yang dilakukan. Inilah teknik-tekniknya,
Sikap atau postur dalam bahasa sansekerta di sebut Asana. Nah inilah Yoga yang dilatih penulis hingga menjaddi jenis praktisi. Oh ya penulis tak pernah berpikir tentang apakah berlatoih yoga berarti menjaddi pertapa? Ya tidak pernah sampai kesana, juga bila disebut sebagai asketisme pun penulis sering bingung. Soalnya hingga detik ini biarpun berlatih yoga tetap saja hidup penulis normal di masyarkat.
Memang dalam berlatih sering sembunyi-sembunyi karena tak bisa memamerkan latihan tersebut sebagai konsumsi umum. Sangat tidak logis menjadikan latihan untuk ajang pamer "(itu pendapat penulis).Penulis mencoba membeberkan  jenis Asana saja, itupun tidak langsung semuanya.
Oke....
Asana versi I,
-Paschimotasana (Mencium lutut)
-Padmasana (Teratai)
-Postur menyilangkan kaki
-Vakrasana I (Miring)
-Mahamudra (Sikap utama)
-Vakrasana II
-Sirsana
-Halasana (Postur cangkul)
-Pada Hastasana
-Virasana
Penulis belum akan menerangkan jenis asana yang dilatih tersebut. Biarkan semuanya menjadi sebuah tulisan berdasarkan peristiwa atau kegiatan penulis yang lain.
HAri minggu hobi penulis jalan-jalan pasti ada sebuah oleh-oleh. Itulah yang lebih suka penulis terangkan untuk menjadi semacam artikel.
Kali ini penulis jogging menyusuri ring road selatan menuju timur.Start dari eks akmpus STIEKERS menuju selatan sampai ringroad. Dari perempatan jalan Parangtritis belok ke timur mencapai hotel Ros Inn. Setelahnya terus penulis berlari kecil mencapai perempatan Wojo kemudian melibas jembatan kali Code menyusuri sebuah kebun tebu desa tamanan bahkan akhrinya sampai di kampus Universitas Ahmad Dahlan. sampailah penulis di terminal Giwangan. Masih diteruskan lari pagi.
Stop!!
Jogging tak bisa dilanjutkan, ternyata sebuah proyek perbaikan jalan yang mengalami kerusakan sedang berlangsung. Tak mungkin kaki ini berlari dijhalan yang demikian kasar berbatu berlari. yah kaki penulis memang tak beralas alias nyeker.
Jalan rusak itu dahulu karena erosi saat hujan beberapa bulan yang lalu, ternyata kerusakan termasuk parah hingga perbaikan cukup lama sampai lebih dari dua bulan. Ini yang tidak diketahui penulis dulu saat habis hujan dan penulis jogging di areal tersebut ternyata telah memakan korban jiwa penduduk setempat. Orang tersebut bersepedda onthel mungiin karena hari massih gelap (Subuh) jadirnya tak melihat di depannya jalan telah menganga lebar sekali. Jatuhlah oraang tersebutt tanpa diketahui siapapun. Dan ternyata orang tersebut dittemukan telah meninggal dunia siang harinya. Ah kejadian tak terduga siapapun bisa menemui ajal dimanapun berada.
Tak bisa melewati jalan tersebut akhirnya penulis berbelok menuju sebuah gang kecil menuju utara. Oh sebenarnya penulis sudah tak tahu arah, belok kekiri itu menurut penulis menuju utara. Ini jalan kecil yang bila ditelusuri kemudian belok lagi kegang sempit yang tak beraspal hanya jalan berkonblok masih di wilayah Umbulharjo. Tepatnya di tepi kali gajah Wong.
Segera penulis menemui suasana teduh tepian sungai besar yang mengalir membelah kota dan kecamatan Banguntapan. Jalan ini menyusuri saaluran irigasi untuk lahan pertaanian. sangat teduh hingga membuat hati adem tentrem.
Ya ini sungai gajah Wong merupakan sambungan sungai dari kodya Yogyakarta yang mengalir membelah kota gede. Jadi merupakan sungai yang pasti dulunya bercerita tentang sebuaah keraton bekas Mataram. Keadaan sungai masih asri walaupun air sungai tak lagi bersih karrena sampah cukup banyuak dialirannya. Yang berkesan bagi penulis adalah disaluran irigasi ini seperti menjadi destinassi wisata sungai seperti Code. ya tetapi wisata di sungai gajah Wong bagian hilirnya ini terassa bersuasana pedesaan. Umbulharjo dan Jagalan, teernyata nama umbul mengena di tempat ini. Penulis langsung melihat sebuah papan nama yang menyatakan adanya sebuah mata air (Umbul) di bawah saluran air tepat dibawah jalan kecil yang penulius sedang menyusurinya. Terdata itu mata air yang diresmikan oleh Keraton Yogyakarta tertanggal 21 april 20013. Jadi merupakan sebuah umbul yang pasti memiliki kaitan dengan keraton yang masih eksis tersebut. Padahal sepintas melihat dari atas umbul tersebut biarpun berair tapi alirannya tak deras mungkin hanya bisa untuk cuci muka saja. Entahlah penulis mungkin salah perkiraan, soalnya beberapa meter dari umbul tersebut ada banguanan tertutup yang kemungkinan merupakan tempat penampunagn air untuk berbagai keperluan masyarkat. tak ada petunjuk mistik terkait dengan umbul tersebut.
Terus penulis menyusuri tepian kali gajah Wong tersebut, beberapa bangunan rumah seperti di kali Code tidak seberapa banyak. Rupanya banyak larangan mendirikan rumah mengahdap tepi sungai untuk pelestaarian sempadan sungai. Mungkin yang berani membangun orang-orang yang telah memiliki sertifikat tanah.Keadaan tepi sungai ini masih asri sampai dijalan beraspal menuju Jagalan. sampai di jembatan penulis sempat memandangi lanskap yang ada, ada kampung tepat berada di ujung bendungan irigasi hulu saluran pertanian. Kesanalah penulis menyusuri, bangunan rumah yang ada termasuk kumuh biarpun semuanya semi permanen. Kemungkinan tanah tersebut sebenarnya bukan hak milik karena tepat di saluran irigasi yang tentu akan bertabrakan dengan ebrbagai proyek perbaikan nantinya.
Kesanalah penulis menyusuri hingga mencapai bendungan tersebut. kali ini bendungan tersebut menampilkan genangan air seperti kolam yang luas hingga kemungkinan biassa orang memancing didam tersebut. Buktinya ada sebuah warung angkringan yang pagi itu mmasih tutup, kemungkinan mengandalkan ramianya pehobi mancing.
Dipinggir bendungan tersebut ada beberapa mata air yang digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan, juga beberapa kolam pemeliharaan ikan. Semoga mata air yang ada ini tetap lestari, soalnya melihat perkembangan bangunan yang ada diatasnya jelas bakalan menghisap air bawwah tanah sampai habis, itulah perkembangan pesat kota besar di Indonesia. 
masih penulis menysurinya sampai masuk kampung Jagalan, baru berakhir di jalan besar dimana terdaapt hotel besar Omah Duwur. Berakhirlah acara jalan-jalan penulis.
Yang berkesan dari penulis adalah setiap masuk kampung tentu merasakan keakraban dan keindahan tata kampung, mungkin inilah sebabnya biarpun seorang turis bule mencoba masuk kampung supaya mereka lebih mendapatkan kesan mendalam urusan kehidupan langsung di depan matanya. Jadi asalkan kita menata kampung biarpun tidak wah tetap saja akan berkesan bagi pendatang.

Fenomena orang gunungkidul di Yogyakarta.

Keluyuran dan jogging sudah mendarah daging dalam diri penulis. Memang tidak sesering beberapa tahun yang lalu. Tapi jogging dan keluyuran itulah yang banyak menjadikan penulis menemukan banyak bahan tulisan. Entah hobi ini bisa nggak ya disebut petualangan?
Ah  rasanya tidak sampai seperti seorang adventur yang bepergian mengelilingi dunia dengan berbagai tujuan. Penulis hanya keluar rumah kemudian berjalan kaki atau menggunakan sepeda onthel menuju keberbagai  tempat menarik disekitar Yogya.
Mungkin bisa disebut back paper, tapi juga tak mutlak karena jarang dalam perjalanan penulis membawa perlengkapan lengkap. Pokoknya keluar rumah kemudian bersepeda atau berjalan kaki menyusuri jalan hingga blusukan kekampung orang.
begitu juga beberapa hobi penulis seperti berolah Yoga dan berlatih Pencak Silat, rasanya bentuknya amatir tanpa pernah berkeinginan masuk komunitas manapun. Bahkan latihan sudah berlangsung entah beberapa tahun (mungkin mulai umur delapan tahun), penulis mengenal jenis praktisi dalam berbagai praktek latihan secara massal dan perorangan melalui perguruan dan pendalaman literatur(buku dan artikel dimedia massa). Bisa dikatakan tingkatnya autodidak.
Penulis mulai menyinggung Yoga dan Pencak Silat karena mungkin dalam beberapa tulisan mendatang akan memasuki hal tersebut sebagai bagian kecil hidup penulis.
Sebelum jogging dilaksanakan penulis pasti berlatih campuran antara Jurus dan Asana Yoga. memang penulis mendapatkan keduanya hampir bersamaan dan tak terpisah walaupun sebenarnya bidangnya berbeda. Pencampuran jenis latihan ini tak mengakibatkan pertentangan dalam batin penulis.
Saat ini latihan dipagi hari setelah sholat subuh, penulis keluar menuju teempat favorit di sebuah ruko Perwita Regency disebelah  utara berhadapan dengan padang ilalang eks Sekolah Tinggi Ekonomi Kerja Sama di Salakan.
Yang pertama adalah latihan Jurus, berupa hafalan dua jurus dengan tubuh bagian kanan dan tubuh bagian kiri untuk menyeimbangkan kemampuan (Walaupun dalam kenyataan tetap lebih kuat tubuh bagian kanan).
Setelah itu adalah berbagai jenis pemanasan berupa scot jump, push up dan sit up dengan hitungan tertentu. Barulah setelah itu latihan campuran Asana dan peregangan. Ah nanti dalam tulisan lain kita akan membahas berbagai pendalaman materi Yoga dan Jurus. Soalnya itu adalah termasuk prestasi penulis dalam menapaki hidup.
Ah inilah hasil keluyuran penulis berupa artikel sosial, fenomena orang gunungkidul di yogyakarta.
Ini gara-gara tempat tinggal penulis adalah sebuah kos-kosan yang dominan terdiri dari orang-orang Wonosari.
Seseorang menyapa penulis saat baru pulang dari rutinitas hobi keluyuran dan latihan.
"Jalan-jalan  neng endi Mas?" Pak Min bertanya sebagai basa- basi pertemuan pagi hari. Beliau bekerja sebagai pengrajin kulit untuk disetor keberbagai out let di sekitar Yogya. bahan baku kulitnya sendiri bukan lembaran kulit yang pasti mahal harganya tapi adalah limbah dari berbagai jenis meubel untuk orang kaya, dari limbah kulit tersebut bisa dirangkai dengan dijahit untuk membuat kerjinan tangan berupa tas, ikat pinggang, dompet, gantungan kunci dll.
Itulah kenapa penulis sering kagum terhadap kreatifitas orang Yogyakarta, mereka begitu benyak memiliki ketrampilan sebagai pengrajin untuk industri kreatif. Rasanya disudut manapun di Yogya akan kita temui fenomena tersebut. Dan pastinya sebagian besar adalah pendatang dari Wonosari (istilah untuk orang gunungkidul).
"Oh aku jalan-jalan di Kotagede pak Min." Penulis menjawab pertanyaan tetangga tersebut.
Ya mau apa lagi berbagai kegiatan penulis itu seperti rahasia saja, tak mungkin dibeberkan semua kepada orang lain. Bentuknya yang merupakan audiensi pribadi dengan aktifitas hampir menyerupai ritual menyulitkan penulis berdiskusi dengan orang lain yang tentu hampir seumur hidupnya tak mengenal dunia yang penulis geluti.
"oh hendak setor barang ke Malioboro ya?" Penulis berkomentarr saat melihat tumpukan tas kulit siap dibawa menuju out let."Ha Ha Ha cair nanti nih, langsung dah kita beli bakso kribo." Penulis bercanda.
"Ha Ha Ha memang Mas, setor tapi langsung munggah ke gunung menengok saudara kesripahan(layat)." Pak Min memberitahu.
"Oh langsung ke semanu, wah pasti ramai sekali." Komentar penulis.
Semanu itu sebuah kecamatan kalau nggak salah disebelah timur Wonosari. Daerahnya berupa perbukitan kapur sangat gersang.
"Oh ya nanti semua juga mantuk Mas." Pak Min memberitahu.
Ya benar tetangga dikamar sebelahpun semua orang Semanu. Mereka ternyata berkumpul disebuah deretan kamar untuk bernaung dan mencari penghasilan. Kok nggak dikampung sendiri saja ya?
Itulah fenomena orang-orang gunungkidul, mereka merantau dari tempat kelahirannya, menyebar diberbagai daerah sekitarnya yaitu Bantul, Kodya Yogyakarta, Sleman dan berbagai daerah sekitar Jawa Tengah dengan ikatan famili dan kedaerahan yang sangat kuat.
"Di gunung bertemu di kota bertemu lagi" Penulis sering berkata seperti itu.
Bagaimana lagi, orang-orang ini merantau mencari pekerjaan diberbagai kota bahkan hingga ibu kota Jakarta tapi tetap dalam ciri khasnya, sebuah daerah bergunung-gunung rangkaian gunung seribu sebagain diantaranya adalah bukit karst. Mereka begitu tegar mencari pekerjaan bahkan tak peduli biarpun hanya menjadi tukang rosok (pemulung), penjual makanan (bakso, mie ayam, penjual angkringan sampai pengrajin kulit dan menjadi buruh apa saja. Yang tak pernah ketinggalan adalah mereka tetap berkumpul dalam komunitas pergaulan pedesaan. Tak pernah tercerabut dari akar asal-usulnya.
Hidup mereka menurut pendapat penulis adalah menomor satukan acara desanya, jadi jangan heran apapun bila ada sebuah acara didesa yang harus melibatkan keikutsertaan mereka langsung berbondong-bondong pulang kedesa.
Acara-acara itu bisa berupa bersih desa (Rasulan), yang menjadi even semacam festival. Kemudian tradisi rewang (membantu gotong royong)dalam setiap hajat keluarga besar. Misalnya perkawinan, kematian, kelahiran. Nyadran setiap menjelang bulan puasa atau bahkan hal remeh temeh seperti menengok orang sakit tetap dilakoni mereka walaupun harus meninggalkan pekerjaan utama.
Tak heran dalam sebulan pasti ada seorang atau sebuah keluarga yang mudik kembali kekampung walaupun itu hanya sehari atau hitungan jam saja (soalnya jarak antara yogyakarta dengan semanu contohnya, itu hanya ditempuh dua jam saja dengan mengendarai motor).
Anehnya mereka tetap menyatakan diri mereka merantau, mereka membentuk paguyuban perantau dari Gunungkidul dalam bentuk acara arisan, halal bihalal atau semacam perkumpulan kesejahteraan berbentuk satu profesi.Dan tak pernah ada seorangpun dari gunung kidul itu menghindari dari komunitas masyarakat tersebut, bahkan untuk orang yang sudah lahir di Yogyakarta sekalipun. Mereka diusahakan tetap kembali kekampung halamannya atau dianggap sebagai berasal dari Wonosari. Soalnya penulis mengenal beberapaa teman yang semuanya kelahiran Yogyakarta tetapi mereka tetap ber KTP Gunungkidul. Rupanya tetap ada kebanggaan diri sebagai orang gunungkidul walaupun tahu kota Yogyakarta merupakan kota yang lebih besar dari kampungnya sana.
Dan disudut manapun di kota Yogyakarta pasti mendapati mereka dalam berbagai pekerjaan. Beberapa stereotip mereka adalah berpendidikan rendah, pekerja kasar tak menyurutkan mereka untuk tetap merantau. Tapi juga tetap kembali kekampung bila ada sebuah acara didesanya. Gunungkidul adalah kabupaten gersang yang masuk kategori tertinggal. Konon pendapatan anggaran belanja daerah tersebut tujuhpuluh persennya hanya untuk upah pegawai negerinya saja. Karena itulah daerah ini sangat terkenal dengan fenomena kemiskinannnya, kekeringan yang melanda berbulan-bulan hingga harus mendapat dropping air dari luar daerah dll. Kalau pemandangan alamnya cukup menjual untuk daerah wisata, kemudian mungkin berbagai festival kedaerahan mungkin bisa untuk dijadikan agenda pariwisata. sampai saat ini Gunungkidul masih mengandalkan wisata pantai sebagai primadona.
Fenomena lain ya itu thiwul, makanan ini adalah nasi palsu, orang Indonesia kalau belum makan nasi belum makan namanya. Karena sulit menanam padi bahkan dominan singkong maka hasil tersebut dibuat sebagai pengganti nasi. Nasi thiwul, berupa gaplek di tumbuk menjadi butiran sehingga menyerupai nasi. Itulah makanan pokok orang gunungkidul saat paceklik melanda, dan hampir setiap tahun pasti ada daerah kecamatannya yang mengalami kekurangan pangan tersebut. Karenanya secara lokal mereka bertahan dengan mengkonsumsi thiwul.
Oh kalau melihat bagaimana keadaan tanahnya, penulis pun terbelak.
Hampir-hampir tak percaya akan penglihatan tersebut.
Tanah-tanah berupa batu digempur untuk mendapatkan sejengkal tempat menanam singkong atau kacang tanah begitu keras menghitam hingga disebut batu bintang.Pepohonan hanya berupa hutan jati yang toleran dengan tanah berkapur tinggi, air sebenarnya ada tapi jauh berada dalam tanah dibawah bukit, hampir tak mungkin mengangkatnya keatas tanpa bantuan mesin penyedot.
Dan rumah-rumah kuno berbahan kayu menyambut penulis bila berkunjung kedaerah tersebut.

Sunday, September 29, 2013

Pandai besi di Krapyak

Hari minggu tempat kos penulis ada kematian tetangga sebelah. Tempatnya persis didepan kamar kos yang penulis tempati. Segera hari yang cerah itu menjadi berkabung dengan berbagai pernik prosesi upacara kematian. Penulis ikut membantu sekedarrnya untuk menambah kerukunan antar warga.
Sehari sebelumnya almarhum saat sore  sudah mulai menunjukan sakit, keluarganya segera membawanya  menuju rumah sakit Wirosaban. Ternyata beliau didiagnosis gula sejak lama, dan pagi harinya ternyata tak mampu lagi menurunkan kadar gulanya yang sangat tinggi. Beliau meninggal dengan tenang sekali dan tidak menimbulkan kerepotan yang berarti. Ah penulis pun berkeinginan bila menuju kematian  secepatnya saja tak perlu lama menderita penyakit yang begitu berat. tentu kasihan  orang lain yang akan merawat penulis bila banyak menderita penyakit. Ah itu sih hanya keinginan penulis,  takdir tentu akan bicara lain.
Yang penulis bahas bukan tentang kematian beliau, tetapi ternyata pekerjaan almarhum merupakan profesi yang sudah langka. Itulah dia beliau ternyata seorang Pandai besi.
Pembaca  tahu profesi semacam  itu?
Biarpun banyak literatur yang membahas tentang pekerjaan yang sudah kuno ini tetapi jaman sekarang mendapatinya lebih susah dari pada bertemu dengan seorang pembuat program komputer.Karena itulah langsung penulis membahas pekerjaan yang sudah langka ini.
Oh ternyata penulis beruntung, bukan cuma bapak yang sudah meninggal itu saja yang bekerja sebagai pandai besi. Ada seorang teman dari kampung krapyak menjalaninya dan penulis mengenalnya dengan baik. Lagi pula bengkel kerjanya  juga hanya dalam jarak lima puluh meter saja. Benar-benar tak pernah memperhatikan  sebuah  obyek yang mungkin ditahun-tahun mendatang sudah lenyap karena regenerasi seorang pandai besi tak  ada lagi.
     Thang!      Thaang!     Thang!
Begitulah bunyi besi  di pukul. itu adalah palu besar untuk meenempa besi yang membara kemerahan panasnya  mencapai lima ratus derajat celcius. He He He kalau seribu derajat jadilah besi itu mencair bisa dicetak menjadi bentuk apa saja.
"Hei Genjuk, isa ra kowe nempa wesi iki?" Lejong berkata saat penulis hadir di bengkelnya.
Huh penulis dipanggil Genjuk ittu nama jelek orang Jawa seperti halnya Lejong itu ya nama jeleknya pandai besi teman penulis tersebut. Kalau nama aslinya penulis pun sering lupa.
"Kene jajalen!" Penulis langsung tertarik mencoba.
Langsung dengan bergaya penulis memegang sebuah palu yang beratnya minta ampun untuk di coba memukulnya kebesi membara yang dipegang oleh  lejong dengan sebuah tang raksasa.
Begitu penulis memukul langsung salah seorang berteriak,
"Hati-hati bisa meleset malah celaka tanganmu!" Katanya dengan muka ngeri saat meelihat gaya pukulan penulis menempa besi. begitu juga dengan Lejong yang memegang besi membara dengan tang, terlihat oleng karena pukulan penulis tak tepat sasaran.
"Wah susah nih anak, tak berbakat menempa besi." Lejong berkomentar menyudahi perintah agar penulis tak meneruskan  memukul palu.
"Wis kene ben wae aku sing neruske gaweane!" Orang yang tadi berteriak memperingatkan penulis segera mengambil alih.
"He He He memang belum pernah menempa  besi kok mass, ya harap maklum kalau salah." Penulis tak mau juga melanjutkan gerakannya yang banyak salah saat menempa. Ia tahu tak gampang memukul palu karena gayanya harus menyesuaikan dengan benda yang di tempa. Resiko kecelakaan termasuk tinggi, itulah pandai besi.
Akhirnya penulis hanya menjadi penonton, 
Itu bengkel kerja milik Lejong, orangnya tinggi besar tapi kurus kering karena terampas oleh kebiasaannya minum alkohol, orangnya selalu terlihat mabuk. Mungkin bila tak minum malah orangnya tak percaya diri. Dari jalan nya yang sering goyang kemudian dari mulutnya yang bau harum, ya sudah inilah manusia yang bisa disebut pendekarr mabuk........ Jadi bukan hanya Jacky Chan saja yang berhak mengklaim julukan itu. 
Saking seringnya mabuk beberapa kali kecelakaan selalu berhubungan dengan kondisinya yang terpengaruh alkohol. Pokoknya posisinya selalu disalahkan. Mungkin bila dituntut hukuman pidana ya sudah mendekam beberapa kali di istana gratis tersebut.
Ah lebih menarik  profesinya ini, kali ini orangnya sedang mendapat order membuat linggis dari besi yang sudah berbentuk lingkaran dengan diameter tiga cm.Lumayan besar unttuk ukuran sebuah linggis, Ujung besi yang biasanya penulis lihat sering untuk tulang beton cor tersebut di panggang dalam bara arang dari kayu yang dikipasi dengan sebuah kipas angin listrik. 
Dulunya alat pengempos angin agar bisa mendapat nyala besar dengan batang bambu petung yang dilubangi, jadi semacam alat pompa besar untuk mendapatkan angin lebih besar. kini semuanya tergantikan oleh adanya kipas angin listrik. Sudah kemajuan juga rupanya.....
Tapi teknik menempa dari dahulu hingga sekarang tetap sama. Disinilah yang tak bisa di hapus, kerja manual seorang pandai besi tetap tak tergantikan oleh mesin yang paling canggih seperti apapun.
Begitu juga cara meemotong lempengan besi maupun besi lingkaran,  semuanya ada tekniknya yang mana cara tersebut adalah ada sudah sejak jaman purba. He He He jadi lejong dan pandai besi lainnya termasuk benda langka yaa.
Terkadang ada juga teknik untuk membuat semacam kunci sederhana, baut sederhana, patok besi dan berbagai benda yang sudah kekinian. Kalau benda sepeti cangkul, sabit, parang wah sudah tidak jaman lagi. Jarang orang memesan barang seperti itu. Paling banyak justru menempa besi untuk ujung pagar. Hiasannya sering tak bisa dengan cara dilas, nah ujung yang besi pagar yang tak bisa dibentuk dengan teknik mengelas itu menjadi bagian tukang pandai besi.
Sebaliknya pandai besi juga menyerah bila melihat hiasan yang harus dibuat, itu harus dengan cor-coran cetak tak mungkin ditempa teknik pandai besi.
Thang!     Thaang! Thang!
Itulah bunyi khas besi beradu besi, sebuah ujung besi membara ternyata bisa dipotong menjadi dua dan masing-masing diantara keduanya kemudian dibentuk menjaddi benda yang berguna bagi misalnya seorang tukang kayu dan tukang batu.
Kalau peenulis selalu berimaginasi bagaimana bila punya sebilah samurai, tentu sangat gagah menyandang samurai Jepang. Padahal penulis bukan seorang ahli mengayunkan senjata tersebut. Ah beegitulah dari benda berfungsi perang ternyata hasil pandai besi ini juga kebanyakan hanya menjadi setingkat souvenir, nah kalau jadi souvenir biarpun kita bergaya perang atau bergaya pendekar, seorang samurai atau ninja semuanya hanya gaya belaka. Tak ada orang yang akan menantang duel karena tak mungkin anda seorang ahli pedang.
uuuts kalau keris sih itu kehormatan seorang Jawa. Lebih sulit lagi menempa besi menjadi sebuah keris. Diperlukan tingkat seorang empu sebagai keahlian khusus. Yang penulis saksikan ini cuma seorang pandai besi yang mencari order kepasar setempat untuk membuat barang yang laku dipasar. Untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja ia masih kekurangan, apa lagi ditambah dengan kebiasaannya mabuk ya sudah order pun jarang mampir dan dapurnya selalu terancam tak berasap. Dalam hidupnya si Lejong ini lebih mementingkan mabuknya ketimbang keluarganya. itu terlihat dari kebiasaanya yang tak pernah bisa lepas dari oplosan.....(mengikuti lagunya sagita).

Sunday, September 1, 2013

Panahan gaya Mataraman.

Ini oleh-oleh penulis saat jogging di alun-alun selatan kota Yogyakarta.
Hari minggu tanggal 1 september 2013. Pagi hari seperti biasa rutinitas jogging telah mengantarkan penulis di lokasi alun-alun selatan. Sambil berlari-lari kecil mengitari lapangan Alun-alun.Setiap hari minggu biasanya ada penyelenggara senam aerobic yang mempergunakan lahan lapangan untuk kegiatannya. Biasanya kegiatan senam masal tersebut di lakukan tepat di depan Sitihinggil Dwi Abad.
Tapi hari itu senam massal tersebut tidak terselenggara, yang ada justru persiapan even olah raga dari sebuah aula milik keraton yang dijadikan sebagai markas KONI. Nah kali ini ternyata even tersebut bernuansa tradisional yaitu lomba memanah.
Sambil melakukan jogging penulis memperhatikan berdirinya sebuah panggung yang sudah berisi seperangkat gamelan dan berbagai sarana berupa sasaran peluncuran anak panah. Ada terdengar lagu-lagu pop dengan iringan musik gending lelagon. Cukup membuat penulis tahu sebenarnya betapa banyak kreatifitas yang berbasis kebudayaan Jawa yang mampu bertahan dijaman modern  ini.
Pernah dengar olah raga panahan?
Oh itu termasuk jenis beladiri kuno, hampir setiap kebudayaan dari yang paling primitif sampai yang berkembang sekarang ini semuanya mengenal panahan sebagai salah satu alat perang dan alat berburu untuk bertahan hidup.
Dari jaman kejaman ternyata bentuk senjatta traadisional panah sama di manapun berada baik itu ddidalam neegeri maupun luar negeri. Ibarrat senjata itu adalah  tonggak keemajuan sebuah bangsa teernyata panah adaalah hassil kebudayaan yang meengglobal sejak dari jaman purbakala. Jadi tak heran biarpun seorang misalnya di Amerika serikat yang paling maju sekalipun tak akan tidak tahu senjata tradisional ini. Simbol-simbol tertentu yang memakai tanda anak panah berada dimanapun tak terkecuali dalam gagget pembaca.
Dalam olimpiade cabang panahan selalu terselenggara tak pernah ada suara sinis untuk menghapus sebagai kejuaraan walaupun penggemarnya minim. Ya di manapun berada sekarang olah raga panahan dilakukan oleh seglintir orang. Kemungkinan itulah yang menjadikan olah raga ini sebenarnya harus di lestarikan untuk mendulang prestasi.
Beberapa bangsa menjadikan panahan ini sebagai simbol negara, salah satunya adalah Bhutan. Di Indonesia berbagai daerah menjadikan tombak dan tameng sebagai simbol identitas daerahnya. Tapi dalam kesehariannya sulit merealisasikan simbol tersebut sebagai jenis olah raga. Oh ada itu di Nusa Tenggara ada lomba tarung dilakukan diatas kuda dengan senjata tombak untuk menyerang lawan. Tapi yang dipentingkan  adalah lomba mengendalikan kudanya. Itu karena barkaitan dengan daerahnya yang memang menghasilkan kuda jempolan.
Jadwal penyelenggaraan lomba memanah ternyata jam delapan WIB, tak mungkin penulis bisa menyaksikan ketrampilan meluncurkan anak panah kesasaran. Soalnya penulis sudah kecapean, pulang kemarkas mengistirahatkan tubuh.
Tak apa-apa, lomba ini adalah berupa panahan gaya Mataraman.
Sekali lagi ini hal yang di ketahui oleh peenulis, gaya panahan Mataraman di lakukan dengan duduk bersila dilapangan. Jadi jangan kaget bila dalam lomba tak ada peserta yang memakai standar olah raaga panahan yang di selengarakan dalam Olimpiade.
Disinilah bedanya lomba teerssebut dengan jenis olah raga ini dimanapun. Peserta duduk bersila, oi itu mirip sebuah sikap meditasi dalam olah spiritual.
Ya disinilah tradisi panahan gaya Mataraman menemukan metode melepaskan anak panah mencapai sasaran. Bersila merupakan upaya menghormati kepada sesuatu baik itu terhadap yang maha kuasa maupun kepada seorang raja. Dan yang paling penting duduk bersila adalah khas semadi spiritual yang dimiliki budaya Mataram. Sikap ini sudah dilakukan berabad-abad lalu jauh sebelum agama islam mempengaruhi orang Jawa.
Penuliss di Alun-alun masih berlari-lari kecil sambil berpikir tentang adanyaa  lomba panahan gaya Mataraman ini. Ternyata masih terselenggara baik walaupun tingkatannya tak mungkin mencapai kejuaraan Nasional. Ini karena biarpun sesama Jawa tak semuanya menjadikan keraton sebagai pemersatu kebudayaan. Semua orang tahu keraton tingkatannya adi luhung, tetapi untuk kekuasaan dibeberapa wilayah misalnya di Banyumaas semuanya adalah keebudayaan rakyat. Keraton menjadi kebudayaan tersendiri yang dianggap adi luhung tapi tidak akan di lakukan oleh kawulnya yang memiliki tradisi sendiri walaupun dianggap lebih rendah.
Buktinya adalah beberapa tari seperti jathilan, lengger, tayub tak ada di keraton. Jenis tari tersebut berada di masyarakat walaupun ketika terselenggara sering dikonotasikan kebiasaan negatif seperti prostitusi dan ritual kerasukan.
Beberapa pengunjung yang heran telah bertanya tentang adanya even unik ini. Tak semua orang tahu agenda kejuaraan panahan gaya Mataramaan ini. Begitu juga siapa saja atlet  yang menjuarainya. Mungkin pesertanya adalah partisan, datang dan langsung mendaftarr unttuk kemudian mengikuti tingkatan juaranya. Tak apa lah paling besok sudah ada beritanya di media daerah.
Sebelum pulang penulis menyempatkan diri beristirahat di sebuah warung angkringan. Segelas teh hangat di seruput pelan-pelan untuk mendapatkan sensasi segar. Sebagian pengunjung adalah pelanggan termasuk penulis walaupun tidak setiap minggu di alun-alun ini. Penulis cukup mengetahui beberapa pengunjung seperti gerombolan perempuan cerewet adalah menjadikan warung angkringan ini  sebagai tempat arisan kecil-kecilan.
Beberapa pengunjung lelaaki pasti bertanya tentang even panahan gaya Mataraman tersebut, inilah catatan penulis.
"Wah kok tempat sasarannya sampai ke pinggir seperti itu? Apa tidak berbahaya untuk penonton nantinya? Berkata seorang pengunjung warung meengomentari beberapa kekurangan penyelenggara.
Seorang yang lain  juga berkomentar," Ya itu bagaimana nanti kalau ada angin besar, tentu anak panahnya akan meluncur keluar dari sasaran tembak." Katanya memandang sebuah resiko yang bisa terjadi dalam sebuah kejuaraan.
Penjual warung pun berkomentar, "Mungkin nanti pinggir lapangan itu akan di tutupi saat lomba sudah  terselenggara. sayang waktunya sudah siang jadi nanti penonton pasti banyak yang kepanasan karena berada di tempat terbuka."
Seseorang lain berkata, "Bawa saja peserta dari Papua, mereka punya jenis panah yang sangat besar tentu sangat ramai nanti." Katanya sambil bergaya membetot busur untuk melepaskan anak panah sesuai gambar dari suku pedalaman di salah satu provinsi Indonesia.
Begitulah penulis mengakhiri jogging hari minggu itu dengan oleh-oleh  sebuah tulisan dalam blogg. 

Saturday, August 24, 2013

hobi jogging

Di sini penulis mencoba membahas hobi yang dilakukan setiap hari minggu. Dalam seminggu penulis hanya mampu melakukan kegiatan ini sekali saja. Waktunya pagi hari setelah sholat subuh.Hari minggu penulis meliburkan diri dari aktivitas pekerjaan yang tentu sering membuat stress atau tertekan secara kejiwaan. Sebagai pelariannya salah satu diantaranya melakukan jogging. Jogging dalam teks olah raga merupakan jenis lari menempuh jarak cukup jauh tapi dengan irama yang lebih santai dari pada lari maraton. Maraton lebih merupakan lomba lari menempuh jarak yang sudah tertentu yang tentu harus mendapatkan seorang juara.
Setiap melakukan jogging di tempuh dengan jarak tertentu dan rute berganti-ganti. Kali ini penuliss menempuh rute dari depan eks Kampus STIEKERS menuju jalan Malioboro. Sebenarnya rute ini sudah bertahun-tahun di lakukan penulis. Tapi baru kali ini penulis menjadikannya sebagai bahan tulisan.
Sebelum jogging di lakukan sebenarnya penulis melatih berbagai jenis praktisi, tapi pembahasannya nanti tersendiri dalam masalah lain. Tak mungkin mencampuradukan masalah yang bidangnya berbeda dalam sebuah tulisan.
Dini hari saat orang lain masih nyaman berselimut lelap dalam buaian mimpi penulis bergerak melangkahkan kaki lari pelan-pelan menyusuri jalan Parangtritis menuju utara.Eks kampus STIEKERS yang sekarang tak lebih dari padang gersang dengan semak belukar tumbuh karena lapisan tanahnya sudah habis ditambang tinggal lapisan kerasanya yang tidak subur lagi. Beberapa bagian menjadi lokasi buangan sampah mengotori pemandangan. Sebuah telaga kecil menampung air hujan menjadi sebuah areal pemancingan. Depan eks kampus STIEKERS di penuhi pedagang kaki lima yang mencoba mencari peruntungan termasuk penulis yang memiliki sebuah boks kios ditepi jalan.
Lari pagi terasa melelahkan bagi siapapun yang jarang melakukannya. Penulis menghitung sudah dari sejak usia dua puluh lima tahun melakukannya. Jika di hitung sekarang usia penulis mencapai empat puluh tiga tahun, hitung sendiri kegiatan ini sebagai semacam journal yang sudah menetap dalam diri penulis. Mungkin anggap saja sudah mendarah daging.
Apa manfaatnya?
Anggap saja ini bagian hidup yang berhubungan dengan relaksasi kaum spiritual. Ya penulis mendapatkan semaccam kekuatan sspiritual setiap kali berhasil menempuh rute yang rutin dilakukan penulis.
Langkah kaki pelan-pelan dan tidak terburu-buru itu hal yang masih sulit bagi pemula. Penulis sendiri sering menjadikan start melangkah dengan perasaan ragu-ragu akan mampu menempuh rute yang sudah sering dilakukan. Perlahan hambatan ini akan beerkurang karena kaki yang berlari kecil-kecil akan meningkatkan rasa percaya diri melihat berbagai keadaan lingkungan yang didapati dalam perjalanan. Tentu penulis sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang mencoba menikmati pagi cerah dengan aktifitas yang sama. Penulis sedikit merasa bangga karena orang-orang lain tersebut paling-paling hanya mampu menempuh lima ratus meter langsung terhenti. Hampir tak ada orang yang melakukan kegiatan jogging segila peenulis yang rutin meenempuh jarak sekitar lima enam kilmeter.
Oh tak ada yang instan dalam melakukan jogging secara rutin seperti penulis ini. Siapapun seseorang yang hendak mencoba akan mendapatkan hambatan-hambatan yaang luar biasa. Mulai dari rasa malas bangun pagi sampai malu ketika berrjumpa dengan orang lain di jalan. Bahkan  ada rasa gengsi karena ternyata kita tak lebih dari seorang prrimitif yang masih melakukan aktifitas dengan kaki. Tentu itu sangat ketinggalan jaman, buat apa lari seperti itu kalau untuk menempuhnya bisa dengan naik sepeda motorr? 
Masa ada yang menyatakan seperti itu di jalan!
Oh ternyata seperti itulah yang di dapatkan oleh penulis, banyak anggapan heran dari sesama pengguna jalan yang lebih memanfaatkan kemajuan teknologi dari pada penulis yang masih primitif sekali.
Tapi pandangan seperti itu sedikit, masih banyak orang mengacungkan jempol terhadap penulis.
Beberapa orang yang melakukan jogging ternyata kemungkinan seorang atlet yang sedang berlatih, mereka mungkin menempuh jarak yang lebih jauh dari penulis. Dan biasanya tak mampu penulis mengungguli langkah kakinya karena memang lebih terlatih.
Oh sudah sampai di mana penulis lari?
Pemandangan pertama langsung tertuju pada pasar tumpah tradisional Prawirotaman. Berbagai kegiatan telah menyebabkan badan jalan menyempit hingga setiap pengguna jalan harus perlahan mengendarai kendaraan apapun jenisnya. Terkadang penulis beertemu dengan tetangga yang sedang berbelanja atau pedagang pemilik kios yang baru tiba di pasar yang dikenal penulis.
Terus penulis lari ke utara, sampai di perempatan Jokteng wetan. Entah pojok wetan ini seperti sengaja menjadi etalase bagi turis asing setiap kali berkunjung. Serasa sudah mendapatkan suasana kerajaan kuno.
Masih pagi beberapa bus jalur dua masih ngetem di jokteng baru melakukan persiapan untuk hari itu memulai berburu rupiah. Penulis melanjutkan langkah kaki yang terkadang membentur kerikil tajam hingga membuat muka menyeringai karena untuk beberapa saat merasakan sakit. Wah iya penulis lupa saat lari pagi ini penulis melakukannya dengan nyeker saja alias tak beralas kaki, memang primitif kok. Akibatnya beberapa kali membentur kerikil dan terkadang bila ada serpihan beling kaca cepat menghindar tak kepingin tergores.
Mulai ada rasa mual di perut, itu biasa karena tubuh terus membiasakan diri terhadap langkah kaki yang sebenarnya seperti di paksakan. Ya lari seperti ini biarpun termasuk olah raga tetapi tubuh tettap melakukan peenolakan. Bagi pemula ya sudah langsung takluk meenghentikan langkah, He He He penulis pun bila startnya sudah dalam suasana tak enak sering juga menyerah. 
Sampai THR tetap berlari, sampai kelenteng terus menyeberang perempatan, apa nafas tak habis berlari seperti itu?
Sekali lagi latihan rutin berpuluh tahun telah mendapatkan hasilnya, inilah panen nya seorang praktisi jogging. Nafas panjang debar jantung tak berdegup kencang, semuanya seperti biasa bagi penulis. Sesuatu yang tenttu tak di dapat oleh mereka yang tak pernah berlatih. Alhamdulillah!
Oh sebenarnya penulis kepingin juga hobi ini menjadi semacam komunitas. Sayang sampai detik ini penulis sendirian saja melakukannya. Memang dasarnya penulis tak pandai berorganisasi He He He.
Beberapa supermarket dan hotel dilangkahi terus oleh penulis, jalanan agak menanjak di perempataan kecil jambu. Sampailah di ujungnya sebuah parkiran luas untuk kendaraan yang berkunjung ke jalan Malioboro. Oh namanya penulis lupa, tapi tempatnya strategis karena berada di staasiun tugu dan rel serta jembatan layang kereta api.Terkadang penulis mendapati kereta api barang atau penumpang sedang langsir ataupun lewat membuat berbagai pengendara di jalan harus menunggu tak sabar karena terasa lambat.
Sampai di belakang hotel garuda Inn, belok kiri inilah ujungnya jalan Malioboro dari sebelah utara, tapi lari penulis belum berhenti. Kawasan wisata ini masih sepi, pedagang kaki lima masih mempersiapkan lapak dan boks dorong miliknya karena setiap malam hari harus di bongkar pasang.
Malioboro massih sepi, penulis nyaman saja berlari ditengah jalan tersebut. Beberapa group senam memadati jalan karena hari minggu diadakan event Car freeday. Penuliss kurang melihat gregetnya Car ffreeday yang diadakan oleh Pemkot Yogyakarta ini. Yang teerlihat benar-benar hidup hanya acara senam pagi rutin itu-itu saja.
Lari penulis berakhir di depan sekumpulan orang bersenam aerobik tepat depan istana presiden Geedung Agung. Badan penulis meenghangat kepala pun terjalar rasa hangat tersebut. Oh nyamannya perasaan tersebut, inilah yang membuat seorang praktisi jogging sering ketagihan. Tak percayaa!! ya silakan melakukannya sebagai hobi.
Duduk nonton orang senam terkadang melihat cewek seksi lewat dan mulai banyak wisatawan datang. Beberaapa kelompok orang biassa begadang dengan kegiatan rupa-rupa termasuk mabuk dll. Ada orang-orang Papua yang rupanya menjadikan Malioboro ini sebagai ajang pertemuan untuk kebutuhan mereka dalam bersosialisasi.Mungkin termasuk demo pemisahan negarra dari NKRI.
Selesai, penulis tinggal berjalan kaki pulang menuju tempat tingggal penulis di Krapyak Wetan. Tak lupa mampir di sebuah warrung untuk merestorasi tubuh biar tidak kosong perut biarpun hanya dengan minum teh hangat dan makan penganan.

Friday, August 16, 2013

Tinjauan Lapangan Keadaan Kota Banyumas Lama.

Saat melewati kota Banyumas Lama pasti setiap bus umum akan meneriakan kata-kata "Karesidenan siapa yang turun!". Rupanya itulah yang menarik penulis untuk mencoba melaporkan keadaan kota Banyumas Lama sebagai bahan tulisan.
Semoga pembaca berkenan melihat isi tulisan ini, tentu saja penulis berharap mendapat masukan soal yang lebih mendalam nantinya dari pembaca, Oke!
Kembali ke kota Banyumas Lama,
Penulis menginjakan kaki beberapa hari setelah lebaran sebagai kunjungan untuk mencari hiburan. Tadinya hendak ke tempat wisata yang ramai, tapi penulis akhirnya lebih tertuju menuju Banyumas lama karena berkaitan dengan ketertarikan penulis akan bidang sejarah.
Status Banyumas Lama hanya sebuah kecamatan di kabupaten Banyumas yang ber ibukota di Purwokerto.Perpindahan ibukota telah menjadikan Banyumas lama memiliki banyak sekali peninggalan berupa bangunan kuno yang sebagian besar menjadi cagar budaya. Penulis dari bus umum turun di pasar Banyumass. Bayangkan itu berarti sebuah pasar yang sudah tua umurnya mengikuti usia kota Banyumas dari sejak berdirinya sekitar enam ratus tahun yang lalu.
Konon berdirinya Banyumas mengikuti perluasan wilayah kerajaan Pajang yang masuk pedalaman di selattan Jawa. Jadi kota Banyumas hampir seumur dengan Kota gede sebagai tanah perdikan Mataram. seiring berkuasanya kerajaan Mataram di Kota Gede, Banyumas juga menjadi wilayah yang tunduk di bawah Mataram. Statusnya wilayah negara manca Mataram.
Entah bener nggak ya paparan penulis ini?
Yang penting sekarang mulai penulis menelusuri kota ini, He He He ini hobi sejak kecil, berjalan kaki melancong keberbagai tempat biarpun itu hanya di sekitar kota kelahiran penulis. Setiap melihat KTP tertera kota kelahirran, tapi ternyata yang tertera bukan kota Purwokerto melainkan Banyumas sebagai kabupaten. Jadinya penulis tertarik menjadikan Banyumas Lama sebagai semaccam oleh-oleh dari melancong terutama sebagai hadiah lebaran tahun 2013.
Sampai di kota Banyumass sudah siang, beberapa dokar sudah mulai menghilang dari pasar, biasa suasana pasar tradisional selalu ramai berdesak-desakan. Tapi penulis tak massuk ke passar cukup menyusuri jalan di sekitarnya.Dari jalan beraspal yang sebagian sudah rusak karena hanya tambal sulam cukup menggambarkan kota yang sedikit sekali mengalami perubahan modernitas. Becak berseliweran membawa barang dan peenumpang warga sekitar. Beberapa supermarket dan POM bensin menjadi pemandangan biasa tentang banyaknya jaringan waralaba pasar berjejaring. Penulis tak tertarrik melihat supermarket yang tentu lebih banyak bertebaran di kota Purwokerto. Penulis berjalan kaki menuju kebarat mengikuti alur hilir sungai Serayu yang menjadi sungai terbesarr di seluruh eks Karesidenan Banyumass.
Tepat sesuai perkiraan kota lama, setiap pasar pasti ada pemukiman Tionghoa, keberadaannya pasti tidak jauh dari sebuah kelenteng untuk umat Tri Darma. Ya sebuah kelenteng berdiri sudah tua sekali, tapi juga sudah mengalami pemugaran karena baru mendapat musibah kebakaran entah beberapa bulan yang lalu. Cukup megah dengan warga sekitar beretnis cina. Mereka tentu turun temurun tinggal di sekitar kelenteng dan menjadi pemilik beberapa toko dengan bangunan tua yang sudah kusam di makan usia. Di utaranya sebuah sungai mengalir besar sekali menjadikan penulis tertarik mencoba mendekatinya. Ada sebuah gang menuju tepi sungai Serayu, di bawah rimbunnya rumpun bambu penulis memandangi air sungai serayu yang membiru, tampak tak ada banjir yang membuat air bah ganas menenggelamkan siapapun yang mencoba berenang. He He He siapa berani menyeberang sungai dengan berenang di sungai sebesar itu?
Sungai Serayu biarpun besar bukan sungai yang ideal untuk pelayaran, arusnya deras dan banjir besar tak bissa di perkirakan, kalau musim kemarau surut membuat kandas perahu besar. Yang ada perahu kecil warga setempat untuk mencari pasir sebagai penghasilan utama. Lainnya hanya pemancing dan penjala ikan yang mencoba mencari peruntungan, lumayan kata orang banyak ikan sidatnya sungai Serayu ini. Tapi dari tepian sungai inilah dulu tercipta lagu berjudul "Di Tepinya Sungai Serayu" dari pujangga Banyumas, entah penulis tak tahu namanya.
Puas melihat sungai Serayu penulis kembali melangkah, kali ini menyusuri jalan yang menunjukan arah Kebasen.Jalan tersebut berbelok  sendiri menuju ke selatan mengikuti bentuk kota Banyumas Lama. Tujuan penulis adalah alun-alun kota Banyumas.Lumayan jauh sekitar satu kilo menyusuri jalan dengan beberapa bangunan yang sudah di makan usia dan kusam sekali karena tak pernah di sentuh cat atau kapur. Oii ada sebuah bangunan lama yang berketerangan sebuah tulisan, Dalem Kepatihan. Wah berarti itu sebuah bangunan penting saat masa jayanya kota Banyumas, itu tempat tinggal seorang pejabat setingkat perdana menteri untuk sebuah negara saat ini. Bangunannya berupa pendapa besar untuk pertemuan dan dibelakangya menyatu menjadi tempat tinggal yang megah saat itu. Pekarangannya luas saat ini menjadi taman bermain sebuah PAUD. Gaya bangunannya atap limas dengan seng yang sudah menghitam.Tentu itu bangunan yang paling megah di jalan Pakundan berseberangan dengan masjid dan alun-alun. Gapuranya sudah hampir roboh di cat kapur putih tanpa banyak merubah gaya bangunan. Itu masuk benda cagar budaya, di seberangnya sudah masuk kompleks cagar budaya yang lain yaitu masjid raya Nur Sulaiman.
Masuk kompleks alun-alun, inilah landskap kota Banyumas yang sebenarnya. Kota Banyumas ternyata menghadap selatan membelakangi sungai Serayu dan gunung Slamet nan jauh di utara sana. Justru kemudian peenulis membayangkan sebuah kota ideal menurut budaya Mataraman, ya ini sebuah kota yang masih asli belum banyak perubahannya. Di tengah-tengahnya alun-alun terbagi dua dengan dua buah pohon beringin seperti di alun-alun keraton Yogyakarta. Di sebelah barat tentu itu sebuah masjid besar untuk warga seluruh Banyumas. Dan di timurnya sebuah penjara untuk perkara kejahatan di jaman lampau. Penjara ini sudah banyak perubahannya karena sudah berupa bangunan baru. tapi lokasinya tetap sebagai salah satu kelengkapan kota kuno di Jawa. Eh dengan adanya penjara berarti kota kecil ini juga  memiliki pangadilan negeri? Ya ternyata statusnya yang eks kota kabupaten menjadikan Banyumas tetap memiliki lembaga dan berbagai instansi yang bila ditelusuri sama dengan lembaga pemerintahan di Purwokerto. Cuma lingkupnya menjadi sub bagian dari pemerintahan di pusat Purwokerto.
Beberapa baangunan kuno lainnya sudah menjadi lembaga pendidikan dari SD, SMP, SMA, Bahkan SMK yang menempati bekas SMKI (Sekolaah Menengah Karawitan Indonesia), rupanya sekolah tersebut sudah dihapus menjadi SMK negeri.
Ya terakhir adalah sebuah jalan menuju balai kota Banyumas Lama. Sebuah tugu berlambang gambar sila Pancasila menyambut penulis mulai menyusuri areal penting pemerintahan eks kabupaten Banyumas.Dari jalan menuju keutara ini sudah terlihat sebuah balai besar pertemuan sebagai inti pusat administrasi kabupaten. Itulah balai si Panji, Pekarangannya luas dengan berbagai kantor luas. Dibatasi tembok keliling balai kota Banyumas ini menjadi kompleks yang megah walaupun tingkatnya hanya sebuah kecamatan belaka. Gaya bangunannya tembok tinggi walaupun sederhana, ini bangunan tembok ala Belanda. Yang asli Jawa hanya balai Kotanya karena masih berstruktur kayu.
He He He dari gaya atapnya balai kota Banyumas ini bukan joglo,semuanya bentuk limas yang menjadi ciri khas tingkat strata warrga Banyumas. Tentu atap joglo adalah atap untuk orang setingkat bangsawan seperti banyak di dirikan oleh warga Kota Gede. Ya kota Banyumas ini dahulunya adalah sepenting Kota Gede saat jaman Hindia Belanda terutama dalam perekonomian. Dan  menjadi kota tertua yang terpengaruh Islam jaman Mataram dan Pajang. Sebelumnya daerah Banyumas adalah beberapa kadipaten yang berdiri sendiri dengan pengaruh besar dari Pajajaran dan Galuh di Jawa Barat.
Gaya bangunan yang sederhana ini yang menjadikan Banyumas Lama biarpun kuno tapi tak setenar Kota Gede ataupun keraton di Yogya dan Solo. Tentu sebagai bawahan kerajaan Mataram tak sepatutnya membangun kota semegah Yogya atau Solo, bisa kualat nantinya. Begitu juga Hindia Belanda tak mau membangun kota Banyumas lebih megah karena secara politik kurang memadai. Penulis menilai secara arsitektural kota Banyumas ini biasa-biasa saja.
Kembali ke kompleks balai kota Banyumas lama, penulis terus melangkah mendekati balai si Panji yang konon ini hanya tiruannya saja, karena yang aslinya sudah di pindah ke balai kota Purwokerto. Konon pindahnya balai si Panji ini tak boleh menyeberangi sungai Serayu langsung jadi terpaksa harus di pindah menjauh melalui beberapa kabupaten di Kedu.
Balai kota ini baru terasa megahnya saat berada di dalamnya, tiang saka gurunya berjumlah empat dari kayu jati semua. Bayangkan diameternya saja sekitar enam puluh sentimeter, tentu kayu jati sebesar itu sudah sangat jarang di temui. Makanya kalau disebut balai si Panji itu sebagai bangunan berstruktur kayu termegah di Banyumas itu bukan omong kosong. Silakan cari perbandingannya sekarang dengan bangunan di manapun. Paling-paling cuma kalah dengan milik keraton diYogya dan Solo. Kompleks balai kota ini di lengkapi bangunan dibelakangnya bergaya Hindia Belanda dan sebuah museum wayang serta memiliki sayap bangunan yang lebih sederhana. Ya semua sederhana tampaknya tak menjual untuk di jadikan paket wisata. tapi kalau untuk fungsi dan administrasi tetap memadai.Mungkin untuk pengembangan kota Banyumas selanjutnya jadikanlah kota ini sebagai Taman Hiburan Rakyat. Jadi banyakilah taman untuk warga beraktifitas atau tambahan acara seperti pasar malam dan pameran. Tak kalah kok dengan kota besar lainnya, lagi pula berbagai ruas jalan menuju selatan yang menjadi jalan antar kota antar provinsi itu bisa jadi sebagai Malioboro nya Banyumas di masa mendatang. Dan He He He belum ada pertikaian rebutan lahan yang kompleks di Banyumas lama ini karena memang belum dikembangkan pemerintah daerah. Coba kalau dijadikan kota museum dan berbagai sarana hiburan juga pasar malam setiap taahun diagendakan pasti sip, sederhana saja dan kalau bisa merakyat soalnya penulis melihat ccocoknya acara di Banyumas Lama jangan sampai seperti metropolitan yang sedemikian komersial.
Terakhir penulis berkesempatan masuk lebih kebelakang areal balai kota melalui sebuah pintu tembusan kecil yang terbuka. Tampaknya lagi sepi mungkin karena masih libur lebaran. Bangunannya tembok tinggi dengan pekarangan luas berisi rumpun pisang berbagai jenis. Oi ternyata itu adalah milik balai pertanian Banyumas untuk budi daya jenis pisang, ada rumpun pisang ulin, pisang ambon nangka, pisang raja berbagai nama dan pisang kapok. Ya fungsinya hanya setingkat itu karena bila dibiarkan tenttu halaman dalam balai kota ini bakalan terbengkalai. Entah bagaimana pengembangan selanjutnya penulis sendiri tak tahu, lumayan kota Banyumas ini memiliki rumah sakit daerah sendiri karena menyesuaikan dengan strategis wilayahnya yang mendekati beberapa kabupaten sekitarnya seperti Cilacap,Banjarnegara, Kebumen dan Purbalingga. Dengan adanya rumah sakit daerah ini pelayanan kesehatan untuk wilayah Banyumas selatan dan kabupaten sekitarnya menjadi terjangkau.
Oi ada tempat sakralnya juga di halaman dalam balai kota Banyumas ini, itu sebuah sumur yang mungkin terkecil di dunia karena diameternya hanya dua puluh sentimeter saja. Letaknya persis di halaman belakang bangunan kompleks balai kota. Di beri pagar kayu beberapa sesaji bunga telon atau setaman penulis tak paham, kemudian bekas bakaran kemenyan setinggi setengah meter, cukup membuat merinding penulis dan langsung tak berani berbuat sembarangan. Apa fungsinya sumur dan ritual di kompleks kecil ini penuliss tak tahu, tapi itu cukup menjadi bukti adanya kepercayaan setempat terhadap kekeramataan situs balai kota.
Cukuplah penulis berkunjung di Banyumass Lama ini, mungkin lain waktu mampu membahas masalah lebih mendalam.